Anda di halaman 1dari 172

am

b
cover_batasan umur_v4_arsip_dpn.pdf 1 12/15/10 6:44 PM

u
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng
PENJELASAN
HUKUM TENTANG

do
gu

In
A
ah

lik
am

ub
Penjelasan Hukum tentang BATASAN UMUR

M
ep
k

Y
ah

CM

(Kecakapan dan Kewenangan


R

si
MY

CY Bertindak Berdasar Batasan Umur)

ne
ng

CMY

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep

Ade Maman Suherman


ah

J. Satrio
R

es
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
PENJELASAN HUKUM
TENTANG BATASAN UMUR
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on

isi1 fot43.indd 1 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur

ne
ng
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010

do
gu

In
A
ah

lik
Penulis: Ade Maman Suherman, J. Satrio Editor: Sebastian Pompe
Pengulas: Tony Budidjaja Gregory Churchill
Ahli Internasional: Prof. Dr. Alex Geert Castermans Mardjono Reksodiputro
am

ub
Pelaksana Penelitian: Pusat Kajian Hukum Binziad Kadafi
Universitas Esa Unggul Fritz Edward Siregar
Peneliti: Wasis Susetio Harjo Winoto
Nur Hayati
Fisella Mutiara A.L.Tobing
ep
El Roy Simon Hutagalung
k

I Gede Hartadi
Henry Arianto
ah

Nugraha Abdulkadir
Errival Hartom
R

si
Dhoni Yusra
D. Sastrawijaya
Muhammad Ramadhan I.D

ne
ng

Zulfikri Aboebakar

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fotokopi,

do
mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.
gu

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
In
A

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
ah

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
lik

ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
m

ub
ka

ep

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan
ah

es
M

ng

on

isi1 fot43.indd 2 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu
DAFTAR ISI

In
A
ah

lik
Kata Pengantar ............................................................................................................... ix
am

ub
Ringkasan Eksekutif ................................................................................................... 1
Dokumen Penjelas ....................................................................................................... 3
ep
A. Pokok Pembicaraan . ..................................................................................................... 3
k

B. Istilah .................................................................................................................................. 3
ah

C. Kecakapan Bertindak dan Tindakan Hukum . ...................................................... 6


R

si
D. Dasar Kecakapan Bertindak ....................................................................................... 7
E. Perbedaan dalam Akibatnya . .................................................................................... 9

ne
ng

F. Usia Dewasa dan Kecakapan Bertindak . ............................................................... 9


G. Pendirian Pengadilan ................................................................................................... 12
H. Undang-Undang Perkawinan . .................................................................................. 12

do
gu

I. Lembaga Perwakilan .................................................................................................... 14


J. Konsekuensi Ketidakcakapan . .................................................................................. 15
16
In
K. Permasalahan dalam Praktik . ....................................................................................
A

L. Masih Berpegang pada 21 Tahun ............................................................................ 19


M. Permasalahan yang Dihadapi . .................................................................................. 20
ah

lik

N. Ukuran Dewasa yang Diusulkan . ............................................................................. 21


O. Kesimpulan ...................................................................................................................... 22
m

ub

Perspektif Internasional ......................................................................................... 23


23
ka

Legal Capacity and Legal Competency In Dutch Law .........................................


ep

A. Ages in Law ..................................................................................................................... 23


B. The Concepts of Minor, Legal Capacity, and Legal Competence ................. 25
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur iii


M

ng

on

isi1 fot43.indd 3 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
C. Capacity for Certain Acts ............................................................................................ 26

si
D. Capacity to Enter into Specific Relationships:
Employment and Health Care ................................................................................... 27

ne
ng
E. Alternatives: General of Specific Emancipation .................................................. 28
F. Consequences of an Act by a Minor Without Approval
of Its Legal Representatives ....................................................................................... 29

do
gu
G. Non-Contractual Liability . ..........................................................................................
H. Capacity in Courts . ........................................................................................................
30
31

In
A
Laporan Penelitian . ..................................................................................................... 33
ah

Kecakapan dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum

lik
Berdasarkan Batasan Umur Menurut Literatur ..................................................... 33
A. Penelitian Literatur ........................................................................................................ 33
am

ub
1 Istilah Berdasarkan Literatur ............................................................................ 34
a. Istilah Kecakapan ........................................................................................ 34
b. Istilah Kewenangan .................................................................................... 35
ep
36
k

c. Istilah Anak ....................................................................................................


d. Istilah Dewasa . ............................................................................................. 37
ah

2. Istilah Berdasarkan Peraturan . ........................................................................ 37


R

si
3. Istilah dalam Putusan ......................................................................................... 38

ne
ng

B. Hasil Penelitian Berdasarkan Literatur ................................................................... 39


1. Hasil Penelusuran Literatur .............................................................................. 39
39

do
a. Tentang Kecakapan ....................................................................................
gu

1) Pengertian Kecakapan dalam Literatur ..................................... 39


2) Syarat-Syarat Kecakapan dalam Hukum Perdata
46
In
A

dalam Literatur ...................................................................................


b. Tentang Kewenangan ............................................................................... 53
1) Pengertian Kewenangan dalam Literatur ................................. 53
ah

lik

2) Wewenang yang Dimiliki Subjek Hukum


sebagai Pribadi Kodrati . .................................................................. 54
m

ub

2. Analisis atas Kecakapan Kecakapan dan Kewenangan Bertindak


Menurut Hukum Berdasarkan Literatur/Kepustakaan ........................... 61
ka

a. Akibat Hukum dari Suatu Perbuatan yang Dibuat


61
ep

oleh Seseorang yang Tidak Cakap Akibat Belum Dewasa ...........


1) Tinjauan Hukum Perkawinan ........................................................ 61
ah

es

iv Dokumen
Daftar Isi Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 4 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2) Tinjauan Hukum Ketenagakerjaan .............................................. 62

si
3) Tinjauan Hukum Perikatan ............................................................. 65
4) Tinjauan Hukum Perusahaan . ....................................................... 67

ne
ng
b. Akibat dari Perbuatan yang Dilakukan oleh Seseorang
yang Tidak Memiliki Kewenangan Akibat Syarat Umur
Tidak Terpenuhi ........................................................................................... 68

do


gu
c. Kesimpulan . ..................................................................................................
d. Rekomendasi Restatement Berdasarkan Literatur . ........................
69
70

In
e. Akibat dari Perbuatan yang Dilakukan oleh Seseorang
A
yang Tidak Memiliki Kewenangan Karena Syarat Umur
Tidak Terpenuhi ........................................................................................... 71
ah

lik
3. Kesimpulan ............................................................................................................ 72
4. Rekomendasi Restatement Mengacu pada Literatur yang Ada ......... 73
am

ub
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum
Berdasarkan Batasan Umur Sesuai Peraturan . ........................................................ 75
75
ep
A. Hasil Penelitian Berdasarkan Peraturan .................................................................
k

1. Hasil Penelusuran Peraturan Perundang-undangan dan


ah

Produk Hukum Lainnya ..................................................................................... 75


R
77

si
a. Sumber Data .................................................................................................
b. Pengolahan Data . ....................................................................................... 77
77

ne
ng

1) Pengumpulan Data ...........................................................................


2) Pengkualifikasian ............................................................................... 77
3) Identifikasi Masalah . ......................................................................... 78

do
gu

2. Pengelompokan Masalah ................................................................................. 78


3. Teknik Penelitian .................................................................................................. 78
4. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................ 79
In
A

5. Definisi Kecakapan, Kewenangan, Belum Dewasa dan Anak ............. 79


a) Istilah Kewenangan .................................................................................... 80
81
ah

lik

b) Istilah Cakap . ................................................................................................


c) Perbedaan Istilah Belum Dewasa dan Anak ...................................... 81
m

ub

B. Masalah Penafsiran atas Istilah-Istilah dalam Peraturan Perundang-


undangan dan Produk Hukum Lainnya . ............................................................... 82
ka

1. Analisis Makna Kecakapan dan Kewenangan


ep

dalam UU Perkawinan . ...................................................................................... 82


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur v


M

ng

on

isi1 fot43.indd 5 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Kemampuan dan Kecakapan dalam UU Ketenagakerjaan . ................. 84

si
3. Istilah Kedewasaan dalam Peraturan Menteri Kesehatan . ................... 85

ne
ng
C. Perbedaan Batasan Umur dalam Bertindak ......................................................... 86

D. Analisis ............................................................................................................................ 88

do


gu
1. Analisis Undang-Undang ITE terhadap Kecakapan
dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ............................................. 88

In
2. Analisis Undang-Undang Perkawinan terhadap
A
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ..................... 90
3. Analisis Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap
ah

lik
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ...................... 91
4. Analisis Undang-Undang Jabatan Notaris terhadap
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ...................... 92
am

ub
E. Tabel-Tabel......................................................................................................................... 94
94
ep
1. Tabel Umur Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.......
k

2. Tabel Umur Dewasa Berdasarkan Peraturan


ah

Perundang-undangan......................................................................................... 96
R

si
3. Tabel Belum Dewasa Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan......................................................................................... 97

ne
ng

4. Tabel Batasan Umur 18 Tahun Berdasarkan


Peraturan Perundang-undangan.................................................................... 98
5. Tabel Batasan Umur 21 Tahun Berdasarkan Peraturan

do
gu

Perundang-undangan......................................................................................... 100
6. Tabel Variasi Batasan Umur Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan......................................................................................... 101
In
A

F. Periodesasi Peraturan Perundang-Undangan di Beberapa


102
ah

lik

Bidang Terkait . ................................................................................................................


1. Ketentuan Umur dalam Hukum ..................................................................... 102
2. Periodesasi Hukum Tenaga Kerja ................................................................... 104
m

ub

3. Peraturan Jabatan Notaris ................................................................................ 107


ka

G. Kesimpulan ...................................................................................................................... 111


ep

H. Rekomendasi ................................................................................................................... 111


ah

es

vi Dokumen
Daftar Isi Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 6 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum Berdasarkan

R
113

si
Batasan Umur Menurut Putusan Pengadilan .........................................................

A. Hasil Penelusuran Produk Pengadilan . .................................................................. 113

ne
ng
1. Wilayah Kerja ......................................................................................................... 113
2. Sumber Data . ........................................................................................................ 113

do
3.
gu Kendala dalam Pengumpulan Data .............................................................. 114
a. Penyusunan Produk Pengadilan dalam ANRI
114

In
Berdasarkan Nomor ...................................................................................
A
b. Kurangnya Keterbukaan Informasi dari Lembaga Peradilan . ..... 115
4. Ruang Lingkup Perolehan Data . .................................................................... 115
ah

lik
5. Hasil Pengumpulan Data .................................................................................. 115
am

ub
B. Analisis Produk Pengadilan Terkait Kecakapan dan Kewenangan
Bertindak dalam Hukum Berdasarkan Batasan Umur ...................................... 121
1. Penerapan Konsep Hukum Kecakapan dan Kewenangan Bertindak
ep
k

dalam Hukum Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk


121
ah

Pengadilan .............................................................................................................
R

si
a. Konsep Kecakapan dan Kewenangan Bertindak
dalam Hukum Berdasarkan Batasan Umur ........................................ 121

ne
ng

b. Kewenangan Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk


Pengadilan . ................................................................................................... 124
c. Kecakapan Berdasarkan Batasan Umur 21 Tahun ........................... 125

do
gu

1) Gugatan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum ....... 125


2) Permohonan Perwalian ................................................................... 129
In
A

3) Permohonan Melakukan Perbuatan Hukum


Atas Nama Anak di Bawah Umur ................................................. 130
132
ah

lik

d. Kecakapan Berdasarkan Batasan Umur 18 Tahun ...........................


1) Gugatan Perceraian dan Hak Asuh .............................................. 132
2) Gugatan Ganti Rugi Terkait Pekerja Anak ................................. 132
m

ub

3) Gugatan Pembatalan atas Penjualan Aset Anak


di Bawah Umur ................................................................................... 133
ka

ep

4) Permohonan Melakukan Perbuatan Hukum


atas Nama Anak di Bawah Umur ................................................. 134
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur vii


M

ng

on

isi1 fot43.indd 7 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
e. Kecakapan Berdasarkan Kategori “di Bawah Umur” atau “Dewasa”

R
135

si
Tanpa Menegaskan Parameter Batasan Umur yang Digunakan ......
1) Gugatan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum . ....... 135

ne
ng
2) Permohonan Perwalian Atas Nama Anak di Bawah Umur ..... 138
3) Permohonan Melakukan Perbuatan Hukum atas Nama
140

do
gu Anak di Bawah Umur .......................................................................
f. Penerapan Konsep Kecakapan dan Kewenangan Bertindak
dalam Hukum Berdasarkan Batasan Umur dalam

In
A
Pertimbangan Hakim ............................................................................... 144
2. Metodologi Hakim dalam Menerapkan Konsep Hukum Kecakapan
ah

lik
dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur dalam
Produk Pengadilan ............................................................................................. 145
am

ub
3. Periodesasi Perubahan Pendapat Hakim dalam Menerapkan
Konsep Hukum Kecakapan dan Kewenangan Bertindak
Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk Pengadilan
ep
Terkait dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 ................................... 146
k

4. Aliran Mazhab yang Digunakan Hakim dalam Menerapkan


ah

R
Konsep Hukum Kecakapan dan Kewenangan Bertindak

si
Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk Pengadilan ........................ 147
147

ne
a. Mazhab Hukum Alam ...............................................................................
ng

b. Mazhab Formalistis (Positivisme) ......................................................... 148


c. Mazhab Historis ......................................................................................... 148

do
gu

d. Mazhab Utilitariansm ............................................................................... 148


e. Mazhab Sociological Jurisprudence ................................................... 148
In
149
A

f. Mazhab Realisme Hukum .......................................................................

149
ah

C. Kesimpulan .....................................................................................................................
lik

D. Rekomendasi Restatement Berdasarkan Produk Pengadilan ...................... 150


m

ub

DAFTAR PUSTAKA . ................................................................................................................. 151


ka

ep

DAFTAR PUTUSAN ................................................................................................................. 157


ah

es

viii Dokumen
Daftar Isi Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 8 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
KATA PENGANTAR

si
PENJELASAN HUKUM TENTANG BATASAN UMUR

ne
ng
Ketiadaan kepastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman
modern ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang

do
gu
mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan
hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil
dan adil. Singkat kata, jika seseorang ditanya apa hukum Indonesia tentang subjek

In
A
tertentu, sangat sulit bagi orang tersebut untuk menjelaskannya dengan pasti,
apalagi bagaimana hukum tersebut nanti diterapkan. Ketidakpastian ini banyak
ah

lik
yang bersumber dari hukum tertulisnya yang umumnya tidak jelas dan kontradiktif
satu sama lain. Selain itu, ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi
pemerintah maupun pengadilan. Yang menjadi garis bawah dari ketidakpastian
am

ub
hukum adalah lemahnya lembaga dan profesi hukum. Itu dapat kita lihat di
lingkungan peradilan, di mana hakim terus menerus tidak menjaga konsistensi
dalam putusan mereka. Advokasi pun tidak berhasil untuk betul-betul menjaga
ep
k

standar profesi mereka. Ketidakpastian hukum juga bersumber dari dunia akademik
ah

yang ternyata kurang berhasil untuk membangun suatu disiplin ilmiah terpadu
R
dalam analisis peraturan perundangan dan putusan pengadilan. Lemahnya ‘legal

si
method’ di dunia akademik adalah alasan pokok kenapa akuntabilitas pengadilan
dan lembaga negara tetap lemah.

ne
ng

Proyek Restatement ini merupakan upaya untuk menjawab isu ketidakpastian


hukum tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mewujudkan suatu

do
gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern.
gu

Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan
In
A

kedua dari proyek ini adalah untuk membangun kembali ‘the legal method’, yaitu
sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan universitas, institusi
penelitian dan organisasi swadaya masyarakat. Tentunya Restatement ini tidak
ah

lik

dimaksudkan sebagai kata terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang
dibahas di dalamnya. Namun, Restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum
m

ub

Indonesia, terutama karena analisisnya bersandarkan pada putusan pengadilan dan


literatur yang berwibawa mulai Indonesia merdeka. Ahli hukum, hakim, dan advokat
ka

jelas mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau menolak hasil analisis dalam
ep

Restatement ini, namun kami berharap supaya Restatement ini bisa mencapai suatu
kepastian hukum lebih besar untuk topik-topik tertentu, terutama dalam struktur
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur ix


M

ng

on

isi1 fot43.indd 9 12/13/2010 9:57:31 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
analisis terhadap disiplin hukum tertentu, agar pembahasan tentang topik tersebut

si
mampu menapak suatu tingkatan intelektual yang lebih tinggi.
Alasan kami memilih topik kecakapan dan kewenangan bertindak sebagai

ne
ng
salah satu pokok bahasan Restatement dikarenakan istilah-istilah tersebut sangat
beragam dan tidak memiliki kejelasan batasan umur tertentu dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengertian “kecakapan” (legal capacity) dan

do
gu
“kewenangan” (legal authority) sering digunakan secara tumpang-tindih di berbagai
peraturan perundang-undangan. Akibatnya, dalam praktik terjadi kesimpangsiuran
dalam penafsiran. Hal tersebut dapat ditemukan dari hasil laporan yang menunjukan

In
A
beberapa pengaturan yang berbeda-beda, putusan hakim yang tidak tegas tentang
batasan umur seseorang terkait dengan kecakapan dan kewenangan, maupun
ah

lik
penulisan istilah yang bervariasi , baik dalam literatur, peraturan maupun putusan
pengadilan. Dari penelitian ini ditemukan juga penggunaan istilah yang tidak
konsisten mencantumkan kata “dewasa”, “belum dewasa”, “belum cukup umur”, atau
am

ub
“anak” dalam memberi batasan umur tertentu, bahkan ada peraturan yang hanya
menyebutkan istilah tanpa memberi batasan umur.
Akhir kata, kami berharap “mimpi” kami untuk mewujudkan koherensi,
ep
k

konsistensi dan kesesuaian diskursus hukum perdata dapat terakomodasi dengan


ah

baik dalam program Restatement ini sehingga mempunyai faedah bagi para
R
stakeholders.

si
Hormat kami,

ne
ng

do
gu

Sebastiaan Pompe
Program Manager
In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

x Dokumen
Kata Pengantar
Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 10 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
RINGKASAN EKSEKUTIF

si
Istilah-istilah teknis hukum yang sangat mendasar, seperti kewenangan hukum,

ne
ng
kecakapan bertindak, dan kewenangan bertindak, perlu sekali dipahami dengan baik
oleh semua pihak yang berkecimpung dalam bidang hukum, sebab banyak ketentuan
hukum yang bertumpu pada pengertian istilah-istilah itu.

do
gu
Kewenangan hukum—yang merupakan terjemahan dari rechtsbevoegdheid—
adalah kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam hukum, atau
d.p.l. kewenangan untuk mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum.

In
A
Kecakapan bertindak adalah kewenangan umum untuk melakukan tindakan
hukum. Kecakapan bertindak pada umumnya dan pada asasnya berlaku bagi semua
orang. Setelah manusia dinyatakan mempunyai kewenangan hukum maka kepada
ah

lik
mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Untuk itu,
diberikan kecakapan bertindak. Dari ketentuan Pasal 1329 BW, doktrin menyimpulkan
bahwa semua orang pada asasnya cakap untuk bertindak, kecuali undang-undang
am

ub
menentukan lain.
Kewenangan bertindak merupakan kewenangan khusus, yang hanya berlaku
untuk orang tertentu dan untuk tindakan hukum tertentu saja. Kewenangan bertindak
ep
diberikan dengan mengingat akan tindakan, untuk mana diberikan kewenangan
k

bertindak sehingga tidak ada ketentuan umum tentang kewenangan bertindak.


ah

Karena tindakan hukum menimbulkan akibat hukum yang mengikat si pelaku, yang
R
bisa membawa akibat yang sangat besar, maka kepada mereka yang belum atau belum

si
sepenuhnya bisa menyadari akibat dari tindakannya, perlu diberikan perlindungan
dalam hukum. Untuk itu, pembuat undang-undang (BW) mengaitkan lembaga hukum

ne
ng

kecakapan bertindak dengan umur dewasa.


Pembuat undang-undang berangkat dari pikiran bahwa orang yang telah mencapai
usia tertentu —normalnya—mestinya sudah bisa menyadari tindakan dan akibat dari

do
gu

tindakannya. Kepastian hukum menuntut adanya suatu patokan yang pasti, kapan orang
dianggap atau bisa dianggap telah bisa menyadari akibat dari tindakannya. Karenanya,
undang-undang dalam Pasal 330 BW menetapkan bahwa seorang anak yang telah
In
A

mencapai usia 21 tahun adalah dewasa.


Namun, berlakunya hukum perdata di Indonesia—sebagai akibat dari warisan
zaman kolonial—dikaitkan dengan golongan penduduk sehingga berlaku bermacam-
ah

lik

macam patokan umur dewasa bagi masing-masing golongan penduduk. Dengan


demikian, berdasarkan hukum yang berlaku, ada bermacam-macam ukuran kecakapan
bertindak. Keadaan ini membawa kita pada pertanyaan, apakah tidak sebaiknya ukuran
m

ub

kedewasaan disepakati dengan memakai satu ukuran saja? Lebih dari itu, apakah belum
ada ketentuan undang-undang yang menetapkan kedewasaan yang berlaku bagi semua
ka

warga negara Indonesia?


ep

Karena BW memberikan patokan umur dewasa yang relatif lebih pasti maka tinjauan
kita berangkat dari ketentuan BW.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 1


M

ng

on

isi1 fot43.indd 1 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Demi kepentingan si belum dewasa, agar mereka bisa turut serta dalam lalu lintas

si
hukum, maka diadakanlah lembaga perwakilan bagi mereka. Tindakan si belum dewasa
diwakili oleh wakilnya, seperti orang tua atau walinya.
Bagaimana kalau si belum dewasa tetap saja bertindak sendiri mengadakan

ne
ng
hubungan dengan orang lain? Demi melindungi mereka yang belum dewasa maka Pasal
1330 BW mengatakan bahwa mereka yang belum dewasa tidak cakap untuk menutup
perjanjian. Perlindungan itu dikonkretisir dengan menetapkan bahwa semua perjanjian

do
gu
yang ditutup oleh si belum dewasa dapat dituntut pembatalannya oleh pihak si belum
dewasa (Pasal 1331 BW). Agar perlindungan itu tidak dengan mudah bisa dihindari/
disimpangi oleh orang dewasa, dengan siapa si belum dewasa mengadakan hubungan

In
A
hukum, dengan mengatakan bahwa ia tidak tahu lawan janjinya belum dewasa, dan
karenanya ia beritikad baik, maka hak untuk menuntut pembatalan perjanjian sudah
cukup dengan mengemukakan bahwa ia belum dewasa. Bahkan, seandainya tindakan
ah

lik
si belum dewasa dilakukan dengan sepengetahuan dan persetujuan dari orang tua atau
walinya, tetap saja perjanjian itu—dengan mengacu kepada redaksi Pasal 1331 BW—
dapat dituntut pembatalannya. Dalam peristiwa seperti itu, adalah menjadi kewajiban
am

ub
dari lawan janjinya (si dewasa) untuk membuktikan bahwa si anak itu sudah dewasa.
Karena ketentuan Pasal 1331 BW bermaksud untuk melindungi si belum dewasa dari
kemungkinan menderita kerugian sebagai akibat dari tindakannya sendiri maka
ep
perjanjian yang ditutup oleh si belum dewasa tidak batal demi hukum, tetapi hanya bisa
k

dituntut pembatalannya oleh pihak si tidak cakap.


ah

Persoalannya adalah, apakah perlindungan seperti itu, yang diberikan oleh


R
pembuat undang-undang, tidak berlebihan, dalam arti, apakah perlindungan itu tidak

si
telah diberikan dengan terlalu mengorbankan kepentingan dari lawan janjinya, yang
dewasa? Perlindungan seperti itu sangat rawan untuk disalahgunakan. Karena, sekalipun

ne
ng

si belum dewasa tidak menderita rugi, tetap saja perjanjian yang ia tutup bisa dituntut
pembatalannya. Yang sangat merugikan lawan janjinya adalah hak untuk menuntut
pembatalan baru kedaluwarsa 5 tahun sesudah si belum dewasa menjadi dewasa.

do
gu

Bayangkan, berapa lama lawan janjinya harus hidup dalam ketidakpastian, apakah
perjanjian yang ditutup akan dibiarkan hidup atau dituntut pembatalannya. Kiranya
perlu ada pembatasan atas hak si belum dewasa untuk menuntut pembatalan perjanjian
In
A

yang ia tutup.
Mengenai masalah umur dewasa, sebenarnya kita sudah mempunyai undang-
undang, yang berlaku nasional, dan telah mengatur usia dewasa, yaitu UU Perkawinan,
ah

lik

yang menetapkan bahwa seorang anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau
perwalian sampai si anak berumur 18 tahun. Berdasarkan logika dan prinsip hukum,
adalah tidak logis kalau UU Perkawinan menetapkan usia dewasa lain daripada 18 tahun.
m

ub

Betapa baiknya dan betapa besar manfaatnya bagi kepastian hukum kalau kita bisa
menyepakati bersama umur dewasa adalah 18 tahun. Kalau diterima ukuran dewasa 18
ka

tahun maka masa ketidakpastian penantian, dibatalkan atau tidaknya perjanjian yang
ep

ditutup, bagi pihak yang dewasa menjadi berkurang selama 3 tahun.



ah

es

2 Dokumen Penjelas
Ringkasan Eksekutif
M

ng

on

isi1 fot43.indd 2 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
DOKUMEN PENJELAS

si
KECAKAPAN DAN

ne
ng
KEWENANGAN BERTINDAK

do
gu

In
A
ah

lik
A. Pokok Pembicaraan
am

ub
Pokok pembicaraan kita adalah Pasal 330 dan Pasal 1331 BW. Pasal 330 BW dipilih
karena pasal tersebut yang mengatur tentang usia dewasa atau kedewasaan,
berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak (handelings-bekwaamheid)—dan
ep
secara tidak langsung juga berkaitan dengan masalah kewenangan bertindak—
k

padahal ketentuan usia dewasa sebagaimana diatur dalam pasal tersebut sudah
ah

tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Di samping itu, keberadaannya dalam


R

si
tata hukum kita sekarang ini patut dipertanyakan. Pasal 1331 BW juga menjadi
fokus pembicaraan karena dalam praktiknya pasal tersebut telah memberikan
perlindungan yang berlebihan kepada si tidak cakap, dengan terlalu mengorbankan

ne
ng

kepentingan lawan janji dari si tidak cakap.


Atas dasar itu, penulis akan meninjau keberadaan Pasal 330 BW dalam tata

do
hukum kita dan mengusulkan perubahan penafsiran atas Pasal 1331 BW.
gu

Dasar pemikirannya adalah sebagaimana tertuang di bawah ini.

B. Istilah
In
A

Sebelum mulai meninjau tentang masalah ”kecakapan” dan ”kewenangan”


bertindak, kita perlu terlebih dahulu menyepakati beberapa istilah yang mirip satu
ah

lik

sama lain, tetapi dalam hukum mempunyai arti dan peran yang sangat berbeda,
yaitu Kewenangan Hukum, Kecakapan Bertindak, dan Kewenangan Bertindak.
Istilah-istilah tersebut pada umumnya diartikan sebagai berikut.
m

ub

Kewenangan Hukum (rechtsbevoegdheid) adalah kewenangan untuk menjadi


pendukung (mempunyai) hak dan kewajiban dalam hukum.1 Karena kewenangan—
ka

ep

1 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXIV, Jakarta: Intermasa, 2010, hlm. 20,
menggunakan istilah ”pembawa hak”.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 3


M

ng

on

isi1 fot43.indd 3 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
hukum persoon—alamiah dikaitkan dengan kepribadian manusia maka manusia

si
mempunyai kewenangan hukum sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia.
Yang demikian itu bisa disimpulkan dari Pasal 2 jo Pasal 833 dan Pasal 955 BW.2

ne
ng
Badan hukum mempunyai kewenangan hukum sejak mendapat pengakuan sebagai
badan hukum.3
Kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan umum,

do
gu
yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk melakukan tindakan hukum pada
umumnya. Perhatikan kata ”persoon pada umumnya” dan ”tindakan hukum pada
umumnya”.

In
A
Kewenangan bertindak (handelingsbevoegdheid) adalah kewenangan khusus,
yang dipunyai oleh persoon tertentu, untuk melakukan tindakan hukum (atau
ah

lik
tindakan-tindakan hukum) tertentu.4 Perhatikan kata ”tertentu”. Siapa persoon yang
berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, dan tindakan hukum apa saja
yang wenang dilakukan olehnya, ditentukan oleh undang-undang.
am

ub
Badan hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai, di samping mempunyai
kekayaan yang tersedia untuk digunakan demi mencapai tujuan itu. Karena badan
hukum bukan persoon alamiah maka badan hukum dijalankan oleh manusia, dan
ep
k

tentunya persoon yang diangkat sebagai pengurus adalah mereka-mereka yang


ah

cakap untuk bertindak. Tetapi, apakah ia wenang bertindak mewakili badan hukum
R
yang bersangkutan, ditentukan oleh undang-undang dan anggaran dasar badan

si
hukum yang bersangkutan.
Perlu diperhatikan bahwa istilah-istilah di atas—kewenangan hukum, kecakapan

ne
ng

bertindak, dan kewenangan bertindak—merupakan istilah teknis hukum. Kata-kata


tersebut dalam satu kesatuan mempunyai arti teknis hukum tertentu. Istilah teknis

do
gu

adalah istilah-istilah dengan arti tertentu, terlepas dari arti harfiah dari kata-kata
yang bersangkutan, dan terlepas dari arti yang diberikan dalam kehidupan sehari-
hari, dan karenanya tidak boleh dipotong menjadi dua kata yang berdiri sendiri.
In
A

Kata ”wenang” sebagai kata yang berdiri sendiri bisa mempunyai arti yang sangat
berbeda dengan kata ”wenang” dalam satu kesatuan dengan kata ”bertindak”.
Istilah ”anak” yang berdiri sendiri tidak ada kaitannya dengan masalah kecakapan
ah

lik

dan kewenangan bertindak, kecuali dikaitkan dengan ”umur” atau ”kedewasaan”.


Istilah ”anak belum dewasa”—dalam satu kesatuan—merupakan istilah teknis
m

ub

2 Ibid.
ka

3 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 11 Undang-Undang
ep

Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.


4 J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I, Persoon Alamiah, Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999,
hlm. 56.
ah

es

4 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 4 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
hukum yang tidak boleh dipecah menjadi ”anak” dan ”belum dewasa”. Istilah ”anak”

si
dalam rangkaian kata-kata ”anak belum dewasa” menjadi relevan dengan topik
pembicaraan di sini karena kata-kata tersebut dalam satu kesatuan mempunyai arti

ne
ng
khusus dalam hukum, yang berkaitan dengan kecakapan bertindak. Perlu disadari
bahwa seringkali kata ”anak” dalam undang-undang hanya hendak menunjukkan
kedudukan seseorang dalam hubungan kekeluargaan (Pasal 2; Pasal 307; Pasal 308;

do
gu
Pasal 320–322; Pasal 327; Pasal 328 BW, Pasal 47, dan Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Ternyata, dalam doktrin kita melihat pemakaian istilah tersebut belum

In
A
seragam, ada yang menggunakan istilah kewenangan bertindak untuk
handelingsbekwaamheid,5 adakalanya menggunakan istilah-istilah lain (atau agak
ah

lik
lain) untuk arti sebagaimana disebutkan di atas. Kewenangan hukum adakalanya
menggunakan istilah ”mampu (wenang) berhak”. Coba perhatikan kalimat yang
berbunyi: ”Setiap manusia dianggap mampu (wenang) berhak, bahkan untuk
am

ub
keadaan tertentu janin dalam kandungan dianggap mampu berhak bila ia dilahirkan
dalam keadaan hidup”.6 Perhatikan kata ”setiap manusia” dan kata ”wenang”.
Bahkan ada yang membaca syarat kedua Pasal 1320 BW untuk sahnya perjanjian:
ep
k

”kewenangan bertindak”.7 Ada pula yang menyimpulkan bahwa: ”Indikator utama


ah

untuk menentukan kedewasaan secara hukum adalah adanya kewenangan pada


R
seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, tanpa bantuan orang

si
tua ataupun wali”. Perhatikan kata ”kewenangan”—bukan kecakapan—untuk
melakukan perbuatan hukum.8 Demikian pula ada yang membuat pembedaan

ne
ng

menjadi: ”kecakapan secara penuh (cakap dalam arti luas)” dan ”kecakapan terbatas”.
Yang dimaksud dengan ”cakap dalam arti luas” adalah ”kecakapan untuk melakukan

do
gu

segala perbuatan hukum pada umumnya”. Adapun ”wewenang hukum” adalah hak
yang diberikan oleh hukum.9 Sebagai gambaran tidak dibedakannya istilah-istilah
tersebut satu dari yang lain dengan baik, dapat penulis contohkan pada peristiwa
In
A

5 Purwoto S. Gandasubrata, ”Persetujuan Istri/Suami untuk Menjaminkan Harta Bersama dan Batas
Umur Dewasa bagi Seorang Calon Nasabah untuk Membuka Rekening serta Meminjam Uang Kepada
ah

lik

Bank”, Media Notariat, No.10 Tahun IV Januari 1989, hlm. 98.


6 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Ditinjau dari Segi Hukum
Islam, Bandung: Alumni, 1976, hlm. 36, di dalamnya kata ”kecakapan bertindak” dan ”kewenangan
bertindak” dicampuradukkan.
m

ub

7 Indra Ario Nasution, ”Cessie sebagai Salah Satu Bentuk Penggantian Kreditur Ditinjau dari Segi
Hukum”, Media Notariat, No. 2 Tahun 1, Oktober 1999, hlm. 28.
8 Djuhaendah Hasan-Habib Adjie, ”Masalah Kedewasaan dalam Hukum Indonesia”, Media Notariat,
ka

Januari– Maret 2002, hlm. 87.


ep

9 Baca Dokumen Penjelasan Utama hasil penelitian Universitas Indonusa Esa Unggul: ”Kecakapan
dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum Berdasarkan Batasan Umur”, selanjutnya disingkat Hasil
Penelitian Universitas Indonusa Esa Unggul.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 5


M

ng

on

isi1 fot43.indd 5 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
berikut. Dalam suatu perkara, pihak penggugat ternyata tidak membedakan antara

si
kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak sehingga ia mempermasalahkan
apakah suatu perjanjian sah kalau salah satu pihaknya adalah seorang Direktur PT,

ne
ng
yang untuk melakukan tindakan menutup perjanjian yang menjadi pokok perkara,
belum/tidak mendapat persetujuan dari Komisaris PT, sebagaimana disyaratkan
dalam anggaran dasar perseroan? Permasalahan itu ia kemukakan dengan mengacu

do
gu
kepada Pasal 1320 sub 2 BW tentang sahnya perjanjian, yaitu harus ada ”kecakapan
untuk membuat perjanjian”. Bisa diduga, ia tidak tahu membedakan antara syarat
”kecakapan” membuat perjanjian dengan syarat ”kewenangan” untuk menutup

In
A
perjanjian tertentu.10 Pasal 1320 BW tidak mensyaratkan ”kewenangan” membuat
perjanjian. Kalaupun si Direktur tidak wenang mewakili PT yang bersangkutan,
ah

lik
perjanjian itu bisa lahir dan sah dengan pribadi si Direktur—bukan PT-nya—sebagai
pihak.11 Dari pengamatan di atas kiranya kita menyadari bahwa penggunaan dan
pengertian istilah ”kewenangan hukum”, ”kecakapan bertindak”, dan ”kewenangan
am

ub
bertindak” sebagai istilah teknis hukum perlu diseragamkan.

C. Kecakapan Bertindak dan Tindakan Hukum


ep
k

Kecakapan bertindak maupun kewenangan bertindak, keduanya berkaitan dengan


ah

peristiwa melakukan tindakan hukum. Tindakan hukum merupakan peristiwa


R

si
sehari-hari, karena manusia dalam kehidupan bermasyarakat perlu mengadakan
hubungan dengan anggota masyarakat yang lain, dengan melakukan tindakan-

ne
ng

tindakan hukum.
Karena tindakan hukum merupakan tindakan yang sehari-hari dilakukan oleh
manusia—lebih luas persoon—maka bisa dibayangkan betapa penting dan perlunya

do
gu

pengaturan tentang kecakapan dan kewenangan bertindak.


Pasal 1329 BW mengatakan bahwa pada asasnya setiap orang adalah cakap
untuk membuat perjanjian, kecuali undang-undang menentukan lain. Karena
In
A

membuat perjanjian adalah tindakan yang paling umum dilakukan oleh anggota
masyarakat maka dari ketentuan tersebut bisa ditafsirkan bahwa semua orang pada
ah

lik

asasnya cakap untuk bertindak, kecuali undang-undang menentukan lain.12


Namun, terhadap asas kecakapan bertindak ada pengecualiannya. Mereka yang
cakap bertindak adakalanya oleh undang-undang dinyatakan tidak wenang untuk
m

ub

10 Vide Perkara No. 492/Pdt.G/2009/PN. Jakpus.


ka

11 Indra Ario Nasution, loc.cit, unsur syarat kedua sahnya perjanjian (berdasarkan Pasal 1320 BW)
ep

disebutkan: “kewenangan bertindak”, padahal jelas-jelas disebut kecakapan bertindak (vide KUH
Perdata terjemahan Subekti-Tjitrosudibjo).
12 Baca penjelasan mengenai hal ini di bawah nanti.
ah

es

6 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 6 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Yang demikian itu tampak dalam

si
Pasal 1467; Pasal 1468; Pasal 1469; Pasal 1470; Pasal 1678; Pasal 1601i BW. Jadi,
orang-orang tertentu, yang secara umum cakap bertindak, adakalanya oleh undang-

ne
ng
undang dinyatakan tidak wenang untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
Namun demikian, mereka adalah tetap saja orang-orang yang cakap bertindak.
Di pihak lain, undang-undang sendiri dalam beberapa ketentuannya

do
gu
memberikan perkecualian atas batas umur untuk kewenangan melakukan tindakan
hukum tertentu. Untuk tindakan-tindakan hukum tertentu, orang-orang belum
dewasa diberikan kewenangan bertindak. Jadi, kalau di atas dikatakan bahwa

In
A
adakalanya orang-orang tertentu yang cakap bertindak dinyatakan tidak wenang
untuk melakukan tindakan hukum tertentu maka di bawah ini disebutkan yang
ah

lik
sebaliknya, karena kepada mereka yang belum dewasa sebagai perkecualian
diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Perkecualian
itu dalam BW diberikan dalam Pasal 29 BW syarat usia untuk menikah; Pasal 151 BW
am

ub
membuat perjanjian kawin; Pasal 282 BW mengakui anak luar kawin; Pasal 897 BW
membuat wasiat; Pasal 1601g BW menutup perjanjian kerja; Pasal 1798 BW dalam
pemberian perintah/lastgeving. Pengecualian dalam Undang-Undang Perkawinan:
ep
k

Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan: untuk menikah.


ah

Karena pengecualian itu diberikan dengan mengingat akan masing-masing


R
tindakan hukum, atas mana mereka diberikan atau tidak diberikan kewenangan

si
bertindak maka tidak bisa diberikan suatu patokan umum. Batas usia kewenangan
bertindak diberikan oleh undang-undang, untuk tiap tindakan hukum, sendiri-

ne
ng

sendiri, sehingga tidak bisa diberikan suatu patokan umum dan karenanya tidak kita
dibicarakan lebih lanjut di sini.

do
gu

Yang penting untuk diingat adalah, dengan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu—sebagaimana
disebutkan di atas—mereka tidak menjadi cakap bertindak dan tetap tidak cakap
In
A

untuk bertindak, kecuali mereka yang telah menikah (Pasal 330 BW jo Pasal 47 dan
Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan).
Dari uraian di atas kita tahu, betapa istilah kecakapan dan kewenangan bertindak
ah

lik

mempunyai peranan yang sangat penting dalam hukum dan perlu untuk diberikan
batasan yang bisa menjadi patokan bagi kita semua.
m

ub

D. Dasar Kecakapan Bertindak


ka

Hukum berangkat dari asas bahwa manusia di dalam pergaulan hidup bebas untuk
ep

menyelenggarakan atau mengatur kepentingan hidupnya. Karena manusia (atau


lebih luas persoon) mempunyai kewenangan hukum dan—dalam batas-batas yang
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 7


M

ng

on

isi1 fot43.indd 7 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
diberikan undang-undang—bebas untuk mengatur sendiri hidupnya maka ia pada

si
asasnya—dalam penyelenggaraan hidupnya—bebas menggunakan hak-haknya,
terutama hak-hak kekayaannya sesuai dengan yang dikehendaki olehnya. Untuk

ne
ng
itu, persoon dalam hukum perlu diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum pada umumnya, yang disebut kecakapan bertindak. Tindakan Hukum
adalah tindakan-tindakan yang menimbulkan akibat hukum dan akibat hukum itu

do
gu
dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh pihak yang melakukan tindakan hukum
yang bersangkutan.13 Karena akibat hukum dari tindakannya dikehendaki (dan
akibat hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang bersifat menambah

In
A
”dianggap“ dikehendaki) maka dapat dikatakan bahwa tindakan hukum didasarkan
atas kehendak si pelaku, dengan konsekuensi si pelaku harus dapat merumuskan
ah

lik
dan menyatakan kehendaknya dengan benar. Selanjutnya, karena tindakan hukum
bisa—dan adakalanya memang—mempunyai akibat hukum yang sangat besar
dan luas maka pembuat undang-undang merasa perlu memberikan perlindungan
am

ub
kepada mereka-mereka yang belum—atau dianggap belum—dapat merumuskan
kehendaknya dengan benar dan belum—atau dianggap belum dapat—menyadari
dengan benar atau sepenuhnya akibat hukum dari perbuatannya. Jadi, sekalipun
ep
k

setiap manusia mempunyai kewenangan hukum, tetapi demi perlindungan kepada


ah

mereka-mereka sendiri, ada di antara mereka yang oleh undang-undang dianggap


R
belum mampu untuk melaksanakan sendiri hak-haknya. Jadi, ketentuan mengenai

si
kecakapan bertindak yang nanti akan dikemukakan, yang dikaitkan dengan usia
dewasa, bermaksud untuk melindungi si tidak cakap bertindak.

ne
ng

Lain lagi dengan masalah kewenangan bertindak (handelings-bevoegdheid).


Pembuat undang-undang perlu mengatur masalah kewenangan bertindak karena

do
gu

hendak melindungi lawan janji dari pihak yang melakukan tindakan hukum. Karena
lawan janji itu bisa siapa saja maka ketentuan mengenai kewenangan bertindak
hendak melindungi anggota masyarakat pada umumnya, atau dengan perkataan
In
A

lain, melindungi kepentingan dan ketertiban umum.14


Kita di sini melihat bahwa pembatasan kecakapan bertindak yang dikaitkan
dengan usia, bermaksud memberikan perlindungan bagi mereka yang belum
ah

lik

dewasa.
m

ub
ka

13 J. Satrio, op.cit., hlm. 57.


ep

14 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 113; J. Satrio,
Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 29.
ah

es

8 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 8 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
E. Perbedaan dalam Akibatnya

si
Untuk menggambarkan betapa pentingnya membedakan lembaga ”kecakapan
bertindak” dan ”kewenangan bertindak” dapat dikemukakan bahwa akibat dari

ne
ng
ketidakcakapan menutup perjanjian lain sekali dengan akibat dari ketidakwenangan
menutup perjanjian. Akibat dari ketidakcakapan, perjanjian yang bersangkutan

do
dapat dituntut pembatalannya oleh pihak si tidak cakap—baik melalui wakilnya
gu
atau dirinya sendiri sesudah ia menjadi dewasa. Akibat dari ketidakwenangan
bertindak adalah perjanjian itu batal demi hukum.15 Pelanggaran atas ketentuan

In
A
yang menyatakan orang-orang tertentu—yang secara umum cakap bertindak—
tidak wenang menutup perjanjian tertentu, diancam dengan tindakan mereka batal
demi hukum. Sebagaimana disebutkan di atas, perbedaan akibat itu didasarkan
ah

lik
tujuan perlindungan yang berbeda antara keduanya.
Kalau antara kecakapan dan kewenangan bertindak ada perbedaan akibat
am

ub
hukum yang demikian besar, kiranya keduanya patut sekali mendapat perhatian.
Semua orang tentu berkepentingan untuk tahu bahwa tindakannya akan membawa
akibat sebagai yang ia tuju—d.p.l. diakui sebagai tindakan hukum yang sah—di pihak
ep
lain, orang yang mengadakan hubungan dengan orang lain perlu kepastian, bahwa
k

lawan janjinya terikat pada pernyataan/sepakatnya. Pada pokoknya, ketentuan


ah

mengenai kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak merupakan ketentuan


R

si
yang, demi kepastian hukum, sangat penting dalam pergaulan hidup.

ne
F. Usia Dewasa dan Kecakapan Bertindak
ng

Cara pembuat undang-undang melindungi mereka, yang belum dapat merumuskan


kehendaknya dengan benar dan belum dapat menyadari sepenuhnya akibat

do
gu

hukum dari perbuatannya, adalah dengan membedakan antara mereka yang telah
mencapai usia dewasa dan belum, dan selanjutnya mengaitkan usia dewasa dengan
In
kecakapan bertindak.
A

Dalam BW, ”kedewasaan“ dikaitkan dengan sejumlah tahun tertentu. Orang


yang telah mencapai umur genap 21 tahun atau telah menikah sebelum mencapai
ah

lik

usia itu (Pasal 330 BW) dianggap sudah dewasa. Karena kedewasaan dikaitkan
dengan kecakapan melakukan tindakan hukum maka pembuat undang-undang
(BW) berangkat dari anggapan bahwa mereka yang telah mencapai usia genap 21
m

ub

tahun (atau telah menikah) sudah dapat merumuskan kehendaknya dengan benar
dan sudah dapat menyadari akibat hukum dari perbuatannya, dan karenanya sejak
ka

ep

15 Ibid.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 9


M

ng

on

isi1 fot43.indd 9 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
itu mereka cakap untuk bertindak dalam hukum (handelings-bekwaam). Karena

si
”anggapan” tidak selalu sesuai dengan kenyataan maka ketentuan usia dewasa bisa
tidak sesuai dengan realitanya. Bisa saja ada di antara mereka yang sudah berusia

ne
ng
21 tahun, masih tetap belum dapat merumuskan kehendaknya dengan benar
dan belum dapat—secara umum—mengukur akibat hukum dari tindakannya.
Namun demikian, demi kepastian hukum—agar tidak ada keragu-raguan mengenai

do
gu
kecakapan bertindak seseorang—maka ditetapkan saja ukuran 21 tahun. Patokan 21
tahun untuk mengukur ”kedewasaan” di Indonesia dimulai sejak tahun 1905,16 dan
dalam tahun 1917—berdasarkan S. 1917: 378—berlaku bagi golongan Tionghoa.17

In
A
Sebelumnya, batas usia dewasa lebih tinggi lagi.
Hukum Adat mempunyai cara lain untuk menetapkan apakah seseorang telah
ah

lik
dewasa dan cakap untuk bertindak. Biasanya orang dianggap dewasa setelah
menikah atau meninggalkan rumah keluarga—bisa dengan mencar, memasuki
suatu ruangan tersendiri dalam rumah keluarga —dan mulai hidup mandiri. Batas
am

ub
dewasa seringkali diukur menurut keadaan yang ada, bersifat faktual. Usia dewasa
mulai sejak ia bukan lagi bocah (huiskind).18 Di Jawa Barat, ukuran yang dipakai dalam
Hukum Adat adalah apakah orang itu telah ”kuat gawe”, artinya sudah bekerja, sudah
ep
k

bisa mengurus harta bendanya dan keperluan-keperluannya sendiri; sudah bisa


ah

mandiri.19 Ukuran kuat gawe juga dipakai oleh MA dalam keputusannya,20 dan—
R
dalam keputusan tertentu—menyatakan mereka yang sudah berusia 15 tahun

si
dewasa.21 Jadi, untuk menentukan apakah seseorang ”cakap untuk bertindak”, Hukum
Adat tidak memakai ukuran sekian banyak tahun yang telah dilalui seseorang, tetapi

ne
ng

berpatokan pada apa yang secara riil tampak. Kecakapan bertindak dalam hukum
adat ditentukan oleh apakah ia masih bocah atau telah mandiri.22 Dalam masyarakat

do
gu

adat Batak, pada umumnya anak yang sudah berusia 17 atau 18 tahun dianggap
cakap bertindak.23
In
A

16 Rasjim Wiraatmadja, ”Persetujuan Istri/Suami untuk Menjaminkan Harta Bersama dan Batas Umur
Kedewasaan bagi Seorang Calon Nasabah untuk Membuka Rekening serta Meminjam Uang kepada
Bank”, Media Notariat, No. 10 Tahun IV, Januari 1989, hlm. 89.
17 Yang perlu diingat adalah BW hanya berlaku untuk sebagian saja dari penduduk Indonesia, yaitu
ah

lik

golongan Eropa, Timur Asing Tionghoa (S. 1917: 129 jo S. 1924: 557 dengan sedikit perkecualian) dan
Timur Asing lainnya dengan perkecualian dalam hukum keluarga dan pewarisan ab intestaat (S. 1924:
556).
18 B. Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Cetakan Keempat, Jakarta: J.B. Wolters-
m

ub

Groningen, 1950, hlm. 140.


19 Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Terjemahan Nani Soewondo, Cetakan Kedua, Djambatan,
1982, hlm. 22.
ka

20 MA 2 November 1976 No. 601 K/Sip/1976, Dimuat dalam RY MA RI, jilid II, hlm. 24.
ep

21 MA 1 Juni 1955 No. 53 K/Sip/952, dimuat dalam RY MA RI, hlm. 175.


22 Soepomo, loc.cit.
23 R.v.J. Padang 27 Juli 1933, dimuat dalam T. 139: 278, sebagaimana dikutip oleh Hilman Hadikusuma,
ah

es

10 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 10 12/13/2010 9:57:32 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Harus diakui, patokan ”kedewasaan” dalam Hukum Adat—yang diukur secara

si
kualitatif—memang lebih adil, namun demikian kurang memenuhi kepastian
hukum karena tidak mudah bagi kita untuk mengukur apakah seseorang itu sudah

ne
ng
mandiri. BW memakai ukuran kuantitatif (berdasarkan banyaknya tahun) dan lebih
menekankan kepada kepastian hukum.
Karena BW mempunyai ukuran kedewasaan yang berbeda dengan Hukum Adat

do
gu
maka—demi menghindarkan kekeliruan—pembuat undang-undang merasa perlu
memberikan pedoman bagaimana orang menafsirkan ”belum dewasa”, jika suatu
undang-undang, yang berlaku baik bagi mereka yang tunduk pada BW maupun

In
A
Hukum Adat, menggunakan istilah ”belum dewasa” (minderjarigen) di dalamnya. S.
1917: 738 (dalam Terjemahan Subekti-Tjitrosudibjo ditulis S. 1917: 138) mencoba
ah

lik
memberikan petunjuk dengan mengatakan bahwa ukuran dewasa bagi mereka
yang tunduk pada Hukum Adat adalah 21 tahun, tetapi terbatas hanyalah kalau
undang-undang menggunakan istilah ”belum dewasa” (minderjarig), dan karenanya
am

ub
harus ditafsirkan sangat sempit sehingga tidak berlaku jika ”undang-undang” tidak
memakai istilah belum dewasa dalam ketentuannya. Hukum Adat tidak mengaitkan
kecakapan bertindak dengan sekian banyak tahun. Penjelasan dalam S. 1917: 738,24
ep
k

hanyalah untuk penafsiran kalau undang-undang memakai istilah ”minderjarig“,25


ah

Namun, dengan itu tidak mau dikatakan bahwa orang-orang yang tunduk pada
R
Hukum Adat sejak umur 21 tahun—atau telah menikah sebelum usia itu—menjadi

si
cakap untuk bertindak; karenanya secara umum kecakapan bertindak harus diukur
menurut Hukum Adat. Terhadap hukum adat ketentuan itu tidak punya pengaruh

ne
ng

apa-apa.
Sejalan dengan ketentuan S. 1924: 557, bagi Golongan Timur Asing bukan

do
gu

Tionghoa berlaku hukum keluarga kelompok itu sendiri-sendiri sehingga


memungkinkan adanya batas usia dewasa yang berbeda-beda.
Jadi, jika Pemerintah Kolonial saja sudah melihat potensi adanya kekacauan
In
A

dalam urusan umur dewasa, apalagi sekarang, di mana lalu lintas hukum berjalan
lebih intens.
Dengan latar belakang perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas,
ah

lik

dan dengan berlakunya bermacam-macam sistem hukum keluarga untuk beberapa


golongan penduduk, memang memungkinkan adanya keputusan pengadilan
m

ub

tentang usia dewasa yang berbeda-beda.


ka

Hukum Adat dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, Pewarisan, Bandung: Citra
ep

Aditya Bakti, 1993, hlm. 12.


24 Dalam KUH Perdata terjemahan Subekti-Tjitrosudibjo ditulis S. 1917: 138.
25 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: W. Van Hoeve, 1953, hlm. 20.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 11


M

ng

on

isi1 fot43.indd 11 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Demi kepastian hukum, kiranya kita memang perlu mempunyai patokan

si
yang seragam mengenai usia dewasa. Di sini tampak sekali betapa patokan umur
dewasa memegang peranan yang sangat penting dalam hukum. Mari kita coba lihat

ne
ng
bagaimana pendapat Pengadilan mengenai hal ini.

do
gu
G. Pendirian Pengadilan
Pengadilan tidak konsisten dengan patokan umur dewasa. Ada yang berpegang

In
kepada ukuran 21 tahun: PN Jakarta Pusat No. 1138/Pdt.P/1987 PN.JKT.PST ttgl.
A
22-12-1987; MA No. 59 K/AG/2007, ttgl. 6 Juni 2007; Pengadilan Agama Malang No.
482/Pdt.G/2008/PA.Mlg, ttgl. 22 Mei 2008; Pengadilan Agama Wonosari No. 0432/
ah

lik
Pdt.G/2008/PA.Wno, ttgl. 5-8-2008; MA No. 95 K/AG/2009, ttgl. 17-04-2009; MA No.
294 K/AG/2009, ttgl. 16-06-2009, dan ada yang bisa disimpulkan berpegang pada
patokan umur dewasa 21 tahun, seperti PT Palembang, disimpulkan dari kpts. No.
am

ub
41/1975 PT Perdata. Di dalam keputusan-keputusan lain Pengadilan berpegang
kepada umur 18 tahun, seperti PN Jakarta Utara No. 1530/Pdt/1987/PN. Jakut, ttgl.
ep
5-11-1987 dan dari keputusan lain, bisa disimpulkan bahwa Pengadilan berpegang
k

kepada usia dewasa 18 tahun, yaitu MA No. 477/K/Sip/1976 ttgl. 13 Oktober 1976.26
ah

Yang lebih menarik perhatian lagi adalah adanya keputusan Pengadilan Agama yang
R

si
memakai ukuran dewasa 21 tahun seperti tersebut di atas.

H. Undang-Undang Perkawinan

ne
ng

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sepertinya di Indonesia tidak ada satu
ketentuan umum yang mengatur tentang usia dewasa. Adanya keputusan-keputusan

do
gu

Pengadilan yang tidak seragam mengenai masalah usia dewasa tidak memberikan
kepastian hukum bagi anggota masyarakat. Di sini tampak akan kebutuhan suatu
ketentuan umum umur dewasa, yang berlaku untuk semua golongan penduduk
In
A

Indonesia. Keragu-raguan mengenai kepastian usia dewasa—paling tidak sebelum


keluarnya UUJN No. 30 tahun 2004—mengakibatkan Notaris mengambil sikap aman
ah

lik

dengan mengambil patokan usia dewasa—untuk semua transaksi—21 tahun.27


m

ub

26 Masih banyak lagi keputusan Pengadilan, yang disebutkan dalam Hasil Penelitian Universitas Indonusa
Esa Unggul, yang menggambarkan pendirian Pengadilan yang tidak seragam mengenai masalah usia
ka

dewasa.
ep

27 Rasjim Wiraatmadja, op.cit., hlm. 80.


ah

es

12 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 12 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Apakah kita tidak mempunyai patokan umum tentang usia dewasa dan dengan

si
itu sebagai patokan mengenai kecakapan bertindak?
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan—yang biasa

ne
ng
disebut UU Perkawinan—yang sekalipun berjudul Undang-Undang tentang
Perkawinan, tetapi di dalamnya sebenarnya diatur hukum keluarga, dan sekalipun
tidak secara tegas-tegas mengatur ”umur dewasa”, tetapi ada ketentuan, dari

do
gu
mana bisa disimpulkan batas umur dewasa menurut Undang-Undang Perkawinan.
Dari Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan bisa disimpulkan bahwa
Undang-Undang Perkawinan berpegang pada patokan umur dewasa 18 tahun.

In
A
Kalau undang-undang menetapkan kewenangan orang tua dan wali untuk mewakili
anak belum dewasa, berakhir pada saat anak mencapai usia 18 tahun (atau setelah
ah

lik
menikah sebelumnya; Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan) maka tidak logis kalau
UU Perkawinan mempunyai patokan usia dewasa lain daripada 18 tahun. Karena
kekuasaan orang tua dan perwalian—sebagaimana akan dikemukakan di bawah—
am

ub
berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak maka dengan demikian, menurut
Undang-Undang Perkawinan orang yang sudah mencapai umur genap 18 tahun
telah dewasa, dengan konsekuensinya telah cakap untuk bertindak dalam hukum.
ep
k

Yang penting untuk menjadi perhatian kita adalah Undang-Undang Perkawinan


ah

merupakan undang-undang yang relatif baru, bersifat nasional,28 dan diundangkan


R
jauh di belakang BW. Perhatikan sifat ”nasional” dari UU Perkawinan.

si
Undang-Undang Perkawinan—sebagai undang-undang yang relatif baru dan
bersifat nasional—kiranya bisa kita pakai sebagai patokan—dan dengan berpatokan

ne
ng

pada asas lex postiori derogat lex priori—maka dapat kita katakan bahwa kita telah
mempunyai patokan umum untuk menetapkan usia dewasa, yaitu 18 tahun29

do
gu

sehingga semua ketentuan lain yang mengatur usia dewasa—yang diundangkan


sebelum Undang Undang Perkawinan—tidak berlaku lagi.30
Berbicara mengenai kecakapan bertindak dan kedewasaan, tidak bisa tidak
In
A

akan membawa kita kepada masalah perwakilan bagi mereka yang tidak cakap
bertindak.
ah

lik
m

ub

28 Baca bagian menimbang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa sesuai dengan falsafah
Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-Undang Perkawinan
ka

yang berlaku bagi semua warga negara.


ep

29 Subekti, op.cit., hlm. 21.


30 Purwoto Gandasubrata, loc.cit.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 13


M

ng

on

isi1 fot43.indd 13 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
I. Lembaga Perwakilan

si
Bagi mereka yang tidak cakap bertindak, undang-undang memberikan lembaga
perwakilan, dengan mana kebutuhan para tidak cakap untuk melakukan tindakan

ne
ng
hukum dipenuhi. Kepada para tidak cakap, undang-undang menunjuk siapa yang
wajib untuk mewakili si tidak cakap dalam melakukan tindakan hukum. Mereka

do
adalah orang tua (Pasal 307 jo 310 BW, Pasal 47 UU Perkawinan), wali (Pasal 383 BW,
gu
Pasal 50 UU Perkawinan), atau kurator (Pasal 446 jo 452 BW).
Sejalan dengan asas perlindungan kepada si tidak cakap maka dalam hal untuk

In
A
tindakan hukum tertentu, si belum dewasa dinyatakan wenang bertindak, tetapi
masih membutuhkan persetujuan dari orang lain atau harus diwakili oleh pihak yang
wenang mewakilinya maka kepada si belum dewasa tidak bisa diberikan persetujuan
ah

lik
umum atau kuasa umum, yang meliputi semua tindakan, karena dengan cara begitu
fungsi perlindungan menjadi tidak jalan.
am

ub
Pasal 1329 BW merumuskan:
”Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh
ep
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.”
k
ah

Kata ”perikatan” dalam Pasal 1329 BW seharusnya dibaca ”perjanjian” karena


R

si
perikatan tidak dibuat, tetapi muncul dengan sendirinya dari perjanjian atau
undang-undang. Perhatikan kata ”perjanjian” dalam pasal berikutnya. Selanjutnya

ne
ng

dalam Pasal 1330 BW dikatakan bahwa:

”Tak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

do
gu

1. orang-orang belum dewasa;


2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang,
In
A

pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang


membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”
ah

lik

Ketentuan mengenai ”orang-orang perempuan” dalam hal yang ditentukan


oleh undang-undang mengacu kepada sistem BW, di mana pada asasnya orang
m

ub

perempuan yang bersuami dinyatakan tidak cakap bertindak dalam hukum, kecuali
dengan kuasa (machtiging) atau bantuan (bijstand) dari suami (Pasal 105 dan Pasal
ka

108 BW). Prinsip seperti ini sekarang sudah ketinggalan zaman. Apalagi dengan
ep

adanya Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan—dan dengan mendasarkan kepada


ah

es

14 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 14 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
asas lex postiori derogat lex priori, sekarang sistem ini sudah tidak berlaku lagi.

si
Sekarang sudah umum diterima bahwa istri cakap bertindak dalam hukum.
Dengan demikian—berdasarkan Pasal 1330 BW—orang-orang yang belum

ne
ng
dewasa tidak bisa menutup perjanjian secara sah (Pasal 1330 BW). Dengan mengacu
kepada Pasal 1329 jo Pasal 1330 BW dapat dikatakan bahwa menurut BW, pada
asasnya semua orang adalah cakap untuk menutup perjanjian, dan karenanya

do
gu
ketidakcakapan merupakan perkecualian, dan perkecualian itu ditentukan oleh
undang-undang.
Karena—sebagaimana disebutkan di atas—tindakan hukum yang berupa

In
A
menutup perjanjian adalah tindakan yang paling umum dan paling sering dilakukan
manusia dalam pergaulan hidup, dan dalam BW tidak ada ketentuan umum
ah

lik
yang mengatur kecakapan bertindak maka—dengan melalui abstraksi—dapat
disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 1329 BW juga berlaku untuk tindakan hukum.
Dengan demikian, bisa kita rumuskan ketentuan sebagai berikut: pada asasnya
am

ub
semua orang adalah cakap untuk melakukan tindakan hukum, kecuali mereka yang
belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
Mengingat bahwa kewenangan mewakili anak belum dewasa diberikan
ep
k

kepada orang tua atau wali sampai anak itu mencapai umur dewasa, dan kekuasaan
ah

orang tua dan perwalian—menurut UU Perkawinan—berakhir pada saat anak


R
yang bersangkutan mencapai umur 18 tahun (atau telah menikah) maka dapat

si
disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan batas usia dewasa adalah
18 tahun (atau telah menikah), dan sejak usia itu semua orang adalah cakap untuk

ne
ng

bertindak dalam hukum, kecuali undang-undang, untuk tindakan hukum tertentu,


menyatakan mereka tidak wenang bertindak.

do
gu

J. Konsekuensi Ketidakcakapan
In
A

Karena anak belum dewasa (dan kurandus) tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum, dan dalam tindakan hukumnya ia harus diwakili oleh orang tua atau wali
ah

lik

(atau oleh kuratornya) maka semua tindakan hukum yang dilakukan oleh si tidak
cakap adalah tidak sah. Bahkan kalau tindakan si tidak cakap itu secara tegas-tegas
ataupun secara diam-diam disetujui oleh orang yang seharusnya mewakili tindakan
m

ub

yang bersangkutan, tetap saja tindakan itu tidak sah. Tidak sah di sini bukan dalam
arti tindakan itu batal demi hukum, tetapi dapat dituntut pembatalannya oleh pihak
ka

si belum dewasa (bisa orang tua atau walinya atau oleh yang bersangkutan sendiri
ep

sesudah mereka menjadi dewasa).


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 15


M

ng

on

isi1 fot43.indd 15 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
K. Permasalahan dalam Praktik

si
Apakah setiap kali seorang anak yang belum dewasa mengadakan hubungan
hukum dengan pihak ketiga, hubungan hukum itu, atas tuntutan dari pihak si anak

ne
ng
belum dewasa, selalu bisa dituntut pembatalannya (baik melalui wakilnya maupun
atas tuntutan si anak itu sendiri, sesudah ia menjadi dewasa)?

do
Kalau kita baca Pasal 1331 BW, pada asasnya memang perjanjian yang
gu
ditutup oleh si belum dewasa bisa dituntut pembatalannya. Jadi, hanya atas
dasar ketidakdewasaan si anak saja perjanjian yang telah ditutup bisa dituntut

In
A
pembatalannya. Perhatikan dengan baik, dalam Pasal 1331 BW tidak disyaratkan
bahwa lawan janji tahu atau sepatutnya tahu bahwa ia berhadapan dengan anak
belum dewasa atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan (Pasal 446 BW). Untuk
ah

lik
menuntut pembatalan perjanjian, pihak si belum dewasa cukup mengemukakan
alasan bahwa ia belum dewasa. Sesuatu yang bersifat negatif (seperti keadaan
am

ub
belum dewasa) tidak bisa dibuktikan,31 dan karenanya menjadi beban lawan janji si
belum dewasa untuk membuktikan bahwa ia sudah dewasa.
Perhatikan kata-kata ”bisa dituntut pembatalannya” dalam kalimat di atas dan
ep
”atas tuntutan si belum dewasa” dalam Pasal 1331 ayat 2 BW, yang mengajarkan
k

kepada kita bahwa perjanjian yang ditutup oleh si belum dewasa tidak absolut
ah

batal, tetapi hanya batal kalau dituntut pembatalannya oleh pihak si belum dewasa.
R

si
Perhatikan kata ”pihak” si belum dewasa, yang tidak harus “oleh“ si belum dewasa
sendiri. Di atas telah dikatakan bahwa kalau pembuat undang-undang hendak

ne
ng

melindungi si tidak cakap terhadap kerugian sebagai akibat dari tindakannya sendiri
maka pembuat undang-undang menyatakan tindakan si tidak cakap bisa dituntut
pembatalannya.32 Jadi, hanya relatif batal. Dengan demikian, mereka yang belum

do
gu

dewasa bukannya tidak bisa menutup perjanjian, tetapi tidak bisa menutup perjanjian
“yang sah”, yang sah di sini dalam arti tidak bisa dituntut pembatalannya secara
sepihak (Pasal 1338 ayat 2 BW).33
In
A

Kita bisa mengerti bahwa semua orang, yang tidak cakap bertindak, perlu
mendapatkan perlindungan terhadap kemungkinan kerugian sebagai akibat
ah

lik

dari tindakannya sendiri. Namun, apakah perlindungan itu harus diberikan tanpa
pembatasan?
Apakah pendapat, yang memberikan kewenangan bagi pihak si tidak cakap
m

ub

untuk menuntut pembatalan dalam semua keadaan, seperti itu adil? (”dalam semua
ka

31 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 114.
ep

32 J. Satrio, op.cit., hlm. 18.


33 Catatan: dalam doktrin kata ”batal demi hukum” dalam Pasal 446 B.W ditafsirkan dapat dituntut
ah

pembatalannya.
R

es

16 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 16 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
keadaan” di sini maksudnya hanya atas dasar kebelumdewasaan). Bagaimana

si
kalau si tidak cakap bertindak sendiri menutup perjanjian dengan pihak ketiga,
dengan sepengetahuan dan kehadiran orang yang wenang untuk mewakilinya

ne
ng
dalam tindakan hukumnya, apakah tindakan si tidak cakap juga boleh dituntut
pembatalannya? Kalau kita konsekuen dengan prinsip yang telah dikemukakan
di atas maka memang berdasarkan Pasal 1331 dan Pasal 1446 BW perjanjian

do
gu
itu bisa dituntut pembatalannya oleh pihak si tidak cakap34 dan memang yang
boleh menuntut pembatalan hanyalah pihak si tidak cakap (Pasal 1331 BW). Cara
perlindungan kepada mereka yang belum ”kuat gawe” dalam Hukum Adat juga

In
A
mirip dengan BW, karena hanya pihak yang belum ”dewasa” (onmondige) yang dapat
mengemukakan kebelumdewasaannya sebagai alasan cacatnya perjanjian yang
ah

lik
telah ditutup; tuntutan pihak lain atas dasar itu tidak bisa diterima.35
Padahal karena si belum dewasa tidak cakap bertindak sendiri maka suatu
perjanjian yang telah ditutup oleh si tidak cakap tidak bisa dikuatkan atau disetujui
am

ub
oleh orang yang berhak mewakilinya dalam tindakan itu. Prinsipnya, persetujuan
atau kuasa dari si wakil tidak bisa menghapus ketidakcakapan si belum dewasa.
Apakah prinsip yang demikian itu, terhadap lawan janji si tidak cakap, memenuhi
ep
k

asas kepatutan?
ah

Kalau kita berpegang kepada apa yang disebutkan di atas maka sekalipun
R
tindakan hukum si tidak cakap sama sekali tidak merugikan dirinya, tetap saja

si
pihak si tidak cakap berhak untuk menuntut pembatalan. Bukankah yang perlu
dikemukakan oleh si tidak cakap hanyalah bahwa ia belum dewasa? Apakah di

ne
ng

sini tidak telah ada perlindungan yang melampaui kebutuhan? Bukankah di atas
dikatakan bahwa prinsip perlindungan kepada si tidak cakap didasarkan pada

do
gu

perlindungan terhadap kemungkinan ”kerugian” yang timbul dari tindakan si tidak


cakap sendiri? Apakah lawan janji si tidak cakap tidak sepatutnya juga mendapat
perlindungan dalam hukum? Apakah perlindungan kepada si tidak cakap pantas
In
A

untuk diberikan dengan sama sekali mengorbankan kepentingan pihak ketiga, yang
dengan itikad baik, mengadakan hubungan hukum dengan si tidak cakap? Buku III
BW di Negeri Belanda sendiri dalam beberapa hal dianggap sudah tidak sesuai lagi
ah

lik

dengan tuntutan zaman.36 Lebih dari apa yang dikemukakan di atas, pihak si tidak
cakap dapat menunda tuntutan pembatalan perjanjian yang telah ditutup olehnya
m

ub

selama 5 tahun sejak si belum dewasa menjadi dewasa (Pasal 1454 BW). Jadi, selama
ka

34 Herlien Budiono, op.cit., hlm.112.


ep

35 PN. Pati 17-12-1960 No. 79/1960/Pdt; PT Semarang 24-2-195 No. 4/1965/Pdt/PT Smg; MA 30-11-
1965 No. 302 K/Sip/1965.
36 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: W. Van Hoeve, 1953, hlm. 10.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 17


M

ng

on

isi1 fot43.indd 17 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
paling sedikit 5 tahun, lawan janji si tidak cakap harus berada dalam keadaan tidak

si
pasti, dengan risiko perjanjian yang telah ditutup akan dituntut pembatalannya,
sesudah—mungkin sekali—si tidak cakap menikmati prestasi dari lawan janjinya.

ne
ng
Kalau dipakai ukuran dewasa 21 tahun dan perjanjian telah ditutup oleh si belum
dewasa pada saat ia berumur 16 tahun maka si belum dewasa mempunyai waktu
untuk menetapkan sikapnya—membatalkan atau membiarkan perjanjian—selama

do
gu
10 tahun. Bagaimana kalau penundaan itu dilakukan dengan itikad buruk?
Kiranya patut untuk dipikirkan pemberian pembatasan atas hak tuntut
pembatalan dari pihak si tidak cakap, misalnya dengan kewajiban untuk membuktikan

In
A
bahwa tindakannya telah merugikan dirinya, atau memberikan kesempatan kepada
lawan janji si tidak cakap, untuk membuktikan si tidak cakap mendapat manfaat
ah

lik
atau keuntungan dari perjanjian itu. Sebab, kalau perjanjian yang ditutup oleh si
tidak cakap dibatalkan maka berlakulah Pasal 1265 BW, para pihak dikembalikan
kepada keadaan sebelum ada perjanjian, dengan konsekuensinya, apa yang telah
am

ub
dibayarkan menjadi pembayaran yang tidak terutang (Pasal 1359 BW), sedang
prestasi yang belum diserahkan tidak perlu diberikan lagi.
Dalam permasalahan pembayaran yang tidak terutang maka kita perlu ingat
ep
k

Pasal 1360 jo Pasal 1363 BW, yang pada asasnya mengatakan bahwa ia—i.c. si
ah

belum dewasa—yang telah menerima prestasi dari lawan janjinya, yang dengan
R
dibatalkannya perjanjian, ternyata tidak terutang, harus mengembalikan sebesar

si
ia menjadi lebih kaya. Dasar kewajiban mengembalikan apa yang tidak terutang
adalah adanya penambahan kekayaan tanpa dasar yang dibenarkan.37 Jadi, lawan

ne
ng

janji si tidak cakap harus mulai dengan gugatan agar si tidak cakap melalui wakilnya
mengembalikan prestasi yang telanjur diterima (Pasal 1451 BW) dan sekaligus mohon

do
gu

kepada Hakim untuk menentukan seberapa banyak si tidak cakap telah diuntungkan
dari pelaksanaan perjanjian yang telah dibatalkan itu (Pasal 1363 BW), sebab itulah
yang bisa dituntut kembali olehnya. Tuntutan ini baru bisa membuahkan hasil kalau
In
A

prestasi lawan janji telah menambah kekayaan si tidak cakap. Kalau prestasi lawan
janjinya telah telanjur—dengan itikad baik—dihibahkan kepada pihak ketiga maka
lawan janji si tidak cakap boleh gigit jari (Pasal 1363 ayat 2 BW). Bukankah yang harus
ah

lik

dikembalikan adalah jumlah sebesar mana si tidak cakap menjadi bertambah kaya?
Bukankah dengan hibah itu, si tidak cakap tidak mendapatkan keuntungan apa-apa?
m

ub

Apakah dengan prinsip hukum seperti itu, tidak membuka kesempatan bagi pihak
si belum dewasa untuk sengaja—jadi dengan itikad buruk—menutup perjanjian,
ka

ep

37 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 86–87.
ah

es

18 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 18 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dan setelah itu prestasi yang diterimanya dihibahkan kepada saudaranya, dan

si
kemudian menuntut pembatalan perjanjian, yang cukup semata-mata atas dasar
kebelumdewasaannya? Prestasi yang telah dibayarkan ia tuntut kembali. Bagaimana

ne
ng
dengan prestasinya sendiri? Bukankah ia tidak menjadi lebih kaya karena prestasinya
telah dihibahkan kepada pihak ketiga, dan karenanya tidak perlu mengembalikan
apa-apa?

do
gu
Bagaimana kalau prestasi yang telah diberikan tidak bisa dikembalikan dalam
keadaan semula? Bagaimana kalau prestasi lawan janjinya adalah jasa dalam bidang

In
kedokteran, dalam bentuk advis pada konsultan? Bukankah prestasi seperti itu tidak
A
bisa dikembalikan?
Yang perlu sekali mendapat perhatian kita adalah seiring dengan perkembangan
ah

lik
zaman, anak-anak muda sekarang sudah lebih awal turut serta dalam lalu lintas
hukum daripada zaman dahulu sehingga permasalahan yang disebutkan di atas
am

bisa menjadi lebih sering muncul dari semula.

ub
Memajukan usia dewasa menjadi 18 tahun bisa turut mengurangi masa
ketidakpastian dari lawan janji si belum dewasa.
ep
k
ah

L. Masih Berpegang pada 21 Tahun


R

si
Sekarang kiranya kita perlu untuk mencari tahu, siapa—di luar Pengadilan—yang
masih berpegang pada usia dewasa 21 tahun?

ne
ng

Sejauh penulis tahu, di luar Pengadilan, salah satu—kalau tidak satu-satunya


lembaga— yang untuk mengukur kecakapan bertindak masih berpegang teguh

do
pada ukuran dewasa 21 tahun adalah Badan Pertanahan Nasional—selanjutnya
gu

disingkat BPN—sebagaimana tampak dari Surat No. Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13


Juli 1977,38 yang mengatakan bahwa bagi golongan penduduk yang tunduk pada
In
A

hukum Eropa (mestinya: yang tunduk pada BW) dan golongan penduduk Cina
(mestinya Timur Asing Tionghoa ) dan Timur asing bukan Cina, umur dewasa—
dengan mengacu kepada S. 1924: 556 dan S. 1924: 557—adalah 21 tahun. Untuk
ah

lik

orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat dikatakan: ”…apabila seorang Notaris
atau PPAT mempergunakan batas umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa maka hal itu
m

ub

dapat diterima sebagai benar”. Bahkan untuk bertindak sebagai saksi, BPN dengan
tegas mensyaratkan usia 21 tahun atau telah menikah—dengan mendasarkan
ka

ep

38 Dimuat dalam Himpunan Peraturan Perundangan Pendaftaran Tanah, yang dikeluarkan Badan
Pertanahan Nasional.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 19


M

ng

on

isi1 fot43.indd 19 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
kepada Pasal 330 BW, S. 1931: 54—tanpa memandang apakah saksi adalah orang

si
yang tunduk pada Hukum Adat atau BW.39
BPN yang melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria, yang ketentuannya

ne
ng
mestinya dimaksudkan untuk berlaku nasional,40 dan dalam Pasal 5 mengatakan
bahwa Undang-Undang Pokok Agraria mendasarkan kepada Hukum Adat, ternyata
memakai patokan yang berbeda-beda untuk menetapkan kecakapan bertindak,

do
gu
dan tidak secara konsekuen berpegang kepada ukuran dewasa hukum adat (bagi
golongan pribumi) dan malahan memakai ukuran ”banyaknya tahun” (umur
tertentu). Bahwa demi kepastian hukum dipakai ukuran banyaknya tahun bisa

In
A
diterima, namun ukuran tahun itu—kalau kita konsekuen dengan Hukum Adat
sebagai dasar—mestinya harus mendekati ukuran yang dipakai oleh hukum adat.
ah

lik
Ukuran 21 tahun dan 19 tahun atau 20 tahun terlalu jauh dari ukuran hukum adat,
baik menurut doktrin maupun keputusan-keputusan Pengadilan. Apalagi sekarang
ada kecenderungan dalam perundang-undangan modern untuk menurunkan batas
am

ub
umur dewasa. Yang pasti, ukuran itu tidak sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh
UU Perkawinan, yang dimaksudkan untuk berlaku secara nasional.
ep
k

M. Permasalahan yang Dihadapi


ah

Ada beberapa permasalahan yang sering dihadapi, di antaranya adalah sebagai


R

si
berikut.
1. Pengertian dan penggunaan istilah ”kewenangan hukum”, ”kecakapan bertindak”,

ne
ng

dan ”kewenangan bertindak” dalam praktik belum seragam. Bagaimana upaya


kita untuk menyeragamkannya?
2. Dalam hukum, kecakapan bertindak dikaitkan dengan umur dewasa sehingga

do
gu

ketentuan batas ”umur dewasa” dalam hukum mempunyai peranan yang


sangat penting. Apakah kita punya patokan umur dewasa yang berlaku secara
nasional?
In
A

3. Ketentuan umur dewasa yang ada memang memberikan perlindungan kepada


si belum dewasa, tetapi apa patut diberikan dengan pengorbanan kepentingan
ah

lik

lawan janjinya yang sangat besar?


m

ub
ka

39 Pedoman Pengisian Akta Jual Beli, Hibah, Pemisahan dan Pembagian, dimuat dalam Himpunan
ep

Peraturan Perundangan Badan Pertanahan Nasional, Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah
jilid 2, diterbitkan oleh BPN, Jakarta 1999.
40 Baca bagian berpendapat di bawah bagian menimbang pada Undang-Undang Pokok Agraria.
ah

es

20 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 20 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
N. Ukuran Dewasa yang Diusulkan

si
Kalau seperti disebutkan di atas, umur dewasa dalam BW dikaitkan dengan
kemampuan orang untuk merumuskan kehendaknya dengan baik dan kesadaran

ne
ng
atas akibat dari tindakannya maka BW berangkat dari pikiran bahwa orang yang
sudah berusia 21 tahun adalah orang-orang yang—secara umum—sudah bisa

do
merumuskan kehendaknya dengan benar dan sudah menyadari sepenuhnya akibat
gu
dari tindakannya. Kalau, sebagai disebutkan di atas, batas umur dewasa—21 tahun—
dalam BW Indonesia secara umum dimulai sejak tahun 1905,41 sedangkan untuk

In
A
golongan Timur Asing Tionghoa dimulai sejak tahun 1917 maka mari kita, secara
umum, coba bandingkan tingkat kemampuan berpikir anak-anak yang berusia 21
tahun di sekitar tahun 1917-an dengan anak-anak zaman sekarang yang berusia 18
ah

lik
tahun.
Pada tahun 1917-an sekolah masih sangat terbatas. Kalaupun ada, sekolah-
am

ub
sekolah pada saat itu hanya terbuka untuk golongan Eropa dan mungkin beberapa
anak dari Pejabat dan bangsawan pribumi. Bisa diperkirakan bahwa bagian terbesar
dari penduduk Indonesia (dulu masih disebut Nederlands Indie) masih buta huruf.
ep
Pada waktu itu, radio hanya dimiliki oleh pejabat dan orang-orang yang benar-benar
k

kaya, apalagi telepon. Koran hanya dibaca oleh sedikit anggota masyarakat yang
ah

tinggal di kota-kota. Alat komunikasi masih sangat terbatas. Bandingkan dengan


R

si
anak sekarang yang berusia 18 tahun, yang—dengan wajib belajar—sudah lulus
SMP, yang dengan masuknya koran, radio, tv, dan ponsel ke desa-desa, kiranya

ne
ng

tingkat pengetahuan dan tingkat kesadaran akan akibat dari tindakan-tindakannya


jauh di atas anak-anak yang berusia 21 tahun di tahun 1917-an. Anak SD sekarang
sudah diberi pelajaran menggunakan komputer.

do
gu

Jadi, ketentuan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan—dari


ketentuan mana kita menyimpulkan, bahwa UU Perkawinan berpegang kepada
patokan pada usia dewasa 18 tahun—adalah ketentuan yang sangat patut.
In
A

Untuk sekadar perbandingan, berapa secara umum ukuran umur dewasa di


negara lain di masa sekarang? Beberapa negara memakai patokan umur dewasa
ah

lik

18 tahun, seperti Belanda (Pasal 233 BW Belanda), Amerika Serikat.42 Kita sendiri
memakai ukuran 18 tahun karena Undang-Undang Perkawinan, yang dimaksudkan
untuk berlaku secara nasional—sebagaimana disebutkan di atas—telah memberikan
m

ub

pegangan kepada kita untuk memakai ukuran 18 tahun sebagai patokan umum umur
ka

ep

41 Rasjim Wiraatmadja, loc.cit.


42 Kenneth W. Clarkson et.al., West Bussiness Law, Text Cases, Legal, Ethical, International, and
E-Commerce Environment, Cetakan kedelapan, West Legal Studies in Bussiness, 2001.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 21


M

ng

on

isi1 fot43.indd 21 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dewasa. Apalagi Undang-Undang Jabatan Notaris—yang relatif baru—dalam Pasal

si
39 juga menetapkan bahwa orang yang telah berusia 18 tahun dapat menghadap
pada Notaris untuk pembuatan akta otentik. Beberapa penulis juga menyetujui

ne
ng
ukuran dewasa 18 tahun.43

O. Kesimpulan

do
gu
1. Perlu sekali adanya keseragaman istilah dan pengertian ”kewenangan hukum”,
”kecakapan bertindak”, dan ”kewenangan bertindak”.

In
2. Dalam hubungannya dengan kecakapan bertindak, yang dikaitkan dengan umur
A
dewasa, kita telah mempunyai patokan usia dewasa yang berlaku bagi semua
anggota masyarakat dalam UU Perkawinan.
ah

lik
3. Ukuran dewasa 18 tahun adalah ukuran yang pantas.
4. Kewenangan pihak si belum dewasa untuk menuntut pembatalan perjanjian
yang telah ditutupnya, harus dibatasi sampai sejauh si belum dewasa mendapat
am

ub
rugi atau tidak mendapat manfaat daripada perjanjian itu. ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep

43 Purwoto Gandasubrata, loc.cit., bahkan mengatakan: ”…batas umur kedewasaan adalah 21 tahun
tidak dapat dipertahankan lagi”; Djuhaendah Hasan-Habib Adie, loc.cit.; Syaidus Syahar, loc.cit.;
bahkan Subekti.
ah

es

22 Dokumen Penjelas
M

ng

on

isi1 fot43.indd 22 12/13/2010 9:57:33 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
PERSPEKTIF INTERNASIONAL

si
LEGAL CAPACITY AND LEGAL

ne
ng
COMPETENCY IN DUTCH LAW

do
gu
Prof. dr. Alex Geert Castermans, Leiden University

In
A
ah

lik
Table of contents

Ages in law
The concepts of minor, legal capacity and legal competence
am

ub
Capacity for certain acts
Capacity to enter into specific relationships: employment and health care
Alternatives: general or specific emancipation
Consequences of an act by a minor without approval of its legal representatives
ep
Non-contractual liability
k

Capacity in court
ah

si
A. Ages in Law

ne
ng

1. As in every system of law, the Dutch law provides for the protection of young
persons that are supposed to be unable to exercise their rights personally. Ac-
cording to Grotius maturity was supposed to be achieved at the age of 25. In

do
gu

1792 the French introduced the age of 21, as did the Germans in 1875. The
Dutch followed gradually, from 23 in 1838 to 21 in 1901. Since 1988, the line
In
between minors and adults is drawn at 18.
A

2. Unmistakably the chosen age of maturity has something to do with an average


person’s intellectual and emotional development, as with its ability to live and
ah

lik

work on its own and manage its affairs.44 Nevertheless, the question at what age
a young person is able to take into account and maintain its interest in any legal
action taken, hardly has been addressed in modern times. Generally speaking it
m

ub

was felt necessary to grant young people more independence.45 But setting the
ka

ep

44 Compare the remarks on Customary and Sharia Law; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to
act (Base on Age Limit), par. B.
45 M.L.C.C. de Bruijn-Luckers, EVRM, minderjarigheid en ouderlijk gezag, diss. Leiden 1994, p. 64.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 23


M

ng

on

isi3 fot70.indd 23 12/13/2010 9:21:34 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
age at 18, more attention was paid to the question who was to be responsible

si
for the costs of living than to the question whether 18 was the proper age.46 Ap-
parently it is considered more important to provide for a hard and fast rule–with

ne
ng
a view to legal certainty–than to work with a standard that could vary from case
to case.
3. As will be shown, the law does not only refer to the age of 18 alone. In cases of

do
gu
non-contractual liability, minors of 14 may be held responsible. Employment-
agreements and health-care agreements may be concluded without approval
of a legal representative at the age of 16. In specific cases doctors may treat

In
A
minor patients of 12, even without approval of their parents or custodians. Ap-
parently these different age limits do not cause many problems, for the number
ah

lik
of cases in which the age is involved, is very small.
4. Furthermore, applying a standard that in principle regards an 18 year old person
as capable to perform legal acts, does not mean that there is only one medicine
am

ub
to treat all patients.47 As will be shown in 3.4, the standard allows to recognize
the special abilities of a minor.
5. In the Netherlands, there is an ongoing debate on the question whether minors
ep
k

should have access to court independently. Obviously minors have material


ah

rights and they are entitled to protection by law. Yet, in principle minors do not
R
have access to court without the aid of their legal representatives. The idea is

si
not only that not all minors are capable to decide for themselves properly in this
respect, due to their mental or emotional abilities it is also argued that family-

ne
ng

affairs should be discussed outside court, with a view to the fundamental rights
and freedoms of the members of the family involved, like the right privacy.48

do
gu

6. More debate is going on in the field of penal law. Juvenile penal law is written
for 12 to 18 year old minors. Studies of a forensic psychiatric nature show that
18 years as age limit in penal law is highly questionable. Recently, Prof. dr Theo
In
A

Doreleijers, argued that children under 16 always should always be treated by


youth welfare work and that a special penal law for persons between 16 and 23
years is to be preferred. The reason is that several brain functions—responsible
ah

lik

for controlling emotions–are fully developed not earlier than at 20. Furthermore,
treating youngsters under penal law has proven to be counterproductive.49
m

ub

46 Asser-De Boer I*, Personen- en familierecht, Deventer: Kluwer 2010, nr. 787.
ka

47 Compare the remarks on Customary and Sharia Law; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to
ep

act (Base on Age Limit), par. D-4 in fine.


48 Asser-De Boer I*, Personen- en familierecht, Deventer: Kluwer 2010, nr. 791.
49 Prof.dr. T.A.H. Doreleijers, Te oud voor het servet, te jong voor het tafellaken, Oratie Leiden 2009.
ah

es

24 Perspektif Internasional
M

ng

on

isi3 fot70.indd 24 12/13/2010 9:21:34 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
B. The Concepts of Minor, Legal Capacity and

si
Legal Competence
1. Minors are persons under 18, unless they are married or explicitly have been

ne
ng
declared to be of age (art. 1:233 DCC). The age of 18 has been applicable since
1988.
The rule is in line with the definition of ‘child’ in art. 1 of the UN Convention on

do
gu
the Rights of the Child (1990): for the purposes of this Convention, a child means
every human being below the age of eighteen years unless under the law ap-
plicable to the child, majority is attained earlier. However, the Convention is not

In
A
specifically written with an eye on private law matters.
The Committee of Ministers of the Council of Europe advised to use the 18-
ah

years-criterium (resolution 72/29), which is relevant for the enforcement of the

lik
European Convention of Human Rights.
2. In principle, one has to be 18 years old to be allowed to marry (art. 1:31 par. 1
am

ub
DCC).50 Marrying at a younger age is considered undesirable. There are excep-
tions. In case of pregnancy a minor of 16 or 17 is allowed to marry; the same
counts for the situation the minor gave birth to a child already (art. 1:31 par. 2
ep
DCC). Furthermore, upon request of a minor the Minister of Justice may allow
k

minors to marry, for considerable reasons (art. 1:31 par. 3 DCC). Mere mental
ah

abilities do not suffice; the partners must have lived together for a long time
R

si
and will apparently continue to do so. The approval of the legal representatives
is mandatory, as long as the bride or groom is a minor (art. 1:35 DCC).51

ne
3. Dutch law principally distinguishes handelingsbekwaamheid (legal capacity)
ng

from handelingsbevoegdheid (legal competence).


According to art. 3:32 par. 1 DCC every natural person has the capacity to per-

do
form juridical acts, to the extent that the law does not provide otherwise. Capac-
gu

ity is a technical legal term; it does not reflect a person’s real capacities.
The law provides otherwise for minors (art. 1:234) and for persons under legal
In
restraint (art. 1:381 DCC). Such ‘incapable’ persons have a legal representative
A

(parent, guardian, curator) to serve their interests.


ah

lik
m

ub

50 Before 1985 a boy had to be 18, a girl 16 years old; according to the French Code Civil a girl had to be
15, which the Dutch government of 1838 considered too young, because girls in the Dutch climate zone
ka

were supposed to develop at a slower pace than in France (Asser-De Boer I*, Personen- en familierecht,
ep

Deventer: Kluwer 2010, nr. 117.


51 In the same sense: the articles 6 and 7 of the Indonesian Marriage Law; Ade Maman Suherman, Capac-
ity and authority to act (Base on Age Limit), par. D-6.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 25


M

ng

on

isi3 fot70.indd 25 12/13/2010 9:21:34 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
This structural incapacity has to be distinguished from a specific disqualifica-

si
tion. Certain persons are disqualified to be a party to certain juridical acts; for
instance a judge cannot acquire property in respect of which a procedure is

ne
ng
pending before his court (art. 3:43 par. 1 sub a DCC). Such disqualifications serve
public interests (e.g. integrity). 52

C. Capacity for Certain Acts

do
gu
1. According to art. 1:234 par. 1 DCC a minor has the legal capacity to act. However,
the capacity is subject to approval of its legal representatives. The approval has

In
A
to be given for a certain act or for a certain goal (art. 1:123 par. 2 DC).
This also counts for acts performed in the field of electronic information and
transactions. The law concerning those transactions is integrated in the gen-
ah

lik
eral civil code; thus the rules on capacity are to be applied on contracts con-
cerned.53
2. The approval implies a legal act by the legal representatives. If a minor con-
am

ub
cluded a contract without the approval of its legal representatives, but the other
party trusted that the legal representatives in fact approved of the contract, the
other party may be protected against the consequences of a missing approval.
ep
k

Protection is offered by art. 3:35 DCC, under the condition that the reliance on
ah

an approval is real and justifiable. Usually this means that in one way or the oth-
R
er the legal representatives themselves gave the impression that the approved

si
of the contract.54 If so, the legal representatives are considered to approve. Con-
sequently the minor had the capacity to act.

ne
ng

3. Previously, an additional condition applied. According to ar. 1:234 par. 2 DCC the
minor should have come to the age of discretion and had to act with ‘oordeel
des onderscheids’, i.e. with the power of judgment. This condition no longer ap-

do
gu

plies. The approval of the legal representatives should suffice.


4. Although the law offers a hard and fast rule–minors have the capacity, subject
to approval of its legal representatives–the law recognizes that becoming of age
In
A

is an evolving process. The older the child, the more it is supposed to be able to
act on its own behalf, without the explicit guidance of its legal representatives.
ah

lik

Therefore the law provides for a system by which the outcome will differ gradu-
ally: legal representatives are assumed to approve of an act by their child, if mi-
m

ub

52 This is in line with Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Base on Age Limit), par.
A-5.
ka

53 According to Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Base on Age Limit), par. B in fine,
the Electronic Information and Transaction Law does not include a specific age limit; still the general
ep

rules on capacity will apply; see par. D-5.


54 E.g. in Hoge Raad 22 Mei 1981, NJ 1982, 122 a positive sign of the legal representatives was absent.
ah

es

26 Perspektif Internasional
M

ng

on

isi3 fot70.indd 26 12/13/2010 9:21:35 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
nors of the same age usually perform such an act independently (art. 1:234 par.

si
3 DCC). E.g., a 15 years old student, buying paper and pencils for school, usually
will act on its own. The same student buying a car should raise doubts. Without

ne
ng
approval of its parents, the seller should not be surprised if the parents will turn
to him to invoke the annullability of the contract.
In practice, courts consider relevant the fact a minor enjoys income and the le-

do
gu
gal representatives leave the income at the disposal of the minor. If it is reason-
ably diverted to normal daily expenses–like the lease of an apartment–art. 1:234
par. 3 applies.55

In
A
3.5 Thus, the use of a specific age limit is not incompatible with a system in which
physical features and social maturity are used as indicators for determining
whether or not a person has the capacity to act.56
ah

lik
3.6 The law provides for several exceptions on the rule that a minor needs the ap-
proval of its legal representative to act:
a 16 or 17 years old minor is able to make a last will (art. 4:55 par. 1 BW)57;
am

ub
minors are able to act as an authorized agent (art. 3:63 par. 1 BW).

Furthermore minors are able to enter into specific relationships: the employment-
ep
k

agreement and the health-care agreement (par. 3).


ah

D. Capacity to Enter Into Specific Relationships:


R

si
Employment and Health Care
1. A minor of 16 or 17 has the capacity to enter into an employment-agreement.

ne
ng

According to art. 7:612 par. 1 DCC a minor is equal to an adult with regard to all
aspects of the agreement.58
2. In case a minor of 15 or younger has concluded an employment-agreement,

do
gu

and it subsequently has worked for four weeks under the contract without the
minor’s legal representatives invoking the annullability of the contract, the legal
representatives are deemed to have approved of the contract. According to art.
In
A

7:612 par. 3 DCC the minor is equal to an adult with regard to all aspects of the
employment-agreement.
ah

lik

3. Formerly, according to the DCC, the wages had to be paid to the legal represen-
tatives upon their request. Nowadays, such a rule is considered to be inconsis-
tent with family law. Therefore it is deleted.59
m

ub

55 Hoge Raad 23 Januari 1987, NJ 1987, 913.


ka

56 Compare Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Base on Age Limit), par. A-2 and C.
ep

57 See Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Base on Age Limit), par. D-8.
58 See Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Base on Age Limit), par. D-7.
59 Parliamentary papers II, 1992/93, 23012, nr. 3, p. 42-43.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 27


M

ng

on

isi3 fot70.indd 27 12/13/2010 9:21:35 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. Agreements in the sphere of health care–between minors and e.g. doctors–are

si
subject to detailed regulation. A minor of 16 or 17 has the capacity to enter into
such an agreement as well as agreements closely connected (art. 7:447 par. 1

ne
ng
DCC). Minors younger than 16 are considered incapable.
5. Yet, in principle a doctor is allowed to treat a patient only if the patient itself
gave its consent, based upon clear information given by the doctor (art. 7:450

do
gu
par. 1 DCC). This also counts for minor patients younger than 16. Still, its legal
representatives have to approve of the treatment.
6. With regard to patients younger than 16 and older than 12, a doctor is allowed

In
A
to treat a patient without the approval of its legal representatives, if necessary
with a view to the interests and well considered wishes of the minor patient (art.
ah

7:450 par. 2 DCC).

lik
7. With a view to minors older than 11 that are considered not capable of evaluat-
ing its own interest reasonably, a doctor shall perform his duties–like the duty to
am

ub
inform and to obtain consent before the treatment starts–vis a vis the parents or
custodians (art. 7:465 par. 2). Thus, the doctor has to evaluate whether his minor
patient is able to understand its present condition and the information and to
ep
k

weigh its interests. If the parents or custodians are out of reach, the doctor may
proceed, to prevent severe harm to the patient (art. 7:466 par. 1 DCC).
ah

si
E. Alternatives: General of Specific Emancipation
1. According to art. 1:253ha DCC, a minor mother, having reached the age of 16

ne
ng

and being invested with the parental authority, may request the juvenile court
to declare her of age (i.e.: to make her a major), provided that she actually raises

do
her child and takes care of it (art. 1:253ha DCC).
gu

2. Less sweeping is the possibility to ask the district court to declare a 16 or 17 year
old minor of age with a view to certain acts (handlichting, art. 1:235 DCC). The
In
legal representatives need to approve of this form of emancipation.
A

A17 years old girl asked for emancipation, after she left her parent in order to
live with her boyfriend. Her parents objected to this and froze the study-account.
ah

lik

The girl asked the emancipation in order to dispose of the study-account again.
The case learned that when the approval is withheld unreasonably, the court
may grant the request nevertheless.60
m

ub

Emancipation is important for minors working as a farmer, a shop-owner


or as a dee-jay: a young entrepreneur must be able to perform professionally.
ka

ep

60 Hoge Raad 13 maart 1987, NJ 1988, 190; at the time of hearings at the district-court the girl was almost
19 years old.
ah

es

28 Perspektif Internasional
M

ng

on

isi3 fot70.indd 28 12/13/2010 9:21:35 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
However, this form of emancipation will not be granted if it’s aimed at disposing

si
of registered properties, mortgages or securities.
3. The Minister of Justice may allow 16 or 17 year old minors to marry (art. 1:31 par.

ne
ng
3 BW. The dispensation will be refused, if the request was made solely with the
purpose of emancipation and thus gaining full legal capacity.61

F. Consequences of an Act by a Minor Without

do
gu
Approval of Its Legal Representatives
1. An act performed by a minor without approval of its legal representatives is

In
A
subject to nullification (art. 3:32 par. 2 DCC). The consequences of nullification
have been discussed with professor Jaap Hijma, last June. This is a summary.
2. Annullability or voidability is the proper sanction, because the interests of only
ah

lik
one of the parties–the minor–need to be protected. An annullability does not
operate automatically, but only strikes if it is activated by the minor or its legal
am

ub
representatives. After annulment the contract is considered null, with retroac-
tive effect to the time it was concluded (art. 3:53 DCC).
However, if the minor has performed a unilateral act which is not directed to
ep
a specific person (e.g. making a last will or receiving an inheritance) the act is
k

considered null and void from the beginning, without the minor or its legal rep-
ah

resentatives having to activate the nullity.


R
3. As long as the ground for annulment is not invoked by the protected party, the

si
contract is perfectly valid and binding.
4. Its annullability puts the fate of the contract into the hands of the minor and its

ne
ng

legal representatives. The contract’s future is insecure.


This insecurity comes to an end in case of prescription. According to art. 3:52 par.
1 DCC, the prescription period for actions to annul a juridical act is three years,

do
gu

that is to say: three years after the ground for incapacity ended or three years
after the legal representative learned about the annullable act. Afterwards, the
annulment ground may still be invoked at law as a defense against a claim by
In
A

the other party (art. 3:51 par. 2 DCC).


Every power to invoke a ground for annulment lapses when the legal represen-
ah

lik

tatives confirm the contract (art. 3:55 par. 1 DCC). This power also lapses when
the other party has given notice to the legal representatives, requiring them
within a reasonable period to choose between confirmation and annulment,
m

ub

and that legal representatives have made no choice within that period (art. 3:55
par. 2 DCC). By giving such a notice, the other party forces the legal representa-
ka

tives to make up their mind.


ep

61 Parliamentary Papers I, 16 247, nr. 42b, p. 2.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 29


M

ng

on

isi3 fot70.indd 29 12/13/2010 9:21:35 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
5. When a contract is annulled, the annulment has retroactive effect to the time

si
the contract was concluded (art. 3:53 par. 1 DCC). When a performance was de-
livered, in retrospect this performance lacked a legal basis: the performing party

ne
ng
is entitled to demand restitution because of undue performance (art. 6:203 ff
DCC). When property was transferred, in retrospect the property never left the
seller (art. 3:84 par. 1 DCC).

do
gu
G. Non-contractual Liability
1. Minors under the age of 14 cannot be held liable for damages on the ground of

In
A
an unlawful act, an onrechtmatige daad (art. 6:164 DCC). Instead, their parents
(the persons with parental authority) or custodians can be held liable, irrespec-
tive of their own behavior, provided that the child would have been liable for
ah

lik
its active62 behavior if it would have been an adult (art. 6:169 par. 1 DCC).63 This
is the law since 1992.64 Previously minors under 14 could be held liable, if the
minor knew how to act and was able to perform accordingly. 65
am

ub
2. Minors of 14 and older can be held liable for damages.
3. When a 14 or 15 years old minor is liable, its parents or custodians are liable
too, unless they cannot be blamed for not preventing the child’s act (art. 6:169
ep
k

par. 2 DCC). The scope of this liability is subject to an evaluation of the specific
ah

circumstances of the case: the age, capabilities and character of the child, the
R
living conditions of the family, the daily routine. Although it is up to the parents

si
and custodians to convince the court that they are not responsible for not pre-
venting the act, it is considered to be a fairly easy task, because it is generally

ne
ng

accepted that parents and custodians do not have to keep an eye on 14 or 15


years old children all day long.66
4. Parents and custodians are not responsible for the acts of 16 and 17 years old

do
gu

minors.67
In
A

62 A child’s mere failure to act is not sufficient for liability of the parents; Hoge Raad 22 November 1974,
NJ 1975, 149.
ah

lik

63 Thus, the test requires to abstract from the child’s age; Hoge Raad 12 November 2004, NJ 2005, 138.
64 Under Dutch law it would not have been necessary to assess whether the 12 years old child in case m
was a minor; it simply could not be held; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Based
on Age Limit), on tort cases.
m

ub

65 Hoge Raad 9 December 1966, NJ 1967, 69.


66 Under Dutch law case j and l would only have led to responsibility of the parent, if the parent should
have prevented the act of its child; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Based on Age
ka

Limit), on tort cases.


ep

67 Under Dutch law cases e, f and k would not have led to responsibility of another person than Defendant
I; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Based on Age Limit), on compensation and tort
cases.
ah

es

30 Perspektif Internasional
M

ng

on

isi3 fot70.indd 30 12/13/2010 9:21:35 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
H. Capacity in Courts

si
1. According to art. 12 par. 2 of the UN Convention of the Rights of the Child, the
child shall be provided the opportunity to be heard in any judicial and adminis-

ne
ng
trative proceedings affecting the child, either directly, or through a representa-
tive or an appropriate body, in a manner consistent with the procedural rules of
national law.

do
gu
2. According to art. 1:245 par. 4 and 1:253i DCC a minor has no independent role in
court. It has to be represented by its legal representatives. Yet, according to art.
809 Civil Procedure Act, a court is obliged to hear a minor of 12 years or older,

In
A
every time it has to decide on its interests.
3. The law provides for a number of exceptions, e.g. example the request for dis-
ah

pensation in order to marry before reaching the age of 18 (art. 1:31 par. 2 DCC)

lik
or the request for emancipation (art. 1:235 par. 4 DCC; art. 1:253ha DCC).
4. With regard to the employment-agreement a minor of 16 or 17 is able to appear
am

ub
in court without the aid of its legal representative (art. 7:612 par. 1 DCC). A minor
of 15 or younger cannot appear in court without the aid of its legal representa-
tive (art. 7:612 par. 4 DCC).
ep
5. With regard to the health care-agreement a minor of 16 or 17 is able to appear in
k

court without the aid of its legal representative (art. 7: 447 par. 3 DCC). Although
ah

the minor will be personally liable for all costs of the procedure, it is considered
R
that ultimately the persons with parental authority have to supply the neces-

si
sary financial means, even though they did not approve of the agreement.68
6. A special curator may be appointed, to protect a minor’s interests in the court

ne
ng

(art. 1:250 DCC). This is important in cases where the care for a minor or its edu-
cation or property is involved. The special curator may represent a minor inside

do
and outside court, even against the legal representatives. In cases of urgency,
gu

courts allow minor to proceed, even when a special curator should have been
appointed.69
In
Article 1:250 DCC is to be applied in real conflicts between a minor and its par-
A

ents or custodians. General disputes on the education of a minor should be


dealt with outside court.70
ah

lik

ub

68 Parliamentary papers II 1999/2000, 21 561, nr. 6, p. 11.


ka

69 M.L.C.C. de Bruijn-Luckers, ‘Minderjarigen als volwaardige procespartij?!’, in: Meesterlijk groot voor
ep

de kleintjes: opstellen aangeboden aan professor mr. J. E. Doek ter gelegenheid van zijn emeritaat,
Alphen aan den Rijn: Kluwer 2004, p. 108.
70 Hoge Raad 4 Februari 2005, NJ 2005, 422.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 31


M

ng

on

isi3 fot70.indd 31 12/13/2010 9:21:35 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on

isi3 fot70.indd 32 12/13/2010 9:21:35 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
LAPORAN PENELITIAN

si
UNIVERSITAS ESA UNGGUL

ne
ng
KECAKAPAN DAN KEWENANGAN
BERTINDAK DALAM HUKUM

do
gu
BERDASARKAN BATASAN UMUR

In
MENURUT LITERATUR
A
ah

lik
A. Penelitian Literatur
am

ub
Dalam rangka penelitian literatur, dikumpulkan buku-buku dan jurnal, baik secara
elektronik maupun cetak, tesis, disertasi, dan berbagai karya ilmiah lain dari berbagai
sumber. Tesis dan disertasi penelitian yang dikumpulkan berasal dari tujuh universitas
ep
k

di Indonesia, yaitu Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas


Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga,
ah

dan Universitas Sebelas Maret.


R

si
Melalui penelitian literatur kami menemukan hal utama terkait dengan

ne
ng

pengertian kecakapan maupun kewenangan yang masing-masing memiliki


kualifikasi berbeda sebagai berikut.

do
1. Terhadap kecakapan:
gu

a) apa saja syarat kecakapan dalam hukum perdata;


b) apa saja yang menyebabkan seseorang dianggap tidak cakap untuk
In
A

bertindak dalam hukum?

2. Terhadap kewenangan:
ah

lik

a) wewenang apa saja yang dimiliki subjek hukum sebagai pribadi kodrati;
b) apa saja faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki kewenangan untuk
m

ub

melakukan perbuatan hukum?


ka

Pengelompokan di atas untuk menemukan permasalahan di antara kecakapan


ep

dan kewenangan, yang dalam lingkup hukum perdata terkadang masih tumpang-
tindih dalam hal penggunaan istilah maupun pengertian secara operasional.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 33


M

ng

on

isi4.indd 33 12/13/2010 10:00:15 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Selanjutnya, setelah mengetahui permasalahan dalam kecakapan dan

si
kewenangan maka dibuatkan pengelompokan berdasarkan akibat hukum dari hal-
hal sebagai berikut.

ne
ng
1. Bagaimana akibat hukum dari suatu perbuatan yang dibuat oleh seseorang
yang tidak cakap akibat belum dewasa (tinjauan hukum perkawinan,

do
gu
ketenagakerjaan, perikatan, dan perusahaan)?

2. Bagaimana akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak

In
A
memiliki kewenangan akibat syarat umurnya tidak terpenuhi?
ah

lik
1. Istilah Berdasarkan Literatur
Dalam hubungannya dengan kecakapan dan kewenangan, terkait dengan batasan
umur, di dalam literatur ditemukan istilah-istilah yang secara yuridis operasional
am

ub
sering dipergunakan.

a. Istilah Kecakapan
ep
k

Dari penelusuran literatur yang ada, secara eksplisit tidak disebutkan definisi dari
ah

kecakapan. Menurut Pasal 2 BW, manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban
R

si
dalam hukum sejak lahir sampai meninggal. Tetapi undang-undang menentukan
tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaam)

ne
ng

untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya.


Cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan
diri seseorang. Ter Haar dalam Djojodigoeno melihat kecakapan atau Volwassen

do
gu

adalah suatu kondisi sudah kawin dan hidup terpisah dari orang tuanya. Subekti
menulis orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah
In
A

cakap menurut hukum. Cakap menurut Subekti diartikan mengerti akan sesuatu
yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya.
Dengan kata lain, sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu
ah

lik

mempertanggungjawabkannya.
J. Satrio menulis kecakapan melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata,
m

ub

dapat disimpulkan bahwa pada asasnya yang dapat melakukan tindakan hukum
secara sah dengan akibat hukum yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa.
ka

Masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum, tidak harus sesuai dengan


ep

kenyataan atau dengan kata lain, ketidakcakapan di sini adalah ketidakcakapan


yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan (jurisische onbekwaamheid atau
ah

es

34 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi4.indd 34 12/13/2010 10:00:15 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
veronderstelde onbekwaamheid), bukan ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai

si
dengan kenyataan yang ada).

ne
ng
b. Istilah Kewenangan
Terhadap istilah kewenangan, dalam literatur ditemukan dalam masalah
perkawinan. Sebagaimana ditulis oleh Henry Lee A. Weng dalam disertasinya

do
gu
yang berjudul ”Beberapa Segi Hukum dalam Perkawinan (Some Legal Aspect
of Marriage Contract)” dikatakan bahwa ”Bilamana perkawinan tersebut telah
dilangsungkan meskipun dengan kondisi umur dikategorikan belum dewasa

In
A
maka berlaku ketentuan Pasal 330 BW yang berbunyi: ”Yang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka
ah

lik
genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali berstatus belum
dewasa”. Konsekuensinya, orang tersebut dianggap telah dewasa sebab orang
am

dewasa tidak memerlukan izin untuk membuat perjanjian. Namun, apabila

ub
perbuatan atau tindakan itu merupakan perbuatan hukum di dalam bidang
hukum kekayaan (vermogensrecht), hukum perjanjian, dan tindakan hukum di
dalam dan di luar pengadilan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat 1 dan
ep
k

ayat 2 UU Perkawinan, yaitu orang itu baru dianggap mampu untuk melakukan
ah

tindakan hukum apabila ia telah mencapai genap umur 18 tahun tanpa bantuan
R
dan perwakilan orang tuanya.”

si
Selanjutnya, dalam buku Hukum Administrasi Negara yang ditulis oleh
Ridwan H.R. dijelaskan bahwa ada perbedaan antara kewenangan (authority,

ne
ng

gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid). Kewenangan adalah


kekuasaan terhadap segolongan orang­-orang tertentu ataupun kekuasaan
terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan tertentu yang

do
gu

bulat seperti urusan-urusan pemerintahan. Wewenang hanya sesuatu bagian


tertentu saja, misalnya membuat akta jual-beli atas tanah dalam kedudukannya
sebagai PPAT Sementara. Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas
In
A

legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur) maka
berdasarkan prinsip ini, ”tersirat bahwa wewenang pemerintah berasal dari
ah

lik

peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah


adalah peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, dari literatur yang
ditemukan dapat diartikan bahwa istilah kewenangan adalah:
m

ub

1) hak yang diberikan kepada seseorang yang belum mencapai umur dewasa
menurut undang-undang;
ka

2) kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu ataupun kekuasaan


ep

terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan tertentu yang


bulat, seperti urusan­-urusan pemerintahan.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 35


M

ng

on

isi4.indd 35 12/13/2010 10:00:15 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Terhadap pengertian di atas, J.H.A. Logeman dan G.J. Resink menyatakan bahwa

si
pada umumnya setiap manusia mempunyai kewenangan hukum. Hukum perdata
positif kita memberikan kepada manusia wewenang hukum yang lengkap, sementara

ne
ng
kepada badan hukum suatu wewenang yang terbatas pada hukum kekayaan dan
hukum acara. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti
mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya tersebut. Sekalipun

do
gu
setiap orang pada umumnya mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan
orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak dan kewajiban.

In
A
c. Istilah Anak
Terhadap definisi anak terkait dengan batasan umur, ditemukan banyak literatur
ah

yang memberi batasan umur anak yang berbeda-beda. Dalam hal ini dapat ditelusuri

lik
berdasarkan fase-fase perkembangan anak yang menunjukkan kemampuan atau
kecakapan seorang anak untuk bertindak. Hal ini juga mengakibatkan adanya
am

ub
penafsiran yang mengartikan definisi operasional istilah-istilah anak dan belum
dewasa secara campur aduk. Dengan demikian, ukuran atau batas umurnya juga
berbeda-beda.
ep
Terkait dengan penggunaan kata ”anak” maka dapat dilihat dari pengertian
k

konsepsional yang ada dalam literatur. Menurut landraad Hoetanopan dan


ah

R.v.J Padang, anak laki-laki yang berumur 17–18 tahun menurut hukum adat
R

si
Batak, pada umumnya sudah wenang bertindak (handelingsbevoegd), bahkan
Padang pernah memutuskan bahwa umur kedewasaan anak laki-laki adalah

ne
ng

15–16 tahun. Berdasarkan uraian di atas, yang dikatakan belum dewasa adalah
mereka yang belum menikah, belum kuat gawe, dan belum dapat mengurus
kepentingannya sendiri.

do
gu

Sementara dalam Pasal 2 BW menyatakan bahwa anak yang ada dalam


kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan
si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak
In
A

pernah ada. Penafsiran atas pasal ini, anak sebagai subjek hukum memiliki
kewenangan, sepanjang kepentingan anak menghendaki.
ah

lik

Di samping undang-undang juga telah menentukan bahwa walaupun tidak


memenuhi syarat-syarat di atas, seseorang dianggap cakap dan berwenang
melakukan perbuatan hukum tertentu.
m

ub

Kecakapan berbuat (handelings bekwaamheid) dan kewenangan bertindak


menurut hukum ini (recht bevoegdheid) adalah dibenarkan dalam ketentuan
ka

undang-undang itu sendiri, yaitu ”Seorang anak yang belum dewasa (belum
ep

mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan seluruh perbuatan hukum apabila


telah berumur 20 tahun dan telah mendapat surat pernyataan Dewasa (venia
ah

es

36 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi4.indd 36 12/13/2010 10:00:15 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
aetatis) yang diberikan oleh Presiden, setelah mendengar nasihat Mahkamah

si
Agung (Pasal 419 dan 420 KUH Perdata)”.

ne
ng
d. Istilah Dewasa
Terhadap kata dewasa, di dalam literatur dijumpai banyak definisi yang berasal
dari pengertian belum dewasa dalam Pasal 330 BW. Namun, yang menarik adalah

do
gu
adanya perbandingan kedewasaan dalam BW dengan makna dewasa dalam Hukum
Islam maupun hukum adat. Hal ini diperlukan mengingat Hukum Perdata kita
pada kenyataannya masih menggunakan sistem pluralisme. Bahkan, hal ini dapat

In
A
dibuktikan bahwa masalah kedewasaan dalam Putusan Hakim masih ada yang
menggunakan pertimbangan hukum adat. Dari penelusuran literatur diperoleh
ah

tahapan batasan umur dengan pendekatan psikologis yang kemudian dikaitkan

lik
dengan batasan umur kecakapan hukum, dimulai dari dewasa awal, dewasa
pertengahan hingga dewasa akhir, namun pada umumnya batasan umur seorang
am

ub
anak telah dianggap mampu dan bertanggung jawab pada umur 18 tahun. Dari
berbagai bahan literatur, belum secara eksplisit dapat ditegaskan bahwa makna
belum dewasa sama dengan anak terkait dengan batasan umur.
ep
k

Dari data yang diperoleh, ternyata terhadap istilah-istilah di atas, dalam literatur
lebih banyak mengutip istilah-istilah yang berasal dari peraturan secara umum
ah

daripada istilah yang bersumber dari doktrin.


R

si
ne
2. Istilah Berdasarkan Peraturan
ng

Mengingat adanya beberapa perbedaan penetapan batasan umur dalam peraturan


perundang-undangan yang berlaku maka dilakukan pengelompokan berdasarkan

do
gu

kualifikasi batasan umur terhadap kecakapan dan kewenangan bertindak untuk


mencari:
a. istilah dalam pengaturan batasan umur;
In
A

b. batasan umur dari berbagai peraturan perundang-undangan;


c. periodesasi peraturan perundang-undangan dan memberikan tanggapan
ah

atas tren pengaturan umur.


lik

Dari istilah yang diperoleh, memang terdapat istilah yang sering muncul dan
m

ub

digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara bervariasi/beragam,


antara lain kata-kata ”kebelumdewasaan”, ”belum dewasa”, ”belum cukup umur”, dan
ka

anak”. Istilah ”dewasa” atau ”belum dewasa” digunakan dalam beberapa peraturan
ep

di bawah undang-undang, sementara dalam undang-undang sama sekali tidak


ditemukan istilah ”dewasa” maupun ”kebelumdewasaan”.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 37


M

ng

on

isi4.indd 37 12/13/2010 10:00:15 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Perkembangan pengaturan batasan umur secara kronologis dapat

si
memperlihatkan adanya tren batasan umur di beberapa perundang-undangan
dalam bidang tenaga kerja, perkawinan, dan jabatan notaris. Periodesasi dimulai

ne
ng
dari peraturan perundang-undangan zaman kolonial yang menggunakan produk-
produk hukum buatan Negeri Belanda, seperti Burgelijk Wetboek, Notarisch Wet,
maupun buatan pemerintahan Hindia Belanda, seperti Ordonansi masalah batas

do
gu
umur dewasa L.N. 31 Januari 1931, Ordonansi tentang kebapakan dan keturunan
anak-anak 21 Desember 1917. LN. 1917 -138.

In
A
3. Istilah dalam Putusan
Di dalam Putusan Pengadilan Negeri, Tinggi maupun Mahkamah Agung terdapat
ah

penggunaan istilah yang beragam dan penafsiran terhadap istilah yang juga

lik
berbeda­-beda. Hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa pengelompokan terhadap
putusan dan penetapan yang memberi kualifikasi berikut ini.
am

ub
a. Berdasarkan istilah
b. Berdasarkan batas umur ep
Salah satunya dapat dilihat pada beberapa contoh berikut.
k
ah

a. Pada Put No. 118/PDT.G/1990/PN.TDO Jis PT Put No. 84/PDT/1992/PT MDO


Jis MA Put No. 441/K/Pdt/1994, di mana majelis hakim berpandangan bahwa
R

si
anak tergugat I dan II belum dewasa dalam artian belum mencapai 21 tahun atau
belum pernah kawin, mengenai hal mana, Pengadilan menunjuk ketentuan di

ne
ng

dalam ordonansi 31 Januari 1931 (LN 1931 No. 54) jo pasal 330 KUH Perdata.
b. Pada PN Put No. 12/pdt/G/1991/PN-SIGI Jis PT Put No. 7/PDT/1992/PT – Aceh
Jis MA Put No. 2574 K/Pdt/1992, majelis hakim mempertimbangkan bahwa

do
gu

tergugat III selaku ayah dari tergugat I (belum bekerja dan masih berumur
20 Tahun) bertanggung jawab terhadap anaknya yang masih merupakan
tanggungan tergugat III, tanpa menyebutkan dasar hukumnya, baik untuk
In
menentukan di bawah umur, maupun tanggung jawabnya.
A

c. Pada PN Put No. 14/PDT.G/1992/PN.Kb.Mn Jis PT Put No. 423/PDT/1993/PT


SBY Jis MA Put No. 262K/PDT/1994, majelis hakim menilai bahwa orang tua
ah

lik

mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan dengan mendasarkan pasal 47 (2) UU No 1/1974.
d. Pada Putusan PN Put No. 73/PDT.G/1992/BWI, tergugat I melakukan hubungan
m

ub

suami istri di luar perkawinan dengan anak penggugat yang belum berumur
15 tahun sehingga karenanya tergugat I telah dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana. Mengingat tergugat I masih berumur 20 tahun dalam arti belum
ka

dewasa maka tergugat II berdasarkan pasal 1367 BW bertanggung jawab atas


ep

kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat I.


ah

es

38 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi4.indd 38 12/13/2010 10:00:15 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
B. Hasil Penelitian Berdasarkan Literatur

si
1. Hasil Penelusuran Literatur

ne
a. Tentang Kecakapan

ng
1) Pengertian Kecakapan dalam Literatur
Dari penelusuran literatur yang ada, secara eksplisit tidak disebutkan definisi

do
gu
dari ”kecakapan”. Menurut Pasal 2 BW, manusia menjadi pendukung hak dan
kewajiban dalam hukum sejak lahir sampai meninggal. Tetapi undang-undang
menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah

In
A
cakap (bekwaam) untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya.
Cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan
ah

lik
keadaan diri seseorang.

Ter Haar dalam Djojodigoeno


am

ub
Ter Haar dalam Djojodigoeno melihat kecakapan atau Volwassen adalah suatu kondisi
sudah kawin dan hidup terpisah dari orang tuanya. Subekti menulis orang yang membuat
suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah
ep
k

dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
ah

Subekti
R

si
Menurut Subekti, cakap adalah mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui

ne
dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Dengan kata lain, sudah dapat mengendalikan
ng

apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggungjawabkannya.

do
J. Satrio
gu

J. Satrio menulis kecakapan melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata, dikaitkan
dengan unsur kedewasaan dan hal itu secara tidak langsung ada kaitannya dengan
In
A

unsur umur, akan tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam BW, antara lain Pasal
307 jo Pasal 308, Pasal 383 BW, maupun Pasal 47 dan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974
ah

tentang Perkawinan, Pasal 1330 dan Pasal 1446 BW, orang bisa menyimpulkan bahwa
lik

pada asasnya yang dapat melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum
yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa. Secara singkat, kecakapan bertindak
m

ub

bergantung dari kedewasaan yang dibatasi umur. Namun demikian, ada faktor lain,
seperti status menikah, yang bisa mempengaruhi kecakapan seseorang.
ka

Karena kecakapan bertindak dikaitkan dengan faktor umur, dan faktor umur ini
ep

didasarkan atas anggapan bahwa orang di bawah umur tertentu belum dapat menyadari
sepenuhnya akibat dari perbuatannya maka dapat disimpulkan bahwa masalah
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 39


M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 39 12/13/2010 9:23:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
ketidakcakapan bertindak di dalam hukum tidak harus sesuai dengan kenyataan. Dengan

si
kata lain, ketidakcakapan di sini adalah ketidakcakapan yuridis atau ketidakcakapan
yang dipersangkakan (jurisische onbekwaamheid atau veronderstelde onbekwaamheid),

ne
ng
bukan ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai dengan kenyataan yang ada).

Subekti71

do

gu
Subekti menulis, cakap menurut hukum: ”pada asasnya, setiap orang yang sudah
dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.”

In
A
S. Chandra
S.Chandra menulis, kecakapan bertindak dalam hukum (rechtbekwaam heid)
ah

lik
merupakan kemampuan seseorang untuk membuat suatu perjanjian, sebagai perikatan
yang diperbuatnya menjadi sah menurut hukum.72 Ahmad Azhar Basyir73 menjelaskan
kecakapan sempurna yang dimiliki orang yang telah baligh ditekankan pada adanya
am

ub
pertimbangan akal yang sempurna, bukan pada umur, bilangan tahun yang dilaluinya
(kurang lebih 15 tahun). Namun demikian, ketentuan kedewasaan itu tidak hanya
dibatasi dengan umur 15 tahun, umur seseorang mencapai masa baligh, tetapi juga
ep
k

mengikutsertakan faktor rasyid (kematangan pertimbangan akal).


ah

R. Setiawan (1987: 61)74


R

si
Menurut R. Setiawan, seseorang adalah tidak cakap apabila ia pada umumnya

ne
berdasarkan ketentuan UU tidak mampu membuat sendiri perjanjian-­perjanjian dengan
ng

akibat-akibat hukum yang sempurna. Dengan pengertian ketidak­cakapan yang tersebut


di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan seseorang dalam membuat perjanjian

do
gu

dapat diartikan sebagai kemampuan orang tersebut dalam membuat dan melaksanakan
perjanjian sendiri dengan segala akibat hukumnya, dengan batasan umur lebih dari 18
tahun yang dianggap sudah dewasa.
In
A


Kedewasaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berkaitan dengan hal atau
keadaan telah dewasa.75 Kedewasaan dalam hukum positif merupakan suatu pengertian
ah

lik

71 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, Cet. XI, 1987, hlm. 17.
72 S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan),
m

ub

Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm. 28.


73 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press,
2004, hlm. 31–32.
ka

74 Dikutip dari Abdul Muchlis, Implementasi Pengawasan Pemerintah Daerah terhadap Eksportir Udang
Beku pada Perusahaan Cold Storage di Kota Tarakan, Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas
ep

Gadjah Mada, 2004.


75 Dikutip dari http://kamusbahasaindonesia.org/kedewasaan, Kamis, 22 Juli 2010, Jam 15.25.
ah

es

40 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 40 12/13/2010 9:23:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
hukum karena penentuannya dihitung berdasarkan umur atau tahun yang dilewati

si
seseorang sejak kelahiran orang tersebut sehingga kedewasaan dalam hukum positif
tidak sama dengan ciri-ciri fisik kedewasaan yang dikenal dalam masyarakat hukum adat

ne
ng
atau ciri-ciri biologis sesuai dengan hukum Islam. Dikaitkannya masalah kedewasaan
dengan umur adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Orang yang cakap
bertindak adalah orang dewasa, karena dewasanya seseorang maka ia dianggap

do
gu
mampu dan menyadari sepenuhnya akibat dari perbuatan yang dilakukannya sehingga
kepentingannya dapat terlindungi.

Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi lazimnya

In
A
merujuk pada manusia: orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau
wanita dewasa. Saat ini, dewasa dapat didefinisikan dari aspek biologi, yaitu sudah akil
ah

lik
balig, dari aspek hukum, yaitu sudah berumur 16 tahun ke atas atau sudah menikah,
menurut Undang-undang perkawinan, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun
untuk wanita, dan menurut karakter pribadi, yaitu kematangan dan tanggung jawab.
am

ub
Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dan kontradiktif. Seseorang
dapat saja dewasa secara biologis dan memiliki karakteristik perilaku dewasa, tapi tetap
diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum.
ep
k

Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap dewasa, tapi tidak memiliki
ah

kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa.76


R

si
Quraisy Syihab77
Umur dewasa menurut tafsir al-Misbah adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Dengan

ne
ng

demikian, anak laki-laki maupun perempuan menjadi dewasa pada umur tersebut.

do
Dadang Hawari78
gu

Secara psikologi, anak dewasa pada umur 25 (dua puluh lima) tahun. BW Pasal 33079
menyatakan bahwa batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
In
A

genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah. Hukum Pidana
(KUHP) Pasal 45 menyatakan bahwa dalam menuntut orang yang belum cukup umur
ah

(minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim
lik

dapat menentukan ”Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 ayat 1): batas umur
m

ub

76 Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa, Kamis, 22 Juli 2010, Pukul 15.30.


77 Dikutip dari Marieyam, Pelaksanaan Perkawinan Umur Dini Setelah Berlakunya Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang,
ka

2007, hlm. 64.


ep

78 Ibid., hlm. 64.


79 R. Subekti, R. Tjitrocudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita,
Cet. ke-34, 2004, Pasal 330.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 41


M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 41 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut

si
tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.
Selain itu, dalam Hukum Islam juga dikenal istilah ”balig”. Balig merupakan istilah dalam

ne
ng
Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. Baligh diambil
dari bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti ”sampai”, maksudnya ”telah sampainya
umur seseorang pada tahap kedewasaan”.80 Prinsipnya, seorang laki-laki yang telah baligh

do
gu
jika sudah pernah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Seorang perempuan disebut
baligh jika sudah menstruasi. Nyatanya cukup sulit memastikan pada umur berapa
seorang lelaki bermimpi basah (rata-rata umur 15 tahun) atau seorang perempuan

In
A
mengalami menstruasi.81
ah

Hanafiah

lik


Untuk mengatasi kesulitan itu, ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur
untuk kepastian hukum, karena ini terkait kecakapan hukum.82
am

ub

Kedewasaan seseorang memang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah
ia cakap secara hukum atau tidak. Dalam hukum Islam, kecakapan hukum merupakan
kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan
ep
k

(ahliyat al-wujub), serta kepatutan seseorang untuk dinilai perbuatannya sehingga


ah

berakibat hukum (ahliyat al-ada’).83


R

si
Muhammad Daud Ali84
Muhammad Daud Ali menggunakan istilah mukallaf untuk memberikan pengertian

ne
ng

orang yang telah dewasa dan berakal sehat. Hukum Adat85 menyatakan pada prinsipnya
semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang hukum (Djojodiguno

do
gu

memakai istilah ”kecakapan berhak”) yang sama, tetapi dalam kenyataannya di beberapa
daerah terdapat perkecualian-perkecualian sebagai berikut:
a. di Jawa Tengah, dalam tahun 1934–1938 di dalam beberapa desa hanyalah orang
In
A

laki- laki saja berhak menjadi kepala desa;

80 Djauharah Bawazir dalam Majalah Ummi (Djauharah Bawazir, 1995, Kenalan Remaja Karena Salah
ah

lik

Ibu, Ummi, No. 2, hlm. 14) menyatakan bahwa akil baligh adalah satu masa di mana seseorang secara
seksual sudah dewasa, bagi laki-laki ditandai dengan mimpinya, sedangkan bagi wanita dengan men-
struasi. Mereka sudah harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, baik kepada Allah maupun
kepada manusia.
m

ub

81 Ningrum Puji Lestari, op.cit., hlm. 25.


82 A. Djazuli, Ekonomi Syariah Hanya Buat yang Dewasa, dikutip dari http://www.hukumonline.
com/berita/baca/hol17014/ekonomi-syariah-hanya-buat-yang-dewasa, Kamis, 22
ka

Juli 2010, Pukul 16.21.


ep

83 Ibid.
84 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, hlm. 75.
85 Dikutip dari http://72legalogic.wordpress.com/2009/03/08/dewasa-menurut-hukum-positif-indonesia/
ah

es

42 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 42 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
b. di Minangkabau, orang perempuan tidak berhak menjadi penghulu andiko atau

si
mamak—kepala-waris.

ne
ng
Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(Djojodiguno menggunakan istilah ”kecakapan bertindak”). Menurut hukum adat,
cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun

do
gu
wanita) yang sudah dewasa. Kriteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat adalah
berlainan dengan kriteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat. Dalam hukum
adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu.

In
A
Menurut hukum adat, ”dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan
orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi, bukan asal sudah kawin
ah

lik
saja. Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak
lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup, misalnya dengan mendirikan
serta menempati rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati
am

ub
bagian gedung rumah orang tuanya yang berdiri sendiri atau yang dipisahkan dari
bagian yang ditempati orang tuanya. Jadi, tidak harus menempati rumah yang
letaknya di luar pekarangan rumah orang tuanya.
ep
k

Menurut Profesor Djojodiguno86 dalam bukunya ”Asas-Asas Hukum Adat”, hukum


ah

adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang-orang yang sama sekali
R
tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan

si
hukum. Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung
sedikit demi sedikit menurut keadaan.

ne
ng

Pada umumnya, menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan
perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah

do
gu

”mentas” atau ”mencar” (Jawa)). Tetapi sebaliknya tidak dapat dikatakan bahwa
seseorang yang belum sampai keadaan yang demikian itu, tentu sama sekali belum
cakap melakukan perbuatan hukum, misalnya dalam menghadap hakim di muka
In
A

pengadilan untuk perkara perdata. Bila berhubungan dengan umurnya harus


dianggap tidak cakap sepenuhnya maka ia harus diwakili orang tuanya atau walinya,
ah

tetapi bila perkara yang sedang diadili itu ia dianggap telah cukup cakap untuk
lik

memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri, boleh ia menghadap


sendiri, terlepas daripada sudah dewasa atau belum.
m

ub
ka

ep

86 Djojohadikusumo, Asas-Asas Hukum Adat, Yogyakarta: Gadjah Mada, 1964, hlm. 31.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 43


M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 43 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Imam Soepomo

si
Imam Soepomo dalam “Adatprivaatrecht van West-Java” halaman 3187 menyatakan
bahwa seseorang sudah dianggap dewasa dalam hukum adat apabila ia antara lain

ne
ng
sudah:
a. kuat gawe (dapat/mampu bekerja sendiri);
b. cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta

do

gu
mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu;
c. cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.

In

A
Kriteria yang menganggap seseorang telah dewasa adalah apabila ia mampu
bekerja sendiri, artinya cukup untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
ah

lik
bermasyarakat serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya dan cukup
mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.88
Abdul Gafur (1982: 50)89 merumuskan pengelompokan umur yang dapat
am

ub
dipergunakan sebagai pegangan dalam pembinaan anak khususnya, dan generasi
muda pada umumnya sebagai berikut:
ep
Bayi : 0–1 tahun
k

Anak : 1–12 tahun


ah

Remaja : 12–15 tahun


R

si
Pemuda : 15–30 tahun
Dewasa : 30 tahun ke atas

ne
ng

Drs. B. Simanjuntak, S.H. (1984: 99–100)90


Jika dilihat dari segi biologi, terdapat istilah bayi, anak, remaja, pemuda, dan dewasa:

do
gu

Bayi : 0–1 tahun


Anak : 1–12 tahun
Remaja : 12–15 tahun
In
A

Pemuda : 15–30 tahun


Dewasa : 30 tahun ke atas
ah

lik

ub

87 Dikutip dari Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas Hukum Adat, Jakarta: CV Haji Masagung,
1987, hlm. 104.
ka

88 Supomo, Pengantar Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1980, hlm. …


ep

89 Abdul Gafur, Pembinaan Generasi Muda, Bandung: Tarsito, 1982, hlm. 50.
90 B. Simanjuntak, Pembinaan dan Mengembangkan Generasi Muda, Bandung: Tarsito, 1984, hlm.
99–100.
ah

es

44 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 44 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Jika dilihat dari segi budaya atau fungsional maka dikenal istilah-istilah anak, remaja,

si
dan dewasa:
Anak : 0–12 tahun

ne
ng
Remaja : 13–18 tahun
Dewasa : 18–21 tahun
a. Dilihat dari angkatan kerja, ditentukan istilah tenaga muda di samping tenaga

do
gu
tua. Tenaga muda adalah calon-calon yang dapat diterima sebagai tenaga kerja
yang diambil antara 18–22 tahun.

In
A
b. Untuk kepentingan perencanaan modern digunakan istilah sumber-sumber
daya manusia muda 0–18 tahun.
c. Dilihat dari sudut biologis politis maka generasi muda adalah calon pengganti
ah

lik
generasi terdahulu. Dalam hal ini berumur antara 18–30 tahun dan kadang-
kadang sampai umur 40 tahun.
am

ub
d. Pengertian pemuda berdasarkan umur dan lembaga serta ruang lingkup tempat
pemuda berada diperoleh tiga kategori:
Siswa : umur 6–18 tahun, masih ada di bangku sekolah.
ep
k

Mahasiswa : di universitas atau perguruan tinggi, 18–25 tahun.


Pemuda : di luar lingkungan sekolah maupun Perguruan Tinggi, umur 15–30
ah

R
tahun.

si
Ter Haar91

ne
ng

Seseorang menjadi dewasa ialah saat ia (lelaki atau perempuan) sebagai orang yang
sudah kawin, meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk

do
gu

berumah lain sebagai laki-bini muda yang merupakan keluarga berdiri sendiri. Soedjono
Dirjosisworo92 menyatakan bahwa menurut Hukum Adat, anak di bawah umur adalah
mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang kongkret bahwa ia telah
In
A

dewasa.
Namun demikian, agar suatu tindakan menimbulkan akibat hukum yang sempurna
ah

lik

maka orang yang bertindak, pada saat tindakan, harus mempunyai pematangan
berpikir, yang secara normal mampu menyadari sepenuhnya tindakannya dan akibat
dari tindakannya. Orang yang secara moral mampu menyadari tindakan dan akibat dari
m

ub
ka

91 Ter Haar dalam Safiyudin Sastrawijaya, Beberapa Masalah tentang Kenakalan Remaja, Bandung:
ep

Karya Nusantara, 1977, hlm. 18.


92 Soedjono Dirjosisworo, Hukuman dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Bandung: Tarsito, 1983,
hlm. 230.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 45


M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 45 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
tindakannya dalam hukum, untuk ringkasnya disebut dengan istilah teknis hukum, cakap

si
bertindak. Agar orang tidak perlu setiap kali harus menyelidiki, apakah lawan janjinya
cakap untuk bertindak maka oleh undang-undang ditetapkan sekelompok orang-orang,

ne
ng
yang dimasukkan dalam kelompok mereka yang tidak cakap bertindak, yaitu para belum
dewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan.93
Menurut manusia pribadi (natuurlijke persoon) mempunyai hak dan kewajiban, akan

do

gu
tetapi tidak selalu cakap hukum untuk melakukan perbuatan hukum.

In
2) Syarat-Syarat Kecakapan dalam Hukum Perdata dalam Literatur
A
J. Satrio
ah

lik
J. Satrio mengaitkan kecakapan dengan unsur kedewasaan, dan hal itu secara tidak
langsung ada kaitannya dengan unsur umur. Akan tetapi, dari ketentuan-ketentuan
am

ub
yang ada dalam BW, antara lain Pasal 307 jo Pasal 308, Pasal 383 BW, maupun Pasal
47 dan Pasal 50 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1330
dan Pasal 1446 BW, orang bisa menyimpulkan bahwa pada asasnya yang dapat
ep
k

melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum yang sempurna
adalah mereka yang telah dewasa.94
ah

R
Mengingat kecakapan selalu terkait dengan kedewasaan, kedewasaan

si
seseorang bila dilihat dari berbagai ketentuan hukum yang berlaku sangat beragam.
Umumnya, ketentuan yang berlaku atas kedewasaan seseorang didasarkan

ne
ng

pada status perkawinan yang pernah dilakukan dan umur. Seseorang dianggap
dewasa selain karena ia sudah menikah juga didasarkan pada umur, yang menurut

do
gu

ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan berdasarkan umur ini merupakan


salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa
yang diatur oleh ketentuan hukum. Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan umur
In
A

merupakan salah satu unsur terpenting bagi seorang subjek hukum. Meskipun
terdapat upaya dispensasi atau toleransi atas besaran umur yang disahkan oleh
ah

lik

pengadilan, subjek hukum dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang
bersangkutan belum memiliki kecukupan umur. Misalnya dalam hukum perdata
kita, salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya
m

ub

pihak-pihaknya yang cakap (berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum,


ka

ep

93 Bertrand A. Hasibuan, “Problematika Kedewasaan Bertindak di dalam Hukum (Studi pada Praktik
Notaris di Kota Medan)”, Tesis, Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 36.
94 J. Satrio, op.cit.
ah

es

46 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 46 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
yang salah satu parameternya adalah kecukupan umur. Dengan umur yang belum

si
mencukupi seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum perdata dengan
sendirinya (kecuali sudah menikah atau disahkan pengadilan). Kategori orang demikian

ne
ng
adalah termasuk dalam golongan orang-orang yang berada dalam pengampuan. Raad
van Justitie (Pengadilan Tinggi) Jakarta berdasarkan keputusan tanggal 16 Oktober 1908
menentukan kriteria cakap sebagai berikut:

do


gu
1. umur 15 tahun,
2. masak untuk hidup sebagai istri (‘geslachts rijp-heid’), dan

In
A
3. cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.

Kriteria cakap menurut Hukum Adat95 adalah


ah

lik
1. dapat bekerja sendiri (mandiri),
2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan
am

ub
bertanggung jawab, dan
3. dapat mengurus harta kekayaan sendiri. ep
Soedjono Dirjosisworo96
k

Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan staatblaad No. 54 yang berbunyi sebagai
ah

R
berikut:

si
”Oleh karena terhadap orang-orang Indonesia berlaku Hukum Adat maka timbul keragu-
raguan sampai umur berapa seseorang masih di bawah umur. Guna menghilangkan

ne
ng

keragu-raguan tersebut oleh pemerintah diadakan staatblad 1931–54 yang isinya


menyatakan antara lain, istilah anak di bawah umur terhadap Bangsa Indonesia ialah

do
gu

1. mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya belum pernah kawin;
2. mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan kemudian bercerai
dan tidak kembali lagi di bawah umur;
In
A

3. yang dimaksud dengan perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak.



ah

lik

Dengan demikian, barang siapa yang memenuhi persyaratan tersebut di atas disebut
anak di bawah umur (minderjarig) atau secara mudahnya disebut anak-anak.”
Menurut Pasal 330 BW, seorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah
m

ub

kawin sebelum mencapai umur tersebut. Selain itu, di dalam Pasal 1330 BW diatur juga
yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah
ka

ep

95 Soerojo Wignjodipoero, op.cit.


96 Soerojo Wignjodipoero, op.cit.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 47


M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 47 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. anak yang belum dewasa;

si
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan

ne
ng
pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat
persetujuan tertentu.

do

gu
Pasal ini secara a-contrario ditafsirkan menjadi persyaratan dari kecakapan. Namun
demikian, khusus mengenai kedudukan seorang istri, sejak keluarnya Surat Edaran

In
A
Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, tanggal 5 September 1963 yang mencabut
beberapa pasal BW di antaranya Pasal 108 dan 110 BW maka status sebagai istri tidak
lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang dilakukannya. Dengan
ah

lik
kata lain, sejak dicabutnya pasal 108 dan 110 BW oleh Surat Edaran Mahkamah Agung di
atas maka istri adalah cakap bertindak dalam hukum.
am

ub
Di samping undang-undang juga telah menentukan bahwa walaupun tidak
memenuhi syarat-syarat di atas, seorang dianggap cakap dan berwenang melakukan
perbuatan hukum tertentu. Kecakapan berbuat (handelings bekwaamheid) dan
ep
k

kewenangan bertindak menurut hukum ini (recht bevoegdheid) adalah dibenarkan


dalam ketentuan undang-undang itu sendiri, sebagai berikut.
ah

R
1. Seorang anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan

si
seluruh perbuatan hukum apabila telah berumur 20 tahun dan telah mendapat surat

ne
ng

pernyataan Dewasa (venia aetatis) yang diberikan oleh Presiden, setelah mendengar
nasihat Mahkamah Agung (Pasal 419 dan 420 KUH Perdata).

2. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah

do
gu

mendapat Surat Pernyataan Dewasa dari Pengadilan (Pasal 426 BW).

3. Seseorang yang belum berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat (Pasal 897
In
A

BW).

4. Orang laki-laki yang telah mencapai umur 18 tahun dan perempuan yang telah
ah

berumur 15 tahun dapat melakukan perkawinan (Pasal 29 BW).


lik

5. Pengakuan anak dapat dilakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun (Pasal 282
BW).
m

ub

6. Anak yang telah berumur 15 tahun telah dapat menjadi saksi (Pasal 1912 BW).
ka

7. Seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros dapat


ep

a. membuat surat wasiat (Pasal 446 BW);


b. melakukan perkawinan (Pasal 452 BW).
ah

es

48 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 48 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
8. Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal:

si
a. dituntut dalam perkara pidana, menuntut perceraian perkawinan, pemisahan
meja dan ranjang serta menuntut pemisahan harta kekayaan (Pasal 111 BW);

ne
ng
b. membuat surat wasiat (Pasal 118 BW).

Ahmad Azhar Basyir97

do

gu
Untuk menentukan kapan seseorang dipandang matang dipandang rasyid, dapat
diadakan penelitian terhadap orang-orang antara umur 15 dan 25 tahun, kemudian

In
A
diambil angka rata-rata. Mungkin akan diketemukan angka umur 19, 20 atau 21 tahun,
yang kemudian menjadi pedoman untuk menentukan batas umur rasyid tersebut.
ah

lik
Romualdo Manurung98
Dalam tesisnya, Romualdo menulis ”... Adapun kriteria seseorang yang dianggap cakap
am

ub
menurut hukum apabila:
1. seseorang dianggap telah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun atau telah
menikah walaupun belum berumur 21 tahun;
ep
k

2. tidak berada dalam pengampuan;


3. tidak mabuk.
ah

si
Hal yang menyebabkan seseorang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam BW99
Pasal 1329 dinyatakan bahwa ”Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali

ne
ng

jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Selanjutnya, dalam Pasal 1330 BW ditegaskan
kategori yang tidak cakap adalah sebagai berikut:

do
gu

1. anak yang belum dewasa;


2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
In
A

3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang


dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk
ah

lik

membuat persetujuan tertentu.


m

ub

97 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, loc.cit., Pasal 1329, 1330, 1331.


ka

98 Romualdo Manurung, Pelaksanaan Ketentuan Pasal 87 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 22 Ta-
ep

hun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dalam Kaitannya dengan Otonomi Daerah, Tesis, Yogyakarta:
Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2004, hlm. 29.
99 Djauharah Bawazir, op.cit.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 49


M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 49 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Implikasi dari Pasal 1330 tersebut kemudian dinyatakan dalam Pasal 1331, yaitu ”Oleh

si
karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk
membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka

ne
ng
buat dalam hal kuasa untuk itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-
orang yang cakap untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan
sangkalan atas dasar ketidakcakapan seorang anak-anak yang belum dewasa,

do
gu
orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan-perempuan
yang bersuami”.

In
A

Hukum Islam
ah

lik
Dalam Hukum Islam juga dikenal istilah ”baligh”. Baligh merupakan istilah
am

ub
dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai
kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa Arab yang secara bahasa memiliki
arti ”sampai”, maksudnya ”telah sampainya umur seseorang pada tahap
ep
k

kedewasaan”.100 Prinsipnya, seorang laki-­laki yang telah baligh jika sudah


pernah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Adapun seorang perempuan
ah

disebut baligh jika sudah menstruasi. Nyatanya cukup sulit memastikan


R

si
pada umur berapa seorang lelaki bermimpi basah (rata-rata umur 15 tahun)
atau seorang perempuan mengalami menstruasi.101 Untuk mengatasi

ne
ng

kesulitan itu, ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur untuk


kepastian hukum, karena ini terkait kecakapan hukum.102 Kedewasaan

do
gu

seseorang memang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah ia


cakap secara hukum atau tidak. Dalam hukum Islam, kecakapan hukum
merupakan kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan
In
A

meninggalkan larangan (ahliyat al-wujub), serta kepatutan seseorang untuk


dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum (ahliyat al-ada’).103 Oleh
ah

lik

karena itu, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ukuran


ketidakcakapan dalam Hukum Islam adalah kebelum-balighan seseorang
berdasarkan ukuran tersebut di atas.
m

ub
ka

100 Belum ada sumbernya ya


ep

101 Ningrum Puji Lestari, op.cit.


102 A. Djazuli, loc.cit.
103 Ibid.
ah

es

50 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 50 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Munir Fuady104

si
Salah satu golongan orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat kontrak
adalah apabila orang tersebut ditaruh di bawah pengampuan (curatele) vide Pasal 330

ne
ng
Angka 2 BW tentang siapa saja yang dimaksud orang yang di bawah pengampuan
diterangkan dengan jelas oleh Pasal 433 BW105, yaitu terdapat 4 kriteria antara lain:

do
1. orang yang dungu (onnozeilheid),

gu
2. orang gila (tidak waras pikiran),
3. orang yang mata gelap (razenij), dan

In
A
4. orang yang boros.
ah

lik
Abdul Muchlis106
Abdul Muchlis menulis dalam tesisnya ”... menurut ketentuan hukum yang berlaku, yaitu
am

ub
Pasal 1329 BW bahwa semua orang cakap membuat perjanjian kecuali mereka yang
tergolong sebagai berikut:
1. orang yang belum dewasa,
ep
k

2. hukum perdata memberi batasan dewasa, yaitu umur 21 tahun atau sudah
menikah;
ah

R
3. Hukum Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) memberi batasan dewasa,

si
yaitu umur 18 tahun atau sudah menikah;
4. Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang No. 23 Tahun 2002) memberikan

ne
ng

batasan dewasa pada umur 18 tahun;


5. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

do
gu

In
A
ah

lik

104 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti,
m

ub

1999, hlm. 65.


105 Pasal 433 BW: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata
gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
ka

pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.
ep

106 Abdul Muchlis, Implementasi “Pengawasan Pemerintah Daerah terhadap Eksportir Udang Beku pada
Perusahaan Cold Storage di Kota Tarakan”, Tesis, Program Pascasarjana, Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 2004, hlm. 17–18.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 51


M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 51 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Setiawan (1987: 61)

si
Seseorang adalah tidak cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-
undang tidak mampu membuat sendiri perjanjian­-perjanjian dengan akibat-akibat

ne
ng
hukum yang sempurna. Dengan pengertian ketidakcakapan yang diuraikan di atas,
kecakapan seseorang dalam membuat perjanjian dapat diartikan sebagai kemampuan

do
orang tersebut dalam membuat dan melaksanakan perjanjian sendiri dengan segala
gu
akibat hukumnya dengan batasan umur lebih dari 18 tahun yang dianggap sudah
dewasa.

In
A

Romualdo Manurung107
ah

lik
Secara a-­contrario, yang menyebabkan seseorang dianggap tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum berdasarkan tulisan Romualdo adalah
am

ub
1. belum dewasa,
2. berada dalam pengampuan,
3. boros, dan
ep
k

4. dalam keadaan mabuk.


ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep

107 Romualdo Manurung, op.cit.


ah

es

52 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-1 fot107.indd 52 12/13/2010 9:23:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
b. Tentang Kewenangan

si
1) Pengertian Kewenangan dalam Literatur

ne
ng
F.A.M. Stroink108
Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang, dalam hal ini kewenangan
berdasarkan hukum publik adalah kemampuan yuridis dari badan. Di tempat

do
gu
pertama, kewenangan badan harus dibedakan dari wakil untuk mewakili badan.
Hak dan kewajiban yang diberikan kepada wakil harus dibedakan dari hak dan
kewajiban yang diberikan kepada badan. Di tempat kedua, pengertian kewenangan

In
A
dari badan tidak hanya dari badan berdasarkan hukum publik, tetapi juga kewajiban
berdasarkan hukum publik. Jika berbicara hak dan kewajiban, hal itu mengandung
arti bahwa orang melihat kewenangan semata-mata sebagai hak, sebagai kuasa.
ah

lik
Dalam pada itu, hal menjalankan hak berdasarkan hukum publik sedikit banyak
selalu terikat kepada kewajiban berdasarkan hukum publik yang tidak tertulis (asas
umum) pemerintahan yang baik.
am

ub
Ridwan H.R.109
Ada perbedaan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence,
ep
bevoegdheid). Kewenangan, yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang, adalah
k

kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu ataupun kekuasaan terhadap


ah

sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan tertentu yang bulat, seperti
R
urusan-­urusan pemerintahan. Wewenang hanya sesuatu bahagian yang tertentu

si
saja, misalnya membuat akta jual-beli atas tanah dalam kedudukannya sebagai PPAT
Sementara.

ne
ng

Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel
atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur) maka berdasarkan prinsip ini, ”tersirat
bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya

do
gu

sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.

Achmad Sanusi110
In
A

Pada dasarnya, dapat diterima bahwa setiap manusia (menselijk wezen) dianggap
sebagai orang (persoon) atau subjek-hukum. Ia mempunyai wewenang hukum,
yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif. Hak-hak keperdataan tidak
ah

lik

digantungkan pada hak-hak kewarganegaraan dalam lapangan kenegaraan. Hak


m

ub

108 F.A.M. Stroink, terj. Ateng Syafrudin, Pemahaman tentang Demokrasi, Refika Aditama, hlm. 24–25.
109 Ridwan H.R. “Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm.74, dikutip dari Mu-
hamad Benny, Kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam Membuat Akta Peralihan Hak atas
ka

Tanah dengan Ganti Rugi”, Tesis, Medan: Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
ep

Sumatra Utara, 2004, hlm. 59–60.


110 Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung: Tarsito,
1977, hlm.122–123.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 53


M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 53 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
subjektif pada umumnya dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu

si
1. mutlak , yaitu hak-hak subjektif yang dapat dilaksanakan terhadap setiap orang; di
balik wewenang daripada yang mempunyai hak, terdapat kewajiban bagi setiap
orang lain untuk menghormati hak itu;

ne
ng
2. nisbi, seperti hak-hak kekayaan dan hak-hak kekeluargaan yang tidak termasuk
sebagai hak mutlak. Hak-hak ini biasanya diberi nama perikata, yaitu hubungan­
hubungan hukum, di mana terdapat hak bagi seseorang dan di balik itu kewajiban

do
gu
bagi yang lainnya, untuk menyelesaikan sesuatu prestasi (berbuat, tidak berbuat,
atau memberikan sesuatu yang dapat dihargakan dengan uang).

In
A
Walaupun setiap orang mempunyai wewenang hukum, tidak semuanya mempunyai
kecakapan bertindak. Dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus
diwakili atau dibantu atau memberi kuasa. Hal ini karena faktor-­faktor umur, kedudukan
ah

lik
dalam perkawinan bagi perempuan, keadaan sakit ingatan, dan lain-lain. Apabila
seseorang yang tidak berkecakapan bertindak ini melakukan sesuatu perbuatan hukum
maka perbuatan tersebut dapat dibatalkan, artinya perbuatan itu pada dasarnya
am

ub
mempunyai akibat-akibat hukum yang dikehendaki, akan tetapi atas gugatan orang lain
dan bagi kepentingannya dapat dinyatakan batal oleh hakim. ep
J.H.A. Logeman dan G.J. Resink111
k

Pada umumnya, setiap manusia mempunyai kewenangan hukum. Hukum perdata


ah

positif kita memberikan kepada manusia wewenang hukum yang lengkap, sementara
R

si
kepada badan hukum suatu wewenang yang terbatas pada hukum kekayaan dan
hukum acara. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti
mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya tersebut. Sekalipun

ne
ng

setiap orang pada umumnya mempunyai kewenangan hukum, tetapi ada golongan
orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak dan kewajiban.

do
gu

2) Wewenang yang Dimiliki Subjek Hukum sebagai Pribadi Kodrati


BW Pasal 2112 menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan
dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati
In
A

sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada. Penafsiran atas pasal ini, anak sebagai
subjek hukum memiliki kewenangan, sepanjang kepentingan anak menghendaki.
Di samping undang-undang juga telah menentukan bahwa walaupun tidak memenuhi
ah

lik

syarat-syarat di atas, seorang dianggap cakap dan berwenang melakukan perbuatan


hukum tertentu.
Kecakapan berbuat (handelings bekwaamheid) dan kewenangan bertindak
m

ub

menurut hukum ini (recht bevoegdheid) adalah dibenarkan dalam ketentuan undang-
ka

111 J.H.A. Logeman dan G.J. Resink, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Jakarta: Ichtiar
ep

Baru-Van Hoeve, 1975.


112 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, loc.cit.
ah

es

54 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 54 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
undang itu sendiri, yaitu seorang anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21

si
tahun) dapat melakukan seluruh perbuatan hukum apabila telah berumur 20 tahun dan
telah mendapat surat pernyataan Dewasa (venia aetatis) yang diberikan oleh Presiden,
setelah mendengar nasihat Mahkamah Agung (Pasal 419 dan 420 BW).

ne
ng
1. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah
mendapat Surat Pernyataan Dewasa dari Pengadilan (Pasal 426 BW).
2. Seorang yang belum berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat (Pasal 897

do

BW).
gu
3. Orang laki-laki yang telah mencapai umur 18 tahun dan perempuan yang telah
berumur 15 tahun dapat melakukan perkawinan (Pasal 29 BW).

In
A
4. Pengakuan anak dapat dilakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun (Pasal 282
BW).
5. Anak yang telah berumur 15 tahun telah dapat menjadi saksi (Pasal 1912 BW).
ah

lik
6. Seorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros dapat:
a. membuat surat wasiat (Pasal 446 BW);
b. melakukan perkawinan (Pasal 452 BW).
am

ub
7. Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal:
a. dituntut dalam perkara pidana, menuntut perceraian perkawinan, pemisahan
meja dan ranjang serta menuntut pemisahan harta kekayaan (Pasal 111 BW);
ep
b. membuat surat wasiat (Pasal 118 BW).
k
ah

Zerina113
R

si
Orang yang berwenang untuk menjadi wali pada prinsipnya adalah setiap orang yang
tidak dikecualikan oleh undang-undang. Akan tetapi, Pasal 379 BW menyebutkan lima
golongan orang yang dikecualikan atau yang tidak boleh menjadi wali, yaitu:

ne
ng

1. orang yang sakit ingatan (krankzinnigen);


2. orang yang belum dewasa (minderjarigen);
3. orang yang diletakkan di bawah pengampuan (curatele); mereka yang dipecat

do
gu

atau dicabut (ontzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas penetapan
pengadilan;
4. para ketua, wakil ketua, sekretaris Balai Harta Peninggalan, kecuali atas anak­-
In
A

anak tiri pejabat-pejabat sendiri;


5. faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum.
ah

lik

BW114
Berdasarkan Pasal 1329 BW dinyatakan ”Tiap orang berwenang untuk membuat
m

ub

perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Selanjutnya dalam Pasal
ka

ep

113 Zerina, “Konsep Kedewasaan Berkenaan dengan Keabsahan Akta PPAT”, Tesis, Surabaya: Magister
Kenotariatan, Universitas Airlangga, 2006, hlm.25.
114 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, loc.cit., Pasal 1329, 1330, 1331
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 55


M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 55 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1330 BW ditegaskan kategori yang tidak cakap adalah sebagai berikut: ”Yang tak cakap

si
untuk membuat persetujuan adalah
1. anak yang belum dewasa;
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

ne
ng
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan
pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat
persetujuan tertentu.”

do

gu
Implikasi dari Pasal 1330 BW tersebut kemudian dinyatakan dalam Pasal 1331 BW, yaitu
”Oleh karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk

In
A
membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat
dalam hal kuasa untuk itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang
cakap untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas
ah

lik
dasar ketidakcakapan seorang anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh
di bawah pengampuan, dan perempuan-­perempuan yang bersuami”.
Dengan demikian dapat disimpulkan, undang-undang telah menentukan bahwa
am

ub
untuk dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus telah cakap dan berwenang. Agar
dapat dikatakan telah cakap dan berwenang maka seseorang harus memenuhi syarat-
­syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu telah dewasa, sehat pikirannya (tidak
ep
di bawah pengampuan) serta tidak bersuami bagi wanita.
k

Menurut Pasal 330 BW, seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan
ah

telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Umur tersebut sampai kini menjadi
R
ukuran kewenangan seseorang dalam bertindak.

si
Bertrand A. Hasibuan115

ne
ng

Menurut landraad Hoetanopan dan R.V.J. Padang, anak laki-laki yang berumur
17–18 tahun menurut hukum adat Batak pada umumnya sudah wenang bertindak
(handelingsbevoegd), bahkan Padang pernah memutuskan bahwa umur kedewasaan

do
gu

anak laki-laki adalah 15–16 tahun.


Berdasarkan uraian di atas, yang dikatakan belum dewasa adalah mereka yang belum
menikah, belum kuat gawe, dan belum dapat mengurus kepentingannya sendiri.116
In
A

Namun dalam beberapa undang-undang pengaturan tersebut berbeda. Berikut ini tabel
untuk memperjelas pembedaan tersebut.
ah

lik
m

ub

115 Bertrand A. Hasibuan, op.cit., hlm. 15.


ka

116 Keputusan 27 Juli 1993, dimuat dalam 1.139:278, dan Keputusan Landraad Spirok tanggal 8-4-1936
ep

No. 8/1835 dan R.V.J. Padang 19-5-1938, sebagaimana disinggung oleh Hilman Hadikusuma, hlm.
12, R. Wirjono Prodjodikoro baca Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm.82, mengatakan bahwa umur
dewasa dalam masyarakat adat biasanya terjadi dalam umur 16 tahun.
ah

es

56 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 56 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Peraturan Perun- Kemampuan untuk Kedewasaan Keterangan

si
dang-undangan Bertindak/Kecakapan

Hukum Perdata (BW) Umur 21 Tahun atau Umur 21 tahun Pasal 330 BW (penafsiran

ne
ng
sudah menikah secara logika terbalik/ ar-
gumentum a-contrario)

do
Hukum Adat gu Kuat gawe Kuat gawe Tidak secara tegas meng-
atur umur berapa seorang
dikatakan dewasa, yang

In
A
penting mampu (ca-
pable) dalam melakukan
perbuatan hukum, sep-
ah

erti memenuhi kebutuhan

lik
sendiri
am

ub
Hukum Islam Umur 15 tahun, sudah Sudah baligh/ Umur 15 tahun sifatnya
baligh mimpi basa/su- relatif, tergantung pada
dah menstruasi kematangan emosi dari in-
dividu yang bersangkutan,
ep
sumber al-Hadist
k
ah

si
UU No. 13 Tahun 2003 Umur 13-15 sudah da- >18 th (penafsiran Undang-undang ini tidak
tentang Ketenaga­ pat bekerja, dengan secara logika ter- secara tegas mengatakan

ne
ng

kerjaan pembatasan/ syarat balik/ argumen- kedewasaan diawali pada


(Pasal 69) tum a contrario umur berapa, termasuk
pada Pasal 1 Ang- kemampuan untuk be­kerja.

do
gu

ka 26) Namun, pada Undang-


Undang No. 12 Tahun 1948
tentang Undang- Undang
Kerja (sudah tidak belaku
In
A

karena lahirnya Undang-


Undang No. 13 Tahun 2003)
Pasal 1 ayat 1 huruf b me-
ah

lik

nyatakan secara tegas bah-


wa dewasa >18 tahun
m

ub

UU No. 27 Tahun 1948 18 tahun (Pasal 3 ayat Tidak Mengatur Tidak secara tegas me-
tentang DPR 1 huruf b) nyatakan kedewasaan,
ka

namun hanya mengatur


ep

kewenangan untuk ber-


tindak
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 57


M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 57 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R
Undang-Undang No. 18 tahun/sudah kawin Tidak mengatur Tidak secara tegas dinya-

si
7 Tahun 1953 tentang (Pasal 1 ayat 1) takan
Pemilihan Anggota

ne
ng
Konstituante dan Ang-
gota Dewan Perwakil­
an Rakyat

do
gu
Undang-Undang No.
29 Tahun 1954 tentang
Pasal 8: Umur 18 ta-
hun
Tidak mengatur

Pertahanan Negara Pasal 9: Wajib Militer

In
A
Republik Indonesia bagi yang berumur 18-
40 tahun
ah

lik
Undang-Undang No.19 18 tahun/ sudah kawin Tidak mengatur
Tahun 1955 tentang (Pasal 2)
Pemilihan Anggota
am

ub
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah

Undang-Undang No. 66 18 tahun/sudah kawin Tidak mengatur


ep
k

Tahun 1958 tentang (Pasal 2 ayat 1)


Wajib Militer
ah

si
Undang-Undang No. Perempuan 16 tahun, Tidak mengatur Ketentuan tersebut hanya
1 Tahun 1974 tentang pria 19 tahun (Pasal 7 menyatakan umur minimal
Perkawinan ayat 1) untuk menikah, bukan

ne
ng

kedewasaan

Undang-Undang No. 9 18 tahun (Pasal 2) Tidak mengatur

do
gu

Tahun 1964 tentang


Gerakan Sukarelawan
Indonesia
In
A

Undang-Undang No. 39 Tidak mengatur 18 tahun (Pasal 1 Ditafsirkan secara logika ter-
Tahun 1999 tentang Angka 5) balik dari pengertian anak,
Hak Asasi Manusia namun demikian batas
ah

lik

umur dewasa tidak secara


tegas dinyatakan
m

ub

Undang-Undang RI No. Tidak mengatur 18 tahun (Pasal 1 Ditafsirkan secara logika ter-
23 Tahun 2002 tentang ayat 1) balik dari pengertian anak,
ka

Perlindungan Anak namun demikian batas


ep

umur dewasa tidak secara


tegas dinyatakan
ah

es

58 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 58 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Undang-Undang Tidak mengatur me­ ≥ 18 tahun (Pasal Ditafsirkan secara logika

si
Republik Indone- ngenai kecakapan/ ke- 1 Angka 5) terbalik dari pengertian
sia Nomor 21 Tahun wenangan untuk ber- anak, namun demikian

ne
2007 tentang Pem­ tindak batas usia dewasa tidak

ng
berantasan Tindak secara tegas dinyatakan
Pidana Perdagangan
Orang

do
gu
Undang-Undang Re-
publik Indonesia No.
17 tahun atau sudah/
pernah kawin (Pasal 14)
Tidak mengatur Menyatakan diperboleh-
kannya menjadi anggota
2 Tahun 2008 tentang suatu partai politik, na-

In
A
Partai Politik mun tidak menyatakan
bahwa itu otomatis de-
wasa
ah

lik
Undang-Undang Re- 17 tahun atau Tidak mengatur Menyatakan diperboleh­
publik Indonesia No. sudah/pernah kawin kannya untuk memilih
10 Tahun 2008 ten- dalam pemilu suatu partai
am

ub
tang Pemilihan Umum politik, namun tidak me-
Anggota Dewan Per- nyatakan bahwa itu oto-
wakilan Rakyat, Dewan matis dewasa
Perwakilan Daerah, dan
ep
k

Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
ah

Undang-Undang No. Umur 18 tahun atau su- Ketentuan tersebut di­


R

si
30 Tahun 2004 tentang dah menikah (Pasal 39 kenakan bagi penghadap.
Jabatan Notaris ayat 1) Dalam Pasal 39 ayat 1

ne
disebutkan bahwa peng-
ng

hadap harus memenuhi


syarat sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur

do
gu

18 (delapan belas)
tahun atau telah me-
nikah;
In
b. cakap melakukan per-
A

buatan hukum.
Hal ini menimbulkan
ah

pertanyaan tentang
lik

arti cakap dalam huruf


b, mengingat penger-
tian cakap dalam BW
m

ub

termasuk umur, yaitu


21 tahun, sementara
ka

dalam penjelasan UU
ep

a quo hanya disebut cu-


kup jelas
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 59


M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 59 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 70
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Undang-Undang No. Berumur > 27 tahun Ketentuan tersebut dike-

si
30 tahun 2004 tentang (Pasal 3 Huruf c) maka nakan sebagai syarat men-
Jabatan Notaris dengan memenuhi per- jadi Pejabat Notaris

ne
ng
syaratan yang termuat
dalam Pasal 3 ini, notaris
memiliki kewenangan
sebagaimana dimuat

do
gu dalam Pengertian No-
taris dalam Pasal 1
Angka 1. Kewenangan

In
A
Notaris lebih lanjut di­
atur dalam Pasal 15 ayat
1, 2, dan 3.117
ah

lik
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

117 Bunyi Pasal 15 UUJN selengkapnya adalah sebagai berikut.


In
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
A

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang akta-akta itu tidak juga ditugas-
ah

lik

kan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Motaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus;
m

ub

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;


c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaima-
na ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
ka

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;


ep

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;


f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.
ah

es

60 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-2 fot117.indd 60 12/13/2010 9:23:59 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 71
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Analisis atas Kecakapan dan Kewenangan Bertindak

si
Menurut Hukum Berdasarkan Literatur/Kepustakaan
a. Akibat Hukum dari Suatu Perbuatan yang Dibuat oleh Seseorang

ne
ng
yang Tidak Cakap Akibat Belum Dewasa
1) Tinjauan Hukum Perkawinan

do
gu
Hukum Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, khususnya pada Pasal 6 ayat (2) berbunyi ”Untuk
melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua

In
A
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Secara a-contrario,
apabila seseorang tersebut telah berumur lebih dari 21 tahun maka ia dapat
ah

lik
melangsungkan perkawinan tanpa izin dan setahu orang tua.118 Menurut
Hukum Islam mazhab mana pun, izin yang demikian tidak diperlukan sehingga
apabila terjadi perkawinan seorang pria yang belum mencapai genap umur 21
am

ub
(dua puluh satu) tahun tanpa izin orang tuanya maka perkawinan itu adalah
sah. Adapun menurut Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan dapat dibatalkan.119
ep
k

Saidus Sahar

ah

Menurut Saidus Sahar, dalam Hukum Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan
berkenaan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Perkawinan, antara
R

si
lain:120
1. bagi pria, meskipun belum berumur 21 tahun tidak perlu ada izin dari orang tua;

ne
ng

2. menurut Imam Daud Dhahiry, wanita janda tidak memerlukan izin wali nikah,
demikian juga wanita yang cerdas (rasjdah), yang hidup berdiri sendiri menurut
Imam Hanafi, Muh. Ali, dan lain-lain;

do
gu

3. menurut Imam Syafi’i, setiap perkawinan harus ada wali, terutama bagi wanita yang
belum menikah walaupun umurnya sudah lebih dari 21 tahun.
In
Syarat umur seseorang untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan Pasal 7 UU
A

Perkawinan adalah ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
ah

lik

Bagi seseorang yang umurnya belum mencapai persyaratan yang dimaksud maka bagi
yang beragama Islam diperlukan dispensasi dari Pengadilan Agama untuk memperoleh
izin nikah.121
m

ub

118 Henry Lee A. Weng, “Beberapa Segi Hukum dalam Perkawinan” (Some Legal Aspect of Marriage
Contact), Disertasi, Universitas Sumatera Utara, 1986, hlm. 136.
ka

119 Saidus Sahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum
ep

Islam, Bandung: Alumni, 1976, hlm. 85.


120 Ibid., hlm. 76.
121 Ibid., hlm. 88.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 61


M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 61 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 72
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Bilamana perkawinan tersebut telah dilangsungkan, meskipun dengan kondisi umurnya

si
dikategorikan belum dewasa maka berlaku ketentuan Pasal 330 BW yang berbunyi
”Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka

ne
ng
genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa”.
Konsekuensinya, orang tersebut dianggap telah dewasa sebab orang dewasa tidak
memerlukan izin untuk membuat perjanjian. Namun, apabila perbuatan atau tindakan

do
gu
itu merupakan perbuatan hukum di bidang hukum kekayaan (vermogensrecht), hukum
perjanjian, dan tindakan hukum di dalam dan di luar pengadilan maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 47122 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan, yaitu orang itu baru dianggap

In
A
mampu untuk melakukan tindakan hukum apabila ia telah mencapai genap umur 18
tahun tanpa bantuan dan perwakilan orang tuanya.123
ah

lik
2) Tinjauan Hukum Ketenagakerjaan
Dalam perjanjian kerja, seorang buruh mengadakan perjanjian kerja dengan
am

ub
perusahaan atau majikan dengan mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu
dengan maksud untuk memperoleh upah. Buruh mengetahui bahwa untuk
memperoleh haknya ia harus memberikan sesuatu kepada majikan berupa
ep
pengerahan jasa-­jasanya sebagaimana kewajiban yang harus dipenuhi dan
k

tidak boleh dilalaikan.124 Perjanjian kerja yang secara definitif diatur dalam
ah

Pasal 1 Angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya


R

si
disebut UU Ketenagakerjaan) adalah (suatu) perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja, yang memuat syarat-syarat kerja,

ne
ng

hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja menjadi syarat untuk lahirnya
hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang memuat unsur adanya
suatu pekerjaan, perintah, dan upah, yang selanjutnya dipertegas dalam Pasal

do
gu

50 UU Ketenagakerjaan.
Di dalam UU Ketenagakerjaan, syarat sah dilaksanakannya suatu perjanjian
In
kerja adalah apabila memenuhi kaidah sebagaimana diatur dalam Pasal 52,
A

yaitu
a. kesepakatan kedua belah pihak;
ah

lik

b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;


m

ub

122 Bunyi dari Pasal 47 adalah sebagai berikut:


(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
ka

(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
ep

pengadilan.
123 Henry Lee A. Weng, op.cit., hlm. 144.
124 G. Kartasapoetra, dkk. Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Bandung: Armico, 1985, hlm. 73.
ah

es

62 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 62 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 73
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

si
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ne
ng
Apabila syarat a dan b dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Bila
syarat c dan d dilanggar maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

do
gu
Selanjutnya, dalam penjelasan UU ketenagakerjaan, khususnya pada poin b di
atas, yaitu kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau
cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang

In
A
menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Apabila dilihat sepintas, hal ini hampir serupa dengan klausul pada Pasal
ah

lik
1320 BW. Namun, sama sekali berbeda sebab meskipun diawali dari Hukum
Perdata (Privaat Rechterlijke), dalam perkembangan sekarang rezim Hukum
Perburuhan masuk ke dalam ranah Hukum Publik (Publiek Rechterlijke).
am

ub
Di dalam Pasal 1 Angka 3 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa yang
dimaksud pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Pemahaman frase ”setiap orang” dalam definisi
ep
k

tersebut tentu saja adalah kepada semua orang dengan tidak mengecualikan
ah

apakah orang tersebut cakap atau tidak menurut hukum. Sebab, apabila pekerja
R
berkeinginan untuk bekerja maka kaidah pada Pasal 52 UU Ketenagakerjaan

si
haruslah dipenuhi. Oleh karena itu, penulis memahami frase ”setiap orang”,
artinya merujuk kepada semua orang, termasuk anak. Hal ini pun dapat

ne
ng

dijelaskan dengan argumentasi pengertian anak seperti telah didefinisikan juga


dalam Pasal 1 Angka 24 UU Ketenagakerjaan, yakni anak adalah setiap orang

do
gu

yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.


Atas pemahaman definisi anak sebagaimana tertulis dalam ketentuan
ini, apabila secara a-contrario maka kebalikan dari anak adalah dewasa. Itulah
In
A

sebabnya umur 18 tahun menjadi pedoman untuk menentukan seseorang


dikategorikan anak atau tidak. Apabila ia berada di bawah 18 tahun maka
kategorinya adalah anak. Adapun bila di atas 18 tahun maka seharusnya di­
ah

lik

kategorikan dewasa.
Terkait dengan pekerja anak, undang-undang secara tegas melarang
m

ub

mempekerjakan anak. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 68 UU Ketenagakerjaan.


Namun demikian, ketentuan ini ternyata dapat diterobos apabila persyaratan
ka

dalam Pasal 69 dipenuhi. Adapun pihak yang berwenang masuk dalam


ep

perjanjian kerja tersebut, apabila mengacu kepada penjelasan Pasal 52, adalah
orang tua atau wali.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 63


M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 63 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 74
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Di dalam BW, sebagaimana telah diuraikan dalam tulisan terdahulu,

si
syarat seseorang masuk ke dalam suatu perjanjian adalah harus memenuhi
kaidah Pasal 1320 BW. Untuk itu, terkait dengan kecakapan seseorang untuk

ne
ng
masuk dalam suatu perjanjian maka secara nomenklatur akan merujuk pada
Pasal 330 BW, yaitu umur kedewasaan (21 tahun).
Namun demikian, dalam Buku Ketiga Bab 7 A BW, khususnya pada Pasal

do
gu
1601g dinyatakan sebagai berikut.
a. Seseorang yang belum dewasa mampu membuat perjanjian kerja sebagai

In
buruh, jika ia untuk itu dikuasakan oleh walinya menurut undang-undang,
A
baik lisan maupun tulisan.
b. Kuasa lisan hanya dapat berlaku untuk pembuatan perjanjian kerja tertentu.
ah

lik
Jika si belum dewasa belum berumur genap delapan belas tahun, kuasa itu
harus diberikan di hadapan majikan atau yang mewakilinya. Kuasa tersebut
am

tidak dapat diberikan dengan bersyarat.

ub

Apabila mengacu pada ketentuan ini, seseorang yang umurnya belum
ep
dewasa menurut rezim BW (belum genap 21 tahun) ternyata masih dan bahkan
k

boleh bekerja, sepanjang ia memberikan kuasa untuk membuat perjanjian


ah

kepada walinya. Artinya, atas si belum dewasa ini, BW tidak hanya memberikan
R

si
kecakapan berbuat (handelings bekwaamheid), tapi juga kewenangan
bertindak menurut hukum (recht bevoegdheid).

ne
ng

Namun demikian, untuk masuk dalam Perjanjian Kerja seseorang


harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 UU
Ketenagakerjaan seperti yang telah dibahas di atas. Selanjutnya, undang-

do
gu

undang ketenagakerjaan juga memungkinkan pengaturan seorang anak untuk


bekerja dengan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU
In
Ketenagakerjaan yang berbunyi: ”Anak dapat melakukan pekerjaan untuk
A

mengembangkan bakat dan minatnya.” Artinya, secara prinsip undang-undang,


khususnya Pasal 68, melarang mempekerjakan anak. Pengecualian atas aturan
ah

lik

ini diatur dalam Pasal 69 sebagai berikut.


(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan
m

ub

bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15
(lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
ka

mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.


ep

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
ah

es

64 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 64 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 75
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;

si
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

ne
ng
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas;

do
gu
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

In
Apabila melihat pada penjelasan Pasal 52, yang berhak masuk ke dalam
A
perjanjian kerja, dalam konteks mempekerjakan anak125 adalah orang tua atau
walinya. Hal ini ternyata menunjukkan semangat yang diusung dalam Pasal
ah

lik
1601g BW, yaitu membuka peluang kerja bagi anak tetap terakomodasi dalam
Pasal 69 jo Pasal 52 UU Ketenagakerjaan.
Namun, yang lebih penting adalah konteks kedewasaan dalam Hukum
am

ub
Ketenagakerjaan, yang diusung dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu seseorang
yang mencapai umur 18 tahun. Oleh karena itu, dalam konteks akibat hukum
ep
dari suatu perbuatan yang dibuat oleh seseorang yang tidak cakap akibat
k

belum dewasa, khusus dalam Hukum Ketenagakerjaan, sepanjang perbuatan


ah

tersebut di bidang ketenagakerjaan dan memenuhi syarat UU Ketenagakerjaan,


R

si
orang tersebut dianggap cakap. Namun, bila terkait dengan Hukum Kekayaan
(vermogens recht) akan berlaku Pasal 330 BW. Artinya, perbuatan hukum yang

ne
ng

dilakukan oleh seseorang yang ticak cakap akibat belum dewasa, hanya dapat
dilakukan dengan kuasa dari wali atau orang tua.

do
gu

3) Tinjauan Hukum Perikatan


Dalam literatur ditemukan bahwa dalam SE Direksi BRI No S.76-DIR/SDH/5/89
tanggal 5 Mei 1989 tentang barang jaminan milik anak di bawah umur,
In
A

ditentukan bahwa BRI menggunakan ketentuan hukum yang terdapat dalam


Pasal 330 BW, yaitu batas umur kedewasaan adalah genap berumur 21 Tahun.126
ah

lik

Sebagai contoh pada kasus penjaminan aset milik anak bernama Putri Rosita
Sari yang berumur 19 Tahun (lahir pada 20-7-1988), harus terlebih dahulu
meminta penetapan pengadilan Nomor 105/Pdt.P/2007/PN.slmn, yang dalam
m

ub

125 Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun, berdasarkan Pasal 1 Angka
ka

24 UU Ketenagakerjaan.
ep

126 Fatah Chotiib Uddin, Kajian Pemberian Hak Tanggungan dengan Opjek Tanah Hak Milik Anak Belum
Dewasa Sebagai Jaminan Kredit Modal Kerja pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Sleman, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2008, hlm. 91.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 65


M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 65 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 76
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
penetapan tersebut menetapkan bahwa:127

si
1. menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
2. menyatakan bahwa anak bernama Putri Rosita Sari masih di bawah umur

ne
ng
sehingga belum cakap untuk berbuat hukum;
3. menetapkan bahwa Pemohon Sudianto Sugiharto adalah wali dari Putri
Rosita Sari untuk mengajukan pinjam uang di Bank dengan jaminan

do
gu
Sertifikat HM No. 803 luas 306 m2 di desa Pakembinangun, Pakem, Sleman
atas nama anak Pemohon bernama Putri Rosita Sari tersebut;

In
4. membebankan Biaya Perkara kepada Pemohon sebesar Rp109.000,00.
A

Contoh tersebut menunjukkan bahwa umur berkaitan dengan masalah
ah

lik
kecakapan bertindak dalam hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan
yang akan menimbulkan akibat hukum. Dalam hal ini PT Bank Rakyat Indonesia
am

ub
(Persero) Tbk. Cabang Sleman, menggunakan ukuran batas kedewasaan dalam
penjaminan tanah atas tanah milik anak belum dewasa berpedoman pada SE Direksi
ep
BRI No S.76-DIR/SDH/5/89 tanggal 5 Mei 1989 tentang barang jaminan milik anak
k

di bawah umur, yaitu menggunakan ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal
ah

330 BW, yaitu batas umur kedewasaan adalah genap berumur 21 Tahun. 128
R

si
Notaris/ PPAT di Sleman

ne
ng

Menurut Notaris/PPAT di Sleman, dalam praktik membuat perjanjian maupun


pembebanan jaminan kredit, lebih sering menggunakan ketentuan Pasal 330 BW.
Dalam hal banyaknya peraturan hukum baru yang menentukan umur 18 tahun

do
sebagai batas kedewasaan, menurutnya lebih baik tetap berpegang pada Pasal 330
gu

BW.129

Kepala Kantor Pertanahan Sleman


In
A

Menurut Kepala Kantor Pertanahan Sleman, peraturan yang berlaku di lingkungan kantor
pertanahan berpegang pada SE Dirjen Agraria No. Dpt.7/539/7/77 tanggal 13 Juli 1977
ah

lik

tentang dewasa hukum, yang menentukan batas umur dalam melakukan perbuatan
hukum yang berkaitan dengan tanah adalah 19 tahun.130
m

ub
ka

127 Ibid., hlm. 97–98.


ep

128 Ibid., hlm. 109.


129 Ibid., hlm. 111–112.
130 Ibid., hlm. 112–113
ah

es

66 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 66 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 77
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dengan demikian, apabila persyaratan umur tersebut tidak dipenuhi maka akan

si
berakibat dengan dibatalkan perbuatan hukum yang dimaksud, apabila mengacu pada
Pasal 1320 jo Pasal 1330 BW.

ne
ng
4) Tinjauan Hukum Perusahaan
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa membahas umur akan berkaitan

do
gu
dengan masalah kecakapan untuk bertindak dalam hukum, sedangkan
kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan

In
A
yang akan menimbulkan akibat hukum. Terkait dengan tinjauan Hukum
Perusahaan, khususnya batasan usia pemegang saham dan kewenangan
yang dimilikinya, ternyata di dalam UUPT ini tidak ditemukan definisi
ah

lik
pemegang saham, termasuk persyaratan kecakapan untuk menjadi pemegang
saham sehingga untuk persyaratan menjadi Pemegang saham akan mengacu
am

ub
pada persyaratan kecakapan secara umum dalam KUH Perdata, yaitu dewasa,
tidak di bawah pengampuan dst.133 Namun, persyaratan kepemilikan
saham (bukan kecakapan) diatur dalam Pasal 48 (2) UUPT yang berbunyi:
ep
k

Persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar


dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang
ah

berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada


R

si
umumnya, di dalam praktik dalam lingkungan perusahaan, akan merujuk atas
batas kedewasaan yang digunakankan oleh para notaris, yaitu Pasal 330 KUH

ne
ng

Perdata.134
Untuk membuktikan praktik tersebut, di dalam tulisan Bertrand A.
Hasibuan135 dinyatakan ”… berdasarkan hasil survei ke beberapa kalangan

do
gu

notaris di Medan, para pejabat notaris di Medan untuk menentukan kedewasaan


bertindak di hadapan hukum, salah satu undang-undang atau ketentuan yang
In
menjadi pedoman tentang kedewasaan adalah berpedoman pada Pasal 39 ayat
A

(1)
Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, di samping BW dan UU
ah

lik

Perkawinan. Selanjutnya, di kalangan praktisi hukum, khususnya pandangan


para notaris terdapat dualisme hukum. Karena dalam praktik pembuatan
akta-akta notaris senantiasa berhadapan dengan pembuatan bagian akta yang
m

ub

disebut komparasi, yaitu bagian dari akta notaris yang menguraikan siapa
yang datang menghadap notaris sekaligus menjelaskan status penghadap
ka

ep

dimaksud sehingga diketahui siapakah yang terikat dengan isi akta notaris
yang berkenaan. Penempatan komparasi senantiasa dilakukan pada bagian awal
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 67


M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 67 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 78
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
atau permulaan akta. Bagian komparasi ini akan membicarakan subjek atau

si
pihak dari akta tersebut. Notaris berkewajiban untuk meyakinkan dirinya
atau untuk memastikan wewenang menandatangani akta notaris dari

ne
ng
orang yang datang menghadap notaris sebagai komparan demi kepastian
hukum. Sebab selaku komparan akan mengakibatkan penghadap, baik
secara pribadi maupun sebagai bagian dari organisasi seperti Perseroan Terbatas

do
gu
(Hukum Perusahaan) terikat untuk memenuhi isi dari akta notaris. Apabila dapat
dibuktikan ketidakjelasan status penghadap dalam suatu komparasi, termasuk
kecakapan dalam bertindak, yang disebabkan kelalaian atau ketidaktahuan

In
A
notaris mengakibatkan akta tersebut cacat hukum, dan berdampak dengan yang
disebut malpraktik notaris...”.
ah

lik
Terkait dengan akibat hukum dari suatu perbuatan yang dibuat oleh
seseorang yang tidak cakap akibat belum dewasa, bila mengacu pada UU Jabatan
Notaris maka akta yang dibuat menjadi batal demi hukum.
am

ub
b. Akibat dari Perbuatan yang Dilakukan oleh Seseorang yang
Tidak Memiliki Kewenangan Karena Syarat Umur Tidak Terpenuhi
ep
k

Kajian ini membahas akibat dari syarat umur tidak dipenuhi dan dampaknya pada
ah

kewenangan. Kajian ini memungkinkan seseorang yang menurut undang-undang


R
dianggap dewasa, namun belum berwenang untuk melakukan suatu perbuatan

si
hukum tertentu. Sebagai contoh adalah seseorang yang telah lulus Sarjana Strata
Satu Hukum, dan telah berusia lebih dari 21 (dua puluh satu) tahun, namun belum

ne
ng

berwenang untuk menjadi seorang advokat. Sebab untuk menjadi seorang advokat
berdasarkan Pasal 3 Huruf d Undang-undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 harus

do
gu

berusia minimal 25 tahun. Akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang
tidak memiliki kewenangan akibat syarat umurnya tidak terpenuhi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320131 jo Pasal 1330132 BW, akan berdampak perjanjian yang
In
A

131 Pasal 1320 berbunyi:


ah

lik

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:


1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
m

ub

4. suatu sebab yang tidak terlarang.


132 Pasal 1330 berbunyi:
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah
ka

1. anak yang belum dewasa;


ep

2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;


3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya
semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
ah

es

68 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 68 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 79
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dibuat menjadi dapat dibatalkan. Namun, dalam Pasal 1331 dinyatakan ”Oleh karena

si
itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat
persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam

ne
ng
hal kuasa untuk itu, tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang
cakap untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas
dasar ketidakcakapan seorang anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang

do
gu
ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami”. Artinya,
yang berhak membatalkan adalah orang yang tidak cakap tersebut, bukan orang
lain. Sepanjang perjanjian itu tidak merugikan dan tidak dimohonkan pembatalan

In
A
maka perjanjian tersebut tetap sah. Namun, bila adanya pembatalan yang dimintakan
oleh pihak yang belum dewasa tersebut tetap berlaku, sekalipun pihak yang lain dapat
ah

lik
membuktikan bahwa ia tidak tahu bahwa lawan dari perjanjiannya adalah orang
yang belum dewasa.
am

ub
c. Kesimpulan
BW berada di Bumi Indonesia sejak tahun 1848 sehingga umurnya telah lebih dari 150
tahun. Hal ini menjadi permasalahan ketika tahun 1963 terbit Surat Edaran Mahkamah
ep
k

Agung No. 3 Tahun 1963 yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung pada saat
ah

itu, R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.


R
Isi SEMA No. 3 Tahun 1963 lebih mempopulerkan hal-hal yang dinyatakan tidak

si
berlaku, seperti beberapa pasal di dalam BW, yaitu pasal-pasal 108 dan 110 BW
tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk

ne
ng

menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suami, serta pasal-pasal
lainnya. Namun, perihal gagasan dari Menteri Kehakiman saat itu, Sahardjo, S.H., yang

do
gu

menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang, tetapi sebagai suatu


dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis, tidak
terekspos dengan baik. Padahal, gagasan ini kemudian telah ditawarkan dan disetujui
In
A

secara bulat oleh Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia dan berbagai sarjana
hukum.
Karena alasan ini, tim peneliti selanjutnya berpendapat bahwa kedudukan BW
ah

lik

saat ini tak lebih dari kelompok hukum yang mengisi kekosongan hukum, yang saat
ini belum diatur oleh Hukum Positif133 yang berlaku di Indonesia. Atau dengan kata lain,
m

ub

posisi BW adalah pedoman atau sekumpulan norma-norma hukum secara umum,


yang dianggap berlaku sepanjang belum ada aturan yang spesifik. Konsekuensinya
ka

ep

133 Hukum Positif adalah hukum yang saat ini berlaku di wilayah tertentu (dalam konteks ini adalah
wilayah Indonesia).
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 69


M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 69 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 80
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
adalah apabila dalam Hukum Positif telah diatur suatu pengaturan, seyogianya

si
pengaturan dalam BW menjadi tidak berlaku. Untuk mendukung tesis ini, tim
peneliti mencontohkan pemberlakuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

ne
ng
Terbatas yang menggantikan kedudukan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas yang juga menggantikan pengaturan Pasal 36–Pasal 56 KUHDagang.
Secara literatur dalam lingkungan hukum, relasi antara BW dengan BW adalah

do
gu
Lex Specialis derogat Lex Generalis, yaitu hukum yang khusus mengalahkan hukum
yang umum. Hal ini setidaknya telah ditegaskan dalam Pasal 1 KUHDagang.
Implikasinya terkait dengan pengaturan Pasal 330 BW mengenai

In
A
masalah kebelumdewasaan atau kedewasaan seseorang, akan mengacu pada
ada atau tidak adanya ketentuan atau Hukum Positif yang mengatur masalah
ah

lik
kedewasaan di bidang tertentu.
Uraian di atas menunjukkan terkotak-kotaknya sistem hukum di Indonesia,
khususnya dalam penentuan kecakapan dan kewenangan bertindak dengan
am

ub
masalah kedewasaan itu sendiri. Hal ini disebabkan ketentuan Pasal 330 BW
mengenai umur dewasa belum dicabut, bahkan masih diberlakukan dalam
praktik di pengadilan. Di sisi lain, beberapa undang-undang tidak secara tegas
ep
k

menyatakan umur dewasa, namun perlu ditafsirkan secara a-contrario, sebagaimana


ah

UU Ketenagakerjaan tersebut. Penelitian ini bagi tim peneliti, membuahkan hasil


R
sebagai berikut.

si
1. Kedewasaan dengan kecakapan dan kewenangan untuk bertindak ternyata

ne
ng

dapat dipisahkan. Artinya, seseorang yang belum dewasa berdasarkan Pasal


330 BW, apabila ada undang-undang atau kondisi yang menentukan orang
tersebut mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, perbuatan

do
gu

hukum tersebut dapat diterima (berlaku asas lex specialis derogat generalis).
2. Dari Engelbrecht, dalam footnote-nya Pasal 330 BW diketahui bahwa sebelum
diberlakukannya BW, umur dewasa di Negara Belanda adalah 24 tahun. Namun
In
A

dalam NBW-Belanda kini (1992), diketahui umur dewasanya 18 tahun.


3. Hukum itu dinamis, disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, dan
ah

lik

bahkan cenderung menjadi sarana rekayasa sosial (tesis Roscoe Pound terbukti).

d. Rekomendasi Restatement Mengacu pada Literatur yang Ada


m

ub

Berikut ini rekomendasi dari tim peneliti literatur.


Perlu ditetapkan suatu aturan yang seragam, terkait dengan masalah kecakapan
ka

ep

dan kewenangan yang bertindak dari seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Yang dimaksud dengan keseragaman adalah konsistensi aturan.
ah

es

70 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 70 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 81
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Harmonisasi hukum, baik secara vertikal maupun horizontal terkait dengan batas usia

si
kedewasaan, kewenangan bertindak, dan anak-anak.

ne
ng
e. Akibat dari Perbuatan yang Dilakukan oleh Seseorang yang
Tidak Memiliki Kewenangan Karena Syarat Umur Tidak Terpenuhi

do
gu
Akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki
kewenangan akibat syarat umurnya tidak terpenuhi, sebagaimana diatur dalam Pasal

In
1320134 jo Pasal 1330135 BW, akan berdampak perjanjian yang dibuat menjadi dapat
A
dibatalkan. Namun demikian, dalam Pasal 1331 dinyatakan ”Oleh karena itu, orang-
orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan,
ah

lik
boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal kuasa
untuk itu, tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang cakap untuk
am

ub
mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas dasar
ketidakcakapan seorang anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh
di bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami”. Artinya,
ep
yang berhak membatalkan adalah orang yang tidak cakap tersebut, bukan orang
k

lain. Sepanjang perjanjian itu tidak merugikan dan tidak dimohonkan pembatalan
ah

maka perjanjian tersebut tetap sah. Namun demikian, bila adanya pembatalan yang
R

si
dimintakan oleh pihak yang belum dewasa tersebut tetap berlaku, sekalipun pihak
yang lain dapat membuktikan bahwa ia tidak tahu bahwa lawan dari perjanjiannya

ne
ng

adalah orang yang belum dewasa.

do
gu

In
A

134 Pasal 1320 berbunyi:


ah

lik

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;


1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
m

ub

4. suatu sebab yang tidak terlarang.


135 Pasal 1330 berbunyi:
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah
ka

1. anak yang belum dewasa;


ep

2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;


3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya
semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 71


M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 71 12/13/2010 9:24:41 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 82
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Kesimpulan

si
BW berada di Bumi Indonesia sejak tahun 1848 sehingga umurnya telah lebih dari
150 tahun. Hal ini menjadi permasalahan ketika tahun 1963 terbit Surat Edaran

ne
ng
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah
Agung pada saat itu, R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.

do
Isi SEMA No. 3 Tahun 1963 lebih mempopulerkan hal-hal yang dinyatakan tidak
gu
berlaku, seperti beberapa pasal di dalam BW, yaitu pasal-pasal 108 dan 110 BW
tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk

In
A
menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suami, serta pasal-pasal
lainnya. Namun, perihal gagasan dari Menteri Kehakiman saat itu, Sahardjo, S.H., yang
ah

menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai

lik
suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis,
tidak terekspose dengan baik. Padahal, gagasan ini kemudian telah ditawarkan
am

ub
dan disetujui secara bulat oleh Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia dan
berbagai sarjana hukum.
Karena alasan ini, tim peneliti selanjutnya berpendapat bahwa kedudukan BW
ep
k

saat ini tak lebih dari kelompok hukum yang mengisi kekosongan hukum, yang
ah

saat ini belum diatur oleh Hukum Positif136 yang berlaku di Indonesia. Atau dengan
R

si
kata lain, posisi BW adalah pedoman atau sekumpulan norma-norma hukum
secara umum, yang dianggap berlaku sepanjang belum ada aturan yang spesifik.

ne
ng

Konsekuensinya adalah apabila dalam Hukum Positif telah diatur suatu pengaturan,
seyogianya pengaturan dalam BW menjadi tidak berlaku. Untuk mendukung tesis ini,
tim peneliti mencontohkan pemberlakuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

do
gu

Terbatas yang menggantikan kedudukan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan


Terbatas yang juga menggantikan pengaturan Pasal 36–Pasal 56 KUH Dagang.
Adapun secara literatur dalam lingkungan hukum, relasi antara BW dengan BW
In
A

adalah Lex Specialis derogat Lex Generalis, yaitu hukum yang khusus mengalahkan
hukum yang umum. Hal ini setidaknya telah ditegaskan dalam Pasal 1 KUH Dagang.
ah

lik

Implikasinya terkait dengan pengaturan Pasal 330 BW mengenai masalah


kebelumdewasaan atau kedewasaan seseorang, akan mengacu kepada ada atau
m

ub

tidak adanya ketentuan atau Hukum Positif yang mengatur masalah kedewasaan di
bidang tertentu.
ka

ep

136 Hukum Positif adalah hukum yang saat ini berlaku di wilayah tertentu (dalam konteks ini adalah
wilayah Indonesia).
ah

es

72 Laporan Penelitian
M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 72 12/13/2010 9:24:42 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 83
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Uraian di atas menunjukkan terkotak-kotaknya sistem hukum di Indonesia,

si
khususnya dalam penentuan kecakapan dan kewenangan bertindak dengan masalah
kedewasaan itu sendiri. Hal ini disebabkan ketentuan Pasal 330 BW mengenai umur

ne
ng
dewasa belum dicabut, bahkan masih diberlakukan dalam praktik di pengadilan. Di
sisi lain, beberapa undang-undang tidak secara tegas menyatakan umur dewasa,
namun perlu ditafsirkan secara a-contrario, sebagaimana UU Ketenagakerjaan ini.

do
gu
Bagi Tim Peneliti, dari penelitian literatur ini membuahkan hasil sebagai

In
A
berikut.

1. Kedewasaan dengan kecakapan dan kewenangan untuk bertindak ternyata


ah

lik
dapat dipisahkan. Artinya, seseorang yang belum dewasa berdasarkan
Pasal 330 BW, apabila ada undang-undang atau kondisi yang menentukan
orang tersebut mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu,
am

ub
perbuatan hukum tersebut dapat diterima (berlaku asas lex specialis derogat
generalis).
ep
2. Dari Engelbrecht, dalam footnote-nya Pasal 330 BW diketahui bahwa sebelum
k

diberlakukannya BW, umur dewasa di Negara Belanda adalah 24 tahun.


ah

Namun, dalam NBW-Belanda kini (1992) diketahui umur dewasanya 18


R

si
tahun.

3. Hukum itu dinamis, disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, dan

ne
ng

bahkan cenderung menjadi sarana rekayasa sosial (tesis Roscoe Pound


terbukti).

do
gu

4. Rekomendasi Restatement Mengacu pada Literatur yang Ada


In
A

Berikut ini rekomendasi dari tim peneliti literatur.


Perlu ditetapkan suatu aturan yang seragam, terkait dengan masalah kecakapan
ah

lik

dan kewenangan yang bertindak dari seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Yang dimaksud dengan keseragaman adalah konsistensi aturan.
Harmonisasi hukum, baik secara vertikal maupun horizontal terkait dengan batas usia
m

ub

kedewasaan, kewenangan bertindak, dan anak-anak.


ka

ep
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 73


M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 73 12/13/2010 9:24:42 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 84
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on

isi5-3 fot136.indd 74 12/13/2010 9:24:42 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 85
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
KECAKAPAN DAN KEWENANGAN

si
BERTINDAK DALAM HUKUM

ne
ng
BERDASARKAN BATASAN UMUR

do
SESUAI PERATURAN
gu
Oleh: Universitas Esa Unggul

In
A
ah

lik
A. Hasil Penelitian Berdasarkan Peraturan
am

ub
1. Hasil Penelusuran Peraturan Perundang-Undangan dan
Produk Hukum Lainnya ep
Sesuai dengan tema penelitian ”Kecakapan dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum
k

Berdasarkan Batasan Umur” maka Bahan Hukum Primer penelitian yang diperoleh
ah

berupa peraturan perundang-undangan. Adapun tabel peraturan perundangan


R

si
dan produk hukum lainnya yang diperoleh adalah sebagai berikut.

ne
ng

No. Judul Peraturan Perundangan Tahun


Undang-Undang No. 27 Tahun 1948 tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan
1. 1948
Pemilihan Anggota-anggotanya

do
gu

2. Undang-Undang No.12 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Kerja Tahun 1948 1948
Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota
3. 1953
Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Undang-Undang No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara
In
4. 1954
A

Republik Indonesia
Undang-Undang No. 19 Tahun 1956 tentang Pemilihan Anggota
5. 1956
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ah

lik

6. Undang-Undang No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer 1958

7. Undang-Undang No. 9 Tahun 1964 tentang Gerakan Sukarelawan Indonesia 1964


Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
m

ub

8. 1965
Daerah
9. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1974
ka

10. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 1979


ep

11. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 1983


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 75


M

ng

on

isi6-1.indd 75 12/13/2010 10:00:47 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 86
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
12. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 1995

si
13. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan 1997

ne
ng
14. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 1997

15. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 1999

16. Undang-Undang No. 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih 1999

do
17.
gu Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik 1999

18. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 2000

In
A
19. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2002

20. Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik 2002


ah

lik
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
21. 2002
Republik Indonesia
22. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2003
am

ub
Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
23. 2003
Presiden dan Wakil Presiden
24. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat 2003
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
ep
k

25. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan 2003
Perwakilan Rakyat Daerah
ah

26. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 2004


R

si
27. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 2004

28. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia 2004

ne
ng

29. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 2004

30. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 2004

do
gu

31. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan 2006

32. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan 2006


In
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Per­
A

33. 2007
dagangan Orang
34. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik 2008
ah

lik

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota


35. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan 2008
Rakyat Daerah
36. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas 2009
m

ub

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 56 Tahun 1996 tentang Bukti


37. 1996
Kewarganegaraan Republik Indonesia
ka

38. Peraturan Pemerintah RI No. 72 Tahun 2005 tentang Desa 2005


ep

Peraturan Pemerintah No. 2Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan,
39. 2007
Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
ah

es

76 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-1.indd 76 12/13/2010 10:00:47 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 87
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang No. 6 Tahun 2007 tentang Badan

R
40. 2007

si
Pemusyawaratan Desa
Peraturan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai No. 25 Tahun 2007 tentang
41. Larangan Praktik Tuna Susila, Gelandangan, dan Pengemis di Kabupaten 2007

ne
ng
Serdang Bedagai
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Per-18/
42. Men/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga 2007
Kerja Indonesia di Luar Negeri

do
43.
gu Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran
Keputusan Menteri KehakimanRepublik Indonesia No. M.02- IZ.01.10 Tahun
2008

44. 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa TinggalTerbatas, Izin Masuk, 1995

In
A
dan Izin Keimigrasian
SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No.
45. 1977
Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977
ah

lik
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1964 tentang Gagasan
46. 1964
Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang
Huwelijksordonantie-Indonesiers Java Minahasa en Amboina. (Ordonantie 15 Feb
47. 1933
1933, S.1933-74)
am

ub
Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan. (Aanvullende
48. 1938
Plantersregeling) S. 1938-98 jo. 136, s.d. u.dg. S. 1 939-546
Pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia (Reglement Op Het Notaris ambt in
49. 1860
Indonesie (Stb. 1860: 3)
ep
k

50. Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991) 1991


ah

a. Sumber Data
R

si
Data bahan-bahan penelitian berupa peraturan perundang-undangan diperoleh
dari beberapa sumber, baik melalui internet, CD Pustaka Perundang-Undangan,

ne
ng

berbagai perpustakaan, seperti Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,


Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan DPR RI. Selain itu, penulis juga melakukan

do
penelusuran data ke DPR dan beberapa kementerian, seperti Kementerian Kesehatan
gu

RI, Kementerian Hukum dan HAM RI, dan Kementerian Agama RI.
In
A

b. Pengolahan Data
Data diolah dengan melalui bebeberapa tahapan.
1) Pengumpulan Data
ah

lik

Seluruh peraturan dikumpulkan, kemudian disusun dalam suatu tabel dengan


mendata tahun dan jenis peraturan terkait. Tahun diundangkannya suatu peraturan
m

ub

diperlukan untuk memahami kronologi perkembangan suatu aturan tertentu.


2) Pengkualifikasian
ka

Setelah data dikumpulkan, kemudian dilakukan pengelompokan ber­


ep

dasarkan tujuan penelitian, yang terdapat dalam Term of Reference, dengan


fokus pencarian data perundang-undangan dan produk hukum lainnya terhadap
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 77


M

ng

on

isi6-1.indd 77 12/13/2010 10:00:47 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 88
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
beberapa hal terkait dengan kecakapan dan kewenangan terkait batasan umur

si
yang memiliki implikasi secara komersial dalam hukum keperdataan.
3) Identifikasi Masalah

ne
ng
Setelah didapatkan beberapa pengelompokan maka dicari beberapa masalah
yang dianggap menimbulkan disharmoni perundang-undangan.

do
gu
2. Pengelompokan Masalah
Dari berbagai peraturan perundang-undangan dan produk hukum lain yang terkait

In
A
dengan pengaturan kecakapan dan kewenangan bertindak, terkait dengan batasan
umur, kami dapat menyimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut:
ah

lik
a. ada beberapa istilah terkait dengan perumusan batasan umur yang berbeda-
beda dalam peraturan perundang-undangan;
am

ub
b. ada perbedaan batasan umur, baik antar undang-undang maupun peraturan
perundang-undangan di bawahnya;

c. adanya implikasi yang berbeda-beda terhadap konsep batasan umur dalam


ep
k

kecakapan dan kewenangan di dalam putusan pengadilan.


ah

si
3. Teknik Penelitian
Dalam hal ini, dilakukan pengutipan langsung dari BW berbahasa Belanda untuk

ne
ng

menunjukkan yang aslinya dan kemudian memberi perbandingan terjemahan dari


beberapa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu

do
gu

1) Prof. R. Soebekti, S.H.,


2) Dr. Andi Hamzah, S.H., dan
3) Engelbrecht.
In
A


Kemudian dilakukan analisis dengan pendekatan 1) komparatif guna mem­
ah

bandingkan antarperaturan dan terjemahan dari masing-masing BW; setelah berbagai


lik

macam penggunaan istilah dan konsep terkait dengan tema dipetakan, digunakan
pendekatan 2) deskriptif untuk menggambarkan berbagai istilah yang digunakan
m

ub

dalam masing-masing peraturan berikut landasan konsepsionalnya; dan selanjutnya


3) preskriptif, yaitu masalah-masalah disharmoni peristilahan yang diperoleh
ka

dicarikan pemecahan permasalahannya guna mendapatkan rekomendasi bagi


ep

restatement dalam hukum perdata, khususnya terkait dengan bidang perkawinan,


perikatan, ketenagakerjaan serta hukum perusahaan.
ah

es

78 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-1.indd 78 12/13/2010 10:00:47 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 89
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. Ruang Lingkup Penelitian

si
Mengingat penelitian ini diarahkan pada kajian hukum perdata yang memiliki
dampak komersil, sebagaimana telah dicantumkan dalam Term of Refference (TOR)

ne
ng
dan Inception Report maka peneliti membagi klasifikasi peraturan yang ditemukan
hanya dalam lingkup permasalahan hukum yang terkait dengan kecakapan,

do
antara lain sebagai berikut:
gu
a. masalah perkawinan,
b. masalah perikatan,

In
A
c. masalah tenaga kerja, dan
d. masalah penghadap ke notaris.
ah

lik

Ruang lingkup pembahasan yang terkait dengan kecakapan dan
kewenangan bertindak terkait dengan batasan umur adalah mengenai
am

ub
a. masalah peristilahan,
b. perbedaan batasan umur, dan
ep
k

c. akibat adanya perbedaan batasan umur.



ah

Adanya makna istilah kewenangan dalam hukum publik, hanya dibatasi pada
R

si
hal-hal yang akan memiliki implikasi komersial sebagai perbandingan, misalnya
syarat umur bagi pemegang Surat Izin Mengemudi (SIM), batasan umur untuk

ne
ng

Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan batasan umur yang terkait dengan pengertian
anak yang ada di undang-undang kewarganegaraan.

do
gu

5. Definisi Kecakapan, Kewenangan, Belum Dewasa, dan Anak


In
A

Terhadap ”Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur”,


terdapat dua hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu maknanya secara operasional,
yaitu ”Kecakapan” dan ”Kewenangan”, mengingat pengertian keduanya dalam
ah

lik

hukum berbeda. Namun peneliti mendapatkan kendala bahwa di dalam


peraturan perundang­-undangan tidak terdapat pengertian tentang kecakapan
m

ub

dan kewenangan secara eksplisit. Pengertian secara tersirat mengenai kecakapan


diperoleh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) berdasarkan
ka

interpretasi atas bunyi dalam beberapa pasal BW. Adapun pengertian-


ep

pengertian yang didapatkan dari peraturan perundang-undangan tersebut


adalah sebagai berikut.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 79


M

ng

on

isi6-1.indd 79 12/13/2010 10:00:48 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 90
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
a. Istilah Kewenangan

si
Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai hasil terjemahan
dari Burgeljk Wetboek (BW) terdapat beberapa perbedaan antara penggunaan kata

ne
ng
”bevoeg” untuk menunjukkan suatu ”wewenang atau hak”. Salah satunya adalah Pasal
945 alinea 2 BW yang sumber aslinya menyebutkan

do
gu
”....Hij is echter bevoeg om bij een onderhandsch stuk te beschikken op den
voet en de wijze als hierboven bij artikel935 is omschreven. (AB. 16, 18; Bw.
936, 938, 953; S. 10-296* bl. 183; Civ. 999v)”

In
A
Pasal tersebut kemudian diterjemahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 945 BW menurut beberapa ahli berikut.
ah

lik
1. Prof. R. Soebekti, S.H.
am

ub
”...sementara berhaklah ia dengan surat di bawah tangan mengambil
sesuatu ketetapan atas dasar dan cara seperti dalam Pasal 935.”
2. Dr. Andi Hamzah, S.H.
”... Namun ia berwenang untuk membuat penetapan dengan surat di bawah
ep
k

tangan atas dasar dan cara seperti yang diuraikan dalam Pasal 935.”
3. Engelbrecht
ah

”... Namun, dia berwenang untuk membuat penetapan dengan surat di


R

si
bawah tangan atas dasar dan dengan cara seperti yang diuraikan dalam
Pasal 935.”

ne
ng


Pada Pasal 365 alinea 5 BW, kata ”bevoeg” digunakan secara tidak konsisten
melalui terjemahan, pasal aslinya berbunyi

do
gu

”Het bestuur is ook bevoegd desverkiezende het beheer over het vermogen van
beepald aangeduide minderjarigen”
Dr. Andi Hamzah, S.H. menerjemahkannya sebagai ”... Pengurus berhak
In
A

pula atas kehendaknya menyerahkan pengurusan harta kekayaan anak-anak


belum dewasa.”
ah

lik

Sementara itu, Prof. R. Soebekti, S.H. menerjemahkannya sebagai ”... Pengurus


berhak pula sesuka hati, asalkan dengan surat, menyerahkan pengurus harta
kekayaan anak­-anak belum dewasa yang dengan tegas ditunjukkannya”.
m

ub

Demikian juga yang telah diterjemahkan oleh Engelbrecht menggunakan kata


”hak”.
ka

Dalam hal ini Prof. R. Soebekti lebih konsisten mempergunakan istilah ”hak”.
ep

Dengan demikian, pengertiannya sama dengan pengertian ”bevoeg”.


ah

es

80 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-1.indd 80 12/13/2010 10:00:48 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 91
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dari penelusuran istilah ”wewenang” dalam bertindak terkait batasan umur

si
dalam BW, pada umumnya memberikan persyaratan faktor-faktor tertentu,
seperti penetapan Presiden (Pasal 29 BW), izin (Pasal 31 BW), surat kuasa (365

ne
ng
alinea 4 BW), surat di bawah tangan (945 BW), termasuk batasan umur (897 BW).
Dengan adanya penafsiran kata ”bevoeg” yang mengacu pada dua kata
”wewenang” dan ”hak”, hal ini mempunyai konsekuensi yuridis yang seharusnya

do
berbeda. gu
b. Istilah Cakap

In
A
Dalam Pasal 1330 BW dinyatakan bahwa ”Onbekwaam om overeenkomsten te
treffen ziijn:
ah

lik
a. minderjarigen;
b. die onder curatele gesteld zijn;
c. getrouwde vrouwen, in de gevelien bij de wet voorzien.
am

ub

Secara konsepsional, cakap (bekwaam) terkait kepada keadaan seseorang
berdasarkan unsur fisiologis dan psikologis sehingga makna kecakapan terkait
ep
k

dengan umur, melekat pada mereka yang telah tidak lagi ”minderjarig”, yaitu
ah

setelah dianggap memasuki fase kedewasaan akhir atau disebut adulthood, yaitu
R
21 tahun (Pasal 330 BW). Hal ini terkait dengan kapasitas mental dan akal

si
sehat seseorang untuk mengetahui akibat-akibat perbuatannya.

ne
ng

c. Perbedaan Istilah Belum Dewasa dan Anak


Pasal 904 BW menyatakan ”Een minderjarige, ofschoon denouderdom van achttien

do
gu

jaren bereikt hebbende, kan bij uitersten wil tenvoordeele van zijnen voogd geene
beschikking maken...”
Kata ”minderjarige” di dalam terjemahan BW dimaknai dengan beberapa istilah
In
A

seperti ”belum dewasa”, ”di bawah umur”, maupun ”anak di bawah umur”.
Di samping ketentuan di atas, ada pula kondisi yang disebut sebagai
pendewasaan (handlichting), yaitu suatu lembaga hukum di mana orang yang
ah

lik

belum dewasa tetapi telah mencapai syarat-syarat tertentu dalam hal tertentu dan
sampai batas­-batas tertentu menurut ketentuan undang-undang dapat memiliki
m

ub

kedudukan hukum yang sama dengan orang dewasa. Selanjutnya, pendewasaan itu
sendiri dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu
ka

1. Pendewasaan Penuh
ep

Diatur dalam Pasal 421 KUH Perdata (Venia Aetatis), yaitu seseorang yang telah
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 81


M

ng

on

isi6-1.indd 81 12/13/2010 10:00:48 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 92
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
berusia 20 tahun dapat mengajukan permohonan pendewasaan secara penuh

si
dan permohonan tersebut diajukan kepada presiden.

ne
ng
2. Pendewasaan Terbatas
Diatur dalam Pasal 426–43 KUH Perdata, yaitu seseorang dapat mengajukan
pendewasaan secara terbatas apabila usianya telah mencapai 18 tahun,

do
gu
dengan syarat orang tua/walinya tidak keberatan, dan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang, dan dapat ditarik kembali sewaktu-
waktu.

In
A
Namun dalam praktiknya saat ini, pendewasaan jarang dilakukan seseorang,
ah

lik
mengingat banyak peraturan perundang-undangan yang memungkinkan
seseorang mendapatkan wewenang untuk bertindak. Contohnya seorang pria
yang belum berusia 21 tahun sudah dibolehkan kawin dengan pihak wanita yang
am

ub
masih berusia 16 tahun karena adanya pengaturan Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 6 ayat (2)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang membolehkan pasangan tersebut
melangsungkan perkawinan, sepanjang ada izin kedua orang tua.
ep
k
ah

B. Masalah Penafsiran Atas Istilah-Istilah dalam


R

si
Peraturan Perundang-undangan dan
Produk Hukum Lainnya

ne
ng

1. Analisis “Makna Kecakapan dan Kewenangan” dalam UU


Perkawinan

do
gu

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang saat ini berlaku tidak
terdapat istilah ”kecakapan” secara eksplisit terkait dengan batasan umur, namun
In
A

menggunakan istilah ”kewenangan” untuk jabatan publik. Misalnya, pada Pasal 23


huruf c yang berbunyi: ”Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan
belum diputuskan...”.
ah

lik

Terhadap kemampuan bertindak seseorang digunakan istilah ”kekuasaan”,


sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 49 ayat (1) berikut ini:
m

ub

”Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan
ka

orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, dan saudara
ep

kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan


keputusan Pengadilan dalam hal-hal...”.
ah

es

82 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-1.indd 82 12/13/2010 10:00:48 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 93
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 ini dianggap merupakan pengecualian
bagi keadaan khusus dalam kecakapan terhadap seseorang untuk
bertindak melangsungkan perkawinannya ketika mereka belum berumur

ne
ng
21 (dua puluh satu) tahun melalui pemberian wewenang berupa izin kedua
orang tua.137 Di sisi lain, Pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menegaskan
bahwa umur 21 merupakan kemampuan seseorang untuk bertindak karena

do
gu
sudah dianggap memiliki kecakapan sebagai orang dewasa sebagaimana
diatur dalam Pasal 330 BW sehingga tidak lagi memerlukan izin dalam
perbuatannya.

In
A
Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan memberikan batasan umur 18 tahun
bagi seseorang untuk mendapatkan hak-hak untuk melakukan perbuatan
ah

lik
hukum. Apakah hal ini dianggap sama dengan menyatakan bahwa umur
18 tahun telah dewasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 330 BW yang
mencantumkan batasan umur dewasa (21 tahun)?
am

ub
Dalam Pasal 46 ayat (2) UU Perkawinan dinyatakan bahwa ”Jika anak telah
dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya....”. Istilah ”dewasa”
ep
menjadi semakin kabur, jika melihat dengan penafsiran sistematikal,
k

bahwa kedudukan Pasal 46 ayat (2) terletak sebelum Pasal 47, yang artinya
ah

pengertian kata ”dewasa” mengacu pada pasal-pasal sebelumnya. Dalam


R
hal ini, ketentuan yang mengatur batasan umur adalah Pasal 6 dan 7 UU

si
Perkawinan, yang menyatakan bahwa seseorang berumur 21 tahun dapat
melakukan perkawinan. Jadi, batasan umur hal ini sama dengan makna

ne
ng

kedewasaan pada Pasal 330 BW.

Setelah adanya perkawinan, meskipun umurnya belum genap 21 tahun

do
gu

seseorang telah dapat dianggap cakap, karena dianggap sudah tidak lagi
”belum dewasa” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 330 BW, khususnya
alinea kedua yang berbunyi: ”Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur
In
A

mereka genap 21 tahun maka mereka tidak kembali berstatus belum


dewasa”, dan Pasal 1330 BW terhadap status kedewasaannya.138
ah

lik
m

ub

137 Dalam Pasal 7 ayat (1) menyatakan umur minimal bagi seorang pria dan wanita yang belum dewasa,
ka

sebagaimana dinyatakan bahwa ”Perkawinan hanya diizinkan pihak pria sudah mencapai umur 19
ep

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
138 Pasal 1330 BW menyatakan bahwa ”Tak cakap untuk membuat persetujuan adalah anak yang belum
dewasa.”
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 83


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 83 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 94
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Kemampuan dan Kecakapan dalam UU Ketenaga­

si
kerjaan
Contoh penggunaan kata kemampuan dan kecakapan terkait dengan batasan

ne
ng
umur selanjutnya adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK),
khususnya Pasal 51 ayat (2) yang berbunyi ”Perjanjian kerja yang dipersyaratkan
secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

do
gu
berlaku.” Selanjutnya Pasal 52 ayat (1) berbunyi: ”Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
huruf b kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum”, sementara

In
penjelasan huruf b menyebutkan bahwa ”yang dimaksud dengan kemampuan
A
atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk
membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian
ah

lik
adalah orang tua atau walinya”.
Dalam ketentuan Pasal 51, 52 ayat (1) serta penjelasan Pasal 52 ayat (1) huruf b
tersebut jelas tidak menyatakan suatu kemampuan atau kecakapan untuk membuat
am

ub
suatu perjanjian dilakukan oleh orang yang telah ”dewasa”. Secara interpretatif hal
ini menjadi ambigu karena kemampuan atau kecakapan hanya dinyatakan ”sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Tentu hal ini terkait dengan
ep
k

pengertian kalimat penjelasan Pasal 52 ayat (1) huruf b UUK, yaitu ”... adalah para
ah

pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian”.
R
Terhadap penafsiran dari ketentuan tersebut, terdapat dua hal yang bisa

si
dijadikan rujukan pengertian berdasarkan hukum (rechtmatigheid). Pertama adalah
Pasal 1320, jis 1330 jis 330 BW, yaitu kecakapan bertindak dengan salah satu syaratnya

ne
ng

adalah ”dewasa” karena telah berumur 21 tahun. Kedua adalah merujuk kepada UUK
itu sendiri yang menyatakan bahwa umur selain tenaga kerja anak, yaitu genap 18

do
gu

tahun telah dianggap mampu dan cakap, sesuai dengan pengertian dalam Pasal 1
angka 26 UU a quo yang menyatakan ”Anak adalah setiap orang yang berumur di
bawah 18 tahun”.
In
A

Penafsiran secara a-contrario menyebabkan berlakunya asas lex spesialis derogat


lex generalis atas kalimat ”mampu dan cakap menurut hukum” dengan mengartikan
umur yang mampu dan cakap adalah genap 18 tahun. Hal ini juga terdapat dalam
ah

lik

ketentuan Pasal 1601 g alinea 2 BW, yang berbunyi ”Surat kuasa lisan hanya berlaku
untuk membuat suatu perjanjian kerja tertentu. Jika anak yang belum dewasa belum
m

ub

berumur 18 tahun maka kuasa itu harus diberikan di hadapan majikan, atau orang
yang mewakilinya. Kuasa tersebut tidak dapat diberikan dengan bersyarat”. Oleh
ka

karena itu, terhadap ketentuan ketenagakerjaan dianggap umur genap 18 tahun


ep

adalah mampu dan cakap serta menegasikan ketentuan Pasal 330 jis 1330 jis 1320
BW.
ah

es

84 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 84 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 95
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dengan demikian, terdapat suatu rumusan yang kurang jelas atas Pasal 52

si
ayat (1) UU Ketenagakerjaan serta penjelasaannya, mengingat hal tersebut justru
menimbulkan arti ganda sesuai penjabaran di atas.

ne
ng
3. Istilah Kedewasaan dalam Peraturan Menteri Kesehatan

do
Terkait dengan istilah kedewasaan, terdapat persoalan terhadap konsep ”kedewasaan”.
gu
Di beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti Peraturan Menteri
Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

In
A
yang memberi syarat material bagi perjanjian informed concent, khususnya Pasal
1 angka 7 menyatakan ”Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan
anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
ah

lik
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami
kemunduran perkembangan (retardasi) mental, dan tidak mengalami penyakit
am

ub
mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas”. Ketentuan tersebut
tidak mencantumkan batasan umurnya.
Pasal 13 Peraturan Menteri tersebut menyatakan bahwa ”Persetujuan diberikan
ep
oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat”. Pertanyaannya adalah berapa
k

sesungguhnya umur pasien dewasa atau bukan anak yang dimaksud dalam
ah

peraturan tersebut ini sehingga dianggap kompeten atau cakap?


R

si
Penggunaan istilah dewasa atau bukan anak menjadi ambigu dalam beberapa
peraturan perundang-undangan sebagaimana contoh di atas. Hal ini disebabkan

ne
ng

pada umumnya pengertian ”anak” dalam undang-undang yang berlaku adalah


rata-rata di bawah umur 18 tahun, contohnya UU Perlindungan Anak, UU Hak Asasi
Manusia, dan UU Ketenagakerjaan (lihat Tabel 1). Selain ketentuan Pasal 330 BW jo

do
gu

Pasal 1330 BW, pada kenyataannya memang tidak pernah ada undang-undang yang
saat ini berlaku menggunakan kata ”dewasa”.
Di sisi lain, Pasal 330 BW alinea keempat menggunakan istilah ”belum dewasa”,
In
A

sebagaimana dinyatakan ”Untuk menghilangkan keragu-raguan yang disebabkan


oleh adanya Ordonansi tanggal 21 Desember 1917 dalam S. 1917-738 maka
ah

lik

Ordonansi ini dicabut kembali dan ditentukan sebagai berikut.


1) Bila peraturan-peraturan menggunakan istilah ”belum dewasa” maka sejauh
mengenai penduduk Indonesia, dengan istilah ini dimaksudkan semua orang
m

ub

yang belum genap 21 tahun dan yang sebelumnya tidak pernah kawin.
2) Bila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka berumur 21 tahun maka
ka

ep

mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.


3) Dalam pengertian perkawinan tidak termasuk perkawinan anak-anak.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 85


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 85 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 96
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dengan adanya ketentuan di atas, pemahaman terhadap makna “dewasa atau

si
bukan anak” dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menjadi kabur, sebab pengertian pasien

ne
ng
dewasa atau bukan anak tidak memiliki batasan umur yang jelas berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, ada pula penggunaan kata ”anak yang belum cukup umur”.

do
gu
Di dalam Peraturan Daerah Kota Tarakan No. 6 Tahun 2007 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan HIV/AIDS Pasal 22 ayat (7) huruf b menyatakan ”Jika ada
persetujuan/izin dari orang tua atau wali dari anak yang belum cukup umur, cacat

In
A
atau tidak sadar”. Dalam Peraturan Daerah ini juga tidak disebutkan batasan umur
yang dianggap belum cukup umur.
ah

lik
Dari beberapa ketentuan peraturan yang diperoleh, dapat dikelompokkan
penggunaan istilah sebagai berikut:
1. pengaturan dengan istilah dewasa;
am

ub
2. pengaturan dengan istilah belum dewasa;
3. pengaturan dengan istilah belum cukup umur;
4. pengaturan dengan istilah anak.
ep
k
ah

Hal ini dapat dilihat dari diagram berikut.


R

si
ne
ng

Belum Dewasa = 5.55%


Belum Dewasa = 5.55%
Belum Dewasa = 5.55%

do
gu

In
A

Catatan:
Ada satu Peraturan Daerah yang menyebutkan istilah ”belum cukup umur”.
ah

lik

C. Perbedaan Batasan Umur dalam Bertindak


m

ub

Pada kenyataannya, dalam banyak undang-undang, contohnya UU No. 12 Tahun 2006


tentang Kewarganegaraan, status anak adalah mereka yang berumur belum genap
ka

18 tahun. Dengan demikian, secara a-contrario seseorang sudah dapat bertanggung


ep

jawab secara hukum untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk memilih status
kewarganegaraan pada umur 18 tahun. Apakah hal ini dapat dikatakan sebagai
ah

es

86 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 86 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 97
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
telah mampu bertindak secara hukum yang memiliki konsekuensi tanggung jawab

si
keperdataan?
Demikian juga dalam perspektif ekonomi, kemampuan bertindak secara hukum

ne
ng
seseorang dapat dimulai sejak mereka memiliki identitas diri, seperti kartu tanda
penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM), yang pada umumnya sebagai
syarat untuk melakukan pekerjaan. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

do
gu
Kependudukan Pasal 63 ayat (1) menyebutkan bahwa ”Penduduk Warga Negara
Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur
17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”.

In
A
Sementara itu, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Pasal 81 ayat (1) dan (2)
menyatakan:
ah

(1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

lik
77, setiap orang harus memenuhi persyaratan umur, administratif, kesehatan,
dan lulus ujian.
am

ub
(2) Syarat umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah
adalah sebagai berikut: umur 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi
A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D.
ep
k

Dari berbagai sumber data terhadap pencari kerja di Indonesia, sebagian besar
ah

perusahaan, khususnya yang bergerak di bidang retail dan customer service, memberi
R

si
persyaratan umur minimal 17 tahun dan memiliki SIM. Oleh karena itu, umur
produktif di Indonesia sesungguhnya telah dimulai pada umur 17 atau 18 tahun.

ne
ng

Lebih jauh, dalam konteks batasan umur untuk bertindak diperoleh dari UU No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa syarat untuk menjadi penghadap dan
saksi di antaranya adalah telah berumur 18 tahun dan cakap melakukan perbuatan

do
gu

hukum. Dengan demikian, oleh pembuat undang-undang umur 18 tahun dianggap


telah dapat dibebani tanggung jawab hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1)
yang mengatakan bahwa ”Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
In
A

a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;


b. cakap melakukan perbuatan hukum.”
ah

lik

Bunyi dalam pasal tersebut membedakan antara wewenang seseorang yang


telah berumur 18 (delapan belas) untuk menghadap ke depan notaris, dengan
m

ub

kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum. Pemberian kata ”dan” pada butir
a, sebelum istilah ”cakap melakukan perbuatan hukum” pada butir b, memiliki makna
ka

syarat kumulatif yang harus dipenuhi sehingga ketika seseorang sudah berumur 18
ep

tahun maka ia dianggap memiliki kewenangan untuk menghadap ke depan notaris


meskipun belum tentu cakap. Hal ini menimbulkan pertanyaan untuk apa mereka
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 87


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 87 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 98
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
menghadap pada umur tersebut? Dalam hal ini hukum perdata mengatur bahwa

si
seseorang pada umur 18 tahun telah memiliki kemampuan bertindak secara hukum
dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu dan hal tersebut dapat dilakukan di

ne
ng
hadapan notaris, seperti membuat wasiat (Pasal 897 BW), melakukan perjanjian
kerja atau pendirian perusahaan. Namun, untuk perbuatan hukum lainnya, seperti
perjanjian dalam buku III BW belum dianggap cakap sebagaimana dimaksud oleh

do
gu
ketentuan Pasal 1320 BW.
Dapat disimpulkan bahwa selain perbedaaan antara kecakapan dan kewenangan
bertindak terkait dengan batasan umur, dalam kecakapan bertindak terdapat 2

In
A
pengertian kecakapan, yaitu secara luas untuk melakukan perbuatan hukum dalam
semua ketentuan ketika mereka telah berumur 21 tahun, sepanjang tidak dinyatakan
ah

tidak cakap oleh peraturan perundang-undangan (misalnya Pasal 1330 BW), dan

lik
kecakapan terbatas, yaitu kecakapan hanya untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan dengan
am

ub
syarat umur 18 tahun.
ep
D. Analisis
k

1. Analisis UU ITE terhadap Kecakapan dan Kewenangan


ah

R
Bertindak Berdasar Umur

si
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak

ne
ng

menggunakan istilah yang terkait dengan tema ”kecakapan dan kewenangan


bertindak berdasarkan batas umur”. Namun mengingat bahwa transaksi
elektronik mengacu pada perbuatan hukum terkait dengan perikatan (dalam

do
gu

hal ini bersifat elektronik) yang menimbulkan akibat hukum perikatan maka
hal ini menarik untuk diteliti, karena justru UU ITE tidak mengatur masalah
kecakapan atau kewenangan bertindak secara khusus (lex specialis) dan tidak
In
A

memberi pengaturan secara jelas terhadap syarat material bagi perbuatan


hukum perjanjian elektronik. Dengan demikian, menjadi kompleks ketika UU ITE
ah

memberikan keluasan makna bagi ”seseorang” yang melakukan transaksi dalam


lik

elektronik, hal yang sekiranya dapat berbenturan dengan BW.



m

ub

Analisisnya adalah sebagai berikut.


Pasal 2 UU ITE, yang berlaku pada siapa pun, menyatakan sebagai berikut.
ka

”Undang-Undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan


ep

hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada


di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
ah

es

88 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 88 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 99
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah
hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”

ne
ng
Dari hasil temuan yang diperoleh menunjukkan adanya ketidakjelasan
pengaturan terhadap subjek hukum yang melakukan perbuatan hukum. Hal

do
gu
ini disebabkan bunyi ketentuan Pasal 2 UU ITE hanya menyatakan ”Berlaku
untuk setiap orang” sehingga dalam kaitannya dengan ”kecakapan” maupun
”kewenangan” hal tersebut tidak menjelaskan batasan umur seseorang untuk

In
A
melakukan perbuatan hukum berupa transaksi elektronik.
Transaksi elektronik dapat dilakukan secara perseorangan sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 butir 21 ”Bahwa orang adalah orang
ah

lik
perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing maupun badan
hukum.” Hal ini perlu dicermati mengingat dengan tidak diaturnya ketentuan
am

ub
mengenai batas umur, memungkinkan seseorang yang belum dewasa dapat
melakukan transaksi elektronik. Di sisi lain, penyelenggaraan transaksi elektronik
belum ada pengaturan yang lebih teknis berdasarkan Pasal 17 ayat 3 UU ITE.
ep
Faktanya banyak kejahatan di dunia maya (cyber crime) dilakukan oleh anak
k

kecil, sebagaimana yang diungkapkan di dalam MVT (Memory Van Toelichting


ah

atau memori penjelas)139 dalam kasus pembuatan situs serupa milik BCA oleh
R

si
seseorang. Hal ini berlaku juga terhadap Pasal 9,140 Pasal 17,141 Pasal 21.142
”Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus

ne
ng

menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawarkan.” Kalimat tersebut tidak menjelaskan

do
gu

139 Sidang Raker DPR RI dengan Menkominfo dan Menhukham, Rabu, 17 Mei 2006, hlm. 4.
140 Pasal 9 UU ITE menyatakan ”Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyedia-
kan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.”
In
A

141 Pasal 17 UU ITE menyatakan


(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik
dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama
ah

lik

transaksi berlangsung.
142 Pasal 21 UU ITE menyatakan:
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikua-
sakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
m

ub

(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi
ka

tanggung jawab pada pihak yang bertransaksi;


ep

b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hu-
kum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 89


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 89 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 100
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
keabsahan transaksi dan tidak ditentukan syarat subjektif dalam melakukan

si
perbuatan hukum atau transaksi serta dalam kontrak elektronik tidak mengacu pada
aturan lain atau teknis berkontrak.

ne
ng
Pelaku usaha diasumsikan adalah seseorang yang memiliki kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum, khususnya perbuatan jual beli yang diatur dalam buku
III BW. Dengan demikian, persyaratan-persyaratan untuk syarat sahnya perjanjian

do
gu
akan mengacu pula kepada ketentuan umum BW.
Mengingat bahwa dalam UU ITE tidak menggunakan ketentuan khusus tentang
syarat kontrak baik dalam pasal maupun penjelasannya maka syarat sahnya kontrak

In
A
dalam transaksi elektronik akan merujuk pada ketentuan Pasal 1320 jis 1330 jis 330
BW. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama tidak ditentukan secara khusus
ah

lik
maka undang-undang a quo selalu dianggap menggunakan Pasal 330 BW dalam
kecakapan dan kewenangan bertindak. Dalam perikatannya tunduk pada Pasal
1320 BW karena sesungguhnya transaksi elektronik secara subtansial sama dengan
am

ub
transaksi perdata yang dilakukan secara konvensional. Perbedaannya pada persoalan
penggunaan media elektronik, yaitu digital transaction, misalnya e-commercial.
ep
k

2. Analisis Undang-Undang Perkawinan terhadap Kecakapan


dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur
ah

si
Dalam UU Perkawinan, ada beberapa pasal yang menjadi perhatian peneliti berkaitan
dengan ”Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batas Umur”. Pasal

ne
ng

tersebut adalah sebagai berikut.

Pasal 6

do
gu

(2) Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai


umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
In
A

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin


dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
ah

lik

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
m

ub

belas) tahun.
Di dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) memperlihatkan bahwa
kewenangan untuk melakukan perkawinan bersifat mutlak ketika seseorang
ka

ep

sudah berumur 21 tahun. Jadi, meskipun menurut Pasal 7 ayat (1), pria
yang mencapai umur 19 tahun dan wanita yang mencapai umur 16 tahun
ah

es

90 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 90 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 101
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
berwenang untuk melakukan perkawinan, kewenangan tersebut bersifat

si
terbatas karena masih memerlukan izin kedua orang tua.
Dengan melakukan perbuatan hukum perkawinan akan membawa
dampak orang tersebut menjadi cakap untuk bertindak dalam hukum.

ne
ng
Namun, terdapat permasalahan penafsiran terhadap bunyi Pasal 47
ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan: ”Anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan

do
gu
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.”
Dengan demikian, anak yang sudah melampaui umur 18 tahun, tidak

In
A
berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali. Hal ini menunjukkan
bahwa dia sudah mampu bertanggung jawab secara hukum (cakap).
Berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 1330 jo 330 BW yang mendasarkan
ah

lik
kecakapan pada umur dewasa, yaitu 21 tahun.

3. Analisis Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Kecakapan


am

ub
dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur
UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa ”Pekerja/buruh adalah
ep
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
k

Ini dimaknai setiap orang yang bekerja tidak hanya orang dewasa, namun juga anak-
ah

anak. Pada prinsipnya, mempekerjakan anak itu tidak diperbolehkan berdasarkan


R

si
Pasal 68. Namun, prinsip tersebut dapat disimpangi dengan ketentuan dalam
Pasal 69 yang berbunyi ”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat

ne
ng

dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15
(lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial”. Oleh karena itu, ketentuan

do
gu

Pasal 69 ini memungkinkan seorang anak dapat bekerja. Definisi anak sendiri dapat
diperoleh dalam Pasal 1 Angka 26, yaitu anak adalah setiap orang yang berumur di
In
bawah 18 (delapan belas) tahun.
A

Permasalahan yang terkait dengan batasan umur dalam Undang-Undang


ketenagakerjaan (UUK) adalah bunyi ketentuan pada Pasal 52 UUK:
ah

lik

”Perjanjian kerja dibuat atas dasar:


1. kesepakatan kedua belah pihak;
m

ub

2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;


3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
ka

ep

4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,


kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.”
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 91


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 91 12/13/2010 9:26:44 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 102
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hal yang menjadi catatan adalah kata-kata yang tercantum pada poin 2, yaitu ”...

si
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum”. Hal ini karena adanya
frasa ”perbuatan hukum” dalam Pasal 52 butir 2 akan menimbulkan penafsiran ganda,

ne
ng
mengingat kata ”perbuatan hukum” terkait dengan perjanjian dapat dimaknai tidak
hanya merupakan perjanjian pekerjaan, namun juga hal-hal lain, seperti perjanjian
jual-beli, sewa-menyewa, atau utang piutang. Meskipun dalam asas hukum kita

do
gu
mengenal prinsip lex specialis derogat lex generalis, penggunaan kata ”perbuatan
hukum” dalam Pasal a quo dianggap kurang tepat. Akan lebih tepat jika digunakan
kalimat ”kemampuan atau kecakapan melakukan pekerjaan”.

In
A
4. Analisis Undang-Undang Jabatan Notaris terhadap Kecakapan
dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur
ah

lik
Pasal 330 BW memberi batas di bawah umur adalah belum 21 tahun penuh. Umur
dewasa bukanlah syarat mutlak untuk menentukan kecakapan dalam hukum. Anak
am

ub
di bawah umur yang telah berumur 18 tahun, telah dianggap cakap untuk membuat
wasiat, sebagaimana dalam Pasal 897 BW.
UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa syarat untuk
ep
menjadi penghadap dan saksi di antaranya adalah telah berumur 18 tahun dan
k

cakap melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian, umur 18 tahun dianggap


ah

oleh pembuat undang-undang telah dapat dibebani tanggung jawab hukum,


R

si
sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) berikut:

”Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

ne
ng

a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;


b. cakap melakukan perbuatan hukum.”

do
gu

Penambahan syarat ”cakap melakukan perbuatan hukum” dalam UU No. 30


Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat ditafsirkan bahwa kecakapan yang
In
dimaksud bukanlah kecakapan berdasarkan batas umur, namun kecakapan yang
A

digantungkan pada syarat lain, yaitu tidak berada di bawah kemampuan, karena
mengenai batas umur, telah diatur secara khusus dan ditegaskan dalam syarat umur,
ah

lik

yaitu 18 tahun. Dengan demikian, batas umur yang digunakan sebagai tolak ukur
untuk menentukan kecakapan dalam UUJN adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.
Dalam hal notaris atau PPAT diperkenankan menerima klien seseorang yang
m

ub

berumur 18 tahun, telah diatur ketentuannya dalam Surat Departemen Dalam


Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) (Untuk
ka

selanjutnya disebut Surat Depdagri Dirjen Agraria No.Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13


ep

Juli 1977). Surat tersebut ditujukan kepada Semua Gubernur Kepala Daerah Provinsi
ah

es

92 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 92 12/13/2010 9:26:45 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 103
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dan semua Bupati atau Walikota Kepala Daerah di Indonesia. Dalam surat tersebut

si
dinyatakan
”Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:

ne
ng
a. dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut
Pemilu;
b. dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat

do
gu
melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang
baru;
c. dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu

In
A
menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.

ah

lik
Bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa, sebagaimana
diatur dalam Pasal 330 jo Pasal 1330 BW, batas umur dewasa adalah 21 tahun
atau telah menikah.
am

ub
Bagi golongan penduduk Cina, di mana hampir seluruh hukum Eropa juga
berlaku bagi golongan ini, seorang Cina hanya dipandang dewasa apabila telah
berumur 21 tahun atau telah menikah.
ep
k

Bagi golongan penduduk Timur Asing, minus Cina, dipergunakan ketentuan


yang sama dengan golongan Cina. Seorang Timur Asing bukan Cina juga hanya
ah

dipandang dewasa apabila sudah berumur 21 tahun.


R

si
Adapun ketentuan dewasa terhadap golongan penduduk pribumi, tidak
ada pegangan yang tegas mengenai batas umur supaya dipandang dewasa

ne
ng

sehingga tidak ada keseragaman. Namun, penulis-penulis terkenal hukum adat


memberikan kriteria bahwa dewasa adalah apabila seseorang telah ”mentas.”
Dengan demikian, apabila seorang notaris atau PPAT mempergunakan

do
gu

batasan umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa, hal ini dapat diterima sebagai
benar.
In
Pencatatan atas nama seseorang belum dewasa berdasarkan satu
A

peristiwa hukum, misalnya kematian, tidak mempersoalkan dewasa atau tidak


sehingga apabila seorang A meninggal dunia, sedang ahli warisnya ialah X, Y, Z,
ah

lik

katakanlah semuanya di bawah umur, pencatatan balik nama dari harta benda
tidak bergerak milik A kepada ahli warisnya yang di bawah umur tersebut tidak
memerlukan sesuatu bantuan (bijstand) sehingga langsung saja dapat dicatat
m

ub

atas nama mereka-mereka.”


Surat tersebut menandakan bahwa pada umumnya seseorang dikatakan
ka

dewasa setelah berumur 21 tahun. Umur 18 tahun juga dapat dianggap telah
ep

dewasa sehingga berhak mendapatkan hak waris.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 93


M

ng

on

isi6-2 fot142.indd 93 12/13/2010 9:26:45 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 104
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
E. Tabel-Tabel

si
1. Tabel “Umur Anak” Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

ne
ng
Peraturan Perundang-
No. Pasal
Undangan
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Pasal 1 angka 26
1.

do
Tenaga Kerja Anak dimaksud dalam UU ini adalah di bawah 18 tahun
gu Pasal 1 angka 8
Anak Didik Pemasyarakatan adalah

In
a. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan
A
pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
Undang-Undang Republik b. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan
ah

lik
2. Indonesia No. 12 Tahun 1995 pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan
tentang Pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun;
am

ub
c. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
ep tahun.
k

Pasal 1
Undang-Undang No. 3 Tahun
ah

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah


3. 1997 tentang Pengadilan
R
mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai

si
Anak
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Pasal 1 angka 5

ne
ng

Undang-Undang No. 39 Tahun Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18
4. 1999 tentang Hak Asasi (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
Manusia yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi

do
gu

kepentingannya.

Undang-Undang RI No. Pasal 1 ayat (1)


5. 23 Tahun 2002 tentang Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)
In
Perlindungan Anak tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
A

Undang-Undang No. Pasal 1 angka 26


6. 13 Tahun 2003 tentang Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan
ah

lik

Ketenagakerjaan belas) tahun.

Undang-Undang Republik Pasal 41 ayat (6)


Indonesia No. 40 Tahun 2004 Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak
m

7.
ub

tentang Sistem Jaminan tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai umur 23 (dua
Sosial Nasional puluh tiga) tahun.
ka

Undang-Undang Republik Pasal 1 ayat (4)


ep

8. Indonesia No. 44 Tahun 2008 Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)
tentang Pornografi tahun.
ah

es

94 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 94 12/13/2010 9:27:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 105
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Pasal 4
Warga Negara Indonesia adalah: a–g ...
Undang-Undang No. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu

ne
ng
9. 12 Tahun 2006 tentang warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga
Kewarganegaraan Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas)

do
gu tahun atau belum kawin.

Undang-Undang No. 21
Pasal 1 angka 5

In
A
Tahun 2007 tentang
10. Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)
Pemberantasan Tindak Pidana
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Perdagangan Orang
ah

lik
Undang-Undang Republik
Pasal 2
Indonesia No. 23 Tahun
am

ub
ayat (1) huruf a
11. 2004 tentang Penghapusan
Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah
Kekerasan dalam Rumah
termasuk anak angkat dan anak tiri.
Tangga
ep
k

Pasal 1 ke (3) Keputusan


ah

Menteri Kehakiman Republik


R

si
Indonesia No. M.02-IZ.01.10
Anak adalah anak yang berumur di bawah 18
12. Tahun 1995 tentang Visa
(delapan belas) tahun dan belum kawin.
Singgah, Visa Kunjungan, Visa

ne
ng

Tinggal Terbatas, Izin Masuk,


dan Izin Keimigrasian

do
gu

Peraturan Pemerintah (PP) Pasal 5


1949 No. 35 (35/1949) ...
tentang Pemberian Pensiun Anak yang dapat ditunjuk sebagai yang berhak menerima
In
13.
A

kepada Janda (Anak- tunjangan ialah anak yang dilahirkan sebelum dan
Anaknya) Pegawai Negeri sesudahnya Peraturan ini dijalankan dan belum mencapai
yang Meninggal Dunia umur 21 tahun penuh.
ah

lik

Pasal 1
Keputusan Presiden
Istri dan anak yang berumur di bawah delapan belas tahun
m

ub

Republik Indonesia No. 56


dari seseorang yang memperoleh kewarganegaraan Republik
14. Tahun 1996 tentang Bukti
Indonesia melalui proses pewarganegaraan, langsung ikut
Kewarganegaraan Republik
ka

serta menjadi warganegara Republik Indonesia mengikuti


Indonesia
ep

kewarganegaraan suami/ ayahnya tersebut.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 95


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 95 12/13/2010 9:27:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 106
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Tabel “Umur Dewasa” Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

si
ne
ng
No. Peraturan Perundang- Pasal
Undangan

do
1.
gu
Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati
Perkawinan kehendak mereka yang baik.

In
A
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua, dan keluarga dalam garis lurus
ke atas, bila mereka itu
ah

lik
memerlukan bantuannya.
am

ub
2. SK Mendagri Dirjen Agraria Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan
Direktorat Pendaftaran dalam:
Tanah (Kadaster) No. a. dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk
ep
k

Dpt.7/539/7-77, tertanggal dapat ikut Pemilu;


13-7-1977 b. dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun un-
ah

tuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-


R
Undang Perkawinan yang baru;

si
c. dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas
umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap

ne
ng

bertindak dalam hukum.

do
gu

3. Keppres RIS No. 33 Tahun Pasal 1


1950 tentang Persetudjuan Dalam arti peraturan ini jang disebut dewasa ialah mereka
Perihal Pembagian War- jang berumur delapan belas tahun penuh atau jang telah
In
A

ganegara. kawin lebih dahulu. Djika telah terlangsung pemutusan


Lampiran, LN. 1950-2 pertalian kawin sebelum mereka berumur delapan belas tahun
penuh maka mereka itu tetap dewasa.
ah

lik

4. Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat (1)


m

ub

Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau


dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah me-
ka

langsungkan perkawinan.
ep
ah

es

96 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 96 12/13/2010 9:27:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 107
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Tabel “Belum Dewasa” Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

si
No. Peraturan Perundang- Pasal

ne
ng
Undangan

1. Undang-Undang Republik Pasal 8 ayat (2)Penghasilan anak belum dewasa yang

do
gu
Indonesia No. 7 Tahun
1983 tentang Pajak Peng-
bukan dari pekerjaan dan penghasilan dari pekerjaan
yang ada hubungannya dengan usaha anggota keluarga
hasilan lainnya, digabung dengan penghasilan orang tuanya.

In
A
Penjelasan Pasal 8 ayat (2)Penghasilan anak, termasuk anak
angkat, yang belum dewasa juga digabungkan dengan
penghasilan orang tuanya. Sesuai dengan tujuan penge-
ah

naan pajak bagi Wajib Pajak yang belum dewasa maka

lik
pengertian belum dewasa dalam ketentuan perpajakan,
seyogianya memperhatikan pula ketentuan mengenai
hal yang sama dalam undang-undang lain, termasuk pula
am

ub
ketentuan dalam bidang ketenagakerjaan, bahwa orang
dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang
berumur 18 (delapan belas) tahun ke atas, dengan catatan
ep
bahwa anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah
k

kawin meskipun umurnya kurang dari 18 (delapan belas)


ah

tahun, dianggap telah dewasa. Bagi anak laki-laki maupun


perempuan yang telah berumur 18 (delapan belas) tahun
R

si
atau bagi anak yang telah kawin, masyarakat dinyatakan
sebagai orang yang telah mampu melakukan tindakan

ne
ng

hukum sendiri dan dianggap telah mampu bahkan


wajib untuk mencari nafkahnya sendiri. Berdasarkan atas
pertimbangan tersebut maka pengertian dewasa dalam
undang-undang ini ialah laki-laki maupun perempuan

do
gu

yang berumur 18 (delapan belas) tahun ke atas atau telah


kawin walaupun umurnya kurang dari 18 (delapan belas)
tahun.
In
A
ah

lik

2. Undang-Undang Republik Penjelasan Pasal 8 ayat (4) Yang dimaksud dengan anak
Indonesia No. 36 Tahun yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18
2008 tentang Perubahan (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
m

ub

Keempat Atas Undang-


Undang No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
ka

ep
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 97


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 97 12/13/2010 9:27:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 108
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. Tabel “Batasan Umur 18 Tahun” Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

si
No. Peraturan Perundang- Pasal

ne
ng
Undangan

1. Kitab Undang-Undang Pasal 29


Hukum Perdata (Burgerlijk Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh

do
gu Wetboek) dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun
penuh, tidak diperkenankan
mengadakan perkawinan.

In
A
2. UU No.1 Tahun 1974 tentang Pasal 47
Perkawinan Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum
mencapai 18 tahun.
ah

lik
3. Undang-Undang Republik Penjelasan Pasal 8 ayat (2)
Indonesia No. 7 Tahun 1983 Penghasilan anak, termasuk anak angkat, yang belum dewasa
tentang Pajak Penghasilan juga digabungkan dengan penghasilan orang tuanya. Sesuai
am

ub
dengan tujuan pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang belum
dewasa maka pengertian belum dewasa dalam ketentuan
perpajakan, seyogianya memperhatikan pula ketentuan
mengenai hal yang sama dalam undang-undang lain, termasuk
ep
k

pula ketentuan dalam bidang ketenagakerjaan, bahwa orang


dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang
ah

berumur 18 (delapan belas) tahun ke atas, dengan catatan


R

si
bahwa anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah
kawin meskipun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
dianggap telah dewasa.

ne
ng

4. Undang-Undang Republik Pasal 1 angka 8


Indonesia No. 12 Tahun 1995 Anak Didik Pemasyarakatan adalah

do
gu

tentang a. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan


Pemasyarakatan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun.
In
A

b. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan


diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS
Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
ah

lik

c. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun.
m

ub

5. Undang-Undang No. 3 Tahun Pasal 1


1997 tentang Pengadilan Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
ka

Anak mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai


ep

umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.


ah

es

98 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 98 12/13/2010 9:27:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 109
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
6. Undang-Undang No. 39 Pasal 1 angka 5

si
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 1
Manusia (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak

ne
ng
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.

7. Undang-Undang Republik Penjelasan Pasal 6

do
gu
Indonesia No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia
Seseorang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
diperiksa, dan diputus oleh Pengadilan Negeri.

In
8. Undang-Undang RI No. 23 Pasal 1 ayat (1)
A
Tahun 2002 tentang Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)
Perlindungan Anak
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
ah

lik
9. Undang-Undang No.13 Pasal 1 angka 26
Tahun 2003 tentang Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18
Ketenagakerjaan (delapan belas) tahun.
am

ub
10. Undang-Undang No. 30 Pasal 39
Tahun 2004 tentang Jabatan (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Notaris a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah
ep
menikah;
k

b. cakap melakukan perbuatan hukum.


ah

11. Undang-Undang No. 12 Pasal 4


R

si
Tahun 2006 tentang Warga Negara Indonesia adalah a – g ...
Kewarganegaraan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang
ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah

ne
ng

Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu


dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas)
tahun atau belum kawin.

do
gu

12. Undang-Undang No. 21 Pasal 1 angka 5


Tahun 2007 tentang Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)
Pemberantasan Tindak tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
In
A

Pidana Perdagangan Orang

13. Undang-Undang Republik Penjelasan Pasal 8 ayat (4)


Indonesia No. 36 Tahun 2008 Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak
ah

lik

tentang Perubahan Keempat yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum
atas Undang-Undang No. pernah menikah.
7 Tahun 1983 tentang Pajak
m

ub

Penghasilan

14. Undang-Undang Republik Pasal 1 ayat (4)


ka

Indonesia No. 44 Tahun 2008 Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan
ep

tentang Pornografi belas) tahun.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 99


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 99 12/13/2010 9:27:18 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 110
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
15. Peraturan Menteri Tenaga Pasal 10
Kerja dan Transmigrasi Calon TKI yang akan direkrut harus memenuhi persyaratan:
Republik Indonesia No. Per- a. berumur sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun

ne
ng
18/Men/IX/2007 tentang kecuali bagi TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna
Pelaksanaan Penempatan perseorangan sekurang-kurangnya berumur 21 (dua puluh
dan Perlindungan Tenaga satu) tahun, yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk

do
gu Kerja
Indonesia di Luar Negeri
(KTP) dan akte kelahiran/surat kenal lahir dari instansi yang
berwenang.

In
A
16. Pasal 1 ke (3) Keputusan Anak adalah anak yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
Menteri Kehakiman Republik tahun dan belum kawin.
Indonesia No. M.02-IZ.01.10
ah

lik
Tahun 1995 tentang Visa
Singgah, Visa Kunjungan,
Visa Tinggal Terbatas, Izin
Masuk,
am

ub
dan Izin Keimigrasian

17. Keputusan Presiden


ep Pasal 1
k

Republik Indonesia No. 56 Istri dan anak yang berumur di bawah delapan belas tahun dari
Tahun 1996 tentang Bukti seseorang yang memperoleh kewarganegaraan Republik
ah

Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan, langsung ikut serta


R

si
Indonesia menjadi warga negara Republik Indonesia
mengikuti kewarganegaraan suami/ayahnya tersebut.
Pasal 2

ne
ng

Anak termasuk anak luar kawin yang belum berumur delapan


belas tahun dari wanita tidak bersuami yang memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses

do
gu

pewarganegaraan, langsung ikut serta menjadi warga Negara


Republik Indonesia mengikuti kewarganegaraan ibunya.
In
A

5. Tabel “Batasan Umur 21 Tahun” Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan


ah

lik

No. Peraturan Perundang- Pasal


Undangan
m

ub

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pasal 330


ka

Perdata (Burgerlijk Wetboek) Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
ep

genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.


ah

es

100 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 100 12/13/2010 9:27:18 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 111
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Peraturan Pemerintah (PP) Pasal 5

si
1949 No. 35 (35/1949) Anak yang dapat ditunjuk sebagai yang berhak menerima
tentang Pemberian Pensiun tunjangan ialah anak yang dilahirkan sebelum dan sesudahnya

ne
ng
Kepada Janda (Anak-Anaknya) peraturan ini dijalankan
Pegawai Negeri yang Mening- dan belum mencapai umur 21 tahun penuh.
gal Dunia

do
3. gu
Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Pasal 6 ayat (2)
Untuk melangsungkan perkawinan seorang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orang tua.

In
A
4. Instruksi Presiden No.1 Tahun Pasal 98 ayat (1)
1991 (Kompilasi Hukum Islam) Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
ah

adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat

lik
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
am

ub
6. Tabel“Kategori Batasan Umur Lain” Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
ep
k

No. Peraturan Perundang- Pasal


ah

Undangan
R

si
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pasal 29
Perdata (Burgerlijk Wetboek) Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun

ne
ng

penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas


tahun penuh, tidak diperkenankan
mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan
penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini

do
gu

dengan memberikan dispensasi.


Pasal 42
Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh
In
A

tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk
melakukan perkawinan.
ah

lik

2. SK Mendagri Dirjen Agraria Dewasa adalah apabila seseorang telah ”mentas” sehingga
Direktorat Pendaftaran Tanah apabila seorang notaris atau PPAT mempergunakan batasan
(Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa, hal ini dapat diterima
tertanggal 13-7-1977 sebagai benar.
m

ub

3. Undang-Undang Republik Pasal 41 ayat (6)


ka

Indonesia No. 40 Tahun 2004 Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak
ep

tentang Sistem Jaminan Sosial tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai umur 23 (dua
Nasional puluh tiga) tahun.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 101


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 101 12/13/2010 9:27:18 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 112
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
F. Periodesasi Peraturan Perundang-undangan

si
di Beberapa Bidang Terkait
Seperti telah dikemukakan di awal Restatement ini, penelitian ini bertujuan mencari

ne
ng
implikasi dari pengaturan terhadap batasan umur dalam hukum keperdataan yang
memiliki dampak komersil. Oleh karena itu, pada bagian ini peneliti ingin mengkaji

do
gu
batasan umur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perkawinan, tenaga kerja, dan perikatan, dengan cara melihat periodesasi aturan-
a­ turan tersebut. Peneliti membagi menjadi tiga periode, yaitu Periode Zaman

In
A
Kolonial Belanda, Periode Zaman Kemerdekaan, dan Periode Saat ini. Dengan
demikian, jika ada perubahan mengenai aturan batas umur kedewasaan akan dapat
terlihat trennya.
ah

lik
1. Ketentuan Umur dalam Hukum Perkawinan
am

ub
Semula batasan seseorang boleh menikah adalah umur 18 tahun untuk pria dan 15
tahun untuk wanita, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 29 BW: ”Seorang jejaka
yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, seperti pun seorang gadis
ep
k

yang belum mencapai umur genap lima belas tahun, tak diperbolehkan mengikat
ah

dirinya dalam perkawinan.”


R
Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) Huwelijksordonantie-Indonesiers Java Minahasa

si
en Amboina (Ordonantie 15 Feb. 1933, S.1933-74) mengatakan: ”Seorang anak lelaki
yang belum mencapai umur 18 tahun dan seorang anak perempuan yang belum

ne
ng

mencapai umur 15 tahun tidak boleh melakukan perkawinan.”


Dengan melihat ketentuan kedua peraturan tersebut, antara Pasal 29 BW

do
gu

dengan Ordonantie 15 Feb. 1933, S.1933-74 sama-sama mengatur umur menikah


untuk laki-­laki adalah 18 tahun dan untuk perempuan adalah 15 tahun.
Setelah ada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada peningkatan umur
In
A

diperbolehkan menikah untuk laki-laki, yang semula 18 tahun menjadi 19 tahun, dan
untuk perempuan, yang semula 15 tahun menjadi 16 tahun. Hal ini sebagaimana
bunyi ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1)143 UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: ”(1)
ah

lik

Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
m

ub
ka

ep

143 Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan hanya dikatakan, ”Untuk menjaga kesehatan suami-sitri dan keturunan,
perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.”
ah

es

102 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 102 12/13/2010 9:27:18 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 113
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hal senada dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai

si
Calon Mempelai yang diatur dalam Pasal 15 yang berbunyi:

ne
ng
”(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon

do
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-
gu
kurangnya berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati
izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1

In
A
Tahun 1974.

ah

Dari kedua ketentuan di atas, dapat dimaknai bahwa apabila pasangan suami

lik
istri menikah dengan umur yang relatif masih muda, yaitu umur 18 tahun (bagi pria)
dan umur 15 tahun (bagi wanita), dilihat dari kematangan fisik dan psikisnya masih
am

ub
belum cukup. Oleh karenanya, dalam UU No.1 Tahun 1974 batas umur dinaikkan
masing-masing 1 (satu) tahun. Namun demikian, tetap saja menurut hukum, mereka-
mereka masih belum dewasa. Oleh karenanya, bila mereka hendak menikah harus
ep
k

meminta izin dari orang tuanya.


ah

Lain halnya bila telah berumur 21 tahun lebih, tidak perlu izin orang tua untuk
R
menikah karena dianggap telah dewasa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6

si
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: ”(2) Untuk melangsungkan perkawinan,
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin

ne
ng

kedua orang tua.”


Hal mana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 330 BW yang mengatakan

do
gu

bahwa, ”Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.”144 Artinya, batas umur kedewasaan,
baik di dalam BW maupun di dalam UU No. 1 Tahun 1974 mengalami konsistensi,
In
A

yaitu sama-sama mengatakan dewasa adalah berumur 21 tahun. Namun untuk


izin menikah mengalami peningkatan. Terjadi peningkatan umur diperbolehkan
ah

lik

menikah, untuk laki-laki dari 18 tahun menjadi 19 tahun dan untuk perempuan dari
15 tahun menjadi 16 tahun.
Masalah kedewasaan ini memang ada sedikit perbedaan dengan Huwelij­
m

ub

ksordonantie­Indonesiers Java Minahasa en Amboina. (Ordonantie 15 Feb. 1933,


S.1933-74).
ka

ep

144 Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan hanya dikatakan, ”Untuk menjaga kesehatan suami-sitri dan keturunan,
perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.”
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 103


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 103 12/13/2010 9:27:18 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 114
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Pasal 13 ayat (1)

si
”Yang dimaksud dengan orang yang belum dewasa, bila umurnya dapat
diketahui, untuk penerapan ordonansi ini di Jawa dan Madura, ialah orang-
orang yang tidak kawin yang belum mencapai umur delapan belas tahun,

ne
ng
dan di luar daerah itu yang tidak kawin yang belum mencapai umur dua
puluh tahun.”

do
gu
Tapi perlu diingat bahwa ordonansi ini adalah untuk Orang Indonesia Kristen di
Jawa, Minahasa, dan Ambon. Artinya, bila dia bukan orang Kristen di Jawa, Minahasa,

In
dan Ambon batasan kedewasaannya tetap mengacu kepada Pasal 330 BW.
A
Gambaran ringkas perkembangan aturan mengenai undang-undang
perkawinan dapat dilihat pada tabel berikut.
ah

lik
Periode 1900-1945 Periode 1945-1999 Periode 1999-2009
(Zaman Kolonial) (Zaman Kemerdekaan) (Era Reformasi)
am

ub
1. Burgerlijk Wetboek (BW) 1. UU No. 1 Tahun 1974 Masih menggunakan UU
Buku I Bab IV–XIVA tentang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang
menggantikan peraturan Perkawinan dan Kompilasi
ep
k

sebelumnya145 Hukum Islam


ah

2. Ordonansi Orang-Orang Indonesia 2. Kompilasi Hukum Islam


Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon.
R

si
Huwelijksordonantie-Indonesiers Java
Minahasa en Amboina (Ordonantie 15

ne
ng

Feb. 1933, S. 1933-74)

2. Ketentuan Umur dalam Hukum Ketenagakerjaan

do
gu

Pada awalnya, belum ada batasan umur dewasa untuk tenaga kerja sehingga orang
boleh bekerja. Artinya sekalipun masih berumur 12 atau 13 tahun, dia boleh saja
bekerja. Hanya saja, dibatasi tidak boleh kerja di malam hari. Hal ini sebagaimana
In
A

diatur dalam Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan


Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 No. 647) Pasal 1,
ah

lik

yang mengatakan:
m

ub

145 Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974 mengatakan: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
ka

Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No.
ep

74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang
ini,dinyatakan tidak berlaku.
ah

es

104 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-3 fot145.indd 104 12/13/2010 9:27:18 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 115
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
”Anak-anak di bawah umur empat belas tahun tidak boleh melakukan

si
pekerjaan antara jam delapan malam dan jam lima pagi di perusahaan atau
untuk kepentingan perusahaan.”

ne
ng
Pada tahun 1938, dengan adanya Staatblad 1938 No.98 mulai ada sedikit
batasan, meskipun tidak secara tegas diatur dan aturan tersebut hanya berlaku
khusus untuk Perusahaan Perkebunan. Masalah tenaga kerja diatur dengan Pasal

do
gu
3 Aanvullende Planters Regeling (Stb. 1938-98) yang mengatakan: ”(1) Perjanjian
kerja yang dilakukan dengan buruh harus dilaksanakan secara tertulis.” Dalam
Aanvullende Planters Regeling tersebut dikatakan bahwa buruh adalah mereka

In
A
yang melakukan perjanjian kerja dengan pemberi kerja, di mana perjanjian
kerja harus dilaksanakan tertulis. Berbicara mengenai perjanjian, harus pula
ah

lik
memenuhi ketentuan Pasal 1330 BW, di mana salah satu syarat untuk dapat
dikatakan cakap membuat perjanjian adalah seseorang yang telah dewasa.146
Dalam Pasal 330 BW dikatakan bahwa dewasa adalah bila dia telah berumur 21
am

ub
tahun (penafsiran a-contrario dari belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 tahun).
Sebenarnya, bila menilik pada Pasal 1601 g, meskipun orang tersebut belum
ep
k

berumur 21 tahun tetap saja seseorang boleh melakukan perjanjian pekerjaan


ah

dengan mengacu pada ketentuan Pasal 1601g yang mengatakan bahwa:


R
”Seorang belum dewasa adalah cakap membuat perjanjian perburuhan

si
sebagai buruh, jika ia untuk itu dikuasakan oleh wakilnya menurut undang-
undang, baik dengan lisan maupun tertulis.

ne
ng

Suatu kuasa lisan hanya dapat berlaku untuk pembuatan suatu perjanjian
perburuhan tertentu. Jika si belum dewasa belum berumur genap 18 tahun maka

do
gu

kuasa itu harus diberikan di hadapan majikan atau siapa yang mewakilinya.”
Pada tahun 1948, dengan adanya UU No.12 Tahun 1948, mulai ada batasan
yang lebih jelas mengenai batas umur kedewasaan. Dalam Pasal 1 angka 2 UU
In
A

No.12 Tahun 1948 dinyatakan:

”Orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18


ah

lik

tahun ke atas.”
m

ub

146 Pasal 1330 mengatakan bahwa, ”Yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
ka

1. anak yang belum dewasa;


ep

2. … dst.
Dari ketentuan tersebut maka dapat ditafsirkan secara penafsiran o-contrario yang cakap adalah anak
(orang) yang telah dewasa.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 105


M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 105 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 116
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Batasan umur kedewasaan ini kemudian mengalami penurunan setelah

si
dikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang mengubah
batasan umur dewasa semula 18 tahun menjadi 15 tahun. Sebagaimana bunyi

ne
ng
Pasal 1 Angka 20 yang mengatakan: ”Anak adalah orang laki-laki atau wanita
yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.” Dengan demikian, bila umurnya
di atas 15 tahun maka bukan anak lagi, artinya telah dewasa.

do
gu
Batasan umur dewasa pada akhirnya ditetapkan adalah 18 tahun dengan
UU Tenaga Kerja yang terakhir, yang mencabut UU yang lama. Dalam UU No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Angka 26 dikatakan bahwa: ”Anak

In
A
adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.”
Implementasi dari ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang
ah

lik
Ketenagakerjaan dapat kita temui dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia No. PER-18/MEN/IX/2007 tentang Pelaksanaan
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal
am

ub
10 mengatur batasan umur yang sama, yaitu 18 tahun. Bunyi pasalnya adalah
sebagai berikut: ”Calon TKI yang akan direkrut harus memenuhi persyaratan:
a. berumur sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun, kecuali bagi TKI
ep
k

yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya


ah

berumur 21 (dua puluh satu) tahun, yang dibuktikan dengan Kartu Tanda
R
Penduduk (KTP) dan akte kelahiran/surat kenal lahir dari instansi yang

si
berwenang.”

ne
ng

Gambaran ringkas perkembangan aturan tenaga kerja atau hukum tenaga kerja
dapat dilihat pada tabel berikut.

do
gu

Periode 1900-1945 Periode 1945-1999 Periode 1999-2009


(Zaman Kolonial) (Zaman Kemerdekaan) (Era Reformasi)
In
A

1. Burgerlijk Wetboek (BW) 1. UU No. 12 Tahun 1948 1. UU No.13 Tahun 2003


Buku III Pasal 1320 Jo Pasal 330 dan tentang Tenaga Kerja tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1601 g
ah

lik

2. Ordonansi tanggal 17 Desember 2. UU No. 25 Tahun 1997 2. Peraturan Menteri


1925 Peraturan tentang Pembatasan tentang Ketenagakerjaan Tenaga Kerja dan
Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Transmigrasi Republik
m

ub

Wanita (Staatsblad Tahun 1925 No. Indonesia No. PER-18/MEN/


647); IX/2007 tentang Pelaksanaan
Ordonansi untuk Mengatur Penempatan dan
ka

Kegiatan Mencari Calon Pekerja Perlindungan Tenaga Kerja


ep

(Staatsblad Tahun 1936 No. 208); Indonesia di Luar Negeri


ah

es

106 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 106 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 117
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R
Peraturan Perburuhan di

si
Perusahaan Perkebunan (Aanvullende
Plantersregeling) 1938-98;

ne
ng
Peraturan Perbururan Perusahaan
Perindustrian (Kerajinan)
(Arbeidsregeling- Nijverheidsbedrijven)

do
S.1 941-467.
gu

In
3. Ketentuan Kedewasaan dalam Peraturan Jabatan Notaris
A
Seseorang telah dianggap dewasa sehingga dapat menghadap notaris untuk
ah

membuat suatu akte notaris, semula di dalam Pengaturan Jabatan Notaris di

lik
Indonesia diatur dalam Reglement Op Het Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860: 3), di
mana batas umurnya tidak ditentukan. Pasal 24 Peraturan Jabatan Notaris (PJN)
am

ub
hanya mengatakan bahwa,
”Para penghadap147 harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan
kepadanya oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat untuk memberikan
ep
kesaksian tentang kebenaran di muka pengadilan, dengan pengertian bahwa
k

kekeluargaan sedarah atau semenda tidak menjadi alasan untuk pengecualian.”


ah

Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 25 PJN pun hanya mengatur bahwa:


R

si
”Akta-akta harus menyebutkan nama kecil, nama dan tempat kedudukan

ne
notaris, dan dalam hal akta itu dibuat di hadapan notaris pengganti atau notaris
ng

yang merangkap jabatan, harus disebutkan pula ketetapan atau jabatan yang
menjadi dasar mereka menjalankan jabatan notaris itu.
Selain itu, dalam akta harus dimuat:

do
gu

a. nama kecil, nama, pekerjaan atau status sosial, dan tempat tinggal
setiap penghadap dan orang yang mereka wakili, sejauh pekerjaan atau
kedudukan dalam masyarakat dan tempat tinggal itu dapat mereka beri
In
A

tahukan.”

Meskipun belum ada batasan umur mengenai penghadap, notaris harus dapat
ah

lik

mencari keterangan apakah penghadap tersebut sudah dewasa atau belum. Notaris
dapat meyakinkan diri dengan berbagai cara, seperti memeriksa surat-surat, paspor,
m

ub
ka

147 Dalam buku karya G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga, 1992,
hlm.177, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”para penghadap” dalam Pasal 24 PJN hanya mereka
ep

yang datang menghadap kepada notaris untuk pembuatan akta itu, bukan mereka yang diwakili dalam
akta itu, baik diwakili secara lisan maupun tertulis, ataupun dalam kedudukan atau jabatan.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 107


M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 107 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 118
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
kartu tanda penduduk (KTP), atau pemberitahuan dari orang-orang di sekitarnya148

si
bahwa orang yang menghadap memang betul orang yang dikenal oleh masyarakat
dengan nama itu.

ne
ng
Bila patokannya adalah KTP, batasan umurnya adalah 17 tahun. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 Angka 14, yang mengatakan:

do
gu
”Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi
Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

In
A
Selanjutnya dalam undang-undang yang sama, di Pasal 63 dikatakan bahwa:
ah

”(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin

lik
Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin
atau pernah kawin wajib memiliki KTP.
(2) Orang Asing yang mengikuti status orang tuanya yang memiliki Izin
am

ub
Tinggal Tetap dan sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun wajib memiliki
KTP.”

ep
k

Bagaimana pada zaman kolonial? Batasan umur di zaman kolonial mengacu


pada Pasal 330 BW yang mengatakan bahwa: ”Yang belum dewasa adalah
ah

R
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin

si
sebelumnya.”149
Atau Pasal 13 ayat (1) Huwelijksordonantie-Indonesiers Java Minahasa en Amboina

ne
ng

(Ordonantie 15 Feb. 1933, S.1933-74) yang mengatakan:

do
”Yang dimaksud dengan orang yang belum dewasa, bila umurnya dapat
gu

diketahui, untuk penerapan ordonansi ini di Jawa dan Madura, ialah orang-
orang yang tidak kawin yang belum mencapai umur delapan belas tahun,
dan di luar daerah itu yang tidak kawin yang belum mencapai umur dua
In
A

puluh tahun.”

ah

lik

Tapi perlu diingat bahwa Ordonansi ini adalah untuk Orang Indonesia Kristen di
Jawa, Minahasa, dan Ambon. Artinya bila dia bukan Orang Kristen di Jawa, Minahasa,
dan Ambon, batasan kedewasaannya mengacu pada pasal 330 BW.
m

ub
ka

148 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba Serbi Praktik Notaris, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
ep

1994, hlm. 279.


149 Ini berarti bila telah berumur 21 tahun lebih, misalnya berumur 22 tahun maka orang tersebut
dikatakan telah dewasa.
ah

es

108 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 108 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 119
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Adanya perbedaan batasan umur dewasa tersebut menimbulkan pertanyaan

si
mengenai umur. Berapakah seseorang dapat menghadap notaris untuk membuat
akta notaris? Oleh karenanya, dalam UU Jabatan Notaris tahun 2004, ketentuan

ne
ng
mengenai penghadap dipertegas menjadi 18 (delapan belas tahun). Dalam Pasal 39
UU No. 30 Tahun 2004 dikatakan bahwa:

do
gu
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;

In
A
b. cakap melakukan perbuatan hukum.
ah

lik
Dari kronologis Peraturan Jabatan Notaris di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
am

ub
1. Semula batasan umur penghadap tidak diatur secara tegas dalam Peraturan
Jabatan Notaris Staatblad 1860-3.
ep
k

2. Setelah Indonesia merdeka, karena masih menggunakan peraturan yang lama,


ah

ketentuan batas umur dewasa pun belum diatur. Peraturan yang ada hanya
R

si
mengatur honor notaris, wakil notaris, serta sumpah dan janji notaris.

ne
ng

3. Barulah setelah dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,


ditentukan dengan jelas bahwa penghadap adalah seseorang yang berumur 18
tahun.

do
gu

Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan aturan-aturan yang berkaitan


In
dengan jabatan notaris.
A

Periode 1900–1945 Periode 1945–1999 Periode 1999–2009


ah

lik

(Zaman Kolonial) (Zaman Kemerdekaan) (Era Reformasi)

Jabatan Notaris Indonesia 1. Ordonantie 16 September 1931 1. UU No. 30 Tahun 2004


m

ub

diatur dalam Reglement op tentang Honorarium Notaris tentang Jabatan Notaris


Het Notaris ambt Indonesie (Keterangan: (Keterangan:
(Stb. 1860: 3) Tidak membahas mengenai penghadap) Mencabut/ menggantikan
ka

peraturan perundangan
ep

sebelumnya).151
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 109


M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 109 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 120
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2. Undang-Undang Republik Indonesia

si
No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil
Notaris dan Wakil Notaris Sementara

ne
ng
(Keterangan:
Tidak membahas mengenai penghadap.
Undang-undang ini juga mengubah Stb.
1 860:3)

do
gu
Secara keseluruhan dapat disimpulkan sebagai berikut.

In
A
1. Dalam Hukum Perkawinan
Batas umur kedewasaan, baik di dalam BW maupun di dalam UU No.
1 Tahun 1974 mengalami konsistensi, yaitu sama-sama mengatakan
ah

lik
”dewasa” adalah berumur 21 tahun. Namun untuk izin menikah mengalami
peningkatan, dari semula 18 tahun menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan
dari semula 15 tahun menjadi 16 tahun untuk perempuan.
am

ub
2. Dalam Hukum Tenaga Kerja
Pada awalnya, belum ada batasan umur dewasa untuk tenaga kerja
ep
sehingga orang boleh bekerja sekalipun dia masih berumur 12 tahun atau
k

13 tahun. Hanya saja kerjanya dibatasi tidak boleh kerja di malam hari. Baru
ah

kemudian pada tahun 1938, dengan adanya Staatblad 1938 No.98, mulai
R

si
ada sedikit batasan kedewasaan yang mengacu pada Pasal 1601g BW, yaitu
umur 18 tahun boleh bekerja dengan izin. Umur dewasa 18 tahun masih
dijadikan parameter saat UU No. 12 Tahun 1948 tentang Undang-Undang

ne
ng

Kerja dikeluarkan. Namun batas dewasa ini sempat mengalami penurunan


dari batas umur 18 tahun menjadi 15 tahun, pada saat dikeluarkannya
UU No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Batasan umur dewasa

do
gu

pada akhirnya ditetapkan adalah 18 tahun, dengan UU Tenaga Kerja yang


terakhir, yang mencabut UU yang lama, yaitu UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
In
A
ah

lik

151 Sesuai dengan Pasal 91 UU No. 30 Tahun 2004, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku.
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860: 3) sebagaimana telah diubah terakhir
dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No. 101.
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
m

ub

3. Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran
Negara Tahun 1954 No. 101, Tambahan Lembaran Negara No. 700).
4. Pasal 54 Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
ka

Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 34,
ep

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4379).


5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
ah

es

110 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 110 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 121
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Dalam Peraturan Jabatan Notaris

si
Semula batasan umur penghadap tidak diatur secara tegas dalam Peraturan
Jabatan Notaris Staatblad 1860-3. Setelah Indonesia merdeka, karena masih
menggunakan peraturan yang lama, ketentuan batas umur dewasa pun

ne
ng
belum diatur, karena peraturan yang ada hanya mengatur honor notaris,
wakil notaris serta sumpah dan janji notaris. Baru setelah dikeluarkan UU
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, batasan umur penghadap

do
gu
ditentukan dengan jelas, yakni penghadap adalah seseorang yang berumur
18 tahun.

In
A
G. Kesimpulan
ah

lik
Dari hasil penelusuran peraturan perundang-undangan dapat dilihat
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
am

ub
1. Terdapat berbagai macam istilah ukuran umur seseorang, ada yang
menggunakan istilah ”dewasa” (i.e. UU Perkawinan), ”belum dewasa/belum
cukup umur” (i.e. Perda Tarakan), ”anak” (UU Ketenagakerjaan).
ep
k

2. Bahwa istilah yang beragam mengandung konsekuensi terhadap batas umur


ah

seseorang yang dianggap cakap atau berwenang dalam hukum keperdataan.


R

si
3. Bahwa dengan adanya ketidakseragaman batas umur maka terhadap
penentuan akibat perbuatan hukum dapat menjadi rancu dan multitafsir dalam

ne
ng

pertanggungjawaban seseorang di hadapan hukum.

do
gu

H. Rekomendasi
Pengaturan kecakapan bertindak berdasarkan batasan umur sebagaimana dalam
In
A

Pasal 330 BW ternyata tidak diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang kami
telusuri. Dengan demikian, kami tidak menemukan peraturan perundang-undangan
lain yang secara tegas mengatur hal yang sama sebagaimana Pasal 330 BW.
ah

lik

Pengaturan kecakapan bertindak berdasarkan batasan umur yang mengacu


pada Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan, yaitu yang menentukan batas umur
m

ub

adalah 18 tahun, memiliki persamaan dengan Pasal 1 Angka 26 UU No. 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjan dan Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
ka

Notaris, yang sama-sama menentukan batas umur adalah 18 tahun.


ep

Bila dilihat dari UU di luar lingkup penelitian, semakin banyak bukti/fakta yang
memperlihatkan bahwa batas umur yang banyak dipergunakan adalah 18 tahun.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 111


M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 111 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 122
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
am

ub
ep
k
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es
M

ng

on

isi6-4 fot151.indd 112 12/13/2010 9:27:51 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 123
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
KECAKAPAN DAN KEWENANGAN

si
BERTINDAK DALAM HUKUM

ne
ng
BERDASARKAN BATASAN UMUR

do
MENURUT PENGADILAN
gu
Oleh: Universitas Esa Unggul

In
A
ah

lik
A. Hasil Penelusuran Produk Pengadilan
am

ub
1. Wilayah Kerja
Pengumpulan produk pengadilan dilakukan pada Pengadilan-Pengadilan Negeri
ep
yang berada di wilayah DKI Jakarta dan Tangerang, Mahkamah Agung RI, Mahkamah
k

Konstitusi RI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Badan Arbitrase Nasional, maupun
ah

tempat-tempat lain yang relevan, sesuai dengan kebutuhan pengumpulan data,


R

si
seperti Arsip Nasional RI, pusat dokumentasi hukum maupun perpustakaan.

ne
2. Sumber Data
ng

Upaya pengumpulan produk hukum yang relevan dengan tema penelitian dilakukan
dengan mendatangi lembaga-lembaga, seperti:

do
gu

a. Mahkamah Agung RI

b. Arsip Nasional RI
In
A

c. Mahkamah Konstitusi RI

d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha


ah

lik

e. Badan Arbitrase Nasional

f. Pengadilan Negeri Jakarta Barat


m

ub

g. Pengadilan Negeri Jakarta Timur


ka

h. Pengadilan Negeri Jakarta Utara


ep

i. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 113


M

ng

on

isi7-1.indd 113 12/13/2010 9:29:07 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 124
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
j. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

si
k. Pengadilan Negeri Tangerang

ne
ng
Guna melengkapi jumlah produk pengadilan yang dikumpulkan, kami juga
melakukan pengumpulan produk pengadilan yang telah dibukukan, yang kami

do
gu
peroleh melalui perpustakaan maupun pusat dokumentasi hukum yang ada di
Jakarta.

In
A
3. Kendala dalam Pengumpulan Data
ah

lik
Selama pengumpulan produk pengadilan, terdapat beberapa kendala yang kami
hadapi sehingga hasil pengumpulan produk pengadilan kurang memuaskan.
am

ub
Kendala-kendala tersebut di antaranya adalah tidak tersedianya database produk
pengadilan yang sistematis.
Dalam upaya mengumpulkan produk pengadilan yang relevan dengan
ep
k

data penelitian, kami (melalui petugas data Mahkamah Agung RI) mencarinya
secara manual dengan membaca cepat produk pengadilan yang ada. Dengan
ah

demikian, meskipun telah dilakukan penelusuran terhadap semua produk


R

si
pengadilan yang tersimpan di Mahkamah Agung, hasil yang kami peroleh tidak
maksimal, mengingat kami hanya memperoleh beberapa produk pengadilan

ne
ng

yang dapat digunakan dalam penelitian.

do
gu

Kendala-kendala yang kami temui tersebut adalah sebagai berikut.


In
a. Penyusunan Produk Pengadilan dalam ANRI berdasarkan Nomor
A

Produk pengadilan yang berumur lebih dari 15 (lima belas) tahun kami cari
melalui Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pada ANRI, pencarian produk
ah

lik

pengadilan tidak dapat dilakukan berdasarkan tema penelitian. Berdasarkan


informasi dari petugas Arsip ANRI, penyusunan produk pengadilan dapat dicari
m

ub

hanya dengan menggunakan nomor produk pengadilan. Dengan demikian, kami


(yang dibantu petugas dari Mahkamah Agung RI) harus mencari nomor produk
ka

pengadilan terlebih dahulu untuk dapat memperoleh produk pengadilan yang


ep

dapat digunakan sebagai bahan penelitian.


ah

es

114 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-1.indd 114 12/13/2010 9:29:07 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 125
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
b. Kurangnya Keterbukaan Informasi dari Lembaga Peradilan

si
Di pengadilan negeri yang kami kunjungi, sulit memperoleh produk pengadilan.
Penelusuran produk pengadilan dilakukan dengan menyerahkan kategori produk

ne
ng
pengadilan yang kami butuhkan, lalu petugas pengadilan mencarikannya pada
arsip pengadilan. Dari hasil pencarian tersebut, kami tidak memperoleh produk
pengadilan berbentuk putusan yang terkait dengan materi penelitian. Namun

do
gu
demikian, kami memperoleh penetapan pengadilan (yang berkekuatan hukum
tetap) yang terkait dengan materi penelitian.

In
A
4. Ruang Lingkup Perolehan Data
ah

lik
Dalam upaya penelusuran produk pengadilan pada lembaga yudisial maupun (quasi)
yudisial yang kami datangi, lembaga-lembaga tersebut tidak seluruhnya dapat
am

memberikan data yang kami butuhkan. Kami tidak memperoleh produk pengadilan

ub
dari Mahkamah Konstitusi RI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, maupun Badan
Arbitrase Nasional Indonesia, terkait dengan materi penelitian. Dengan demikian,
ep
data yang kami peroleh terbatas pada lembaga yudisial dalam lingkup peradilan
k

umum, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Untuk
ah

itu, kami hanya melakukan analisis terhadap produk pengadilan yang termasuk
R

si
dalam lingkup perdata.

ne
ng

5. Hasil Pengumpulan Data


Data yang relevan dengan materi penelitian yang berhasil kami kumpulkan dari

do
gu

sumber-sumber data yang kami telusuri seluruhnya berjumlah 47 (empat puluh


tujuh) produk pengadilan, terdiri atas 19 (sembilan belas) putusan dan 28 (dua
In
puluh delapan) penetapan. Selain itu, kami juga menemukan beberapa produk
A

pengadilan lain. Namun, produk pengadilan tersebut tidak menghasilkan


suatu jawaban atau pendapat yang berhubungan dengan substansi penelitian
ah

lik

sehingga tidak kami sertakan dalam laporan penelitian ini.


Mengacu pada kerangka acuan (Term of Reference) penelitian, penelusuran
m

ub

produk pengadilan dilakukan pada periode pembacaan tahun 1900 sampai dengan
Juni 2009. Namun demikian, guna menyesuaikan dengan kondisi terkini, dalam
ka

penelitian ini kami juga menggunakan data produk pengadilan yang dikeluarkan
ep

sampai dengan April 2010.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 115


M

ng

on

isi7-1.indd 115 12/13/2010 9:29:07 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 126
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Produk pengadilan yang kami kumpulkan merupakan produk yang sudah

si
berkekuatan hukum tetap sehingga kami dapat melakukan kajian yang komprehensif
terhadap produk pengadilan yang kami peroleh tersebut.

ne
ng
Produk pengadilan pertama yang berhasil kami peroleh adalah yang diputuskan
pada tahun 1952, dan yang terakhir diputuskan pada tahun 2010. Dari produk

do
pengadilan yang kami peroleh, tidak terdapat sengketa maupun permohonan yang
gu
secara langsung menjadikan kecakapan dan kewenangan bertindak berdasarkan
batasan umur sebagai pokok gugatan maupun permohonan yang kemudian

In
A
tercermin dalam amar putusan maupun penetapannya. Dengan demikian, kami
menggunakan dasar pertimbangan hakim dalam produk pengadilan sebagai
ah

lik
sandaran dalam melakukan analisis terhadap produk pengadilan yang berhasil kami
himpun.
Dari hasil penelusuran produk pengadilan yang kami lakukan, tidak satu
am

ub
pun majelis hakim yang memeriksa perkara, secara tegas memisahkan antara
kecakapan maupun kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur. Terkait
ep
dengan tema penelitian, kami kemudian mengkaji produk pengadilan tersebut
k

dengan bantuan literatur dan peraturan untuk dapat menguraikan kecakapan


ah

dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur.


R

si
Dalam 19 (sembilan belas) putusan pengadilan yang kami peroleh, lebih
dari setengahnya terdapat persamaan putusan hakim antara Pengadilan Negeri,

ne
ng

Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa


sebagian besar hakim Pengadilan Negeri telah sesuai dalam menerapkan

do
gu

hukum sehingga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung.


Di samping itu, hal ini juga menunjukkan adanya kesamaan pandangan antara
hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung dalam
In
A

memutus perkara sehingga menunjukkan ketepatan hakim Pengadilan Negeri


dalam memutus perkara. Ini penting karena dengan adanya kepercayaan
ah

lik

masyarakat bahwa hakim Pengadilan Negeri memiliki kemampuan untuk


memutuskan perkara dengan tepat maka upaya banding maupun kasasi yang
diajukan akan semakin berkurang. Dengan demikian, tidak semua perkara harus
m

ub

banding maupun kasasi sehingga penumpukan perkara dapat diatasi.


ka

Statistik perbandingan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,


ep

dan Mahkamah Agung menunjukkan bahwa 79% putusan Pengadilan Negeri


dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi pada tingkat banding, yang juga dikuatkan
ah

es

116 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-1.indd 116 12/13/2010 9:29:07 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 127
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi. Hanya terdapat 21% putusan yang

si
menunjukkan perbedaan putusan antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
dan Mahkamah Agung (Gambar 1).

ne
ng
Perbandingan Putusan Berdasarkan Putusan

do
gu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkama Agung

In
A
ah

lik
PN#PT#MA
am

ub
21%

ep
k
ah

PN=PT=MA
R

si
79%

ne
ng

do
gu

Gambar 1 Perbandingan Putusan Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
In
A

Mahkamah Agung
ah

lik

Sementara itu, penggunaan istilah untuk menyatakan kondisi kecakapan


berdasarkan batasan umur menunjukkan variasi, yaitu penggunaan istilah di
m

ub

bawah umur (atau belum cukup umur), penggunaan istilah belum dewasa, maupun
penggunaan istilah anak. Sebanyak 57% produk pengadilan menggunakan istilah
ka

di bawah umur (atau belum cukup umur), 32% menggunakan istilah belum dewasa,
ep

2% menggunakan istilah anak, sedangkan 9% menggunakan lebih dari satu istilah,


yaitu istilah di bawah umur (atau belum cukup umur) dan belum dewasa (Gambar 2).
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 117


M

ng

on

isi7-1.indd 117 12/13/2010 9:29:08 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 128
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Perbandingan Penggunaan Istilah

si
pada Produk Pengadilan

ne
ng
> 1 Istilah
9%
Anak
2%

do
gu

In
A
Di Bawah Umur
ah

(Blm Ckp Umur)

lik
Belum Dewasa 57%
32%
am

Gambar 2 Perbandingan Penggunaan Istilah pada Produk Pengadilan

ub
ep
k

Terkait dengan kecakapan dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur,


ah

R
di mana salah satu faktor yang mempengaruhi kecakapan adalah kedewasaan maka

si
akan ditemui dua pengaturan hukum yang terkait, yaitu ketentuan tentang batasan
di bawah umur, dalam Pasal 330 BW, dan batasan di bawah kekuasaan orang tua

ne
ng

atau perwalian, dalam Pasal 47 dan 50 Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dari kedua ketentuan tersebut dapat ditafsirkan secara a-contrario bahwa

do
seorang manusia yang telah melewati batas tersebut tidak lagi berada di bawah
gu

umur ataupun berada di bawah kekuasaan orang tua (maupun perwalian). Dengan
demikian, terhadapnya telah memiliki kemampuan penuh untuk bertanggung
In
A

jawab sehingga menjadi cakap untuk melakukan perbuatan hukum.


Merujuk pada kedua pengaturan tersebut, tahun 1974, sebagai tahun mulai
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat dijadikan
ah

lik

parameter untuk mengukur perubahan pandangan hakim mengenai batasan umur


yang membawa implikasi pada kecakapan.
m

ub

Dari produk pengadilan yang kami telusuri, sebagian besar diputuskan setelah
tahun 1974. Namun demikian, tidak serta merta terjadi pergeseran pandangan
ka

hakim, mengingat beberapa putusan maupun penetapan yang dibuat setelah tahun
ep

1974 masih menunjukkan penggunaan Pasal 330 BW oleh hakim dalam menentukan
batasan di bawah umur.
ah

es

118 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-1.indd 118 12/13/2010 9:29:08 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 129
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Statistik perbandingan produk pengadilan menunjukkan 4% diputuskan dan

si
ditetapkan sebelum tahun 1974 dan 96% diputuskan dan ditetapkan sesudah tahun
1974 (Gambar 3).

ne
ng
Perbandingan Putusan dan Penetapan Pengadilan
Berdasarkan Dasar Hukum yang Digunakan

do
gu

In
A
UU No 1/1974
13%
KUH Perdata
11%
ah

lik
am

ub
N/A
76% ep
k

Gambar 3 Perbandingan Putusan dan Penetapan Pengadilan Berdasarkan Tahun


ah

si
Sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan BW secara bersamaan, di mana tidak ditemukan ketentuan

ne
ng

dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang secara tegas
mengesampingkan Pasal 330 BW terkait dengan batasan di bawah umur, ternyata
berdampak pada dasar hukum pertimbangan hakim dalam putusan maupun

do
gu

penetapannya. Dari produk pengadilan yang kami telusuri, sebagian besar hakim
tidak menguraikan dasar hukum pertimbangannya dalam menentukan seseorang
In
berada di bawah umur atau sudah dewasa. Sementara itu, pada produk yang
A

menguraikan dasar hukum pertimbangannya dalam menentukan seseorang belum


dewasa atau sudah dewasa pun terdapat perbedaan antarmajelis hakim. Ada yang
ah

lik

menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada pula


yang menggunakan BW.
Statistik perbandingan penggunaan dasar hukum dalam produk pengadilan
m

ub

menunjukkan 13% diputuskan dan ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No.


1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, 11% diputuskan dan ditetapkan berdasarkan
ka

ep

BW, serta 76% tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan dalam
pertimbangan hakim terkait dengan materi penelitian.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 119


M

ng

on

isi7-1.indd 119 12/13/2010 9:29:08 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 130
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Sementara itu, dari produk pengadilan yang kami telusuri, menunjukkan

si
bahwa sebagian besar hakim hanya menyatakan bahwa seseorang berada ”di
bawah umur”, tanpa menguraikan lebih lanjut batasan umur yang digunakan oleh

ne
ng
hakim dalam mengklasifikasikan seseorang berada ”di bawah umur”. Di antara
sebagian kecil yang menguraikan batasan umur dalam menentukan seseorang
berada ”di bawah umur” pun masih terbagi lagi, antara majelis hakim yang

do
gu
menggunakan batasan umur 18 tahun dan majelis hakim yang menggunakan
batasan umur 21 Tahun. Dari pertimbangan hakim yang menentukan batasan
umur 18 tahun ataupun 21 tahun tersebut, tidak seluruhnya menyebutkan

In
A
dengan tegas bahwa 18 tahun atau 21 tahun sebagai batasan umur untuk
menentukan di bawah umur atau dewasa. Namun, dari data yang kami peroleh
ah

lik
pada putusan, seperti umur para pihak, terlihat bahwa batasan umur yang
digunakan oleh hakim dalam menentukan ”di bawah umur” adalah 18 tahun
maupun 21 tahun.
am

ub
Statistik perbandingan produk pengadilan menunjukkan 13% menggunakan
batasan umur 18 tahun dalam menentukan seseorang berada ”di bawah umur”
atau ”dewasa”, 30% menggunakan batasan umur 21 tahun dalam menentukan
ep
k

seseorang berada ”di bawah umur” atau ”dewasa”, sedangkan sisanya, 57%, tidak
ah

menguraikan batasan umur yang digunakan, hanya menyebutkan berada ”di


R
bawah umur” atau ”sudah dewasa” (Gambar 4).

si
Perbandingan Putusan dan Penetapan Pengadilan

ne
ng

Berdasarkan Batasan Umur dalam Menentukan


“di bawah umur” atau “dewasa”

do
gu

18 Tahun
13%
In
A
ah

lik

N/A 21 Tahun
57% 30%
m

ub
ka

ep

Gambar 4 Perbandingan Putusan dan Penetapan Pengadilan Berdasarkan Batasan Umur dalam
Menentukan ”Di Bawah Umur” atau ”Dewasa”
ah

es

120 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-1.indd 120 12/13/2010 9:29:08 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 131
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
B. Analisis Produk Pengadilan Terkait Kecakapan

si
dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum
Berdasarkan Batasan Umur

ne
ng
1. Penerapan Konsep Hukum Kecakapan dan Kewenangan
Bertindak dalam Hukum Berdasarkan Batasan Umur dalam

do
Produk Pengadilan
gu
a. Konsep Kecakapan dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum
Berdasarkan Batasan Umur

In
A
Kecakapan berasal dari kata dasar ”cakap”, yang berarti sanggup melakukan
sesuatu; mampu; dapat; mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk
ah

lik
mengerjakan sesuatu.152 Kecakapan (handelings bekwaanheid) memiliki makna
yang erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk memperhitungkan
konsekuensi atau akibat hukum dari perbuatan yang dilakukannya. Hal
am

ub
ini dipengaruhi oleh faktor-­faktor psikologis maupun fisiologis. Sebagai
perbandingan, ukuran kecakapan dalam paradigma hukum Islam dinamakan
baligh, sedangkan dalam paradigma hukum adat disebut ”kuat gawe”.
ep
k

Sangat sulit untuk dapat menentukan kecakapan secara nyata yang melekat
ah

pada seorang individu, mengingat kondisi masing-masing individu berbeda.


R

si
Selain dipengaruhi oleh faktor­-faktor psikologis dan fisiologis, juga di­pengaruhi
oleh faktor lingkungan. Namun demikian, guna memberikan kepastian hukum,

ne
ng

harus dapat ditetapkan suatu standar yang digunakan untuk menilai batasan
kecakapan.
Salah satu standar yang sering digunakan untuk menilai batasan ke­cakapan,

do
gu

khususnya terkait dengan perikatan, adalah sebagaimana terdapat dalam Buku


III BW Pasal 1330, yang menyebutkan bahwa ”Tidak cakap adalah mereka yang
belum dewasa, di bawah pengampuan, serta orang-orang perempuan yang
In
A

terikat perkawinan.”153 Dengan menggunakan penafsiran secara a-contrario,


setiap orang yang tidak memenuhi syarat ketidakcakapan, menurut hukum
ah

lik

dinyatakan cakap.
Belum dewasa, yang digunakan sebagai ukuran ketidakcakapan, mengacu
pada pengaturan Pasal 330 BW, yang menguraikan bahwa ”Yang belum dewasa
m

ub

adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
ka

ep

152 http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 15 Juli 2010.


153 R. Soebekti dan R, Tjitro Sidibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1330.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 121


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 121 12/13/2010 9:29:39 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 132
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
tidak kawin sebelumnya.”154 Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka

si
genap 21 tahun, mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
Berdasarkan uraian di atas, batasan umur menjadi salah satu landasan yang

ne
ng
digunakan untuk menentukan ukuran sudah dewasa atau belum dewasa, yang
kemudian menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kecakapan.
Sebagai subjek hukum, manusia adalah pengemban hak dan kewajiban

do
gu
hukum. Pada umumnya, hak merupakan konsekuensi logis dari suatu kewajiban.
Hak dan kewajiban acapkali merupakan suatu rangkaian terkait, di mana setiap
kewajiban melahirkan hak, atau sebaliknya. Terkait dengan keberadaan manusia

In
A
sebagai subyek hukum, hak dan kewajiban yang mengiringinya ternyata tidak
selalu terjadi secara bersamaan atau terkait.
ah

lik
Pada fase tertentu, manusia telah diberi hak oleh hukum, meskipun belum
ada kewajiban yang melekat padanya. Seorang bayi misalnya, tidak memiliki
kewajiban hukum apa pun, tetapi kepadanya oleh hukum telah diberikan hak
am

ub
untuk hidup, hak pemeliharaan, ataupun hak atas kewarisan. Bahkan berdasarkan
Pasal 1 Ayat (2) BW, seorang bayi yang masih berada dalam kandungan telah
dianggap sebagai subjek hukum apabila kepentingannya menghendaki.155
ep
k

Dalam hal ini, bayi yang berada dalam kandungan tersebut bila kemudian
ah

dilahirkan hidup, berhak mendapat hak tertentu untuk kepentingannya, seperti


R
mendapatkan hak atas warisan.

si
Berbeda dengan hak, yang dapat melekat pada manusia sebagai subjek
hukum sejak kelahirannya (bahkan sejak dalam kandungan), kewajiban hukum

ne
ng

hanya dapat dibebankan kepada manusia yang telah memenuhi syarat tertentu
yang ditetapkan oleh hukum.

do
gu

Hak dan kewajiban yang melekat pada manusia, oleh hukum kemudian
diejawantah ke dalam bentuk kewenangan hukum. Terkait dengan hak
terdapat kewenangan untuk menerima, sedangkan terkait dengan kewajiban
In
A

terdapat kewenangan untuk bertindak (disebut juga kewenangan bertindak).156


Sebagaimana diuraikan sebelumnya, untuk dapat dibebani kewajiban, seorang
manusia harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
ah

lik

hukum. Dengan demikian, untuk memiliki kewenangan bertindak harus


dipenuhi syarat-­syarat tertentu yang ditetapkan oleh hukum.
m

ub

Dalam hukum kemudian dibuat pengaturan yang menjadi syarat seorang


subjek hukum dapat diberikan kewenangan bertindak, hal mana akan sangat
ka

ep

154 Ibid., Pasal 330.


155 R. Soebekti dan R. Tjitro Sidibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1 ayat (2).
156 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: Intermasa, 1982.
ah

es

122 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 122 12/13/2010 9:29:39 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 133
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
terkait dengan perbuatan hukum tertentu yang akan dilekati oleh kewenangan

si
tersebut. Dengan kata lain, untuk melakukan perbuatan hukum tertentu,
seseorang harus memenuhi syarat yang ditetapkan guna memiliki kewenangan

ne
ng
bertindak untuk melakukan perbuatan hukum tertentu tersebut.
Parameter yang digunakan sebagai syarat bagi subjek hukum, untuk
memiliki kewenangan bertindak, di antaranya adalah umur (selain itu

do
gu
juga terdapat parameter lain, seperti jabatan, kedudukan, dan hubungan
kepemilikan dengan suatu benda). Salah satu bentuk kewenangan bertindak

In
berdasarkan batasan umur adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan
A
hukum perkawinan, sebagaimana termaktub dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) dinyatakan bahwa ”Perkawinan
ah

lik
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
am

ub
Kewenangan bertindak (recht bevoegdheid) akan sangat terkait dengan
perbuatan hukum tertentu yang dilandasi oleh kewenangan bertindak tersebut,
sedangkan kecakapan (handelings bekwaanheid) memiliki makna kemampuan
ep
seseorang untuk memperhitungkan konsekuensi atau akibat hukum dari
k

perbuatan yang dilakukannya. Meskipun memiliki ukuran masing-masing untuk


ah

menilai kewenangan bertindak maupun kecakapan, di antara ukuran-ukuran


R

si
tersebut terdapat suatu persamaan parameter yang digunakan, yaitu batasan
umur.

ne
ng

Meskipun memiliki batasan ukuran yang sama, yaitu umur, kewenangan


bertindak tidak dapat disamakan dengan kecakapan. Dalam beberapa kondisi,
seseorang yang mencapai umur tertentu memiliki kewenangan bertindak dan

do
gu

juga memiliki kecakapan. Namun, tidak berarti bahwa setiap yang memiliki
kewenangan bertindak pasti cakap dalam hukum, atau setiap yang cakap dalam
In
hukum pasti memiliki kewenangan bertindak.
A

Dalam peraturan perundangan, umur yang digunakan untuk menentukan


kewenangan bertindak bervariasi, tidak tergantung pada suatu terminologi
ah

lik

hukum tertentu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pertimbangan pembuat


undang-undang terhadap kondisi masyarakat pada waktu itu.
m

ub

Umur yang digunakan untuk menentukan kecakapan dalam arti luas sangat
dipengaruhi oleh terminologi ”dewasa” (dapat juga diterjemahkan dengan
ka

tidak berada ”di bawah umur”). Hal ini dapat dilihat pada pengaturan tentang
ep

kecakapan, Pasal 1330 BW, yang tidak menentukan umur tertentu, tetapi hanya
merujuk pada terminologi ”dewasa”, yang oleh pengaturan lain, Pasal 330 BW,
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 123


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 123 12/13/2010 9:29:39 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
ditetapkan bahwa dewasa (dalam arti tidak berada di bawah umur) adalah yang

si
telah mencapai umur tertentu (21 tahun).
Dengan demikian, batasan umur dalam menentukan kewenangan bertindak

ne
ng
bersifat langsung menunjuk pada umur tertentu, sedangkan batasan umur dalam
menentukan kecakapan sebagaimana dimaksud Pasal 1330 BW tergantung
pada batasan umur dewasa. Namun demikian, apabila merujuk ketentuan

do
gu
dalam Pasal 47 dan 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dapat dilihat adanya pengaturan kecakapan yang tidak lagi digantungkan pada
batasan ”dewasa” atau ”tidak berada di bawah umur”, tetapi langsung merujuk

In
A
pada batasan umur tertentu.
Meskipun kewenangan bertindak dan kecakapan memiliki ranahnya sendiri,
dalam praktiknya tidak mudah membuat batas antara kewenangan bertindak
ah

lik
dan kecakapan. Ditambah lagi pola pengaturan perundang-undangan Indonesia
yang tersebar dalam berbagai peraturan, semakin mempersulit penyelarasan
antara suatu konsep pengaturan dalam satu peraturan dengan peraturan
am

ub
lainnya. Dalam praktik, hal ini tentu akan menimbulkan permasalahan. Apalagi
dalam penerapan hukum, khususnya melalui putusan pengadilan, mengingat
belum ada sistematisasi putusan pengadilan di Indonesia.
ep
k

Terkait dengan hal tersebut, pada bagian ini kami mengkaji dan menganalisis
ah

penerapan konsep hukum kecakapan dan kewenangan bertindak, berdasarkan


R
batasan umur dalam produk pengadilan yang kami telusuri.

si
b. Kewenangan Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk Pengadilan

ne
ng

Dalam beberapa produk pengadilan yang kami kompilasi, tidak satu pun produk
pengadilan yang menguraikan tentang pengertian kewenangan bertindak maupun
batasan kewenangan bertindak. Namun demikian, terdapat satu putusan yang

do
gu

menggambarkan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur, sebagaimana


Putusan Pengadilan Negeri Kerta di Singaradja No. 82/Sipil-Besar tanggal 27
In
September 1950 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Mataram No. 94/1951/P.S/Pdt tanggal
A

17 Maret 1952 jis. Putusan MA RI No. 53 K/Sip/1952 tanggal 24 Agustus 1955, di


mana seseorang yang berumur 17 tahun dianggap berwenang untuk mengajukan
ah

lik

gugatan atas harta warisan bapaknya, dengan mendasarkan pada hukum adat.
Menurut hukum adat, umumnya seseorang yang telah berumur 15 tahun dianggap
telah dewasa. Dengan demikian, dalam putusannya, hakim berpendapat bahwa
m

ub

dalam umur 15 tahun seseorang menjadi berwenang untuk melakukan perbuatan


hukum, termasuk menjadi pihak dalam memperjuangkan harta warisan yang
ka

seharusnya diperolehnya.
ep

Pertimbangan majelis hakim yang mendasarkan kewenangan bertindak


berdasarkan hukum adat telah tepat, mengingat hukum adat merupakan hukum
ah

es

124 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 124 12/13/2010 9:29:39 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
yang tumbuh di masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia, seseorang yang

si
berumur 15 tahun dianggap telah mampu diberi kewenangan oleh hukum dalam
mempertahankan hak-­haknya yang timbul karena kewarisan di pengadilan.

ne
ng
c. Kecakapan Berdasarkan Batasan Umur 21 Tahun
Terkait dengan kecakapan, terdapat 18 putusan dan 28 penetapan pengadilan yang

do
gu
menggambarkan kecakapan berdasarkan batasan umur. Dari produk pengadilan
yang kami telusuri, tidak satu pun produk pengadilan yang menguraikan tentang
pengertian maupun batasan kecakapan. Produk pengadilan tersebut berangkat dari

In
A
penerapan hukum tentang pengaturan dewasa atau ”tidak berada di bawah umur”,
untuk kemudian ditarik pemahaman bahwa ketika telah memenuhi unsur dewasa
ah

atau ”tidak lagi berada di bawah umur” maka menjadi cakap untuk berbuat dalam

lik
hukum.
Dengan demikian, ketika tidak memenuhi unsur dewasa atau ”berada di bawah
am

ub
umur” maka menjadi tidak cakap untuk berbuat dalam hukum. Dalam kondisi ini,
orang tua atau wali yang mewakilinya dan memikul tanggung jawab hukum yang
ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut.
ep
Apabila mengkaji dari pertimbangan hakim, terdapat produk hakim yang
k

mendasarkan kecakapan pada batasan umur, di mana batasan umur dewasa yang
ah

digunakan adalah 21 tahun.


R

si
1) Gugatan Ganti Rugi karena Perbuatan Melawan Hukum

ne
ng

(a) Putusan Pengadilan Negeri Tondano No. 118/PDT.G/1990/PN.TDO Tanggal


7 Agustus 1991 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara di Manado No. 84/
PDT/1992/PT.MDO Tanggal 15 April 1993 jis. Putusan MA RI No. 441/K/Pdt/1994

do
gu

Tanggal 19 Januari 1995



Majelis hakim berpandangan bahwa anak tergugat I dan II belum dewasa, dalam
In
A

arti belum mencapai 21 tahun atau belum pernah kawin, mengenai hal mana,
Pengadilan menunjuk ketentuan di dalam ordonansi 31 Januari 1931 (L.N.1931
ah

lik

No. 54) jo pasal 330 KUH Perdata. Dengan demikian, karena anak tergugat I
dan II belum dewasa, karenanya berdasarkan Pasal 1367 BW, tergugat I dan II
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan anaknya.
m

ub

Dalam hal ini, meskipun anak lelaki tergugat I dan II ketika digugat telah
berumur 19 tahun, yang menurut hukum telah cukup umur memperoleh Surat
ka

Izin Mengemudi (oleh karenanya dianggap cakap mengemudikan kendaraan


ep

bermotor), namun majelis hakim berpandangan bahwa batasan umur untuk


dapat memperoleh Surat Izin Mengemudi tidak berarti menjadi batasan umur
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 125


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 125 12/13/2010 9:29:39 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
untuk menilai kecakapan berbuat dalam hukum. Dengan demikian, umur 19

si
tahun belum dewasa sehingga orang tuanya masih harus bertanggung jawab
mengganti kerugian yang timbul.

ne
ng
(b) Putusan Pengadilan Negeri Sigli No. 12/pdt/G/1991/PN-SIGI Tanggal 24
September 1991 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Aceh di Banda Aceh No. 7/

do
gu
PT/1992/PT-Aceh Tanggal 24 September 1992 jis. Putusan MA RI No. 2574 K/
Pdt/1992 Tanggal 26 Februari 1994

In
A
Majelis hakim berpendapat bahwa tergugat I, yang telah berumur 20 tahun,
masih berada di bawah umur. Dengan demikian, tergugat III selaku orang tuanya
bertanggung jawab menanggung kerugian atas perbuatan anaknya tersebut.
ah

lik
Dalam hal ini, majelis hakim tidak menguraikan dasar hukum yang dijadikan
dasar pertimbangan untuk menentukan seseorang berada di bawah umur.
Majelis hakim juga tidak menjelaskan parameter batasan umur yang digunakan
am

ub
untuk menentukan keadaan dewasa atau di bawah umur tersebut. Hanya
dilakukan klasifikasi bahwa tergugat I yang berumur 20 tahun masih berada di
bawah umur. Dengan demikian, majelis hakim menggunakan batasan umur 21
ep
k

tahun untuk menentukan dewasa atau tidak di bawah umur.


ah

Untuk peristiwa yang terjadi setelah tahun 1974, apabila merujuk pada
R
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maka ketika

si
mengklasifikasikan seseorang berada di bawah umur atau sudah dewasa,
setidaknya akan bersinggungan dengan Pasal 330 BW atau Pasal 47 dan 50 UU

ne
ng

No. 1 Tahun 1974. Dengan tidak menyebutkan dasar hukum yang dijadikan
pertimbangan, juga tidak menyebut batasan umur yang digunakan sebagai
parameter menentukan batasan dewasa atau di bawah umur maka putusan ini

do
gu

menjadi tidak memiliki landasan hukum yang kuat.


In
(c) Putusan Pengadilan Negeri Madiun No.14/PDT.G/1992/PN.Kb.Mn. Tanggal
A

26 November 1992 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya


No.423/PDT/1993/PT.SBY. Tanggal 2 Desember 1992 jis. Putusan MA RI No. 262K/
ah

lik

PDT/1994 Tanggal 5 Oktober 1994



Majelis hakim berpandangan bahwa meskipun berdasarkan Pasal 47 UU No.
m

ub

1 tahun 1974 dapat ditafsirkan bahwa seseorang yang telah berumur di atas
18 tahun tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua, namun tidak berarti
ka

bahwa orang tersebut telah dewasa. Dengan demikian, berdasarkan Pasal


ep

1367 BW, tergugat II bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh
anaknya, yaitu tergugat I, yang masih di bawah umur (belum dewasa).
ah

es

126 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 126 12/13/2010 9:29:40 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 137
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dalam putusannya, majelis hakim kurang cermat dalam menerapkan Pasal

si
47 UU No. 1 Tahun 1974. Dalam hal seseorang sudah tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua maka menurut hukum dia telah dinilai mampu untuk

ne
ng
bertanggung jawab penuh terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya.
Dengan demikian, tercipta kondisi di mana dia menjadi cakap untuk berbuat
dalam hukum.

do
gu
Apabila hakim memandang bahwa batasan umur seseorang dinyatakan
dewasa adalah berumur 21 tahun, tidak seharusnya hakim menyandarkan pada
Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974. Meskipun tidak secara tegas Pasal 47 UU No. 1

In
A
Tahun 1974 menyebutkan bahwa dewasa atau tidak berada di bawah umur
adalah mereka yang telah berumur 18 tahun, namun dengan menyatakan
ah

bahwa tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua maka menjadi cakap

lik
menurut hukum.
am

ub
(d) Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi No. 73/PDT.G/1992/BWI
Tanggal 22 Desember 1992

ep
Tergugat I yang berumur 20 tahun melakukan hubungan suami isteri di luar
k

perkawinan dengan anak Penggugat yang belum berumur 15 tahun. Dengan


ah

mendasarkan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut dilakukan tanpa


R

si
paksaan, majelis hakim pengadilan negeri berpendapat bahwa tergugat I tidak
dapat digugat atas gugatan ganti rugi.

ne
ng

Putusan ini kemudian dibatalkan oleh pengadilan tinggi dengan Putusan


Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya No. 412/PDT/1993/PT.SBY tanggal 30
September 1993, di mana majelis hakim berpendapat bahwa anak penggugat

do
gu

yang belum berumur 15 tahun belum mempunyai kehendak bebas sehingga


perbuatan tergugat I melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi
penggugat. Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa
In
A

tergugat I yang masih berumur 20 tahun dianggap masih berada di bawah


umur, karena kategori umur dewasa menurut hukum perdata adalah mereka
ah

lik

yang sudah berumur 21 tahun. Dengan demikian, tergugat II selaku orang tua
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anaknya berdasarkan
Pasal 1367 BW.
m

ub

Pada tingkat kasasi, dengan putusan MA RI No. 1475 K/Pdt/1995 tanggal


29 September 1995, permohonan kasasi pihak tergugat tidak diterima karena
ka

telah melewati tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang.


ep

Dalam putusan tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa batasan


umur yang digunakan untuk menentukan seseorang telah dewasa atau tidak
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 127


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 127 12/13/2010 9:29:40 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 138
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
berada di bawah umur adalah 21 tahun, dengan mendasarkan pada ketentuan

si
hukum perdata. Dalam hal ini, majelis hakim tidak menguraikan lebih lanjut,
ketentuan mana dalam BW yang dimaksud. Namun demikian, dapat ditafsirkan

ne
ng
bahwa ketentuan dalam Pasal 330 BW yang dijadikan dasar hukum dalam
pertimbangan hakim tersebut.
Penggunaan ketentuan dalam Hukum Perdata (BW) oleh hakim dalam

do
gu
perkara ini menjadi kurang tepat, mengingat dengan berlakunya UU No. 1
Tahun 1974, seseorang yang telah berumur 18 tahun tidak lagi berada di bawah
kekuasaan orang tua. Akan menjadi tidak adil bagi orang tua, ketika harus

In
A
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh anaknya yang tidak
lagi berada di bawah kekuasaannya.
ah

lik
(e) Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar No. 33/Pdt.G/1998/PN.PMS
Tanggal 14 April1998 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatra Utara di Medan
am

ub
No. 306/Pdt/1999/PT.MDN Tanggal 22 November 1999 jis. Putusan MA RI No.
2149 K/Pdt/2000 Tanggal 11 Desember 2001

ep
Majelis hakim berpandangan bahwa tergugat I yang berumur 18 tahun 1 bulan
k

masih belum dewasa sehingga orang tuanya turut bertanggung jawab atas
ah

kerugian yang disebabkan olehnya karena melakukan penganiayaan.


R

si
Menurut majelis hakim, meskipun untuk perbuatan penganiayaan yang
dilakukan tergugat I telah diadili dalam pengadilan umum biasa, bukan

ne
pengadilan umum untuk anak, hal tersebut tidaklah mengandung arti bahwa
ng

terdakwa memperoleh perubahan status menjadi orang dewasa. Maksud


dari sidang Peradilan Anak dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan

do
gu

Anak adalah dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,


mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang sehingga terdakwa
yang dalam umur 8 tahun sampai dengan umur belum genap 18 tahun perlu
In
A

memperoleh perlakuan yang bersifat pembinaan dan perlindungan, mengingat


ia adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia,
yang merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa.
ah

lik

Menurut majelis hakim, batasan umur yang digunakan untuk menentukan


kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun penuh sehingga meskipun telah
m

memiliki penghasilan dari pekerjaan mengutip cokelat dan mencuci motor,


ub

tergugat I dianggap belum dewasa.


Pertimbangan majelis hakim dalam perkara ini menunjukan aliran
ka

ep

positivisme yang kental dalam pemikiran hakim. Majelis hakim menerjemahkan


ketentuan dewasa secara gramatikal, tanpa melihat perkembangan yang
ah

es

128 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 128 12/13/2010 9:29:40 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 139
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
hidup di masyarakat. Dalam hukum adat misalnya, seseorang yang kuat gawe,

si
dianggap telah dewasa, dan karenanya cakap untuk berbuat dalam hukum. Di
samping itu, merujuk pada ketentuan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan

ne
ng
Anak, di mana seseorang yang telah berumur 18 tahun tidak lagi disidangkan
menurut acara peradilan anak, tetapi menurut acara sebagaimana orang
dewasa, menunjukkan bahwa pada umur 18 tahun, seseorang dianggap telah

do
gu
mampu berbuat dalam hukum dan mampu bertanggung jawab secara penuh
dalam hukum. Dari ancaman pidana yang dijatuhkan, terhadapnya dijatuhkan
ancaman pidana penuh (tanpa dikurangi 1/2) karena dianggap telah mampu

In
A
bertanggung jawab penuh dalam hukum, dan karenanya menjadi cakap untuk
berbuat dalam hukum.
ah

lik
(f) Putusan Pengadilan Negeri Manado No.205/Pdt.G/1998/PN.MDO Tanggal
21 Desember 1998 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara di Manado No.
am

ub
141/Pdt/1999/PT.MDO Tanggal 29 September 1999 jis. Putusan MA RI No. 2781
K/Pdt/2000 Tanggal 4 Juni 2003

ep
Menurut pertimbangan majelis hakim, tergugat III yang masih belum berumur
k

21 tahun dianggap belum dewasa, karenanya orang tuanya, yaitu tergugat I


ah

dan tergugat III bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan sebagai
R

si
akibat perbuatan tergugat III.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur yang

ne
digunakan untuk menentukan seseorang telah dewasa atau tidak berada di
ng

bawah umur adalah 21 tahun, namun majelis hakim tidak menguraikan dasar
hukum untuk menilai kebelumdewasaan tersebut.

do
gu

2) Permohonan Perwalian
Pada permohonan sebagaimana terdapat dalam Penetapan Pengadilan Negeri
In
A

Barabai No 18/Pdt.P/1985/PN.Brb tanggal 30 Agustus 1985, majelis hakim


menguraikan ukuran untuk menilai anak yang di bawah umur (belum dewasa)
adalah yang belum berumur 21 Tahun.
ah

lik

Walaupun dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan Pasal 50 Ayat


(1) UU No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa anak yang belum mencapai
m

umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak


ub

berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali,


namun dalam pertimbangan selanjutnya hakim menegaskan kembali bahwa
ka

ep

pengertian anak dalam hal ini adalah anak yang belum mencapai umur 21
Tahun dan belum pernah kawin.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 129


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 129 12/13/2010 9:29:40 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 140
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Penetapan di atas menunjukkan adanya inkonsistensi hakim dalam

si
menentukan batasan umur untuk menetapkan seseorang belum dewasa
atau masih di bawah umur. Pertimbangan hakim tersebut menunjukkan

ne
ng
adanya kekosongan hukum untuk seseorang yang berumur di atas 18 tahun
dan di bawah 21 tahun. Bagaimana bisa, seorang yang tidak lagi berada di
bawah kekuasaan wali (atau orang tuanya), namun masih dianggap belum

do
dewasa? gu
3) Permohonan Melakukan Perbuatan Hukum Atas Nama Anak di Bawah Umur

In
A
(a) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 69/Pdt.P/2009/PN.
Jaksel Tanggal 16 April 2009

ah

lik
Hakim menetapkan pemohon merupakan janda dari suaminya yang
meninggalkan 2 (dua) orang anak laki-laki, masing-masing berumur 16 tahun
am

ub
dan 13 tahun. Dalam hal ini, hakim menyatakan kedua anak tersebut masih
berada di bawah umur dengan mendasarkan Pasal 330 jo 1330 BW. ep
(b) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 120/Pdt.P/2009/PN.
k

Jaksel Tanggal 12 Mei 2009


ah

si
Hakim menetapkan Pemohon adalah janda dari suaminya yang meninggalkan
4 (empat) orang anak, yang masing masing berumur 36 tahun, 35 tahun, 29

ne
tahun, dan 20 tahun. Dalam hal ini, hakim menyatakan anak bungsunya tersebut
ng

masih berada di bawah umur dengan mendasarkan Pasal 330 jo 1330 BW.

do
gu

(c) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 76/Pdt.P/2009/PN.


Jaksel Tanggal 5 Mei 2009

In
A

Hakim menetapkan Pemohon adalah janda dari suaminya yang meninggalkan


16 (enam belas) orang anak, 2 (dua) di antaranya masih berumur 17 tahun dan
15 tahun. Dalam hal ini, hakim menyatakan kedua anak tersebut masih berada
ah

lik

di bawah umur dengan mendasarkan Pasal 330 jo 1330 BW.


m

ub

(d) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 161/Pdt.P/2009/PN.


Jaktim Tanggal 20 Maret 2009

ka

ep

Dalam pertimbangannya, Hakim menggunakan batasan umur dewasa


seseorang untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 330 BW
ah

es

130 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 130 12/13/2010 9:29:40 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 141
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dan Pasal 47 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

si
secara bersamaan.
Dalam kasus ini, mengingat anak yang dimintakan permohonan berumur 17

ne
ng
tahun maka tidak terdapat perbedaan penerapan hukum dari kedua peraturan
tersebut. Namun dalam hal umurnya antara 18 sampai 21 tahun, penerapan
kedua peraturan tersebut akan membawa akibat hukum yang berbeda. Hal ini

do
gu
menunjukkan kurangnya pemahaman hakim akan pengaturan batasan umur
yang membawa akibat pada kecakapan untuk berbuat dalam hukum.

In
A
(e) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No 65/Pdt.P/2009/PN.
Jaktim Tanggal 16 April 2009
ah

lik

Hakim mendasarkan pertimbangan terkait batasan umur seseorang untuk
cakap bertindak secara hukum mengacu pada konsep kedewasaan Pasal 330
am

ub
BW. Dengan demikian, berdasarkan penetapan ini anak Pemohon yang belum
berumur 21 tahun dinyatakan belum dewasa. ep
k

(f) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 38/Pdt.P/2009/PN.


Jakpus Tanggal 11 Mei 2009
ah

si
Hakim menggunakan batasan umur dewasa 21 tahun dengan pertimbangan
”Bahwa istilah belum dewasa yang dipakai dalam beberapa peraturan undang-

ne
ng

undang terhadap bangsa Indonesia adalah setiap orang yang belum mencapai
umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.”
Dalam hal ini, hakim tidak menguraikan peraturan perundang-undangan

do
gu

mana yang dimaksud. Terlebih lagi merujuk pada peraturan yang beragam di
Indonesia, di mana antara satu peraturan dan lainnya berpotensi menimbulkan
In
perbedaan penerapan hukum. Pertimbangan hakim yang seperti ini akan
A

menimbulkan ketidakpastian hukum.


ah

lik

(g) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 99/P/2009/PN. Jakpus Tanggal 11


Maret 2010

m

ub

Hakim menggunakan batasan umur 21 tahun untuk menentukan kecakapan


dalam jual-beli, tanpa menyebut dasar hukumnya.
ka

ep

Dalam penetapan tersebut, menunjukkan kelemahan hakim dalam menggali


aturan hukum yang berlaku guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 131


M

ng

on

isi7-2 fot156.indd 131 12/13/2010 9:29:40 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 142
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
d. Kecakapan Berdasarkan Batasan Umur 18 Tahun

si
Terdapat produk hakim yang mendasarkan kecakapan pada batasan umur, di mana
batasan umur dewasa yang digunakan adalah 18 tahun.

ne
ng
1) Gugatan Perceraian dan Hak Asuh
Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg tanggal 24 Juli
1974 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No.

do
gu
41/1975/PT.PERDATA tanggal 14 Agustus 1975, dalam amarnya majelis
hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberi nafkah
kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur

In
A
21 tahun.
Dalam hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang belum
ah

lik
berumur 21 tahun dianggap masih di bawah umur atau belum dewasa
sehingga ayahnya berkewajiban untuk menafkahinya sampai anak tersebut
berumur 21 tahun, suatu kondisi di mana anak tersebut telah dewasa, dan
am

ub
karenanya telah mampu bertanggung jawab penuh dan menjadi cakap
untuk berbuat dalam hukum.
Dalam kasasi di Mahkamah Agung, dengan Putusan MA RI No.477/K/
ep
k

Sip./1976 tanggal 2 November 1976, majelis hakim membatalkan putusan


ah

pengadilan tinggi dan mengadili sendiri, di mana dalam amarnya majelis


R
hakim memutuskan bahwa ayah berkewajiban untuk memberian nafkah

si
kepada anak hasil perkawinan yang putus tersebut sampai anaknya berumur

ne
18 tahun.
ng

Majelis hakim berpendapat bahwa batasan umur anak yang berada di


bawah kekuasaan orang tua atau perwalian ialah 18 tahun, bukan 21 Tahun.

do
gu

Dengan demikian, dalam umur 18 tahun, seseorang telah dianggap mampu


mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan karenanya menjadi cakap
untuk berbuat dalam hukum. Keputusan ini tepat, mengingat Pasal 47
In
A

dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di


bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18
ah

tahun.
lik

2) Gugatan Ganti Rugi Terkait Pekerja Anak


m

ub

Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 271/Pdt.G/1997/PN.MDN tanggal 19


Februari 1998 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan No.
ka

221/Pdt/1998/PT.MDN tanggal 3 Agustus 1998 jis. Putusan MA RI No. 1735


ep

K/Pdt/1999 tanggal 24 Februari 2005, majelis hakim berpandangan bahwa


anak penggugat (umur 17 tahun 6 bulan) yang bekerja pada tergugat II atas
ah

es

132 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 132 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 143
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
ajakan tergugat I masih termasuk ke dalam golongan Pekerja Muda, yakni

si
orang yang berumur 14 tahun atau lebih akan tetapi belum genap 18 tahun
(vide Pasal 1 (1) c UU No. 12 tahun 1948). Menurut Hukum Perburuhan, anak

ne
ng
penggugat tersebut belum cakap untuk mengikat perjanjian kerja, baik
secara tertulis maupun secara lisan.
Berdasarkan bukti di persidangan, terungkap bahwa penggugat yang

do
gu
mengantar anaknya bekerja, dengan demikian, penggugat dianggap
memberikan persetujuan untuk mengikatkan anaknya dalam perjanjian
kerja.

In
A
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mendasarkan pada Pasal 47 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk menentukan kondisi di bawah
ah

lik
umur, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum melang-
sungkan perkawinan. Dengan demikian, anak penggugat masih berada di
bawah kekuasaan penggugat.
am

ub
Dalam kasus ini, penggugat dinilai tidak dapat membuktikan bahwa
kepergian anaknya untuk bekerja tidak mendapat izin orang tua sehingga
gugatan ditolak.
ep
k

Pertimbangan hakim yang mendasarkan kondisi di bawah umur atau


ah

belum dewasa berdasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


R
telah sesuai.

si
3) Gugatan Pembatalan atas Penjualan Aset Anak di Bawah Umur

ne
ng

Putusan Pengadilan Negeri Tarakan No. 05/Pdt.G/2005/PN.Trk tanggal 20 Juni


2005, majelis hakim menggunakan pertimbangan Pasal 48 UU No. 1 Tahun

do
gu

1974 tentang Perkawinan, di mana orang tua tidak boleh memindahkan


hak-hak barang tetap anaknya yang belum berumur 18 Tahun. Dengan demiki-
an, batasan umur yang digunakan oleh hakim untuk menilai bahwa seorang
In
A

belum memiliki kemampuan untuk mengurus hartanya adalah 18 tahun. Hal ini
berarti bahwa ketika seorang telah berumur 18 tahun maka dianggap memiliki
kemampuan untuk mengurus hartanya, karena telah mampu bertanggung
ah

lik

jawab dan karenanya cakap untuk berbuat hukum.


Putusan pengadilan negeri tersebut kemudian dibatalkan pada tingkat
m

ub

banding dengan Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda


No. 104/Pdt/2005/PT.KT.SMDA tanggal 28 November 2005. Putusan ini tidak
ka

memuat pertimbangan tentang tema penelitian. Dalam pertimbangannya,


ep

Pengadilan Tinggi hanya menguraikan bahwa Ayah sebagai kepala keluarga


berhak bertindak untuk anaknya yang belum dewasa (tidak menyebutkan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 133


M

ng

on

isi7-3.indd 133 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 144
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dasar hukum atau pertimbangan yang digunakan sebagai parameter umur

si
dewasa) sehingga perbuatan hukum pengalihan bidang tanah yang dilakukan
ayahnya adalah sah. Putusan mana kemudian dibatalkan dengan putusan jis.

ne
ng
Putusan MA RI No. 1935K/Pdt/2006 tanggal 21 Maret 2007, yang menganggap
bahwa ayahnya tidak berhak mengalihkan bidang tanah yang dimiliki anaknya,
terlebih lagi saat ini, anak tersebut berada dalam hadhanah penggugat.

do
gu
4) Permohonan Melakukan Perbuatan Hukum atas Nama Anak di Bawah Umur
(a) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 1 15/Pdt.P/2009/PN.

In
A
Jaktim Tanggal 17 Maret 2009

Hakim menggunakan pertimbangan bahwa batasan umur dewasa seseorang
ah

lik
untuk cakap bertindak secara hukum mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan mendasarkan pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1974
am

ub
tentang Perkawinan menunjukkan bahwa hakim berpendapat batasan umur
yang digunakan sebagai parameter untuk menentukan kecakapan untuk
berbuat dalam hukum adalah telah berumur 18 tahun.
ep
k
ah

(b) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 78/Pdt.P/2009/PN.


Jaktim Tanggal 19 Maret 2009
R

si

Hakim menggunakan pertimbangan untuk menentukan batasan umur sebagai

ne
ng

parameter kecakapan dengan mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 1
Tahun 1974. Untuk selanjutnya, dengan mendasarkan pada Pasal 48 orang tua
tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang

do
gu

tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya.
In
A

(c) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 150/Pdt.P/2009/PN.


ah

Jakpus Tanggal 7 September 2000


lik


Hakim mendasarkan kedewasaan pada umur 18 tahun berdasarkan UU No.
m

ub

1 Tahun 1974 dan UU No. 30 tahun 2004. Dalam pertimbangannya, majelis


hakim menguraikan bahwa ”Apabila mengacu kepada UU Perkawinan No. 1
ka

Tahun 1974, yang menentukan batas kedewasaan adalah 18 tahun, maka untuk
ep

melakukan perbuatan hukum dalam bidang keperdataan umum tidak perlu


lagi meminta izin dari pengadilan.”
ah

es

134 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 134 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 145
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Namun dalam penetapannya, mengingat perbuatan hukum yang dilakukan

si
adalah jual-beli di hadapan PPAT maka pemohon oleh majelis hakim dianggap
menundukkan diri pada ketentuan Pasal 330 BW, bahwa kedewasaan adalah

ne
ng
21 tahun. Dengan demikian, meskipun pada prinsipnya hakim telah menganut
batasan umur dalam menentukan kecakapan berbuat dalam hukum berdasar-
kan perubahan rezim peraturan perundang-undangan, yaitu berdasarkan UU

do
gu
No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 30 tahun 2004, hakim masih belum berani secara
tegas menafikan ketentuan kedewasaan dalam Pasal 330 BW.

In
A
e. Kecakapan Berdasarkan Kategori ”di Bawah Umur” atau ”Dewasa”
Tanpa Menegaskan Parameter Batasan Umur yang Digunakan
Produk yang kami telusuri menunjukkan bahwa sebagian besar menyatakan
ah

lik
kondisi di bawah umur atau belum dewasa pada pertimbangannya, tanpa
menguraikan batasan umur yang digunakan untuk menyatakan kondisi di
am

ub
bawah umur atau belum dewasa, dan juga tidak mencantumkan dasar hukum
yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menyatakan kondisi di bawah
umur atau belum dewasa tersebut. Berikut produk-produk tersebut.
ep
k

1) Gugatan Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum


ah

(a) Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 131/Perd./1980/PN-MDN Tanggal


R

si
9 Juni 1981 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan No. 171/
PERD/1983/PT MEDAN Tanggal 29 Maret 1983 jis. Putusan MA RI No. 2691 K/

ne
ng

Pdt/1992 Tanggal 30 Juli 1994



Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan anak tergugat I dan anak

do
gu

tergugat II yang berada di bawah umur telah mengakibatkan kematian anak


penggugat sehingga tergugat I dan tergugat II selaku orang tua bertanggung
jawab dari segala akibat yang timbul dari perbuatan anaknya berdasarkan Pasal
In
A

1367 ayat (2) BW.


Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa, dan juga
ah

lik

tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan


untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut.
m

ub

(b) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 305/PDT/G/1991/PN. Jakbar


Tanggal 2 Juni 1992 jis. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.433/PDT/1992/
ka

PT.DKI Tanggal 5 Januari 1993 jis. Putusan MA RI No. 2597 K/PDT/1993 Tanggal 1
ep

Mei 1996
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 135


M

ng

on

isi7-3.indd 135 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 146
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan tergugat I berada di bawah

si
umur tanpa menguraikan dasar hukum untuk menyatakan tergugat I di bawah
umur. Berdasarkan Pasal 1367 BW, orang tua dari wali bertanggung jawab atas

ne
ng
kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal
pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau
wali.

do
gu
Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa, dan juga
tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan

In
A
untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut.

(c) Putusan Pengadilan Negeri Magelang No. 06/1994/Pdt.G/PN.MGL Tanggal


ah

lik
1 Desember 1994 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No.
584/Pdt/1995/PT.Smg Tanggal 5 Desember 1995 jis. Putusan MA RI No. 3203 K/
am

ub
Pdt/1996 Tanggal 8 Agustus 2001

Majelis hakim menguraikan bahwa penggugat sebagai orang tua dapat mewaki-
ep
li kepentingan anaknya yang masih berada di bawah umur, untuk mengajukan
k

gugatan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum yang menjadikan anaknya
ah

sebagai korban.
R
Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang diguna-

si
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa, dan juga
tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan

ne
ng

untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut.

do
(d) Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan No. 50/Pdt.G/1997/PN.BPP Tanggal
gu

6 Desember 1997 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarin-


da No. 107/Pdt/1998/PT.SMDA Tanggal 14 Oktober 1998 jis. Putusan MA RI No.
1189 K/Pdt/199 Tanggal 28 Februari 2001 jis. Putusan MA RI No. 202 PK/Pdt/2003
In
A

(PK) tanggal 10 Maret 2006



ah

Majelis hakim berpendapat bahwa tergugat I (15 tahun) masih berada di bawah
lik

umur sehingga menurut hukum masih berada di bawah tanggung jawab orang
tuanya. Dengan demikian, orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang
m

ub

ditimbulkan oleh anaknya yang masih berada di bawah umur.


Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
ka

kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa dan juga
ep

tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan


untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut.
ah

es

136 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 136 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 147
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
(e) Putusan Pengadilan Negeri Semarang di Urungan No.15/Pdt.G/PN.Un

si
Tanggal 15 Oktober 1999 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di
Semarang No. 141/Pdt/2000/PT.Smg Tanggal 9 Agustus 2000 jis. Putusan MA RI
No. 2779 K/Pdt/2001 Tanggal 22 Januari 2003

ne
ng

Majelis hakim menguraikan dalam pertimbangannya bahwa turut tergugat

do
(15 tahun) yang merupakan anak kandung dari tergugat I dan tergugat II
gu
menabrak anak penggugat dengan sepeda motor. Dengan demikian, tergugat
I dan tergugat II selaku orang tua kandung dari turut tergugat, ikut bertang-

In
gung jawab atas perbuatan turut tergugat yang menimbulkan kerugian bagi
A
penggugat berdasarkan Pasal 1367 BW.
Dalam putusannya, majelis hakim menganggap turut tergugat yang
ah

lik
berumur 15 tahun belum dapat bertanggung jawab secara penuh menurut
hukum, dan karenanya dianggap belum cakap untuk berbuat dalam hukum.
Namun demikian, majelis hakim tidak menjelaskan dalil hukum maupun dasar
am

ub
pertimbangan untuk menentukan umur 15 tahun sebagai di bawah umur.

(f) Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat No. 19/Pdt.G/1999/PN.SGT Tanggal


ep
k

2 Februari 2000 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang


No. 49/Pdt/2000/PT.PLG Tanggal 6 Juni 2000 jis. Putusan MA RI No. 3727 K/
ah

Pdt/2000 Tanggal 11 Mei 2004


R

si

Anak kandung tergugat yang berumur 12 Tahun, dalam pertimbangan majelis

ne
ng

hakim dinyatakan belum dewasa, dengan demikian, tergugat turut bertang-


gung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh Perbuatan Melawan Hukum
yang dilakukan anaknya.

do
gu

Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang digunakan
untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa dan juga tidak
mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan untuk
In
A

menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut.

(g) Putusan Pengadilan Negeri Mataram No.57/Pdt.G/1999/PN.MTR Tanggal


ah

lik

10 November 1999 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Mataram di Mataram No. 07/
Pdt/2000/PT.MTR Tanggal 22 Juni 2000 jis. Putusan MA RI No. 2782 K/Pdt/2001
Tanggal 23 September 2004
m

ub


Menurut pertimbangan majelis hakim, tergugat II turut bertanggung jawab
ka

atas kerugian yang ditimbulkan akibat Perbuatan Melawan Hukum yang dilaku-
ep

kan anaknya, yaitu tergugat I baru (yang berumur 20 tahun) berdasarkan Pasal
1367 BW.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 137


M

ng

on

isi7-3.indd 137 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 148
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang digunakan

si
untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa dan juga tidak
mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan untuk

ne
menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut. Walaupun

ng
dengan mengetahui umur tergugat I yang sudah 20 tahun, tetapi masih dinyat-
akan di bawah umur, dapat diduga bahwa majelis hakim menggunakan batasan

do
umur 21 tahun untuk menentukan kondisi di bawah umur atau belum dewasa.
gu
(h) Putusan Pengadilan Negeri Manado No.168/Pdt.G/2000/PN.MDO
Tanggal 11 Desember 2000

In
A
Pada putusan Pengadilan Negeri tidak terdapat pertimbangan hukum
ah

terkait dengan kecakapan berbuat berdasarkan batasan umur. Namun

lik
pada tingkat banding, dengan Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara
di Manado No. 109/Pdt/2001/PT.MDO tanggal 16 Oktober 2001 jis. Putusan
am

ub
MA RI No. 1351 K/Pdt/2003 tanggal 23 Maret 2005, dalam pertimbangannya
majelis hakim menguraikan bahwa tergugat III merupakan anak tergugat I
dan II yang belum dewasa sehingga tergugat I dan II menanggung kerugian
yang ditimbulkan akibat perbuatan anak yang belum dewasa tersebut.
ep
k

Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
ah

kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa dan juga
tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan
R

si
untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut.

ne
ng

(i) Putusan Pengadilan Negeri Bangli No. 02/Pdt.G/2001/PN.Bli Tanggal 21 Mei


2001 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 67/Pdt/2002/PT.Dps Tanggal
10 Juni 2002 jis. Putusan MA RI No. 2776 K/Pdt/2003 Tanggal 3 Mei 2006

do
gu


Majelis hakim berpendapat bahwa tergugat I (berumur 18 tahun) dan masih
bersekolah di SMU serta masih tinggal bersama orang tuanya secara perdata
In
A

belumlah dikategorikan sebagai orang dewasa dan belum mampu dipertang-


gungjawabkan secara penuh atas perbuatan-perbuatan hukum bidang
keperdataan.
ah

lik

Dalam putusan hakim tersebut tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa dan juga
tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan
m

ub

untuk menyatakan kondisi di bawah umur atau belum dewasa tersebut.


ka

2) Permohonan Perwalian Atas Nama Anak di Bawah Umur


ep

(a) Penetapan Pengadilan Negeri Cianjur No. 19/1976/Sip C Tanggal 21


September 1976
ah

es

138 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 138 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 149
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hakim hanya menetapkan pemohon yang dianggap sudah dewasa sebagai

si
wali dari kedua adiknya yang belum dewasa, tanpa menyebutkan batasan umur
dewasa yang dimaksud. Dari data yang ada, umur adiknya sekitar 17 tahun dan

ne
ng
15 tahun.
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan

do
gu
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.

In
A
(b) Penetapan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 13/1979 Perm B Tanggal
15 Maret 1979
ah

lik
Hakim hanya menetapkan pemohon yang dianggap sudah dewasa sebagai
wali dari adiknya yang belum dewasa, tanpa menyebutkan batasan umur
am

ub
dewasa yang dimaksud dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan
umur yang digunakan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga
tidak mencantumkan dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan
ep
k

menunjukkan kelemahan hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada


penetapannya.
ah

si
(c) Penetapan Pengadilan Negeri Karawang No. 10/Pdt.P/1981/PN.Krw
Tanggal 15 April 1981

ne
ng


Hakim hanya menetapkan pemohon sebagai wali dari keempat adiknya yang
belum dewasa, tanpa menyebutkan batasan umur dewasa yang dimaksud.

do
gu

Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang digunakan
untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan dasar
hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan
In
A

hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.


ah

lik

(d) Penetapan Pengadilan Negeri Sibolga No. 39/Pdt.P/1983/PN.Sbg


Tanggal 17 Mei 1983

m

ub

Hakim menetapkan pemohon sebagai wali dari kedua adiknya yang belum
dewasa tanpa menyebutkan batasan umur dewasa yang dimaksud. Dari data
ka

yang ada, umur adiknya sekitar 20 tahun dan 17 tahun.


ep

Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 139


M

ng

on

isi7-3.indd 139 12/13/2010 9:30:23 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 150
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan

si
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.

ne
ng
(e) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 146/Pdt.P/2010/PN.
Jakut Tanggal 31 Maret 2010

do
gu
Hakim menetapkan bahwa pemohon adalah saudara dari almarhum yang
meninggalkan 1 (satu) anak yang bernama untuk ditetapkan sebagai wali atas
anak di bawah umur.

In
A
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
ah

dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan

lik
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
am

ub
3) Permohonan Melakukan Perbuatan Hukum atas Nama Anak di Bawah Umur
(a) Penetapan Pengadilan Negeri Magetan No. 138/Pdt.P/1984/PN MGT
Tanggal 13 Juni 1984
ep

k

Hakim hanya menetapkan pemohon sebagai wali dari ketiga anaknya yang
ah

masih di bawah umur, tanpa menyebutkan batasan di bawah umur yang


R

si
dimaksud. Dari data yang ada, umur anaknya sekitar 11 tahun, 9 tahun, dan 4
tahun.

ne
ng

Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan

do
gu

hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.

(b) Penetapan Pengadilan Negeri Pekalongan No. 72/Pdt.P/1982/PN PKL


In
A

Tanggal 19 April 1982



Hakim hanya menetapkan pemohon sebagai wali dari ketiga anaknya yang
ah

lik

masih di bawah umur, tanpa menyebutkan batasan di bawah umur yang


dimaksud. Dari data yang ada, umur anaknya sekitar 20 tahun, 18 tahun, dan 16
m

ub

tahun.
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
ka

kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
ep

dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan


hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
ah

es

140 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 140 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 151
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
(c) Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang No. 1 19/Pdt.P/2008/PN

si
Tangerang Tanggal 26 Juni 2008

ne
ng
Hakim menetapkan pemohon sebagai wali dari ketiga anaknya yang masih di
bawah umur dan mengizinkan menjual aset anaknya tersebut. Tiga orang anak
Pemohon masing-masing berumur 20 tahun, 18 tahun, dan 13 tahun.

do
gu
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang digunakan
untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan dasar
hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan

In
A
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
ah

lik
(d) Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang No. 94/Pen.Pdt.P/2008/PN
Tangerang Tanggal 2 Juni 2008
am

ub
Hakim menetapkan Pemohon adalah kakek dari 2 (dua) orang anak ahli waris
dari orang tuanya yang meninggal. Pemohon adalah pengasuh kedua anak
tersebut yang masing-masing berumur 12 tahun dan 10 tahun, yang dianggap
ep
k

belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Tujuan dari pemohon adalah
untuk mengurus harta warisan milik kedua anak tersebut untuk kehidupan dan
ah

pendidikan.
R

si
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang digunakan
untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan dasar

ne
ng

hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan


hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.

do
gu

(e) Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang No 164/Pdt.P/2008/PN


Tangerang Tanggal 4 Agustus 2008

In
A

Hakim menetapkan Pemohon adalah ibu dari 6 (enam) orang anak, ketiga
anaknya masih di bawah umur, tanpa menyebutkan batasan umur di bawah
ah

lik

umur yang dimaksud. Dengan demikian, pengadilan memberikan izin kepada


pemohon untuk melakukan perbuatan hukum atas nama anak di bawah umur
tersebut.
m

ub

Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
ka

kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
ep

dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan


hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 141


M

ng

on

isi7-3.indd 141 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 152
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
(f) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1 15/Pdt.P/2009/PN

si
Jaksel Tanggal 8 Mei 2009

ne
Hakim menetapkan pemohon adalah janda dari suaminya dengan 3 (tiga) orang

ng
anak yang berumur 13 tahun, 6 tahun, dan 1tahun, dan karenanya berhak untuk
melakukan perbuatan hukum atas ketiga anak yang masih berada di bawah

do
umur tersebut. gu
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan

In
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan
A
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
ah

lik
(g) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No 178/Pdt.P/2009/PN
Jakbar Tanggal 27 Mei 2009

am

ub
Hakim menetapkan Pemohon adalah seorang janda yang memiliki 2 orang anak
di bawah umur, masing-masing berumur 18 tahun dan 16 tahun yang meneri-
ma warisan dari Alm. suaminya. Untuk keperluan biaya hidup dan pendidikan
ep
k

anak, Pemohon ingin menjual warisan tersebut sehingga memohonkan hak


untuk menjual dari Pengadilan.
ah

Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
R

si
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan

ne
ng

hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.

(h) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 004/Pdt.P/2009/PN

do
gu

Jakbar Tanggal 10 Maret 2009



Hakim menetapkan Pemohon adalah duda dari istrinya yang meninggalkan 2
In
A

(dua) orang anak yang masih di bawah umur, masing-masing berumur 17 tahun
dan 4 tahun, yang mengajukan perwalian untuk menjual harta warisan pening-
ah

lik

galan dari ahli waris untuk perawatan dan biaya hidup.


Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
m

ub

dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan


hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
ka

ep

(i) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 134//Pdt.P/2009/PN


Jakbar Tanggal 31 Maret 2010
ah

es

142 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 142 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 153
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hakim menetapkan Pemohon adalah janda dari suaminya yang meninggal-

si
kan 3 (tiga) orang anak, masing-masing berumur 27 tahun, 24 tahun, dan 17
tahun, dan karenanya mewakili seorang anak yang masih di bawah umur untuk

ne
ng
melakukan perbuatan hukum atas harta peninggalan suaminya.
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan

do
gu
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.

In
A
(j) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 60/Pdt.P/2010/PN
Jakut Tanggal 24 Februari 2010

ah

lik
Hakim menetapkan Pemohon untuk ditetapkan sebagai wali dari ketiga
anaknya, masing-masing berumur 7 tahun, 6 tahun, dan 3 tahun, untuk dapat
am

ub
melakukan tindakan hukum secara perdata.
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
ep
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan
k

hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.


ah

si
(h) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 149/Pdt.P/2010/PN
Jakut Tanggal 6 April 2010

ne
ng


Hakim menetapkan Pemohon adalah janda dari suaminya yang meninggalkan 2
(dua) orang anak, masing-masing berumur 13 tahun dan 11 tahun, dan dengan

do
gu

demikian dapat melakukan perbuatan hukum atas nama anak di bawah umur
terhadap harta peninggalan yang ingin dijual guna keperluan biaya hidup dan
pendidikan anak.
In
A

Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan
ah

lik

hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.


m

ub

(i) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 25/Pdt.P/2010/PN


Jakut Tanggal 3 Februari 2010
ka


ep

Hakim menetapkan Pemohon adalah janda dari suaminya yang meninggalkan


5 (lima) orang anak yang masih di bawah umur, dan karenanya dapat melaku-
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 143


M

ng

on

isi7-3.indd 143 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 154
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
kan perbuatan hukum atas nama anak di bawah umur tersebut, yaitu menjual

si
harta peninggalan suaminya untuk biaya hidup dan pendidikan anaknya.
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-

ne
ng
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan menunjukkan kelemahan
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.

do
gu
f. Penerapan Konsep Kecakapan dan Kewenangan Bertindak dalam
Hukum Berdasarkan Batasan Umur dalam Pertimbangan Hakim

In
A
Berdasarkan pertimbangan hakim pada produk pengadilan di atas, terlihat bahwa
sebagian besar hakim hanya menyatakan suatu kondisi ”di bawah umur”, tanpa
ah

lik
menguraikan lebih lanjut batasan umur yang digunakan maupun dasar hukum yang
digunakan untuk menentukan kondisi di bawah umur tersebut.
Dalam hukum, suatu kondisi di bawah umur akan terkait dengan konsep
am

ub
kecakapan maupun kewenangan bertindak. Dalam putusan yang memuat pertim-
bangan tentang kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur, tampak bahwa
pada umur 15 tahun seseorang telah dapat dilimpahi kewenangan untuk menjadi
ep
k

pihak dalam berperkara di pengadilan guna mempertahankan hak mewarisnya. Hal


ah

ini menunjukkan bahwa pada umur 15 tahun seorang subjek hukum telah memiliki
R
cukup kemampuan untuk diberikan kewenangan bertindak.

si
Sementara itu, terkait dengan kecakapan berdasarkan batasan umur, persoalan
perbedaan pandangan antara BW dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

ne
ng

(yang konsepnya diikuti oleh UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), ternya-
ta membawa dampak pada penerapan hukum di pengadilan. Produk pengadilan

do
gu

yang kami analisis menunjukkan adanya perbedaan pandangan antarhakim dalam


mendasarkan pertimbangannya pada kedua aturan hukum tersebut. Menurut BW,
kecakapan dipengaruhi oleh kondisi dewasa, yang berdasarkan Pasal 330 BW adalah
In
A

telah berumur 21 tahun. Sementara itu, menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, kecakapan dipengaruhi oleh suatu kondisi di mana seseorang tidak
lagi berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian, yaitu telah berumur 18
ah

lik

tahun.
Meskipun tidak satu pun ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkaw-
m

ub

inan yang menggantikan pengertian dewasa dalam BW, tidak berarti bahwa tidak
terjadi pergeseran umur dalam menentukan kecakapan. Dengan mencermati secara
ka

saksama ketentuan dalam Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkaw-
ep

inan maka dapat ditarik pemahaman bahwa kecakapan berdasarkan batasan umur,
kini didasarkan pada umur di mana seseorang sudah tidak berada pada kekuasaan
ah

es

144 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 144 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 155
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
orang tua maupun perwalian (18 tahun), tidak lagi didasarkan pada umur dewasa

si
(21 tahun). Dengan demikian, kecakapan tidak lagi tergantung pada terminologi
”tidak berada di bawah umur atau dewasa”, tetapi tergantung pada terminologi

ne
ng
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian.”
Dari produk pengadilan yang dianalisis, terdapat beberapa hakim yang sudah
mengubah paradigmanya tentang kecakapan meskipun jumlahnya lebih kecil

do
gu
dibandingkan hakim yang masih berpegang teguh pada BW. Namun demikian,
hakim yang tidak dapat menentukan secara tegas batasan umur yang digunakan
untuk menentukan kecakapan jumlahnya lebih banyak. Ini menunjukkan keraguan

In
A
hakim atas sandaran hukum yang akan digunakannya dalam memberikan pertim-
bangan hukum.
ah

lik
2. Metodologi Hakim dalam Menerapkan Konsep Hukum
am

ub
Kecakap­an dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan
Umur dalam Produk Pengadilan
Dari produk yang dianalisis terlihat bahwa sebagian besar hakim tidak menggu-
ep
k

nakan metodologi yang sistematis dalam menerapkan konsep hukum ”kecakapan


ah

dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur”. Dalam pertimbangan-


R
nya, sebagian besar hakim hanya menyatakan suatu kondisi di bawah umur, tanpa

si
menguraikan apakah yang dimaksud dengan di bawah umur, batasan umur yang
dikategorikan sebagai di bawah umur, serta dasar hukum yang digunakan hakim

ne
ng

untuk menentukan suatu kondisi di bawah umur.


Sebagaimana diuraikan pada penjelasan terkait dengan tema penelitian ini dari

do
aspek peraturan perundang-undangan pada bagian sebelumnya, tampak bahwa
gu

batasan umur yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan kecakapan berbuat
dalam hukum pada peraturan perundang-undangan sangat beragam. Parame-
In
A

ter yang digunakan pun bervariasi. Dalam kondisi ini, seharusnya hakim sebagai
gawang penegakan hukum dapat merumuskannya dengan jelas pada pertimban-
gan hukum dalam setiap putusannya. Hal ini akan menutupi celah ketidaksempur-
ah

lik

naan peraturan perundang-undangan.


Sayang, ketidaksempurnaan peraturan perundang-undangan justru diikuti saja
m

ub

oleh hakim dengan memberikan dasar pertimbangan yang mengambang terkait


dengan batasan umur dalam menentukan kecakapan hukum. Dalam pertimban-
ka

gannya, hakim hanya menyatakan bahwa seseorang berada ”di bawah umur”, tanpa
ep

memberikan penjelasan lebih lanjut. Hakim menganggap seolah tidak ada masalah
terkait dengan parameter ”di bawah umur”. Hal ini menunjukkan ketidakcermatan
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 145


M

ng

on

isi7-3.indd 145 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 156
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
hakim dalam menerapkan konsep batasan umur terkait dengan kecakapan untuk

si
berbuat dalam hukum. Metode penerapan hukum oleh hakim tidak didasarkan
pada suatu aturan hukum yang jelas.

ne
ng
Sementara itu, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih kecil, beberapa hakim
menggunakan metode penafsiran secara gramatikal terhadap peraturan perundang-
undangan dalam menerapkan hukum. Terkait dengan kecakapan dalam hukum

do
gu
yang oleh Pasal 1330 BW ditentukan suatu kondisi ”tidak berada di bawah umur”,
hakim kemudian merujuk pada Pasal 330 BW yang mengatur tentang batasan umur
untuk menentukan kondisi ”di bawah umur”, yaitu belum genap berumur 21 tahun.

In
A
Dalam hal ini, dapat dianalisis bahwa hakim menafikkan ketentuan dalam Pasal 47
dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena tidak satu pun ketentuan
ah

dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang ”kondisi

lik
dewasa” ataupun ”di bawah umur” sehingga eksistensi Pasal 330 BW dianggap masih
tetap berlaku. Hal ini dapat dilihat pada pertimbangan hakim yang mendasarkan
am

ub
kecakapan pada batasan umur 21 tahun.
Dalam jumlah yang paling kecil, pada produk pengadilan yang kami analisis
menunjukkan bahwa hakim-hakim menggunakan metode penafsiran secara
ep
k

konseptual terhadap peraturan perundang-undangan dalam menerapkan hukum.


Terkait dengan kecakapan hukum, hakim merujuk pada ketentuan Pasal 47 dan 50
ah

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal ini, dapat dianalisis bahwa
R

si
hakim berpandangan dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
maka suatu kondisi kecakapan dalam hukum adalah kondisi di mana seseorang

ne
ng

mampu bertanggung jawab secara penuh, tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tua ataupun perwalian, yaitu telah berumur 18 tahun.
Dalam hal ini, meskipun tidak satu pun ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974

do
gu

tentang Perkawinan menyatakan tidak berlakunya Pasal 330 BW, dengan Pasal 47
dan 50, telah terjadi perubahan batasan umur untuk menentukan kecakapan dalam
hukum secara yuridis, yaitu dari 21 tahun menjadi 18 tahun.
In
A

3. Periodesasi Perubahan Pendapat Hakim dalam Menerap­


ah

lik

an Konsep Hukum Kecakapan dan Kewenangan Bertindak


Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk Pengadilan Terkait
dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974
m

ub

Dalam menentukan periodisasi terhadap perubahan pendapat hakim, ukuran yang


dapat digunakan untuk mengelompokkan periode di antaranya dengan mendasar-
ka

ep

kan pada perubahan pemikiran dan konsep dalam peraturan perundang-undangan.


Dalam hal ini, berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat ditarik
ah

es

146 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 146 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 157
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
sebagai batasan dalam mengelompokkan produk hakim berdasarkan periode

si
tertentu.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dengan berlakunya UU

ne
ng
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah terjadi pergeseran batasan umur untuk
menilai kecakapan, yang tidak lagi didasarkan pada kondisi di bawah umur atau
belum dewasa (yang kemudian dengan Pasal 330 BW menggunakan batasan umur

do
gu
21 tahun), tetapi didasarkan pada batasan umur 18 tahun.
Dengan menggunakan periodesasi tersebut, perkembangan kecakapan dapat
dikelompokkan menjadi dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1974, di mana

In
A
kecakapan yang mendasarkan pada batasan dewasa, yaitu umur 21 tahun, dan
periode setelah tahun 1974, di mana kecakapan tidak lagi didasarkan pada batasan
ah

kedewasaan, tetapi didasarkan pada batasan umur 18 tahun. Dengan demikian,

lik
apabila mengikuti pola periodesasi dalam produk hakim, akan terlihat bahwa
sebelum tahun 1974 produk hakim akan menunjukkan kecenderungan menggu-
am

ub
nakan batasan kecakapan pada kedewasaan, yaitu umur 21 tahun, sedangkan pada
produk pengadilan yang dibuat setelah tahun 1974 menunjukkan kecenderungan
menggunakan batasan kecakapan pada umur 18 tahun.
ep
k

Namun demikian, pada produk pengadilan, tampaknya periodesasi ini tidak


berpengaruh pada dasar pertimbangan hakim. Jika produk pengadilan yang dikelu-
ah

arkan sebelum tahun 1974 seluruhnya menggunakan umur 21 tahun untuk menjadi
R

si
parameter kedewasaan yang membawa implikasi pada kecakapan, maka produk
yang dikeluarkan sesudah tahun 1974 pun, ternyata tidak semua hakim mengguna-

ne
ng

kan batasan umur 18 tahun sebagai parameter kecakapan, karena masih dijumpai
batasan umur 21 tahun untuk menentukan kecakapan, yang merupakan parame-
ter kedewasaan seseorang. Melihat pada produk tampak bahwa tidak terdapat

do
gu

periodesasi terhadap pendapat (majelis) hakim mengenai konsep hukum kecaka-


pan berdasarkan batasan umur.
In
A

4. Aliran Mazhab yang Digunakan Hakim dalam Menerap­


kan Konsep Hukum Kecakapan dan Kewenangan Bertindak
ah

lik

Berdasarkan Batasan Umur dalam Produk Pengadilan


Berikut beberapa mazhab yang dikenal dalam ilmu hukum.
m

ub

a. Mazhab Hukum Alam


Mazhab hukum alam diungkapkan oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Hugo
ka

Grotius. Menurut Aristoteles, hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu
ep

dan di mana-mana karena berhubungan dengan aturan alam. Hukum itu tidak
pernah berubah, tidak pernah lenyap, dan berlaku dengan sendirinya.
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 147


M

ng

on

isi7-3.indd 147 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 158
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hukum alam dibedakan dengan hukum positif, yang seluruhnya tergantung

si
dari ketentuan manusia.

ne
b. Mazhab Formalistis (Positivisme)

ng
John Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup. Kelsen dalam ajaran hukum murninya menyatakan bahwa hukum tidak

do
gu
boleh dicampuri oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan,
dan etika. Juga tak boleh dicampuri oleh masalah keadilan. Keadilan menurut Kelsen
adalah masalah ilmu politik.

In
A
c. Mazhab Historis
Friedrich Carl Von Savigny menyatakan bahwa hakikat dari sistem hukum menurut
ah

lik
Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum
itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal
dari pembentuk undang-undang. Sir Henry Maine mengatakan bahwa masyarakat
am

ub
ada yang ”statis” dan ada yang ”progresif”. Masyarakat progresif adalah masyarakat
yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu fiksi, equity, dan
perundang-undangan.
ep
k

d. Mazhab Utilitariansm
ah

R
Tokoh mazhab ini adalah Jeremy Bentham dan Rudolph von Jhering. Bentham

si
mengemukakan pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi
segenap warga masyarakat secara individual. Rudolph von Jhering menyatakan

ne
ng

hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum
adalah sarana untuk mengendalikan individu­-individu agar tujuannya sesuai dengan
tujuan masyarakat di mana mereka menjadi warganya. Hukum merupakan suatu

do
gu

alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.

e. Mazhab Sociological Jurisprudence


In
A

Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Menurut Ehrlich, pusat
gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak
ah

lik

pula pada ilmu hukum, melainkan di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok
pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Dengan kata
lain, pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
m

ub

Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
ka

Menurut Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga


ep

kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan­-kebutuhan sosial,


dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan
ah

es

148 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 148 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 159
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound juga

si
menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang
dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books).

ne
ng
f. Mazhab Realisme Hukum
Tokoh yang terkenal dalam aliran ini adalah Hakim Agung Oliver Wendell Holmes,

do
gu
Jerome Frank, dan Karl Llewellyn. Kaum realis mendasarkan pemikirannya pada
suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka, hakim lebih
layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus

In
A
selalu melakukan pilihan, asas apa yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan
dimenangkan. Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain hukum adalah alat
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menying-
ah

lik
gung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
Selanjutnya, uraian tentang adanya penggunaan mazhab tertentu di lingkun-
am

ub
gan pengadilan, terkait dengan konsep hukum “Kecakapan dan kewenangan
bertindak berdasarkan batasan umur”, sepertinya tidak tampak adanya konsistensi
penggunaan mazhab pada putusan maupun penetapan yang kami telusuri.
ep
Beberapa produk pengadilan yang kami analisis menunjukkan sebagian hakim
k

menggunakan mazhab positivisme. Hal ini tampak pada produk pengadilan yang
ah

mendasarkan kecakapan umur dengan hanya mengikuti dan menerapkan secara


R

si
positif ketentuan dalam Pasal 330 BW.
Sebagian lagi menggunakan mazhab historis, yang dipelopori oleh Friedrich

ne
ng

Carl Von Savigny, dengan pendekatan secara progresif mampu mengembang-


kan hukum melalui tiga cara, yaitu fiksi, equity, dan perundang-undangan. Hal ini
tampak pada produk pengadilan yang mendasarkan kecakapan umur dengan hanya

do
gu

mengikuti dan menerapkan secara positif ketentuan dalam Pasal 47 dan 50 UU No.
1 Tahun 1974.
Namun demikian, kami melihat justru sebagian besar produk pengadilan hanya
In
A

menyatakan kondisi di bawah umur, tanpa menjelaskan dasar hukum atau parame-
ter yang digunakan. Hal ini menunjukkan kecenderungan tidak menggunakan
ah

lik

mazhab mana pun.


m

ub

C. Kesimpulan
Dengan melihat beberapa putusan dan kualifikasi atas istilah dan batas umur terkait
ka

ep

dengan pertimbangan hakim, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.


1. Hakim dalam memberikan putusan, baik penetapan maupun putusan terhadap
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 149


M

ng

on

isi7-3.indd 149 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 160
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
perkara, belum memiliki keseragaman terhadap pengertian belum dewasa.

si
Sebagian hakim memberi batasan 21 tahun dan sebagian lagi umur 18 tahun.
2. Penggunaan istilah belum dewasa sama dengan anak sebagai batasan umur

ne
ng
digunakan dalam putusan.
3. Akibat dari perbuatan hukum terhadap tanggung jawab seseorang yang
dianggap memiliki umur tertentu berbeda-beda, ada putusan yang telah

do
gu
memberikan tanggung jawab keperdataan kepada seseorang yang telah
berumur 18 tahun, ada yang setelah genap 21 tahun.

In
A
D. Rekomendasi Restatement Berdasarkan
Produk Pengadilan
ah

lik
1. Terkait dengan kecakapan dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan
umur, ketidakselarasan dalam peraturan perundang-undangan ternyata
am

ub
membawa dampak pada putusan pengadilan. Dalam kondisi ini, keberadaan
doktrin sebagai penunjang menjadi tidak maksimal. Dalam putusan hakim
yang kami kompilasi, terdapat perbedaan pandangan hakim, di antaranya
ep
k

disebabkan perbedaan dasar hukum yang menjadi dasar pertimbangan


hukum. Dengan demikian, untuk menghindari ketidakpastian hukum
ah

dalam putusan hakim, perlu dilakukan penyelarasan peraturan perundang-


R

si
undangan terkait dengan kecakapan dan kewenangan bertindak berdasar-
kan batasan umur

ne
ng

2. Dari produk yang kami analisis, tampak bahwa kajian hakim terhadap
ke­cakapan dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur sangat
kurang. Bahkan kami tidak menemukan uraian yang menunjukkan pemaha-

do
gu

man hakim akan konsep kecakapan dan kewenangan bertindak berdasar-


kan batasan umur. Dengan demikian, sebaiknya dilakukan upaya untuk
lebih meningkatkan pemahaman hakim akan kecakapan dan kewenangan
In
A

bertindak berdasarkan batasan umur.


3. Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai kecakapan dan
ah

kewe­nangan bertindak adalah berdasarkan batasan umur. Namun demiki-


lik

an, terkait dengan kecakapan dan kewenangan bertindak berdasarkan


batasan umur, sebagian besar putusan hakim yang kami telusuri menggu-
m

ub

nakan lembaga ”di bawah umur” tanpa menguraikan dasar hukum maupun
dasar pertimbangan yang digunakan untuk menentukan klasifikasi ”di
ka

bawah umur”. Dengan demikian, akan menjadi sulit untuk menilai kete­patan
ep

penerapan hukum oleh hakim, yang pada akhirnya akan menimbulkan


ketidakpastian hukum di masyarakat.
ah

es

150 Kecakapan dan Kewenangan


M

ng

on

isi7-3.indd 150 12/13/2010 9:30:24 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 161
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu
DAFTAR PUSTAKA

In
A
ah

lik
______________. 2008. “Milik Anak Belum Dewasa Sebagai Jaminan Kredit
am

Modal Kerja Pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang

ub
Sleman”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Asser-De Boer I*. 2010. Personen- en familierecht. Deventer: Kluwer.
ep
k

Basuki, Liah Anggraini. 2006. Skripsi: “Pengaturan Syarat Kecakapan dalam Hukum
ah

Kontrak Indonesia dan Penerapannya pada Transaksi Internet Internet-Com-


R
merce”. Surabaya: Universitas Airlangga.

si
B a s y i r, A h m a d A z h a r. 2004. A s a s - a s a s H u k u m M u a m a l a t ( H u k u m

ne
ng

Pe r d a t a I s l a m ) . Yogyakarta: UII Press.


Budiono, Herlien. 2006. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Bandung: Citra Aditya

do
gu

Bakti. hlm.113.
Bzn, B. Ter Haar. 1950. Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. Cetakan keempat.
In
A

Jakarta: J.B. Wolters-Groningen.


Chandra, S. 2005. Ser tifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Persyaratan
ah

lik

Permohonan di Kantor Pertanahan). Jakarta: PT Gramedia Widya Sarana


Indonesia.
m

ub

Clarkson, Kenneth W. et al. 2001. West Bussiness Law, Text Cases, Legal, Ethical, Interna-
tional, and E-Commerce Environment, Cetakan kedelapan. West Legal Studies in
ka

Bussiness.
ep
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 151


M

ng

on

isi8.indd 151 12/13/2010 9:31:16 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 162
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Compare the remarks on Customary and Sharia Law; Ade Maman Suherman, Capaci-

si
ty and authority to act (Base don Age Limit).
Dirjosisworo, Soedjono. 1983. Hukuman dalam Berkembangnya Hukum Pidana.

ne
ng
Bandung: Tarsito.
Djojodiguno. 1964. Asas-asas Hukum Adat. Yogyakarta: Gadjah Mada.

do
gu
______________. 1987. Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Djembatan.
Djuhaendah Hasan–Habib Adjie. 2002. Masalah Kedewasaan dalam Hukum Indonesia

In
Media Notariat. Januari-Maret.
A
Dokumen Penjelasan Utama hasil penelitian Universitas Indonusa Esa Unggul:
“Kecakapan dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum Berdasarkan Batasan
ah

lik
Umur, selanjutnya disingkat Hasil Penelitian Univ. Indonusa Esa Unggul.
F.A.M Stroink, terj. Ateng Syafrudin. Pemahaman tentang Demokrasi. Refika
am

ub
Aditama.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak (Dari sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung:
ep
Citra Aditya Bakti.
k

G. Kartasapoetra, dkk. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perburuhan. Bandung:


ah

Armico.
R

si
Gafur, Abdul. 1982. Pembinaan Generasi Muda. Bandung: Tarsito.

ne
Gandasubrata, Purwoto S. 1989. “Persetujuan Isteri/Suami Untuk Menjaminkan
ng

Harta Bersama dan Batas Umur Dewasa Bagi Seorang Calon Nasabah Untuk
Membuka Rekening Serta Meminjam Uang Kepada Bank”, Media Notariat,

do
gu

No.10 Tahun IV Januari.


Kie, Tan Thong. 1994. Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT
In
Ichtiar Baru Van Hoeve.
A

Handayani, Rahayu, Retno. 2008. Tesis: “Benturan Parameter Umur Dewasa dalam
Kaitannya dengan Kewenangan Bertindak di Bidang Profesi Notaris dan
ah

lik

PPAT”. Depok: Program Magister Kenotariatan.


Hasibuan, Bertrand A. 2006. “Problematika Kedewasaan Bertindak di Dalam
m

ub

Hukum (Studi pada Praktek Notaris di Kota Medan)”. Tesis. Universitas


Sumatera Utara.
ka

ep

Logeman, J.H.A. dan G.J. Resink. 1975. Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara
Positif. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve.
ah

es

152 Daftar Pustaka


M

ng

on

isi8.indd 152 12/13/2010 9:31:16 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 163
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Lumban Tobing, GHS. 1992. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga.

si
M.L.C.C. de Bruijn-Luckers. 2004. ‘Minderjarigen als volwaardige procespartij?!’, in:
Meesterlijk groot voor de kleintjes: opstellen aangeboden aan professor mr. J. E.

ne
ng
Doek ter gelegenheid van zijn emeritaat. Alphen aan den Rijn: Kluwer. p. 108.
______________. 1994. EVRM, minderjarigheid en ouderlijk gezag, diss. Leiden.

do
gu
Manurung, Romualdo. 2004. “Pelaksanaan Ketentuan Pasal 87 dan Pasal 88 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitan-
nya dengan Otonomi Daerah”. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Univer-

In
A
sitas Gadjah Mada.
Mertokusumo, Sudikno. 1985. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
ah

lik
______________. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Muchlis, Abdul. 2004. Implementasi Pengawasan Pemerintah Daerah terhadap Eksportir
am

ub
Udang Beku pada Perusahaan Cold Storage di Kota Tarakan. Tesis. Program
Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
ep
Nasution, Indra Ario. “Cessie Sebagai Salah Satu Bentuk Penggantian Kreditur Ditinjau
k

dari Segi Hukum”, Media Notariat, No. 2 Tahun 1, Oktober 1999.


ah

Octarina, Vera Octarina. 2006. Tesis: “ Pengaturan Kedewasaan dalam Pembuatan


R

si
Akta Notaris dan Akta”. Surabaya: Airlangga.
Pedoman Pengisian Akta Jual Beli, Hibah, Pemisahan dan Pembagian. 1999. Dimuat

ne
ng

dalam Himpunan Peraturan Perundangan Badan Pertanahan Nasional, Bidang


Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Jilid 2, diterbitkan oleh BPN. Jakarta.

do
gu

Prodjodikoro, Wirjono. 1953. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung : W. Van Hoeve.


Prof.dr. T.A.H. 2009. Doreleijers, Te oud voor het servet, te jong voor het tafellaken,
In
Oratie Leiden.
A

Ridwan, H.R. 2002. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. Dikutip
dari Benny, Muhamad. 2004. “Kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara
ah

lik

dalam Membuat Akta Peralihan Hak atas Tanah dengan Ganti Rugi”. Tesis,
Medan: Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
m

ub

Utara.
R.v.J. 1993. Padang 27 Juli 1933, dimuat dalam T. 139: 278, sebagai dikutip oleh
ka

Hilman Hadikusuma, Hukum Adat dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan,


ep

Perkawinan, Pewarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 153


M

ng

on

isi8.indd 153 12/13/2010 9:31:16 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 164
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Sanusi, Achmad. 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indone-

si
sia. Bandung: Tarsito.
Satrio, J. 1993. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian

ne
ng
Pertama, Bandung : Citra Aditya Bakti.
______________. 1999. Hukum Pribadi, Bagian I, Persoon Alamiah, cetakan pertama.

do
gu
Bandung: Citra Aditya Bakti.
______________. 2001. Perikatan yang lahir dari perjanjian, Buku II. Bandung: Citra
Aditya Bakti.

In
A
Simanjuntak, B. 1984. Pembinaan dan Mengembangkan Generasi Muda. Bandung:
Tarsito.
ah

lik
Soepomo. 1982. Hukum Perdata Adat Jawa Barat, terjemahan Nani Soewondo. Cetakan
Kedua. Djambatan.
am

ub
Subekti. 1987. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Cetaakan XI.
______________. 2010. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan XXXIV. Jakarta: Intermasa.
ep
Supomo. 1980. Pengantar Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.
k

Syahar, Saidus. 1976. Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya,


ah

Ditinjau dari Segi Hukum Islam. Bandung: Alumni.


R

si
Ter Haar dalam Safiyudin Sastrawijaya. 1977. Beberapa Masalah tentang Kenakalan

ne
Remaja. Bandung: Karya Nusantara.
ng

Uddin, Fatah Chotib. Kajian Pemberian Hak Tanggungan dengan Objek Tanah Hak.
Usman, Rahmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum dalam Perorangan dan Keluaraga di

do
gu

Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.


Weng, Henry Lee A. 1986. “Beberapa Segi Hukum dalam Perkawinan (Some
In
A

Legal Aspect of Marriage Contract)”, Disertasi, Universitas Sumatera


Utara.
ah

lik

Wignjodipoero, Soerojo. 1987. Pengantar dan Azas Hukum Adat, Jakarta: CV


Haji Masagung.
Wiraatmadja, Rasjim. 1989. “Persetujuan Isteri/Suami untuk Menjaminkan Harta
m

ub

Bersama dan Batas Umur Kedewasaan bagi Seorang Calon Nasabah untuk
ka

Membuka Rekening Serta Meminjam Uang Kepada Bank”, Media Notariat, No


ep

10 Tahun IV, Januari.


ah

es

154 Daftar Pustaka


M

ng

on

isi8.indd 154 12/13/2010 9:31:16 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 165
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Zerina. 2006. “Konsep Kedewasaan Berkenaan dengan Keabsahan Akta PPAT”.

si
Tesis. Surabaya: Magister Kenotariatan, Universitas Airlangga.

ne
ng
Undang-Undang
E.g. in Hoge Raad 22 Mei 1981, NJ 1982, 122 a positive sign of the legal representa-

do
gu
tives was absent.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

In
A
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991)
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan
ah

Notaris, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pradnya Paramita, Cet.34,

lik
2004, Psl. 330.
Undang-Undang No. 27 Tahun 1948 tentang DPR.
am

ub
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2007. Tesis,
Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Dipenogoro. hlm. 64.
ep
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwak-
k

ilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
ah

R
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

si
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

ne
ng

Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.


Undang-Undang No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer.

do
gu

Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat.


Undang-Undang No.19 Tahun 1955 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
In
A

Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagan-


gan Orang.
ah

lik

Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Undang-Undang No.29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia.
m

ub

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


Undang-Undang No.7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan
ka

ep

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.


ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 155


M

ng

on

isi8.indd 155 12/13/2010 9:31:16 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 166
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Undang-Undang No.9 Tahun 1964 tentang Gerakan Sukarelawan Indonesia.

si
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris

ne
ng
Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 700).

do
gu
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 11
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.

In
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
A
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik
ah

lik
Indonesia Nomor 4379).
am

ub
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa,
ep
http://kamusbahasaindonesia.org/kedewasaan,
k

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

es

156 Daftar Pustaka


M

ng

on

isi8.indd 156 12/13/2010 9:31:16 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 167
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu
DAFTAR PUTUSAN

In
A
ah

lik
Berikut indeks produk pengadilan berupa putusan yang diperoleh.
1. Putusan Pengadilan Negeri Kerta di Singaradja No. 82/Sipil-Besar Tanggal 27
am

ub
September 1950 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Mataram No. 94/1951/P.S/Pdt
Tanggal 17 Maret 1952 jis. Putusan MA RI No. 53/K/Sip/1952 Tanggal 24 Agustus
1955
ep
k

2. Putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 96/1973/PN.Plg Tanggal 24 Juli 1974


ah

jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No. 41/1975/PT.


R

si
PERDATA Tanggal 14 Agustus 1975 jis. Putusan MA RI No. No.477/K/Sip./1976
Tanggal 2 November 1976

ne
ng

3. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 131/Perd./1980/PN-Mdn Tanggal 9


Juni 1981 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan No. 171/
PERD/1983/PT.MEDAN Tanggal 29 Maret 1983 jis. Putusan MA RI No. 2691/K/

do
gu

Pdt/1992 Tanggal 30 Juli 1994


4. Putusan Pengadilan Negeri Tondano No. 118/PDT.G/1990/PN.TDO Tanggal 7
Agustus 1991 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara di Manado No. 84/
In
A

PDT/1992/PT.MDO Tanggal 15 April 1993 jis. Putusan MA RI No. 441/K/Pdt/1994


Tanggal 19 Januari 1995
ah

5. Putusan Pengadilan Negeri Sigli No. 12/Pdt/G/1991/PN-SIGI Tanggal 24 Septem-


lik

ber 1991 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Aceh di Banda Aceh No. 7/PDT/1992/
PT-Aceh Tanggal 24 September 1992 jis. Putusan MA RI No. 2574/K/Pdt/1992
m

ub

Tanggal 26 Februari 1994


6. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 305/PDT/G/1991/PN.
ka

Jakbar Tanggal 2 Juni 1992 jis. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
ep

No. 433/PDT/1992/PT.DKI Tanggal 5 Januari 1993 jis. Putusan MA RI No. 2597 K/


PDT/1993 Tanggal 1 Mei 1996
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 157


M

ng

on

isi8.indd 157 12/13/2010 9:31:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 168
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
7. Putusan Pengadilan Negeri Madiun No. 14/PDT.G/1992/PN.Kb.Mn. Tanggal

si
26 November 1992 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya No.
423/PDT/1993/PT.SBY. Tanggal 2 Desember 1992 jis. Putusan MA RI No. 262K/

ne
ng
PDT/1994 Tanggal 5 Oktober 1994
8. Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi No. 73/PDT.G/1992/BWI Tanggal 22
Desember 1992 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya No. 412/

do
gu
PDT/1993/PT.SBY Tanggal 30 September 1993 jis. Putusan MA RI No. 1475 K/
Pdt/1995 Tanggal 29 September 1995
9. Putusan Pengadilan Negeri Magelang No.06/1994/Pdt.G/PN.MGL Tanggal 1

In
A
Desember 1994 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No.
584/Pdt/1995/PT.Smg Tanggal 5 Desember 1995 jis. Putusan MA RI No. 3203 K/
ah

lik
Pdt/1996 Tanggal 8 Agustus 2001
10. Putusan Pengadilan Negeri Balikpapan No. 50/Pdt.G/1997/PN.BPP Tanggal 6
Desember 1997 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda
am

ub
No. 107/Pdt/1998/PT. SMDA Tanggal 14 Oktober 1998 jis. Putusan MA RI No. 1189
K/Pdt/199 Tanggal 28 Februari 2001 jis. Putusan MA RI No. 202 PK/Pdt/2003 (PK)
Tanggal 10 Maret 2006
ep
k

11. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 271/Pdt.G/1997/PN.MDN Tanggal 19


ah

Februari 1998 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan No.
R
221/Pdt/1998/PT.MDN Tanggal 3 Agustus 1998 jis. Putusan MA RI No. 1735 K/

si
Pdt/1999 Tanggal 24 Februari 2005
12. Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar No.33/Pdt.G/1998/PN.PMS jis.

ne
ng

Tanggal 14 April 1998 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan
No. 306/Pdt/1999/PT.MDN Tanggal 22 November 1999 jis. Putusan MA RI No.

do
gu

2149 K/Pdt/2000 Tanggal 11 Desember 2001


13. Putusan Pengadilan Negeri Manado No.205/Pdt.G/1998/PN.MDO Tanggal 21
Desember 1998 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara di Manado No.
In
A

141/Pdt/1999/PT.MDO Tanggal 29 September 1999 jis. Putusan MA RI No. 2781


K/Pdt/2000 Tanggal 4 Juni 2003
14. Putusan Pengadilan Negeri Semarang di Urungan No. 15/Pdt.G/PN.Un Tanggal
ah

lik

15 Oktober 1999 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang No.
141/Pdt/2000/PT.Smg Tanggal 9 Agustus 2000 jis. Putusan MA RI No. 2779 K/
m

ub

Pdt/2001 Tanggal 22 Januari 2003


15. Putusan Pengadilan Negeri Sungailiat No. 19/Pdt.G/1999/PN.SGT Tanggal 2
ka

Februari 2000 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan di Palembang No.
ep

49/Pdt/2000/PT.PLG Tanggal 6 Juni 2000 jis. Putusan MA RI No. 3727 K/Pdt/2000


Tanggal 11 Mei 2004
ah

es

158 Daftar Putusan


M

ng

on

isi8.indd 158 12/13/2010 9:31:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 169
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
16. Putusan Pengadilan Negeri Mataram No.57/Pdt.G/1999/PN.MTR Tanggal 10

si
November 1999 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Mataram di Mataram No. 07/
Pdt/2000/PT.MTR Tanggal 22 Juni 2000 jis. Putusan MA RI No. 2782 K/Pdt/2001

ne
ng
Tanggal 23 September 2004
17. Putusan Pengadilan Negeri Bangli No. 02/Pdt.G/2001/PN.Bli Tanggal 21 Mei
2001 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 67/Pdt/2002/PT.Dps Tanggal

do
gu
10 Juni 2002 jis. Putusan MA RI No. 2776 K/Pdt/2003 Tanggal 3 Mei 2006
18. Putusan Pengadilan Negeri Manado No.168/Pdt.G/2000/PN.MDO Tanggal 11
Desember 2000 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara di Manado No.

In
A
109/Pdt/2001/PT.MDO Tanggal 16 Oktober 2001 jis. Putusan MA RI No. 1351 K/
Pdt/2003 Tanggal 23 Maret 2005
ah

lik
19. Putusan Pengadilan Negeri Tarakan No.05/Pdt.G/2005/PN.Trk Tanggal 20 Juni
2005 jis. Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda No.104/
Pdt/2005/PT.KT.SMDA Tanggal 28 November 2005 jis. Putusan MA RI No. 1935
am

ub
K/Pdt/2006 Tanggal 21 Maret 2007

Berikut ini adalah indeks penetapan pengadilan.


ep
k

1. Penetapan Pengadilan Negeri Cianjur No. 19/1976/Sip C Tanggal 21 September


ah

1976
R
2. Penetapan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 13/1979/Perm B Tanggal 15

si
Maret 1979
3. Penetapan Pengadilan Negeri Karawang No. 10/Pdt.P/1981/PN.Krw Tanggal 15

ne
ng

April 1981
4. Penetapan Pengadilan Negeri Sibolga No. 39/Pdt.P/1983/PN.Sbg Tanggal 17

do
gu

Mei 1983
5. Penetapan Pengadilan Negeri Magetan No. 138/Pdt.P/1984/PN.MGT Tanggal 13
Juni 1984
In
A

6. Penetapan Pengadilan Negeri Barabai No. 18/Pdt.P/1985/PN.Brb Tanggal 30


Agustus 1985
7. Penetapan Pengadilan Negeri Pekalongan No. 72/Pdt.P/1982/PN.PKL Tanggal
ah

lik

19 April 1982
8. Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang No. 119/Pdt.P/2008/PN.Tng Tanggal
m

ub

26 Juni 2008
9. Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang No. 94/Pen.Pdt.P/2008/PN.Tng Tanggal
ka

2 Juni 2008
ep

10. Penetapan Pengadilan Negeri Tangerang No. 164/Pdt.P/2008/PN.Tng Tanggal 4


Agustus 2008
ah

es

Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur 159


M

ng

on

isi8.indd 159 12/13/2010 9:31:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 170
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
11. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 69/Pdt.P/2009/PN.Jaksel

si
Tanggal 16 April 2009
12. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 115/Pdt.P/2009/PN.Jaksel

ne
ng
Tanggal 8 Mei 2009
13. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 120/Pdt.P/2009/PN.Jaksel
Tanggal 12 Mei 2009

do
gu
14. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 76/Pdt.P/2009/PN.Jaksel
Tanggal 5 Mei 2009
15. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 161/Pdt.P/2009/PN.Jaktim

In
A
Tanggal 20 Maret 2009
16. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 115/Pdt.P/2009/PN.Jaktim
ah

lik
Tanggal 17 Maret 2009
17. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 78/Pdt.P/2009/PN.Jaktim
Tanggal 19 Maret 2009
am

ub
18. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 65/Pdt.P/2009/PN.Jaktim
Tanggal 16 April 2009
19. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 178/Pdt.P/2009/PN.Jakbar
ep
k

Tanggal 27 Mei 2009


ah

20. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 004/Pdt.P/2009/PN.Jakbar


R
Tanggal 10 Maret 2009

si
21. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 1 34//Pdt.P/2009/PN.Jakbar
Tanggal 31 Maret 2010

ne
ng

22. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 60/Pdt.P/2010/PN.Jakut Tanggal


24 Februari 2010

do
gu

23. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 149/Pdt.P/2010/PN.Jakut


Tanggal 6 April 2010
24. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 146/Pdt.P/2010/PN.Jakut
In
A

Tanggal 31 Maret 2010


25. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 25/Pdt.P/2010/PN.Jakut
Tanggal 3 Februari 2010
ah

lik

26. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 150/Pdt.P/2009/PN.Jakpus


Tanggal 7 September 2000
m

ub

27. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 38/Pdt.P/2009/PN.Jakpus


Tanggal 11 Mei 2009
ka

28. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 99/P/2009/PN.Jakpus


ep

Tanggal 11 Maret 2010


ah

es

160 Daftar Putusan


M

ng

on

isi8.indd 160 12/13/2010 9:31:17 PM


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 171
am

b
cover_batasan umur_v4_arsip_blk.pdf 1 12/15/10 6:43 PM

u
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Penjelasan Hukum tentang

si
BATASAN UMUR

ne
ng
Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang

do
gu
mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Di samping itu, ketidakpastian
hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik,
sosial, dan ekonomi yang stabil serta adil. Ketidakpastian ini umumnya

In
A
bersumber dari hukum tertulis yang tidak jelas dan kontradiktif satu sama
lain. Selain itu, juga karena ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh
ah

lik
institusi pemerintah ataupun pengadilan.
am

ub
Kecakapan dan kewenangan bertindak sebagai salah satu pokok bahasan Restatement mengandung istilah-istilah yang
sangat beragam dan tidak memiliki kejelasan batasan umur tertentu dalam peraturan perundang-undangan yang
C

berlaku. Pengertian “kecakapan” (legal capacity) dan “kewenangan” (legal authority) sering digunakan secara
ep
M
tumpang-tindih di berbagai peraturan perundang-undangan. Akibatnya, dalam praktik sering terjadi kesimpangsiuran
k

Y penafsiran.
ah

CM

Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab kesimpangsiuran penafsiran tersebut. Tujuan utama dari buku ini
R

si
MY

adalah mewujudkan gambaran yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang
CY
digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan

ne
ng

CMY literatur yang otoritatif.


K

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub

National Legal Reform Program (NLRP)


Gedung Setiabudi 2 Lantai 2 Suite 207D
ka

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 62


Jakarta 12920 - INDONESIA
ep

Phone : +62 21 52906813


Fax : +62 21 52906824
ah

34608100141
R

es
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 172

Anda mungkin juga menyukai