PERTANYAAN:
JAWABAN:
1. Sunnah adalah perbuatan dan ucapan nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Bahkan perbuatan
dan ucapan para sahabat selagi nabi membenarkan atau mendiamkan perbuatan tersebut maka itu juga
termasuk Sunnah. Sedangkan bid'ah adalah segala perbuatan dalam urusan agama yang tidak ada contoh
nya dari nabi dan juga contoh dari para sahabatnya.
1) berdo'a.
2) bersedekah.
3) shalat malam.
4) shalat taraweh.
5) sahur.
6) memuliakan malam.
Contoh bid'ah.
1) Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.
2) Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan, dan dari
orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah meninggal.
3) Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Al-Suyuthi dan al-Qismi sendiri tanpaknya sepakat bahwa paling tidak ada empat argument rasional
mengenai kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an yaitu:
1) Al-Qur’an harus lebih diutamakan terlebih dahulu ketimbang Hadits, hal ini karena Al-Qur’an
sendiri bersifat qath’i dan Hadits bersifat dzanni.
2) Hadits merupakan penjabaran dari Al-Qur’an, sehingga dapat dijelaskan bahwa penjabar
kedudukanya pasti lebih rendah dibandingkan pada nash yang dijabarkanya.
3) Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan urutan serta kedudukan As-Sunnah terhadap
Al-Qur’an. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah dari percakapan Rasulullah SAW
dengan Mu’az bin Jabal yang akan diutus ke negeri Yaman sebagai qadli. Nabi bertanya:
“Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Mu’az menjawab, “Dengan kitab Allah”. Jika tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an barulah dari hadits dan setelah itu menggunakan ijtihad.
4) Al-Qur’an saebagai wahyu dari sang pencipta, sedangkan hadits berasal dari hambanya. Dapat
diterima secara logika, jika pencipta pastinya memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
hamba yang menjadi utusan dari sang pencipta itu sendiri, sehingga kedudukan Al-Qur’an yang
merupakan kalam ilahi diletakan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dalam Islam.
Sedangkan Hadits ditempatkan pada bagian kedua setelah Al-Qur’an.
Ketika itu Muhammad memerintahkan sahabatnya menuliskan setiap wahyu yang turun. Secara
bersamaan, ia melarang menulis hadis. Tujuannya agar semua potensi diarahkan pada Alquran. Namun,
keinginan para sahabat mencatat hadis tak bisa dibendung. Hal ini disebutkan oleh Anas bin Malik:
"Ketika kami berada di sisi Nabi, kami simak hadisnya dan ketika bubar, kami mendiskusikan hadis
tersebut hingga kami menghafalnya."
Kala itu, hadis diterima para sahabat ada yang secara langsung, yaitu melalui majelis pengajian serta
karena respons terhadap perilaku umat yang membutuhkan penjelasan.
Ada juga hadis yang diterima secara tak langsung. Biasanya hal itu diakibatkan oleh beberapa hal seperti
kesibukan yang dialami sahabat, tempat tinggal sahabat yang jauh, atau perasaan malu untuk bertanya
langsung kepada Nabi Muhammad. Contoh dari hal ini adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan
Muslim dari Aisyah.
Hadis itu berisi tentang jawaban pertanyaan seorang perempuan mengenai bagaimana membersihkan diri
dari haid.
Lalu, periode kedua. Ini dikenal pula sebagai periode membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat, yaitu
pada masa empat khalifah, Abu Bakar as-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.
Permasalahan yang sangat menarik perhatian di masa itu adalah soal ketatanegaraan dan kepemimpinan
umat. Dua soal selain penyebaran Islam. Situasi politik dan perpecahan berimbas pada penyebaran hadis.
Maka itu, Abu Bakar dan Umar mengingatkan kepada umat Islam untuk mencermati hadis yang mereka
terima.
Adapun periode ketiga disebut juga penyebaran riwayat ke kota-kota yang berlangsung pada era sahabat
kecil dan tabiin besar. Ini terkait dengan penaklukan tentara Islam terhadap Suriah, Irak, Mesir, Persia,
Samarkand, serta Spanyol yang menyebabkan mereka menyebar ke wilayah baru itu untuk mengajarkan
Islam.
Pada perkembangan selanjutnya, seorang sahabat yang mendengar sebuah riwayat yang belum pernah
didengarnya, akan berkunjung ke wilayah seorang sahabat yang disebut meriwayatkan hadis itu. Dalam
riwayat Bukhari, Ahmad, dan at-Tabari serta al-Baihaki disebutkan, Jabir pernah pergi ke Suriah dengan
maksud seperti di atas.
Periode keempat dinamakan periode penulisan dan kodifikasi secara resmi yang berlangsung dari masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 Masehi). Semuanya bermula dari keprihatinan Khalifah karena
semakin berkurangnya penghafal hadis karena meninggal dunia.
Dia mengirimkan surat kepada gubernur-gubernurnya untuk menuliskan hadis yang berasal dari
penghafal dan ulama di tempatnya masing-masing. Kebijakan ini tercatat sebagai kodifikasi pertama
hadis secara resmi. Dan, Abu Bakar Muhammad bin Syihab az-Zuhri merupakan ulama besar pertama
yang membukukan hadis.
Periode kelima adalah pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Hal ini berhubungan dengan upaya
membedakan antara hadis dan fatwa para sahabat serta adanya fenomena pemalsuan hadis.