A. MISI GEREJA
Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan. Tiga tugas ini merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini juga
menjalankan misi atau tugasnya dengan baik kalau ia hanya menekankan salah
berikut:
"Tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang kudus dan am, yaitu
persekutuan orang yang percaya, pria-wanita, tua muda disegala tempat dan di
sepanjang zaman. Gereja di semua tempat dan sepanjang zaman terpanggil
untuk:
1. Menampakan keesaan mereka seperti keesaan Tubuh Kristus
dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh(1 Kor. 12:4).
2. Memberitakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 15: 16).
3. Menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakan
keadilan. (Mrk.10: 45; Luk.4: 18; 10: 25-37; Yoh. 15:
16)".14
Selanjutnya dijelaskan lagi bahwa tugas panggilan gereja itu adalah kelanjutan
dari misi Yesus Kristus, yang telah diutus oleh Allah untuk menyelamatkan dunia
14
PGI, Lima Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2002), halaman9
ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah. Tugas panggilan gereja tidak
pernah berubah di semua tempat dan dalam segala zaman. Sebab gereja hidup oleh
Kristus dan bagi Kristus. Dan Kristus itu tidak berubah, karena Ia tetap sama,
bertolak dari Kristus dan misi -Nya, karena kepercayaan umat Kristen
ialah pemahamannya tentang diri dan karya keselamatan Yesus Kristus. Gereja
yang menghampakan diri menjadi hamba yang sama seperti kita manusia, dan
karunia.16
Pandangan lain tentang tugas dan panggilan gereja dinyatakan oleh Jurgen
Moltman bahwa gereja berada di tengah dunia ini bukan untuk dirinya
Dei) Seperti halnya Yesus diutus Bapa ke dalam dunia untuk melaksanakan misi
Allah, demikian juga Yesus mengutus para murid (juga gereja) untuk
Kraemer, memiliki pandangan yang sama bahwa gereja adalah untuk dunia dan
15
ibid, hlm 9
16
Olaf Schuman, Apakah Kristologi masih berarti Masa Kini? Tabah Melangkah, ed. S.Wismoady Wahono (Jakarta: STT Jakarta,
1984), h1m.380-382
17
Jurgen Moltman, The Church in Power of the Spirit (London: SCM Press, 1977), h1m. 19
bukan untuk dirinya sendiri. Aspek h a k i k i g e r e j a a d a l a h m e m b a w a m i s i d an
Arti Pokok dari misi atau Zending ialah pengutusan keluar kepada bangsa-
bangsa (non-Kristen ) di dunia untuk menyampaikan berita keselamatan dan
kesukaan(injil) dan datangnya Kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus
Kristus, yang dilakukan baik melalui pemberitaan secara lisan
maupun melalui pelayanan diakonal, yang bersifat kesaksian dan pelayanan
secara holistik
tulisan ini secara luas, yaitu yang menyangkut keseluruhan dari tugas panggilan
manusia dalam realitas sosial atau dalam situasinya sehingga pelaksanaan misi
Menurut David J. Bosch 21, Suatu pemahaman tentang misi gereja tidak
terbentuk dengan sendirinya, tetapi sangat ditentukan oleh teologi misi yang
18
H. Kraemer, Theologia Kaum Awam (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 95-103
19 .S. Widyapranawa, “Dasar Teologis Perspektif Misi Dalam Perjanjian Lama,” Gema Duta Wacana, No 43,
16 maret,1992, hal 7
20
David J. Bosch, Transforming Mission, Paradigm Shifs in Theology of mission, terj. Stephen
Suleman(Jakarta:BPK Gunung Mulia 2002), 285
21
Ibid
menjadi dasar dari pemahaman itu. Dibalik pemahaman misi selalu terdapat suatu
tidak hanya terdapat satu teologi misi. Dengan kata lain, dalam sejarah gereja
telah muncul beberapa paradigma misi yang menentukan bagaimana misi dipahami
dan dilaksanakan oleh gereja yang meyakini dan hidup dalam paradigma misi yang
agar Gereja merefleksikan kembali apa arti misi dalam periode-periode yang
lalu hingga masa kini. Dalam penjelasannya pengarang memakai sub judul
misi itu dapat disebut paradigma misi. Dalam uraian ini pengarang
Kuhn meneliti ilmu pengetahuan alam yang mengalami pergeseran teori dari
menyolok tentang suatu yang diteliti. Namun demikian tidak satu teoripun yang
23
Ibid, h1m 286
suatu komunitas‖.24 . Kemudian Bosch merumuskan paradigma misi sebagai model
keyakinan dan nilai serta teknik-teknik misi yang dipakai oleh gereja sebagai suatu
komunitas dalam era tertentu.25 Bosch melanjutkan bahwa dalam kenyataannya, tidak
sesederhana seperti yang telah dirumuskan di atas. Munculnya suatu paradigma misi
perubahan dan pergeseran paradigma teologi tidak persis sama seperti dalam
Einsteinian 26. Menurut Bosch, bila terjadi pergeseran maka paradigma yang
lama sudah tidak dianut lagi oleh para ilmuan yang sudah bekerja dalam
paradigma baru. Tidak demikian halnya dalam pergeseran paradigma teologi karena
munculnnya suatu paradigma yang baru tidak sama sekali menghapus elemen-
elemen dari paradigma-paradigma yang lama 27. Hal ini juga harus disadari
bagaimana orang-orang Kristen atau gereja memahami dan melaksanakan misi dalam
pelbagai era dalam sejarah kekristenan. Hal itu juga akan menolong Gereja pada
24
Hans Kung, Paradigm Change in Theology: A Proposal for Discussion, dalam Widi Artanto: Menjadi Gereja
Misioner (Yogyakarta:Kanisius,1997),33.
25
David J.Bosch (2002), hIm.285
26
Ibid
27
Ibid, hlm 586
masa kini untuk memiliki pandangan yang lebih mendalam tentang bagaimana Gereja
pada masa kini harus memberi arti terhadap misi karena setiap usaha
menginterpretasikan misi di masa lalu secara tidak langsung adalah usaha untuk
menginterpretasikan misi pada masa kini dan masa depan. Disinilah kita melihat
dua bukunya diterbitkan. Buku yang pertama terbit pada tahun 1980 dengan
Perspective(Marshall, Morgan & Scott, London, 1980) dan yang kedua terbit tahun
28
Ibid. xi-xii
29
Ibid 286.Bandingkan Hans Kung, Paradigm Change in Theology(New York:Crossroad 1989)157
pemahaman iman dan misi gereja saat itu sesuai kehendak Allah. Mereka percaya
bahwa pemahaman iman mereka tepat dan obyektif. Itulah sebabnya setiap era
memiliki paradigma yang berbeda secara kualitatif seperti tampak, misalnya dalam
yang telah bergeser dari paradigma yang dipakai oleh era sebelumnya30.
Pergeseran itu terjadi karena suatu krisis dalam teologi dan kehidupan gereja.
misalnya, yang terjadi awal abad pertengahan, perpisahan gereja timur dan barat,
serta krisis yang melatarbelakangi terjadinya reformasi 31. Demikian pula dengan
paradigma misi ekumenis yang muncul karena suatu krisis. Krisis itu tidak
hanya terjadi di dalam tubuh gereja dan masyarakat Kristen, tetapi juga di dalam
Semua itu mendorong gereja dan teolog dunia ketiga) juga gereja dan teolog barat itu
30 Ibid 288
31 Ibid 292
32. Ibid. 4-6
Pergumulan teologis yang di dorong oleh krisis itu memunculkan
pengaruh pada pemahaman dan pelaksanaan misi. Hal itu terjadi karena teologi
teologi dan misi sudah tampak sejak zaman PB, terutama dilihat dalam diri Paulus.
memperhatikan anggapan dan prinsip dasar yang memberi arah kepada aktivitas
gereja. Anggapan dan prinsip dasar itu selalu hadir dalam aktivitas gereja walaupun
Dibelakang setiap usaha misi dalam berbagai periode selalu terdapat refleksi
teologis walau tidak selalu secara formal dinyatakan. No mission is possible without
namun relasi semacam itu bersifat kreatif sehingga interaksi antara teologi dan
praktek misi tetap merupakan kenyataan. Yang mungkin terjadi adalah teologi
gereja. Namun, teologi semacam itu tidak dapat lagi disebut teologi yang
autentik karena teologi yang autentik hanya berkembang dimana gereja bergerak
dalam relasi dialektis dengan dunia; atau dengan kata lain, teologi
dunia. Oleh karena itu, paradigma teologi misi tidak terpisahkan dari paradigma misi
Menurut Bosch34 Enam era yang disebutkan oleh Hans Kung masih
Juga harus disadari bahwa transisi dari suatu paradigma ke paradigma yang
lain tidak terjadi tiba-tiba karena ketika paradigma yang baru muncul, yang lama
tetap hidup. Bahkan, ketika suatu paradigma sudah muncul dengan jelas, masih
teologis baik secara akademis maupun dalam praksis Gereja. Kenyataan ini tidak
lain kecuali menentukan sikap dengan memilih paradigma yang diyakini dan
memperingatkan bahwa seorang teolog atau sekelompok teolog tidak dapat secara
mudah menciptakan suatu paradigma karena suatu paradigma, yang muncul dan
eklesiologis, dan teologis yang saling terkait. Proses yang begitu kompleks itu
tidak selalu terjadi secara dramatis. Perubahan yang terjadi bukanlah perubahan
proses perubahan itulah, para teolog cepat atau lambat, akan menemukan
34
. Ibid. 296.
35 .Ibid. Bandingkan Hans Kung, Paradigm Change in Theology (New York Crossroad1989), 442-443
dirinya sendiri sedang diperhadapkan dengan pertanyaan apakah paradigma
teologinya sendiri tetap berkaitan dengan paradigma yang sedang berlaku saat itu.
Pada saat itulah dia harus memilih paradigma yang dengannya ia ingin bekerja
sebagai paradigma yang berlaku atau dominan saat ini, perlu kiranya ditelusuri dan
dikenal paradigma-paradigma yang sudah muncul dalam sejarah gereja dalam hal
paradigma misi dari setiap era. Disini, hanya akan diuraikan karakteristik pokok
setiap paradigma, mulai dari paradigma misi gereja perdana sampai paradigma misi
ekumenis.
misi yang terkandung dalam Matius, Lukas dan Kisah Para Rasul serta surat -
surat Paulus. Ketiga dokumen PB ini dipilih(oleh David J. Bosch) karena ketiga
pengarang itu dianggap sudah dapat mewakili pemikiran misiologis dari abad
36
David J.Bosch, (1991). Uraian lengkap tentang paradigma ini terdapat dalam Bab 2-4. hlm.87-268, sedangkan
yang dimuat disini adalah kesimpulan dari karakter-karakter terpenting paradigma misi Apokaliptik 37 Ibid. 92-
129
Kristen Yahudi dalam satu lingkungan missioner yang khas pada abad pertama
abad selanjutnya. Lukas merupakan penulis yang tidak hanya menulis injil Lukas
tetapi juga kitab Kisah Para Rasul yang menunjukkan kesatuan antara. misi
Yesus dan misi Gereja perdana. Adapun Paulus adalah Rasul untuk orang "non-
yahudi" yang memberi pengaruh sangat besar terhadap pemikiran dan praktek misi
gereja perdana
sejak awal sampai akhir injil Matius diarahkan kepada orang Yahudi
Nya memberi arah misi untuk meneladani Dia serta memberi kekuatan
masa depan. Yesus bukan hanya guru mereka melainkan Tuhan mereka
oleh kedua kecenderungan itu. Menjadi murid berarti menjadi orang Kristen
yang hidup dalam kasih dan keadilan. Kemuridan melibatkan suatu komitmen
terhadap kebutuhan orang lain, memberikan mata dan hati untuk mengenal
perjanjian-Nya dengan umat pilihan. Kesetiaan Allah itu harus dilihat dalam
anggota suatu jemaat. Ada huungan antara keduanya, etapi harus dibedakan.
Gereja ditemukan di mana murid-murid hidup dalam komunitas yang
murid-Nya serta implikasikan untuk masyarakat pada saat itu. Istilah yang
mengajar dan menjadi murid. Walaupun dalam Matius tidak ditemukan begitu saja
suatu teori misi yang valid dan universal, terdapat suatu dasar dan arah yang
dinyatakan Matius bahwa melalui dan di dalam Yesus, pelayanan, kematian, dan
Semua batas sudah diangkat dan era yang baru sudah dinyatakan. Para murid
yang benar ketika mereka itu tetlibat dalam misi dan dalam relasi yang baru
dengan orang lain sebagai cara hidup yang baru. Suatu komunitas misioner
adalah suatu komunitas yang mengenal diri sendiri sebagai yang berbeda menurut
lingkungannya.
Lukas melihat realisasi misi Yesus dalam misi Gereja pada saat itu
Kontribusi Lukas dalam pemahaman tentang misi adalah korelasi antara misi
untuk orang Yahudi dan non-Yahudi. Yesus pertama-tama adalah Mesias bagi
Kesaksian adalah aspek yang sangat penting dalam paradigma misi menurut
Lukas. Istilah "rasul" dan "saksi" dalam Luk as dan Kisah Para
sosial, politik, fisik, psikologis, dan spiritual.. Hal ini nampak dalam
tulisan dan perhatian Lukas terhadap relasi orang kaya dan orang
memiliki apa pun, orang yang tertindas dan yang sakit, serta memanggil
orang kaya dan kuat untuk berbagi dengan mereka yang menjadi korban
b e n a r t e r h a d a p h a r t a m i l i k d a n c a r a menggunakannya.
musuh.
dengan misi Gereja. Kehidupan Yesus dan kehidupan Gereja dalam Lukas
Unsur terakhir adalah penderitaan dalam misi seperti Nampak dalam arti
atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, Yunani atau Barbar karena
mereka di dalam Yesus Kristus lebih daripada di dalam ras, budaya, kelas
Misi Paulus yang menekankan misi kepada orang non-Yahudi tidak menutup
pintu terhadap orang Yahudi itu sendiri karena Gereja yang terdiri dari orang
yang segar dari apa yang dimengerti oleh Yudaisme sebagai `Israel baru'
atau lebih tepat `Israel yang diperluas'. Oleh karena itu, keberadaan orang
Pemahaman misi Paulus terkait erat dengan konteks Parusia Kristus yang
diharapkan segera datang. Hal ini menjadi problem karena parusia itu tidak
yang didorong oleh tanggung jawab yang besar atas keprihatinan hidup orang
m asyarakat , suatu kel ompok m argi nal yan g dapat di abai kan,
seperti perbudakan dan juga sikap terhadap pemerintah yang lebih positif.
Akan tetapi, hal itu tidak berarti pandangan teologi misi Paulus
yang aktif dalam partisipasi orang Kisten dalam dunia yang ditebus Allah,
di sini dan kini. Hal itu dilakukan justru karena kemenangan Allah
sekuler saat itu. Namun, Paulus juga menolak suatu sikap yang
misi Paulus karena praktek misi akan berbenturan dengan kekuasaan dan
kekuatan dunia, tetapi suatu ekspresif aktif Gereja demi penebusan dunia.
kelemahan ini sama sekali bukan kekalahan yang tidak ada artinya. Paulus
sempurna."
Bagi Paulus, tujuan misi bukanlah Gereja itu sendiri, tetapi rekonsiliasi antara
tidak hanya dengan Gereja tetapi dengan dunia. Kristus dimuliakan oleh
Allah dan diberi nama di atas segala nama supaya dalam nama Yesus
dari misi yang diterimanya dari Kristus. Tugas inilah yang membawa
tema pokok yang menjadi pergumulan dalam praksis Gereja dan teologi yang
kemudian muncul sebagai model atau corak misi dalam era ini. Elemen-elemen
mendasar paradigma misi ekumenis itu akan dibahas satu per satu di bawah ini.
misi pada era sesudah Pencerahan, maka kontribusi dari konferensi-konferensi misi
internasional sangat penting dan karena itu perlu ditelusuri. Konferensi Pekabaran
perhatian besar terhadap hilangnya semangat misi Kristen Barat masa itu,
tetapi hampir tidak menyentuh pertanyaan teologis tentang relasi Gereja dan
relasi Gereja ‗tua‘ dan Gereja ‗muda‘ sebagai agenda utama dengan masih memakai
pembagian geografis antara negara atau wilayah Kristen dan non -Kristen 43
mendiskusikan relasi Gereja dan misi dengan lebih teologis, walaupun tetap,
dalam relasi ‗tua‘ dan ‗muda‘. Perbedaan antara Negara Kristen dan non-Kristen
secara prinsip ditolak karena Negara Eropa dan Amerika Utara juga merupakan
‗medan misi‘44.
41
Ibid hlm 567
42 Christian deJonge, Menuju Keesaan Gereja,Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema Gerakan Oikumenis (Jakarta:BPK Gunung
Mulia, 1993), 10
43 Ibid (1991), 567
44
J.L.Ch. Abineno, Kraemer di Tambaran(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1988), 59
Trauma Eropa terhadap PD I dan munculnya ideologi totaliterisme
Liberal Protestan (Adolf von Harnack dan Ernst Troeltsch) merupakan tantangan
yang lebih perlu didiskusikan saat itu. Dosa, keterasingan, penghakiman, pertobatan,
pengampunan, dan kebenaran muncul lagi di permukaan dalam diskusi tentang misi.
ini muncul suatu perspektif baru tentang misi karena Gereja dan misi dilihat bersama-
sama tidak terpisahkan. Lima subtema dalam konferensi itu (yaitu 1. Iman, yang
dan kekuatan Gereja; 4. Hubungan Gereja dan lingkungannya; dan 5. Kerja sama dan
Willingen(1952) menekankan Missio Dei yang menjadi konsep paling penting saat
itu. Gereja berubah dari kedudukannya sebagai pengutus menjadi yang diutus dalam
misi;(2)‘Basis misi ada di manapun juga‘ yang berarti bahwa setiap komunitas
orang Kristen ada dalam situasi missioner;(3)'Kerja sama misi' yang berarti
45
.Ibid
46
Ibid., 568
berakhirnya semua bentuk kerja sama antara Gereja yang tidak seimbang 47.
Kemudian, ketika IMC diintegrasikan dalam WCC di New Delhi(1961), saat itu
dipahami bahwa dengan integrasi ini WCC menempatkan tugas missioner dalam
Bosch terjadi di sekitar dan setelah Konsili Vatican II. Interpretasi tentang
tanda d a n i n s t r u m e n k o m u n i t a s d e n g a n A l l a h d a n k e s a t u a n s e l u r u h
Gereja bukan sebagai kelompok elit yang menerima anugerah keselamatan jiwa,
melainkan suatu komunitas hamba yang missioner. Gereja yang menjadi instrumen
dan sakramen harus hadir di tengahtengah dunia dan berjuang untuk mewujudkan
kesatuan umat manusia. Oleh karena itu, tempat Gereja bukanlah di atas dunia
47
Ibid.,569.
48
Ibid
49
Tom Jacob, Gereja dan Dunia, ed.J.B.Banawiratma (Yogyakarta: Kanisius, 1987),24
50
Ibid
1.1. Gereja Sebagai Sakramen dan Tanda
tanda dan sarana‘ digunakan lebih ekstensif dalam Gereja Katolik daripada dalam
sebagai "Sakramen, tanda dan sarana dalam hubungan erat antara manusia
dengan Allah dan kesatuan diantara umat". Gereja adalah "Sakramen yang
Kerajaan itu 52. . Suatu Konsultasi di Roma tahun 1982 menyatakan bahwa Gereja
"Gereja adalah tanda dari persatuan kemanusiaan yang akan datang42". Kemudian
menurut Bosch berawal dari Bonhoeffer yang menegaskan bahwa Gereja adalah ‖the
51
Ibid., 574
52
Ibid. Bandingkan Dokumen Konsili Vatikan II, terj.R.Hardawiryana(Jakarta:Dokumentasi dan Penerangan KWI
Obor,1993),65, 69.
53
Ibid.Bandingkan.Memorandum 1982 (Hasil Konsultasi Misi yang diadakan di Roma, Mei 1982), International
Review of Mission vol.71, hlm 462
church for others”54 .Gereja harus hidup berbagi dalam problem-problem sekuler dari
kehidupan manusia biasa, bukan dengan menguasai melainkan dengan membantu dan
melayani. Ungkapan 'the church for others' dianut makin luas dengan dasar yang
jelas dari PB yang menggambarkan Yesus sebagai seorang yang mencuci kaki
borjuis' atau gagasan Gereja Barat (tempat Bonhoeffer dibesarkan) yang cenderung
mengenal diri mereka sebagai yang terbaik untuk orang lain dan penjaga orang
lain. Mungkin lebih baik ungkapan itu diubah dari 'the church for others' menjadi
bahwa Gereja harus dilihat secara esensial sebagai misi. Misi bukan
sesuatu yang sekunder dan keberadaan Gereja adalah demi misi. Karena
Allah adalah Allah yang missioner, maka umat Allah juga harus umat yang
missioner. Karena Gereja dan misi menjadi satu dan bersama-sama sejak dari
permulaan, maka tidak mungkin ada sebuah Gereja tanpa misi atau misi tanpa
54
ibid 54 Ibid. hlm 575 bnd Dietrich Bonhoefer, Letters and Papers From Prison (London: SCM Press, 1964), h1m.
166
55
ibid
56
ibid
Gereja57. Bila terjadi sebuah Gereja tanpa misi, maka itu hanya sebuah badan yang
semu. Itu tidak berarti bahwa Gereja itu selalu dan di setiap tempat terlibat dalam
proyek-proyek misioner.
missioner sebagai dua aspek yang harus selalu ada dalam Gereja . Dimensi
komunitas yang beribadah; mampu mengundang orang luar dan membuat mereka
dipersiapkan dan dilengkapi untuk panggilan mereka dalam masyarakat; dan yang
tengah-tengah masyarakat.
Pemahaman lain yang ditekankan baik oleh Gereja Katolik maupun oleh
Gereja-gereja Protestan dalam era ini adalah pengertian Gereja sebagai umat
'Gereja sebagai umat Allah' adalah bahwa Gereja mengembara dalam perjalanan
57
Hendrik Kraemer, dalam A Theology of The Laity, (London: Lutterworth Press, 1962),h1m. 13 1, dimana ia
menegaskan:The church in mission implies that it is in all times and places the world- wide and local-near embrace of the
world, in and to which it is sent.
58
Lesslie Newbigin, One Body, One Gospel, One World (London & New York: International
Missionary Council, 1958), hlm.21
59
David J. Bosch (1997), h1m. 572
Willingen(1952) di kalangan Protestan. Dan Yves Congar mempromosikan
Pola dasar Alkitab dari `umat Allah dalam pengembaraan' ini terutama
perhatian Gereja tidak terletak pada dirinya sendiri, tetapi di luar dirinya, yaitu dunia
yang dikasihi Allah). Ia adalah ekklesia yang dipanggil ke luar dunia dan diutus
kembali ke dalam dunia 61. The pilgrim church membutuhkan dua hal, yaitu
yang temporal). Ia secara pemanen berlayar menuju akhir zaman. Bahkan, jika
ada perbedaan yang tidak terjembatani ant ara Ger e j a dan t uj uann ya , yai t u
Menurut Bosch 64 konsep tentang Gereja dan dunia yang bersifat statis
memperhatikan Gereja dan bukan dunia. Seolah-olah yang ada hanya Gereja.
60
Ibid hlm. 573
61
Ibid
62
Ibid
63
Ibid hlm 577
64
Ibid
tertutup dipahami sebagai aktivitas mengajar, beribadah, pastoral, dan karitatif.
Misi dipahami sebagai proses mendirikan Gereja dan untuk itu segala energi akan
dan dunia. Yang menonjol, barulah setelah PD II, orientasi Gereja terhadap
Dalam Gereja Katolik, terobosan pemikiran tentang relasi Gereja dan dunia
zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga."66 Di
kalangan Protestan dan Katolik dalam era ini, pemikiran tentang Gereja dan dunia
2.1 Jika Gereja tidak dapat digambarkan sebagai sumber misi, Gereja juga bukan
Allah Bapa dan Putra dan Roh Kebebasan 68 . Dengan kata lain, sumber
65
Ibid
66
Ibid, hlm. 578 lihat juga Dokumen Konsili Vatikan II, h1m.509-5 10
67
Ibid, hlm 578-579
68
Ibid, bnd Juergen Moltmann, The Church in Power of the Spirit: A Contribution to Messianic Ecclesiology
(London:SCM Press,1977),19
2.2. Gereja ada di dunia sebagai tanda dan sarana Kerajaan Allah. Gerja menjadi
yang diinjili adalah umat manusia yang menjadi subjek dalam kondisi sosial-
2.4. Gereja yang digambarkan secara pneumatologis sebagai tempat tinggal Roh
Kudus adalah gerakan dari Roh Kudus dalam perjalanan dunia menuju masa
depan69
kehidupan Gereja harus lekat dengan rencana keselamatan Allah yang bersifat
costnichistorical dan karena itu Gereja menjadi umat Kerajaan Allah dan
mengubah dunia.70
oleh jemaat-jemaat di segala tempat di dunia ini. Perspektif ini jelas tampak
dalam PB, tetapi sering diabaikan dalam sejarah Gereja. Dalam Gereja Katolik,
Gereja dan misi tampak jelas berpusat pada Paus. Di kalangan Protestan, Gereja-
gereja muda, tetap bergantung pada kebijakan dan bantuan Gereja yang lebih tua
serta, agen-agen misi. Roland Allen72 tercatat sebagai orang yang pertama
mengingatkan dalam era ini untuk kembali menempatkan peranan jemaat dalam
suatu Gereja, entah itu di Tesalonika, Efesus, atau Korintus, dan bukan sebagai
buah misi-nya atau Gereja muda hasil misi Gereja Anthiokia sebagai Gereja
tua. Sejak semula, jemaat-jemaat itu dilihat sebagai Gereja Kristus yang lengkap
70
Bnd. " Howard Snyder, Liberating the Church (Illionis: Inter Varsity Press,1983),
71
David J.Bosch(1997), 587
72
Ibid
73
Ibid, hlm 581 bnd Christian DeJonge (1993), 15
Tambaram(1938) mulai mengakui'Gereja-gereja muda' secara seimbang. Whitby
menyatakan bahwa perbedaan status antara, 'Gereja tua' dan 'Gereja muda' sama
sekali tidak berarti bahwa ada perbedaan status antara dua jenis Gereja ini. Gereja
tua dan Gereja muda, mempunyai tanggung jawab dan tugas yang sama, yaitu
Konferensi Ghana(1958) menolak istilah Gereja muda dan Gereja tua. Misi
bukan one way traffic dari Barat ke Dunia Ketiga karena setiap Gereja di mana
pun harus dimengerti sebagai pelaksana misi. Disini pandangan tentang Gereja
untuk orang lain berubah menjadi Gereja dengan orang lain, pro-eksistensi
dramatis karena untuk sekian abad Gereja lokal baik di Eropa maupun di wilayah
misi tidak pernah sungguh-sungguh eksis. Misi Gereja adalah urusan Gereja di Roma,
74
Ibid,
75
Ibid., 380
terdapat relasi antara Gereja yang kurang seimbang, tampaknya keputusan -
Gereja dan agen misi Barat merupakan sumber subsidi bagi kelancaran
Allah sendiri. Pengaruh Karl Barth sangat penting karena dia telah menerobos
secara radikal pendekatan teologi era Pencerahan. Pengaruh itu terasa sampai ke
konferensi Willingen(1952) yang mencuatkan ide Missio dei secara jelas. Misi
dimengerti sebagai datang hanya dari Allah sendiri 78. Keyakinan ini tidak
Seperti Allah Bapa mengutus Putra dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiga-
pengutusan Allah dan karena itu misi tidak ada dengan sendirinya tetapi hanya karena
inisiatif Allah. Willingen juga mengenali relasi yang erat antara Missio Dei dan misi
sebagai Solidaritas dalam Inkarn asi dan Salib Kristus 79. Kemudian Bosch
instrumen misi yang merupakan gerakan Allah sendiri masuk ke dalam dunia.
76
Ibid,
77
Ibid.,596
78
Ibid., 597.
79
Ibid
Konsekuensinya kita harus berkata,"Gereja ada karena misi" dan bukan sebaliknya.80
Berpartisipasi dalam misi berarti berpartisipasi dalam gerakan kasih Allah kepada
ke Gereja Ortodox Timur dan kaum evangelis serta Gereja Katolik. Dalam dokumen
rencana Allah yang penampakan dan realisasinya ada di dalam dunia dan
sejarah'81.
mengalami perkembangan karena pengertian Missio Dei mencakup seluruh dunia dan
melalui Gereja, tetapi kepada seluruh dunia dalam sejarahnya. Jadi, misi Allah
lebih luas daripada misi Gereja karena misi Allah adalah aktivitas Allah yang
mencakup Gereja dan dunia, yang di dalamnya Gereja memperoleh hak istimewa
untuk ikut ambil bagian. Dalam dokumen Konsili Vatican II Gaudium et Spes,
pengertian yang lebih luas tentang tentang misi dingkat secara pneumatologis lebih
80
Ibid., 598
81
Ibid., 598 lihat juga Dokumen Konsili Vatikan II, 1993, 399
82
Ibid.,600, lihat juga Dokumen Konsili Vatikan II, 520. Disitu tugas panggilan yang dikerjakan umat Allah
disebut sebagai ―Menanggapi dorongan Roh Kudus ‖.
sudah dilaksanakan dengan tersembunyi melalui Roh Ku dus. Subjek
sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh K.Barth karena sebenarnya konsep
begitu, konsep Missio Dei telah mematahkan pemahaman yang sempit tentang
misi yang bersifat Gereja-sentris. Dalam konsep ini, misi Gereja tetap dijalankan
merupakan pusat pemberitaan PL. Ia memberi contoh dalam tradisi profetis nabi-nabi
seperti Amos dan Yeremia yang menentukan raja-raja Israel untuk menerapkan
keadilan bagi rakyatnya 85. Namun, konteks Gereja awal sangat berbeda secara
mereka untuk toleran atau dianiaya bila menentang penguasa, mendorong mereka
Tomas Aquinas, dan era Pencerahan cenderung mendukung sikap itu karena
83
Ibid., 601.
84
Bosch memberi sub judul sebagai perjuangan demi keadilan. Ibid., 614.
85
Ibid,
86
Ibid,
dunia dan permasalahan sosial tidak dilihat sebagai tanggung jawab Gereja87. Hal itu
artinya bahwa pengaruh dan konteks zaman sering kali mendorong Gereja untuk
tidak bersentuhan dengan masalah struktural karena sikap itu tidak akan dapat
diterima oleh penguasa politik pada zamannya. Keterlibatan dan pelayanan sosial
sosial.
dan kasih. Disini Bosch mengutip pandangan Reinhold Neighbuhr yang memakai
istilah 'etika rasional' untuk menunjukkan sikap iman yang menekankan keadilan
dan keterlibatan dalam masyarakat, dan 'etika religius' yang menekankan kasih
dalam hubungan dengan Allah sebagai aspek transcendental yang lebih penting
kontemporer cenderung pada 'etika rasional' dengan dimensi profetis yang dominan.
Hal ini tampak dalam banyak dokumen ekumenis sejak tahun 1966 sampai
Bangkok 1973 dan Konsili Vatican II. Adapun kelompok evangelis memilih 'etika
individu atau kelompok untuk mengundurkan diri dari dunia dan mencari
persekutuan dengan Allah serta kurang peduli terhadap sesama89. Untuk mengatasi
ketegangan itu, relasi antara penginjilan dan tanggung jawab sosial harus dibedakan
87
Ibid, hal 615.
88
Ibid, 616, bnd R. Neibuhr, Moral Man and Immoral Society(New York: Charles Scribner's Sons,
1960), 56-64.
89
Ibid,hlm.617
sebagai dua mandat yang diterima dari Allah. Yang pertama adalah amanat untuk
masyarakat manusia demi keadilan 90. Namun, yang berkembang dalam sejarah
keterlibatan sosial politik. Polarisasi ini makin berkembang sebagai kenyataan dan
perubahan dari sikap yang menolak berangsur menjadi sikap yang tetap melihat
penginjilan sebagai yang utama dan tanggung jawab sosial sebagai buah atau akibat
penginjilan. Jadi, bila mandat sosial ditekankan dalam penginjilan, maka pasti
Di sini pula kami menyatakan penyesalan karena kealpaan kami dan juga
karena kadang-kadang kami menganggap bahwa pekabaran Injil dan
keprihatinan-keprihatinan sosial tidak ada sangkut pautnya satu dengan
yang lain. Memang, perdamaian dengan manusia bukan pendamaian
dengan Allah, aksi sosial bukan pekabaran Injil, dan pembebasan politik
bukan penyelamatan. Meskipun demikian, kami menegaskan bahwa
pendamaian dan keterlibatan sosial-politik kedua-duanya adalah bagian dari
90
Ibid,
tugas kristiani kita. Karena kedua-duanya adalah ungkapan dari doktrin
kami tentang Allah dan manusia, kasih kami untuk sesama dan ketaatan
kami kepada Yesus Kristus. Berita keselamatan juga menunjuk pada berita
pengadilan terhadap setiap bentuk pengasingan, penindasan, diskriminasi,
serta kita tidak perlu takut untuk mencela kejahatan dan ketidakadilan
dimanapun kita menemukannya.91
Afrika S elat an di mana dosa tidak hanya bersi fat individual tet api
dengan Injil dan karena itu penginjilan harus diperluas dengan pelayanan yang
menjawab kebutuhan manusia yang meliputi baik transformasi pribadi oleh Roh
Kejahatan bukan hanya ada dalam hati manusia melainkan juga dalam
struktur-struktur social… Misi Gereja mencakup pemberitaan Injil dan
pembuktiannya, karenanya kita harus menginjili, menjawab kebutuhan -
kebutuhan manusia yang segera dan memperjuangkan tranformasi
sosial. 93
bersama antara kaum evangelis dan dan kelompok ekumenis dan Katolik.
bersama karena sering kali terjadi kesenjangan antara keputusan atau hasil-hasil
91
Ibid.Bandingkan Perjanjian Lausanne , oleh Tany Lane, dalam Runtut Pijar, Sejarah Pemikiran Kristiani, Terj.
Conny Corputty (Jakarta : BPK-GM, 1990), 272
92
Ibid., 619
93
Ibid, hlm 624
6. Misi dan Penginjilan94
Dalam era ekumenis ini dibutuhkan pengertian penginjilan yang konstruktif.
6.1. Misi lebih luas daripada Penginjilan. Penginjilan adalah misi, tetapi misi
tidak hanya Penginjian. Misi adalah tugas total dari Allah yang mengutus
membebaskan.
merupakan bagian integral dari misi sehingga tidak dapat diisolasi menjadi
6.3. Penginjilan dapat digambarkan sebgai dimensoi yang esensial dari seluruh
aktivitas Gereja. Oleh arena itu, penginjilan juga tidak dapat berdiri
6.4. Penginjilan adalah keterlibatan dlam kesaksian tentang apa yang sudah,
sedang, dan akan dilakukan Allah.. Penginjilan aalah respons dari pa yang
94
Dalam buku Tranforming mission, Bocsh menggunakan sub judul Misi Sebagai Penginjilan. Ibid, hlm. 626.
95
Ibid, hlm.631-641.
6.5. Namun, penginjilan mempunyai tujuan agar mendapatkan respons berupa
pertobatan yang merupakan trasnsfrmasi total dari seluruh sikap dan gaya
6.6. Penginjilan selalu merupakan undangan yang penuh kesuaan dari Allah
agar mereka kembali kepada Allah, tetapi tidak dengan eaks a dan
mengancam.
6.7. Orang yang melakukan penginjilan adalah seorang saksi dan bukan haki.
hilang.
melainkan tugas yang suci, penting, dan unik yang tidak dapat diganti
6.9. P e n g i n j i l a n h a n ya m u n g k i n d i l a k u k a n b i l a k o m u n i t a s ya n g
keadilan, dan perdamaian, maka sesuatu dari pesan itu harus menjadi
47,4:32-35).
kompetisi intern dan antara Gereja. Menginjili orang yang menjadi anggota
6.13, Pembedaan antara penginjilan dan penambahan anggota tidak bera rti
keduanya tidak berkaitan. Tanpa Gereja tidak ada penginjilan atau misi,
6.14. Dalam penginjian `hanya manusia yang dituju dan hanya manusia yang
dianggap, lebih dominan. Bila mereka yang diinjili mengalami tragedy dan
Allah sendiri.
6.18 Penginjilan bukan hanya proklamasi verbal walaupun dimensi ini jelas ada
tetapi, hal itu tidak terpisahkan dari perbuatan sebagai `kehadiran Kristen'
"dimensi dan aktivitas misi Gereja, dengan kata dan perbuatan dan dalam
terang situasi serta konteks tertentu, yang menawarkan kepada setiap
orang dan komunitas di segala tempat suatu kemungkinan yang sah
untuk secara langsung ditantang untuk memasuki suatu reorientasi radikal
atas hidup mereka yang meliputi pembebasan dari perbudakan dunia dan
kekutan-kekuatannya serta menyambut Kristus sebagai Juru Selamat dan
Tuhan, menjadi anggota yang hidup dari komunitas Gereja, terlibat dalam
pelayanan rekonsiliasi, perdamaian, dan keadilan di dunia, serta memiliki
komitmen sesuai den an tujuan Allah yang menempatkan segala hal di
bawah Kristus".
96
Ibid,hlm. 644.
membuktikan bahwa dalam paradigma teologi sering kali mas ih berkembang
Committee tersebut pada tahun 1974, di Pataya pada tahun 1980, di Wheaton
pada tahun 1983, dan di Manila pada tahun 1989) dan School of World
menempatkan penginjilan secara benar tanpa sama sekai ditolak oleh Gereja -
gereja yang hidup dalam paradigma ekumenis. Penginjilan yang konstruktif tetap
Segi konstruktif dari penginjian yang relevan dan kontekstual adalah penginjilan
yang tidak berhenti pada pertobatan pribadi, tetapi dilanjutkan dengan panggilan
Gereja, baik dalam pemikiran maupun praktek. Yang dimaksudkan dengan teologi
97
Ibid,hlm. 663.
pembebasan. Teologi pembebasan adalah fenomena yang ‗multi wajah‘ dalam
Asia dan Pasifik Selatan lainnya 98. Teologi pembebasan, khususnya di Amerika
Barat dalam mengatasi masalah-masalah struktur yang tidak adil karena sampai
tahun 1960 hampir tidak ada perhatian terhadap aspek pembebasan dalam misi
Gereja99.
100
Menurut Bosch Lingkungan misi sebelum 1960 hanya mengenal
dalam misi. Namun, kemudian muncul suatu strategi baru yang lebih mendasar yang
pembangunan berarti modernisasi. 101 Seluruh proyek didasari oleh asumsi bahwa
apa yang baik untuk Barat juga baik untuk Dunia Ketiga. Dunia ketiga juga
98
Ibid,
99
Ibid, hlm.664
100
Ibid,hlm.665
101
Ibid,hlm. 665 bnd.F.Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan : Sejarah, Metode, dan Isinya (Jakarta : Pusat
Sinar Harapan, 1987), 14-16, 82-84.
keterampilan yang mengalir dari donor-donor Barat ke Dunia Ketiga ‗sebagai
pasien‘ dan karena itu tidak memerlukan konsultasi terlebih dahulu. Sikap ini
dilaksanakan dengan asumsi bahwa tidak ada sesuatu pun di pihak Barat yang
teologis maupun eklesiologis. Perubahan ini terjadi karena pengaruh yang kuat dari
dibuat pada tahun 1960an dan memuncak dalam konferensi para Uskup Amerika
Latin di Medellin tahun 1968. Masalah pokok tidak lagi dilihat antara ‗berkembang‘
dan ‗tidak berkembang‘, tetapi ‗dominasi‘ dan ‗ketergantungan‘, penindas dan yang
ditindas, kaya dan miskin, kapitalis dan sosialis. Kemiskinan tidak akan tercabut
102
Ibid,
103
Ibid, hlm. 666.
104
Ibid,
mengandung suatu permulaan yang baru. 105 Di kalangan Protestan, tema
tidak langsung dari gebrakan baru teologi pembebasan Amerika Latin. Sidang
mendengar jeritan mereka yang merindukan perdamaian, mereka yang lapar dan
diskriminasi yang menuntut keadilan manusiawi, dan jutaan orang yang mencari
Menurut Bocsh107 nada baru dari WCC dan telah menggeser interpretasi
pusat refleksi misioner karena kemiskinan adalah prioritas yang sentral dan
penting dalam misi Gereja. Dalam empat seksi, dibicarakan bagaimana Injil
105
Ibid,
106
Ibid, hlm. 667. Bnd Gustavo Guiterrez, Theology of Liberation (London : SCM Press Ltd, 1974), 25-27.
107
Ibid,
108
Ibid,bnd Wahono Nitiprawiro (1987), 153-154.
Kemudian Bosch109 membandingkan pandangan ini dengan kalangan gereja
option for the poor diciptakan di puebla. Bosch mengutip pandangan Gutierrez
adalah yang pertama walaupun bukan satu-satunya yang dapat perhatian Allah.
Oleh karena itu. Gereja tidak punya pilihan untuk juga mendemonstrasikan
solideritasnya terhadap dan bersama orang miskin. Bahaya dari ungkapan itu adalah
godaan untuk terjatuh pada tekanan 'the church for the poor' lebih daripada 'the
bahwa bukannya orang miskin yang membutuhkan Gereja, tetapi Gereja lah yang
membutuhkan orang misin jika Gereja ingin hidup, lebih dekat dengan Tuhannya
yang miskin. Orang miskin bukan lagi sekedar objek misi Gereja, tetapi
mereka menjadi agen dan pembawa misi.111 Oleh Gutierrez hal ini dirumuskan
dengan menegaskan bahwa teologi pembebasan adalah suatu ekspresi dari hak orang
miskin untuk berpikir sesuai dengan iman mereka. sendiri. Kalau dulu Gereja
adalah suatu suara yang menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara atau
109
Ibid,hlm. 668
110
Ibid,bnd Gustavo Guiterrez, Theology of Liberation (London : SCM Press Ltd, 1974), 25-27.
111
Ibid,
tidak punya suara, maka sekarang mereka yang tidak mampu bersuara atau
Orang miskin memang menjadi fokus dalam pelayanan Yesus dan Gereja
mengabaikan orang miskin. Namun demikian, muncul lagi perhatian terhadap orang
sebagai miskin secara materi yang nyata, tetapi juga harus sebagai yang tersingkir
dan sangat sedikit berpartisipasi dalam masyarakat karena tidak punya daya apapun.
condition” 113 Dalam perspektif semacam ini, prefential option for the poor tidak
hanya berlaku bagi Amerika Latin, tetapi juga dibagian dunia lain, dengan bentuk
yang lain pula, seperti rasisme dan diskrimnasi yang melahirkan Black Theology
evangelis juga terjadi perubahan, dimana mereka menerima doktrin bahwa Allah ada
disamping mereka yang tertindas. 115Tentang kaum tertindas tersebut Bosch 116
tertindas, dan bila orang lain yang mempunyai hak istimewa sebagai umat
Allah merekapun akan berada di pihak kaum tertindas. Itu berarti bahwa
112
Ibid
113
Ibid.669. bnd Gustavo Gutieffez, (1974), 291.
114
Ibid
115
Ibid,. 670.
116
Ibid, 671
orang-orang Kristen yang menolak mereka bukanlah benar-benar umat Allah
pembebasan sering dihubungkan dan diangap sebagai variasi dari teologi liberal yang
muncul pada abad 19 di Eropa. Kedua, penggunaan analisis Marxis oleh teologi
yang dianggap sikap Kristen yang utama. Ketiga, pengertian pembebasan itu sendiri
tidak dapat diterapkan untuk semua konteks, seperti misalnya konteks Asia begitu
berbeda dengan konteks Amerika Latin. Oleh karena itu, teologi pembebasan
tidak dapat diterima begitu saja oleh Gereja dan teolog Barat dan juga bahkan dari
merupakan gerakan yang mewakili suatu taraf baru dalam berteologi dalam era
postmodernisme, dan usaha ini merupakan produk yang tidak pernah akan berhenti.
mengoreksi formulasi misi pembebasan itu supaya makin dapat di mengerti dan
dipercayai sebagai pesan Kristen yang integral dalam realitas yang kita alami.
117
Ibid,hlm 671-676.
118
Ibid. 701.
menemukan bahwa kesatuan yang autentik tidak pernah akan ada tanpa misi yang
Council (IMC) 1921 dan kemudian WCC 1948, menghadirkan dikotomi dalam
lingkup structural global antara kesatuan dan misi, namun kemudian diatasi
dengan penyatuan IMC kedalam WCC pada tahun 1961. Peristiwa itu bukan
misi, melainkan suatu penemuan kembali kesatuan dan misi dalam satu gerakan
bersama.119
beberapa ciri yang diperjuangkan dan ingin terus dikembangkan sebagai wujud dari
paradigma misi ekumenis. Yaitu, (a) Antara, keesaan dan misi terdapat
terdapat satu pusat, yaitu Yesus Kristus. Kesatuan dalam misi tidak akan hilang
sepanjang alkitab dibaca bersama. (c) Gereja harus bersatu dalam misi karena
tugas missioner tidak pernah selesai. Semua tempat atau, wilayah di dunia ini
adalah wilayah misi dan dalam tugas yang terus menerus itu kesatuan dalam
misi sangatdibutuhkan. (d) Kesatuan itu dinyatakan bukan dalam relasi paternalis
(e) Pada tingkat lokal, kesatuan dalam misi juga harus diwujudkan
dengan menghindari perebutan mendirikan gereja baru ditempat yang sama. (f)
119
Ibid. 704. Bandingkan Christian DeJonge, (1993), 43
Kesatuan gereja dalam misi ini harus disadari bukan untuk kesatuan itu sendiri,
melainkan dalam rangka kemanusian dan dunia ini. (g)Kesatuan bukan hanya
pilihan ekstra, tetapi panggilan prinsip untuk menjadi satu sama seperti Allah Bapa,
bersama ini adalah karakter yang menonjol dalam paradigma misi ekumenis, baik
ditingkat dunia maupun nasional. Banyak Gereja dalam lingkup nasional menyadari
bahwa misi yang seringkali harus berhadapan dengan kekuasaan yang menghambat
kesadaran itu. Namun, pola persatuan di pelbagai Negara tidak dapat dikatakan
seragam. Banyak perbedaan dalam pola-pola persatuan Gereja itu seperti yang
pembentukan Gereja yang esa sampai soal ini dipahami) pola persatuan
bersifat agak longgar dan lebih menekankan kesatuan spiritual daripada kesatuan
struktural. Hal ini sama dengan karakter paradigma misi ekumenis, yaitu kesatuan
120
Ibid,hlm. 711-716 bnd David J.Bosch, (1991), 464-467. Disini David J.Bosch menguraikan tujuh ciri-ciri karakter
paradigma misi ekumenis dengan cukup panjang lebar dan bagian ini penulis mencoba untuk menyimpulkannya.
121
Sularso Sopater, Analisa dan Prospek Situasi Oikumene di Indonesia, dalam Konteks berteologi di Indonesia,
ed. Eka Darmaputera (BPK Gunung Mulia, 1991, hlm.346-347.
122
Ibid, hlm. 716, dalam bukunya D.J. Bosch memakai subjudul Misi Sebagai Pelayanan Umat Allah.
Pada era ini terjadi pergeseran dalam pelaksanaan pelayanan Gereja,
yang dahulu dimonopoli oleh pejabat Gereja, sekarang dilihat sebagai tanggung
jawab seluruh umat Allah, baik yang berjabatan maupun yang tidak berjabatan.
Dalam hal ini Bosch mengutip pandangan Moltmann yang menyatakan bahwa
tugas teologi pada saat ini adalah menjadi teologi bagi Kaum awam dalam
panggilan mereka di dunia ini dan bukan hanya berteologi untuk pendeta dan
imam.123 Sejak semula Yesus sendiri memilih orang-orang biasa yang tidak
terdiri dari orang-orang rohaniawan pada zaman itu. Gereja perdana juga
diakonos.124 Pada abad ke-3 peranan para pejabat Gereja makin kuat dan memiliki
wewenang terhadap kaum awam, hal ini terus berkembang dalam Gereja
perobahan baik dalam gereja katolik maupun protestan. Peranan kaum awam kembali
mendapat tempat yang tepat. Disini orang yang berjabatan dipahami sebagai
123
Ibid,hlm. 717 bnd Juergen Moltmann, The Open Church, Invitation to a Messianic Life Style
(London: SCM Press Ltd,1983), hlm.123-124
124
Ibid,hlm. 718
125
Ibid,hlm. 719
komunitas iman. Pelaku misi adalah komunitas iman itu, bukan para clerus126untuk
dipandang sebagai kesaksian yang relevan dari fungsi gereja ditengah-tengah dunia
ini. Asumsi pandangan ini menurut Andar Ismail,127 tidak perlu dipandang sebagai
polarisasi antara kegiatan domestik didalam Gereja dan keterlibatan warga Gereja
pelayanan di dalam Gereja. Tentang hal ini Wahono Nitiprawiro 128 memberi
suatu contoh yang lain dari peranan kaum awam di Amerika Latin dengan
Latin merupakan gerakan dari kelompok warga Gereja untuk menjembatani jurang
antara iman dan politik dengan menggunakan metode Medelin (see, judge, then
orang-orang miskin, para penganggur, dan para buangan itu membaca Injil bersama-
sama dari konteks keprihatinan dan kegembiraan mereka sebagai orang miskin dan
sumber inspirasi dan kekuatan yang membuktikan bahwa misi bukanlah urusan
126
Ibid,hlm. 722
127
Andar Ismail, "Meluruskan Pemahaman tentang PAK dan PWG", Pidato Dies Natalis ke55 Sekolah Tinggi
Telogia Jakarta, 27 September 1989, yang juga dimuat dalam Buletin LPK Sinode GKJ dan GKI Jateng, no.2,
tanun 1989, hIm.24-27
128
Ibid,hlm. 726 bnd F. Wahono Nitiprawiro, (1987) him. 108-109
kaum elit Gereja, melainkan pelayanan atau aksi seluruh umat Allah. Para pejabat
Gereja harus mendukung komunitas basis serta kelompok warga gereja itu
Dalam menguraikan bagian ini D.J. Bosch menulis bahwa pada tahun 60-an
tetapi siapakah orang-orang yang memeluk agama atau kepercayaan yang lain seperti
Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini tidak terlepas dari pluralitas agama yang sudah
ada sejak lama di Asia dan bagian dunia ketiga lainnya serta perkembangan
masa lalu tidak diangkat karena Gereja Katolik berpegang pada keyakinan bahwa ―di
luar Gereja tidak ada keselamatan‖, sedang Gereja Protestan meyakini "di luar
agama-agama lain mendorong sikap yang berbeda. Pandangan era pencerahan yang
129
Ibid,hlm.727, dalam bukunya D.J.Bosch member i subjudul Misi Sebagai kesaksian kepada orang-orang
berkepercayaan lain.
130
Ibid, hlm 728.
131
Ibid, bnd Paul Kniter, No Other Name? a Critical survey of christiani attitudes toward the word
religions(Maryknoll, New York : Orbis Books 1985 ),hlm. 135
sikap gereja selanjutnya. Menurut Bosch 132Gereja sedang menghadapi dua
Menghadapi tantangan yang terakhir ini tampaknya Gereja tidak siap. Kita tidak
mempunyai teologi yang dapat menghadapi tantangan yang dihadapi orang Kristen
Ada tiga macam sikap Gereja terhadap agama-agama lain yang digambarkan
oleh David J.Bosch.133 Pertama adalah sikap eksklusif yang menempatkan kekristenan
religion dari Karl Barth yang menegaskan bahwa agama adalah ketidakpercayaan.
Tidak ada kontak yang mungkin terjadi antara agama dan penyataan Allah. Kedua,
sebagai agama yang menerima penyataan Allah secara sempurna merupakan yang
terbaik dan agama lain hanya samar-samar. David J. Bosch menempatkan pandangan
Karl Rahner yang menyebut orang yang beragama lain sebagai anonymous Christians
dalam sikap yang kedua ini (yang positif). Ketiga adalah sikap relatifisme
132
Ibid,hlm. 731
133
Ibid,hlm. 734-738.
hanya namanya saja yang lain. Ketiga sikap dan pandangan itu dianggap tidak
memuaskan dan muncullah pandangan yang keempat, yaitu dialog, Bila pembagian
ini dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Sumartha.134 Hal yang sama pula
Paradigma yang kita pilih adalah paradigm pluralis diagonal. Paradigma ini
mengakui kenyataan pluralism iman dan agama. Paradigma ini jelas menolak
paradigm eksklusifis, dan dapat dikatakan berada diantara paradigm
inklusifis dan pluralis indeferen. Memang paradigma pluralis, tetapi
tidak indiferen. Saya meyakini bahwa agama dan iman saya sekarang ini
adalah yang paling dapat saya pertanggungjawabkan dan karena itu saya
anut dengan sepenuh hati.
Paradigma ini menganggap serius baik agama dan iman saya maupun
agama dan iman lain, dan dengan demikian terbukalah kemungkinan
optimal untuk dialog dan saling memperkaya. Di tengah-tengah pluralism
religious yang berhubungan satu sama lain secara dialogal, pandangan dan
sikap serta jati diri masing-masing dapat diungkapkan dan dikembangkan.136
Adapun David J. Bosch137 mengemukakan perspektifnya tentang model
134
Yaitu pembagian menurut Samartha: 1.model eksklusivisme, 2.model inklusivisme,dan 3.model pluralisme.
Lihat resensi E.G.Singgih dalam Gema, no.47, tahun 1994
135
Banawiratma membagi dalam empat model, yaitu 1. Paradigma eksklusifis, 2. Paradigma
inkusifis, 3. Paradigma pluralis indiferen, dan 4.paradigma pluralis diagonal. Lihat "Bersama
Saudara-Saudari Beriman Lain. Perspektif Gereja Katolik" dalam Dialog. Kritik dan identitas
agama,Seri Dian I/I(Yogyakarta: Dian/Interfidei,1993),h1m.14-16.
136
Ibid, hlm. 16
137
David J. Bosch, (1997), hIm.742-745.
melainkan diantara (between) orang-orang yang memiliki iman yang hidup.
b. Dialog yang benar dilakukan dengan komitmen terhadap injil karena tanpa itu
c. Dialog hanya mungkin bila kita maju dengan keyakinan bahwa kita tidak akan
masuk ke dalam kekosongan karena kita pergi dengan harapan untuk bertemu
dengan Allah bersama oran lain. Sikap ini kita lakukan degan rendah
hati karena kita dan sesame kita sama-sama penerima anugerah yang sama
dan "sharing" dalam misteri yang sama. Kita bukan "the haves" yang
d. Dialog dan misi hanya dapat dilakukan dengan kerendahan hati karena iman
Kristen adalah suatu agama dari anugerah yang kita teria dengan cuma-Cuma
lewat salib Kristus. Sikap rendah hati adalah autentik Kristen dan dengan
lain. "Justru ketika kita lemah kita kuat" adalah ciri orang Kristen, dan dalam
Namun, hanya dengan itu kita akan memperoleh pengalaman yang bersih.
komitmen.
mereka sendiri dan karena itu dialog juga harus berbeda menurut agama yang
identik, tetapi juga bukan dua hal yang bertentangan. Komitmen kita untuk
berdialog sejajar dengan komitmen kita untuk misi. Dialog dan misi bergerak
proklamasi injil tetap harus dilaksanakan, sementara kita mau dan mampu
berdialog.
Tema mengenai misi dan dialog ini makin menjadi relevan bagi gereja-gereja
dan para Teolog Asia karena mereka tidak puas dengan pendekatan yang
selama ini dilakukan oleh gereja dan para teolog Barat terhadap keberadaan agama-
agama lain seperti tampak misalnya dalam penolakan para teolog Asia terhadap
aspek dan pergumulan yang belum seluruhnya jelas, masih ada satu tugas lagi
sebelum membangun suatu teologi misi dan pemahaman gereja missioner dalam
konteks tertentu. Tugas itu adalah merekonstruksi pemahaman, motivasi dan tujuan
misi yang tidak relevan menjadi misi yang relevan dengan konteks kita, baik