Anda di halaman 1dari 22

Refrat

SKIZOFRENIA
Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepemitraan Klinik Stase (KKS)
Ilmu Pskiatri Rumah Sakit Haji Medan Sumatera Utara

Disusun Oleh :
Nabila Aurelia Hidayat

Pembimbing :
Dr. dr. Mustafa M.Amin,M.Ked,M.Sc, Sp.K.J(K)

KEPEMITRAAN KLINIK SENIOR SMF PSKIATRI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI RUMAH SAKIT
UMUM HAJI MEDAN
2022
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1. LATARBELAKANG......................................................................................... 1

2. TUJUANPENULISAN...................................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI............................................................................................................. 3

2. ETIOLOGI.......................................................................................................... 3

3. MANIFESTASI KLINIS .................................................................................... 6

4. KLASIFIKASI...........................................................................................................7

5. DIAGNOSIS...............................................................................................................10

6. PENATALAKSANAAN...........................................................................................14

BABIII.KESIMPULAN.......................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder, Skizofrenia merupakan suatu kelainan yang bersifat kronis yang telah

mempengaruhi kurang dari satu persen populasi penduduk Amerika Serikat.

Skizofrenia ditemukan dan di kombinasi dengan beberapa gejala seperti adanya ilusi,

halusinasi, berkurangnya motivasi hidup, bicara yang tidak teratur, pemikiran yang

bermasalah, prognosis skizofrenia dapat membaik apabila dilakukan pengobatan

dengan secara rutin yang akan meminimalisir kekambuhan yang dapat terjadi. 5

Menurut Sahly pada tahun 2021, skizofrenia merupakan suatu keadaan

abnormal yang ditemukan pada kesehatan mental yang bersifat kronis dengan memiliki

ciri khas ditemukannya beberapa gejala gangguan psikiatri yaitu adanya delusi, ilusi,

halusinasi, kesulitan dalam berpikir dan adanya gangguan kemampuan kognitif.4

Menuurut hasil data WHO melaporkan bahwa pada tahun 2019 terdapat 301

juta penduduk yang bertahan hidup dengan gangguan kecemasan, 280 juta jiwa dengan

gangguan depresi, 40 juta jiwa dengan kelainan bipolar dan 24 juta jiwa dengan

skizofrenia.6

Menurut hasil data Riset Kesehatan Dasar terdapat kenaikan angka penderita

skizofrenia yang signifikan di Indonesia. Pada tahun 2013 kenaikan angka penderita

1
1

skizofrenia hampir 5 kali lipat yang semula ditemukan 1,7% meningkat menjadi 7% di

tahun 2016, dimana penderita skizofrenia mencapai 400.000 penderita atau sebanyak

1,7/1000 penduduk di Indonesia.4

2. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk dapat lebih mengetahui dan memahami

tentang diagnosis dan penatalaksanaan Skizofrenia. Selain itu juga bertujuan untuk

memenuhi persyaratan dalam kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa

Rumah Sakit Umum Haji Medan.


BAB

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI

Skizofrenia merupakan suatu kelainan psikotik yang ditandai dengan adanya

kelainan khas pada pikiran, emosi dan isi pikiran yang terganggu, dimana terdapat

pemikiran yang tidak berhubungan, persepsi yang kacau, mood dan afek yang tidak

sesuai serta ditemukan adanya kelainan aktivitas motorik yang keliru. Sering kali

pasien skizofrenia memilih menarik diri dari lingkungan dan perhatian nya teralihkan

dalam isi dan bentuk pikiran yang penuh dengan delusi dan halusinasi.

Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder, Skizofrenia merupakan suatu kelainan yang bersifat kronis yang telah

mempengaruhi kurang dari satu persen populasi penduduk Amerika Serikat.

Skizofrenia ditemukan dan di kombinasi dengan beberapa gejala seperti adanya ilusi,

halusinasi, berkurangnya motivasi hidup, bicara yang tidak teratur, pemikiran yang

bermasalah, prognosis skizofrenia dapat membaik apabila dilakukan pengobatan

dengan secara rutin yang akan meminimalisir kekambuhan yang dapat terjadi.5

2. ETIOLOGI

Gangguan jiwa skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya. Banyak faktor yang

berperan terhadap kejadian skizofrenia. Faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian

skizofrenia antara lain faktor genetik, biologis, biokimia, psikososial, status sosial

3
4

ekonomi, stress, serta penyalahgunaan obat. Faktor-faktor yang berperan terhadap

timbulnya skizofrenia adalah sebagai berikut:

a. Umur

Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1,8 kali lebih besar menderita skizofrenia

dibandingkan umur 17-24 tahun.

b. Jenis kelamin

Proporsi skiofrenia terbanyak adalah laki-laki (72%) dengan kemungkinan laki-laki

berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan

perempuan. Kaum pria lebih mudah terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang

menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan

hidup, sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa

dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan

dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun beberapa sumber lainnya mengatakan

bahwa wanita lebih mempunyai risiko untuk menderita stress psikologik dan juga

wanita relatif lebih rentan bila dikenai trauma. Sementara prevalensi skizofrenia

antara laki-laki dan perempuan adalah sama.

c. Pekerjaan

Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah sebesar 85,3%

sehingga orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6,2 kali lebih

besar menderita skizofrenia dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja

akan lebih mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon

stres (kadar
5

katekolamin) dan mengakibatkan ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja

memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang

lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja.

d. Status perkawinan

Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk mengalami gangguan

jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena status marital perlu untuk

pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku antara suami dan istri menuju

tercapainya kedamaian.6 Dan perhatian dan kasih sayang adalah fundamental bagi

pencapaian suatu hidup yang berarti dan memuaskan.

e. Konflik keluarga

Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13 kali untuk mengalami gangguan jiwa

skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga.

f. Status ekonomi

Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami gangguan jiwa

skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah sangat

mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan

kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang

menyertainya bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Himpitan

ekonomi memicu orang menjadi rentan dan terjadi berbagai peristiwa yang

menyebabkan gangguan jiwa. Jadi, penyebab gangguan jiwa bukan sekadar stressor
6

psikososial melainkan juga stressor ekonomi. Dua stressor ini kait mengait, makin

membuat persoalan yang sudah kompleks menjadi lebih kompleks.

g. Status Psikososial

Faktor psikososial meliputi interaksi pasien dengan keluarga dan masyarakat.

Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien dengan keluarga, misalnya pola asuh

orang tua yang terlalu menekan pasien, kurangnya dukungan keluarga terhadap

pemecahan masalah yang dihadapi pasien, pasien kurang diperhatikan oleh keluarga

ditambah dengan pasien tidak mampu berinteraksi dengan baik di masyarakat

menjadikan faktor stressor yang menekan kehidupan pasien. Ketika tekanan tersebut

berlangsung dalam waktu yang lama sehingga mencapai tingkat tertentu, maka akan

menimbulkan gangguan keseimbangan mental pasien dan salah satunya adalah

timbulnya gejala skizofrenia.7

3. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Zahnia taun 2016 meskipun gejala klinis skizofrenia beraneka ragam, berikut

adalah gejala skizofrenia yang dapat ditemukan.

a.Gangguan pikiran Biasanya ditemukan sebagai abnormalitas dalam bahasa, digresi

berkelanjutan pada bicara, serta keterbatasan isi bicara dan ekspresi.

b. Delusi Merupakan keyakinan yang salah berdasarkan pengetahuan yang tidak benar

terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan latar belakang sosial dan kultural pasien.

c.Halusinasi Persepsi sensoris dengan ketiadaan stimulus eksternal. Halusinasi auditorik

terutama suara dan sensasi fisik bizar merupakan halusinasi yang sering ditemukan.
7

d. Afek abnormal Penurunan intensitas dan variasi emosional sebagai respon yang tidak

serasi terhadap komunikasi.

e.Gangguan kepribadian motor Adopsi posisi bizar dalam waktu yang lama,

pengulangan, posisi yang tidak berubah, intens dan aktivitas yang tidak terorganisis

atau penurunan pergerakan spontan dengan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.7

4. KLASIFIKASI

Menurut PPDGJ III ( Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III )

dan IDC-10, klasifikasi skizofrenia adalah sebagai berikut : 1,7

F20.0 Skizofrenia paranoid

1. Pedoman diagnostik PPDGJ III skizofrenia paranoid yaitu :

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis

b. Halusinasi yang menonjol

c. Gangguan afektif, dorongan pembicaraan, dan gejala katatonik relatif tidak

ada

2. Menurut ICD-10 Ciri utama Skizofrenia Paranoid adalah adanya waham kejar

disertai halusinasi auditorik namun fungsi kognitif dan afek masih baik.

F20.1 Skizofrenia hebefrenik

1. Pedoman diagnostik pada skizofrenia hebefrenik, yaitu :

a. Diagnostik hanya di tegakkan pertama kali pada usia remaja atau


dewasa muda (15- 25 tahun)
8

b. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas pemalu dan senang menyendiri

c. Untuk diagnosis hebefrenia yang meyahinkan umumnya diperlukan

pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa

gambaran yang khas seperti berikut :

1. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat dirarnalkan, serta

mannerisme; ada kecendrungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan

perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan.

2. Proses pikir yang mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu

serta inkoheren.

3.Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai

oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfred), senyum

sendiri.

2. Menurut ICD-10 Ciri utamanya adalah pembicaraan yang kacau, tingkah laku

kacau dan afek yang datar atau inappropiate.

F20.2 Skizofrenia katatonik

1. Pedoman diagnostik PPDGJ III pada skizofrenia katatonik antara lain :

a. Stupor (reaktifitas rendah dan tidak mau berbicara)

b. Gaduh-gelisah (aktivitas motorik yang tidak bertujuan tanpa stimuli eksternal)

c. Secara sukarela mengambil dan mempertahan posisi tubuh yang tidak wajar.

d. Negativisme ( Perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau

upaya untuk menggerakan.


9

e. Rigiditas ( mempertahankan posisi tubuh yang kaku).

f. Fleksibilitas area ( mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang

dapat dibentuk dari luar.

g. Gejala-gejala lain seperti "command automatism" (kepatuhan secara otomatis

terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.

h. Diagnostik katatonik tertunda apabila diagnosis skizofrenia belum tegak di

karenakan klien tidak komunikatif.

2. Menurut ICD-10 ciri utamanya adalah gangguan pada psikomotor yang dapat

meliputi motoric immobility, aktivitas motorik berlebihan, negativesm yang

ekstrim serta gerakan yang tidak terkendali.

F20.3 Skizofrenia tak terinci

1. Pedoman diagnostik PPDGJ III skizofrenia tak terinci yaitu :

a.Tidak ada kriteria yang menunjukkan diagnosa skizofrenia paranoid, hebefrenik,

dan katatonik.

b.Tidak mampu memenuhi diagnosis skizofrenia residual atau depresi pasca-

skizofrenia.

2. Menurut ICD-10 Gejala tidak memenuhi kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik

maupun katatonik.

F20.4 Depresi pasca-skizofrenia

1. Pedoman diagnostik PPDGJ III skizofrenia pasca skizofrenia antara lain :


1

a. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada selama 12 bulan terakhir tetapi tidak

mendominasi.

b. Gejala depresif menonjol dan mengganggu dan telah ada daiam kurun waktu

paling sedikit 2 minggu.

F20.5 Skizofrenia reidual

1. Pedoman diagnostik PPDGJ III skizofrenia residual antara lain :

a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambakan

psikomotorik, aktifitas menurun, afek yang tumpul, penurunan kuantitas isi

pembisaraan, komunikasi non-verbai yang buruk seperti dalam ekspresi muka,

kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial

.yang buruk

b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang

memenuhi kriteiia untuk diagnosis skizofrenia.

c. Sedikitnya sudah melampaui hurun waktu satu tahun dimana intensitas dan

frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat

berkurang (rninimal) dan telah timbul sindrom "negatif' dari skizofrenia.

d. Tidak terdzipat dementia atau penyakit/gangguan otak organil< Jain, depresi

kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut

2. Menurut ICD-10 Paling tidak pernah mengalami satu episode skizofrenia

sebelumnya dan saat ini gejala tidak menonjol.


1

F20.6 Skizofrenia simpleks

Pedoman diagnostik skizofrenia simpleks antara lain :

a. Gejala negatif yang tidak di dahului oleh riwayat halusinasi, waham, atau

manifestasi lain.

b. Adanya perubahan perilaku pribadi yang bermakna

5. DIAGNOSIS

Menurut PPDGJ III ( Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III ) untuk

mendiagnosis gangguan skizofrenia Langkah pertama adalah mengetahui beberapa

gejala atau maniffestasi klinis yang sering di temukan pada kelainan skizofrenia sebagai

berikut

:1

1. Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau penyisipan (thought

withdrawal atau thought insertion), dan penyiaran pikiran (thought broadcasting).

2. Waham dikendalikan (delusion of being control), waham dipengaruhi (delusion of

being influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau

pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus;

waham persepsi.

3. Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau sekelompok

orang yang sedang mendiskusikan pasien, atau bentuk halusinasi suara lainnya yang

datang dari beberapa bagian tubuh.


1

4. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar

serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau

politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (tidak sesuai dengan budaya

dan sangat tidak mungkin atau tidak masuk akal, misalnya mampu berkomunikasi

dengan makhluk asing yang datang dari planit lain).

5. Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baik oleh waham

yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan

afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (overvalued ideas) yang menetap,

atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus

menerus

6. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat

inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.

7. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu

(posturing), atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme, dan stupor.

8. Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti,

dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang

mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial,

tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau

medikasi neuroleptika.
1

9. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek

perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap

malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

Pedoman Diagnostik

1. Minimal satu gejala yang jelas (dua atau lebih, bila gejala kurang jelas) yang tercatat

pada kelompok a sampai d diatas, atau paling sedikit dua 38 Pedoman Nasional

Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri gejala dari kelompok e sampai h, yang harus

ada dengan jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang

memenuhi persyaratan pada gejala tersebut tetapi lamanya kurang dari satu bulan

(baik diobati atau tidak) harus didiagnosis sebagai gangguan psikotik lir skizofrenia

akut.

2. Secara retrospektif, mungkin terdapat fase prodromal dengan gejala-gejala dan

perilaku kehilangan minat dalam bekerja, adalam aktivitas (pergaulan) sosial,

penelantaran penampilan pribadi dan perawatan diri, bersama dengan kecemasan

yang menyeluruh serta depresi dan preokupasi yang berderajat ringan, mendahului

onset gejala-gejala psikotik selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Karena sulitnya menentukan onset, kriteria lamanya 1 bulan berlaku hanya untuk

gejala-gejala khas tersebut di atas dan tidalk berlaku untuk setiap fase nonpsikotik

prodromal.

3. Diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan bila terdapat secara luas gejala-gejala

depresif atau manic kecuali bila memang jelas, bahwa gejala-gejala skizofrenia itu

mendahului gangguan afektif tersebut.


1

4. Skizofrenia tidak dapat didiagnosis bila terdapat penyakit otak yang nyata, atau dalam

keadaan intoksikasi atau putus zat.1

6. PENATALAKSANAAN

Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri tahun 2012,

penatalaksanaan dari skizofrenia adalah sebagai berikut :

A. Fase Akut

(a) Farmakoterapi

Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang

lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik

dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.

Langkah Pertama :

Berbicara kepada pasien dan memberinya

ketenangan. Langkah Kedua :

Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi hanya

dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta

usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya boleh untuk

sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai pengobatan.

Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan

kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu

dipertimbangkan.
1

Tabel 1. Daftar Obat Antipsikotika, Dosis dan Sediaannya

Obat anti Psikotika Dosis Anjuran (mg/hari) Bentuk sediaan


APG-1
klopromazin 300-1000 Tablet (25 mg, 100 mg)
Perfenazin 16-64 Tablet (4 mg)
Trifluoperazin 15-15 Tablet (1mg, 5mg)
Haloperidol 5-20 Tablet (0,5, 1, 1,5, 2, 5 mg ),
injeksi short acting
(5mg/ml), long acting
(50mg/ml).
Fluphenazine decanoate 12,5-25 Long acting (25 mg/ml)
APG-2
Aripiprazol 10-30 tablet (5 mg, 10 mg, 15 mg),
tetes (1 mg/mL), discmelt (10
mg, 15 mg), injeksi (9.75
mg/mL)
Klozapin 150-600 t ablet (25 mg, 100 mg)
Olanzapine 10-30 tablet (5 mg, 10 mg), zydis (5
mg, 10 mg), injeksi (10
mg/mL)
Quetiapine 300-800 tablet IR (25 mg, 100 mg, 200
mg, 300 mg), tablet XR (50
mg, 300 mg, 400 mg)
Risperidone 2-8 tablet ( 1 mg, 2 mg, 3 mg),
tetes ( 1 mg/mL), injeksi
Long Acting (25 mg, 37.5
mg, 50 mg)
Paliperidone 3-9 tablet (3 mg, 6 mg, 9 mg)
Zotepin 75-150 tablet (25 mg, 50 mg)

1. Obat Oral

Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman pasien

sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap

antipsikotika, profil efek samping, kenyamanan terhadap obat tertentu terkait

cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelah

diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan

perlahan-lahan secara bertahap


1

dalam waktu 1-3 minggu, sampai dosis optimal yang dapat mengendalikan

gejala.

2. Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor

lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan

kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik,

memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan yang nyaman,

toleran perlu dilakukan.

B. Fase Stabilisasi

a. Farmakoterapi

Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk

mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan

mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Setelah diperoleh

dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8-10 minggu

sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti

psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.

b. Psikoedukasi

Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia

dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-

gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan kepatuhan

menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan

pada fase ini.


1

C. Fase Rumatan

a. Farmakoterapi

Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang

masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi

diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali

kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.

b. Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada

kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi

kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok diterapkan

pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan

mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan

berikutnya.

c. Penatalaksanaan Efek Samping Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom

ekstrapiramidal (distonia akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu

menurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-

obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau

difenhidramin injeksi IM atau IV.


1

Tabel 2. Daftar Obat yang dipakai mengatasi Efek Samping Anti Psikotik

Nama Generik Dosis (mg/hari) Waktu Paruh Target efek samping


Eliminasi (jam) ekstrapiramidal
Triheksilfenidil 1-15 4 Akatisia, Distonia,
Parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia,
Parkinsonisme
Propranolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 25-50 4-8 Akatisia, Distonia,
Parkinsonisme
Sulfas Atropin 0,5-0,75 12-24 Dystonia Akut

Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan dosis antipsikotika. Bila gejala

psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis antipsikotika atau bahkan

memburuk, hentikan obat dan ganti dengan golongan antispikotika generasi

kedua terutama klozapin.3


BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dalam referat ini disimpulkan bahwa Skizofrenia

merupakan suatu kelainan psikotik yang ditandai dengan adanya kelainan khas pada

pikiran, emosi dan isi pikiran yang terganggu, dimana terdapat pemikiran yang tidak

berhubungan, persepsi yang kacau, mood dan afek yang tidak sesuai serta ditemukan

adanya kelainan aktivitas motorik yang keliru. Sering kali pasien skizofrenia memilih

menarik diri dari lingkungan dan perhatian nya teralihkan dalam isi dan bentuk pikiran

yang penuh dengan delusi dan halusinasi.

Berdasarkan hasil pembahasan, gangguan skizofrenia memiliki gejala klinis

yang beragam namun terdapat beberapa gejala yang sering di temukan yang dapat

menjadi pedoman diagnosis pada kelainan skizofrenia yaitu: Gangguan pikiran, adanya

Delusi dan halusinasi yang menetap, afek abnormal, gangguan kepribadian motor

Adopsi posisi bizar dalam waktu yang lama atau penurunan pergerakan spontan dengan

kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Bagian Ilmu

Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta. 2013. 267 p.

2. Maulana I, Hernawati T, Shalahuddin I. Pengaruh terapi aktivitas kelompok terhadap

penurunan tingkat halusinasi pada pasien skizofrenia: literature review. Jurnal Keperawatan

Jiwa. 2021;9(1):153–160.

3. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PP PDSKJI). Pedoman Nasional

Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. In: Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

(PNPK) Jiwa/Psikiatri. 2012. p. 24–6.

4. Sahly AR, Thasliyah D, Diatmika IP, Islamiyati Q, Wijayanti LW. Pendampingan Skizofrenia

di Layanan Primer. Jurnal Kedokteran Unram. 2021;10:737–42.

5. Torres F. Scizophrenia. American Psychiatric Association. 2022.

6. WHO. Mental Disorder. World Health Organization. 2022;

7. Zahnia S, Wulan Sumekar D. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Majority Jurnal. 2016;5(5):160–

166.

20

Anda mungkin juga menyukai