Anda di halaman 1dari 15

WAHYU DAN AKAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


pada Mata Kuliah Kalam Jadid

Di Susun Oleh :

1. Lailatul Munawaroh 211300019


2. Choirul Anwar 211300009
3. Ahmad Robert 211300003
4. Aprilia Yuvita Sari 211300008

Program Studi S.I Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH


INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU
METRO LAMPUNG
1444 H/ 2022 M

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah Kalam Jadid.
Dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat
keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat
jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya
laporan observasi ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada
Dosen, apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas
kritik dan saran-saran nya yang sifatnya membangun tentunya.

Metro, November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................2

A. Wahyu ...........................................................................................2

B. Akal ...............................................................................................3

C. Hubungan antara wahyu dan akal..................................................6

BAB III KESIMPULAN..................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam ajaran agama yang diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh
pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada
manusia, dan kedua, melalui jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada
manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai
bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang
dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan
yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah.
Allah telah menciptakan manusia dengan banyak hidayah dan anugerah,
beberapa di antaranya yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk
lainnya adalah akal dan wahyu dimana hanya manusialah yang memiliki hal
tersebut, berbeda dengan hewan yang hanya memiliki nafsu saja. Jika manusia
menerima wahyu tersebut maka ia akan mendapatkan bimbingan untuk akal atau
rasionya yang terkadang ragu-ragu dan mengalami kekacauan.
Islam juga menantang akal manusia agar mendatangkan kitab semisal Al-
Qur’an. Diharapkan dengan ketidak kemampuan akal mendatangkan kitab semisal
Al-Qur’an, manusia mau mengakui bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari sisi
Allah SWT. Oleh karena itu, timbullah permasalahan-permasalahan dari adanya
dua sumber pengetahuan yang berlainan sifat ini. Pengetahuan mana yang lebih
dapat dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui wahyu?.
Untuk memecahkan masalah tersebut, dalam makalah ini saya akan mencoba
menguraikannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Wahyu
1. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab Al-wahyu, dan al-wahyu adalah
kata asli arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara,
api, dan kecepatan. Dan ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua
arti yaitu tersembunyi dan cepat.1 Oleh sebab itu, wahyu sering disebut
sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang yang
terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika
berbentuk maf’ul, wahyu Allah terhadap Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut
Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat
bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam
dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah
SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma
seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainnya. Dalam Islam
wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhaammad
SAW terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.2
2. Fungsi Wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud
memberi informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana
cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana
yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman
yang akan di terima manusia kelak di akhirat.
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang
diberikan Allah kepada nabi-nabi-Nya untuk melindungi diri dan
pengikutnya dari ancaman orang-orang yang tak menyukai keberadaannya.

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press), Hal. 14
2
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Hal. 15

2
Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang pencipta yaitu Allah
SWT.
3. Kekuatan Wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan,
tetapi kita tidak akan mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karena itu
wahyu diyakini memiliki kekuatan karena beberapa faktor, antara lain:
a. Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian
Allah.
b. Wahyu lebih condong melalui dua mu’jizat yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
c. Wahyu yang membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
d. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam
ghaib.

B. Akal
1. Pengertian Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab
al-‘aql, yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy,
tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata
kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1
ayat dan ya’qilun 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan
mengerti. Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata
‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban,
terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di
Arab Saudi dll, disebut ‘iqal, dan menahan orang di dalam penjara disebut
i’taqala dan tempat tahanan mu’taqal.3
Akal secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql
sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak
makna. Dalam kamus bahasa Arab Al-munjid Fii Al-lughah Wa’al A’lam,
dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui),

3
Harun Nasution., Akal dan Wahyu dalam Islam, hal. 5

3
fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir).
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti “nurun
nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas”, yaitu
cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui
sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-
qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyah digunakan
dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence), yang dalam istilah
psikologi modern disebut  kecakapan memecahkan masalah (problem
solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang
mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan
problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang
mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql  mengalami perubahan
arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan
pengaruh filsafat Yunani  yang masuk dalam pemikiran Islam, yang
mengartikan ‘aql  sama dengan Nous yang mengandung arti daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi
melalui di dada (Al-qalb) akan tetapi melalui Al-‘aql di kepala.4
Menurut Imam Al-ghazali didalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin
mendefinisikan bahwa akal adalah sumber ilmu, tempat terbit dan dasar
ilmu. Ilmu itu berjalan dari padanya seperti jalannya buah dari pohon,
cahaya dari matahari, dan penglihatan dari mata.5
2. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
a. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
b. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
c. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang
benar.

4
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu dalam Islam, Hal, 7-8
5
Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (Terj, Ihya’ Ulumuddin oleh Drs. H. Moh.
Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 2010), Hal. 262

4
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah
sebagai mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal
yang akan dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan
akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan  Akal adalah jalan
untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat
dan akal lah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
3. Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah
dimengerti, seperti contoh:
a. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
b. Mengetahui adanya hidup akhirat.
c. Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung
pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
f. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
g. Hakikat Akal dan Bagian-bagiannya.6
Ketahuilah bahwa manusia itu berbeda-beda dalam memberi batasan
(definisi) akal dan hakikatnya. Kebanyakan manusia lupa tentang keadaan
nama ini dipergunakan untuk menyebut terhadap beberapa makna yang
berbeda-beda. Maka hal itu menjadi sebab perbedaan pendapat dikalangan
mereka. Apa yang berjalan dengan jalan ini, maka tidak tidak seyogyanya
untuk menuntut seluruh bagiannya dengan satu batasan. Namun, setiap
bagian dibuka/disingkap dengan sendiri.
a. Sifat yang membedakan antara manusia dengan binatang.
b. Ilmu-ilmu yang keluar kepada wujud dalam diri anak kecil yang
mumayyiz (sudah dapat membedakan) terhadap bolehnya

6
Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, Hal. 271-273

5
(mungkinnya) barang-barang yang mungkin dan kemustahilannya
barang-barang yang mustahil.
c. Ilmu-ilmu yang diperoleh dengan pengalaman dengan berjalannya
keadaan-keadaan.
d. Kekuatan naluri itu berakhir sampai mengetahui kesudahan berbagai
urusan dan menahan syahwat (keinginan) yang segera dan
memaksanya.

C. Hubungan Antara Wahyu Dan Akal


Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-
kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan wahyu dalam
memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya
berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada
diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun
kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia terhadap Tuhan. Konsepsi ini dapat digambarkan bahwa
Tuhan berdiri dipuncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan
akalnya untuk sampai kepada Tuhan. Dan Tuhan sendiri dengan belas
kasihan-Nya terhadap kelemahan manusia, diperbandingkan dengan
kemahakuasaan Tuhan. Menolong manusia dengan menurunkan wahyu
melalui para Nabi dan para Rasul.
Konsepsi ini merupakan system teologi yang dapat digunakan terhadap
aliran-aliran teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia biasa sampai
kepada Tuhan.7 Yang menjadi persoalan selanjutnya ialah: “sampai di
manakah kemampuan akal manusia dalam mengetahui Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia?” Dan juga “sampai manakah besarnya fungsi wahyu
dalam kedua hal ini?’’.
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang Ilmu Kalam akan kita
jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan
dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah
7
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta:
UI Press, Hal. 81

6
pertama adalah soal mengetahui Tuhan dan masalah yang kedua soal baik dan
jahat. Masalah yang pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan yang dalam istilah ‘Arab disebut husul ma’rifah
Allah dan wujud ma’rifah Allah.8 Cabang dari masalah yang kedua ialah:
mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah al-husn wa al-qubh dan
wujub I’tinaq al-hasan wa iljinab al-qabih, yang disebut al-tahsin wa al-
taqbih.
Jika kamu bertanya : “Bagaimanakah keadaan kaum-kaum dari ahli
tasawwuf yang mencela akal dan apa yang digarap akal?”. Maka ketahuilah
bahwa sebabnya adalah manusia itu memindahkan nama akal dan apa yang
digarap oleh akal kepada sebuah perdebatan dan mendiskusikan pertentangan-
pertentangan dan hal-hal yang pasti (lazim), yaitu perbuatan Ilmu Kalam.
Mereka tidak mampu untuk menetapkan di sisi mereka bahwa kamu sekalian
salah dalam pemberian nama itu karena hal itu tidak terhapus dari hati mereka
setelah penguasaan lidah, dan meresap di dalam hati. Lalu mereka mencela
akal dan apa yang di garap oleh akal. Yaitu lah akal yang disebut dari sisi
mereka.9
Kita ketahui Ibnu Taymiyyah hidup saat imperium Islam di Timur
Tengah dan sekitarnya mengalami krisis multidimensi. Serangan kaum Salib
ancaman tentara Tatar, perang saudara dan konflik antar madzhab serta
maraknya aliran-aliran sesat, jelas banyak mempengaruhi pemikiran dan
perjalanan hidup beliau. Ibnu Taymiyyah berusaha menerobos melawan arus.
Tecermin dalam karya-karyanya seperti Al-Furqan Bayna Awliya’ar-Rahman
Wa Awliya’ as-Syaythan (Perbedaan antara wali Tuhan dan wali setan), Ibnu
Taymiyyah mengecam keras sakralisasi madzhab dan pengkudusan tokoh. Ia
juga menolak dikotomi yang mempertentangkan akal dengan wahyu atau
menceraikan politik dari agama.10

8
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Hal. 82
9
Imam Ghozali., Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, Hal. 285
10
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema Insani, Hal. 168

7
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya
terhadap indera penglihatan manusia. Karena wahyu itu akan difungsikan bila
akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami
Islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil
pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak
boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu. Oleh karena
itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar
tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia.
Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan
wahyu maka ia akan tersesat. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 1-
2:
Artinya: “Alif Laam Miim, Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(QS. Al-Baqarah: 1-2).
Keadaan akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban berterima
kasih kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara tepatnya untuk menyatakan terima
kasih itu. Digambarkan oleh Ibn Tufail dalam cerita Hayy Ibn Yaqzan. Hayy,
sungguhpun semenjak kecil tinggal sendirian disuatu pulau yang terpencil,
dengan kkuatan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan, bahkan ia dapat
sampai ke tingkat persatuan akalnya dengan Al-‘aql al-Fa’al atau Active
Intellect. Jadi, ketika Asal, seorang ulama’ dari pulau lain, pindah ke pulau
terpencil itu dan menjelaskan kepada Hayy tentang syari’at yang diwahyukan
Tuhan kepada manusia. Hayy dapat mengerti dan menerima ajaran-ajaran itu.
Tetapi Hayy tidak tahu cara sebenarnya menyembah Tuhan, dan Asal lah yang
menerangkan kepadanya shalat, zakat, puasa dan naik haji ke Mekkah. Hayy
Ibn Yaqzan dalam cerita ini menggambarkan akal sedangkan Asal
menggambarkan wahyu.11
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi
sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan
petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk

11
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Hal. 97.

8
memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusia diciptakan oleh tuhan
dengan tujuan yang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan
untuk mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering
dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu
yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban
manusia berterima kasih kepada tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk,
serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-sendiri antara lain:12
1. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh
dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam.
2. Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui
dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat
menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk
adalah wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau
wajib. Wahyu sebaliknya, tidak pula mewujudkan pengetahuan melainkan
wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Al-Ghazali juga berpendapat
bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, tetapi
kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu. Dengan demikian,
kewajiban mengetahui tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi
yang buruk hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.
3. Aliran Maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran
kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni
mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih
kepada tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan
yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
4. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran kalam
tradisional, mengatakan bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada
12
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Hal. 82-
95.

9
pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpuji-Nya tetapi kewajiban
mengetahui Tuhan. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat
baik dan kewajiban menjauhi kejahatan.
Dalam menangani hal tersebut, banyak beberapa tokoh dengan
pendapatnya memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal.
Seperti  Harun Nasution menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya
sebagai kemunduran umat Islam dalam sejarah. Menurut beliau yang
diperlukan adalah suatu upaya untuk merasionalisasi pemahaman umat islam
yang dinilai dogmatis tersebut, yang menyebabkan kemunduran umat islam
karena kurang mengoptimalkan  potensi akal yang dimiliki. bagi Harun
Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja dan tugas akal
yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar
pada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai
kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan
daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran
Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka. Sedangkan manusia dalam
aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Didalam aliran
Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia
dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam
pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka
daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.13

13
Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Hal.
102

10
BAB III
KESIMPULAN

Demikianlah hubungan akal dan wahyu yang kami bahas dalam


pandangan aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun
Maturidiyah Bukhara. Mereka semua aliran mempunyai pendapat masing-masing
dalam memberikan pendapat tentang hubungan akal dan wahyu, dan apabila
banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan
kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini. Lalu kami
dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1. Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah
dan mempunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2. Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lebih menguatkan
pendapat akal dibandingkan wahyu.
3. Asy’ariah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya
dibanding akal.
4. Maturidiah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling
menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
5. Maturidiah Samarkand bahwa akal lebih tinggi dibanding kedudukan wahyu
dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan
wahyu dan akal.
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar pada
akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan
dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan daya terkecil
kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan
tidak merdeka. Tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa
dan merdeka. Sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariah dipandang lemah dan
jauh kurang merdeka. Didalam aliran Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan
menengah diantara manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam
pandangan Asy’ariah. Dalam pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand
lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.

11
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan),


Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 2006.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press), 2006.
Arif, Dr. Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Depok: Gema
Insani, 2008.
Ghozali, Imam, Ihya’ ‘Ulumudin Juz 1 (terj. Ihya’ ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H.
Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 2001.

12

Anda mungkin juga menyukai