Anda di halaman 1dari 22

1

Gerakan Sosial Keagamaan


Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Indonesia

1. Pendahuluan

Kelahiran Ikatan Cendekiawan Islam Se-Indonesia (ICMI) bukanlah

sebuah kebetulan sejarah belaka, tetapi erat kaitannya dengan perkembangan

global regional di dalam dan luar negeri. Menjelang akhir 1980-an dan awal

dekade 1990-an, dunia ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan konflik

ideologi, keruntuhan komunisme sebagai salah satu ideologi yang kuat di dunia

mengakibatkan terjadinya perpecahan dan disintregasi di negara-negara yang

diperintah oleh rezim komunis, khususnya di Eropa Timur.

Ketika kemudian Uni Soviet sebagai negara adikuasa juga runtuh, peta

politik dunia juga berubah secara drastis. Barat dan khususnya Amerika yang

memegang hegemoni kekuatan, tidak lagi memiliki “lawan tanding” yang

tangguh dalam perebutan pengaruh. Sementara itu, di sisi lain diberbagai belahan

dunia tertentu muncul semangat kebangkitan agama (religius revival) yang

membawa implikasi bagi adanya resistensi terhadap arus kekuatan sekuler

sebagai produk dari peradaban Barat.

Kebangkitan agama itu secara mencolok juga ditandai dengan tampilnya

Islam sebagai ideologi peradaban dunia dan kekuatan alternatif bagi

perkembangan peradaban dunia. Bagi barat, kebangkitan Islam ini menjadi

masalah yang serius karena itu berarti hegemoni mereka menjadi terancam. Apa

yang diproyeksikan sebagai konflik antar peradaban (clash of civilizations), lahir

dari perasaan terancam barat yang subjektif terhadap Islam sebagai kekuatan
2

peradaban dunia yang sedang bangkit kembali.Tetapi bagi umat Islam sendiri,

kebangkitan yang muncul justru memberikan motivasi untuk mencari alternatif

bagi munculnya nilai-nilai kultur yang membebaskan manusia dari kegelisahan

batin dan ketidakpastian tujuan hidup, sebagai akibat perkembangan peradaban

yang terlalu berorientasi pada materiil dan sekularistik.

Di sinilah, manusia --termasuk manusia Indonesia-- terus mencari-cari

pegangan agar tidak goyah oleh perubahan apapun. Dalam situasi seperti ini,

Islam ternyata muncul menjadi salah satu alternatif sistem peradaban yang lebih

menjanjikan dibanding ideologi atau peradaban manapun. Bertahap tetapi pasti

semangat keislaman meningkat dan menyatu dalam “identitas keindonesian”

bangsa Indonesia yang tengah melaksanakan pembangunan dalam kehidupan

bangsa dan negara. Dan meningkatnya peran serta umat Islam itu ditunjang pula

dengan adanya ledakan kaum terdidik (intelectual booming) di kalangan kelas

menengah kaum santri Indonesia.

Di kalangan mahasiswa, peningkatan minat dan apresiasi terhadap ajaran

Islam juga merupakan gejala yang umum. Dasawarsa 1980 menyaksikan

kemunculan banyak kelompok-kelompok studi Islam di kalangan mahasiswa,

baik perguruan tinggi negeri maupun swasta; umum atau agama. Kelompok-

kelompok studi keislaman ini dalam aktivitas mereka lebih lanjut memusatkan

kegiatan bukan hanya pada pengkajian pemikiran dan ajaran Islam, tetapi juga

pada kegiatan-kegiatan yang sekarang populer dengan termasuk dakwahbilhal.

Azyumardi Azra (1999: 21) mengatakan banyak di antara para mahasiswa terjun

langsung kemasyarakat melalui aksi-aksi sosial yang mencakup bukan hanya


3

pendidikan keagamaan seperti pemberantasan buta huruf Al-Quran, tetapi juga

penyantunan ekonomi, kesehatan lingkungan dan lain-lain.

Panen besar kaum terpelajar muslim itu semakin bertambah ketika dunia

pendidikan makin memberikan peluang kepada mereka untuk bisa meneruskan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik dalam maupun luar negeri.

Azyumardi Azra (1999: 24) berkat kecakapan dan kemampuan akademik yang

tinggi, kelas menengah “neo-santri” yang terpelajar itu dapat memasuki dan

mengisi lapisan birokrasi, dunia kampus, dunia usaha, dan lembaga-lembaga

masyarakat dengan profesionalisme yang relatif teruji. Dengan kondisi seperti ini,

maka pada dasawarsa 1980-an mitos bahwa “umat Islam Indonesia merupakan

mayoritas tetapi secara teknis minoritas” runtuh dengan sendirinya.

Makmur Makka dan Dhurorudin Mashad (1996: 14-15) mengatakan di

samping kemajuan-kemajuan yang dicapai umat Islam, juga terjalinnya hubungan

yang lebih mesra antara pemerintah dengan kalangan Islam. Hal ini dapat dilihat

dari komitmen Pemerintah untuk mewujudkan Undang-Undang Pendidikan

Nasional tahun 1988 dan Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) tahun 1989.

Semua itu telah memperlihatkan hubungan yang mesra dengan kalangan Islam

dan juga mulai memudarnya kecurigaan pemerintah kepada kalangan Islam yang

akan mendirikan negara Islam.

Kelahiran ICMI menjelang akhir 1990, menurut sumber-sumber yang

dapat dipercaya, juga dimotivasi sentimen dan semangat untuk membendung

ekspansi kristenisasi pada berbagai sektor masyarakat. Namun demikian kata

Azyumardi Azra (1999: 22) disadari bahwa motivasi kelahiran ICMI juga tidak
4

dipisahkan dari kehendak kalangan cendekiawan muslim untuk menciptakan

keadaan yang lebih adil dan proposional dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Kehendak ini wajar karena di masa lalu, umat Islam oleh karena

kondisi objektif yang dimilikinya, ataupun karena rekayasa pihak-pihak tertentu,

berada dalam posisi yang marginal, bahkan pernah diidentifikasikan sebagai

kekuatan-kekuatan destruktif yang anti pembangunan. Melalui ICMI sebagai

agregat kaum cendekiawan muslim, diharapkan muncul perubahan-perubahan

yang dinamis dalam Indonesia yang merdeka, maju, bersatu, berdaulat, adil,

makmur dan lestari berdasarkan Pancasila.

2. Visi dan Misi ICMI

Aktivitas sebuah organisasi tidak akan lepas dari misi dan visi yang

dimiliki oleh organisasi tersebut. Dan untuk dapat memahami misi dan visi ICMI

sebaiknya diterangkan terlebih dahulu pengertian-pengertian dasar tentang

“cendekiawan”, “kecendekiawanan”, “cendekiawan muslim” dan “Ikatan

Cendekiawan Muslim se-Indonesia”.

Yang dimaksud dengan cendekiawan adalah orang yang karena

pendidikannya, baik formal maupun informal mempunyai wawasan, sikap dan

perilaku cendekia. Wawasan, sikap, perilaku cendekia ini tercermin dalam

kemampuannya untuk menatap, menafsirkan dan merespon lingkungan hidupnya

dan perkembangan masyarakat dengan sikap kritis, kreatif, objektif dan analitis,

atas tanggung jawab moral dan kemanusiaan. Dengan demikian cendekiawan

bukanlah status, tetapi lebih merupakan panggilan nurani untuk peranan dan misi
5

dalam masyarakat. Kecendekiawanan bukan terletak pada apakah seseorang

memiliki ilmu atau tidak, atau pada gradasi pendidikan, tetapi terutama pada

komitmen seseorang untuk melibatkan diri masalah-masalah kemanusian dan

kemasyarakatan. Dengan demikian ciri dasar kecendekiawanan adalah kepedulian

terhadap masyarakat serta terus menerus berusaha memberikan respon yang tepat

dan bertanggungjawab.

Demikian pula alam pikiran terbuka yang melekat pada sub-kultural kaum

cendekiawan memberikan keleluasaan kepada mereka untuk melakukan kritrik

sosial, antara lain dengan membandingkan praktek dengan teori, atau antara “apa

yang ada” (das Sein) dengan “apa yang ideal” (das Sollen). Sikap kritis itu dapat

mencakup segi moral, etik, sosial, politik, budaya dan lain sebagainya.

Dalam Anggaran Rumah Tangga ICMI (Bab I Pasal 1 poin 1) yang

dimaksud dengan cendekiawan muslim adalah seorang atau sekelompok orang

Islam yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berfikir, menggali, dan

mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan keagamaan dan

kehidupan sosial keagamaan untuk mengabdikan bagi kesejahteran umat Islam.

ICMI adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dan

kebudayaan yang menghimpun para cendekiawan muslim se-Indonesia atas dasar

kesamaan cita-cita dan profesi kecendekiawanan, keilmuan menujuk pada cara

atau proses dalam mencapai tujuan.

Sebagai organisasi cendekiawan, ICMI bercorak terbuka, bebas dan

mandiri. Terbuka artinya menyerap berbagai aspirasi masyarakat dan tanggap

terhadap perkembangan dunia. Terbuka artinya aktif melakukan komunikasi


6

internal, di antara cendekiawan muslim sendiri, maupun komunikasi ekternal

dengan dunia lain. Bebas dan mandiri berarti percaya pada diri sendiri dalam

mengambil keputusan, dan untuk selanjutnya melakukan kegiatan kreatif dan

inifatif.

Dapat dikatakan bahwa konsep kecendekiawan di lingkungan ICMI

mencakup beberapa genre; pertama, adalah cendekiawan dalam pengertian

intelegensia yakni kaum terpelajar atau berpendidikan. Kedua adalah kaum

intelektual yang terlibat (concerned intelectual). Ketiga adalah cendekiawan

dalam arti “Ulama”, tetapi pengertian ulama di sini berbeda dengan pengertian

pastur, pendeta atau rohaniawan dalam agama-agama lain. Ulama disini adalah

orang-orang dengan unsur-unsur iman, ilmu, takwa dan amal soleh, yang dalam

Al-Quran sering disebut sebagai ulul albab. Dan keempat, dalam tradisi Hindu,

Budha dijumpai istilah sarjana yang artinya orang bijak dan peka, walaupun

dalam pengertian formalnya adalah orang yang menyandang gelar akademis.

M. Dawan Raharjo dalam Nasrullah Ali Fauzi (1995: 38) mengungkapkan

di lingkungan ICMI, cendekiawan diartikan secara luas yang titik beratnya adalah

memiliki kepekaan sosial dan komitmen terhadap persoalan masyarakat banyak.

Dengan perkataan lain, cendekiawan adalah mereka yang dengan potensi

manusiawinya, khususnya pengetahuan, keterampilan, atau ilmunya, terpanggil

untuk membaktikan dirinya untuk kepentingan masyarakat.

Dengan demikian, misi penting yang diemban ICMI adalah menghimpun

partisipasi umat Islam dan meningkatkan partisipasi tersebut. Kurangnya

partisipasi umat Islam sebenarnya lebih banyak disebabkan karena kualitas


7

sumberdaya manusia dari pada hambatan dotriner yang bersumber pada

pandangan teologis. Oleh karena itu, tujuan himpunan ICMI difokuskan pada

peningkatan kualitas manusia yang disimbolkan dengan huruf “K”. Dengan

perkataan lain, tujuan ICMI adalah pencapaian 5K atau lima kualitas manusia:

kualitas iman, kualitas fikir, kualitas kerja, kualitas karya dan kualitas hidup.

Peningkatan 5K ini adalah visi ICMI tentang pembangunan, yakni interpretasi

dari rumusan tujuan pembangunan menurut GBHN: “membangun manusia

seutuhnya dan masyarakat seluruhnya” (M. Dawan Raharjo dalam Nasrullah Ali

Fauzi, 1995: 38).

Misi lain ICMI adalah pembangunan dan perubahan sosial. Persepsi

tentang misi ini timbul dari kesadaran bahwa umat Islam pada umumnya berada

dalam kondisi keterbelakangan dan kemiskinan. Kesadaran semacam ini sangat

mudah tumbuh di kalangan cendekiawan, karena cendekiawan adalah manusia

yang peka sosial.

Untuk mewujudkan misi dan visinya, ICMI mempunyai kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan seperti penyediaan beasiswa bagi penuntut ilmu yang

keluarganya miskin atau yatim piatu, bantuan peralatan dan buku kepada

pesantren, peningkatan pengajaran matematika dan sains di sekolah-sekolah

Islam, kerjasama Association of Southeast Asian Nations/Perhimpunan

Kerjasama Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) di berbagai bidang, bukan

hanya dengan kelompok muslim tetapi juga dengan kelompok non muslim, dan

pengembangan jaringan informasi elektronik global. ICMI juga melakukan

kegiatan intelektual, baik melalui organ utama ICMI, seperti Orsat (Organisasi
8

satuan) dan Orwil (organisasi wilayah), maupun lembaga-lembaga khusus seperti

Cides (Center for information anddevelopment studies) atau Majelis Sinergi

Kalam (Masika) yang dikelolaoleh generasi muda. Cides tidak hanya

menyelenggarakan seminar belaka, dan seminar-seminar khusus, baik bersifat

nasional maupun internasional, tetapi juga melakukan penelitian dan penerbitan

majalah-majalah (Sintesa, Fokus, Khazanah) atau buku-buku. Penerbitan harian

umum Republika dan Majalah Umat, dapat pula dianggap sebagai kegiatan

kecendekiawanan yang diprakarsai ICMI.

Menurut M. Dawan Raharjo dalam Nasrullah Ali Fauzi (1995: 42) ICMI

dalam forum-forum Ilmiah yang bersifat terbuka berupaya bersikap kritis

terhadap persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat dan juga terhadap

kritik-kritik yang dilemparkan terhadapnya. Dalam kerangka forum ilmiah

terbuka tersebut, ICMI juga merintis komunikasi dan kerja sama dengan PIKI

(Persatuan Intelegesia Kristen Indonesia), ISKA (Ikatan Sarjana Katolik), FCH

(Forum Cendekiawan Hindu Indonesia) dan KCHBI (Kelompok Cendekiawan

Budha Indonesia).

3. ICMI Sebagai Gerakan Politik Islam

Sejarah kelahiran ICMI telah menyita perhatian pengamat politik baik

dari dalam maupun luar negeri. Berbagai tanggapan, komentar dan kritik merebak

mewarnai perjalanan organisasi tersebut. Bahkan sejak pencetusannya hingga

akhir Orde Baru, ICMI menjadi “faktor baru” yang diperhitungkan sebagai
9

kekuatan strategis dalam peta perpolitikkan Indonesia pada umumnya dan Islam

pada khususnya.

ICMI memang lahir sebagai buah dari proses politik, tatkala pada waktu

itu, hubungan Islam dengan Birokrasi (Pemerintah) mulai membaiknya.

Hubungan ICMI-Birokrasi ini tentu bersifat resiprokal atau timbal balik, sehingga

menumbuhkan konvergensi di antara dua belah pihak.

Ketika pengumuman susunan pengurus ICMI tanggal 13 Februari 1991,

BJ Habibie mengatakan bahwa “ICMI bukanlah organisasi politik, dan bukan

pula organisasi massa yang bernaung di bawah organisasi politik. Tujuan

pembentukan ICMI adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, kualitas kerja,

kualitas karya, serta kualitas berfikir seluruh bangsa Indonesia, khususnya umat

Islam.” Penegasan ini selalu diulanginya dalam berbagai kesempatan. Ia

sepertinya ingin mengesankan bahwa ICMI tidak akan berpolitik. Persoalannya

adalah mungkinkah cendekiawan tidak berpolitik? (M. Syafi’i Anwar, 1995:

296).

Salah satu dari fungsi utama kaum cendekiawan, menurut Edward Shil

adalah “memainkan peran politik.” Sebab dengan memainkan peran politik,

seorang cendekiawan terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakatnya sehingga

tokoh semacam Bung Hatta pun tidak ragu untuk mengatakan bahwa politik

adalah salah satu bentuk keterlibatan kaum cendekiawan. Jika demikian

persoalannya, adakah peluang bagi organisasi semacam ICMI untuk berpolitik?

(M. Syafi’i Anwar, 1995: 397).


10

Pernyataan Habibie di atas mengesankan seolah-olah ruang untuk

berpolitik bagi ICMI telah tertutup. Tetapi apakah benar bahwa ICMI memang a-

politik? Bagi Dr Affan Gaffar pakar politik dan pengamat politik dari UGM

Yogyakarta, “ICMI tidak akan a-politik, tidak ada Ormas di Indonesia ini yang

tidak berpolitik. ICMI pun menurut hemat saya juga berpolitik hanya

artikulasinya saja yang berbeda dengan Ormas lain,” tandasnya. Sebagai agregat

cendekiawan muslim, ICMI merupakan lahan yang efektif untuk menggalang

potensi mengkomunikasikan dan medesiminasikan ide-ide, menggalang lobi dan

sebagainya. Menurut Affan dalam Abdul Aziz Thaba (1996: 292), peran politik

ICMI yang paling signifikan adalah mengkondisikan hubungan yang tidak

konfrontatif antar Islam dengan Birokrasi OrdeBaru.Senada dengan pendapat

Affan, Dr. Arbisanit mengatakan “sepak terjang ICMI jelas menunjukkan

keterlibatannya dalam politik praktis.” Hal ini tampak dalam “penghijauan” MPR

1993-1998, Kabinet Pembangunan IV, dan pengurus Golkar. Amin Rais dari

kalangan internal juga mengakuinya. “Walaupun ICMI bukan organisasi politik

dan tidak berpolitik praktis, saya yakin ICMI mempunyai politik leverge yang

besar.” Setali tiga uang pendapat Adi Sasono bahwea, “ICMI tidak boleh buta

politik.” (Abdul Aziz Thaba, 1996: 293) .

W. Hafner Robert (1995: 64) mengatakan di antara artikulasi politik ICMI

yang tidak konfrontatif dengan birokrasi Orde Baru menjadikan pengaruh nyata

bagi kelompok-kelompok kelas menengah yang saleh dan tekun menjalankan

perintah agama, dan membuat birokrat yang semula takut berjamah jum’at

menjadi bangga melakukannya. Dan menguatnya kepatuhan pada Islam di


11

kalangan kelas menengah dan pejabat pemerintah, menurut Nurcholis Majid,

adalah sebuah pencapaian yang sangat berharga.

BJ Habibie sebagai ketua umum ICMI, dan politisi yang ada dalam

pemerintahan dan dekat dengan lingkaran kekuasaan—pada waktu itu—

menjadikan langkah-langkah politiknya yang sebenarnya tidak berkaitan

langsung dengan ICMI oleh banyak kalangan telah dilihat sebagai realisasi

manuver politik ICMI, sebagai suatu bentuk dari dinamisasi program dan

kegiatan ICMI.

Disamping Habibie, banyak anggota ICMI yang masuk dalam dunia

politik, sehingga hal itu telah memberikan pengaruh politik yang cukup menonjol

dalam perkembangan politik Islam di Indonesia. Partisipasi anggota ICMI tampak

pada anggota legislatif 1993-1998, sebagaimana yang dikemukakan Arbisanit,

“DPR dan MPR telah menjadi hijau karena ICMI, demikian halnya dengan

kabinet dan Golkar.” Peran ICMI makin kelihatan menonjol, terutama sekali

karena posisi ketua umumnya waktu itu, Menristek Habibie, kemudian menjadi

Wakil Presiden dan Presiden RI yang ketiga.

Demikian fenomena keterlibatan ICMI dalam dinamika politik Islam di

Indonesia. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keberadaan ICMI telah

memberikan fenomena baru bagi umat Islam khususnya dan bagi bangsa

Indonesia pada umumnya terutama di akhir-akhir masa Orde Baru.

4. Peran ICMI Dalam Gerakan Sosial Keagamaan di Indonesia


12

Adapun peran lain ICMI terutama dalam Gerakan Sosial Keagamaan

ICMI di Indonesia sejak dibentuknya hingga saat ini antara lain:

a. Peran ICMI Dalam Penguatan Masyarakat Madani

Situasi ketika bangsa ini tidak mempunyai tatanan sosial yang mapan

sehingga kehidupan berbangsa dapat menghancurkan demokrasi dan

menghilangkan keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi manusia

lainnya, maka upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa dan

bernegara secara mendasar dilakukan dengan mencari rumusan baru yang

diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi, serta

pluralisme. Masyarakat madani merupakan salah satu rumusan yang ditawarkan

untuk dipupuk dan dibangun sehingga diharapkan dapat menjadi rujukan ke arah

yang lebih baik dalam pembentukan masa depan bangsa.

Namun apa masyarakat madani (civil society) yang hendak dibangun itu?

Di Indonesia wacana tentang civil society yang diartikan suatu masyarakat

beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya menjadi

semarak, walaupun baru nampak pada masa-masa akhir Orba. Hal ini berkaitan

dengan tumbuhnya kesadaran demokrasi yang mulai terang-terangan melawan

pemerintah Orba.

Wacana tentang civil society ini berkembang atas dasar pemikiran, bahwa

demokrasi hanya bisa tumbuh melalui penguatan civil society. Sebenarnya,

kehadiran organisasi-organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya

masyarakat (LSM) itu sendiri menandai eksistensi civil society. Namun

kesadaran mengenai civil society itu sendiri belum tumbuh sampai akhirnya
13

gejala ini menjadi wacana di kalangan intelektual. Istilah itu sendiri pertama kali

dikemukakan oleh M. Amien Rais dalam simposium di Universitas Brawijaya

Malang pada tahun 1990 yang mengantarkan lahirnya ICMI. Sebelum itu, civil

society baru menjadi topik pembahasan di luar negeri, yaitu ketika dilakukan

seminar di Australian National University (ANU) di Canberra, pada tahun 1989

(Rahardjo, 1999 : 22).

Berbagai kajian akademik dan penelitian berkenaan dengan masyarakat

madani cukup banyak dilakukan. Beberapa kajian yang memusatkan

perhatiannya pada masalah peran Agama (Islam) dan kelas menengah terhadap

pembentukan masyarakat madani diantaranya oleh Dawam Rahardjo (1999) dan

Ahmad Jainuri (Al-Afkar, 1999). Sedangkan The Asia Foundation dan Lembaga

Studi Agama dan Filsafat (LSAF) (1999) telah meneliti gerakan keagamaan

dalam penguatan masyarakat madani dengan cara menganalisis perbandingan visi

dan misi lembaga swadaya masyarakat dan organisasi massa berbasis keagamaan

dalam penguatan masyarakat madani.

Untuk kajian yang lebih fokus terhadap peran organisasi massa Islam

terhadap penguatan masyarakat madani telah dilakukan oleh M. M. Billah (1999)

dan kajian yang memusatkan perhatiannya pada asal-usul, permikiran dan

relevansi masyarakat madani dengan cita-cita reformasi dilakukan oleh

Nurcholish Madjid (1999), Azyumardi Azra (2000), dan Adi Suryadi Culla

(1999).

Munculnya istilah masyarakat madani di Indonesia bermula dari ide

Anwar Ibrahim yang pada waktu itu sebagai Menteri Keuangan dan Asisten
14

Perdana Menteri Malaysia, dalam sebuah simposium nasional dalam rangka

Forum Ilmiah pada acara Festival Istiqlal, 26 September 1995. Pada simposium

tersebut, Anwar membawa istilah masyarakat madani sebagai terjemahan dari

civil society atau al-mujtama’ al-madani dalam bahasa Arabnya, adalah

masyarakat bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu

dan stabilitas masyarakat, di mana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan

inisiatif individual (Prasetyo, 2002 : 157).

Pada masa pemerintahan BJ. Habibie, istilah masyarakat madani

mendapat porsi yang luas, bukan hanya sebagai wacana tapi masuk ke dalam

struktur pemerintahan. Hal ini bisa dilihat dengan dikeluarkannya Keputusan

Presiden (Kepres) No. 198 tahun 1998 tentang pembentukan Tim Nasional

Reformasi Masyarakat Madani.

Tugas pokok tim tersebut di antaranya menghimpun pemikiran tentang

transformasi ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta berbagai peluang

dan dampak terhadap kepentingan nasional. Dalam Tim tersebut terdiri dari para

pakar dari berbagai disiplin ilmu yang diketuai oleh Sofyan Effendi dan para

wakil ketuanya adalah Jimly Asshiddiqie, Dewi Fortuna Anwar, A. Watik

Pratiknya. Sedangkan sebagai ketua pembina tim tersebut adalah Adi sasono.

Pilar-pilar Masyarakat madani meliputi: masyarakat madani dan

demokrasi, masyarakat madani dan toleransi, masyarakat madani dan pluralisme,

dan masyarakat madani dan HAM. Gerakan keagamaan dan masyarakat madani,

ICMI muncul dan bergerak dengan menerapkan strateginya yaitu di satu sisi

dekat dengan pemerintah, dengan melakukan sikap kooperatif dan berpartisipasi


15

terhadap program-program pemerintah, tapi di sisi lain mengkritisi kebijakan

pemerintah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Strategi gerakan ICMI terbentuk lewat dua strategi utama gerakan dalam

menghadapi hegemoni negara. Pertama, apa yang disebut “perang manuver”

yakni perjuangan mencapai perubahan jangka pendek untuk mengubah keadaan

dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis. Kedua, “perang posisi” yang ditandai

olehnya sebagai perjuangan kultural dan ideologi jangka panjang.

b. Menegakkan Kebajikan dan Mencegah Kemungkaran

Guna mewujudkan tujuannya dan dalam rangka menegakkan kebajikan,

mencegah kemungkaran, ICMI juga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti,

meningkatkan mutu komitmen dan pengamalan keimanan-ketaqwaan,

kecendekiawanan, dan kepakaran para anggota melalui peningkatan pembelajaran

dan koordinasi sistem jaringan informasi dan komunikasi di dalam maupun di

luar negeri. Mengembangkan pemikiran, menyelenggarakan penelitian dan

pengkajian yang inovatif, strategis, dan antisipatif dalam rangka mempengaruhi

kebijakan publik serta berupaya merumuskan dan memecahkan berbagai masalah

strategis lokal, regional, nasional dan global.

Berperan aktif mengembangkan sistem pendidikan dan meningkatkan

kualitas sumberdaya manusia dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat

dan bangsa, khususnya umat Islam Indonesia. Menyelenggarakan berbagai

kegiatan pemberdayaan dan advokasi kebijakan di bidang sosial, ekonomi,

hukum, danbudaya dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan martabat rakyat

kecil dan kaum yang lemah guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
16

Indonesia. Mempublikasikan dan mengkomunikasikan hasil-hasil pemikiran,

penelitian, kajian, dan inovasi bekerjasama dengan berbagai kalangan, baik

perorangan, lembaga, perhimpunan, pemerintah maupun swasta.

c. Jadikan Kebudayaan Leluhur sebagai Referensi

Dalam Bukunya Konstitusi Kebudayaan dan Kebudayaan Konstitusi

Ketua Umum ICMI Prof DR Jimly Asshiddiqie (2017) menilai, kesadaran yang

muncul dari dalam diri sendiri bisa dibentuk dari beragam hal. Namun kini yang

menjadi persoalan, Indonesia seperti tidak sadar terhadap sejarah kebudayaan

bangsa sendiri. Menurut Jimly, bangsa yang maju dan modern saat ini, tidak

pernah melupakan tradisinya sendiri. Bahkan, menjadikan kebudayaan leluhurnya

sebagai referensi untuk inovasi ilmiah.

Jimly mencontohkan pada Negara Cina yang menulis buku selalu

mengutip nenek moyangnya. Itu merupakan tradisi yang mereka pertahankan.

Begitupun dengan India selalu menjadikan sejarah leluhurnya sebagai referensi

karya-karya bukunya ditambah mengutip sejarah Yunani. Namun sebaliknya

Indonesia justru lupa dan referensinya budaya luar.

Memang mulai saat ini harus sudah mulai dicari dan dimunculkan pakar

hukum tata negara adat. Pentingnya pakar hukum tata negara adat sebagai profesi

keilmuan yang baru di Indonesia sebab minimnya perhatian terhadap sumber

konstitusi dari sejarah kebudayaan. Maka harus ada optimalisasi kampanye

kebudayaan mulai sekarang. Masyarakat Indonesia, harus membanggakan

kebudayaan bangsa sendiri ke luar.

d. Merubah Gerakan Islam Lebih Universalisme


17

Kemunculan gerakan neo nasionalisme dianggap sebagai bentuk

tanggapan rasional masyarakat terhadap gerakan trans nasionalisme Islam.

Bahkan, nantinya diperkirakan muncul gerakan universalisme Islam pada periode

selanjutnya. Gerakan trans nasionalime berkembang di Timur Tengah dan Islam

hanya dijadikan merek untuk kepentingan politik.

Kemunculannya ditandai oleh Ikhwanul Muslimin yang tidak sanggup

menghadapi persaingan selama tiga abad. Konflik seperti Palestina, Suriah, Irak,

Iran, ikut memicu gerakan trans nasionalisme. Saat ini bukan lagi neo

nasionalisme tapi universalime. Itu sebenarnya ide tentang agama untuk semua.

Rahmat untuk seluruh alam. Islam bukan hanya kepada seluruh umat manusia.

Tapi juga menjadi rahmat seluruh alam.

e. Kritik Atas Eksistensi ICMI

Jika merujuk pada sejarah berdirinya ICMI, sejak tanggal 6 Desember

1990 di Malang, dengan ditabuhnya gong pembukaan simposium dan kongres I

ICMI oleh Presiden Soeharto menunjukkan bahwa, sejak saat itu pemerintah

mulai menyadari bahwa Islam merupakan kekuatan politik yang tidak bisa

dikesampingkan. Pemerintah juga sadar bahwa upaya memarginalisasi peran

Islam, sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia, merupakan tindakan yang

kontra-produktif. Terutama setelah melihat kenyataan bahwa kelangan

intelegensia umat Islam yang merupakan produk Orde Baru ternyata mempunyai

potensi intelektual dan kecakapan skill yang bisa diandalkan dalam suksesi

proyek pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah.


18

Kemunculan lembaga ini mendapat respon dari sejumlah kalangan. Pro-

kontra pun terjadi, terutama dikritik oleh para penentangnya, pada intinya karena

watak sektarianisme dan eksklusivismenya, karena sikap akomodasi politiknya,

dan karena kelemahan komitmenya untuk memberdayakan demokrasi dan civil

society. Tuduhan-tuduhan semacam itu memang memiliki justifikasi-

justifikasinya, tetapi pada saat yang sama merefleksikan bentrokan kepentingan-

kepentingan politik.

Para pengamat politik pada umumnya sepakat bahwa ICMI paska

Reformasi telah mengalami penurunan pengaruh dan daya tarik, setelah ia

mengalami kegagalan dalam upaya menjadi salah satu powerhouse dalam politik

nasional menjelang tumbangnya Orde Baru. Sejarah pembentukan dan

perkembangan ormas Islam yang satu ini memang tak mungkin lepas dari sebuah

rekayasa politik dari gabungan dua kekuatan: sebagian elite rezim Orde Baru

(yang direpresentasikan oleh mantan Presiden ke III, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie)

dan kelompok cendekiawan Muslim (seperti Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan

Nurcholish Majid). Dalam tempo yang teramat singkat, ICMI telah menjadi salah

satu pemain utama dalam perebutan kekuasaan antar faksi-faksi elite Orba pada

awal dan pertengahan 1990an, dan menjadi rival paling kuat bagi kelompok

militer dan kaum "sekuler" serta non Muslim yang juga saling berebut pengaruh

dan beraliansi.

Maka wajar jika untuk sementara, sampai beberapa tahun setelah

Reformasi, ICMI lebih cenderung tiarap dan kiprahnya terbatas. Lembaga-

lembaganya yang dulu sangat moncer seperti MASIKA, CIDES, dan secara tak
19

langsung The Habibie Center, harus melakukan redefinisi peran dalam sebuah

lingkungan politik yang berubah. Tokoh-tokoh terasnya pun tidak lagi tampil

menggebu-gebu. Bahkan kepemimpinan ICMI pun berubah total menjadi model

presidium.

Terlepas dari pro-kontra itu, sejak 16 tahun yang lalu, ICMI telah menjadi

bagian dari dinamika ijtihad intelektual umat Islam Indonesia. Masa 16 tahun

bukan masa yang singkat bagi sebuah organisasi masyarakat (ormas) seperti

ICMI. Seharusnya, dalam kurun itu ICMI telah memberikan banyak hal terhadap

masyarakat Indonesia, khususnya dalam konteks politik, walaupun ICMI sendiri

bukan organisasi politik. Tetapi, keberadaannya tidak bisa lepas dari jeratan

jaring-jaring politik Indonesia dan mau tidak mau, sedikit atau banyak, diakui

atau tidak, telah menyeret ICMI ke dalam kubangan perpolitikan nasional.

5. Kesimpulan

Dari ICMI lahir critical mass yang responsif terhadap dinamika dan

proses pembangunan yang tengah dijalankan. Di sisi lain, critical mass itu telah

memperkuat tradisi intelektual melalui pergumulan ide dan gagasan yang

diseminarkan secara kreatif dalam forum-forum seminar, pertemuan atau

diekspresikan sebagai karya tulis media cetak dan buku-buku. Ini semua

melahirkan kepemimpinan intelektual yang sangat kontributif terhadap

pembangunan bangsa. Potensi istimewa ini akhirnya tergalang dengan baik lewat

pembentukan ICMI. Melalui ICMI diharapkan potensi umat Islam yang meliputi

88 % penduduk Indonesia dapat lebih berperan dalam pembangunan nasional.


20

Pemikiran dan gerakan ICMI dalam penguatan masyarakat madani,

terlebih dalam menghadapi masa depan bangsa Indonesia, ICMI termasuk salah

satu organisasi yang rajin memperkenalkan kembali khazanah wawasan

kenegaraan dan kemasyarakatan Madinah. Maka para pengurus dan aktivis yang

berafiliasi pada ICMI juga perlu mengubah orientasi dari kognisi lama ICMI

sebagai tangga vertikalisasi ke kognisi baru dengan tetap mengimplementasikan

program 5K. Kognisi yang dimaksud adalah memunculkan watak genuin ICMI

yaitu penguatan (empowering) basis-basis sosial-ekonomi kemerataan, komunitas

politik dan budaya Islam. Dalam perspektif ICMI, perhatian terhadap upaya

transformasi sosial sebenarnya memerlukan orientasi baru tanpa image terhadap

ICMI sebagai “wahana politik”. Kendati tarikan kekuatan politik praktis-

pragmatis termasuk dari para pendukungnya lebih kuat sejak proses kelahirannya.

ICMI yang tetap mengusung program 5K harus ditingkatkan optimalisasi fungsi

dan perannya dengan menggandeng organisasi lain sebagai mitra dan jaringan.

Posisi ICMI sebaiknya sebagai think tank-nya organisasi umat Islam.

Strategi perjuangan ICMI dalam proses perubahan kognisi terutama dalam

gerakan sosial keagamaan yaitu bisa mencapai masyarakat madani yang saat ini

lebih bermakna dengan muatan strategi revolusi kultural, yaitu mengubah mind

set “KKN”(Kognisi-Karsa-Nalar) umat Islam yang lama ke arah perubahan

“KKN” baru yang mencerminkan adab tinggi dan karsa kuat (ukhuwah dalam

kuwah). Di samping penguatan peran strategi struktural yang berorientasi pada

efektifitas dan efisiensi yang berlandaskan manajemen modern.


21

6. Daftar Pustaka

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema
Insani, 1996.
Azyumardi Azra, Islam Reformis; Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
A. Makmur Makka, Dhurorudin Mashad, ICMI: Dinamika Politik Islam
diIndonesia, Jakarta: Pustaka Cesindo, 1996.
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999.
Ahmad Watik Pratiknya, Pandangan dan Langkah Reformasi BJ. Habibie,
Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Danil L. Pals, Seven Theories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001.
Hendro Prasetyo, dkk, 2002, Islam dan Civil Society, Gramedia, Jakarta.
Henri L. Tischler, Introduction to Sociology, 1990, Chicago.
Ibnu Khaldun, 2001, Mukaddimah, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, Komentar Ketua Umum ICMI Pusat. 2017
M. Dawan Raharjo dalam Nasrullah Ali Fauzi (ed), ICMI; Antara Status Quodan
Demokratisasi, Bandung: Mizan, cet. Ke-1, 1995.
M. Syafi’i Anwar, 1995, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian
Politiktentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina.
Thomas S. Kuhn, 1962, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The
University of Chicago Press.
Wach, Joachim, 1984, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman
Keagamaan, Jakarta: Rajawali Press.
Weber, Max, 1962, The Sosiology of Religion, Boston: Beacon Press.
W. Hafner Robert, 1995, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah
Indonesia, Alih bahasa: Endi Haryono, Jakarta: Tiara Wacana.

Undang-Undang
Anggran Rumah Tangga ICMI.

Internet
https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2012/10/organisasi-sosial-keagamaan-
dalam.html. Diunggah, Senin (23/10/2017).
22

7. Nama Penulis Lengkap : H. Nanang Rustandi, S.Ag,. SH,. MH

Anda mungkin juga menyukai