Tentang
IJMA'
Disusun Oleh:
MARDALENA (2113040067)
Dosen Pengampu:
FAKULTAS SYARI'AH
1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR
Segala puji beserta syukur kami ucapkan kepada Sang penguasa setiap hamba, Sang
penyejuk setiap hati yang tergamang, Sang penerang dalam setiap gelap gulita yang
menghadang, Allah Swt. Berkat limpahan rahmat, karunia, dan hidayahNya, pemakalah
dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “IJMA’”. Selawat berangkaikan
salam pemakalah do’akan kepadaNya semoga disampaikan kepada pembawa Baginda
Rasulullah Saw. Berkat kerja keras dan perjuangan beliau akhirnya kita bisa menikmati
indahnya kehidupan dengan iman dan taqwa serta dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi
dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil pertama setelah Al-
Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
PEMBAHASAN
Secara bahasa ijma’ berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan “. Menurut
istilah ahli ushul sebagaimana yang didefinisikan Wahbah Zuhaili, yaitu :
إتفاق المجتهدين من أمة محمد صلى هللا عليه وسلم بعد وفاته في عصر من الغضور على حكم
شرعي
Sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Alquran dan sunah, ijma' bisa dijadikan
landasan hukum dalam menentukan hukum Islam diatur oleh Alquran, sunah.. Hal tersebut
merupakan dasar hukum ijma'.
1) Alquran
األمر منكم-ا أيها الذين آمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرسول وأولي
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa (4): 59) 127
Kata amri yang terdapat dalam ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Dalam hal ini, yang menjadi ulil
amri dalam urusan dunia ialah pemimpin atau kepala negara (penguasa), sedang ulil amri
dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa apabila ulil
amri sudah sepakat mengenai sesuatu hukum suatu peristiwa, kesepakatan tersebut
hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
2) Sunah
ومن, ويد هللا مع الجماعة، إن هللا ال يجمع أمني أو قال أمة محمد صلى هللا عليه و سلم على ضاللة: قال
شذ شذ إلى النار
Dari Ibnu Umar, Rasulullah ., bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan
umatku atau Beliau bersabda: umat Muhammad di atas kesesatan, dan tangan Allah
bersama jamaah, dan barang siapa yang menyempal maka dia menyempal menuju neraka.
(HR. Imam At Tirmidzi)
1. Adanya kesepakatan.
Kesepakatan secara bahasa adalah hendaknya pendapat seseorang sesuai dengan
pendapat yang lain. Yang dimaksud disini adalah kesamaan pendapat baik dalam
keyakinan, perkataan maupun perbuatan.
2. Mujtahid
Yaitu orang yang memiliki kapasilitas dalam menyimpulakan hukum syar’i dengan
menggunakan kaidah-kaidah usul dan menjadikannya sebagai alat untuk memahami
sebuah hukum. Imam ghozali memeberikan pengertian tentang mujtahid yaitu setiap
mujtahid yang diterima fatwanya.
Sebagian ulama menambahkan dalam rukun ijma’ ada empat perkara, diantaraya”
2. Semua mujtahid dari berbagai golongan dan belahan dunia sepakat tentang hukum suatu
masalah. Apabila kesepakatan itu hanya terwujud di kalangan sebagian mujtahid atau
wilayah atau kelompok tertentu, seperti kesepakatan mujtahid Hijaz atau mujtahid Irak
saja, maka kesepakatan tersebut tidak dapat disebut sebagai ijma’, karena ijma’ hanya
tercapai melalui kesepakatan seluruh mujtahid.
4. Kesepakatan tentang hukun suatu masalah berasal dari semua mujtahid secara utuh.
Apabila kesepakatan berasal dari mayoritas mereka saja dan sebagian kecil mereka tidak
menyetujuinya, maka ijma’ tidak dikatakan telah terwujud. Jadi kesepakatan mayoritas
ulama semata tidak dapat dijadikan sebagai hujjah yang bersifat qath’i. Meskipun demikian,
Jumhur ulama dalam hal ini memandang sah bila ijma’ berasal dari kesepakatan mayoritas
mujtahid.
2.4 Syarat-Syarat Ijma’
1. Haruslah orang yang melakukan ijma' itu dalam jumlah banyak, dan tidak dikatakan ijma
apabila hanya satu orang mujtahid, tidak dikatakan sebuah kesepakatan apabila dilakukan
hanya satu orang ulama. Akan tetapi, pada saat terjadinya peristiwa tersebut tidak ada
seorang pun mujtahid sama sekali, atau ada tetapi hanya satu saja, tidaklah bisa
dikategorikan sebagai ijma' yang dibenarkan oleh syara'.
2. Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara' yang telah mereka putuskan itu dengan tidak
memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka. Akan tetapi, peristiwa yang
dimusyawarahkan itu hanya disepakati oleh mujtahid dari satu daerah atau negara saja,
misal mujtahid dari Mesir. atau Arab Saudi, atau Indonesia saja. Hasil kesepakatan itu
bukanlah sebagai ijma'. Ijma' harus merupakan kesepakatan seluruh mujtahid muslim
ketika peristiwa itu terjadi.
3. Mujtahid yang melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai daerah Islam.
Tidak bisa dilakukan ijma' apabila hanya dilakukan oleh ulama satu daerah tertentu saja
seperti ulama Hijaz, atau ulama Mesir, atau ulama Iraq. Atau ulama Syiah tanpa ulama
Sunni.
4. Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh masing-masing dari meraka secara tegas
terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun per butan, seperti
mempraktikkannya dalam peradilan walaupun pada permulaannya baru merupakan
pernyataan perseorangan kemudian per nyataan itu disambut oleh orang banyak, maupun
merupakan pernyataan bersama melalui suatu muktamar
5. Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid yang bersifat adil dan menjauhi hal-hal
yang bid'ah; karena nash-nash tentang ijma' mensya ratkan hal tersebut.
6. Hendaklah dalam melakukan ijma' mujtahid bersandar kepada sandaran hukum yang
disyariatkan baik dari nash ataupun qiyas. Apabila rukun dan syarat-syarat ijma' tersebut
telah terpenuhi, hasil dari ijma itu merupakan undang-undang syara yang wajib ditaati dan
para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu
sebagai objek ijma' yang baru. Oleh sebab itu, hukumnya sudah terap atas dasar bahwa
ijma' itu telah menjadi hukum syata yang qat'i, hingga tidak dapat ditukar atau dihapus
dengan ijtihad lain. Hal ini sebagaimana diatur dalam kaidah figh yang umum:
Para ulama sepakat untuk menetapkan dipakainya ijma' sebagai sumber hukum
ketiga setelah al-qur’an dan sunnah.Hal ini menunjukkan bahawa betapa pentingnya
kedudukan ijma’ sebagai hujjah atau dalil hukum. Dalil-dalil yang ada pada ijma’ wajib
untuk di patuhi oleh semua umat muslim jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Jika tidak mematuhi hal yang di tetapkan dalam ijma’ maka sama saja berarti tidak
mematuhi terhadap apa yang telah di tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini karena
dalil yang ada pada ijma’ sumber hukumnya juga berasal dari al-Qur’an dan hadis juga.
Jumhur ulama’ mengemukakan pandapat ini tentu dengan menggunakan dasar yang ada
pada al-Qur’an dan Sunnah. Berikut beberapa dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama’
kaitannya mengenai ijma’.
2. 6 Tingkatan Ijma’
Yaitu, ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan
pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan (hasil
ijtihad nya disebarluaskan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan
(mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat
mereka meng hasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.
Bila ijma’ sharih ini berlangsung, maka dilalah (penunjukan) nya terhadap hukum
adalah dalam tingkat gath’I dan hukum yang ditetapkannya bersifat gath’I (tidak diragukan
lagi ke benarannya), sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan tidak boleh
seorang pun pada masa itu untuk menyang gahnya dan mujtahid yang telah
mengemukakan pendapatnya tidak boleh mencabut atau mengubah pendapat yang telah
dikemukakannya dalam ijma’ itu. Para ulama sepakat ma ijma’ shâ rîh ini sebagai hujah
syar’iyah dalam menetapkan hukum syara’.
2. Ijma’ sukû tî
Yaitu, kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan
pendapatnya tentang hukum suatu tha salah dalam masa tertentu, kemudian pendapat itu
tersebar luas serta diketahui orang banyak; dan ternyata tidak seorang pun di antara
mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda atau yang menyanggah pendapat itu.
Ijma’ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum bersifat zhanni (tidak qath’), atau
merupakan dugaan kuat tentang kebenar annya. Karena itu tidak terhalang bagi mujtahid
lain di ke mudian hari untuk mengemukakan pendapat berbeda sesudah ijma’ tersebut
berlangsung.
Kelompok ulama yang menganggap ijma’ sukû tî itu mengan dung hujah tetapi bukan
sebagai ma’ beralasan bahwa mä sukú ti itu tidak memenuhi syarat untuk dikatakan ijma,
na mun dapat dijadikan hujah karena sikap diam itu lebih berat kepada menyetujui
ketimbang membantah.
Yaitu, para mujtahid berbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat yang
berkembang, namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang merupakan prinsip.
Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujah dan tidak boleh mujtahid mengemuka
kan pendapat yang menyalahi pendapat orang banyak itu. Um pamanya kesepakatan ulama
memberikan hak warisan kepada kakek bila ia berada bersama dengan saudara-saudara.
Namun mereka berbeda pendapat tentang hak yang diterima kakek itu. Ulama Hanafi
memberikan semua harta itu untuk kakek. Malik dan Ahmad hak kakek dengan saudara.
Sedang kan Syafi’I berpendapat bahwa kakek harus menerima dalam Yang paling
menguntungkan antara berbagi rata dengan saudara atau mengambil furud-nya yang
besar.
Ulama Hanafi memasukkan kesepakatan ini ke dalam ijma’ Sukü ti, sedangkan ulama
lain menganggapnya sebagai ijma’. Di samping pembagian ijma’ kepada tiga tingkatan
tersebut, ada ulama yang membagi peringkat ijma’ itu dari segi penerimaan ulama kepada
ijma’ tersebut, yaitu:
Ijma’ ini dapat diterima semua pihak, karena kemungkinan be sar terjadinya, sebab
jumlah ulama waktu itu masih terbatas; Fagkungan tempat tinggalnya belum meluas ke
seluruh pelosok dunia; masalah yang disepakati pun belum begitu banyak; dan kebenaran
isinya cukup tinggi mengingat masa terjadinya dekat kepada Nabi.
Pengertian ijma’ yang berlaku secara umum adalah ijma’ dalam bentuk ini, karena
pembahasan mengenai ijma’ itu menyangkut penggunaan ra’yu. Karenanya, maka suara
(pendapat) yang di perhitungkan dalam ijma’ itu hanyalah orang yang mempunyai
kemampuan untuk ijtihad. Ketiga bentuk ijma’ tersebut merupakan puncak ijma’ yang tidak
seorang pun meragukannya.
Pada masa-masa awal Islam Ijma’ berproses mengalir secara alamiah, tidak ada
pola, proses atau prosedur yang baku. Menurut catatan sejarah, dimasa Sahabat tidak
semua fukaha diundang oleh khalifah atau hadir dalam membahas suatu masalah hukum.
Khalifah mengundang ulama yang terjangkau untuk dihubungi dan untuk memutuskan
suatu hukum, tidak pula khalifah harus menunggu ulama yang sedang safar. Tidak semua
fukaha ikut serta dalam proses ljma’ dimasa Sahabat.
Secara epistemologis dan filosofis teori Ijma’ bertitik tolak dari kristalisasi ajaran
dasar Islam tentang syura dan persatuan umat yang konsisten mengikuti jalan orang-orang
beriman (sabil al-mu’minin) serta mengakui infallibilitas konsensus para ulama karena
umat Islam tidak akan pernah menyepakati kesesatan.” Infallibilitas konsensus ulama ini
merupakan bentuk pemuliaan dan penghormatan Allah SWT. Kepada orang Islam menuju
elastisitas dan fleksibilitas hukum Islam. Melalui Ijma’, kualitas produk ijtihad personal
yang bisa salah dapat meningkat menjadi bersifat kolektif (jama’i) yang infallible. Teori
Ijma’ dirancang untuk merespons kebutuhan praktis dan mejajagi pendapat umat Islam.
Ijma’ merupakan produk dialektika alamiah antara para ulama dengan umat pada
masanya. Ijma’ merupakan wujud sikap kehati-hatian (ikhtiyā t) dan memperkokoh
pemahaman hukum Islam.
Substansi dan esensi dalam doktrin Ijma’ adalah diperolehnya kesepakatan kolektif-
kolegial para ulama dengan cara demokratis dan independen mengenai hukum Islam.
Memang para ulama klasik telah merumuskan syarat-syarat Ijma’, namun segala
persyaratan Ijma’ tersebut bermuara pada substansi dan esensi Ijma’, yakni diperolehnya
kesepakatan kolektif-kolegial secara demokratis dan independen.
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dasar hukum ijma’,sebagai sumber hukum yang ketiga setelah alquran dan sunnah.
Dalam pelaksanaan ijma’ harus terpenuhi rukun dan syaratnya,adapun rukun ijma’
yaitu:
a. Rukun Ijma’
1. Adanya kesepakatan
2. Mujtahid
b. Syarat-syarat Ijma’
1. Haruslah orang yang melakukan ijma’ itu dalam jumlah banyak, dan tidak dikatakan ijma
apabila hanya satu orang mujtahid, tidak dikatakan sebuah kesepakatan apabila dilakukan
hanya satu orang ulama.
2. Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan itu dengan tidak
memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
3. Mujtahid yang melakukan kesepakatan mestilah terdiri dari berbagai daerah Islam.
4. Kesepakatan itu haruslah dilahirkan oleh masing-masing dari meraka secara tegas
terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbutan, seperti mempraktikkannya
dalam peradilan.
5. Kesepakatan hendaklah dilakukan oleh mujtahid yang bersifat adil dan menjauhi hal-hal
yang bid’ah; karena nash-nash tentang ijma’ mensya ratkan hal tersebut.
6. Hendaklah dalam melakukan ijma’ mujtahid bersandar kepada sandaran hukum yang
disyariatkan baik dari nash ataupun qiyas.
Para ulama sepakat untuk menetapkan dipakainya ijma’ sebagai sumber hukum ketiga
setelah al-qur’an dan sunnah.Hal ini menunjukkan bahawa betapa pentingnya kedudukan
ijma’ sebagai hujjah atau dalil hukum. Dalil-dalil yang ada pada ijma’ wajib untuk di patuhi
oleh semua umat muslim jika tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
a. Ijma’ Sharih
b. Ijma’ sukuti.
c. Kesepakatan dalam prinsip.
Syukur, Sarmin. 1993. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya : USANA OFFSET PRINTING
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh (satu dan dua). Jakarta : Kencana