Anda di halaman 1dari 3

Selamat

Oleh: Eva Riyanty Lubis

            Halim pusing tujuh keliling. Bawaannya jadi pendiam dan


uring-uringan. Dan itu sudah terjadi selama dua hari ini. Mama
sampai bingung dikarenakan tingkahnya. Setiap mama tanya dia
kenapa, dia malah melongos pergi dari hadapan mama.
            Karena cemas, mama pun menyuruh papa dan Ricko, abang
Halim, untuk mencari tahu penyebab berubahnya sikap Halim. Sebab
sehari-harinya Halim tergolong anak yang ceria dan tidak pernah
betah di rumah. Apalagi kalau ada waktu luang. Dia pasti memilih
bermain bersama teman-temannya di luar. Main sepeda, kelereng, dan
sebagainya.
            Papa dan Ricko ternyata tidak berhasil membujuk Halim
untuk berbicara. Mama semakin cemas dibuatnya.
            “Nanti dia pasti ngomong, Ma.” Papa membesarkan hati
mama.
            “Mama nggak senang lihat Halim kaya gini, Pa,” tukas mama
sedih.
            “Mama percaya saja, nanti dia pasti cerita. Sekarang kita
biarkan dia sendiri dulu,” sahut papa.
*
            Di sekolah, sikap Halim pun tetap seperti itu. Hendra teman
sebangku Halim sebenarnya paham apa yang Halim pikirkan.
            “Nggak usah pusing, Lim. Kamu pasti bisa,” ucap Hendra
dengan mata berbinar.
            “Ish, ini ulah kalian semua. Gara-gara ini aku jadi pusing
tujuh keliling,” gerutu Halim kesal.
            “Haiyaa, masa gitu aja kamu nggak bisa hadapi? Kan kamu
ketua kelas. Ini udah jadi tugasmu juga,” ledek Hendra.
            “Harusnya kalian yang merasakan apa yang aku rasakan,”
rungut Halim.
            “Bismillah saja, kamu pasti bisa. Hayoo semangat, Halim!”
            Dan Halim hanya bisa geleng-geleng kepala.

1
*
            Malamnya, Halim berjalan ke ruang keluarga. Di dapatinya
mama dan papa tengah menonton televisi bersama.
            “Eh, Halim, duduk sini, Nak,” ucap Mama dengan suara
lembutnya.
            Halim menurut dan duduk tepat di samping Mama.
            “Ada apa, Sayang?” tanya Mama lagi.
            “Hmm…. Halim nggak tahu harus ngomong dari mana,”
            “Halim ada masalah apa sih, Sayang? Mama benar-benar
penasaran lho. Mama nggak suka lihat Halim uring-uringan gitu. Kan
Mama selalu bilang sama Halim, kalau ada masalah, cerita sama
Mama. Nanti kita coba cari solusi bersama-sama. Ya kan, Pa?” mama
memandang Papa. Papa pun menganggukkan kepala.
            “Halim disuruh teman-teman untuk ngucapin selamat hari
guru buat Ibu wali kelas.”
            “Wali kelas Halim Bu Zahrona, kan? Apa susahnya, Sayang?”
tanya Mama penuh tanda tanya.
            “Salahnya Halim lagi merasa bersalah sekaligus kesal sama
Ibu itu, Ma. Beberapa hari yang lalu Halim kena hukum gara-gara lupa
ngerjain peer,” jelas Halim dengan kening berkerut.
            Mama tersenyum. “Nak, kalau kamu nggak buat salah, Bu
Zahrona juga pasti nggak bakalan hukum kamu. Nah, pas ngucapin
selamat hari guru nanti, ungkapin deh rasa menyesalmu pada beliau.
Mama yakin Halim pasti dimaafin,”
            “Tapi Halim malu, Ma. Mama kan tahu kalau Halim ketua
kelas. Masa gara-gara lupa ngerjain peer aja Halim dihukum?”
            “Biar adil, Sayang. Kalau kamu nggak dihukum, bagaimana
pula dengan temanmu yang lain? Udah, pokoknya kamu nggak perlu
pusing. Minta maaf sama Bu Zahrona pas di hari Guru itu momen
yang tepat. Gimana, bisa kan?”
            Halim pun mengangguk pelan. Mama tersenyum memandangi
putra bungsunya tersebut.

2
*
            Halim berdiri di depan kelas. Ungkapan selamat hari Guru
mengalir lancar di bibirnya. Bu Zahrona dan teman-teman sampai
kagum dibuatnya.
            “Dan yang terakhir, Halim minta maaf pada Ibu karena Halim
belum bisa menjadi murid yang baik. Halim bahkan sempat benci
sama Ibu sebab Ibu ngasih hukuman ke Halim. Maafin Halim ya, Bu.
Halim salah dan Halim udah sadar. Halim sayang sama Ibu. Tanpa Ibu,
Halim mungkin bakalan jadi anak bodoh selamanya,” sahut Halim
jujur.
            Bu Zahrona tersenyum penuh haru mendengar pengakuan
Halim. Ketika Halim sudah duduk di kursinya, Bu Zahrona berkata,
“Ibu juga minta maaf pada kalian. Ibu sayang kalian. Dan Ibu pengen
kalian menjadi anak-anak cerdas yang nantinya bisa membanggakan
orang tua, bahkan Negara Indonesia tercinta ini. Dan Halim, terima
kasih pidato singkatnya yang penuh kejujuran.”
            Di kursinya, Halim tersenyum malu sekaligus senang.
Ternyata, semua tidak seburuk yang dia pikirkan.

Anda mungkin juga menyukai