Skor
No Tugas Tutorial
Maksimal
1 Investasi di Indonesia menghadapi masalah Struktural seperti 20
sentralisasi kekuasaan. Hal ini menyebabkan pembangunan hanya
dinikmati oleh sebagian bangsa saja. Tentukanlah penyebab terjadinya
kesenjangan antara pemerintah daerah dan pusat dalam meningkatkan
investasi di indonesia?
3. Privatisasi di Indonesia mulai dikaji secara serius pada pertengahan tahun 1980-an,
yaitu dengan gagasan untuk melakukan privatisasi pada BUMN yang kinerjanya
kurang baik. Ketika perekonomian dilanda Untuk memperdalam pemahaman Anda
mengenai materi di atas, krisis pada tahun 1997 maka gagasan tersebut mulai
dilaksanakan. Beberapa kondisi yang melatarbelakangi dilakukannya privatisasi
antara lain: 1) BUMN dianggap sebagai unit ekonomi yang boros dan kurang
efisien; 2) BUMN diprivatisasi dengan tujuan membantu kesulitan keuangan
negara; 3) BUMN dianggap potensial untuk menarik modal asing.
4. Dalam era reformasi saat ini memang sangat diharapkan pemberantasan korupsi
dengan pendekatan “top down” bisa dilakukan. Namun persoalannya sebagian dari
yang berada dipuncak kekuasaan pengganti mantan PresidenSoeharto juga
merupakan bagian dari rezim lama yang juga memberikan kontribusi pada
perkembangbiakan korupsi tersebut. Agaknya gerakan untuk memberantas korupsi
ini memang harus muncul dari suatu gerakan rakyat. Artinya lembaga lembaga
diluar lembaga formal, termasuk perorangan perlu bisa berperan lebih besar untuk
meluruskan kondisi yang tidak benar namun terus berkembang di negara kita ini.
Sejauh ini memang faktor kelembagaan di luar lembaga birokrasi tersebut masih
lemah, sementara pemerintah yang sangat intervensif sangat kokoh dan menutup
peluang pemberdayaan lembaga di luar pemerintah. Akibatnya kepedulian
masyarakat pun menjadi luntur dan bersikap masa bodoh atas segala penyimpangan
yang ada. Adanya lembaga lembaga di luar birokrasi yang kuat seperti orsospol,
pers, ormas, LSM, dan sebagainya akan membuka peluang lebih besar bagi
masyarakat untuk melakukan kontrol atas korupsi dalam birokrasi ini. Boeninger
(1991, h. 279-281) menyebutkan lembaga yang perlu diperkuat tersebut antara lain
lembaga peradilan yang independen, organisasi relawan swasta (private voluntary
organizations), dan lembaga pengawasan umum atau masyarakat (office of
controller-general). Adanya lembaga peradilan yang independen dan terwujudnya
ketertiban umum merupakan salah satu syarat penting pula untuk mendukung peran
pemerintah yang terbatas namun kokoh. Jika lembaga hukum lemah, tujuan tujuan
ekonomi akan dengan mudah dibelokkan untuk mendukung vested interest,
walaupun ini merugikan kepentingan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini
tentu sangat sulit dilakukan apabila terdapat lembaga hukum yang kuat dan
independen, sehingga setiap tindakan harus berdasarkan hukum (rule of law)
Adanya sistem hukum yang kuat dan independen akan memberikan pula peluang
munculnya organisasi relawan swasta (private voluntary organizations) dan
lembaga pengawasan umum atau masyarakat (office of controller-general).
Lembaga lembaga ini akan memperkuat kelembagaan pemerintah walaupun dengan
intervensi yang minimal dalam mendukung jalannya pembangunan ekonomi. Ini
menunjukkan bahwa upaya pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan sendirian,
melainkan juga secara simultan dibarengi dengan perkembangan bidang bidang
lainnya seperti bidang politik dan hukum. Sebagaimana disinggung di muka,
korupsi dalam berbagai bentuknya dialami baik oleh negara maju maupun negara
berkembang. Tidak ada satu negara pun didunia ini yang bebas dari korupsi sama
sekali. Namun demikian, di negara berkembang seperti halnya yang terjadi di
Indonesia, kasus ini memang lebih parah. Pertumbuhan ekonomi bisa jadi tetap
tinggi, namun ini dinikmati sebagian kecil lapisan atas, sementara bagian besar
lapisa bawah tertinggal dalam kemiskinan. Mereka yang menerima maupun yang
membayar sogokan dapat menikmati kekayaan nasional dan hanya menyisakan
bagian kecil untuk warga yang sangat miskin. Kasus kasus yang terkait dengan
korupsi dan sejenisnya di tanah air, terutama pada rezim Orde Baru, sangat
„telanjang”, transparan, dan sebenarnya bisa langsung dideteksi oleh kahalayak.
Namun demikian karena lemahnya hukum di Indonesia dan kontrol sosialnya, serta
kuatnya posisi birokrat dan “jaringan” yang melakukannya, mengakibatkan hanya
sebagian kecil dari kasus korupsi ini yang bisa diselesaikan. Sebagian bsar dari
kasus ini dibiarkan terus berlanjut, bahkan perbuatan yang demikian dianggap
sebagai suatu kelumrahan oleh sebagian masyarakat, karena ketidakberdayaan
untuk meluruskan perbuatan yang merugikan kepentingan masyarakat banyak
tersebut. Baru setelah presiden Soeharto tumbang, orang berani berbicara lebih
bebas dan mencoba menguak kasus kasus korupsi dan kolusi yang ada, terutama
terhadap kegatan-kegiatan bisnis yang terkait dengan keluarga istana dan (mantan)
petinggi birokrasi lainnya. Hal demikian mencerminkan bahwa ketidakterbukaan
untuk memerangi korupsi selama ini diakibatkan karena ketakutan berhadapan
dengan kekuasan yang sentralistik di puncak birokrasi. Namun karena sudah
meluas dan mengakarnya praktek korupsi (dan kolusi serta nepotisme) tersebut,
maka tidak mudah untuk sekaligus membersihkannya. Yang menjadi sasaran
pengusutan masalah korupsi saat ini seakan hanya difokuskan pada koruptor “kelas
teri”. Ini terjadi karena tidak mudah untuk mengusut seluruh kasus korupsi tanpa
menimbulkan kegoncangan dan akibat buruk pada stabilitas ekonomi dan politik
saat ini. Beberapa faktor yang mendorong dan memberi peluang terjadinya praktek
korupsi dalam birokrasi antara lain; kekuasaan mutlak birokrasi untuk
mengalokasikan sumberdaya atau pekerjaan pada pelaku ekonomi lainnya,
kekuasaan untuk melakukan perizinan, rendahnya gaji pegawai negeri, lemahnya
pengawasan dan aturan hukum yang ada, lemahnya penegakan hukum, dan
sebagainya. Oleh karena itu agenda reformasi dalam menghapus korupsi tidak
cukup hanya mengejar atau mengusut pelaku pelaku korupsi yang ada, melainkan
juga membenahi faktor faktor penyebab dan faktor yang memberi peluang
terjadinya korupsi itu sendiri. Memang tidak mudah untuk menghapus korupsi yang
meluas tersebut. Namun demikian Johnston (1998, h. 69-90) yang menilai kasus
korupsi paling serius adalah “political and bureaucratic corruption”,
mengemukakan bahwa pada periode jangka menengah ke jangka panjang adalah
mungkin untuk menurunkan korupsi ini dari tingkat korupsi yang tinggi ke tingkat
yang rendah. Hal ini melalui pemberian jaminan adanya hak atas kebutuhan dasar
ekonomi dan kebebasan sipil, peningkatan kompetisi politik dan ekonomi, dan
mendorong pertumbuhan masyarakat sipil yang kuat. Langkah demikian memang
akan memakan waktu. Namun bagi Indonesia yang kini memiliki momentum untuk
melakukan reformasi menyeluruh, hal tersebut bisa segera dilakukan. Perombakan
institusi dan perubahan aturan aturan yang selama ini mengekang dan menghambat
proses reformasi tersebut saatnya untuk dikerjakan. Ini memang akan menimbulkan
beberapa gejolak, namun demikian hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi
dalam proses reformasi sebagai suatu transition cost yang sulit dihindarkan.
Pembentukan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi awal yang baik
bagi upaya pemberantasan korupsi asalkan dilakukan secara serius dan konsisten.
Langkah-langkah yang sudah ditempuh untuk memeriksa dan mengadili koruptor-
koruptor kelas atas perlu terus digalakkan tanpa pandang bulu. KPK juga harus
berani memberantas korupsi yang sudah merambah di kalangan penegak hukum,
termasuk di Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian. Memang
pemberantasan korupsi akan efektif jika dilakukan dari level yang paling atas, tanpa
mengabaikan penanganan di level-level bawahnya. Komitmen dan konsistensi
Presiden memegang peranan yang sangat vital demi kelancaran upaya penegakan
hukum melalui pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya.
5. Ada tiga solusi alternatif yang dapat ditempuh untuk mengurangi beban utang luar
negeri yang saat ini sedang melilit Indonesia. Alternatif pertama adalah penundaan
pembayaran angsuran pokok utang (debt rescheduling). Kedua, pengalihan
kewajiban membayar angsuran pokok utang menjadi kewajiban melaksanakan
suatu program tertentu (debt swap), dan ketiga adalah pengurangan pokok utang
melalui suatu mekanisme yang dikenal sebagai Inisiatif untuk Negara-negara
Miskin Yang Terjebak Utang (HIPC Inisiative) (Baswir, 2001:67). Dari ketiga
alternatif solusi tersebut, pemerintah Indonesia baru memanfaatkan alternatif yang
pertama. Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998, Indonesia telah tiga kali
mengajukan penundaan pembayaran utang kepada forum para kreditor dalam Paris
Club. Alternatif kedua telah ditawarkan oleh Amerika dan Jerman namun belum
ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Alternatif ketiga belum dapat dijalankan
karena Indonesia tidak memenuhi persyaratan untuk itu. Alternatif ketiga dapat
dilakukan jika rasio utang luar negeri terhadap ekspor lebih besar dari 150 persen,
rasio utang terhadap penerimaan negara lebih besar dari 250 persen, rasio ekspor
terhadap Produk Domestik Bruto lebih kecil dari 30 persen, dan penerimaan negara
terhadap PDB lebih kecil dari 15 persen. Berbagai alternatif di atas adalah jalan
keluar yang konservatif karena dianggap tetap menguntungkan negara kreditur dan
menekan negara debitur. Di beberapa negara seperti Argentina dan Meksiko utang
luar negeri diselesaikan dengan cara-cara yang lebih revolusioner. Mereka tidak
meminta penjadwalan ulang tetapi pemotongan utang (haircut). Keberhasilan kedua
negara tersebut untuk melakukan pemotongan utang memang bukan tindakan tanpa
resiko, tetapi jika memperhatikan jumlah utang yang demikian besar bukan tidak
mungkin kita dapat mengambil resiko tersebut.