Anda di halaman 1dari 7

TUGAS TUTORIAL KE-2

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

Skor
No Tugas Tutorial
Maksimal
1 Investasi di Indonesia menghadapi masalah Struktural seperti 20
sentralisasi kekuasaan. Hal ini menyebabkan pembangunan hanya
dinikmati oleh sebagian bangsa saja. Tentukanlah penyebab terjadinya
kesenjangan antara pemerintah daerah dan pusat dalam meningkatkan
investasi di indonesia?

2 Jelaskan masalah-masalah yang menghambat kemajuan Koperasi di 20


Indonesia? jelaskan beserta solusi anda!

3 Jelaskan latar belakang pelaksanaan privatisasi di Indonesia? 20

4 Jelaskan Tujuan pembentukan komite pemberantasan korupsi? 20

5 Jelaskan solusi yang dapat ditempuh oleh pemerintah dalam upaya 20


mengurangi beban utang luar negeri?

* coret yang tidak sesuai


1. Jika dilihat penyebaran investasi di tanah air, angka yang ada menunjukkan suatu
ketimpangan yang tinggi, yang menggambarkan konsentrasi investasi pada daerah-
daerah tertentu. Hal in tidak bias dilepaskan dari adanya sentralisasi kebijakan pada
masa lalu. Mengubah konsentrasi investasi menjadi lebih terdiversifikasi secara
regional, memang
tidak bisa dalam waktu singkat. Ini terkait dengan daya tarik dari daerah tertentu
yang tercipta sejak lama, yang antara lainterjadi sebagai akibat kebijakan yang
sentralistik.
Adanya sentralisasi kebijakan dan kuatnya dominasi pusat atas daerah telah
menimbulkan ketergantungan yang tinggi dari daerah-daerah kepada Pusat. Dalam
bidang keuangan atau anggaran, ketergantungan ini antara lain dapat dilihat pada
anggaran pemerintah daerah yang komponen sumbangan dan bantuan pusatnya
sangat tinggi, melampaui Pendapatan Asli Daerah-nya (PAD). Berkembangnya
struktur dominasi pusat atas daerah ini, di samping melahirkan ketergantungan,
juga berakibat pada munculnya pola hubungan “eksploitatif”, di mana pusat
memegang hegemoni, memompakan sistem dan mekanisme pemerintahan serta
pengelolaan pembangunan sentralistik, sektoral, departemental, secara “pukul rata”
pada setiap daerah. Pendekatan seperti ini tidak saja mematikan prakarsa-prakarsa
daerah, tetapi juga memunculkan persoalan-persoalan ekonomi politik yang kian
kompleks yang berpotensi memicu disintegrasi. Otoritas pusat untuk
mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada memunculkan isu
ketidakseimbangan dan ketidakpuasan dalam alokasi perimbangan antardaerah,
serta melahirkan tuntutan agar perhatian lebih banyak dicurahkan pada daerah luar
Jawa, terlebih bagian Indonesia Timur.
Tuntutan-tuntutan demikian secara ekonomi bukanlah tanpa dasar. Ini mengingat
bahwa pembangunan selama ini banyak mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan
dengan ruang. Hal demikian terjadi karena ilmu ekonomi sendiri dengan berbagai
teorinya terlalu mengabaikan unsur “ruang” sehingga segala proses dan mekanisme
yang dipostulasikan seolah-olah di alam “tanpa ruang” atau spaceless (Azis, 1987,
h. 152). Alokasi dana pembangunan banyak terkonsentrasi pada daerah-daerah
yang berpenduduk padat dengan mengabaikan pembangunan di daerah yang
berpenduduk jarang. Dalam hal-hal tertentu, dilihat dari sudut optimalisasi produksi
dan keuntungan makro ekonominya, pola yang demikian mungkin dapat
dibenarkan. Namun polarisasi pembangunan seperti itu melahirkan berbagai
masalah yang berkaitan dengan pembangunan daerah (ruang) yang
masih tertinggal atau terbelakang tersebut. Alokasi dana yang lebih besar untuk
daerah-daerah tertentu, khususnya di Pulau Jawa, telah menyebabkan pesatnya
pembangunan berbagai sektor di daerah ini. Berbagai prasarana yang dibangun
telah memberikan daya tarik bagi para penanam modal, baik investor domestik
maupun asing, untuk menanamkan modalnya di daerah yang daya beli
penduduknya relatif tinggi

Perekonomian Indonesia dan prasarananya relatif lengkap. Investasi domestik


kumulatif (tidaktermasuk minyak, asuransi, dan perbankan) sejak 1967 sampai
dengan 31 Agustus 1998 mencapai Rp639.309,9 milyar, yang Rp368.224,8 milyar
(57,6%) di antaranya berada di Pulau Jawa. Sedangkan investasi asing dari total
nilai PMA sebesar US$ 217.041,8 juta, sebanyak US$ 140.228,7 juta (64,61%)
berada di Pulau Jawa (BPS, Indikator Ekonomi, Mei 1999, h. 53). Dari sudut
pandang investor hal ini memang relatif menguntungkan, karena dengan
menanamkan modal di Jawa mereka mendapatkan banyak
eksternalitas ekonomis. Namun demikian, keadaan ini berakibat pada semakin
terkonsentrasinya kegiatan ekonomi pada daerah yang banyak memperoleh alokasi
proyek dan bantuan pusat tersebut. Dilihat dari aspek pemerataan pembangunan
antardaerah, hal yang demikian tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Kondisi ketidakmerataan yang dirasakan sebagai ketidakadilan oleh
sebagianmasyarakat di daerah yang kaya sumber daya alam juga berpotensi
menimbulkan disintegrasi bangsa. Dalam jangka panjang hal ini tidak semata-mata
dilihat dari aspek pemerataan saja yang kurang menguntungkan, melainkan juga
dari sisi efisiensi. Pemerintah tidak bisa terus menerus
mengembangkan suatu daerah tertentu yang sudah relatif maju perekonomiannya,
kecuali dengan biaya ekonomi yang mahal. Dalam batas-batas tertentu, daya serap
daerah tersebut akan mengalami kejenuhan, investasi menjadi mahal, dan return on
investments menurun. Misalkan, terus menerus mengkonsentrasikan pembangunan
sektor industri di DKI Jakarta
dan Jawa Barat tidak akan menguntungkan lagi bagi pelaku ekonomi, dan tingkat
efisiensi relatif akan semakin menurun. Mahalnya harga tanah dan tingginya
tingkat upah serta kebutuhan hidup lainnya, menyebabkan biaya produksi yang
makin tinggi (high cost production), sehingga berakibat tidak kompetitifnya produk
yang dihasilkan. Kenyataan seperti ini memperkuat argumentasi akan pentingnya
pembangunan daerah-daerah di luar wilayah konsentrasi pembangunan selama ini,
lewat alokasi dana pusat yang besar ke daerah-daerah yang masih relatif tertinggal,
baik dilihat dari sudut pandang pemerataan pembangunan maupun sudut pandang
efisiensi. Situasi demikian hendak diubah dengan mulai dilaksanakannya otonomi
daerah sejak 2001. Sebagaimana diketahui, dengan dikeluarkannya UU No.
22/1999 dan UU No. 25/1999, otoritas daerah untuk mengurus daerahnya semakin
luas. Pemerintah Pusat telah menyerahkan sebagian kewenangannya
kepada daerah, termasuk juga dalam urusan investasi-investasi tertentu. Investasi
ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, atau masyarakat luas.
Investasi pemerintah dilakukan umumnya dimaksudkan untuk mendukung kegiatan
ekonomi masyarakat, di samping juga yang bias memperoleh pendapatan langsung
dari investasi tersebut. Investasi ini misalnya berupa pembangunan sarana dan
prasarana ekonomi, atau juga yang terkait dengan human investment guna
meningkatkan produktivitas sumber daya manusianya. Untuk mendukung
peningkatan penerimaan PAD pemerintah daerah juga bisa membentuk unit-unit
ekonomi yang berorientasi keuntungan melalui BUMD yang didirikan, atau
penyertaan modal pada unit-unit ekonomi swasta, khususnya yang ada di
daerahnya.
Bagi daerah, mengembangkan investasi menjadi penting karena kebutuhan dampak
langsung dan tak langsung bagi masyarakat daerah tersebut. Adanya investasi akan
membuka peluang kerja di daerah, yang selanjutnya menambah daya beli
masyarakat dan mendorong permintaan. Mata rantai seperti inilah yang akan
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, seharusnya unsur
pemerintahan di daerah berlomba
di samping juga bekerja sama untuk mengembangkan investasi ini, baik itu swasta
asing maupun domestik. Jadi, peluang untuk mengundang investor ini perlu
ditangkap oleh daerah. Dan ini memang bukan program yang singkat, melainkan
membutuhkan waktu lama untuk memetik hasilnya. Kebijakan investasi yang
digariskan oleh pemerintah hingga saat ini masih menafikan kehadiran investasi
yang ditujukan untuk ekonomi rakyat. Pemerintah belum menyusun peraturan yang
mendorong terjadinya investasi ekonomi rakyat. Hingga saat ini pelaku ekonomi
rakyat masih kesulitan mendapatkan bantuan modal dari bank dan pemerintah.
Kebijakan kemitraan yang didengung-dengungkan pemerintah sejak tahun 1993
terbukti belum membuat perubahan yang berarti. Berdasarkan hasil survey BPS
hanya 6% pelaku ekonomi rakyat yang mendapatkan Bapak Angkat.

2. Kegagalan koperasi menjadi sokoguru perekonomian Indonesia disebabkan oleh


berbagai masalah struktural. Pertama, deregulasi yang dilakukan oleh pemerintah
pada tahun 1983-1988 memberikan prioritas untuk sektor perbankan dan ekspor
impor. Akibat deregulasi tersebut sector perbankan memiliki kekuasaan yang
sangat besar hingga dapat menetapkan suku bunga sendiri. Sedangkan sektor
industri mendapatkan kemudahan memperoleh dana investasi, bahan baku, dan
bahan baku penolong dari luar negeri. Koperasi sendiri tidak dapat memanfaatkan
deregulasi tersebut, terutama koperasi yang bergerak di sektor pertanian. Koperasi
tidak mampu bersaing dengan sektor perbankan dan industri yang bergerak pesat
karena kemudahan dari pemerintah. Hal yang diperlukan koperasi adalah
debirokratisasi sehingga koperasi dapat bergerak lebih lincah dan mandiri tanpa
dibebani dengan peraturan dan pengaturan dari pemerintah seperti kemudahan yang
didapat sektor perbankan dan industri. Masalah kedua berkaitan dengan anggapan
bahwa KUD adalah instansi pemerintah yang berfungsi sebagai perpanjangan
tangan pemerintah. Sesuai dengan Inpres, KUD adalah “satu-satunya” organisasi
petani yang baik. Tujuannya agar KUD dapat digunakan sebagai alat penyedia
dukungan politik terhadap rezim Orde Baru karena itu KUD dibebani banyak
penugasan yang secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga KUD lebih sibuk
menjalankan penugasan tersebut daripada melayani anggotanya. Hal yang
dibutuhkan KUD adalah kelonggaran agar dapat berbisnis secara leluasa tanpa
dibebani “misi” tertentu dari pemerintah. Selain itu, sebaiknya pemerintah
mengembangkan koperasi-koperasi lain selain KUD karena pada dasarnya KUD
terlalu kecil untuk melayani anggota yang letaknya jauh dari kota kecamatan.
Masalah ketiga yang dihadapi koperasi di Indonesia adalah berkembangnya
konglomerasi. Deregulasi yang dibuat oleh pemerintah memungkinkan berdirinya
asosiasi-asosiasi pengusaha yang bertujuan “memperlancar” hubungan dengan
pemerintah. Asosiasi tersebut memang pada akhirnya menjadi “pahlawan” karena
berperan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun,
keberadaan asosiasi tersebut memberi dampak buruk terhadap koperasi.
Keberadaan asosiasi tersebut membuat pemerintah lebih memperhatikan
kepentingan pengusaha besar daripada koperasi. Padahal jika dilihat lebih dalam,
pertumbuhan ekonomi tidak akan banyak gunanya tanpa dibarengi dengan
pemerataan ekonomi. Konglomerasi sama sekali tidak dapat menjawab masalah
pemerataan ekonomi bangsa ini. Hal ini diperparah dengan penerapan agenda-
agenda liberalisasi ekonomi melalui privatisasi. Konglomerasipun makin kokoh
menjelma menjadi korporatokrasi. Selama ini meskipun tertuang secara nyata
dalam UUD 1945, bangsa Indonesia justru mengingkari koperasi. Pemerintah justru
memberi keistimewaan pada sektor swasta yang terbukti gagal menjadi soko guru
perekonomian. Sektor swasta terbukti rentan terhadap gejolak moneter, sehingga
justru membebani keuangan negara. Selain itu sektor swasta yang dianggap
menjadi “pahlawan” pertumbuhan ekonomi tidak otomatis dapat menjamin
pemerataan kesejahteraan. Kondisi seperti itu dapat menimbulkan gejolak sosial
yang berbahaya bagi keutuhan bangsa.

3. Privatisasi di Indonesia mulai dikaji secara serius pada pertengahan tahun 1980-an,
yaitu dengan gagasan untuk melakukan privatisasi pada BUMN yang kinerjanya
kurang baik. Ketika perekonomian dilanda Untuk memperdalam pemahaman Anda
mengenai materi di atas, krisis pada tahun 1997 maka gagasan tersebut mulai
dilaksanakan. Beberapa kondisi yang melatarbelakangi dilakukannya privatisasi
antara lain: 1) BUMN dianggap sebagai unit ekonomi yang boros dan kurang
efisien; 2) BUMN diprivatisasi dengan tujuan membantu kesulitan keuangan
negara; 3) BUMN dianggap potensial untuk menarik modal asing.

4. Dalam era reformasi saat ini memang sangat diharapkan pemberantasan korupsi
dengan pendekatan “top down” bisa dilakukan. Namun persoalannya sebagian dari
yang berada dipuncak kekuasaan pengganti mantan PresidenSoeharto juga
merupakan bagian dari rezim lama yang juga memberikan kontribusi pada
perkembangbiakan korupsi tersebut. Agaknya gerakan untuk memberantas korupsi
ini memang harus muncul dari suatu gerakan rakyat. Artinya lembaga lembaga
diluar lembaga formal, termasuk perorangan perlu bisa berperan lebih besar untuk
meluruskan kondisi yang tidak benar namun terus berkembang di negara kita ini.
Sejauh ini memang faktor kelembagaan di luar lembaga birokrasi tersebut masih
lemah, sementara pemerintah yang sangat intervensif sangat kokoh dan menutup
peluang pemberdayaan lembaga di luar pemerintah. Akibatnya kepedulian
masyarakat pun menjadi luntur dan bersikap masa bodoh atas segala penyimpangan
yang ada. Adanya lembaga lembaga di luar birokrasi yang kuat seperti orsospol,
pers, ormas, LSM, dan sebagainya akan membuka peluang lebih besar bagi
masyarakat untuk melakukan kontrol atas korupsi dalam birokrasi ini. Boeninger
(1991, h. 279-281) menyebutkan lembaga yang perlu diperkuat tersebut antara lain
lembaga peradilan yang independen, organisasi relawan swasta (private voluntary
organizations), dan lembaga pengawasan umum atau masyarakat (office of
controller-general). Adanya lembaga peradilan yang independen dan terwujudnya
ketertiban umum merupakan salah satu syarat penting pula untuk mendukung peran
pemerintah yang terbatas namun kokoh. Jika lembaga hukum lemah, tujuan tujuan
ekonomi akan dengan mudah dibelokkan untuk mendukung vested interest,
walaupun ini merugikan kepentingan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini
tentu sangat sulit dilakukan apabila terdapat lembaga hukum yang kuat dan
independen, sehingga setiap tindakan harus berdasarkan hukum (rule of law)
Adanya sistem hukum yang kuat dan independen akan memberikan pula peluang
munculnya organisasi relawan swasta (private voluntary organizations) dan
lembaga pengawasan umum atau masyarakat (office of controller-general).
Lembaga lembaga ini akan memperkuat kelembagaan pemerintah walaupun dengan
intervensi yang minimal dalam mendukung jalannya pembangunan ekonomi. Ini
menunjukkan bahwa upaya pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan sendirian,
melainkan juga secara simultan dibarengi dengan perkembangan bidang bidang
lainnya seperti bidang politik dan hukum. Sebagaimana disinggung di muka,
korupsi dalam berbagai bentuknya dialami baik oleh negara maju maupun negara
berkembang. Tidak ada satu negara pun didunia ini yang bebas dari korupsi sama
sekali. Namun demikian, di negara berkembang seperti halnya yang terjadi di
Indonesia, kasus ini memang lebih parah. Pertumbuhan ekonomi bisa jadi tetap
tinggi, namun ini dinikmati sebagian kecil lapisan atas, sementara bagian besar
lapisa bawah tertinggal dalam kemiskinan. Mereka yang menerima maupun yang
membayar sogokan dapat menikmati kekayaan nasional dan hanya menyisakan
bagian kecil untuk warga yang sangat miskin. Kasus kasus yang terkait dengan
korupsi dan sejenisnya di tanah air, terutama pada rezim Orde Baru, sangat
„telanjang”, transparan, dan sebenarnya bisa langsung dideteksi oleh kahalayak.
Namun demikian karena lemahnya hukum di Indonesia dan kontrol sosialnya, serta
kuatnya posisi birokrat dan “jaringan” yang melakukannya, mengakibatkan hanya
sebagian kecil dari kasus korupsi ini yang bisa diselesaikan. Sebagian bsar dari
kasus ini dibiarkan terus berlanjut, bahkan perbuatan yang demikian dianggap
sebagai suatu kelumrahan oleh sebagian masyarakat, karena ketidakberdayaan
untuk meluruskan perbuatan yang merugikan kepentingan masyarakat banyak
tersebut. Baru setelah presiden Soeharto tumbang, orang berani berbicara lebih
bebas dan mencoba menguak kasus kasus korupsi dan kolusi yang ada, terutama
terhadap kegatan-kegiatan bisnis yang terkait dengan keluarga istana dan (mantan)
petinggi birokrasi lainnya. Hal demikian mencerminkan bahwa ketidakterbukaan
untuk memerangi korupsi selama ini diakibatkan karena ketakutan berhadapan
dengan kekuasan yang sentralistik di puncak birokrasi. Namun karena sudah
meluas dan mengakarnya praktek korupsi (dan kolusi serta nepotisme) tersebut,
maka tidak mudah untuk sekaligus membersihkannya. Yang menjadi sasaran
pengusutan masalah korupsi saat ini seakan hanya difokuskan pada koruptor “kelas
teri”. Ini terjadi karena tidak mudah untuk mengusut seluruh kasus korupsi tanpa
menimbulkan kegoncangan dan akibat buruk pada stabilitas ekonomi dan politik
saat ini. Beberapa faktor yang mendorong dan memberi peluang terjadinya praktek
korupsi dalam birokrasi antara lain; kekuasaan mutlak birokrasi untuk
mengalokasikan sumberdaya atau pekerjaan pada pelaku ekonomi lainnya,
kekuasaan untuk melakukan perizinan, rendahnya gaji pegawai negeri, lemahnya
pengawasan dan aturan hukum yang ada, lemahnya penegakan hukum, dan
sebagainya. Oleh karena itu agenda reformasi dalam menghapus korupsi tidak
cukup hanya mengejar atau mengusut pelaku pelaku korupsi yang ada, melainkan
juga membenahi faktor faktor penyebab dan faktor yang memberi peluang
terjadinya korupsi itu sendiri. Memang tidak mudah untuk menghapus korupsi yang
meluas tersebut. Namun demikian Johnston (1998, h. 69-90) yang menilai kasus
korupsi paling serius adalah “political and bureaucratic corruption”,
mengemukakan bahwa pada periode jangka menengah ke jangka panjang adalah
mungkin untuk menurunkan korupsi ini dari tingkat korupsi yang tinggi ke tingkat
yang rendah. Hal ini melalui pemberian jaminan adanya hak atas kebutuhan dasar
ekonomi dan kebebasan sipil, peningkatan kompetisi politik dan ekonomi, dan
mendorong pertumbuhan masyarakat sipil yang kuat. Langkah demikian memang
akan memakan waktu. Namun bagi Indonesia yang kini memiliki momentum untuk
melakukan reformasi menyeluruh, hal tersebut bisa segera dilakukan. Perombakan
institusi dan perubahan aturan aturan yang selama ini mengekang dan menghambat
proses reformasi tersebut saatnya untuk dikerjakan. Ini memang akan menimbulkan
beberapa gejolak, namun demikian hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi
dalam proses reformasi sebagai suatu transition cost yang sulit dihindarkan.
Pembentukan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi awal yang baik
bagi upaya pemberantasan korupsi asalkan dilakukan secara serius dan konsisten.
Langkah-langkah yang sudah ditempuh untuk memeriksa dan mengadili koruptor-
koruptor kelas atas perlu terus digalakkan tanpa pandang bulu. KPK juga harus
berani memberantas korupsi yang sudah merambah di kalangan penegak hukum,
termasuk di Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian. Memang
pemberantasan korupsi akan efektif jika dilakukan dari level yang paling atas, tanpa
mengabaikan penanganan di level-level bawahnya. Komitmen dan konsistensi
Presiden memegang peranan yang sangat vital demi kelancaran upaya penegakan
hukum melalui pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya.

5. Ada tiga solusi alternatif yang dapat ditempuh untuk mengurangi beban utang luar
negeri yang saat ini sedang melilit Indonesia. Alternatif pertama adalah penundaan
pembayaran angsuran pokok utang (debt rescheduling). Kedua, pengalihan
kewajiban membayar angsuran pokok utang menjadi kewajiban melaksanakan
suatu program tertentu (debt swap), dan ketiga adalah pengurangan pokok utang
melalui suatu mekanisme yang dikenal sebagai Inisiatif untuk Negara-negara
Miskin Yang Terjebak Utang (HIPC Inisiative) (Baswir, 2001:67). Dari ketiga
alternatif solusi tersebut, pemerintah Indonesia baru memanfaatkan alternatif yang
pertama. Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998, Indonesia telah tiga kali
mengajukan penundaan pembayaran utang kepada forum para kreditor dalam Paris
Club. Alternatif kedua telah ditawarkan oleh Amerika dan Jerman namun belum
ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Alternatif ketiga belum dapat dijalankan
karena Indonesia tidak memenuhi persyaratan untuk itu. Alternatif ketiga dapat
dilakukan jika rasio utang luar negeri terhadap ekspor lebih besar dari 150 persen,
rasio utang terhadap penerimaan negara lebih besar dari 250 persen, rasio ekspor
terhadap Produk Domestik Bruto lebih kecil dari 30 persen, dan penerimaan negara
terhadap PDB lebih kecil dari 15 persen. Berbagai alternatif di atas adalah jalan
keluar yang konservatif karena dianggap tetap menguntungkan negara kreditur dan
menekan negara debitur. Di beberapa negara seperti Argentina dan Meksiko utang
luar negeri diselesaikan dengan cara-cara yang lebih revolusioner. Mereka tidak
meminta penjadwalan ulang tetapi pemotongan utang (haircut). Keberhasilan kedua
negara tersebut untuk melakukan pemotongan utang memang bukan tindakan tanpa
resiko, tetapi jika memperhatikan jumlah utang yang demikian besar bukan tidak
mungkin kita dapat mengambil resiko tersebut.

Sumber : buku materi pokok ESPA4314 modul 4-6

Anda mungkin juga menyukai