Anda di halaman 1dari 4

Resesi Global dan Pilihan Kebijakan

Dampak resesi global terhadap Indonesia tak akan seburuk dampaknya pada Singapura, Korea Selatan,
Taiwan, atau negara yang berorientasi ekspor. Kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada
ekonomi global.

Oleh MUHAMAD CHATIB BASRI


12 Oktober 2022

Ini mungkin sebuah risalah tentang situasi serba salah. Serba salah, karena kita dipaksa memilih di
antara yang pahit (choose the lesser of two evils). Kita berhadapan dengan dunia yang waswas. Badai
akan datang.

Mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) dan Guru Besar di Harvard Kennedy School, Larry
Summers, dengan murung menyebut, tingkat risiko di pasar global saat ini mirip kondisi tahun 2007,
menjelang resesi hebat. Ia mengingatkan, ”Ini bukan waktunya ’barisan pemadam kebakaran’
(firefighters) bisa berlibur.”

Summers boleh jadi terlalu suram, tapi ia mungkin benar. Dan memang ada alasan untuk itu. Saya
pernah menulis di harian ini awal Agustus lalu (5/8/2022), soal kemungkinan resesi global dan
dampaknya bagi Indonesia. Terus terang, saya agak khawatir analisis saya benar dan terjadi lebih
cepat. Tengok saja, inflasi produsen untuk produk industri di Jerman sudah mencapai 46 persen pada
Agustus lalu, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Di tingkat konsumen, inflasi di Jerman sudah mencapai 10,9 persen, tertinggi dalam 70 tahun terakhir.
Jika musim dingin tahun ini buruk, konsumsi gas akan meningkat jauh lebih cepat lagi. Bisa diduga ini
akan membuat harga energi meningkat dan membawa ekonomi Jerman pada resesi. Kita tahu,
Jerman adalah motor pertumbuhan dari Uni Eropa (UE). Jika Jerman resesi, bukan tak mungkin Eropa
terseret.

Selain itu, untuk meredam inflasi, bank sentral di Eropa dan AS menaikkan bunga. Kenaikan bunga
akan memukul investasi, juga konsumsi. Pertumbuhan ekonomi akan mengalami kontraksi, dan
membawa AS dan Eropa ke dalam resesi ekonomi. Kontraksi ekonomi di AS dan Eropa akan
menurunkan permintaan ekspor global, termasuk China. Bisa diduga, pertumbuhan ekonomi China
akan melambat. Implikasinya, ekspor ASEAN ke China, termasuk dari Indonesia, akan menurun.

Dampak terhadap Indonesia

Situasi ini akan diperburuk lagi dengan menurunnya harga komoditas, yang selama
ini ”menyelamatkan” ekonomi Indonesia. Dugaan saya, sampai dengan akhir tahun, ekspor Indonesia
masih akan relatif kuat. Perlambatan akan mulai terasa tahun depan. Bagaimana dampak dari resesi
global ini pada Indonesia? Apa yang bisa dilakukan?

Mungkin ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, dari jalur perdagangan, resesi global,
khususnya perlambatan ekonomi China, akan menurunkan ekspor Indonesia. Namun, di sisi lain, tensi
geopolitik akibat Perang Rusia-Ukraina akan membuat harga batubara relatif tinggi. Alasannya,
seperti saya sebut di atas, negara Eropa seperti Jerman memiliki ketergantungan energi yang tinggi
pada Rusia.

Jika gas tak tersedia, mereka harus mengalihkan sumber energinya ke batubara. Perkiraan saya, harga
batubara, walau mulai menurun, masih akan relatif tinggi. Ini akan menolong kita. Seberapa besar
ekspor kita akan terpukul? Tergantung dari net effect (efek bersih) penurunan ekspor akibat resesi
global dengan kenaikan harga batubara akibat perang Rusia.

Perkiraan saya, dampak resesi global terhadap Indonesia tak akan seburuk dampaknya pada
Singapura, Korea Selatan, Taiwan, atau negara yang berorientasi ekspor. Mengapa? Porsi ekspor
Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) relatif kecil dibandingkan Singapura, Korea Selatan,
atau negara-negara lain yang berorientasi ekspor.

Kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada ekonomi global, sesuatu yang sebetulnya tak
kita inginkan. Tentu kita harus adil, integrasi yang terbatas pada ekonomi global membuat kita juga
nantinya akan pulih lebih lambat ketika ekonomi global pulih.

Kedua, dari jalur keuangan. Ekonom Jeffrey Frankel dari Harvard Kennedy School memperkirakan
dollar AS masih akan terus menguat. Ada beberapa alasan untuk ini. Pertumbuhan ekonomi di AS,
meski sudah melambat—dan secara teknis memasuki resesi—tetap lebih baik dibandingkan negara-
negara Eropa.

Dengan pertumbuhan ekonomi AS yang relatif lebih baik dibandingkan Eropa dan banyak negara lain,
dollar AS akan menguat. Selain itu, terms of trade (nilai tukar perdagangan) AS juga menguat akibat
kenaikan harga energi dan komoditas. Sebagai eksportir neto produk komoditas—dan sekarang juga
energi—AS diuntungkan. Terms of trade AS yang menguat—artinya permintaan terhadap ekspor AS
lebih kuat dibandingkan permintaan impor AS—akan membuat dollar AS juga menguat.

Selain itu, penguatan nilai dollar AS juga didukung oleh dampak kenaikan bunga di AS yang lebih cepat
dan lebih tinggi dibandingkan negara lain. Dengan gambaran seperti itu, saya tak akan terlalu terkejut
jika mata uang sejumlah negara, termasuk rupiah, akan melemah terhadap dollar AS. Gejala ini sudah
terlihat beberapa minggu terakhir.

Dalam kondisi seperti ini, pilihan kebijakan Bank Indonesia tak banyak: menaikkan bunga untuk
mengendalikan inflasi serta menjaga kestabilan rupiah dan melakukan intervensi di pasar valuta untuk
mencegah volatilitas rupiah agar tidak terlalu tajam serta makroprudensial. Namun, kita sadar,
cadangan devisa tak bisa dihabiskan untuk mempertahankan tingkat nilai tukar. Oleh karena itu,
rupiah tentu akan mengalami pelemahan. Yang harus dijaga adalah agar fluktuasinya tak terlalu tajam.
Saya kerap mengatakan, apabila ekonom mulai memprediksikan nilai tukar, itu tandanya ia memiliki
rasa humor yang baik, karena toh akan salah.

Situasi memang berat, tetapi saya menduga bahwa dampak dari taper tantrum 2.0 kali ini tak akan
seberat 2013. Ada beberapa alasan untuk ini. Pertama, sudah terjadi arus modal keluar saat awal
pandemi April 2020.

Kombinasi dari keluarnya investor portofolio asing dan peningkatan peran domestik dalam pasar
obligasi Indonesia, melalui BI dan perbankan, membuat porsi dari kepemilikan asing dalam obligasi
Pemerintah Indonesia menurun dari 32 persen (April 2020) menjadi 14,6 persen (akhir September
2022).

Ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal yang relatif lebih rendah saat ini membuat Indonesia
relatif lebih stabil dibandingkan tahun 2013. Selain itu, neraca transaksi berjalan juga mengalami
surplus. Surplus ini terjadi karena dua hal: pandemi Covid-19 telah mengakibatkan meningkatnya
rasio tabungan terhadap PDB karena menurunnya aktivitas konsumsi akibat pembatasan mobilitas.
Kenaikan tabungan ini membuat transaksi berjalan membaik. Ini terjadi di banyak negara emerging
markets.

Penjelasan lain untuk kasus Indonesia adalah kenaikan harga komoditas dan energi akibat perang
Rusia. Namun, harus diingat, ketika aktivitas ekonomi kembali normal, rasio tabungan terhadap PDB
akan mulai menurun, yang akan meningkatkan defisit dalam transaksi berjalan. Selain itu, resesi
global, seperti saya bahas di atas, akan menurunkan harga komoditas dan energi (di luar batubara)
sehingga surplus neraca perdagangan juga akan menurun.

Hal ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap nilai tukar. Jika rupiah melemah, perlu diperhatikan
risiko efek neraca (balance sheet effects). Calvo dan Reinhart (2002) menunjukkan bahwa salah satu
kekhawatiran dari pelemahan nilai tukar adalah efek neraca. Apa maksudnya? Pelemahan rupiah akan
membuat beban utang dalam mata uang dollar AS akan meningkat. Kenaikan beban utang
perusahaan—karena pelemahan rupiah—akan memaksa perusahaan mengurangi porsi investasinya.

Selain itu, ada risiko ketaksesuaian mata uang (currency mismatch) jika sebagian besar investasi asing
masuk ke sektor dalam negeri, bukan sektor yang berorientasi ekspor. Mudahnya begini: apabila
investasi asing masuk ke sektor yang berorientasi pasar domestik, penerimaannya dalam mata uang
rupiah, sedangkan repatriasi keuntungannya dalam dollar AS. Bisa dibayangkan, jika investor
menginginkan repatriasi yang sama dalam nilai dollar AS, beban rupiahnya menjadi meningkat akibat
pelemahan rupiah.

Selain itu, pelemahan rupiah akan membuat biaya modal (capital expenditure) menjadi lebih mahal,
padahal neracanya tertekan. Akibatnya, perusahaan mengalami kontraksi. Perusahaan mungkin
menunda investasinya. Mereka memilih untuk menunggu investasi yang lebih baik ke depan.
Implikasinya, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Apakah kita akan mengalami resesi? Menurut
saya tidak. Namun, pertumbuhan ekonomi akan melambat.

Ketiga, kita tahu, pandemi Covid-19 membuat aktivitas ekonomi terganggu. Risiko dari kredit
bermasalah (non performing loan/NPL) meningkat. Namun, karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
memberikan ruang bagi perbankan untuk melakukan relaksasi restrukturisasi kredit, NPL terlihat
rendah.

Meski demikian, loan at risk (LaR, kredit dengan kolektibilitas dalam perhatian khusus) masih relatif
tinggi. Jika relaksasi ini berakhir, ada risiko NPL akan meningkat. Selain itu, bunga tinggi juga akan
meningkatkan risiko bagi perusahaan yang memiliki eksposur utang yang tinggi. Kombinasi ini semua
dapat membuat kemampuan keuangan perusahaan terganggu, termasuk perusahaan BUMN. Jika
BUMN terganggu, risiko contingent liabilities (beban utang implisit) yang ujungnya dapat berdampak
kepada beban pemerintah.

Tantangan fiskal dan moneter

Keempat, apa yang bisa dilakukan? Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan, seperti saya sebut
di atas, mungkin akan melambat. Surplus transaksi berjalan juga akan menurun. Saya jadi teringat
satu konsep dalam makroekonomi yang dikenal dengan nama Diagram Swan dan Diagram Dornbusch.

Kedua diagram ini merujuk kepada Rudiger Dornbusch dari Massachusetts Institute of Technology dan
Trevor Swan dari Australian National University. Kedua ekonom itu menunjukkan bahwa untuk
mengatasi ketidakseimbangan internal (dalam kasus yang kita bahas pertumbuhan ekonomi yang
melambat) dibutuhkan ekspansi dalam permintaan, misalnya ekspansi fiskal.

Namun, ekspansi fiskal ini akan mengganggu keseimbangan eksternal (meningkatnya defisit transaksi
berjalan). Untuk mengatasi ketidakseimbangan eksternal, pengetatan kebijakan moneter dengan
menaikkan bunga perlu dilakukan. Dengan ini, keseimbangan internal dan eksternal akan tercapai.

Masalahnya, kenyataan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, tak semudah preskripsi
Dornbusch dan Swan. Ekspansi fiskal sulit dilakukan karena pada tahun 2023, defisit fiskal akan dijaga
di bawah 3 persen.

Selain itu, penurunan harga komoditas dan energi (di luar batubara) akan membuat penerimaan
negara tahun 2023 tak akan setinggi tahun 2022. Benar bahwa penurunan harga minyak akan
membuat beban subsidi sedikit menurun, tetapi jangan lupa, beban subsidi dan kompensasi BBM
masih relatif besar, begitu juga beban bunga cicilan utang, apabila rupiah melemah dan bunga naik.
Kombinasi ini akan membuat fiskal menjadi kontraktif pada 2023.

Di sisi lain, tekanan inflasi yang terjadi dan kenaikan bunga The Fed akan memaksa BI untuk
menaikkan bunga. Bisa dibayangkan dampak kontraksi yang akan terjadi. Itu sebabnya, saya
menyebut tulisan ini sebagai risalah tentang situasi yang serba salah.
Dalam situasi yang serba salah ini, pemerintah dan BI harus menerapkan bauran kebijakan (policy
mix), di mana pengetatan moneter dilakukan, tetapi tidak berlebihan, pelemahan rupiah terjadi,
tetapi dijaga agar tak terlalu tajam fluktuasinya.

Dari sisi fiskal, dengan defisit yang harus di bawah 3 persen pada 2023, alokasi belanja harus semakin
tajam. Program pelindungan sosial menjadi prioritas, selain itu belanja harus diarahkan kepada sektor
yang memiliki dampak pengganda (multiplier) yang tinggi. Pemerintah harus memberikan prioritas
pada ”mana yang harus” dan bukan ”mana yang ingin”. Kita memang berhadapan dengan dunia yang
cemas, situasi serba salah. Ironisnya, situasi memang boleh serba salah, tetapi kebijakan tak boleh
salah.

(Muhamad Chatib Basri Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai