Anda di halaman 1dari 8

Kasih yang Melampaui Segala Aturan

Khotbah Minggu 25 Agustus 2019

Minggu Biasa X
Stola  Hijau
 
Bacaan 1 :  Yesaya 58 : 9b – 14
Bacaan 2  :  Ibrani 12 : 18 – 29
Bacaan 3   :  Lukas 13 : 10 – 17
Tema Liturgis :  Membangun Diri Dalam Kasih Menuju Kemandirian dan
Menjadi Berkat
Tema Khotbah :  Kasih yang Melampaui Segala Aturan
 
KETERANGAN BACAAN :
(Tidak perlu dibaca di mimbar, cukup dibaca saat mempersiapkan khotbah)

Yesaya 58 : 9b – 14
Yesaya 56-66 (Trito Yesaya) dialamatkan kepada komunitas Israel pasca
pembuangan yang sedang berjerih payah membangun kehidupan mereka pada
tahun 530an SM di Yerusalem, yang telah mereka tinggalkan sekian lama.
Pembangunan Bait Allah dan kota terkendala karena komunitas Israel yang baru
pulang tersebut ingin merasakan kesenangan setelah lelah menderita di Babel.
Sayangnya kesenangan itu dilakukan dengan abai pada komunitas di luar
kelompok mereka. Komunitas tersebut menjadi sedemikian eksklusif (tergambar
dalam Kitab Ezra – Nehemia), hingga menyisihkan orang-orang di luar komunitas
mereka. Dan Trito Yesaya mengecam tindakan tersebut, membawa nuansa yang
lebih inklusif (seperti juga Rut): melakukan kehendak Allah tidak menjauhkan
mereka dari yang lain, tetapi dilakukan dengan merangkul yang lain.
Yesaya 58:4 menunjukkan bahwa komunitas tersebut tetap melakukan ibadah
mereka, dalam bentuk puasa. Puasa tersebut, toh, dilakukan dengan saling
berbantah, berkelahi, dan hidup sewenang-wenang. Ayat 9b-14 berbicara
mengenai puasa (dalam konteks yang lebih luas Ibadah) yang dikehendaki
TUHAN adalah dengan tidak menindas yang lain (mereka kenyang dengan
penindasan, tetapi mereka juga menindas), memberikan makan kepada yang lapar
(puasa dilakukan oleh orang yang berkecukupan makan, tidak oleh orang yang
setiap hari kelaparan), melakukan keadilan. Pada saat yang sama juga
menghormati Sabat dengan mengkhususkan hari itu sebagai hari TUHAN,

1
memberikan perhentian dengan beristirahat dari kerja dan beracara untuk urusan
mereka sendiri, mengarahkan hari itu hanya untuk TUHAN. Itulah puasa yang
sesungguhnya. Demikianlah seharusnya mereka membangun kota : tidak di atas
penindasan tetapi di atas penghargaan atas TUHAN dan sesama, khususnya yang
lain dan yang menderita.

Ibrani 12 : 18 – 29
Ibrani 12 adalah tour de force (puncak, pencapaian tertinggi, masterpiece) teologi
penulis surat Ibrani. Setelah segala pengajaran iman dan sejarah dari pasal-pasal
sebelumnya, para pendengar/ pembaca diajak untuk sampai pada kesimpulan
perjalanan iman mereka bersama Tuhan. Mereka diingatkan untuk tidak seperti
Esau (ay. 16-17) yang menerima anugerah (hak sulung) tetapi membuangnya,
menukarnya begitu saja dengan makanan. Selapar apa pun, makanan tidak akan
menggantikan Tuhan.
Sebagai orang Israel, mereka diingatkan pada kisah Keluaran, kisah padang
gurun: pertama kali mereka mengenal TUHAN dan perintah-perintahNya,
pertama kali mereka dihimpun menjadi komunitas kepunyaan TUHAN. Dalam
Ibrani 12:18-29 terdapat dua hal yang disejajarkan: perjalanan mereka dari Sinau
(Gunung TUHAN di padang gurun) menuju Sion (sang tanah terjanji), dengan
perjalanan hidup mereka sebagai pengikut Yesus. Para Ibrani pengikut Yesus
diingatkan betapa sakralnya dua sejarah tersebut, anugerah yang jangan
disepelekan, ditukarkan dengan hal remeh-temeh belaka. Menghadapi Tuhan
adalah berhadapan dengan anugerah yang melampaui segalanya, maka sikap yang
tepat adalah hormat (Yunani: eulabeia – penuh rasa hormat hingga melahirkan
kepatuhan, dalam bahasa Jawa: sembah bekti) dan takut (Yunani: deos – bisa
berarti kengerian, tapi juga keterpesonaan, kekaguman).

Lukas 13 : 10 – 17
Lukas 13 adalah tentang hubungan penderitaan dengan dosa. Namun, berbeda
dengan pengajaran yang biasanya: dosa membawa penderitaan, maka jika
dibalik : orang menderita disebabkan dosanya, Yesus menolak hal ini sama sekali.
Hal tersebut nampak dalam pengajarannya tentang orang Galilea yang darah
mereka dicampur Pilatus dengan darah korban (ay. 1-5) dan pohon Ara tak
berbuah yang dipelihara (ay. 6-9). Dua kisah tersebut mengantar pada kisah
perempuan dirasuk roh 18 tahun hingga bungkuk, tak dapat berdiri tegak.
Menurut pengajaran yang biasa diajarkan di Yahudi, penderitaan yang dialami
oleh perempuan itu dikarenakan oleh dosanya. Tetapi Yesus justru menampik hal
tersebut dengan menyembuhkan perempuan tersebut: daripada fokus pada dosa,

2
fokuslah pada anugerah. Anugerah adalah hal yang lebih penting daripada dosa.
Tapi para musuh Yesus tak berterima dengan hal itu dan menuduhnya bekerja
pada hari Sabat, sebuah larangan keras bagi orang Yahudi. Yesus membalas
mereka dengan kebiasaan mereka melepaskan lembu dan keledai pada hari Sabat
untuk dibawa ke tempat minum, Yesus pun melepaskan perempuan itu, tak
berbeda dari mereka. Lebih jauh lagi: Yesus tidak melakukan itu untuk
keuntungan dirinya sendiri, tapi supaya anugerah Tuhan dirasakan oleh mereka
yang menderita.

Benang Merah Tiga Bacaan


Menjadi milik Tuhan adalah anugerah yang lebih berharga bahkan daripada
tradisi dan hukum agama apa pun. Lebih berharga daripada harta apa pun. Jangan
disia-siakan. Bersyukur atas anugerah itu dilakukan dengan melakukan yang
Tuhan kehendaki : setia kepada Tuhan dan melakukan kasih dan keadilan bagi
sesama ciptaan.
 
RANCANGAN KHOTBAH:  BAHASA INDONESIA

Pendahuluan
Sebuah kisah yang malang. Seorang anak perempuan, warga gereja kita, hamil di
luar perkawinan. Sikap pertama yang sering muncul: anak itu harus pertobatan!
Namun setelah pernyataan itu, banyak orang yang masih ngrasani anak itu habis-
habisan, “Lah wong biasanya memang sudah dibonceng ke mana-mana, ya pantas
saja kalau hasilnya begitu!” “Padahal bapak ibunya baik-baik, kok anaknya
seperti itu!” Begitu pertobatan dilakukan, banyak yang tersentuh dan menangis.
Namun setelah pertobatan ternyata image bahwa anak perempuan itu hamil
sebelum kawin ternyata tidak hilang, diingat terus dengan was-was. Lalu apa
artinya pertobatan?
Maka bisa dimengerti kalau pertobatan di gereja kadang jadi menakutkan, karena
bagi sebagian orang, pertobatan bukan tentang kasih yang menyelamatkan anak
perempuan itu dan bayinya, tapi pertobatan dilakukan sebagai sangsi sosial atau
justru sekadar karena aturan. “Yang benar begitu.”
Demikianlah, pamerdi (penggembalaan khusus) kemudian – oleh sebagian orang
– lebih banyak dimaknai pengadilan ketimbang pemberlakuan kasih.
Menerima pamerdi diartikan masuk kotak kaca yang siap dipandang rendah oleh
saudara di kanan kiri.

Isi

3
Mengurung Tuhan dalam kotak. Tanpa sadar hal tersebut sering kita lakukan. Kita
sekadar bilang, “Yang benar begitu. Orang Kristen harusnya begitu.” Kita
melakukan suatu aturan atau tradisi agama, tetapi kadang lupa mengapa aturan
dan tradisi tersebut dibuat. Kita kadang lupa bertanya, “Apa yang kira-kira Tuhan,
Sang Sumber Kasih itu, kehendaki?” lebih senang “Aturannya bagaimana?”
Hal tersebut yang diingatkan Yesus kepada orang-orang yang tidak menyukainya.
Ketika banyak orang menuduhnya melanggar aturan Sabat dengan bekerja –
menyembuhkan – ketika hari Sabat, Yesus justru membalik pernyataan mereka
dengan kritik kepada kebiasaan mereka yang juga bekerja ketika Sabat. Tapi lebih
jauh Yesus juga mengingatkan bahwa Sabat adalah perayaan Kasih Tuhan yang
melepaskan Israel dari penderitaan, dan itulah yang dilakukan Yesus dengan
menyembuhkan perempuan tersebut dari penderitaannya.
Kita bisa membayangkan penderitaan sang perempuan. Sakit selama 18 tahun.
Bisa dibayangkan, dia pasti telah melakukan berbagai macam cara untuk sembuh,
tetapi sampai 18 tahun ternyata tak ada yang berhasil. Banyak orang yang
menderita sakit sekian lama, telah mencoba berbagai pengobatan tetapi gagal,
akhirnya memilih menyerah dengan keadaan, menunggu nasib saja. Tapi tidak
dengan perempuan ini. Perempuan ini tidak kehilangan harapannya. Jika tidak
pada Sabat itu, mungkin akan sulit berjumpa dengan Yesus. Dan gayung
bersambut, Yesus pun menyembuhkannya. Sabat adalah keajaiban kasih Tuhan,
jangan mengurung kasih Tuhan justru dalam aturan Sabat.
Itu juga yang menjadi kritik penulis Yesaya 58, orang Israel melakukan puasa
mereka, tapi mereka lupa berbagi kepada orang yang lapar dan hidup menderita.
Yang mereka lakukan justru saling berbantah satu dengan yang lain. Puasa untuk
Tuhan menjadi tidak berarti lagi. Agama lalu sekadar menjadi kewajiban saja,
tidak membebaskan. Agama kehilangan keajaibannya, kita tidak terpesona lagi,
karena itu hanya deretan perintah dan aturan. Taat masuk sorga, tidak taat neraka.
Demikianlah, lalu beberapa orang jadi gampang menukarnya dengan pekerjaan,
uang, dan hal-hal lain.
Kita berdoa, beribadah dengan tekun, memberikan persembahan, beberapa dari
kita membaca kitab suci dengan teratur, beberapa lagi puasa. Tapi begitu ada
saudara kita yang melakukan kesalahan kepada kita, kita masih juga membenci
berlarut-larut dan bahkan kalau kesalahannya keterlaluan, kita mencari bala untuk
memusuhinya. Kita mendendam tak habis-habis. Tiba giliran puasa, kita benar-
benar menjauhkan diri kita dari makanan;  tiba giliran tidak puasa, kita ‘balas
dendam’ makan sepuas-puasnya, seenak-enaknya. Kita bergereja dengan rajin,
tapi kesal kepada mereka yang belum ke gereja, bahkan kadang-kadang
membicarakan mereka dengan hati kesal. Tiba giliran ke gereja, kita mengatakan,

4
“Tumben kelihatan.” Kita aktif ikut kegiatan gereja, memberikan persembahan
dengan teratur, tapi kepada orang yang membantu kita di rumah, kita pelitnya
minta ampun, bahkan mencurigai luar biasa, “Hati-hati, jangan-jangan dia suka
mencuri.”
Bacaan kita hari ini tidak mengajak kita melanggar aturan, tetapi mari berjalan
melampaui aturan: bukan sekadar aturannya bagaimana tetapi mengapa aturannya
begitu. Termasuk dengan tradisi dan aturan agama kita. Jangan sampai karena
mengejar benar, kita justru lupa menjadi baik kepada orang lain. Nyatanya siapa
yang bisa tahu dengan persis apa itu benar?
Aturan dibuat supaya kita hidup dalam kebaikan dan keindahan Tuhan. Maka
marilah setia kepada Sang Baik itu. Marilah kita yang berasal dari Tuhan yang
penuh kebaikan juga melakukan kebaikan dan bertindak adil kepada sesama.
Jangan sampai kita yang telah menerima kebaikan hanya menyimpan kebaikan itu
untuk diri kita sendiri. Yang penting saya enak orang lain terserah mau
bagaimana. Seperti kritik Yesaya. Egois adalah lawan pertama dari kebaikan
Tuhan. Lanjutkanlah kebaikan itu, sehingga semua orang ikut merasakan
kebaikan Tuhan.

Penutup
Jika dalam beriman yang diupayakan pertama adalah terwujudnya kebaikan dan
keindahan Kasih Tuhan, mungkin tak perlu ada perpecahan karena berebut benar.
Tidak perlu ada orang yang sibuk mencari salah yang lain. Semoga beragama kita
demikian. Amin. (gid)
 
Pujian  :  KJ.  376

RANCANGAN KHOTBAH:  BASA JAWI

Pambuka
Cariyos ingkang mrihatinaken: wonten salah satunggaling lare putri ingkang
ngandhut saderengipun nikahan. Kathah sedherek lajeng ngendikan: bocah kuwi
kudu mratobat! Nanging sasampunipun pangandikan punika taksih kathah
ingkang ngraosi, “Biasane dibonceng ngalor ngidup, ya pantes!” “Padha hal
bapak ibune beneh, kok anake ngono!” Nalika pamratobat dipun tindakaken
wonten ing greja, kathah ingkang rumaos trenyuh. Nanging sasampunipun
pamratobat, tiyang taksih enget bilih lare putri punika rumiyin ngandhut
saderengipun neningkahan, dipun enget kanthi raos boten sekeca. Lajeng punapa
tegesipun pamratobat menawi mekaten?

5
Kamangka saged dipun mangertosi bilih pamratobat ing greja kadhang nggegirisi,
awit kanggenipun sebagian tiyang, pamratobat punika sanes katresnan ingkang
paring luwar dhateng lare putri punika lan bayinipun, nanging ukuman sosial
utawi namung dipun tindakkaken amargi aturan. “Ingkang leres mekaten!”
Pamerdi lajeng kangge sapantha tiyang langkung ateges pengadilan tinimbang
tindak ketresnan. Nampi pamerdi ateges mlebet ing kothak kaca kan dipun anggep
remeh kaliyan tiyang sanes.

Isi
Ngrangkeng Gusti. Kadang prekawis punika kita tindakaken tanpa sadhar. Tiyang
ngendikan, “Ingkang leres mekaten! Tiyang Kristen nggih kedahipun mekaten.”
Kita nindakaken aturan utawi tradisi agama nanging kadhang supe punapa
alasanipun tradisi punika wonten. Kita langkung remen kaliyan “Aturanipun
kados pundi?” tinimbang “Punapa ingkang dipun karsaaken dening Gusti,
Sumbering Katresnan?”
Prekawis punika ingkang dipun engetaken dening Gusti Yesus tumrap tiyang-
tiyang ingkang boten remen kaliyan Piyambakipun. Nalika kathah tiyang ingkang
nudhuh bilih Gusti Yesus nglanggar aturan Sabat mawi nyambut dalem –
nyarasaken – tiyang wonten ing dinten Sabat, Gusti Yesus malik
pawicantenanipun tiyang-tiyang punika mawi ngendikan bilih tiyang-tiyang
punika ugi nyambut damel ing dinten Sabat, mawi ngedalaken lembu lan
kuldinipun dhateng papan pangomben. Nanging langkung saking bab punika,
Gusti Yesus ugi ngengetaken bilih Sabat punika pahargyan Katresnanipun Gusti
ingkang paring pangluwaran dhumateng Israel ingkang nalika rumiyin kawengku
ing perbudakan. Punika ugi ingkang sejatosipun dipun tindakaken dening Gusti
Yesus : paring pangluwaran dhateng tiyang estri saking gerahipun.
Kita saged mbayangaken kados pundi sakit ingkang dipun raosaken tiyang estri
punika. 18 tahun gerah. Tamtu tiyang estri punika sampun nyobi cara ingkang
mawarni-warni supados saged saras, nanging sadangunipun 18 tahun boten kasil.
Kathah tiyang menawi nandhang kados mekaten mbok bilih sampun nglokro lan
nyerah, nanging tiyang estri kala wau boten. Nalika mireng Gusti Yesus wonten
ing ngriku piyambakipun boten kecalan pangajeng-ajeng, nemahi Gusti Yesus.
Menawi boten dinten Sabat, mbok bilih langkung ewet nemahi Gusti Yesus. Lan
kawujud, sakitipun kasarasaken dening Gusti Yesus. Sabat punika wujudipun
katresnanipun Gusti, sampun ngantos aturan Sabat malah nrangkeng
katresnanipun Gusti.
Bab punika ugi ingkang dados kritikipun Yesaya 58. Tiyang Israel nindakaken
siyam (pasa), nanging boten purun nresnani tiyang sanes ingkang keluwen lan

6
nandhang sangsara. Ingkang dipun tindakaken malah tukaran satunggal kaliyan
sanes.  Siyamipun lajeng boten wonten artosipun. Agami namung dados
kewajiban, boten paring pangluaran. Agami kecalan dayanipun, tiyang boten
malih gumun kaliyan agami, awit isinipun namung aturan lan prentah kemawon,
manut Swarga, boten manut nraka. Awit kecalan dayanipun, lajeng tiyang gampil
kemawon nilar agaminipun kangge panyambut damel, bandha, lan sanesipun.
Kita ndhedonga, mangibadah kanthi tumemen, paring pisungsung, wonten
ingkang rajin maos Kitab Suci, wonten ingkang teratur nindakaken siyam.
Nanging nalika wonten sedherek kita ingkang nindakaken lepat dhumateng kita,
kita lajeng mengsahi sedherek kita punika, malah kadang-kadang pados bala
kangge memengsahan. Kita taksi nyimpen dendam. Nalika siyam kita mandeg
dhahar, nanging nalika boten siyam, dhaharipun sak kepenake, balas dendam
dhahar sak kathahipun ingkang sekeca-sekeca. Kita rajin tindak greja, tapi ngraosi
tiyang ingkang dereng saged rajin. Dene tiyang punika tindak gereja, sambutan
kita “Kok dungaren!” Kita paring pisungsung, tapi dhumateng tiyang ingkang
rerencang wonten ing griya, kita curiga terus menerus, “Kudu tak awasi, aja-aja
nyolong!”
Waosan kita dinten punika boten ngajak kita nglanggar aturan (termasuk aturan
agami), nanging ngengetaken kita supados nindakaken nglangkuni aturan,
tegesipun: boten namung aturanipun kados pundi, nanging wonten punapa kok
aturanipun kados mekaten. Sampun ngantos awit ngupados punapa ingkang leres,
kita malah supe nindakaken ingkang sae tumrap tiyang sanes. Nyatanipun sinten
ingkang saged mangertos kanthi sejatos punapa punika ingkang leres kejawi Gusti
piyambak?
Aturan dipun damel supados kita saged gesang ing kasaenan lan kaendahanipun
Gusti. Awit punika mangga sami setya dhumateng Gusti Sang Katresnan punika.
Awit kita punika asalipun saking Gusti Sang Katresnan, sumbering kaadilan,
mangga nindakaken katresnan lan kaadilan punika wonteng ing gesang kita saben
dinten. Sampun ngantos kita ingkang sampun nampi katresnanipun Gusti nyimpen
katresnan punika kangge diri kita piyambah. Remen awit nampi katresnan,
nanging supe ngajengaken katresnan, kados kritikipun nabi Yesaya. Egois punika
lawanipun katresnan. Mangga nglajengan katresnan ingkang sampun kita tampi
dhumateng tiyang sanes, supados tiyang sanes ugi saged ngraosaken
katresnanipun Gusti.

Panutup
Menawi ing gesang beriman kita ingkang kita upadi pertama mujudaken
katresnan lan kaendahanipun Gusti, mbok bilih boten wonten perpecahan awit

7
rebutan sinten paling leres. Boten wonten tiyang ingkang metani salahe tiyang
sanes. Sedaya ngupadi kasaenan lan kaadilan. Mugi-mugi gesang kita kados
mekaten. Amin.  (gid)

Pamuji  : KPJ. 96

Anda mungkin juga menyukai