Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

Analisis Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-XIV/2016


dalam Perspektif Etika dan Moral Pancasila
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
Dosen : Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H.

Oleh :
Ilman Fathurahman 17511147

Program Studi Teknik Sipil


Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Islam Indonesia
Daerah Istimewa Yogyakarta
2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji Syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga ka dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan judul “Analisis Keputusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-XIV/2016”.

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah pendidikan


pancasila. Makalah ini membahas tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait
penolakan terhadap permohonan uji materi yang diajukan oleh sejumlah pihak.

Saya sampaikan terima kasih atas perhatian terhadap makalah ini, dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi saya sendiri dan bagi orang lain.

Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan,
maka dari itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
meningkatkan kualitas dalam pembuatan makalah – makalah pada tugas lain.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Yogyakarta, 2 Januari 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar..........................................................................................................i

Daftar isi……...…....................................................................................................ii
BAB I
1.1 Latar belakang…................................................................................................1
1.2
Tujuan…….........................................................................................................2
1.3 Rumusan masalah...............................................................................................2
BAB II
Pembahasan……......................................................................................................3
BAB III
Kesimpulan…….....................................................................................................1
2
Saran……,,…….....................................................................................................12
Daftar pustaka……………………...
….............................................................................13

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Penempatan


tersebut sesuai dengan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar fisiologis negara
sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang- undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Adapun Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


merupakan hukum dasar Peratruran Perundang- undangan. Yang dimaksud
dengan hukum dasar adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan
Perundang- undangan di bawah UUD 1945.

Namun pada praktek dan kenyataan di lapangan masih terdepat peraturan-


peraturan yang dinilai belum atau tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945. Hal ini lah yang masih dan terus diperdebatkan. Tujuannya tidak lain
dan tidak bukan hanya untuk menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang lebih
bermoral.

Baru- baru ini sedang hangat di kalangan masyarakat Indonesia terkait pro
dan kontra putusan MK No. 46/PUU-XVI/2016. Diawali adanya permohonan
uji materi yang diajukan oleh sejumlah pihak yang meminta perluasan makna
yang terkandung dalam pasal 284 KUHP, pasal 285 KUHP, pasal 292 KUHP.
Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji materi tersebut.

1
Beberapa hal yang sangat disorot dalam kasus ini adalah tentang Perzinaan
,LGBT dan perkosaan di Indonesia. Pemohon menilai adanya eskalasi
kejadian- kejadian dan data yang sangat meningkat terkait dengan
penyimpangan seksual, perzinaan, pemerkosaan dan juga LGBT di kalangan
masyarakat Indonesia. Muncul kekhawatiran dari para pemohon dimana
selama ini kasus- kasus asusila di Indonesia tidak diberikan hukuman pidana
yang setimpal, padahal dampak buruk yang ditimbulkan dari perbuatan
tersebut sangat merugikan baik dari segi psikis, spiritual terlebih dari segi
medis. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang mengkhawatirkan , pemohon
menilai perlu adanya suatu kejelasan hukum yang mengatur tentang hal
tersebut. Karena betapa pun sebuah keluarga menjaga anggota keluarganya
untuk tidak tersandung masalah tersebut, ketika tidak ada sistem yang
membangun lewat suatu instrumen kebijakan dan hukum, ternyata tidaklah
cukup. Maka berangkat dari suatu niatan untuk melindungi seluruh keluarga
Indonesia, generasi muda dan peradaban bangsa, pemohon mengajukan
permohonan terhadap MK.

1.2. Tujuan
1. Mengetahui Isi dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016
2. Mengetahui Pertimbangan Hukum dari Hakim terkait Putusan tersebut
3. Mengetahui dampak atas Putusan MK tersebut.

1.3. Rumusan Masalah


1. Apa Isi dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 ?
2. Bagaimana Pertimbangan Hukum dari Hakim terkait Putusan tersebut?
3. Bagaimana Analisis terkait Putusan MK ditinjau dari etika moral
Pancasila?
4. Apakah Perlu adanya Pengaturan terkait Perzinaan dan LGBT dalam
Sistem Pemidanaan di Indonesia?
5. Bagaimana dampak atas putusan MK tersebut?

2
BAB II

PEMBAHASAN

Mahkamah Konstitusi  (MK) menolak seluruh permohonan uji materiil


Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
(KUHP). Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan kesusilaan.

Permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP
diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak. Secara
rinci pemohon menyatakan bahwa Pasal 284 KUHP ayat (1), (2), (3), (4), (5)
Pasal 285 KUHP dan Pasal 292 KUHP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat
(1) dan (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan (2) dan Pasal 29 ayat
(1).

Dari 9 Hakim, 5 Hakim menolak permohonan tersebut yakni Hakim


Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim
Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim
Konstitusi Maria Farida Indrati. Hakim menyatakan bahwa dalam kasus ini
Mahkamah Konstitusi tidak memiliki tugas untuk membuat suatu norma baru
yang mana tugas tersebut sudah masuk ke dalam ranah legislatif, artinya
institusi yang berhak untuk membuat Undang- undang adalalah DPR.
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diketahui hanya memliki tugas untuk
membatalkan suatu tindak pidana (Negativ Legislator).

Para pemohon mendalilkan terjadinya kerusakan sistem dan tatanan sosial


serta keluarga akibat perbuatan perzinaan salah satu penyebabnya adalah
tidak dikriminalkannya perbuatan zina, LGBT dan perkosaan dalam arti yang
lebih luas dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia.

Kelima Hakim yang menolak permohonan menyatakan penyebab


terjadinya kerusakan tatanan sosial dan keluarga dimaksud lebih dikarenakan

3
terjadinya kekosongan hukum yang belum menjangkau pengertian zina,
LGBT atau perkosaaan dalam arti yang lebih luas. Kekosongan demikian
seharusnya diisi melalui proses legislasi oleh pembentuk undang-undang,
bukan dengan memohon kepada Mahkamah untuk memperluas pengertian
zina, LGBT atau perkosaan yang diatur dalam Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal
292 KUHP tersebut.

Namun dengan demikian terdapat 4 hakim yang memiliki pandangan


berbeda (Dissenting Opinion) atas permohonan tersebut yakni Hakim
Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi
Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Aswanto. Hakim menilai bahwa
dalam hal ini Mahkamah sejatinya tidaklah menjadi positive legislator atau
memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana, melainkan mengembalikan
kembali konsep zina sesuai nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai
agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat di Indonesia yang telah
dipersempit ruang lingkupnya selama ratusan tahun oleh hukum positif
“warisan” pemerintah kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, Mahkamah
dalam konteks ini seharusnya ber-ijtihad dengan melakukan pengabulan
terhadap permohonan para pemohon.

2.1. Isi dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016

Isi putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 adalah sebagai berikut.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaiman diuraikan


di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan
permohonana quo;
[4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.

4
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

2.2. Pertimbangan Hukum dari Hakim terkait Putusan tersebut

Terdapat 5 hakim yang menolak permohonan uji materiil. Adapun salah satu
pertimbangan hukum dari 5 hakim yang menolak putusan tersebut adalah sebagai
berikut.
“.....Bahwa terjadinya kerusakan sistem dan tatanan sosial serta keluarga
akibat perbuatan perzinaan, salah satu penyebabnya adalah tidak
dikriminalkannya perbuatan zina dalam arti yang lebih luas dalam
ketentuan hukum pidana Indonesia, sebagaimana didalilkan para
Pemohon, sangat mungkin terjadi. Namun, hal itu bukan berarti jenis
perbuatan yang sudah ditetapkan sebagai perbuatan zina dalam Pasal
284 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, apalagi menjadi penyebab
terjadinya kerusakan sebagaimana didalilkan para Pemohon. Bila
mengikuti rangkaian dalil para Pemohon, penyebab terjadinya
kerusakan tatanan sosial dan keluarga dimaksud lebih dikarenakan
terjadinya kekosongan hukum yang belum menjangkau pengertian zina
dalam arti yang lebih luas sebagaimana dimaksud oleh para Pemohon.
Kekosongan demikian seharusnya diisi melalui proses legislasi oleh
pembentuk undang-undang, bukan dengan memohon kepada
Mahkamah untuk memperluas pengertian zina yang diatur dalam Pasal
284 KUHP tersebut. Lagi pula, kalaupun Mahkamah melakukan hal
yang dimohonkan para Pemohon tersebut, quod non, tidak ada jaminan
bahwa masalah yang dirisaukan oleh para Pemohon akan teratasi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil para
Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 284 KUHP tidak beralasan
menurut hukum.”

5
Adapun 4 hakim yang memiliki pandang berbeda mengeluarkan salah satu
pertimbangan hukum sebagai berikut.
“.......Pasal 292 KUHP yang mengatur delik percabulan pada hakikatnya
mengatur kriminalisasi dan penalisasi terhadap orang dewasa yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa. Paradigma dan
filosofi pasal a quo jelas hanya mengutamakan pelindungan terhadap
“seorang yang masih berada di bawah umur” (minderjarige) agar tidak
menjadi korban percabulan dari orang dewasa yang berjenis kelamin sama
sehingga sifat ketercelaannya (verwijtbaarheid) lebih dikarenakan aspek
viktimogen, yakni semata-mata karena korbannya merupakan
“seorang yang masih berada di bawah umur” (minderjarige).
Secara historis, pencantuman unsur objektif “anak di bawah umur dari
jenis kelamin yang sama” dalam pasal a quo jelas merupakan
‘kemenangan’ kaum homoseksual dan sebagian anggota Tweede Kamer
Belanda yang memang afirmatif terhadap praktik homoseksualitas,
padahal praktik homoseksualitas jelas merupakan salah satu perilaku
seksual yang secara intrinsik, manusiawi, dan universal sangat tercela
menurut hukum agama dan sinar ketuhanan serta nilai- nilai hukum yang
hidup di masyarakat (living law) sehingga kami berpendapat bahwa kata
“dewasa”, frasa “yang belum dewasa”, dan frasa “yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP
seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian, berdasarkan ratio decidendi sebagaimana tersebut di


atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan
permohonan para Pemohon.”

6
2.3 Analisis terkait Putusan MK ditinjau dari etika moral Pancasila

Etika Pancasila adalah etika yang berdasarkan penilaian baik dan buruk
pada nilai- nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik manakala sesuai
dan mempertinggi nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Pertama kali membaca pertimbangan hukum dari hakim yang menolak


putusan tersebut awalnya penulis setuju bahwa kasus ini bukan merupakan
kewenangan MK sabagai lembaga yudikatif untuk menindak lanjuti
melainkan tugas DPR sebagai lembaga legislatif untuk merancang norma
baru dalam hal ini undang- undang. Karena sejatinya MK tidak memiliki
kewenangan untuk memperluas penafsiran suatu undang- undang (positive
legislator). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prof. Dr. Mohammad Mahfud
M.D., S.H., S.U. dalam acara Indonesia Lawyer Club di salah satu stasiun
televisi nasional pada tanggal 19 Desember 2017. Beliau menyatakan bahwa
MK tidak boleh memperluas penafsiran. Sejarahnya MK hanya boleh
membatalkan (negativ legislator). Kemudian melihat salah satu pertimbangan
hakim yang menyatakan terjadinya kekosongan hukum atas kasus tersebut
penulis juga memandang betul adanya.

Empat hakim yang memiliki pandangan berbeda (Disenting Opinion)


rupanya memberikan pertimbangan yang lebih tegas dan dapat dilogikakan.
Bahwa dalam hal ini sebenarnya MK tidaklah menjadi positive legislator atau
memperluas penafsiran suatu tindak pidana, melainkan mengembalikan
kembali konsep zina sesuai nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai
agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hal ini juga
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D.,
S.H., S.U. di akhir pernyataanya bahwa kalaulah beliau yang menjadi hakim,
bisa jadi beliau mengabulkan permohonan tersebut.

7
Dalam Pancasila nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis.
Nilai Ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang
bersifat mutlak dan absolut. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini.
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai,
kaidah dan hukum Tuhan. Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia
pertama mengungkapkan, Sila Ketuhan menjadi dasar yang memimpin
masyarakat Indonesia ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan
persaudaraan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk
mengembangkan etika dan moral dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka penulis memandang seharusnya MK membuat suatu keputusan yang


sejatinya tidak berbenturan dengan etika dan moral yang terkandung dalam
Pancasila sila pertama sebagaimana disebutkan di atas. Terkait dengan berhak
tidaknya MK membuat suatu norma baru, dalam sejarahnya bukan tidak
pernah MK melakukan hal tersebut. Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D.,
S.H., S.U. menuturkan MK boleh membuat suatu norma baru dengan 3 syarat
; 1. Manakala terdapat suatu Undang- undang yang bertentangan dengan
Undang- undang lain; 2. Jika penafsiran dari suatu Undang- undang itu kabur
sehingga dapat diartikan macam- macam oleh masyarakat dan; 3. Jika
putusan MK dapat menimbulkan kekosongan hukum. Sudah jelas bahwa
dalam pasal- pasal yang diajukan oleh pemohon terjadi suatu kekosongan
hukum dimana MK seharusnya memgabulkan permohonan para pemohon
dengan memperluas penafsiran makna yang terkandung dalam Pasal 284,
Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP.

Kemudian dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia merupakan “negara hukum yang
berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa yang senantiasa menjamin
kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing
dan untuk beribadat menurut agamanya, serta mengakui dan menghormati
kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

8
prinsip NKRI yang diatur dalam dalam Undang- undang”. Pemahaman
tersebut menegaskan bahwa peraturan perundang- undangan di Indonesia
harus senantiasa sejalan dan sama sekali tidak boleh bertentangan dengan
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai agama, norma masyarakat dan prinsip
NKRI.

Etika Pancasila sila ke-2 dimaknai sebagai nilai kemanusiaan. Oleh karena
itu suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai- nilai
kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.

Berkaitan dengan nilai kemanusiaan atau sering dikatakan sebagai Hak


Asasi Manusia (HAM), Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U.
menjelaskan terdapat dua tipe HAM di Dunia. Pertama, HAM Universal yang
dianut oleh Dunia Barat. Hak asasi ini menganut suatu hukum dimana
seorang Homoseksual, misalnya, tidak boleh dipenjarakan sesuai dengan
Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan semua konvensinya.
Kedua, HAM Partikularisme yang menyatakan bahwa hak asasi itu
tergantung pada kebutuhan lokal dan masyarakatnya karena hukum itu
melayani masyarakatnya, manakala masyarakat misalnya menyebutkan
bahwa zina itu tidak boleh, jadikan itu sebuah hukum, LGBT tidak boleh,
jadikan itu sebagai hukum. HAM Pertikularisme ini disebut juga sebagai teori
hubungan antara hukum dan masyarakat dimana hukum selalu berubah sesuai
kebutuhan masyarakat.

Kemudian disebutkan pula dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa
salah satu hak konstitusional setiap warga negara adalah “kepastian hukum
yang adil”. Arti dari kepastian hukum yang adil yang dimaksud adalah tidak
boleh terdapat suatu kepastian hukum dalam bentuk norma Undang- undang
yang merpersempit, mereduksi, melampaui batas, bahkan justru bertentangan
dengan dasar Ketuhan Yang Maha Esa, nilai agama, norma masyarat dan
prinsip NKRI. Apabila hal tersebut terjadi maka kepastian hukum tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai kepastian hukum yang adil sehingga

9
bertentangan dengan UUD 1945 dan nilai kemanusiaan sebagai etika moral
Pancasila sila ke- 2.

2.4 Perlu tidaknya Pengaturan terkait Perzinaan dan LGBT dalam Sistem
Pemidanaan di Indonesia

Penulis mempunyai pandangan bahwa perlu adanya upaya kriminalisasi


terhadap pelaku zina, LGBT dan perkosaan. Hal ini semata- mata untuk
menjaga semua keluarga Indonesia, generasi muda dan peradaban bangsa.
Dimana telah diketahui selama ini para pelaku zina, LGBT dan perkosaan
terbebas dari jeratan hukum dikarenakan tidak memenuhi unsur delik dan
kekosongan hukum di Indonesia. Padahal perbuatan tersebut jelas dilarang
dan bersifat tercela menurut nilai agama dan norma masyarakat.

Karena bagaimanapun jika hal ini terus dibiarkan atau terus menerus
dilimpahkan sebagai wewenang yang harus dijalankan oleh DPR sebagai
lembaga legislatif yang sepenuhnya tergantung pada kekuatan dan
konfigurasi politik maka Mahkamah sejatinya memberikan kesempatan atau
setidaknya membiarkan suatu norma hukum dalam undang- undang yang
tidak didasari pada nilai agama dan norma masyarakat.

Terlebih Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. menuturkan pada
tahun 1998 ada sebuah deklarasi HAM di Kairo yang menyatakan bahwa Hak
Asasi Manusia antara Barat dan Timur itu berbeda. Di Timur Hak asasi itu
berlandaskan pada agama dan adat istiadat (partikular) yang hal ini kemudian
disetujui dan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia bahwa agama
menjadi sumber pembentukan hukum karena merupakan sumber kehidupan
masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Adapun jenis pemidanaan yang semestinya dijatuhkan terhadap pelaku


zina, LGBT dan perkosaan penulis sepenuhnya menyerahkan hal tersebut
kepada Pemerintah.

10
2.5 Dampak atas Keputusan Mahkamah Konstitusi

Setelah munculnya Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 banyak pihak


yang menduga bahwa MK telah mendukung dan melegalkan perzinaan dan
LGBT di Indonesia. Dan hal ini seolah menjadi sebuah kemenangan bagi para
aktivis LGBT dimana MK telah melindungi mereka. Padahal penulis menilai
sejatinya tidak demikian. Tidak terdapadat satupun pertimbangan hakim yang
membahas tentang pelegalan perzinaan dan LGBT. Hal ini seperti sebuah
kesempatan yang dimanfaatkan oleh para aktivis LGBT untuk mendongkrak
eksistensi mereka.

11
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Agama merupakan identitas negara.. Nilai- nilai Agama lah yang


mengantarkan masyarakat suatu bangsa dapat menjadi manusia yang
bermoral sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Bangsa
Indonesia telah memilih dan memang seharusnya memilih jalan hukum
yang berlandaskan pada nilai agama.

3.2 Saran

Sebagai warga negara hendakya kita kembali mengaplikasikan


nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila dan apabila terjadi sesuatu
hal yang berbenturan dengan Pancasila sudah seharusnya kita dapat
menangkal hal tersebut. Pemerintah bersama masyarakat sudah
seharusnya menentukan di posisi mana kita akan berdiri. Di posisi
kebaikan atau sebaliknya.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://youtu.be/KMila-zyzGg

PUTUSANNomor46/PUUXIV/
2016DEMI...MahkamahKonstitusiRIPDFwww.mahkamahkonstitusi.go.id
>content

13

Anda mungkin juga menyukai