Mokh. Zaki Setiawan - 17511094 - Kelas B
Mokh. Zaki Setiawan - 17511094 - Kelas B
Oleh :
Ilman Fathurahman 17511147
Puji Syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga ka dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan judul “Analisis Keputusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-XIV/2016”.
Saya sampaikan terima kasih atas perhatian terhadap makalah ini, dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi saya sendiri dan bagi orang lain.
Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan,
maka dari itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
meningkatkan kualitas dalam pembuatan makalah – makalah pada tugas lain.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata pengantar..........................................................................................................i
Daftar isi……...…....................................................................................................ii
BAB I
1.1 Latar belakang…................................................................................................1
1.2
Tujuan…….........................................................................................................2
1.3 Rumusan masalah...............................................................................................2
BAB II
Pembahasan……......................................................................................................3
BAB III
Kesimpulan…….....................................................................................................1
2
Saran……,,…….....................................................................................................12
Daftar pustaka……………………...
….............................................................................13
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Baru- baru ini sedang hangat di kalangan masyarakat Indonesia terkait pro
dan kontra putusan MK No. 46/PUU-XVI/2016. Diawali adanya permohonan
uji materi yang diajukan oleh sejumlah pihak yang meminta perluasan makna
yang terkandung dalam pasal 284 KUHP, pasal 285 KUHP, pasal 292 KUHP.
Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji materi tersebut.
1
Beberapa hal yang sangat disorot dalam kasus ini adalah tentang Perzinaan
,LGBT dan perkosaan di Indonesia. Pemohon menilai adanya eskalasi
kejadian- kejadian dan data yang sangat meningkat terkait dengan
penyimpangan seksual, perzinaan, pemerkosaan dan juga LGBT di kalangan
masyarakat Indonesia. Muncul kekhawatiran dari para pemohon dimana
selama ini kasus- kasus asusila di Indonesia tidak diberikan hukuman pidana
yang setimpal, padahal dampak buruk yang ditimbulkan dari perbuatan
tersebut sangat merugikan baik dari segi psikis, spiritual terlebih dari segi
medis. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang mengkhawatirkan , pemohon
menilai perlu adanya suatu kejelasan hukum yang mengatur tentang hal
tersebut. Karena betapa pun sebuah keluarga menjaga anggota keluarganya
untuk tidak tersandung masalah tersebut, ketika tidak ada sistem yang
membangun lewat suatu instrumen kebijakan dan hukum, ternyata tidaklah
cukup. Maka berangkat dari suatu niatan untuk melindungi seluruh keluarga
Indonesia, generasi muda dan peradaban bangsa, pemohon mengajukan
permohonan terhadap MK.
1.2. Tujuan
1. Mengetahui Isi dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016
2. Mengetahui Pertimbangan Hukum dari Hakim terkait Putusan tersebut
3. Mengetahui dampak atas Putusan MK tersebut.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP
diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak. Secara
rinci pemohon menyatakan bahwa Pasal 284 KUHP ayat (1), (2), (3), (4), (5)
Pasal 285 KUHP dan Pasal 292 KUHP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28B ayat (1) dan (2), Pasal 28C (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat
(1) dan (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J ayat (1) dan (2) dan Pasal 29 ayat
(1).
3
terjadinya kekosongan hukum yang belum menjangkau pengertian zina,
LGBT atau perkosaaan dalam arti yang lebih luas. Kekosongan demikian
seharusnya diisi melalui proses legislasi oleh pembentuk undang-undang,
bukan dengan memohon kepada Mahkamah untuk memperluas pengertian
zina, LGBT atau perkosaan yang diatur dalam Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal
292 KUHP tersebut.
4. KONKLUSI
4
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Terdapat 5 hakim yang menolak permohonan uji materiil. Adapun salah satu
pertimbangan hukum dari 5 hakim yang menolak putusan tersebut adalah sebagai
berikut.
“.....Bahwa terjadinya kerusakan sistem dan tatanan sosial serta keluarga
akibat perbuatan perzinaan, salah satu penyebabnya adalah tidak
dikriminalkannya perbuatan zina dalam arti yang lebih luas dalam
ketentuan hukum pidana Indonesia, sebagaimana didalilkan para
Pemohon, sangat mungkin terjadi. Namun, hal itu bukan berarti jenis
perbuatan yang sudah ditetapkan sebagai perbuatan zina dalam Pasal
284 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, apalagi menjadi penyebab
terjadinya kerusakan sebagaimana didalilkan para Pemohon. Bila
mengikuti rangkaian dalil para Pemohon, penyebab terjadinya
kerusakan tatanan sosial dan keluarga dimaksud lebih dikarenakan
terjadinya kekosongan hukum yang belum menjangkau pengertian zina
dalam arti yang lebih luas sebagaimana dimaksud oleh para Pemohon.
Kekosongan demikian seharusnya diisi melalui proses legislasi oleh
pembentuk undang-undang, bukan dengan memohon kepada
Mahkamah untuk memperluas pengertian zina yang diatur dalam Pasal
284 KUHP tersebut. Lagi pula, kalaupun Mahkamah melakukan hal
yang dimohonkan para Pemohon tersebut, quod non, tidak ada jaminan
bahwa masalah yang dirisaukan oleh para Pemohon akan teratasi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat dalil para
Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 284 KUHP tidak beralasan
menurut hukum.”
5
Adapun 4 hakim yang memiliki pandang berbeda mengeluarkan salah satu
pertimbangan hukum sebagai berikut.
“.......Pasal 292 KUHP yang mengatur delik percabulan pada hakikatnya
mengatur kriminalisasi dan penalisasi terhadap orang dewasa yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum dewasa. Paradigma dan
filosofi pasal a quo jelas hanya mengutamakan pelindungan terhadap
“seorang yang masih berada di bawah umur” (minderjarige) agar tidak
menjadi korban percabulan dari orang dewasa yang berjenis kelamin sama
sehingga sifat ketercelaannya (verwijtbaarheid) lebih dikarenakan aspek
viktimogen, yakni semata-mata karena korbannya merupakan
“seorang yang masih berada di bawah umur” (minderjarige).
Secara historis, pencantuman unsur objektif “anak di bawah umur dari
jenis kelamin yang sama” dalam pasal a quo jelas merupakan
‘kemenangan’ kaum homoseksual dan sebagian anggota Tweede Kamer
Belanda yang memang afirmatif terhadap praktik homoseksualitas,
padahal praktik homoseksualitas jelas merupakan salah satu perilaku
seksual yang secara intrinsik, manusiawi, dan universal sangat tercela
menurut hukum agama dan sinar ketuhanan serta nilai- nilai hukum yang
hidup di masyarakat (living law) sehingga kami berpendapat bahwa kata
“dewasa”, frasa “yang belum dewasa”, dan frasa “yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya belum dewasa” dalam Pasal 292 KUHP
seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
6
2.3 Analisis terkait Putusan MK ditinjau dari etika moral Pancasila
Etika Pancasila adalah etika yang berdasarkan penilaian baik dan buruk
pada nilai- nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan dan Keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik manakala sesuai
dan mempertinggi nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila.
7
Dalam Pancasila nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis.
Nilai Ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang
bersifat mutlak dan absolut. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini.
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai,
kaidah dan hukum Tuhan. Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia
pertama mengungkapkan, Sila Ketuhan menjadi dasar yang memimpin
masyarakat Indonesia ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan
persaudaraan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk
mengembangkan etika dan moral dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemudian dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia merupakan “negara hukum yang
berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa yang senantiasa menjamin
kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing
dan untuk beribadat menurut agamanya, serta mengakui dan menghormati
kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
8
prinsip NKRI yang diatur dalam dalam Undang- undang”. Pemahaman
tersebut menegaskan bahwa peraturan perundang- undangan di Indonesia
harus senantiasa sejalan dan sama sekali tidak boleh bertentangan dengan
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai agama, norma masyarakat dan prinsip
NKRI.
Etika Pancasila sila ke-2 dimaknai sebagai nilai kemanusiaan. Oleh karena
itu suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai- nilai
kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Kemudian disebutkan pula dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa
salah satu hak konstitusional setiap warga negara adalah “kepastian hukum
yang adil”. Arti dari kepastian hukum yang adil yang dimaksud adalah tidak
boleh terdapat suatu kepastian hukum dalam bentuk norma Undang- undang
yang merpersempit, mereduksi, melampaui batas, bahkan justru bertentangan
dengan dasar Ketuhan Yang Maha Esa, nilai agama, norma masyarat dan
prinsip NKRI. Apabila hal tersebut terjadi maka kepastian hukum tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai kepastian hukum yang adil sehingga
9
bertentangan dengan UUD 1945 dan nilai kemanusiaan sebagai etika moral
Pancasila sila ke- 2.
2.4 Perlu tidaknya Pengaturan terkait Perzinaan dan LGBT dalam Sistem
Pemidanaan di Indonesia
Karena bagaimanapun jika hal ini terus dibiarkan atau terus menerus
dilimpahkan sebagai wewenang yang harus dijalankan oleh DPR sebagai
lembaga legislatif yang sepenuhnya tergantung pada kekuatan dan
konfigurasi politik maka Mahkamah sejatinya memberikan kesempatan atau
setidaknya membiarkan suatu norma hukum dalam undang- undang yang
tidak didasari pada nilai agama dan norma masyarakat.
Terlebih Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. menuturkan pada
tahun 1998 ada sebuah deklarasi HAM di Kairo yang menyatakan bahwa Hak
Asasi Manusia antara Barat dan Timur itu berbeda. Di Timur Hak asasi itu
berlandaskan pada agama dan adat istiadat (partikular) yang hal ini kemudian
disetujui dan ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia bahwa agama
menjadi sumber pembentukan hukum karena merupakan sumber kehidupan
masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
10
2.5 Dampak atas Keputusan Mahkamah Konstitusi
11
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
https://youtu.be/KMila-zyzGg
PUTUSANNomor46/PUUXIV/
2016DEMI...MahkamahKonstitusiRIPDFwww.mahkamahkonstitusi.go.id
>content
13