Anda di halaman 1dari 4

KEMBALI

Kampung halaman, sebuah tempat yang tak bisa lenyap dari bayang-bayang seseorang ketika ia
hidup sendirian merantau ke ibu kota. Sejenak terlintas di benakku untuk mengulang masa kecilku
yang lugu dengan kembali ke kampung halamanku. Memang, daya tarik perkotaan yang ditandai
gemerlapnya kehidupan seakan membuat mata ini silau dan melupakan kenangan yang tertinggal di
desaku.

Aku, seseorang bertubuh tinggi,kurus dan pemalu. Mereka memanggilku Rian. Saat aku kecil hingga
tamat SD bisa dibilang hidupku bahagia sekali karena mempunyai teman-teman yang baik dan akrab.
Agung, Bintang dan Yogi itulah mereka yang masa kecilnya dihabiskan bermain bersamaku.
Keseharian kita memang tidak lepas dari bermain. Sepulang sekolah kami selalu berkumpul di
lapangan untuk “ngadu” bola lawan kampung lain. Terkadang ketika salah satu tim kalah dan tak mau
menerima kekalahannya, celotehan bernada miring tak lepas diarahkan untuk tim yang menang.
Namanya juga anak-anak, terpaksa kita membalasnya dengan ucapan dengan nada merendahkan
dan terkadang tinju pun terjadi pada saat itu.Kehangatan yang kurasakan berada di sisi teman-
temanku membuatku merasa nyaman. Setidaknya ada yang mau bersahabat denganku, anggapku
kala itu. Selain bermain bola, kami juga bermain kelereng, petak umpet, galaksin, banteng, laying-
layang dan permainan tradisional lainnya tergantung apa yang sedang menjadi tren di desa.

Pagi hari menyapa. Tepatnya ketika aku baru bangun, suara orang sedang memanaskan mobil
terdengar sampai kamarku. Ya, ternyata ayahku yang terlihat sedang bersiap-siap mau pergi. “Yah,
jam 6 pagi gini mau kemana sih?” Tanyaku dengan wajah kesal karena tidurku terganggu. “ Kita akan
merantau ke nak. Ayah mendapat pekerjaan yang menjanjikan disana” Jawab ayah. Tiba- tiba
terdengar suara dari dalam rumah “ Mandi dulu nak sebelum kita pergi” ujar ibu. “Yah...ayah kenapa
gak bilang dulu sama aku sih sebelumnya?” tanyaku.”Ayah ingin kasih kamu kejutan nak...pokoknya
kamu bakal senang hidup disana..” Jawab Ayah. Seketika terdiam, bingung dan pasrah. Ya, raut wajah
sedikit kecewa memperburuk wajahku yang baru bangun. Aku termenung di kamar mandi. Rasa
sedih, khawatir, dan bahagia campur aduk di dadaku. Sedih karena tidak bisa melepas teman –
teman akrabku yang selama ini bersama ketika dimarahi park RT apabila bermain petasan di sekitar
rumah warga dan mencoba hal baru seperti berjualan layangan di pinggir pasar. Khawatir, karena aku
orang yang pemalu jadi aku pikir apakah aku bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan
memiliki kawan yang akrab seperti disini. Bahagia, karena pertama kalinya aku pergi jauh dan akan
melihat hal-hal baru yang menyenangkan seperti janji ayahku. Setelah semua siap, aku serta ayah
ibuku memulai perjalanan pukul 07.00. Aku baru sadar, bahwa aku lupa untuk berpamitan kepada
teman-temanku dan akhirnya dalam perjalanan aku telpon kakekku untuk menyampaikan pamitku
kepada teman-teman akrabku.

Dimulailah kehidupanku di kota. Aku mendaftar SMP negeri disana. Ya seperti dugaanku sebelumnya
kehidupan disni keras. Kalau kita tidak berbaur, kita akan dibully. Akhirnya aku mengalah kepada
egoku untuk selalu menutup diri dan mencoba hal-hal baru yang dibilang “gaul” oleh teman-teman
smpku. Mungkin sudah jadi garis tuhan supaya aku dapat mengembangkan diriku. Tapi ternyata
semua itu salah, aku terlalu mengikuti arus dan lebih parahnya lagi adalah aku mengikuti arus yang
salah. Arus yang membawaku ke jurang kehidupan yang kelam. Rokok, miras dan pergaulan bebas
menjadi hobiku bersama teman-temanku. Sampai pada suatu malam ibuku menelpon karena aku
belum pulang ke rumah selama 2 hari. “Nak,,kemana saja? Ibu khawatir sekali..bagaimana
keadaanmu? Apa kau sudah makan?” Tanya ibuku cemas. “Buk.... aku sudah besar. Gak usah ngatur-
ngatur hidupku lagi ok??!!!” Jawabku ketus. Panggilan ibuku kumatikan begitu saja sambil
menenggak sisa miras yang ada di botol. Saat itu aku bersama teman-temanku memang sedang
nongkrong di club malam di daerah Jakarta Selatan. Ya, kehidupan kota membuatku kacau balau dan
nilai pelajaranku di sekolah sudah tak karuan. Orang tua ku juga sering dipanggil oleh guru BP karena
ulahku yang sering bolos dan merokok di sekolah.

Waktu cepat berlalu, tak terasa seminggu lagi Ujian Nasional untuk SMP. Aku masih saja belum mulai
mempersiapkan ujian dan sibuk nongkrong di bilangan Tebet pada jam 12 malam untuk
menyaksikan balapan liar. Tiba-tiba kantong celanaku bergetar, tanda bahwa ada telepon. Balapan
motor tengah berlangsung jadi aku abaikan panggilan tersebut. 1 jam kemudian aku buka, ternyata
ibuku yang menelpon sebanyak 10 kali dan terdapat SMS dari ibuku agar aku cepat pulang. Entah
kenapa perasaanku tidak enak pada saat itu, jadi aku menuruti permintaan ibuku untuk bergegas
kembali ke rumah. Di luar rumah banyak orang berkerumun dan terlihat bendera kuning telah
terpasang. Saat aku masuk rumah, kehadiranku disambut dengan tamparan ibuku yang tepat
mendarat di pipi kananku seraya bilang “ Ini semua gara-gara kamu nak!!!, kalau kamu gak
liar...ayahmu gak akan putus asa begini” Teriak ibu sambil menangis. Aku Terkejut sekali sampai tak
bisa berkata apa-apa, otaku kosong tidak bisa berpikir. Menyesal mengetahui bahwa ayahku bunuh
diri karena dirinya merasa tidak mampu mendidik anak dengan baik. Setelah mengurus pemakaman
ayahku, aku mulai ingin berubah.
Ya..walaupun nilai kelulusan SMPku berantakan, aku masih bisa masuk SMA negeri walapun kurang
bagus menurut pendapat orang-orang. Kehidupan SMA pun dimulai, aku bertekad ingin berubah
dengan belajar yang rajin dan sering ke masjid. Hasilnya tidak mengkhianati usahaku. Aku diterima di
universitas terkemuka di Jakarta. Ibuku berniat pulang ke kampung halaman lebih dulu, aku jadi
tinggal sendirian di kota yang bear ini. Aku mengikuti kuliah sebagaimana mestinya walau kadang
bolos ketika banyak tugas. Di sela-sela waktu kuliah aku menyempatkan diriku untuk berkomunikasi
dengan teman lamaku seperti Agung dan Yogi. Mereka berdua ternyata pindah ke Jakarta 2 tahun
setelah aku. Mereka tidak melanjutkan pendidikannya melainkan langsung kerja di pabrik. Sekitar 3
tahun bekerja, mereka merasa bosan dan mulai membuka usaha kuliner. Aku berniat investasi
sekaligus kerja sama dalam usaha kuliner yang dirintis temanku. 2 tahun berselang, usaha kuliner
kami begitu laris manis dan memiliki sekitar 10 cabang yang tersebar di berbagai daerah di pulau
jawa. Kami berpikir untuk kembali ke kampung halamanku setelah aku wisuda nanti, mengajak
teman-temanku dan sebagian penduduk yang kurang mampu untuk menjalani usaha bersama agar
hidup mereka berkembang secara ekonomi dan dapat menggapai mimpi-mimpi mereka.

Setelah aku wisuda, Aku, Bintang dan Yogi menjalankan rencanaku untuk kembali ke kampung
halamanku. Sambutan warga disana akan ajakan usaha dengan kami bertiga cukup ramai, banyak
yang ingin bergabung dengan usaha kami yang sekarang sudah lumayan besar. Aku mengurungkan
niatku untuk bekerja kantoran dan lebih memilih fokus mengurus usaha kami. Dan aku ingin kembali
ke kampung halamanku yang embunnya menyejukkan ketika pagi, keramahan penduduk yang begitu
bersahaja, sawah yang terpapar indah dan suasana religious yang menggetarkan batin. Usaha kami
begitu berkembang pesat, mungkin karena keberuntungan ditambah kerja keras kami. Pada suatu
sore adi kampung halamanku yang sedang menghitung keuangan usaha kami sambil duduk
memandangi sawah yang tersusun sederhana namun manfaatnya luar biasa, menulis pada secarik
kertas yang aku ambil selembar dari buku keuangan usahaku yaitu puisi sederhana mengenai
kampung halamanku...

Lama akhirnya kau kembali


Dengan aku tak menarik perhatianmu
Kasat mata ku kau pandangi
Merendahkanku, aku tahu
karena aku tak seindah dulu
Aku benci serta merindumu
Aku bisu & buta,bukan mati rasa
Kau merusak tapi juga menjagaku
Namunku bertahan sampai waktunya tiba

Lepas egomu dan tatap aku


Tak ada batas 
Kau dan aku satu
Keindahan!

Aku, kampung halamanmu.

“Gemerlap kota memang memancing adrenalin, tapi kehidupan desa atau kampung halaman lebih
memuaskan batin” ucapku pada diri sendiri.

Penulis : Teguh Priambodo 14711023

Anda mungkin juga menyukai