Anda di halaman 1dari 7

1.

      Paradigma fakta sosial


Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas
karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta
sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan
Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi.
Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah
obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan
bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer
ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi
adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini,
akhirnya Durkheim membangunkonsepfakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek
kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang
nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang
dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan
penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang
nyata (material) saja,melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk
mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk,
yaitu:
a.       Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati. Inti
dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif.
Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
b.      Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang
terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul
dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat
tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya.
Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural,
teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang
biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan
teori konflik.
2.      Paradigma Definisi Sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action).
Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan
struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang
membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan
tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati
atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan
sosial.
3.      Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan
individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang
konkrit dan realistis adalah perilakumanusia atauindividu yang tampak dan kemungkinan
perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau
individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai
atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah
satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba
menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya
meliputi spektrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah
memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek
dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu seperti
struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi
dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi
Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya yaitu
sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia
adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam
paradigma ini adalah teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).
4.      Paradigma Integratif/Multi Paradigma
Seiring perkembangan analisis tiga paradigma di atas dengan berbagai macam
perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi, makamenurut George Ritzer, perlu
adanya paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma tersebut,sebab
teramat sulit untuk memahami fenomena sosialyang begitu kompleks. MakaGeorge Ritzer
berusaha mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep paradigma integratif
yakni dengan menggabungkan subject matterdari ketiga paradigma ini, yang meliputi semua
tingkatan realitas, baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi dan
bahasa, tingkat makro-subyektif seperti nilai, norma dan budaya, tingkat mikro-obyektif
seperti pola perilaku, tindakan, dan interaksi, serta tingkat mikro-subyektif seperti persepsi
dan keyakinan.
Ketiga paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya
saling memperkaya analisis. Masing-masing paradigma yang ada menjelaskan satu tingkat
realitas sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas
sosial yang ada. Kelemahan paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman analisisnya.
Paradigma integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak sedalam analisis pada masing-
masing paradigma yang ada. Untuk itu, dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari
pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi
memerlukan pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.

C.    Teori Pendukung Paradigma Sosiologi


1.      Teori pendukung paradigma fakta sosial
a.       Teori fungsionalisme struktural
Teori fungsionalisme struktural lahir dari pemikiran biologis yang dikonsepkan oleh
Comte dan Herbert Spencer, di mana masyarakat dianalogikan sebagai organisme
biologis. Maksudnya, masyarakat terdiri dari organ-organ yang saling bergantung guna
kebertahanan hidup. Kemudian lebih lanjut teori ini dikembangkan oleh Durkheim. Karena
pengaruh dari Comte dan Herbert Spencer, Durkheim mengonsepkan teori sosiologinya
dengan terminologi organisme.
Kelemahan teori ini yakni bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan
sosial karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial yang sudah formal,
serta mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal lain berperan.
Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat dan pemegang
status quo.

b.      Teori konflik


Teori konflikmerupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme
struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Pendukung teori ini antara lain George
Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf.
Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu ditandai
dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme struktural memandang
keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka
teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa.
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun
kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan
perubahan dalam konteks konflik. Metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial
yaitu interview-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interview-kuesioner
memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang bersifat
fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun
begitu, bagi para penganut fakta sosial metode interview-kuesioner merupakan sesuatu
metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial
yang menjadi subject matter sosiologi.
2.      Teori pendukung paradigma perilaku sosial
a.       Teori behavioral sociology
Teori behavioral sociologymerupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian
psikologi perilaku ke dalam sosiologi. Menurut George C. Homan, manusia di dalam
masyarakat tidak memiliki sifat selain yang diperolehnya dari, dan mungkin dibentuknya
sendiri. Inti analisis teori ini terfokus pada hubungan kausal atas perilaku individu. Teori ini
menekankan adanya hubungan historis antara akibat tingkah laku yang terjadi dalam
lingkungan individu dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. Akibat dari tingkah laku
yang terjadi di masa lalu akan mempengaruhi tingkah laku yang terjadi di masa sekarang.
b.      Teori pertukaran (exchange)
Teori pertukarandikembangkan oleh George Homan. Teori ini berangkat dari asumsi
dasar bahwa semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan
kembali dalam jumlah yang sama. Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dari
teoriini yaitu: Pertama, semakin sering individu melakukan suatu tindakan tertentu yang
dinilainya membawa keuntungan atau manfaat, maka semakin sering individu tersebut akan
melakukan tindakan yang sama; Kedua, jika di masa lalu ada stimulus yang di mana tindakan
individu tersebut memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar kemungkinan orang itu
melakukan tindakan serupa; Ketiga, semakin tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu
tindakan individu, maka akan semakin sering individu melakukan tindakan tersebut;
Keempat, semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan,
maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut; Kelima, bila tindakan seseorang tidak
memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan
emosi atau kecewa dalam diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang menerima
ganjaran yang lebih besardari apa yang dia harapkan, maka dia akan merasa senang dan lebih
besar kemungkinan dia akan terus melakukan perilaku tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Paradigma sosiologi ialah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang
akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Paradigma juga dapat berarti
seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas
dalam sebuah komunitas yang sama. Paradigma sosiologi adalah kerangka berpikir dalam
masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan
perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana
meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk
menjawab masalah.
2.      Teori pendukung dari masing-masing paradigma ini adalah:
a.       Paradigma fakta sosial didukung oleh teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
b.      Paradigma definisi sosial didukung oleh teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori
fenomenologi dan teori etnometodologi.
c.       Paradigma perilaku sosial didukung oleh teori behavioral socilology dan teori pertukaran
(exchange).
d.      Paradigma integratif (multi paradigma) didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori
strukturasi.

DAFTAR PUSTAKA
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), h. 697
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2009), hal. 38.

Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994).

Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), Social Theory Today; Panduan Sistematis Tradisi dan
Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan oleh Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h.127.

George C. Homans, Behaviorisme dan Sesudahnya, dalam Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner
(ed), h. 103.

Lihat Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).

Lihat Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Anda mungkin juga menyukai