G. Sumber Pembelajaran
1. Kementerian Guruan dan Kebudayaan. 2018. Buku Siswa Bahasa Indonesia Kelas
VIII. Jakarta: Kementerian Guruan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Halaman 34-50.
2. Mafrukhi, dkk. 2020. Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMP Kelas VIII. Jakarta:
Erlangga. Halaman 65-102
3. Website : http://files1.simpkb.id/guruberbagi/rpp/113298-1600857756.pdf
http://jsi.sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2016/08/Cerpen-Festival-Teater-
SMP.pdf
H. Kegiatan Pembelajaran
Nilai PPK,
Alokasi
Tahap Langkah-langkah Pembelajaran Literasi, 4C
Waktu
HOTS
Pendahulua 1. Guru membuka pembelajaran dengan memberi salam, Religius 8
n memimpin doa bersama, dan mengecek kehadiran menit
peserta didik. Disiplin
2. Guru dan peserta didik menyenyikan lagu Indonesia
Raya.
3. Guru melakukan ice breaking kepada peserta didik Rasa Ingin Tahu
untuk membangkitkan semangat di awal pelajaran.
4. Peserta didik merespon apersepsi yang disampaikan oleh
guru
5. Peserta didik menerima informasi tentang KD, tujuan
pembelajaran, KKM, dan materi yang akan dipelajari
serta kegiatan yang akan dilakukan.
Inti Orientasi peserta didik pada masalah 60
Peserta didik menerima motivasi atau ransangan dengan menit
memusatkan perhatian dan menelaah dengan cara:
1. Membaca Literasi
Peserta didik membaca teks cerpen yang ditampilkan
oleh guru melalui tampilan PPt. TPACK
2. Menyimak
Peserta didik menyimak tampilan PPt terkait materi yang
dibahas yaitu unsur-unsur pembangun karya sastra yang
terdapat dalam cerpen.
3. Menulis
Peserta didik membuat beberapa catatan yang mereka perlukan
Berpikir Kritis
untuk menganalisis unsur-unsur pembangun karya sastra
(Critical
yang terdapat dalam cerpen.
Thinking), HOTS
4. Guru melakukan tanya jawab terkait isi dari cerpen yang
telah ditampilkan oleh peserta didik untuk mengetahui Kerja sama
pemahaman awal peserta didik. (Collaboration)
Berpikir Kritis
Mengorganisasi Peserta Didik
5. Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap
kelompok beranggotakan 5-6 orang. Kerja sama
6. Secara berkelompok peserta didik mendiskusikan unsur- (Collaboration),
unsur pembangun karya sastra yang terdapat dalam Berpikir Kritis,
cerpen. HOTS
Membimbing penyelidikan peserta didik
7. Peserta didik mengumpulkan informasi dengan cara Komunikatif
menganalisis unsur-unsur pembangun karya sastra yang (Communication)
terdapat dalam cerpen dari LKPD yang diterima.
8. Peserta didik berdiskusi untuk memecahkan masalah
seperti yang terdapat dalam LKPD.
9. Guru memantau keterlibatan dan keaktifan peserta didik
dalam diskusi pemecahkan masalah menggunakan
penilaian proses (observasi).
Mengembangkan hasil karya
10. Peserta didik menyusun hasil diskusi kelompoknya
berdasarkan hasil analisis dan temuannya secara tertulis
dalam bentuk pemetaan pikiran (Mind Mapping)
menggunakan media, alat dan bahan yang telah
disiapkan dalam LKPD untuk mengembangkan sikap Kreativitas
jujur, teliti, kerja sama, dan kemampuan berpikir kritis (creativity)
sistematis.
11. Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya.
Menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah
12. Setiap kelompok secara bergantian mempresentasikan
hasil kerja kelompoknya dan kemudian ditanggapi oleh
kelompok lain.
13. Guru membimbing presentasi dan mendorong peserta
didik memberikan penghargaan serta masukan kepada
peserta didik lain.
14. Di bawah bimbingan guru, peserta didik menyimpulkan
berdasarkan hasil diskusi.
15. Peserta didik menyelesaikan uji kompetensi yang
terdapat pada lembar kerja yang telah disediakan secara
individu untuk mengecek penguasaan siswa terhadap
materi pelajaran.
Penutup 1. Guru memberikan penghargaan kepada satu kelompok Komunikatif 12
yang berhasil menjadi kelompok yang mempunyai (Communication) menit
jawaban yang paling benar dan mampu bekerja sama
secara tim.
2. Guru meminta peserta didik melakukan refleksi kegiatan HOTS
hari ini. Komunikatif
3. Guru menjelaskan rencana pembelajaran berikutnya (Communication)
4. Guru bersama peserta didik berdoa dan menutup kegiatan
pembelajaran Religius
I. Penilaian
1. Teknik Penilaian
a. Sikap (spiritual dan sosial) : pengamatan orang tua
b. Pengetahuan : Tes tertulis
2. Bentuk instrumen
a. Sikap : jurnal
b. Pengetahuan : Uraian
c. Keterampilan : Laporan tertulis individu
3. Instrumen penilaian
Skor Maksimal
Nilai = Skor yang diperoleh / skor maksimal X 100
a. Pembelajaran Remidial
a. Remidial dapat diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai KKM.
b. Guru memberi semangat kepada peserta didik yang belum mencapai KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal). Guru akan memberikan tugas bagi peserta didik yang belum mencapai
KKM (Kriterian Ketuntasan Minimal), misalnya Menganalisis unsur pembangun cerita pendek
b. Pengayaan
a. Pengayaan diberikan untuk menambah wawasan peserta didik mengenai materi pembelajaran
yang dapat diberikan kepada peserta didik yang telah tuntas mencapai KKM atau mencapai
Kompetensi Dasar.
b. Pengayaan dapat ditagihkan atau tidak ditagihkan, sesuai kesepakatan dengan peserta didik.
c. Direncanakan berdasarkan IPK atau materi pembelajaran yang membutuhkan pengembangan
lebih luas misalnya Membandingkan unsur pembangun dari dua karya sastra.
A. Identitas
Nama : ..............................................................
Kelas : ..............................................................
B. Kompetensi Dasar
3.5 Menganalisis unsur pembangun karya sastra dalam teks cerita pendek yang
dibaca atau didengar
C. Tujuan Pembelajaran
Menganalisis unsur pembangun cerita pendek
D. Petunjuk
Sebelum melakukan identifikasi unsur pembangun cerpen, bacalah langkah-langkah
kerjanya.
E. Langkah-langkah
1. Bacalah cerita pendek berjudul “Sang Jenius dari Indonesia Timur” berikut!
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat menghambur.
“Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia
melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba.
Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali
ini? Hingga Bu Guru menegurnya karena terus-terusan melamun.
Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali kartu pos itu terselip
di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk hingga lupa mengirim kartu pos?
Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya pun segera berlari berteriak, “Biiikkk…,
Bibiiikkk….” Ia nyaris kepleset dan menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai
kaget melihat Beningnya terengah-engah begitu.
Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya langsung kaku. Ia
harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang bening itu seketika meredup,
seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja. Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang
kecewa itu.
Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. “Sekarang, setiap pulang,
Beningnya selalu nanya kartu pos…” suara pembantunya terdengar serba salah. “Saya ndak
tahu mesti jawab apa…” Memang, tak gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih
belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila
anaknya bertanya, “Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari…”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos ini akan
membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang. Dari kota- kota
yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya. Marwan kadang meledek
istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS.
Meski baru play group, Beningnya sudah pegang hape. Sekolahnya memang mengharuskan
setiap murid punya hand phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah,
untuk berjaga-jaga kalau ada penculikan.
“Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos…”
Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang hidupnya, Marwan
tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang dapat surat pos yang
membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya sahabat pena, yang dikenal
lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila menerima surat balasan atau kartu
pos, dan memamerkannya dengan membacanya keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-
diam menulis surat untuk dirinya sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak
gembira ketika surat yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.
Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut. “Setiap kali
menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul dari negeri-negeri yang jauh.
Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu…” ujar Ren. Marwan ingat, bagaimana Ren
bercerita, dengan suara penuh kenangan, “Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap
Ayah pulang.” Ren kecil duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota
pada kartu pos yang mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan
punya Ayah pelaut.” Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. “Mungkin aku
memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan…”
Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan yang lucu: pernah
suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya dari kota yang disinggahi
baru sampai tiga hari kemudian!
Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri sayu
menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu juga dipakai Ren
menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20
“Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?” Marwan menggandeng anaknya masuk.
“Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya. “Nganter ke mana?
Pizza Hut?”
“Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya, ngambil kartu pos
dari Mama.”
Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu pos dari
kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD Pokoyo, kartun
kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar kartu pos itu. Sudut
kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di
tepian kanal. Pagoda kuning keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan
deretan yacht tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa.
Bukit karang yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos.
Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada
senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu hingga Beningnya
tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada bocah itu?
“Bilang saja Mamanya pergi…” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan siang bersama.
Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi, setelah Beningnya pulas,
“Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?” “Ya sudah, kamu jelaskan saja
Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan menatap Ita, yang tampak
memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa rekan sekantornya terlihat tengah memandang
mejanya dengan mata penuh gosip. Pasti mereka menduga ia dan Ita….
“Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren….” Marwan tersenyum. Merasa
lucu karena ingat kisah masa lalunya. Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat
Beningnya meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah itu
telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk
melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari
jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa
masuk rumah
Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu. “Wah, udah datang
ya kartu posnya?”
“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu. “Ini bukan tulisan
Mama…”
Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan berlari ke kamarnya.
Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali memang harus berterus terang. Tapi
bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila
jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali.
Membiarkannya ikut ke pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan
kehilangan. Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang
harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah ditemukan.
Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat, sekilas ia melihat
jam kamarnya.
“Beningnya…”
Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya
terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia
mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang.
Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu
makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
“Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah kenapa begitu sulit
ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sangit
membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan makin
panik membayangkan api mulai melahap kasur.
“Beningnya! Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil. “Buka Beningnya! Cepat buka!”
Entahlah berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu seketika lenyap dan
pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut. Segera Marwan menyambar
mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api, semua rapi. Hanya kartu pos-kartu pos
yang berserakan.
“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang sakit, jadi
Mama mesti nganter kartu posnya sendiri….”
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu pos dipegangi
anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai
bekas terbakar.
Singapura-Yogyakarta,
2. Analislah unsur pembangun cerpen yang terdapat dalam teks cerpen diatas !
3. Salinlah hasil analisis kelompokmu kedalam karton yang telah disiapkan dalam bentuk peta
konsep (mind mapping) !
TEKS CERPEN
MATERI AJAR
BAHASA
INDONESIA
Oleh :
TAMRIANTO
SMPN 29 BULUKUMBA
Tujuan Pembelajaran
Pertemuan Pertama:
Melalui kegiatan pembelajaran model problem based learning, peserta didik diharapkan
dapat menganalisis unsur pembangun karya sastra yang terdapat dalam teks cerita pendek
yang dibaca dengan tepat.
MATERI
Unsur pembangun teks cerpen terbentuk atas enam komponen sebuah karya sastra.
Lima unsur itu adalah tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat. Keenam
unsur tersebut sering disebut sebagai unsur intrinsik cerita.
Daya pikat sebuah teks cerpen sangat ditentukan oleh keterampilan sang penulis
dalam menyatukan unsur-unsur cerita tersebut. Dengan demikian, teks cerpen mampu
merangsang minat pembaca untuk mengetahui jalan ceritanya selanjutnya. Berikut ini adalah
penjelasan unsur-unsur pembangun teks cerpen.
a. Tema cerita
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra. Tema
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Oleh karena itu, tema bersifat menjiwai seluruh
bagian cerita itu. Sebagai contoh, sebuah cerpen dapat bertema keadilan, persahabatan,
perjuangan, cita-cita, atau kecerdikan.
b. Alur cerita
Alur cerita berisi jalannya cerita dari awal sampai akhir. Alur dibagi menjadi
tiga, yakni alur maju, alur mundur, dan alur campuran.
c. Penokohan
Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu cerita.
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang bagaimana watak tokoh
tersebut. Penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita pun dijelaskan
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
d. Latar
Latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi.
Latar dibagi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, latar suasana.
e. Sudut pandang
Sudut pandang adalah cara penulis memandang tokoh-tokoh cerita dengan
menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Sudut pandang ada empat macam, yaitu
sudut pandang orang pertama pelaku utama, sudut pandang orang pertama pelaku
sampingan, sudut pandang orang ketiga pengamat, dan sudut pandang orang ketiga
serba tahu.
f. Amanat
Amanat berisi pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
3. Contoh cerpen.
KEADILAN
Putu Wijaya
Ada suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali.
Mereka memakai kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter
mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau plastik ala koktail bergantungan dengan
pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat, anak-anak selalu memburunya. Kadang-
kadang tidak untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah
satu di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membeli es
pudeng puter dan merasakan suasana cerianya. Bu Amat sampai malu melihat kelakuan
suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan layangannya,
tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut alun-alun berteriak
memanggil, anaknya merengek-rengek minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu
menuju ke sana, hampir semua anak- anak yang sedang main layangan menolehkan
kepalanya. Yang punya duit langsung lari sambil menggulung tali layangannya, tak
terkecuali Pak Amat. Waktu itu, ia sedang memperhatikan seorang juragan ayam yang
sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya, lalu merasakan ada uang
di dalamnya. Ia langsung ikut berlari ke rumah Pak Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu, “Ada
orang sakit di dalam!”
“Sabar...sabar...,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya
nanti dapat.” “Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil
mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “Pudengnya
yang merah.” Tukang pudeng agak panik, ia
mengambil pudeng berwarna oren. “Merah”, teriak
Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik
pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu itu.”
Anak- anak tertawa lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata ia meraih
pudeng yang berwarna hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah...” Lalu ia
mengambil koktail warna merah. Tukang es tampak ketakutan, ingin cepat-cepat
menuangkan es ke atas koktail itu. Pak Sersan langsung menyambarnya dan masuk ke
dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil megacungkan uang minta
diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah satu
koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat. Tukang es
puter kewalahan, ia meraih belnya lalu membunyikannya keras-keras. Tapi, akibatnya
jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan muncul sambil mengacungkan
pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit
di dalam.” “Bukan saya, Pak, anak ini...,” kata
tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak
mau Cerpen//Kelas
RPP3-Tks dibantah. “Bukan
9-Semester saya,
1 Pak!”
BAHASA INDONESIA-KURIKULUM 2013
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya.
Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat menunggu beberapa lama,
kemudian berbisik, “Baiknya Bapak pergi sebelum Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat lalu
berkata, “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya? Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu
gelas kristal.” Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan
menadahkan tangannya.
“Ayo bayar.”
Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan nyawa orang itu,
tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat lalu melangkah, tapi orang itu tiba-tiba
menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak meskipun tangannya terluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih tua. Semangat
mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangkit lagi. Tapi, rasanya itu tidak
sepadan dan tidak gaya untuk berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara
tukang es yang kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang
sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia
berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi
tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu abad
merdeka, citra anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat berbeda-beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini?” bisik Pak Amat
UJI KOMPETENSI
NAMA : ………………………
KELAS : ………………………
I. PILIHAN GANDA
Pilihlah jawaban a, b, c, atau d yang benar!
1. Bacalah kutipan cerpen berikut!
Sebuah mobil colt berplat nomor merah berhenti persis di depan kedai kasur Alin.
Murni berdebar- debar, kalau-kalau orang yang turun dari mobil itu utusan hotel yang
memesan tiga puluh kasur single itu. Ia berusaha tersenyum dan menyembunyikan
giginya yang terlalu menonjol ke depan. Orang berpakaian pegawai itu juga tersenyum
membalas.
"Maaf, Bu. Saya pegawai ketertiban Balaikota. Apakah racun api Ibu masih
baik? Boleh saya periksa?"
Kata tercetak miring tersebut mengandung makna . . . .
A. bangunan tempat memproduksi barang C. bangunan tempat menitipkan
barang
B. bangunan tempat berjualan D. bangunan tempat menumpuk
barang
2. (1)"Apakah peranku bagimu, silumankah aku?" tak ada jawabmu, hanya angin berdesir di
sekeliling kita. (2)Bulan pucat tak bisa menyembunyikan senyumanmu demi melihat
kerutan di dahiku. (3)Biarlah menjadi rahasia alam akan apa yang kita rasakan ini.
(4)Jangan lagi memaknainya, menanyakannya atau mengharapkannya esok hari.
Bukti bahwa kutipan cerpen tersebut berlatar malam hari terdapat pada nomor . . . .
A. (1) B. (2) C. (3)
D. (4)
3. Kuingin kau berbohong padaku. Seperti yang kau utarakan kemarin, dan yang kemarin dulu
itu. Ketika mentari meredup berpendar di pucuk daun sebelah barat rumah dan ketika
kerumunan itu tak lagi bersamamu, kau mulai dengan kisah kebohonganmu yang pertama
kepadaku.
Bukti bahwa kutipan cerpen tersebut berlatar waktu sore adalah . . . .
A. Mentari meredup C.pucuk daun di sebelah barat
B. Ketika kerumunan tidak bersama D. Kebohongan yang disampaikan
tokoh kamu
kedua
B. Kalimat kedua pada paragraph pertama D. Kalimat ketiga pada paragraf kedua
6. (1) Boleh jadi, itu sikap angkuhnya seorang yang sukses dan kaya menghadapi pemuda kere
macam aku. (2) Sebagai pimpinan sebuah bank papan atas di negeri ini, mungkin dia tak rela
hati anak gadisnya kupacari. (3) Jadi, amat wajar dia kelihatan tidak suka terhadapku. (4)
Apalagi tampangku tidak keren kayak aktor Nicholas Saputra, sementara wajah Mawar
memang cakep. (5) Kamu sendiri bilang, Mawar mirip Dian Sastro dengan bodi semampai
macam Luna Maya (padahal menurutku, Mawar lebih mirip penyanyi kesukaanmu, Mulan
Jamila).
Bukti bahwa watak tokoh ‘dia’ pada kutipan cepen tersebut sombong terletak pada kalimat
bernomor .
...
A. (1) dan (2) B. (2) dan (3) C. (3) dan (4) D.
(4) dan (5)
7. Ku tak mungkin jatuh cinta kan? Tidak sekarang, tidak denganmu. Pesonamu menjeratku tapi
aku tak kan membiarkan diriku jatuh cinta kepadamu. Tak kan pernah kupercaya segala
tuturmu kepadaku, dan ku akan selalu menganggap bohong apa pun yang kau ucapkan
kepadaku sejak itu, termasuk yang itu yang dua kali kau sampaikan padaku. Sampai
kapan pun kau merayuku, aku tak akan
pernah lagi percaya padamu. Kebohongan-kebohonganmu telah
merusak cintaku. Bukti bahwa watak tokoh “kamu” pembohong dapat
diketahui melalui . . . .
A. Tingkah laku tokoh kamu C. Dialog tokoh kamu
B. Tingkah laku tokoh aku D. Dialog tokoh aku
9. Parjimin adalah tukang batu, tetangga Kurdi. Lumayan bagi mereka, mendapat proyek baru.
Rupanya, proyek rumah gedong itulah yang selalu diperbincangkan Kurdi disetiap
kesempatan. Di tempat perhelatan nikah, supitan, di tempat kerja bakti, sarasehan kampung,
sampai ronda malam. Dia senantiasa tidak lupa menceritakan rencananya membangun rumah
gedungnya itu.
Komentar atas perbedaan pola pengembangan kedua kutipan cerpen tersebut adalah . . . .
A. Kutipan I menggunakan alur sorot balik. Kutipan II menggunakan alur maju.
B. Kutipan I menggunakan alur maju. Kutipan II menggunakan alur campuran.
C. Kutipan I menggunakan alur sorot balik. Kutipan II menggunakan alur campuran.
D. Kutipan I menggunakan alur maju. Kutipan II menggunakan alur sorot balik.
Tamrianto, S.Pd.
Nip 198901262020121010
BAHASA INDONESIA-KURIKULUM 2013