Anda di halaman 1dari 7

Menunggu Senja

Oleh: Muzdalifa Darwis


Di sinilah diriku berada di sebuah taman yang tidak jauh dari rumahku, setiap hari aku
menghabiskan waktu di tempat ini sambil menikmati indahnya pemandangan sore hari. Mengapa
aku memilih tempat ini? Karena di tempat inilah aku pertama kali melihat sosok dirinya, dia lelaki
yang sangat tampan dan juga dingin.
Sebulan yang lalu...
“ Hai..” (Tangannya melambai di depan mataku)
Seketika aku tersadar dari lamunanku
“ Ehh.. Kamu siapa? Kok tiba-tiba ada di sini? Ganggu orang menghayal aja.”
“ Ma- Maaf.. Aku mau duduk di sini tapi aku lihat sudah ada yang duduki, jadi aku mau suruh
kamu pindah dari sini. Lagi pula ini tempat aku, kamu cari aja tempat yang lain!”
“ Enak aja suruh orang pindah, memangnya kamu siapa? Ini kan tempat duduk umum siapa saja
boleh duduk disini.”
“ Tapi aku yang setiap hari duduk di sini, jadi cuma aku yang berhak.”
“ Dasar cowok aneh.”
“ Terserah kamu mau bilang apa, yang penting aku ingin duduk di sini.”
“ Ganteng-ganteng kok judes.” (Sambil berlalu dari hadapan cowok tersebut)
Belum sempat meninggalkan tempat itu, dia langsung menghentikan langkahku.
“Hei kamu mau kemana?” (Menarik lengan bajuku)
“ Tadi suruh pergi, kok sekarang ditahan sih?”
“ Aku suruh pindah bukannya pergi. Kamu ngerti bahasa Indonesia enggak sih?”
“ Ih.. Dasar cowok aneh, nyebelin lagi.” (Mencibirkan bibir)
“ Kamu duduk disini aja! Kita kan belum kenalan.” (Mengulurkan tangannya untuk bersalaman)
“ Gak sudi kenalan sama cowok judes kayak kamu.” (Mengabaikan tangan cowok itu)
“ Ya sudah. Kalau kamu gak mau kenalan, aku aja yang kenalan. Nama aku Rayhan Shakeyl
panggil aja Rayhan atau terserah kamu aja mau manggil aku apa, aku ikhlas kok.” (Sambil
tersenyum)
“ Oh.. Nama yang indah sama seperti orangnya. Kalau aku Kayla Nara panggil aja Kayla .”
“ Nama kamu juga indah sama seperti kamu. Kalau boleh tau kok kamu sendirian?”
“ Ayah dan Bunda lagi di kantor, sambil nunggu mereka pulang aku main aja kesini.”
“ Aku saranin nih kalau nungguin orang tua pulang kamu di rumah aja!”
“ Aku gak punya teman di rumah.”
“ Saudara kamu kemana?”
“ Aku anak tunggal.”
“ Enak ya jadi kamu. Seandainya aku gak punya saudara pasti udah dimanja sama mama dan
papa.”
“ Kamu gak boleh ngomong gitu! kamu harus bersyukur masih diberikan saudara, sedangkan aku
pengen banget tapi enggak punya.”
“Ta-Tapi..”
Belum sempat dia melanjutkan kata-katanya langsung saja aku potong.
“ Maaf aku harus pergi sekarang. Pasti Ayah dan bunda sudah sampai.”
Lalu aku berlari meninggalkan Rayhan yang masih diam terpaku dengan pernyataan yang belum
sempat ia lontarkan.
Sesampai di rumah yang bercat biru itu, aku mendapati ayah dan bunda yang sedang menonton
TV diruang keluarga. Setelah mengucapkan salam aku langsung duduk ditengah-tengah mereka.
Orang tuaku adalah orang yang sibuk wajar saja kalau aku selalu menyendiri di mana pun itu
kecuali jika aku berada di sekolah. Setelah beberapa menit berbincang-bincang tibalah saatnya
untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu menunaikan shalat Maghrib. Kami
shalat maghrib berjamaah di ruangan khusus untuk shalat.
Setelah selesai shalat dan makan malam aku pergi ke kamar dan mulai membuka buku pelajaran.
Dibacaku lembar demi lembar tulisan yang ada didalamnya. Namun tidak sampai satu jam aku
kepikiran dengan orang yang ku temui di taman tadi sore. Aku baru melihatnya hari ini padahal
dia mengatakan bahwa dirinya menghabiskan hari-harinya ditempat tersebut.
~~~~~~~~~~~~~
“Kamu jangan suka keluyuran enggak jelas! Kamu pikir mama enggak nyariin kamu, Atau kamu
sudah enggak mau tinggal di rumah ini?”
Aku menghentikan langkah setelah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh wanita paruh bayah.
Dilihatku ke arah sumber suara itu dan kudapati seorang anak laki-laki seumuranku sedang
dimarahi oleh ibunya di teras rumah. Karena diriku sangat penasaran dengan pertengkaran itu jadi
aku memutuskan untuk mendekati pagar yang tinggi di depanku.
“Aku enggak keluyuran hanya dari taman saja.”
Aku bisa melihat jelas siapa laki-laki itu. Dia adalah orang yang kutemui di taman seminggu yang
lalu. Ya, dia adalah Rayhan yang telah berhasil membuatku sering kepikiran dengannya.
“Mama enggak suka kamu ada di luar. Sekarang kamu masuk dan setrika baju kakak kamu!”
Aku terkejut saat mendengar Ibu itu menyuruh anaknya menyetrika baju milik saudaranya. Aku
berpikir apakah rumah sebesar ini tidak mempunyai pembantu atau kakak Rayhan gak bisa
menyetrika bajunya sendiri? Mengapa harus Rayhan yang melakukannya?
“Iya Mah. Rayhan masuk dulu.”
Baru saja Rayhan melangkahkan kakinya memasuki rumah, aku tidak sengaja mengetok pagar
Rayhan dan membuat ibunya menoleh ke arahku.
“Siapa di sana?”
Perlahan Ibunya mendekat ke arahku dan membuka pagar tiba-tiba, membuatku kaget seketika
dan lari terbirit-birit seperti dikejar anjing.
“Pencuuuuuuuuriiiiiiiiiiii..............”
Jantungku berdetak tidak karuan saat mendengar Ibunya meneriakiku seperti itu dan aku pun
menoleh ke belakang untuk memastikan tidak ada warga yang ikut mengejarku.
Langkah kakiku terhenti saat aku telah tiba di depan rumah. Aku melangkah masuk ke dalam
rumah yang tak berpenghuni itu karena penghuninya sebagian berada dikantor.
Ah sialan. Jika aku tidak penasaran dengan pertengkaran itu pasti jantungku tidak seperti ini.
Rasanya aku memerlukan sesuatu untuk menetralisir kerja jantung.
Aku memasuki kamar dengan langkah yang terburu-buru. Sesampai dikamar aku langsung
mencari keberadaan benda berbentuk segi empat yang tidak lain adalah telepon genggam
kesayanganku. Setelah mendapatkan telepon tersebut segera ku cari kontak Rayhan yang ada
didalamnya. Aku sempat menyimpan nomor teleponnya yang dia berikan seminggu yang lalu.
Beberapa kali aku menghubunginya tetapi nihil, dia tidak mengangkat telepon dariku. Apakah dia
sedang sibuk dengan pekerjaan yang diberikan oleh ibunya? Sudahlah yang terpenting aku telah
melihatnya hari ini, itu bisa membuat otakku tidak terlalu memikirkan hal tentangnya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku menghabiskan hari-hariku di tempat yang menjadi favoritku saat ini, apalagi kalau bukan
taman kota. Pemandangan di sini sangat menarik dengan pepohonan, berbagai macam bunga, dan
tempat duduk yang ditata sangat rapi dan indah. Yang lebih menambah keindahannya yaitu
pancaran warna jingga dilangit sore.
Aku berharap dirinya akan datang di tempat ini, seperti perjumpaan kami pertama kali. Hampir
satu jam aku menunggunya di sini. Tapi dia tak kunjung datang, di manakah dirinya berada.
Masihkah dia melakukan pekerjaan yang aku pun tak pernah melakukannya sendiri? Karena
pekerjaan rumah diserahkan kepada pembantu.
Kini langit telah berubah warna menjadi gelap. Lalu lalang kendaraan dan orang-orang kini
nampak sepi. Mungkin mereka telah bersiap-siap untuk menunaikan kewajibannya sebagai
seorang muslim dan masjid-masjid di sekitar sini telah menggema begitu merdunya. Aku
meninggalkan tempat ini dengan langkah sedikit tergesa. Walaupun jingga itu sangat indah, tetapi
lebih indah lagi jika bersujud kepada sang pemilik-Nya. Aku tidak ingin melewatkan shalat fardu
karena shalatlah perkara yang pertama kali dihisab di akhirat kelak.
Seperti biasa setelah selesai melakukan aktivitas, aku membaringkan tubuh di atas kasur
empukku. Rasanya hari ini sangat melelahkan bagiku. Mengapa tidak, satu jam aku menunggunya
tapi dia tak kunjung datang. Bagaimana dia mau datang? Aku saja tidak pernah memberi tahu
kalau aku sedang menunggunya di taman.
Aku memutuskan untuk tidur saja, siapa tahu besok aku mendapatkan keajaiban. Aku ingin
bertemu dengannya dan mengatakan bahwa aku rindu. Sungguh tidak mengenakkan jika hidup
seperti ini. Hidup dalam kegelisahan, tanda tanya yang aku pun tak tahu jawabannya. Mungkinkah
aku menyukainya? Tidak, aku hanya sekedar simpati padanya. Semua ini membuatku bingung.
Tok... Tok... Tok...
“Kay, kamu sudah tidur nak?” Terdengar suara dari luar kamar.
Segera aku bangun dan membuka pintu kamar. Ku dapati Bunda yang sedang berdiri dibalik pintu
tersebut.
“Belum Bun.”
“Kalau begitu Bunda boleh masuk? Ada yang mau Bunda bicarakan sama kamu!”
“Ya bolehlah Bundaku sayang!”
Aku segera memeluk bunda dan mengajaknya masuk ke kamar. Kami duduk di atas kasur dan
Bunda mulai membuka pembicaraan.
“Kay, kenapa akhir-akhir ini bunda perhatiin kamu pulangnya hampir kemalaman? Terus kalau
habis makan kamu langsung masuk kamar, enggak ada bicara sama Ayah dan Bunda gitu.
Memangnya kamu ada masalah nak? Cerita sama Bunda, siapa tahu Bunda bisa bantu!”
Ya Allah, aku harus jawab apa sama Bunda. Aku bingung.
“Ehm.. Maaf ya bun! Kalau akhir-akhir ini Kayla pulangnya enggak tepat waktu. Kayla mau
cerita ke Bunda tapi Kayla malu. Enggak tahu harus ngomong dari mana?”
Bunda kemudian mendekap tubuhku, seperti memberikan semangat kepadaku.
“Kayla sayang, kenapa harus malu ngomong ke Bunda. Bunda bisa rasakan apa yang Kayla alami
sekarang.”
“Gini bun, Kayla baru saja kenalan sama seorang cowok. Dia tampan sekali, tingginya mungkin
dua kali lipat dari Kayla, manis, apalagi kalau lagi senyum bikin diabetes gitu Bun. Tapi dia
orangnya dingin, pertama kali ketemu dia marah-marah enggak jelas. Awalnya Kayla benci sama
dia, enggak tahu sekarang Kayla suka nyariin dia, kadang suka khayalin. Apalagi Kayla pernah
Lihat dia dimarahi sama Ibunya, disuruh setrika baju. Kayak pembantu saja disuruh-suruh gitu.
Kayla pengen nolongin tapi takut sama Ibunya.”
Bunda seketika tertawa mendengar ceritaku yang panjangnya seperti rel kereta api.
“Anak bunda sudah besar sekarang. Enggak ada yang salah kalau kamu menyukai seseorang.
Tapi, bunda ingetin jangan sampai itu membuatmu lupa segala hal. Misalnya pulangnya harus
tepat waktu. Kalau simpati sama seseorang boleh. Tapi, jangan sampai hal itu membuat kamu
sibuk dengan urusan orang lain.”
Jawaban bunda yang singkat dan jelas itu membuatku diam beberapa saat. Memang apa yang
Bunda katakan benar, tapi aku sebagai seorang yang menjunjung tinggi keadilan tidak setuju
dengan hal itu. Seseorang dilahirkan didunia ini punya hak dan kewajiban, mengapa sebagian
yang lain malah menindas hak seseorang? Apakah ini adil? Tidak.
Sambil memegang tangan Bunda, aku kemudian berkata.
“Sekali lagi maafkan Kayla ya Bun! Kayla enggak bermaksud mengecewakan Bunda atau mau
membantah yang Bunda katakan. Tapi beginilah adanya Bun, Kayla enggak bisa melihat orang
menderita. Apalagi yang membuatnya seperti itu yaitu orang terdekatnya.”
Dengan sigap Bunda langsung memelukku. Tanpa aku sadari mataku mengeluarkan bulir-bulir
bening. Rasanya aku tak bisa lagi membendungnya. Aku sangat lemah saat ini.
“Sayang, Sekarang Bunda memberikan kamu kebebasan untuk melakukan hal yang kamu
inginkan. Tapi ingat lakukanlah sesuatu yang wajar! Jangan sampai kamu sendiri yang rugi.
Karena semua itu tergantung pada dirimu. Bunda senang melihatmu punya kepribadian yang suka
menolong. Karena di dalam Al-Quran tertulis, Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan
takwa, jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Semoga perjuanganmu tidak
sia-sia ya nak!”
Di tengah isak tangisku, aku peluk bunda dengan erat.
“Makasih ya bun! Sudah memberikan kepercayaan buat Kayla. Kayla janji tidak akan
mengecewakan Bunda. Kayla akan ingat semua yang Bunda katakan. Tanpa motivasi dari Bunda
Kayla enggak tahu harus berbuat apa sekarang. Kayla sayang Bunda!”
Bunda membelai rambutku dengan lembutnya.
“Iya sayang, Bunda juga sayang sama kamu, sayang banget. Karena hanya kamu satu-satunya
harta yang terindah yang Allah telah berikan kepada kami. Bahagiamu adalah bahagia kami, dan
sedihmu adalah kesedihan kami nak. Bunda dan ayah akan memberikan segala kasih sayang
kepadamu. Tiada yang berarti didunia ini kecuali kamu.”
Aku merasa sangat beruntung didunia ini terlahir dari keluarga yang berkecukupan dan sangat
sayang kepadaku. Lain halnya dengan Rayhan, memang dia terlahir dari keluarga yang
berkecukupan tapi tidak merasakan kasih sayang dari orang tuanya.
Bunda melepaskan pelukannya dan berbalik melihat jam weker yang berada di atas nakas.
“Sayang, karena ini sudah jam 10 kamu tidur ya! Jangan bergadang nanti kamu kesiangan
bangunnya!”
“Iya Bunda!”
Sebelum keluar kamar, Bunda mengecup keningku.
“Selamat tidur sayang!”
“Selamat tidur juga Bundaku sayang, semoga mimpi indah!”
Bunda tersenyum kepadaku dan berjalan keluar kamar. Aku mengikuti Bunda dan segera menutup
pintu.
Selepas kepergian Bunda, Aku langsung mencari keberadaan Teleponku. Dilihatku notif yang
bertuliskan nama Rayhan. Karena penasaran, segera aku membuka chat tersebut.
“Kay, jangan lupa datang ke taman besok sore ya!”
Aku senang sekali setelah membaca chat tersebut. Baru kali ini aku mendapatkan chat dari
Rayhan. Aku tidak ingin membalasnya. Aku segera tidur, tidak sabar ingin berjumpa dengannya.
~~~~~~~~~~~~~~~
Keesokan harinya, aku segera bersiap-siap untuk menemui Rayhan di tempat yang telah dia
tentukan. Dengan langkah cepat, ku ayunkan kakiku melewati jalan yang sedikit ramai.
Tidak sampai lima menit, aku telah sampai di tempat tujuan dan mencari kursi yang biasa ku
duduki di taman ini. Aku mendekati kursi tersebut, tapi aku tidak melihat sosok dirinya di sana.
Apakah dia belum datang? Biarlah aku tunggu saja dia di sini.

Sedang asyik melihat orang bermain di taman. Aku dikagetkan oleh seorang anak kecil yang
membawa setangkai bunga dan selembar surat ditangannya. Dia memberikan kepadaku disertai
senyum manisnya.
“Ini untuk kakak!”
Aku mengambilnya, dan membalas senyum tersebut.
“Makasih ya! Tapi ini siapa yang ngasih?”
“Kakak ganteng.”
Aku terkejut mendengar ucapan adik perempuan tersebut.
“Kakaknya mana?”
“Udah pergi, ke arah sana!”
Anak itu menunjuk jalanan yang berada di seberang kami. Dan kemudian berlalu dari hadapanku.
Ku letakkan bunga di sampingku, dan perlahan aku membuka surat kecil itu. Benar yang telah ku
duga bahwa Rayhan yang menulisnya. Baru saja satu kalimat aku membacanya air mataku
langsung mengalir. Tak sanggup aku membendungnya, aku tidak mau kehilangan dia.
Di dalam surat itu tertulis bahwa dia mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah menjadi
bagian indah dalam hidupnya, walaupun belum lama berkenalan. Dia pamit untuk pergi mencari
makam Ibu dan Ayahnya. Ternyata selama ini dia baru mengetahui bahwa dirinya adalah anak
angkat, karena kakak angkatnya tidak punya teman bermain jadi Rayhan diadopsi sejak umur 2
tahun dari panti asuhan. Dia mengatakan bahwa akan kembali lagi ke rumah orang tua angkatnya,
entah kapan itu dia pun tak tahu. Sampai dia menemukan makam dari Ayah dan Ibu kandungnya.
Tangisanku semakin menjadi setelah membaca surat tersebut. Dia telah lama menungguku di sini
untuk sekedar berpamitan. Tapi aku baru datang setelah lima belas menit dia berlalu. Maafkan aku
yang telah membuatmu menunggu! Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu
kedatanganmu kembali. Anggap saja ini sebagai balasan atas keterlambatanku. Tapi aku mohon
jangan lama, aku merindukanmu Rayhan!
Aku memalingkan pandangan kepada warna jingga yang berada dilangit sore. Warnanya tidak
seperti biasanya, apakah dia merasakan apa yang sedang aku rasakan sekarang? Senja itu indah,
namun melihatnya bersamamu jauh lebih indah.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai