Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

HIPERBILIRUBINEMIA

Oleh :

Widyawati Glentam 201810330311105

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah
yang secara klinis ditandai dengan ikterus pada sklera dan kulit. Salah satu
fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir adalah
hiperbilirubinemia. Hiperbilirubin pada neonatus terjadi pada 1 minggu pertama
setelah kelahiran dan diperkirakan dialami oleh 60% neonatus cukup bulan dan
80% neonatus kurang bulan. Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 sebesar 24 per 1.000
kelahiran hidup. Sebagian besar bayi baru lahir, terutama bayi yang kecil (bayi
yang berat lahir < 2.500 gr atau usia gestasi < 37 minggu) mengalami ikterus
pada minggu awal kehidupannya.
Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi
toksik dandapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan
hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele neurologis. dengan
demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus
yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor
apakah mempunyai kecenderunga untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia
yang berat. Oleh karena itu penting untuk dapat membedakan ikterus fisiologis
dan non fisioloiogis dan juga dalam rangka untuk memberikan tatalaksana dan
followup yang tepat.

1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh mengenai
Hiperbilirubinemia mulai definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis,
diagnosis, hingga penatalaksanaannya.
1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Hiperbilirubinemia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ikterus neonatorum adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lain
akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting
penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah. Bila
kadar bilirubin darah melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada
neonatus ikterus masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah
melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi karena peninggian kadar bilirubin indirect
(unconjugated) dan kadar bilirubin direk. Bilirubin indirek akan mudah melewati
darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia dan
hipoglikemia. Ikterus neonatorum ialah suatu gejala yang sering ditemukan pada
bayi baru lahir yang terbagi menjadi ikterus fisiologi dan ikterus patologi.

2.2 Klasifikasi
a. Ikterus Fisiologis
- Timbul pada hari kedua sampai ketiga.
- Kadar bilirubin indirek sesudah 2 - 24 jam tidak melewati 15 mg % pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada neonatus kurang bulan.
- Kecepatan peninakatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari.
- Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
- Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik (kern –
ikterus)
- Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.

b. Ikterus Patologis
- Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama
- Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi
12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
- Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
- Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.

2.3 Etiologi
a. Produksi yang berlebih
- Golongan darah ibu an pasien yang tidak sesuai
- Enzim G6PD ynag rendah
b. Gangguan transportasi
- Albumin rendah
- Ikatan yang kompetitif dengan albumin
c. Gangguan Ekskresi
- Obstruksi usus
- Obstruksi saluran empedu
- Obstruksi pre hepatik

2.4 Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Pembentukan bilirubin dapat dilihat pada Gambar 2.1. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari
heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme
untuk menghasilkan tetrapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang
tidak larut dalam air (bilirubin indirek, indirek).
Bilirubin dalam plasma diikat oleh albumin sehingga dapat larut dalam air.
Zat ini kemudian beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati. Hepatosit
melepaskan bilirubin dari albumin dan mengubahnya menjadi bentuk isomerik
monoglucuronides dan diglucuronide (bentuk indirek) dengan bantuan enzim
uridinediphosphoglucuronosyltransferase 1A1 (UGT1A1).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah
menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen
direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia

2.5 Manifestasi klinis


a. Kulit berwarna kuning sampai jingga
b. Pasien tampak lemah
c. Nafsu makan berkurang
d. Refleks hisap kurang
e. Urin pekat
f. Perut buncit

2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Riwayat keluarga icterus, kelainan metabolic, kelainan kongenital,,
penyakit hati, sakit selama hamil, obat- obatan selama kehamilan, trauma
lahir, Riwayat pemberian ASI Ekslusif
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi warna kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa serta feses
(dempul) dan urine (coklat tua). Ikterus terbaik dilihat dengan cahaya
matahari dengan meregangkan daerah kulit yang diperiksa
Periksa tanda-tanda dehidrasi, letargi, pucat, trauma lahir, ptekie,
mikrocefali, hepatoplenomegali, hipotiroidisme atau masa di abdomen

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar bilirubin total dan direk  curiga kolestasis atau icterus menetap > 2
minggu
2. Pemeriksaan darah perifer lengkap dan hapusan darah tepi  morfologi
eritrosit
3. Golongan darah
4. Uji Coobs  bila dicurigai inkompabilitas ABO
5. Kadar enzim G6PD
6. Uji faal hati
7. Urinalisis

2.7 Tatalaksana
a. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama diberikan :
- Kadar bilirubin serum berkala
- Pemeriksaan darah tepi
- Golongan darah ibu dan anak
- Pemeriksaan enzim G6PD
b. Ikterus yang timbul dalam 24-72 jam pertama diberikan :
- Pemeriksaan enzim G6PD
- Kadar bilirubin serum berkala

Terapi Sinar
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin
dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin
dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah laurt dalam air tanpa
harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar
bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih
fatal.

Terapi tranfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tidak ada perbaikan dan kadar bilirubin
terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan
terapi transfuse darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan
kerusakan sel saraf otak /kern ikterus. Untuk itu, darah bayi sudah teracuni akan
dibuang dan ditukar dengan darah lain. Proses tukar darah akan dilakukan
bertahap.Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan
angka yang menggembirakan, maka terapi transfuse bisa berhenti. Tapi bila
masih tinggi maka perlu dilakukan proses transfusi kembali. Efek samping yang
bisa muncul adalah masuknya kuman penyakit yang bersumber dari darah yang
dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski begitu, terapi ini terbilang efektif untuk
menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.

Terapi sinar matahari


Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan
anatara jam 07.00 sampai 09.00 pagi. Inillah waktu dimana sinar surya efektif
mengurangi kadar bilirubin.
BAB III
KESIMPULAN

Hiperbilirubinemia adalah kedaaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih
dari 5-7 mg/dl yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sklera dan organ lain dimana
kuning pada kulit akan muncul secara cephalocaudal sesuai dengan kadar bilirubin
dalam darah. Hiperbilirubinemia berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu dan
prematuritas. Selain itu, asupan ASI pada bayi juga dapat mempengaruhi kadar
bilirubin dalam darah. Ikterus dikelompokkan menjadi tiga yaitu ikterus fisiologis,
ikterus non fisiologis, ikterus yang berkaitan dengan pemberian ASI. Pendekatan
diagnosis hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dilakukan dengan temuan klinis
pada pasien dan serangkaian pemeriksaan penunjang. Tata laksana pada
hiperbilirubinemia terdiri dari beberapa teknik yaitu fototerapi, transfusi tukar, dan
medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Puspita N. The Effect of Low Birthweight on the Incidence of Neonatal Jaundice


in Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi. 30 Agustus 2018;6(2):174
2. Sulani, F. Masalah Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) dan Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) di Indonesia. Makalah disampaikan pada Kongres Nasional X
Perinasia Balikpapan, 5 November 2009.
3. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA,
Martin RJ, editors. Neonatalperinatal Medicine. Disease of the Fetus and Infant
(Seventh Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002; p.1309-50.
4. Hansen TWR. Jaundice, neonatal. E. Medicine [homepage on the Internet]. 2011
[updated 2011 June 15; cited 2011 October 15]. Available from:
Hyperbilirubinemia in Neonates: Types, Causes, Clinical Examinations,
Preventive Measures and Treatments: A Narrative Review Article [Internet].
[dikutip 2 Agustus 2019]. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4935699/ 2.
5. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice: Bilirubin
physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67. 4.

Anda mungkin juga menyukai