Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

ABSES PERITONSILER

Oleh :

Widyawati Glentam 201810330311105

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi
jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang
sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik
atau tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya
abses peritonsil.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang
mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan
pembengkakan. Abses peritonsil (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher
dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsil. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.

1.2 Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih jaun mengenai Abses
Peritonsiler mulai definisi, klasifikasi, hingga tatalaksananya.

1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai Abses Peritonsiler.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.
Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Abses peritonsil merupakan
infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang
terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan
didahului oleh infeksi tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.

2.2 Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namunpaling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan
obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki
proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa
tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk
tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per
100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.

2.3 Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler
adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling


banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif
pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang
sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris
merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampakpalatum
mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut
lebih lunak dan berwarna kekuningkuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan,
dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus
berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,
sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

2.5 Gejala Klinis

 Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah
dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum
molle.
 Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada
tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk.

 Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus

 Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.

 Panas sub febris

 Disfagia  susah menelan

 Odinofagia yang menyolok dan spontan

 “hot potato voice”  bicara seperti makan panas

 Mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang

 Nyeri telinga (otalgia) ipsilateral

 foetor ex orae  mulut berbau

 Perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di


faring

 Rinolalia aperta karena udem palatum molle  udem dapat terjadi karena
infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis

 Trismus  terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut

 Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri


leher
dan terbatasnya gerakan leher (torticolis)

2.6 Diagnosis dan pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring
sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada
kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri
palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada
palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi
fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas,
untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.
b. Pemeriksaan penunjang
1) Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2) Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,
penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly.Liver
function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3) “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk
pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya
resistensi antibiotik.
4) Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
5) Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan
“peripheral rim enhancement”. Gambaran lainnya termasuk pembesaran
asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.
6) Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan Teknik
pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan
abses.
2.7 Tatalaksana
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi
pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi
ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses,
biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Bila terdapat trismus, maka untuk
mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian
pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu
sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat
ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan
Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri
tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok
yang hanya diberi antibiotik parenteral.
BAB III
KESIMPULAN
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium
peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior,
biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilopharingitis akut 5-7 hari
sebelumnya. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Organisme aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-
hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae.
Sedangkan organisme anaerob adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Kebanyakan abses peritonsiler
disebabkan kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia,
odinofagia, hot potato voic, nyeri mengunyah, otalgia ipsilateral, foetor ex orae,
hipersalivasi, rinolalia aperta, trismus yang bervariasi, tergantung derajat keparahan
dan progresivitas penyakit. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering
mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya Gerakan leher (torticolis).
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring
sampai dehidrasi dan sepsis. Pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional.
Pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan
pergeseran uvula kontralateral.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada
daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296, 308-309.
EGC, Jakarta
2. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head
and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher.
Philadelphia. P :1224, 1233-34
3. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth and
pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket reference.
2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315
4. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333
5. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan,
Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi V, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006. Hal.
185
6. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In: Synopsis of
Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992: 288– 304.
7. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal. 38, 55-
810. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.
8. Iskandar H.N; Mangunkusumo E.H; Roezin A.H: Penyakit, Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala, dan Leher, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994. Hal 350-5212.
Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy).

Anda mungkin juga menyukai