Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
Oleh
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas berkah, rahmat, dan karuniaNya
yang telah diberikan sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan pembelajaran dalam mata
kuliah Pengantar Studi Islam islam.
Penulis meminta maaf jika banyak kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini
sehingga penulis memohon untuk dikoreksi kepada dosen pengampu dan mengharapkan
bimbinganya Kembali. Dari semua pihak, kita juga mengharapkan saran, kritik, dan pendapat
supaya makalah ini bisa menjadi karya yang lebih baik lagi dan tentunya kita sebagai penulis
berterima kasih atas koreksi dan tambahan ilmu yang di berikan. Penulis hanyalah manusia
yang tak luput dari salah dan dosa. Karena hanya allah SWT yang mempunyai
kesempurnaan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang kompleks dan universal, islam juga mencakup berbagai lini
kehidupan manusia seperti akidah, akhlak, muamalah, dan masih banyak lagi. Oleh karena
itu cabang keilmuan dalam islam banyak sekali, salah satunya adalah ilmu ushul fiqih.
Ushul fiqih adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan
yang dapat menghasilkan hukum-hukum syariat dari dalil yang terperinci.
Perkembangan ilmu ushul fiqih menyebar ke berbagai macam wilayah di luar jazirah
Arab. Kajian ushul fiqih sangat diperlukan karena banyaknya kebudayaan yang berbeda
dengan yang terjadi di jazirah Arab. Sehingga dalam pengambilan hukumnya bersumber
dari ijma’ dan ‘urf selain dari Al Quran, hadits, dan qiyas. Oleh karena itu penulis akan
sedikit membahas pengertian ijma’ dan ‘urf dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
a. Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma’ berasal dari kata ajma’a yang berarti mengumpulkan,
menyatukan, menghimpun, berkumpul atau menarik bersama. Menurut Abu Luwis
Ma’luf, ijma’ memiliki arti kehendak dan kesepakatan, perbedaanya kehendak dapat
terlahir dari satu orang sedangkan kesepakatan memerlukan keterlibatan dua orang
atau lebih. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ijma’ memiliki arti “kesesuaian
pendapat (kata sepakat) dari ulama mengenai suatu hal atau peristiwa”. Penggunaan
kata ijma’ dijelaskan dalam Al Quran terdapat pada Q.S Yunus : 71
… فَاَجْ ِمع ُْٓوا اَ ْم َر ُك ْم
Maka, bulatkanlah kehendakmu (dalam menyelesaikan) urusanmu. (Q.S
Yunus: 71)
Al-Syafi’i yang tercatat sebagai ulama pertama penyusun ilmu ushul fiqih
tidak memaparkan definisi ijma’, namun mengakui eksistensi ijma’ sebagai hujjah.
Beliau menyatakan, “Saya menerima kehujahan ijma’ umat Islam yang didalamnya
tidak ada perselisihan di antara mereka karena mereka tidak akan sepakat atau
berbeda pendapat kecuali atas dasar kebenaran. Seseorang tidak diperkenankan
menyatakan pendapat hukum (membolehkan, melarang, atau menetapkan hak
seseorang) kecuali memiliki dasar nas dari Al Quran dan sunnah”.1
Ijma’ menurut istilah ushul ialah kesepakatan para Mujtahid muslim
memutuskan suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada
suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa dan memerlukan ketentuan hukum dan
peristiwa tersebut dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan
berijtihad, dan mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari
peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’.
Karena ijma’ didalam definisi disebutkan bahwa suatu perkara tersebut
haruslah yang terkait dengan hukum syar’i, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa
rukun ijma’ itu ada empat:
1
Moh. Bahrudin, ILMU USHUl FIQH (Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja, 2019) 37-38
1. Mujtahid harus lebih dari satu orang, karena kesepakatan tidaklah terwujud
kalau hanya seorang saja. Di masa Nabi masih hidup tidak ada ijma’ sebab
Nabi sendiri yang memutuskan suatu hukum yang terjadi.
2. Semua Mujtahid dari berbagai golongan dan belahan dunia sepakat tentang
hukum suatu masalah. Apabila kesepakatan hanya terjadi di wilayah atau
kelompok tertentu, seperti di wilayah Hijaz atau Mesir saja, maka
kesepakatan itu tidaklah dapat disebut dengan ijma’ sebab ijma’ hanya
tercapai melalui kesepakatan seluruh Mujtahid.
3. Kesepakatan tersebut terwujud setelah masing masing Mujtahid
mengemukakan suatu masalah dengan terang-terangan. Pendapat
disampaikan melalui ucapan dengan fatwa tentang suatu masalah hukum
atau melalui perbuatan dengan menetapkan putusan di pengadilan dalam
kedudukannya sebagai hakim.
4. Kesepakatan tentang hukum suatu masalah berasal dari semua Mujtahid
secara utuh. Apabila kesepakatan berasal dari mayoritas mereka saja dan
sebagian kecil mereka tidak menyetujuinya, maka tidaklah dapat dikatakan
ijma’ telah terwujud. Meski demikian Jumhur ulama dalam memandang
hal ini sah saja apabila ijma’ berasal dari mayoritas Mujtahid.2
Bila hukum itu sudah disepakati, maka wajib diikuti dan tidak boleh berselisih
dengannya. Hukum itu tetap pada ijma’, sedangkan hukum syar’i itu qath’i (tetap). Di
dalam Al Quran Allah berfirman Q.S An Nisa ayat 59
ٰيٓاَيُّها الَّذ ْينَ ٰامنُ ْٓوا اَط ْيعُوا هّٰللا واَط ْيعُوا ال َّرسُوْ ل واُولى ااْل َمر م ْن ُك ۚم فَا ْن تَنَا َز ْعتُم في َشي ٍء فَ ُر ُّدوْ ه الَى هّٰللا
ِ ِ ُ ْ ْ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ْ ِ َ َ ِ َ َ ِ َ ِ َ
َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذلِكَ َخ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْي ًل
Artinya ” Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dalam ayat ini amar artinya urusan, berbentuk umum. Sehingga meliputi
urusan duniawi dan urusan agama. Ulil Amri duniawi yaitu para raja, pemerintah, dan
para wali. Ulil Amri urusan agama yaitu para ulama, Mujtahid, dan mufti, sebagian
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih. Ter. Halimuddin (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) 50
lagi menafsirkan yaitu pemerintah dan para wali. Jadi selama suatu hukum itu tidak
bertentangan dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka hukum itu
haruslah ditaati.
b. Pengertian ‘Urf
Secara bahasa ‘urf berasal dari kata arofa-ya’rifu yang berarti mengetahui,
kemudian dipakai dalam arti suatu yang diketahui, dianggap baik, dan diterima oleh
akal sehat. Juga berarti apa yang dikenal dan dikenal atau kebiasaan.
Menurut istilah ahli ushul, Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa “Urf
ialah suatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik
dari perkataan, perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini juga dinamakan
adat, dan menurut ahli Islam tidak ada beda antara ‘urf dengan al-adah”.3
Menurut pembagiannya ‘Urf terbagi menjadi dua macam, yaitu: ‘urf shohih
dan ‘urf fasid. ‘Urf shohih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah masarakat yang
tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Nabi, sedangkan ‘urf fasid adalah
kebiasaan yang bertentangan dengan dengan dalil-dalil syara’.
‘Urf dapat dijadikan sebagai penemuan sumber hukum Islam harus memenuhi
persyaratan persyaratan tertentu, apabila ditinjau dari nas-nas yang disandarkan
tentang bolehnya menggunakan ‘urf sebagai metode hukum Islam, maka ‘urf itu
haruslah yang mengandung kemaslahatan dan ‘urf yang dipandang baik. Oleh karena
itu para ahli ushul mensyaratkan sebagai berikut:
1. ‘Urf itu berlaku secara umum, artinya ‘urf berlaku dalam mayoritas kasus
yang terjadi di dalam tengah tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut
oleh mayoritas massyarakat.
2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan
hukumnya itu muncul, maksudnya sebelum hukum yang akan dijadikan
suatu perkara, urf itu sudah ada sebelumnya.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah
menentukan secara jelas hal hal yang harus dilakukan, maka ‘urf tidak
berlaku.
3
Sucipto, “Urf Sebagai Metode Dan Sumber penemuann Hukum Islam”, ASAS, Vol 7. No 1 (Januari,
2015), 26
4. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash nash qath’i dalam syara. Jadi ‘urf
dapat dijadikan sumber penetapan hukum apabila tidak ada syariat yang
secara khusus melarang perbuatan yang menjadi kebiasaan dalam
masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa Al urf adalah suatu yang diketahui oleh orang
banyak yang diterima oleh akal sehat dan dikerjakan oleh mereka. Juga dikenal
sebagai adat atau kebiasaan. Adapun contoh contoh dari ‘urf yaitu:
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari materi di atas dapat kita simpulkan bahwa ijma' ialah hasil kesepakatan
para Mujtahid tentang suatu perkara yang hukumnya tidak ada di dalam Al quran
ataupun hadits, dalam perumusan ijma' tidak dapat dilakukan dengan seorang saja.
Keputusan suatu hukum harus disetujui oleh pendapat jamaah, karena pendapat
jamaah lebih mendekati kebenaran dari pada pendapat pribadi. Adapun contoh ijma’
seperti kesepakatan ulama tentang minyak babi, karena berasal dari sesuatu yang
diharamkan maka minyak babi hukumnya haram.
Sedangkan urf seperti yang telah diketahui bahwa ia adalah suatu yang
diketahui oleh orang banyak dan diterima akal sehat yang dilakukan oleh orang
banyak yang menjadi kebiasaan atau bisa juga disebut adat. Jadi jika urf itu tidak
bertentangan dengan hukum syariat maka urf tersebut dapat dijadikan sebagai sumber
hukum dengan syarat-syarat tertentu, jika urf bertentangan dengan syariat seperti,
pesta minuman keras setelah menggelar pesta pernikahan, hal itu tidak boleh
dilakukan.
b. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga bermanfaat bagi penulis dan para
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis jauh dari katar sempurna
dan penulis memohon maaf sebesar-besarnya, maka dari itu penulis memohon saran
dan kritikan yang mampu membangun dan memotovasi penulis demi tercapainya
makalah yang yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf, bdul Wahhab. (1978). Ilmu Ushul Fikih. (Halimudiin, Terjemahan) Jakarta:
Rineka Cipta.
Bahrudin, Moh. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja.
Sucipto, “Urf Sebagai Metode Dan Sumber penemuan Hukum Islam”, ASAS, Vol 7.
No 1 (2015): 26
Ululalbab.sch.id. (2015, 7 November). Rukun Ijma’. Diakses pada 29 Oktober 2022,
dari https://ululalbab.sch.id/rukun-ijma-ijmak/