Anda di halaman 1dari 8

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.

R DENGAN DIAGNOSA MEDIS

THALASEMIA DI RUANG POLI ANAK RUMAH

SAKIT AL-ISLAM BANDUNG

RESUME KASUS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Anak

Disusun Oleh:

Annisa Ayu Muvira

NIM 402018016

PROGRAM STUDI PROFESI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG

2018-2019
LAPORAN PENDAHULUAN

THALASEMIA

A. Definisi
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin,
sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel
darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur
pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H. 2008 dan
Tamam.M. 2009).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem
terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai
polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2
rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%)
sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).
Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh suatu
gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin-α terletak pada
kromosom 16 dan kluster gen globin-β terletak pada kromosom. Penyakit thalasemia
diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta. Gen globin beta ini
yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Gen
globin beta hanya sebelah yang mengalami kelainan maka disebut pembawa sifat
thalasemia-beta. Seorang pembawa sifat thalasemia tampak normal atau sehat, sebab
masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal dan dapat berfungsi dengan
baik dan jarang memerlukan pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada
kedua kromosom, dinamakan penderita thalasemia mayor yang berasal dari kedua
orang tua yang masing-masing membawa sifat thalasemia. Proses pembuahan, anak
hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya.
Satu dari orang tua menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat
dan 50% thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka kemungkinan 25%
anak sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait (Ganie. R.A,
2008).
B. Etiologi
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena 2 jenis yang
utama adalah:
1. Alfa – Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa – Thalasemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam (25% minimal
membawa 1 gen).
2. Beta – Thalasemia (melibatkan rantai beta)
Beta – Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara.

C. Klasifikasi
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu thalasemia
alfa dan thalasemia beta yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai alfa
yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama sekali
atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
b. Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan
dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada
gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa.
d. Alfa Thalasemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi
yang paling berbahaya pada thalasemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai
globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang
menderita alpha thalasemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia,
membengkak karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya
mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin beta
yang ada. Thalasemia beta terdiri dari sebagai berikut.
a. Beta Thalasemia Trait
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah yang
mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit rantai
beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari derajat
mutasi gen yang terjadi.
c. Thalasemia Mayor
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia
yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang
cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh,
yang lama kelamaan akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif,
maupun kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang
rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki
2008).

D. Manifestasi Klinis
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai asam
amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian besar mengalami
anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik (Tamam.M. 2009).
Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia karena
kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat karena kekurangan
hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan splenomegali sebagai
akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi
Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung
disebabkan penumpukan Fe di otot jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi
pertumbuhan, penuaan dini (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).

E. Patofisiologi

F. Pemeriksaan Penunjang
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan dan
perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian dilakukan
pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies Cooley), ikterus,
gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb menurun
hingga 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik hipokromik, sel
target, anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi,
basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan
khusus juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-
90%, elektroforesis Hb (Dewi.S. 2009 dan Herdata.H.N. 2009).

G. Penatalaksanaan Medis
Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan
secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan terhadap penyakit dan
komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan cara tranfusi darah,
splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi
gen. Pengobatan komplikasi meliputi mencegah kelebihan dan penimbunan besi,
pemberian kalsium, asam folat, imunisasi. Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari
untuk meningkatkan ekskresi besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja.
Vitamin E 200-400 IU/hari untuk memperpanjang umur sel darah merah. Transfusi
harus dilakukan seumur hidup secara rutin setiap bulannya (Herdata.H.N.2008 dan
Tamam.M. 2009).

H. Komplikasi
1. Dampak Transfusi Berulang pada Thalasemia Mayor
Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk
mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan
kadar Hb diatas 10 gr/dl namun dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan agar
suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang
berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi Fe dari traktus digestivus.
Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB dan dalam bentuk
PRC (paked read cells) (Priyantiningsih R.D. 2010).
Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk
mempertahankan hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena berisiko
terinfeksi bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti infeksi bakteri
Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan HIV (Herdata N.H. 2009
dan Kartoyo P.dkk 2003).
Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan penumpukan zat
besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal. Akumulasi zat besi
pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat transfusi. Penelitian yang
dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat gangguan faal hati yang terjadi pada
transfusi ke 20 hingga 30, dengan jumlah total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750
ml pada usia penderita 2-9 tahun (Priyantininsih R.D. 2010). Penimbunan zat besi
pada jaringan sangat berbahaya dan apabila tidak dilakukan penanganan yang serius
dapat berakibat kematian. Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi
khelasi besi, yang sering digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox.
Pemberian obat ini pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga
melalui oral. Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya
hemosiderosis dan hemokromatosis (Herdata N.H.2008 dan Priyantiningsih
R.D.2010).
a. Hemosiderosis
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1 liter
darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan menambah jumlah
zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada trasnferin,
kemampuan transferin mengikat zat besi sangat terbatas sehingga apabila terjadi
kelebihan zat besi maka seluruh transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi
dalam plasma berada dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound
plasma iron) yang dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan
mempercepat peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan zat besi terbanyak
terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di jantung karena
menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal jantung yang berperan
pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati yang berkelebihan berakibat
pada gangguan fungsi hati. (Priyantiningsih R.D.2010).
b. Hemokromatosis
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan zat
besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar feritin
serum > 1000 µg/L. Ferritin merupakan suatu protein darah yang kenaikannya
berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan dalam tubuh. Kadar feritin yang
tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi tertentu seperti hepatitis virus dan
peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan ferritin tidak spesifik untuk mendiagnosis
hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC
dan transferi saturation. TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi yang dapat
dibawa dalam serum oleh transferrin. Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang
dihitung dengan membagi serum besi oleh TIBC, hasil angka yang mencerminkan
besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai untuk mengangkut besi.
Hasil transferrin saturation pada manusia sehat antara 20 dan 50 %. Penderita dengan
hemokromatosis keturunan, serum besi dan transferrin saturation hasilnya di atas
normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah dengan
biopsi jaringan hati sehingga dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati.
Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut
dapat terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema.
Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko terkena
hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati
(Herdata.N.H.2009 dan Kartoyo.P. dkk 2003).
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
THALASEMIA DI RUANG POLI ANAK RS AL-ISLAM BANDUNG

PENGKAJIAN
A. Identitas Pasien

B. Keluhan Utama
C. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
D. Status Mental
E. Tanda-Tanda Vital
F. Kepala
G. Mata
H. Telinga
I. Hidung
J. Mulut Dan Faring
K. Jantung
L. Paru
M. Payudara
N. Abdomen
O. Genitalia
P. Muskuloskeletal
Q. Neurologi
ANALISA DATA
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Anda mungkin juga menyukai