DOSEN PEMBIMBING
KELOMPOK 5
Adat berasal dari tata bahasa Arab “adah” yang merujuk pada ragam
perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Adat istiadat mengandung arti
kaidah-kaidah aturan kebiasaan yang keberlakuannya sejak zaman dahulu sampai
sekarang dan tidak mudah berubah.1
Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan
dalam proses pewarisan. Proses pewarisan adat memiliki aturan sendiri di luar
dari hukum positif yang berlaku Proses pewarisan yang mengedepankan
musyawarah sebagai landasannya merupakan hal terpenting, agar keselarasan dan
kerukunan dalam keluarga tetap terjaga. Pewarisan mempunyai arti dan
pemahaman sebagai salah satu proses beralihnya harta peninggalan pewaris
kepada ahli warisnya.
Soepomo menyatakan:
1 I Gede A.B. Wiranata,Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa Ke Masa,PT.Citra Aditiya
Bakti,Bandung,2005.hlm.3.
“Bahwa hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses tersebut tidak
menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi
proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal
proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda”.2
Berhaknya seseorang atas warisan sudah dapat diketahui pada saat seorang
anak lahir. Pada masyarakat adat Rai dalam menyambut proses kelahiran (loas)
seorang laki-laki dewasa ditunjuk untuk memukul dinding dengan menggunakan
tombak dari luar kamar persalinan sebanyak tiga kali sambil mengajukan
pertanyaan kepada orang yang berada dalam kamar persalinan (keluarga dari ibu
yang melahirkan anak). Dalam bahasa daerah pertanyaan yang diajukan berbunyi
par-par-par (telah lahir) ata pe’ang (orang luar) ko ata one (orang dalam). Apa bila
yang lahir anak laki-laki disebut ata one (orang dalam) dan ata pe’ang untuk anak
perempuan (orang luar). Ata one mengandung makna yang bersangkutan setelah
menikah dia tetap tinggal di dalam klennya berhak atas warisan dan memikul
tanggung jawab dan kewajiban yang berkaitan dengan klennya sebaliknya ata
pe’ang setelah menikah dia harus meninggalkan klennya dan mengikuti klen
suaminya. Konsekuensinya dia tidak berhak atas warisan.
Dari latar belakang diatas dapat diketahui bahwa, bukan hanya anak laki-
laki yang mendapatkan warisan tetapi juga ada anak perempuan.4 sehingga
kelompok kami tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai pewarisan adat suku
manggarai.
4 Yohanes Ndarung, 2017, “Kedudukan Hukum Perempuan Dalam Sistem Pewarisan Masyarakat Adat Nunang
Desa Wae Sano Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat”, Fakultas Hukum Universitas Katolik
Widya Mandira Kupang, hlm 39-40.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat
sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada
keturunannya.6 Pengertian hukum waris adat menurut para ahli :
Menurut Ter Haar : “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”.7
5 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2002), hlm 39
6 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 8
7 Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm 161
8 Op Cit 2
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup”.9 Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara
penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak
kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, di mana manusia yang
wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara
penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai
akibat dari kematian seseorang.10
Dalam hukum waris mengenal adanya tiga sistem hukum waris dimana antara
lain:
a. Sistem Individual
b. Sistem Kolektif
9 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 8
10 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm 50
11 I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995), hlm 11
Ciri sistem kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi/dikuasai
oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi- bagi, yang seolah-olah
merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat).12
c. Sistem Mayorat
Ciri sistem mayorat, adalah bahwa harta peninggalan orang tua atau harta
peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris,
melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki).13
2.2. Dampak yang timbul dari pergeseran pewarisan hukum adat Manggarai di
Nusa Tenggara Timur.
Hukum selalu ada dalam suatu susunan perubahan sosial yang sangat erat.
Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan sosial
dapat bersumber pada masyarakat itu sendiri. Pada masa sekarang, permasalahan
tersebut semakin nyata tentang adanya penurunan peranan dan porsi formal hukum
adat. Menurut Satjipto Rahardjo hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan
12 Op Cit 9 hlm 16
13 Ibid, hlm 30
14 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Tersito,1984), hlm 163.
sosial15, namun satu hal yang menarik adalah bahwa hukum selalu tertinggal di
belakang obyek yang mengaturnnya. Perkembangan masyarakat yang begitu pesat dan
aturan hukum adat tidak sesuai lagi atau bahkan belum pernah ada pengaturannya.
Soerjono Soekanto juga menjelaskan adanya faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pergeseran atau perubahan pada hukum adat antara lain16:
15 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung:Alumni, 1983), hlm 39.
16 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm 273-280.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Pada tanggal 19 Juni 2017 yaitu dalam
putusan No. 573 K/Pdt/2017 terkait pembagian waris dalam adat Batak dan putusan
No.1130 K/Pdt/2017 tanggal 10 Juli 2017 terkait pembagian waris dalam adat
Manggarai Nusa Tenggara Timur. Pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan
dan keadilan gender sebagaimana termuat di dalam berbagai putusan di atas kemudian
diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturan atau legislasi dengan
diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal 4Agustus
2017. Sehingga pada era sekarang telah banyak masyarakat adat manggarai Nusa
Tenggara Timur menganut sistem pewarisan parental.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Saran dari kelompok kami adalah dibuatnya pengaturan mengenai hak waris
masyarakat adat di dalam Undang - Undang atau peraturan - peraturan sehingga
terdapatnya suatu keadilan, dan jaminan kepastian hukum bagi para masyarakat adat
khususnya pada masyarakat adat Manggarai.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
I Gede A.B. Wiranata,Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa Ke Masa,PT.Citra Aditiya
Bakti,Bandung,2005
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2002).
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003)
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017)
Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988)
JURNAL
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995)
Yohanes Ndarung, 2017, “Kedudukan Hukum Perempuan Dalam Sistem Pewarisan Masyarakat Adat Nunang Desa
Wae Sano Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat”, Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya
Mandira Kupang