Anda di halaman 1dari 12

PERGESERAN HUKUM ADAT MASYARAKAT KABUPATEN MANGGARAI

MENGENAI HARTA WARISAN DI NUSA TENGGARA TIMUR

DOSEN PEMBIMBING

Prof. Dr. Hj. Sonny Dewi Judiasih, S.H.,M.H., C.N.

KELOMPOK 5

Muh. Iqbal Saesar Ali (110620220008)


Alfin Mochammad Akbar (110620220009)
Ketut Septian Dripananda (110620220015)
Wirayato Natanegara Aswadi (110620220019)
Denny Chandra (110620220034)

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Adat berasal dari tata bahasa Arab “adah” yang merujuk pada ragam
perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Adat istiadat mengandung arti
kaidah-kaidah aturan kebiasaan yang keberlakuannya sejak zaman dahulu sampai
sekarang dan tidak mudah berubah.1

Hukum adat di Indonesia beragam bentuknya, hal ini karena adanya


perbedaan-perbedaan praktek dalam adat di setiap daerah. Negara Indonesia
memandang bahwa hukum adat adalah salah satu bagian dari kehidupan bangsa
yang diakui eksitensinya oleh negara pengakuan ini di rumuskan dalam UUD
1945 Pasal 18b ayat (2) yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan
dalam proses pewarisan. Proses pewarisan adat memiliki aturan sendiri di luar
dari hukum positif yang berlaku Proses pewarisan yang mengedepankan
musyawarah sebagai landasannya merupakan hal terpenting, agar keselarasan dan
kerukunan dalam keluarga tetap terjaga. Pewarisan mempunyai arti dan
pemahaman sebagai salah satu proses beralihnya harta peninggalan pewaris
kepada ahli warisnya.

Pewarisan ialah perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang


kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup

Soepomo menyatakan:
1 I Gede A.B. Wiranata,Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa Ke Masa,PT.Citra Aditiya
Bakti,Bandung,2005.hlm.3.
“Bahwa hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses tersebut tidak
menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi
proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal
proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda”.2

Proses pewarisan di Indonesia mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas


bagian yang tertentu dari harta peninggalan, bagian warisan menurut ketentuan
undang-undang (wettelijkerdeel – pasal 913 sampai dengan 929 KUHPerdata),
dan mentukan adanya hak mutlak dari ahli waris masing-masing untuk sewaktu-
waktu menutut pembagian dari harta warisan (pasal 1066 KUHPerdata). Di
Indonesia di samping menggunakan hukum positif berlaku (KUHPerdata) dalam
pembagian warisan kepada pewaris juga berlaku hukum adat dari setiap
masyarakat adat yang memiliki budaya dan aturan adatnya sendiri.

Hukum adat mengenal kedudukan harta waris yang dipengaruhi oleh


sistem kekerabatanya yang ada pada masyarakat (seperti sistem matrilineal,
parental atau bilateral dan patrilineal) serta dipengaruhi bentuk perkawinannya
dan bentuk serta jenis hartanya.

Pada masyarakat yang sistem kekerabatanya patrilineal yang


mengutamakan garis keterunan laki-laki (kebapaan) berlaku bentuk perkawinan
jujur dengan memberi uang jujur atau pembayaran uang jujur, dimana kedudukan
istri tunduk pada hukum kekerabatan suami, maka pada umumnya semua harta
perkawinan dikuasai oleh suaminya sebagai kepala keluarga atau sebagai rumah
tangga.3 Sedangkan dalam masyarakat yang sistem kekerabatanya matrilineal
yang mengutamakan garis keturunan perempuan (ibu), berlaku bentuk

2 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia,penerbit PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta,2012.hlm.259.


3 Ellyne Dwi Poespasari,Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia,Prenadamedia
Group,Jakarta,2018,hlm 33.
perkawinan adat semenda, dimana setelah perkawinannya suami melepaskan
kewargaan adatnya dan memasuki kewargaan adat istrinya. Dalam hal ini, dilihat
dari sudut kekerabatan istri, maka hak dan kedudukan suami lebih rendah dari
pada hak dan kedudukan istri.

Kemudian pada sistem kekerabatan parental atau bilateral ini berbeda


dengan 2 (dua) sistem kekeluargaan sebelumnya, yaitu sistem patrilineal dan
sistim matrilineal. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri
khas tersendiri, yaitu yang merupakan ahli waris adalah semua anak laki-laki
maupun anak perempuan tidak membedakan jenis kelamin. Mereka mempunyai
hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya, berupa harta asal bawaan
bapak dan ibunya serta harta bersama bapak dan ibunya dengan pembagian yang
sama.

Mayarakat adat Rai yang menganut sistem perkawinan patrilineal yang


berarti mengikuti garis keterunan (bapak), dalam sistem ini yang berhak
menerima warisan adalah ata one (laki-laki) sedangkan ata pe’ang (perempuan)
tidak memiliki hak atas warisan. Hal ini disebabkan karena masyarakat
Manggarai menganggap bahwa ata one (laki-laki) adalah pemilik klen sedangkan
ata pe’ang (perempuan) adalah orang yang keluar dari klen.

Berhaknya seseorang atas warisan sudah dapat diketahui pada saat seorang
anak lahir. Pada masyarakat adat Rai dalam menyambut proses kelahiran (loas)
seorang laki-laki dewasa ditunjuk untuk memukul dinding dengan menggunakan
tombak dari luar kamar persalinan sebanyak tiga kali sambil mengajukan
pertanyaan kepada orang yang berada dalam kamar persalinan (keluarga dari ibu
yang melahirkan anak). Dalam bahasa daerah pertanyaan yang diajukan berbunyi
par-par-par (telah lahir) ata pe’ang (orang luar) ko ata one (orang dalam). Apa bila
yang lahir anak laki-laki disebut ata one (orang dalam) dan ata pe’ang untuk anak
perempuan (orang luar). Ata one mengandung makna yang bersangkutan setelah
menikah dia tetap tinggal di dalam klennya berhak atas warisan dan memikul
tanggung jawab dan kewajiban yang berkaitan dengan klennya sebaliknya ata
pe’ang setelah menikah dia harus meninggalkan klennya dan mengikuti klen
suaminya. Konsekuensinya dia tidak berhak atas warisan.

Dari latar belakang diatas dapat diketahui bahwa, bukan hanya anak laki-
laki yang mendapatkan warisan tetapi juga ada anak perempuan.4 sehingga
kelompok kami tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai pewarisan adat suku
manggarai.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pergeseran pewarisan dalam hukum adat Manggarai di Nusa
Tenggara Timur?
2. Bagaimana dampak yang timbul dari pergeseran pewarisan hukum adat
Manggarai di Nusa Tenggara Timur?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui mengenai pergeseran pewarisan dalam hukum adat
Manggarai di Nusa Tenggara Timur.
2. Untuk mengetahui dampak yang timbul dari pergeseran pewarisan hukum
adat Manggarai di Nusa Tenggara Timur.

4 Yohanes Ndarung, 2017, “Kedudukan Hukum Perempuan Dalam Sistem Pewarisan Masyarakat Adat Nunang
Desa Wae Sano Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat”, Fakultas Hukum Universitas Katolik
Widya Mandira Kupang, hlm 39-40.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pergeseran pewarisan dalam hukum adat Manggarai di Nusa Tenggara


Timur

Bagian-bagian hukum adat besar pengaruhnya terhadap hukum waris adat


dan sebaliknya hukum warispun berdiri sebagai sentral dalam hubungan hukum-
hukum adat lainnya, sebab hukum waris meliputi aturan-aturan hukum yang
berlainan dengan proses yang terus-menerus dari abad ke abad, ialah suatu
penerusan dan peralihan kekayaan baik materil maupun immamterial dari suatu
angkatan ke angkatan berikutnya.5

Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat
sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada
keturunannya.6 Pengertian hukum waris adat menurut para ahli :

Menurut Ter Haar : “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”.7

Menurut Soepomo : “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang


mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada
turunannya”.8

Menurut Wirjono : “Pengertian warisan ialah, bahwa warisan itu adalah


soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban- kewajiban

5 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2002), hlm 39
6 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 8
7 Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm 161
8 Op Cit 2
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup”.9 Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara
penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak
kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, di mana manusia yang
wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara
penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai
akibat dari kematian seseorang.10

Dalam hukum waris mengenal adanya tiga sistem hukum waris dimana antara
lain:

a. Sistem Individual

Ciri Sistem Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-bagi


pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku menurut KUH Perdata
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan Hukum Islam, begitu pula berlaku
di lingkungan masyarakat adat. Pada umumnya sistem ini cenderung berlaku di
kalangan masyarakat keluarga mandiri, yang tidak terikat kuat dengan hubungan
kekerabatan. Pada belakangan ini di kalangan masyarakat adat yang modern, di
mana kekuasaan penghulu- penghulu adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik
bersama, sistem ini banyak berlaku. Kebaikan sistem individual ini adalah dengan
adanya pembagian, maka pribadi-pribadi waris mempunyai hak milik yang bebas
atas bagian yang telah diterimanya. Para waris bebas menentukan kehendaknya
atas harta warisan yang menjadi bagiannya, ia bebas untuk mentransaksikan hak
warisannya itu kepada orang lain. Kelemahannya, ialah bukan saja pecahnya harta
warisan, tetapi juga putusnya hubungan kekerabatan antara keluarga waris yang
satu dan yang lainnya. Hal mana berarti, lemahnya asas hidup kebersamaan dan
tolong-menolong antara keluarga yang satu dan keluarga yang lain yang
seketurunan.11

b. Sistem Kolektif
9 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 8
10 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm 50
11 I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995), hlm 11
Ciri sistem kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi/dikuasai
oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi- bagi, yang seolah-olah
merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat).12

c. Sistem Mayorat

Ciri sistem mayorat, adalah bahwa harta peninggalan orang tua atau harta
peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris,
melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki).13

Masyarakat adat Manggarai dalam pelaksaan hukum adat pada pewarisannya


menganut sistem pewarisan patrilineal. Sistem ini pada dasarnya yaitu sistem
keturunan yang menarik garis keturunan dimana kedudukan seorang pria dan
hanya menghubungkan dirinya kepada ayah atas ayahnya dan seterusnya atau
keturunan nenek moyang laki-laki didalam pewarisan.14 Seiring dengan
berjalannya waktu dan berkembangnya zaman terjadi pergeseran dari sistem
pewarisan adat tersebut dimana sebelumnya yang berhak untuk mendapatkan
harta waris yaitu anak laki-laki sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan
hak waris. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah dimana telah adanya suatu
pergeseran dari pihak yang menerima hak waris yang mana wanita mendapatkan
hak waris yang sama dengan hak waris laki-laki.

2.2. Dampak yang timbul dari pergeseran pewarisan hukum adat Manggarai di
Nusa Tenggara Timur.

Hukum selalu ada dalam suatu susunan perubahan sosial yang sangat erat.
Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan sosial
dapat bersumber pada masyarakat itu sendiri. Pada masa sekarang, permasalahan
tersebut semakin nyata tentang adanya penurunan peranan dan porsi formal hukum
adat. Menurut Satjipto Rahardjo hukum merupakan sarana untuk mengatur kehidupan
12 Op Cit 9 hlm 16
13 Ibid, hlm 30
14 Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Tersito,1984), hlm 163.
sosial15, namun satu hal yang menarik adalah bahwa hukum selalu tertinggal di
belakang obyek yang mengaturnnya. Perkembangan masyarakat yang begitu pesat dan
aturan hukum adat tidak sesuai lagi atau bahkan belum pernah ada pengaturannya.
Soerjono Soekanto juga menjelaskan adanya faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pergeseran atau perubahan pada hukum adat antara lain16:

1. Kontak dengan kebudayaan lain.


2. Sistem pendidikan formal yang maju.
3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju.
4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation) yang
bukan merupakan delik.
5. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification).
6. Penduduk yang heterogen.
7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
8. Orientasi ke masa depan.
9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

Pewarisan hukum adat suku Manggarai menganut sistem patrilineal sehingga


dalam penentuan ahli waris hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris yang sah
berdasarkan hukum waris adat tersebut. Dalam perkembangan zaman hukum adat
manggarai telah mengatur bahwa anak perempuan (ata pe'ang) sama sekali tidak
berhak menjadi ahli waris terhadap harta orang tuanya karena pada akhirnya anak
perempuan akan menikah dan mengikuti klan suami dan dimungkinkan akan
mendapat warisan dari suami. Hal ini agar anak perempuan tidak mendapat warisan
dari 2 (dua) sumber waris, untuk menciptakan kesetaraan atau keadilan dalam
masyarakat adat manggarai. Namun seiring dari perkembangan zaman terjadi
pergeseran dalam pewarisan adat di kabupaten Minangkabau Nusa Tengara Timur,
sehingga menimbulkan dampak dalam pembagian harta warisan anak laki-laki maupun
anak perempuan dimana para ahli waris berhak memperoleh harta warisan dari orang
tua, sehingga terciptanya keadilan bagi ahli waris perempuan dan laki laki.

15 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung:Alumni, 1983), hlm 39.
16 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm 273-280.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Pada tanggal 19 Juni 2017 yaitu dalam
putusan No. 573 K/Pdt/2017 terkait pembagian waris dalam adat Batak dan putusan
No.1130 K/Pdt/2017 tanggal 10 Juli 2017 terkait pembagian waris dalam adat
Manggarai Nusa Tenggara Timur. Pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan
dan keadilan gender sebagaimana termuat di dalam berbagai putusan di atas kemudian
diperkuat oleh Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturan atau legislasi dengan
diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal 4Agustus
2017. Sehingga pada era sekarang telah banyak masyarakat adat manggarai Nusa
Tenggara Timur menganut sistem pewarisan parental.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Masyarakat manggarai menganut asas patrilineal dalam pembagian harta warisan


dimana pembagian harta warisan hanya dari pihak laki-laki sedangkan pihak perempuan
tidak mendapatkan hak waris, akan tetapi dikarenakan perkembangan zaman telah adanya
suatu pergeseran dari pihak yang menerima hak waris, yang menyebabkan wanita
mendapatkan hak waris yang sama dengan hak waris laki-laki yang berdasar dari Putusan
Mahkamah Agung Pada tanggal 19 Juni 2017 yaitu dalam putusan No. 573 K/Pdt/2017
terkait pembagian waris dalam adat Batak dan putusan No.1130 K/Pdt/2017 tanggal 10
Juli 2017 terkait pembagian waris dalam adat Manggarai Nusa Tenggara Timur.
Pandangan hukum yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana
termuat di dalam berbagai putusan di atas kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung
melalui fungsi pengaturan atau legislasi dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal 4 Agustus 2017. Dikarenakan pergeseran pada
masyarakat adat manggarai terciptanya kesetaraan atau keadilan bagi para ahli waris.

Saran

Saran dari kelompok kami adalah dibuatnya pengaturan mengenai hak waris
masyarakat adat di dalam Undang - Undang atau peraturan - peraturan sehingga
terdapatnya suatu keadilan, dan jaminan kepastian hukum bagi para masyarakat adat
khususnya pada masyarakat adat Manggarai.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

I Gede A.B. Wiranata,Hukum Adat Indonesia Perkembangannya Dari Masa Ke Masa,PT.Citra Aditiya
Bakti,Bandung,2005
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2002).

Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Tersito,1984)

Ellyne Dwi Poespasari,Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di Indonesia,Prenadamedia Group,Jakarta,2018

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003)

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012)

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung:Alumni, 1983)

Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia,penerbit PT.Raja Grafindo Persada,Jakarta,2012

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017)

Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988)

JURNAL
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995)

Yohanes Ndarung, 2017, “Kedudukan Hukum Perempuan Dalam Sistem Pewarisan Masyarakat Adat Nunang Desa
Wae Sano Kecamatan Sano Nggoang Kabupaten Manggarai Barat”, Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya
Mandira Kupang

Anda mungkin juga menyukai