Anda di halaman 1dari 89

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN


NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION
(Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur)

SKRIPSI

Oleh :
LIA PUTIKASARI
K6404005

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN


NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION
(Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur)

Oleh :
LIA PUTIKASARI
K6404005

Skripsi
Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana
Pendidikan Program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

2
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji


Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj.CH Baroroh, M. Si. Drs. H. Utomo, M.Pd


NIP. 19520706 198004 2 001 NIP. 19491108 197903 2 001

3
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

Pada hari :
Tanggal :

Tim Penguji Skripsi:


Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dr. Sri Haryati, M. Pd


Sekretaris : Drs. Machmud AR, S.H, M. Si
Anggota I : Dra. Ch Baroroh, M. Si
Anggota II : Drs. H. Utomo, M. Pd

Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.


NIP 19600727 198702 1 001

4
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Lia Putikasari. PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM


PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF
CIVIC EDUCATION (Studi Kasus di SMK PGRI 4 NGAWI JAWA
TIMUR). Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Februari 2010.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) Terjadinya


pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi
Jawa Timur, (2) Bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN
di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari perspektif civic education, (3)
Cara mencegah pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK
PGRI 4 Ngawi Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan obyek
penelitiannya adalah Wakil kepala sekolah, Guru, Karyawan, Mantan para siswa
dan Orang tua mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Tehnik
pengumpulan data yang di gunakan melalui wawancara secara mendalam untuk
mengetahui jawaban yang lengkap dan mendalam ditambah dengan observasi
langsung dan mencatat dokumen.
Kesimpulan yang di dapat dari hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa (1) pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN terjadi akibat
standar kelulusan siswa yang tinggi alasan lain yang mengakibatkan banyaknya
pelanggaran hingga terjadinya kejahatan karena adanya kekhawatiran dari pihak
sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak di
antara siswanya yang tidak lulus, (2) Bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan
dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan
Naskah Ujian Nasional, apabila dilihat dari perspektif civic education maka telah
menyimpang dari kompetensi dasar dalam civic education yaitu pertama civic
knowledge bahwa oknum-oknum yang melakukan tindakan kejahatan adalah
oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai pendidik menunjukkan
kurangnya pengertian mengenai pengetahuan kewarganegaraan seharusnya
seorang pendidik memiliki atau membekali dirinya dengan pengetahuan
kewarganegaraan, kedua civic dispositions tindakan yang dilakukan pendidik
tersebut karena rendahnya pengertian arti nilai-nilai yang terkandung dalam civic
education, misalnya tidak adanya kesadaran secara pribadi untuk bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan karena seharusnya pendidik mampu memberikan
contoh, panutan, rujukan dan keteladanan yang baik bagi para peserta didiknya,
ketiga civic skills yaitu seharusnya guru mampu berpartisipasi dalam
menyukseskan anak didiknya dengan banyak mengadakan tanya jawab, diskusi
tentang UN, (3) Cara mencegah pelanggaran dan tindak kejahatan dalam
pelaksanaan UN yaitu dengan membenahi mutu guru dan peserta didik, meninjau
kembali alat ukurnya, membenahi teknik penyelenggaraan dan pengawasan,
sangsi tegas kepada si pelanggar, tim-tim independen UN harus betul-betul
menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.

5
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Lia Putikasari. THE VIOLATION AND CRIME IN THE NATIONAL


EXAMINATION (UN) IMPLEMENTATION VIEWED FROM THE CIVIC
EDUCATION PERSPECTIVE (A CASE STUDY ON THE SMK PGRI 4
NGAWI EAST JAVA). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education
Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, February 2010.

The objective of research is to find out: (1) the occurrence of violation and
criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4
Ngawi East Java, (2) the form of violation and criminal action in the national
examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java, and (3) the
way of coping with the violation and criminal action in the national examination
(UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java.
This research employed a descriptive qualitative method and the research
objects were the vice Principal, Teachers, Employees, former students and former
students’ parents in SMK PGRI 4 Ngawi East Java. Techniques of collecting data
used were in-depth interview for finding out the complete and in-depth answer
with direct observation and document recording.
The conclusion obtained from the result of research shows that (1) the
violation and criminal action in the national examination (UN) implementation is
due to the students’ high passing standard, another reason underlying many
violations leading to the criminal action is the school’s concern that the school’s
reputation will decline if many students does not pass through the UN, (2) the
form of criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK
PGRI 4 Ngawi East Java constitutes the National Examination text abuse viewed
from the civic education perspective has violated the basic competence in civic
education including firstly the civic knowledge that the persons committing the
criminal action or the school officials whose occupation is as an educator
showing the lack of understanding about the citizenship knowledge, he/she should
have or equip him/herself with citizenship knowledge, secondly, the civic
disposition, the action committed by the educator is because the lack of
understanding of the meaning of values containing in the civic education, such as
the absence of personally awareness of being responsible corresponding to the
provision because the educator should give good exemplar, model, reference and
precedent for his/her pupil, thirdly civil skills, the teacher should participate in
make his/her students successful by debriefing and discussing about UN, (3) the
ways of coping with the violation and criminal action in the implementation of UN
include to improve the quality of teacher and students, to review the parameter, to
improve the organization and supervision technique, to give firm sanction to the
violator, the UN’s independent team really undertakes its task and function fairly
and responsibly, to improve the examination system and standard minimum
graduation, and to use the education mapping.

6
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

“Ikhlas disetiap kejadian yang diberikan-NYA, bersyukur atas nikmatNYA,


bersabar atas ujian-NYA, ridho akan keputusan-NYA”
( aa’ gym )

7
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:


· Allah SWT yang telah memberi karunia,
jalan kemudahan serta rahmad Nya bagi
penulis untuk selalu berusaha menjadi
yang terbaik
· Bapak dan Ibu terimakasih atas doa,
semangat dan kasih sayangnya
· M.dwi dan Azza, Suami dan Putra
Tercinta
· Rike dan Ridwan, Adik tersayang
· Teman-teman PKn angkatan 2004
· Almamater.

8
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Kewarganegaraan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat diatasi. Untuk itu, atas segala bentuk
bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr.rer.nat.Sajidan, M. Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan
skripsi.
2. Drs. Saiful Bachri, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial FKIP UNS yang telah memberikan izin penyusunan skripsi.
3. Dr. Sri Haryati, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Kewaganegaraan yang
telah memberikan izin penyusunan skripsi kepada penulis serta membantu
penulis dalam menyelesaikan studi.
4. Dra. Hj. CH Baroroh, M. Si., Pembimbing I yang telah membimbing penulis
selama ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.
5. Drs. H. Utomo, M. Pd., Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Pendidikan Kewaganegaraan
yang telah memberikan sebagian ilmunya kepada penulis dengan tulus ikhlas
selama ini.
7. Wakil Kepala Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi
ini.
Semoga amal kebaikan semua pihak mendapatkan imbalan dari Allah
SWT.

9
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penyusunan skripsi ini telah berusaha semaksimal mungkin, namun


penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena
keterbatasan penulis. Dengan segala rendah hati penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan juga dunia pragmatika.

Surakarta, Februari 2010

Penulis

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


HALAMAN PENGAJUAN............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK.................................................................................. v
HALAMAN ABSTRAC.................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI.................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8
1. Ujian Nasional dalam Konteks Pendidikan Nasional ............. 8
a. Hakekat Pendidikan Nasional ........................................... 8
b. Tinjauan tentang Ujian Nasional ....................................... 12
2. Tinjauan tentang Tindak Pidana .............................................. 16
a. Pengertian Tindak Pidana .................................................. 16
b. Penggolongan Tindak Pidana ............................................ 17
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana ................................................. 19
d. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam
Kelompok Kejahatan ......................................................... 19

11
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

e. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam


Kelompok Pelanggaran ..................................................... 20
f. Tinjauan tentang Pencurian................................................ 21
g. Tinjauan tentang Penggelapan .......................................... 24
3. Konsep Civic Education .......................................................... 26
a. Pengertian Civic Education .............................................. 26
b. Kompetensi Dasar Civic Education .................................. 28
c. Tujuan Civic Education .................................................... 28
4. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN .. 29
5. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN
di lihat dari Perspektif Civic Education .................................. 32
B. Kerangka Berpikir.......................................................................... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 36
B. Bentuk dan Strategi Penelitian....................................................... 37
C. Sumber Data Penelitian ................................................................. 38
D. Teknik Sampling (cuplikan) .......................................................... 39
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 40
F. Validitas Data ................................................................................ 42
G. Analisis Data .................................................................................. 43
H. Prosedur Penelitian ....................................................................... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian .......................................................... 46
B. Deskripsi Hasil Penelitian.............................................................. 49
C. Temuan Studi ................................................................................. 71
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................... 75
B. Implikasi......................................................................................... 76
C. Saran .............................................................................................. 78

12
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 80


DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... 82

13
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Jadual Kegiatan Penelitian................................................................. 36

14
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Bagan Kerangka Pemikiran .......................................................... 35


Gambar 2: Model Analisis Interaktif ............................................................... 44

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Informan............................................................................. 82


Lampiran 2 : Surat Putusan Pengadilan Ngawi .............................................. 84
Lampiran 3 : Pedoman Wawancara ................................................................. 88
Lampiran 4 : Hasil Wawancara........................................................................ 89
Lampiran 5 : Noda di Ujian Nasional ............................................................. 96
Lampiran 6 : Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada
Dekan FKIP UNS ...................................................................... 102
Lampiran 7 : Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin
Penyusunan Skripsi/ Makalah................................................... 103
Lampiran 8 : Surat Permohonan Ijin Research/ Try Out Pada Rektor
UNS ......................................................................................... 104
Lampiran 9: Surat Permohonan Ijin Penelitian Kepada Kepala SMK PGRI 4
Ngawi Jawa Timur ..................................................................... 105
Lampiran 10: Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian
dari SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur …………………………… 106

16
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keputusan pemerintah melalui Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang


Ujian Akhir Nasional, dengan menghapuskan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional) kemudian menggantinya dengan UAN (Ujian Akhir Nasional)
dan lalu menjadi Ujian Nasional (UN) mendapat banyak sorotan dari berbagai
kalangan. Pemerintah sendiri khususnya Departemen Pendidikan Nasional
mempunyai alasan tersendiri, yaitu ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya
atas pendidikan
Berdasarkan kajian terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir
Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan.
Mereka menilai UAN hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni
aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas (Pasal
35 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional),
kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif),
pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dalam kaitannya
dengan mutu pendidikan, UAN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik.
Padahal, menurut pasal 57 UU Sisdiknas (Pasal 57 UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional), mutu pendidikan seharusnya didasarkan
pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.
Mereka juga menilai bahwa UAN mengabaikan muatan kurikulum yang
menganut prinsip kemajemukan potensi daerah dan peserta didik. Sebab menurut
pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan
menggunakan prinsip kemajemukan (diversifikasi) potensi daerah dan potensi
peserta didik. UAN juga telah merampas kewenangan pendidik/ guru dan sekolah
untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan kelulusan peserta didik.
Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar

17
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/ guru dan satuan
pendidikan/ sekolah.
Terlepas dari pro dan kontra seputar UAN (Ujian Akhir Nasional) yang
tahun 2005 ini berubah nama menjadi UN (Ujian Nasional), pemerintah tetap
teguh pada kebijakannya untuk memberlakukan Ujian Nasional di tahun-tahun
mendatang. Berikut ini, informasi singkat sejak UN mulai diberlakukan dan
rencana pemerintah di tahun 2006 mendatang. Dinamika pelaksanaan Ujian
Nasional berkembang dari tahun ke tahun.
Pada awal April 2003, pemerintah menetapkan kebijakan baru tentang
Ujian Akhir Nasional (UAN). Siswa SMP dan SMA atau sekolah sederajat peserta
UAN 2003 yang memiliki nilai ujian kurang dari tiga dinyatakan tidak lulus.
“Ketentuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan
menengah,” demikian kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)
Depdiknas Indra Djati Sidi di tengah-tengah maraknya pro dan kontra berkaitan
dengan UAN ini.
Pada tahun-tahun sebelumnya, ujian yang diselenggarakan dinamakan
EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Siswa dinyatakan lulus jika
nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS adalah
enam, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah tiga.
Namun, mulai 2003, siswa kelas 3 SMP dan 3 SMA harus belajar lebih keras agar
nilai murni UAN tidak kurang dari angka tiga karena soal Ujian Akhir Nasional
dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak bisa mengatrol nilai UAN.
Para siswa yang tidak lulus UAN masih diberi kesempatan untuk
mengikuti ujian ulangan UAN selang satu minggu sesudahnya. Jika dalam ujian
ulangan UAN siswa tetap memiliki nilai kurang dari angka tiga, maka dengan
terpaksa mereka dinyatakan tidak lulus atau hanya dinyatakan tamat sekolah. Hal
ini bisa dilihat dari fakta di lapangan. Tiga persen (828 siswa) dari 26.252 siswa
SMA/MA di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dinyatakan tidak lulus.
Sedangkan untuk jenjang SMP/MTs, 1.700 siswa (sekitar 3,7 persen) dari total
peserta Ujian Akhir Nasional sebanyak 46.475 siswa, dinyatakan tidak lulus.

18
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam rangka untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan nasional, pada


tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional kembali menaikkan standar
kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01. Sebenarnya angka nilai minimal 4,01 ini
terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang
lebih maju yang mempunyai batas minimal nilai enam. Depdiknas juga
mengeluarkan keputusan ‘berani’ dengan ditiadakannya Ujian Ulang UAN bagi
siswa yang tidak mencapai batas minimal kelulusan. Artinya, bagi siswa yang
gagal meraih angka lebih dari 4,01 maka siswa yang bersangkutan harus
mengulang tahun depan atau dinyatakan tidak lulus.
Reaksi terhadap keputusan tentang Ujian Nasional ini sampai saat ini
belum berhenti. Namun pada dasarnya, Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasioanal
Tahun Pelajaran 2005/2006 pasal 4 menyebutkan bahwa “Ujian Nasional
bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan” (Departemen
Pendidikan Nasional, 2005: 3). Lebih lanjut dalam Permendagri tersebut
dijelaskan tentang manfaat dari Ujian Nasional tersebut sebagaimana disebutkan
berikut :
Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
1. penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan;
2. seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
3. pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan;
4. akreditasi satuan pendidikan;
5. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 3).

Berkaitan dengan nilai penting tentang hasil Ujian Nasional ini, maka
pengawasan di ruang ujian dilakukan oleh tim pengawas ujian nasional dengan
sistem silang murni antarsekolah/madrasah.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasionall Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006) Pasal 13
bahwa :
1. Sekolah penyelenggara ujian nasional harus melibatkan dua orang unsur independen dalam
pelaksanaan ujian.

19
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Tugas unsur independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah memantau penerimaan dan
penyimpanan soal, pelaksanaan pengawasan ujian nasional, pengumpulan lembar jawaban,
pengiriman lembar jawaban ke penyelenggara ujian nasional kabupaten/kota (Departemen
Pendidikan Nasional, 2005: 7).

Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan terjadinya


berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di hampir
seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya
pelanggaran dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama
baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya
yang tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu
sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang
tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan
berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran
juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya
demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa yang
tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan
dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase
kelulusan yang kecil.
Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah
didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan pada
tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga ke
kabupaten/kota. Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah
penyelenggara. Soal- soal Ujian diambil sekitar pukul 05.00 subuh, waktu yang
tersedia antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh oknum
guru atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN, mengerjakannya, serta
menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah yang nanti beredar dalam
bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa masuk ke ruang ujian oleh guru
sekolah penyelenggara atau ditulis di papan tulis di ruang ujian.
Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja
mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada sisa soal
di kelas itu. Padahal menurut Prosedur Operasional Standar (POS), sisa soal

20
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan dan jawabannya
diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke seluruh peserta ujian.
Selain bentuk pelanggaran-pelanggaran di atas, ada pula kasus
penggelapan naskah soal UN oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi
Jawa Timur (Seputar Indonesia, 15 Juni 2007 Hal 5). Kasus ini termasuk dalam
tindak pidana kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi,
Jawa Timur. Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah,
Guru dan Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif
terdakwa melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua
siswanya dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah,
dia ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK
yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah
ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari
Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi.
Seluruh terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil.
Karena saat itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat
untuk menggelapkan.
Mengenai pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan ujian
nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau
sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, ternyata dalam pelanggaran
ujian nasional ada kasus oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai
pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan
masyarakat, dan seorang guru di harapkan berperan sebagai teladan dan rujukan
dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik yang dia ajar. Bahwa seorang guru
yang memiliki kewajiban sebagai pendidik bagi anak didiknya dan seharusnya
memberikan contoh yang baik, dalam hal ini telah melakukan perbuatan yang
tidak patut di contoh yaitu menggelapkan naskah Ujian Nasional hal ini termasuk
dalam tindak kejahatan, menyangkut dengan tindakan tersebut berarti guru itu
telah melanggar nilai kode etik seorang guru dimana nilai-nilai moral telah di
langgar selain itu telah melanggar ketentuan hukum pidana yang telah termuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu perbuatan

21
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penggelapan barang, dalam kasus ini yang di gelapkan adalah Naskah Ujian
Nasional. Penggelapan barang tergolong dalam tindak Kejahatan yang melanggar
pasal 372 KUHP. Tindakan tersebut telah menjatuhkan harkat dan martabat
seorang guru sebagai pendidik. Jika dilihat dari kasus tersebut maka tidak
mencerminkan adanya sikap yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang
individu dan sosial selain itu tindakan tersebut tidak mencerminkan peranan
warga negara yaitu salah satunya Kewajiban yang sama bagi setiap warga negara
untuk menjunjung/ mematuhi hukum dan pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti
PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN
NASIONAL DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus
di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka agar
permasalahan dapat di bahas secara operasional dan sesuai dengan sasaran
penelitian yang diharapkan maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
1. Mengapa terjadi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK
PGRI 4 Ngawi Jawa Timur?
2. Bagaimanakah bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di
SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic Education?
3. Bagaimana cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian
Nasional yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur?

C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian, pasti mempunyai tujuan yang
hendak di capai. Demikian pula dalam penelitian ini, penulis melakukan
penelitian dengan tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian
Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur.
2. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian
Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic Education.

22
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Untuk mengetahui cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian
Nasional yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur.

D. Manfaat Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian, di harapkan hasil penelitian dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang dapat diambil yaitu:
a. Penelitian yang dilaksanakan diharapkan berguna untuk memberikan kontribusi terhadap
pengembangan ilmu pendidikan, khususnya Civic Education atau Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) yang berkaitan dengan pelanggaran dan tindak kejahatan dalam
pelaksanaan Ujian Nasional.
b. Bagi perguruan tinggi, diharapkan dapat digunakan untuk menambah khazanah kekayaan
literatur di bidang pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.
c. Sedangkan bagi peneliti, dapat digunakan untuk memperluas wawasan dan pengalaman nyata
di bidang ilmu pendidikan.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diambil yaitu:
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi (termasuk
penegak hukum) maupun para pengambil kebijakan sebagai bahan masukan guna
memperbaharui peraturan perundang-undangan sehingga implementasi dan
penerapannya dapat berjalan lebih baik sesuai dengan Hak dan Kewajiban Warga
Negara. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah
dalam penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Ujian Nasional dalam Konteks Pendidikan Nasional
a. Hakekat Pendidikan Nasional
Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional
mempunyai fungsi sebagai : pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan dan
pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan
bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi kesempatan yang
sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan

23
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang


dimilikinya secara optimal.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui
proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan ayat
(3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
Undang-Undang. Untuk itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan
kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya
prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjujung tinggi hak asasi
manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar
pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu
pengetahuan dan teknologi, berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru
dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan.
Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan,
diantaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk
melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis
pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi
tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi
setempat, penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan
pelaksanaan tugas secara profesional, penyusunan standar pendanaan pendidikan
untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan,
pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan
tinggi, serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna.
Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara

24
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat,


serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.
Sementara itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan dasar hukum
penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Undang-undang
tersebut memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi
pembangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu,
relevan dengan kebutuhan masyarakat dan berdaya saing dalam kebutuhan global.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan
nasional adalah sebagai berikut:
Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang
berkualitas serta mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang
selalu berubah (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 24).

Misi pendidikan nasional adalah :


1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia
2) Meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional,
regional, dan internasional
3) Meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan
tantangan global
4) Membantu memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh
sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat
belajar
5) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral
6) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai
pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap dan
nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global
7) Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Negara
Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 24).

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan


nasional memiliki fungsi dan tujuan yaitu :
Mengembankan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

25
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi


manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Departemen Pendidikan
Nasional, 2003: 25).

Terkait dengan visi dan misi pendidikan nasional tersebut di atas


reformasi pendidikan meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pertama: Penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam
proses tersebut harus ada pendidik yang mampu memberikan keteladanan dan
mampu membangun kemauan serta mengembangkan potensi dan kreativitas
peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses
pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma
pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentrasformasikan
pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang
memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan
potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki
kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta ketrampilan yang
dibutuhkan bagi dirinya masyarakat bangsa dan negara.
Kedua: Adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia
sebagai sumberdaya pembangunan, menjadi paradigma manusia sebagai subyek
pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk manusia
seutuhnya, dimana proses pendidikan harus mencakup : (1) Penumbuhkembangan
keimanan dan ketakwaan (2) Pengembangan wawasan kebangsaan (3)
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (4) Pengembangan, penghayatan,
apresiasi, dan ekspresi seni serta (5) Pembentukan manusia yang sehat jasmani
dan rohani. Proses pembentukan manusia di atas pada hakekatnya merupakan
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat.
Ketiga: Adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan
lingkungan sosial kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu

26
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan
dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual peserta
didik dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat
eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan
dengan pemahahaman dan dirinya dan lingkungan kulturalnya.
Keempat: Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalani misi pendidikan nasional,
diperlukan suatu acuan dasar oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan,
yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan. dalam kaitan ini kriteria dan kriteria
penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan : (1)
Pendidikan yang berisi muatan yang seimbang (2) Proses pembelajaran yang
demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis (3) Hasil
pendidikan yang bermutu dan terukur (4) Berkembangnya profesionalisme
pendidik dan tenaga kepedidikan (5) Tersedianya sarana dan prasarana belajar
yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal (6)
Berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan
dan (7) Terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi yang berorientasi pada
peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan jaman. Pendidikan Nasional sendiri merupakan
pengembangan dari arti kata Pendidikan, dimana dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1
dan 3 menyebutkan pengertian, fungsi dan tujuan pendidikan yaitu :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk menambah kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, ketrampilan pada dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

27
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta


didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab” (Departemen Pendidikan Nasional,
2003: 1-3).
b. Tinjauan tentang Ujian Nasional
Pada hakekatnya Pendidikan bermuara pada Sistem Pendidikan Nasional
yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan
Nasional melalui Sistem Pendidikan Nasional yang berarti keseluruhan komponen
pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
Di dalam pendidikan nasional itu sendiri terdapat peserta didik selaku
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Selain peserta didik sudah tentu harus tersedia tenaga kependidikan yang
merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan seperti guru, dosen, konselor, instruktur,
pamong belajar, fasilitator dan lainnya yang turut berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dilakukan evaluasi terhadap peserta didik, lembaga dan program
pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan
jenis pendidikan.
Hal ini dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi peserta
didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian
standar nasional pendidikan.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan pada pasal-pasal yang tercantum
pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan

28
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Nasional dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19


Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional yang berbunyi :
Pengertian standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang
sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Standar nasional
pendidikan ini berhubungan erat dengan standar kompetensi lulusan
adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan
dan keterampilan (Anonim, 2005: 150).

Standar-standar ini bermacam-macam jenisnya, seperti standar isi,


standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian.
Untuk memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan pemerintah
tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Mengenai
Ujian Nasional untuk Tahun Pelajaran 2006/2007 yaitu Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006. Peraturan
tersebut dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan dari Pasal 67 ayat 3 dan Pasal 72
ayat 2 tentang peraturan pelaksanaannya. Ujian Nasional tersebut merupakan
wujud dari penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
Penilaian hasil belajar tersebut bertujuan untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk Ujian
Nasional. Ujian Nasional tersebut harus dilaksanakan secara obyektif,
berkeadilan, dan akuntabel. Sedangkan untuk pelaksanaannya dapat dilakukan
sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun
pelajaran.
Hasil Ujian Nasional yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran
2005/2006 Pasal 4 digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
1) Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan
2) Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya
3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan
pendidikan
4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Departemen
Pendidikan Nasional, 2005: 3).

29
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri yaitu Peraturan


Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 maka
Ujian Nasional (UN) yang dilakukan untuk pengukuran standar kompetensi
peserta didik dapat dilaksanakan. Dalam pelaksanaan UN ini dan dalam rangka
pengembangan, pemantauan dan pelaporan pencapaian standar nasional
pendidikan dibentuklah sebuah Badan yang disebut Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) yang berkedudukan di ibukota wilayah Negara Republik
Indonesia dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan mandiri dan profesional.
BSNP bertugas membantu Menteri dalam mengembangkan, memantau, dan
mengendalikan standar pendidikan nasional. Standar yang dikembangkan oleh
BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasional
setelah ditetapkan oleh peraturan menteri. Anggota-anggota BSNP ini terdiri dari
ahli-ahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum dan manajemen
pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Tugas dari BSNP ini adalah menyelenggarakan
UN tahun pelajaran 2006/2007, untuk mata pelajaran tertentu yang diikuti oleh
peserta didik SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB dan SMK. Selain
menyelenggarakan ujian, BSNP juga berwenang untuk mengembangkan standar
pendidikan nasional, memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan
pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, serta
merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Ujian tersebut dilaksanakan sesuai dengan hasil pelajaran
yang telah diterima oleh siswa-siswa dalam jenjang pendidikan seperti yang
tersebut diatas berdasarkan Kurikulum 1994 yaitu adalah kurikulum pendidikan
dasar dan menengah yang sudah berlaku secara nasional sejak tahun pelajaran
1994/1995 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan
sudah diterapkan secara terbatas mulai tahun ajaran 2001/2002.
Untuk standar kelulusan peserta didik seperti tercantum dalam Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan,

30
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yaitu : Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan
dasar dan menengah setelah :
1) Menyelesaikan seluruh program pembelajaran
2) Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah
raga dan kesehatan.
3) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi
4) Lulus ujian nasional (Anonim, 2005: 197).

Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan


pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh
BSNP dan ditetapkan dalam peraturan menteri.
Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan
pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak untuk mengikuti ujian nasional dan
berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.
Dan hal tersebut dapat dilakukan tanpa dipungut biaya.
Sedangkan menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional ukuran
kelulusan peserta didik adalah jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai
berikut : memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang
diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00
pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal
6,00.
Pengertian Ujian Nasional Menurut Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian Nasional
Tahun Pelajaran 2006/2007 menyebutkan bahwa:
“ Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar
dan menengah” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 2).
Sedangkan Tujuan Ujian Nasional Menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian
Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007 menyebutkan bahwa:

31
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“ Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional


pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu penegetahuan
dan teknologi” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 3).
2. Tinjauan tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Seperti halnya untuk memberikan definisi terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah
untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah “tindak pidana”. Masalah tindak
pidana dalam Ilmu Hukum Pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting.
Perumusan atau definisi tentang tindak pidana disamping ada persamaan terdapat juga
perbedaannya.
Menurut J.E Jonkers (1987: 135) merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.
Wirjono Prodjodikoro (1981: 50) menyatakan bahwa “tindak pidana itu adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana’’.
Menurut Moeljatno (1980: 1) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan
“Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut”.
Beliau mengemukakan bahwa menurut ujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan
pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga
merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan jadi suatu tindak pidana apabila
perbuatan itu:
1) melawan hukum
2) merugikan masyarakat
3) dilarang oleh aturan pidana
4) pelakunya diancam dengan pidana
Butir 1 dan 2 menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan yang memastikan perbuatan itu menjadi
suatu tindak pidana adalah butir 3 dan 4. Jadi, suatu perbuatan yang bersifat 1 dan 2 belum tentu
merupakan tindak pidana, sebelum dipastikan adanya 3 dan 4.
Untuk mengetahui, apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau bukan,
maka haruslah di lihat pada ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku (hukum
positif). Ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2) Peraturan-peraturan atau Undang-undang Pidana lainnya yang merupakan
ketentuan hukum pidana di luar KUHP.

32
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Penggolongan atau Pembagian Tindak Pidana


Pembentuk Undang-undang membuat penggolongan tindak pidana dari berbagai
undang-undang hukum pidana, yaitu penggolongan kejahatan dan pelanggaran.
Menurut Moeljatno, Pertama-tama penggolongan ini terlihat dalam KUHP yang terdiri
dari:
Buku I, memuat tentang Aturan Umum, mulai pasal 1-103.
Buku II, memuat tentang Kejahatan, pasal 104-488.
Buku III, memuat tentang Pelanggaran, pasal 489-569.
Sebenarnya arti kata dari kedua istilah “kejahatan” dan “pelanggaran “ ini adalah sama, yaitu suatu
perbuatan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, yang tidak lain yaitu
perbuatan melanggar hukum. Maka dari arti kata tersebut diatas tidak dapat dilihat perbedaan
antara dua golongan tindak pidana itu. Untuk menemukan perbedaan itu terdapat dua cara yang di
pergunakan, yaitu:
1) Dengan cara meneliti maksud dari pembentuk undang-undang,
2) Dengan cara meneliti sifat-sifat yang berbeda antara tindak-tidak pidana yang termuat
dalam Buku II dan Buku III dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Surat Penjelasan di jelaskan bahwa Pembentuk Undang-undang Pidana mengatakan bahwa:
1) Ada perbuatan-perbuatan yang oleh hukum dan oleh undang-undang dinyatakan
merupakan tindak pidana.
2) Adakalanya diadakan ancaman pidana terhadap suatu perbuatan yang sudah merupakan
pelanggaran hukum, sebelum pembentuk undang-undang membicarakannya. Atau yang
kita anggap baik, meskipun pembentuk undang-undang tidak membicarakannya.
3) Adakalanya suatu perbuatan dalam arti kata filsafat hukum baru menjadi pelanggaran
hukum, karena dinyatakan demikian oleh undang-undang. Jadi perbuatan tersebut tidak
baiknya hanya di kenal dari bunyi undang-undang.
Maka dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa penggolongan Kejahatan adalah
tindak pidana berdasarkan hukum sedangkan Pelanggaran adalah tindak pidana berdasarkan
undang-undang.
Akan tetapi Menurut Wirjono Prodjodikoro (1981: 26) ”penggolongan ini tidak tepat
karena semua tindak pidana, baik yang di masukkan ke dalam Buku II KUHP sebagai tindak
pidana Kejahatan, maupun yang dimasukkan dalam Buku III KUHP sebagai Pelanggaran,
merupakan tindak pidana berdasarkan hukum maupun berdasarkan undang-undang”. Semua
perbuatan itu adalah tindak pidana berdasarkan undang-undang, oleh karena kenyataannya untuk
kedua golongan perbuatan itu undang-undanglah yang menjadikan si pembuat dapat di hukum.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa tidak ada perbedaan “kualitatif” melainkan hanya ada
perbedaan “kuantitatif” saja, yaitu Kejahatan pada umumnya di ancam dengan hukuman lebih
berat daripada Pelanggaran. Dan ini berdasarkan pada sifat lebih berat dari kejahatan.

33
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kalau diteliti pasal-pasal mengenai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) ternyata bahwa:
1) Apa yang termasuk dalam kelompok Kejahatan adalah merupakan perbuatan-
perbuatan yang “berat” dan diberi ancaman hukuman yang tinggi sedangkan yang
termasuk dalam kelompok Pelanggaran merupakan perbuatan yang “ringan”
dengan ancaman hukuman yang rendah;
2) Macam perbuatan dalam Kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa
yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran (Wantjik Saleh, 1983: 20).
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Mengenai jenis-jenis tindak pidana seperti diungkapkan oleh M. Sudrajat Bassar
(1986: 10) adalah sebagai berikut: “(1) Tindak Pidana Materiil (materieel delict), (2) Tindak
Pidana Formil (formeel delict), (3) Commiissie Delict, (4) Ommissie Delict, (5) Gequalifieceerd
Delict, (6) Voortdurend Delict”. Adapun penjelasan diatas adalah sebagai berikut Tindak pidana
materiil dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa
merumuskan ujud dari perbuatan itu. Tindak pidana formil dirumuskan sebagai ujud perbuatannya,
tanpa mempersoalkan akibat yang di sebabkan oleh perbuatan itu. Commiissie Delict adalah tindak
pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif, umpamanya membunuh, mencuri dan lain-
lain. Jadi hampir meliputi semua tindak pidana. Ommissie Delict adalah melalaikan kewajiban
untuk melakukan sesuatu, umpamanya tidak melalukan pemberitahuan dalam 10 hari hal kelahiran
atau kematian kepada Pengawas Jawatan Catatan Sipil (pasal 529 KUHP). Gequalifieceerd Delict
istilah ini di gunakan untuk suatu tindak pidana tertentu yang bersifat istimewa, umpamanya
pencurian (pasal 363 KUHP), apabila pencurian dilakukan dengan di ikuti perbuatan yang lain,
misalnya dengan merusak pintu. Voortdurend Delict adalah tindak pidana yang tidak ada henti-
hentinya.
d. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Kejahatan
Bentuk-bentuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok kejahatan, seperti
diungkapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada tiga puluh dua bentuk
kejahatan yaitu: “Kejahatan terhadap keamanan negara, Kejahatan terhadap martabat Presiden dan
Wakil Presiden, Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat serta
wakilnya, Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan, Kejahatan terhadap
ketertiban umum, Perkelahian tanding, Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi
orang atau barang, Kejahatan terhadap penguasa umum, Sumpah palsu dan keterangan palsu,
Pemalsuan mata uang dan uang kertas, Pemalsuan materai dan merek, Pemalsuan surat, Kejahatan
terhadap asal-usul dan perkawinan, Kejahatan terhadap kesusilaan, Meninggalkan orang yang
perlu ditolong, Penghinaan, Membuka rahasia, Kejahatan terhadap kemerdekaaan orang,
Kejahatan terhadap nyawa, Penganiayaan, Menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan,
Pencurian, Pemerasan dan pengancaman, Penggelapan, Perbuatan curang, Merugikan pemihutang
atau orang yang mempunyai hak, Menghancurkan atau merusakkan barang, Kejahatan jabatan,
Kejahatan pelayaran, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap sarana/prasarana

34
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penerbangan, Penadahan penerbitan dan percetakan, Aturan tentang pengulangan kejahatan yang
bersangkutan dengan berbagai-bagai bab” (Anonim, 2005: vii).
e. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Pelanggaran
Bentuk-bentuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok pelanggaran, seperti
diungkapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada sembilan bentuk
pelanggaran yaitu:
1) Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan kesehatan
2) Pelanggaran Ketertiban Umum
3) Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
4) Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
5) Pelanggaran Terhadap Orang yang memerlukan Pertolongan
6) Pelanggaran Kesusilaan
7) Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, dan Pekarangan
8) Pelanggaran Jabatan
9) Pelanggaran Pelayaran (Anonim, 2005: ix)

Apabila suatu perbuatan tidak termasuk ke dalam salah satu dalam golongan kelompok
tersebut diatas, Maka berarti perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, terkecuali kalau
ada suatu peraturan atau Undang-Undang yang dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan itu
merupakan tindak pidana.
Umpamanya di negara Indonesia, sejak merdeka telah banyak di undangkan peraturan
atau Undang-Undang yang menyatakan suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana, sehubungan
timbulnya berbagai perbuatan yang tidak disebut dalam KUHP sebagai tindak pidana, akan tetapi
masyarakat merasakannya sebagai suatu perbuatan yang masyarakat anggap melawan hukum.
Untuk hal ini maka pemerintah dapat mengeluarkan suatu peraturan atau Undang-Undang yang
menyatakan bahwa suatu perbuatan tersebut menjadi suatu tindak pidana.
Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu telah terkodifisir dan
tidak mungkin peraturan-peraturan atau Undang-Undang tindak pidana yang baru dimasukkan ke
dalam KUHP, maka peraturan atau Undang-Undang yang di buat kemudian tidak dapat
dimasukkan kedalam KUHP dan berada di luar KUHP sehingga hal ini biasa disebut sebagai
“tindak pidana di luar KUHP” atau disebut “tindak pidana khusus”.
f. Tinjauan tentang Pencurian
Yang dimaksud dengan pencurian menurut hukum pidana, ialah perbuatan mengambil
sesuatu barang yang semuanya atau sebagiannya kepunyaaan orang lain disertai maksud untuk
memiliki dan dilakukan dengan melawan hukum (Gerson W. Bawengan 1983: 147).
Menurut Pasal 362 KUHP, Pencurian berbunyi:
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah (Anonim, 2005: 121).

35
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Jika diteliti rumusan tindak pidana pencurian tersebut, perbuatan itu terdiri dari unsur-
unsur:

1) barang siapa,
2) mengambil barang sesuatu,
3) barang kepunyaan orang lain,
4) dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum (Suharto, 1996: : 38).

Dalam bukunya (Gerson W. Bawengan 1983: 147), Unsur-unsur yang harus dipenuhi
bahwa pencurian sebagai tindak pidana adalah:
1) adanya perbuatan mengambil;
2) yang diambil adalah suatu barang;
3) seluruhnya atau sebagiannya barang itu adalah kepunyaan orang lain;
4) pengambilan disertai maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.

Dapat dijelaskan mengenai Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP tersebut
adalah:
1) Unsur barang siapa, yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang” , subjek
hukum yang melakukan perbuatan.
Yang dimaksud dengan barang, tidak sekedar berupa benda belaka, tetapi telah
diperluas dengan termasuk hewan, tenaga listrik ataupun gas.
2) Yang dimaksud dengan mengambil ialah sebelum perbuatan dilakukan. Barang itu
belum berada didalam kekuasaan pengambil, Perbuatan mengambil dapat dipandang
telah terwujud, bilamana barang yang diambil itu telah berpindah ke dalam
lingkungan kekuasaan pengambil.
3) Mungkin pula bahwa yang mengambil itu mempunyai hak atas sebagian dari pada
barang yang diambilnya, dan sehubungan dengan hal demikian itu maka unsur ke 3
menyebut tentang pengambilan atas barang yang seluruhnya atu sebagiannya adalah
milik orang lain.
4) Pengambilan, harus disertai maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.
Bila mana kita kembali meneliti bentuk pencurian sebagaimana diancam dalam KUHP,
maka akan kita jumpai :
1) pencurian biasa, pasal 362 KUHP;
2) pencurian berkualipikasi, pasal 363 KUHP;
3) pencurian dengan kekerasan, pasal 365 KUHP;
4) pencurian enteng, pasal 364 KUHP;
5) pencurian dalam lingkungan keluarga, pasal 367 KUHP (Gerson W. Bawengan 1983:
148).

Pasal 362 KUHP berbunyi:


Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah (Anonim, 2005: 121).

36
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Pasal 363 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Pencurian
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun antara lain pencurian ternak, pencurian pada waktu
ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang, pencurian di
waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan
oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak, pencurian
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pencurian yang untuk masuk ke
tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan
merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau
pakaian jabatan palsu” (Anonim, 121-122).

Pasal 364 KUHP berbunyi:


Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitupun perbuatan
yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih
dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah
(Anonim, 2005: 122).

Menurut Pasal 365 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Pencurian
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun antara lain pencurian yang didahului, disertai
atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang
yang dicuri. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun antara lain jika perbuatan
dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya,
di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, jika perbuatan dilakukan
oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan
merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu, jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. Jika perbutan mengakibatkan
kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal“ (Anonim, 2005: 122-123).
g. Tinjauan tentang Penggelapan
Jika dalam pencurian perbuatan mengambil itu dilakukan dengan jalan mengambil
sesuatu barang dan keadaan barang itu masih terletak di luar kekuasaan pengambil, maka perkara
penggelapan, barang sebagai obyek sudah berada di dalam tangan pengambil.

37
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut M. Sudrajat Bassar (1986: 76) mengartikan “Penggelapan (verduistering)


adalah : Memiliki barang yang sudah ada di tangannya”.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan penggelapan atas
bentuk-bentuk sebagai berikut:
1) penggelapan biasa, pasal 372 KUHP;
2) penggelapan enteng, pasal 373 KUHP;
3) penggelapan dengan pemberatan, pasal 374 KUHP;
4) penggelapan berat, pasal 375 KUHP (Suharto, 1996: 40).

Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi :


Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam
karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Anonim, 2005: 125).

Menurut Suharto (1996: 41) Unsur-unsur pasal 372 KUHP sebagai berikut :
1) barang siapa
2) melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri
3) barang sesuatu
4) milik orang lain
5) barang yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Memiliki adalah suatu perbuatan mengalihkan hak orang lain menjadi hak yang
berkehendak memiliki dan tentulah dalam hal ini dilakukan tanpa izin pemilik asli. Dengan
pengalihan hak yang demikian itu, maka sipengambil hak itu bertindak seolah-olah pemilik asli,
dan tindakan-tindakan dapat berbentuk menjual, menggadaikan atu menyewakan dan sebagainya.
Pasal 373 KUHP berbunyi :
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 KUHP, apabila yang digelapkan bukan
ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai
penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak dua ratus lima puluh rupiah (Anonim, 2005: 125).

Penggelapan enteng sebenarnya tak lain daripada penggelapan biasa denga kondisi
peringanan sehubungan dengan nilai yang rendah lagi pula bukan hewan.
Sebagai penggelapan enteng, maka pasal 373 KUHP hanya memberikan ancaman
hukuman maximal tiga bulan penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 250.-
Pasal 374 KUHP berbunyi :
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang
disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat
upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun (Anonim, 2005:
126).

Penggelapan dengan pemberatan menurut pasal 374 KUHP mengancam dengan


hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Pertimbangan pemberatan dalam pasal itu adalah

38
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bahwa orang yang memegang barang itu adalah berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya
atau karena memperoleh upah. Pasal 374 KUHP itu akan lebih banyak dibahas dalam bidang
pidana khusus yaitu korupsi, teristimewa bilamana dikaitkan dengan pasal 415 dan 417 KUHP.
Pasal 375 KUHP berbunyi :
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk
disimpan, atau yang dilakukan oleh pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat,
pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku
demikian, dianca dengan pidana penjara peling lama enam tahun (Anonim, 2005: 126).

Penggelapan berat sebagaimana diatur dengan pasal 375 KUHP, mengancam hukuman
penjara setingi-tingginya enam tahun. Pemberatan itu dihubungkan dengan keadaan terpaksa
untuk menyimpan barang, misalnya karena malapetaka atau bencana alam, namun kemudian
sipenyimpan melakukan penggelapan. Termasuk dalam kondisi penggelapan berat ialah mereka
yang merupakan wali, kurator atau pengurus dan sebagainya.
Unsur pokok dari penggelapan ialah bahwa barang yang di gelapkan
harus ada di bawah kekuasaan si pelaku, dengan cara lain daripada dengan
melakukan kejahatan. Jadi barang itu oleh yang punya di percayakan atau dapat
dianggap di percayakan kepada si pelaku.
Pada pokoknya, dengan perbuatan penggelapan si pelaku tidak
memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan
kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.
3. Konsep Civic Education
a. Pengertian Civic Education
Secara bahasa istilah Civic Education oleh sebagian pakar di terjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewargaan di wakili oleh Azyumardi Azra
dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai
Pengembang Civic Education di Perguruan Tinggi yang pertama. Sedangkan
istilah Pendidikan Kewarganegaraan di wakili oleh Zamroni, Muhammad Numan
Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED (Center Indonesian for Civic
Education), Merphin Panjaitan, Soedijarto dan pakar lainnya.
Menurut Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan
warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui
aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru kesadaran bahwa

39
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin


hak-hak warga masyarakat (Azyumardi Azra, 2002: 7).

Menurut Civitas Internasional bahwa Civic Education adalah pendidikan


yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan
lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, hak asasi
manusia, penguatan ketrampilan partisipatif yang demokratis,
pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian (Azyumardi Azra,
2002: 8).

Adapun menurut Landon E. Beyer (1999: 4) mengatakan bahwa “Civic Education is the
fundational course work in school designed to prepare young citizenship for an active role in their
comunicaties in their adult lives”. PKn adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang
dirancang untuk mempersiapkan warga muda agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif
dalam masyarakat (http: // Journal Article Excerpt. com).
Pendapat lain menurut Steven E. Finkel (2002: 64) mengatakan bahwa “The results
suggest that civic education and other group mobilization processes are highly complementary in
both cuntries; civic education training stimulates individual political behavior in much the same
way as does participation in other kinds of secondary groups activities” (http: // Journals
Cambridge. org).
Dari definisi diatas, semakin mempertegas pengertian Civic Education karena bahannya
meliputi pengaruh positif dari pendidikan sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar
sekolah. Unsur-unsur ini harus dipertimbangkan dalam menyusun program Civic Education yang
diharapkan akan menolong para peserta didik untuk (a) mengetahui, memahami dan mengapresiasi
cita-cita nasional, (b) dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas dan bertanggung jawab
dalam berbagai masalah seperti masalah pribadi, masyarakat dan negara. Jadi, Pendidikan
Kewargaan (Civic Education) adalah program pendidikan yang memuat bahasan mengenai
kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM dan
masyarakat madani (Civil Society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip
pendidikan demokratis dan humanis.
b. Kompetensi Dasar Pendidikan Kewargaan ( Civic Education )
Dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan, kompetensi dasar, atau sering di sebut
kompetensi minimal, yang akan ditrasformasikan dan ditransmisikan pada peserta didik terdiri dari
tiga jenis :

1) kompetensi pengetahuan kewargaan (civic knowledge), yaitu kemampuan dan


kecakapan yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewargaan (Civic
Education), yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani

2) kompetensi sikap kewargaan (civic dispositions), yaitu kemampuan dan kecakapan


yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga negara antara lain komitmen

40
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

akan kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan, dan komitmen untuk peduli serta
terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang terkait dengan pelanggaran
HAM

3) kompetensi keterampilan kewargaan (civic skills), yaitu kemampuan dan kecakapan


mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti kemampuan berpartisipasi
dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol
terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak,
2008: 9).

Menurut Margaret S. Bronson (1999: 8), Komponen-Komponen dalam Civic Education


sebagai berikut :
1) Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge)
2) Kecakapan-Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skills): Intelektual dan
Partisipatoris
3) Watak-Watak Kewarganegaraan (Civic Dispositions): Sifat-Sifat Publik dan Privat
yang Utama
c. Tujuan Civic Education
Menurut Azyumardi Azra (2002: 10). Pendidikan Kewargaan (Civic Education)
bertujuan untuk :
1) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam
kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan
global;
2) menjadikan warga yang baik dan mampu menjaga persatuan integritas bangsa guna
mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis;
3) menghasilkan mahasiswa yang berpikir komprehensif, analitis dan kritis dan
bertindak demokratis;
4) mengembangkan kultur demokasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan,
toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta
kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan;
5) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen (warga
negara yang baik dan bertanggung jawab) melalui penanaman moral dan
ketrampilan sosial (social skills) sehingga kelak mereka mampu memahami dan
memecahkan persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi,
perbedaan pendapat, bersikap empati, meghargai pluralitas, kesadaran hukum dan
tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokratisasi dalam
berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom).

4. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan


Ujian Nasional
Karena tingginya standar kelulusan siswa dalam UN tahun ini
dimana nilai kelulusan peserta UN tingkat SMP/SM-PLB/MTs dan di tingkat
SMA/SMK/MA tidak bisa diganggu gugat dan ditawar-tawar. Untuk lulus
nilai rata-rata UN harus 5,00 dan nilai satu mata pelajaran minimal 4,25.
Bila salah satu mata ujian nilainya 4,00 maka dua mata ujian lainnya harus
minimal 6,00. Walaupun kurang nol koma nol sekian, tapi nilainya tidak

41
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sampai 4 (empat), tetap tidak bisa lulus UN, hal ini dinyatakan oleh Yunan
Yusuf, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (Warta Kota,
Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 3). Bila nilai ujian lainnya tinggi dan akhlaknya baik
tetapi nilai UN-nya dibawah 4 (empat) tetap tidak lulus. Begitu juga
sebaliknya, bila UN tinggi, tapi nilai ujian sekolah di bawah standar
kelulusan, siswa bisa tetap tidak lulus.
Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan
terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam
pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang
mengakibatkan banyaknya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN ini
adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang
bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak
lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu
sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak
yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah
tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan
murid. Kekhawatiran juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak
lulus adalah adanya demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan
tindakan anarkis dari siswa yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi
Dinas Pendidikan Kota akan turun dan dianggap tidak berhasil
menyelenggarakan pendidikan karena prosentase kelulusan yang kecil.
Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah
didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan
pada tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga
ke kabupaten/kota.
Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah
penyelenggara. Biasanya soal diambil pada pukul 05.00 subuh, waktu yang
tersedia antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh
oknum guru atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN,
mengerjakannya, serta menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah
yang nanti beredar dalam bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa

42
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

masuk ke ruang ujian oleh guru sekolah penyelenggara atau ditulis di papan
tulis di ruang ujian.
Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja
mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada
sisa soal di kelas itu. Padahal menurut Prosedur Operasional Standar
(POS), sisa soal harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan
dan jawabannya diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke
seluruh peserta ujian (Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4).
Selain itu, sekolah-sekolah yang tidak ingin muridnya gagal dalam
UN telah membentuk tim sukses untuk meluluskan para muridnya. Tim
Sukses ini beranggotakan guru-guru yang mata pelajarannya menjadi mata
pelajaran yang diujikan dalam UN.
Sebelum UN dilaksanakan, pihak sekolah telah mengundang tim
pengawas yang akan mengawasi UN di sekolah tersebut. Mereka diberi
pengarahan agar tidak terlalu ketat dalam mengawasi UN dan segala bentuk
pelanggaran yang terjadi tidak perlu dicatat. Karena sewaktu UN berjalan,
para murid akan saling memberitahukan jawaban ujian yang berasal dari
guru yang telah mendapatkan jawaban dari soal ujian yang telah dibuka
terlebih dahulu sebelum UN dimulai. Para guru pengawas tersebut, pada
saat UN berjalan hanya duduk di depan kelas sambil membaca saja dan
seolah tidak peduli akan segala sesuatu yang berjalan pada waktu ujian.
Tidak lupa para pengawas ini pun diberi amplop yang berisi uang sogokan
(Tempo, 4 Mei 2007, Hal 5).
Apabila setelah UN berakhir masih ada siswa yang belum selesai
mengisi lembar jawaban dengan jawaban yang benar, maka waktu yang
tersedia digunakan oleh pihak sekolah untuk membetulkan jawaban sebelum
semua jawaban dikumpulkan ke rayon masing-masing.
Siswa juga diminta hadir lebih awal ke sekolah sebelum pengawas
datang dan siswa tersebut diberi tahu kunci jawaban oleh tim sukses dan
guru yang telah mengerjakan soal-soal UN pada hari itu.

43
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Jadi berbagai kecurangan itu justru berlangsung di ruang-ruang


kelas sekolah, bukan di luar kelas. Karena dari mulai penyelenggara UN
Pusat ke percetakan yang ditetapkan Gubernur sebagai pemenang tender,
master copy dijaga ketat oleh Kepolisian dan tim pemantau independen.
Soal-soal UN itu dicetak dan dipak dengan menggunakan tiga gembok
berbeda yang kuncinya masing-masing dipegang pihak percetakan, tim
pemantau independen dan Kepolisian. Ketika perusahaan percetakan
mendistribuskan bahan UN kepada penyelenggara UN tingkat
kabupaten/kota dan menyimpannya di kantor dinas pendidikan
kabupaten/kota, di kantor kepolisian dan di sub rayon sekolah
penyelenggara, seluruhnya juga dijaga ketat kepolisian, tim pemantau
independen dan penyelenggara UN kabupaten/kota hingga sampai ke
sekolah.
Akan tetapi dalam kasus di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur terjadi
tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian nasional yaitu penggelapan naskah soal
UN yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi (Seputar
Indonesia, 15 Juni 2007, Hal 5). Kasus ini termasuk dalam tindak pidana
kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur.
Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah, Guru dan
Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif terdakwa
melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua siswanya
dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah, dia
ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK
yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah
ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari
Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi.
Seluruh terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil.
Karena saat itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat
untuk menggelapkan.
Pelanggaran dalam UN yang terjadi di mana-mana ini, adalah juga
hasil Survey yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

44
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Poros Pendidikan (Republika, Selasa, 8 Mei 2007, Hal 5). Investigasi


mengenai pelanggaran dalam UN ini seharusnya menjadi tanggung jawab
dari pihak independen dan bukan Inspektorat Jendral Depdiknas. Karena,
bisa saja ada temuan yang ditutup-tutupi. LSM tersebut menilai, kecurangan
yang terjadi pada pelaksanaan UN merupakan tindakan kejahatan sistematis
untuk mencapai target standar kelulusan.
5. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan
Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education
Pelaksanaan Ujian Nasional masih menyisakan masalah yang cukup
besar dan harus diantisipasi pada pelaksanaan UN tahun-tahun berikutnya.
Pelaksanaan UN yang menyamaratakan kualitas anak didik secara nasional,
bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Sehingga mau tidak mau kebijakan ini harus di evaluasi lagi. Karena faktanya
masih ada perbedan standar mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan yang
lain.
Penyamarataan penerapan kebijakan UN sangat melemahkan
pengembangan pendidikan di Indonesia. UN kurang mempertimbangkan berbagai
faktor obyektif di daerah seperti perbedaan kualitas ajar mengajar, dan fasilitas
pendidikan. Sistem UN harus segera di evaluasi karena bisa mengancam
disitegrasi bangsa. Bayangkan saja, tingkat kelulusan siswa-siswa di Papua
misalnya, hanya sekitar 20%, tidak bisa disamakan dengan tingkat kelulusan
siswa-siswa di DKI Jakarta. Karena kondisi di masing-masing daerah tentu
berbeda.
Berdasarkan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional
(UN) menghabiskan anggaran sekitar Rp 300 miliar. Alokasi dana sebesar itu
tentu lebih bermakna jika digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan dan
memperkecil disparitas kualitas pendidikan di tanah air.
Maraknya pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional baik yang dilakukan sekolah,
guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena
Civic Education merupakan pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum
yang bertujuan memfasilitasi peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga negara

45
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam
intrumentasi dan praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan civic intelligence
(kecerdasan warga negara) yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), (2) civic skills (keterampilan kewargaan), dan (3) civic dispositions (sikap
kewargaan) melaui berbagai interaksi pembelajaran yang bersifat partisipasif; kajian individual
dan kelompok, yang diakhiri dengan penilaian belajar yang berlandaskan pada penguasaan
keseluruhan kompetensi kewargaan secara proporsional.
Dalam Civic Education di harapkan para peserta didik memiliki kreativitas tinggi,
memiliki kemandirian, dan sikap toleransi yang tinggi. Di samping itu agar peserta didik dapat
menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosial.

B. Kerangka Berpikir
Ujian Nasional merupakan wujud dari penilaian hasil belajar oleh
pemerintah. Penilaian hasil belajar tersebut bertujuan untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk Ujian
Nasional. Ujian Nasional tersebut harus dilaksanakan secara obyektif,
berkeadilan, dan akuntabel. Sedangkan untuk pelaksanaannya dapat dilakukan
sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun
pelajaran. Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Dasar seleksi masuk
jenjang pendidikan berikutnya, Penentuan kelulusan peserta didik dari
program dan/atau satuan pendidikan, Pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Perbuatan akan jadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu,melawan hukum,
merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana.
Pembentuk Undang-undang membuat penggolongan tindak pidana dari berbagai undang-undang
hukum pidana, yaitu penggolongan kejahatan dan pelanggaran. Apa yang termasuk dalam
kelompok Kejahatan adalah merupakan perbuatan-perbuatan yang “berat” dan diberi ancaman
hukuman yang tinggi sedangkan yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran merupakan
perbuatan yang “ringan” dengan ancaman hukuman yang rendah, Macam perbuatan dalam
Kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa yang termasuk dalam kelompok
Pelanggaran.

46
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Merupakan mata


pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Pelaksanaan Ujian Nasional

Dilaksanakan dengan Terjadi Pelanggaran dan


Baik Tindak Kejahatan
(Sesuai hak dan
kewajiban)

Dilihat dari Dilihat dari perspektif


KUHP Civic Education

Alternatif penyelesaian
masalah

47
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar : 1
Bagan Kerangka Pemikiran

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi Penelitian merupakan alat untuk mencari data dari obyek


yang menjadi sasaran dari penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan
penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Kualitas dari suatu penelitian tidak tergantung oleh luas tidaknya masalah
dan besar kecilnya populasi tetapi ditentukan oleh ketajaman didalam menganalisa
data atau permasalahannya. Sehingga perlu adanya suatu pembatasan tempat
penelitian yang jelas. Dalam penelitian kualitatif memandang permasalahan yang
ada secara menyeluruh dan terkait dengan yang lainnya. Tempat penelitian
merupakan suatu lokasi dimana penelitian akan dilakukan untuk memperoleh data
sesuai dengan permasalahan yang diajukan.
Tempat yang akan dipakai dalam melaksanakan penelitian ini adalah di
SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lapangan dari di setujuinya judul
pada bulan Mei sampai selesainya penelitian. Berikut ini gambar alokasi
waktu kegiatan penelitian yang penulis lakukan :

48
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian


Tahun 2009
No Jenis Kegiatan
Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des
1. Pengajuan Judul
2. Penyusunan
Proposal
3. Pengajuan Surat
Ijin
4. Pengumpulan Data
5. Analisis Data
6. Laporan Penelitian

B. Bentuk dan Strategi Penelitian


1. Bentuk Penelitian
Dalam penelitian ini bentuk yang akan digunakan adalah bentuk
penulisan deskriptif kualitatif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata,
kalimat, pencatatan dokumen maupun arsip yang gemlike arti yang sangat lebih
dari sekedar angka atau frekuensi.
Menurut Lexy J. Moleong (2005: 4) yang mengutip dari pendapat
Bogdan dan Taylor. Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: “Metodologi
Kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.”
Penelitian ini diperoleh dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek
dari studi, sehingga penggunaan metode penelitian secara mendalam agar sesuai
dengan metode tersebut yaitu menggunakan metode deskriptif. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat dari Winarno Surakhmad (2004: 139) bahwa :
Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada
masa sekarang. Karena banyak sekali ragam penyelidikan demikian
metode penyelidikan deskriptif diantaranya ialah penyelidikan yang
menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi. Sehingga menurutnya
metode deskriptif adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada,
misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan kegiatan,
pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang
berlangsung pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang

49
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing,


dan sebagainya.
2. Strategi Penelitian
Strategi penelitian yang digunakan adalah strategi penelitian tunggal
terpancang. Mengenai model ini seperti yang diungkapkan HB. Sutopo (2002: 41-
42) menjelaskan sebagai berikut: “Dalam penelitian kualitatif ditemui adanya
bentuk penelitian terpancang (Embeded Research) yang memiliki pengertian
penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel
utamanya yang akan dikaji berdasarkan tujuan dan minat penelitiannya sebelum
peneliti kelapangan studinya. Dalam proposal peneliti sudah menentukan terlebih
dahulu fokus dari pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap
tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik
sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap diusahakan pada posisi yang saling
berkaitan dengan bagian-bagian dari konteks secara keseluruhan guna
menemukan makna yang lengkap.
Untuk itu maksud dari strategi tunggal terpancang dalam penelitian ini,
dapat mengandung pengertian sebagai berikut: tunggal yang artinya hanya ada
satu lokasi yaitu di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Sedang terpancang artinya
hanya pada tujuan untuk mengetahui Pelanggaran dan Kejahatan dalam
Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education (Studi Kasus
di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur).
C. Sumber Data
Menurut HB. Sutopo (2002: 50-54) menyatakan bahwa “sumber data
dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa, atau aktivitas, tempat
atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, dokumen atau arsip”.
Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif adalah yang
diungkap oleh Lofland yang dikutip oleh oleh Lexy J. Moleong (2005: 157)
menjelaskan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-
kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-
lain”.

50
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan pendapat di atas peneliti menggunakan sumber data yang


berupa informan, tempat, dan peristiwa serta arsip dan dokumen, lebih lanjut
dijelaskan sebagai berikut:
1. Informan
Jenis sumber data ini dalam penelitian pada umumnya dikenal sebagai
responden. Manusia sebagai sumber data perlu dipahami, bahwa mereka terdiri
dari beragam individu dan memiliki beragam posisi. Oleh karena itu di dalam
memilih siapa yang akan menjadi informan, peneliti wajib memahami posisi
dengan beragam peran serta yang ada sehingga dapat diperoleh informasi
pernyataan maupun kata-kata yang diperoleh dari informan yang disebut data
primer atau sering disebut sebagai informan kunci (key informan).
Adapun informan dalam penelitian ini antara lain:
a. Wakil kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial SH.
b. Dua orang guru SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial BS dan AS.
c. Dua orang karyawan SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial DV dan
KW.
d. Tiga orang alumni siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial TH,
AH, dan LPS.
e. Dua orang tua mantan siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial
SP dan ST. (Lihat Lampiran I halaman 82)
2. Tempat dan Peristiwa
Tempat sebagai obyek penelitian merupakan sumber data yang tidak
dapat ditinggalkan, maka penelitian ini dilakukan di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa
Timur. Peristiwa yang dimaksud adalah Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam
Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education (Studi Kasus
di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur).
3. Dokumen
Sumber data yang kedua atau sekunder dalam penelitian ini adalah
dokumen. Dokumen di sini dapat berupa Surat dan agenda yang berkaitan dengan
suatu peristiwa tertentu.

51
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Macam-macam dokumen yang digunakan di sini meliputi seluruh


dokumen resmi tentang hal-hal yang terkait dengan Pelanggaran dan Tindak
Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic
Education (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur). Yaitu berupa :
Dokumen yang terdapat di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur berupa
Surat Putusan dari Pengadilan Negeri Ngawi tentang Identitas Pelaku Tindak
Kejahatan Penggelapan Naskah Ujian Nasional dan hukuman pidana atas para
pelaku. (Lihat Lampiran 2 halaman 84)
D. Teknik Sampling (Cuplikan)
Karena penelitian ini berbentuk kualitatif, maka teknik pengambilan
sampelnya harus disesuaikan dengan kebutuhan, maka pengambilan sample yang
paling tepat dalam penelitian adalah menggunakan purpossive sampling (sampel
bertujuan).
Menurut Lexy. J. Moleong (2005: 165), sampel bertujuan maksudnya:
1. Untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber
dan bangunannya
2. Menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.
Dalam penelitian kualitatif lebih cenderung menggunakan teknik
cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan
konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik
empiris dan lain-lain. “Oleh karena itu cuplikan yang akan digunakan dalam
penelitian bersifat Purpossive Sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk
memilih informasi dan masalahnya secara lebih mendalam dan dapat dipercaya
untuk menjadi sumber data yang mantap” (HB. Sutopo, 2002: 56). Apabila yang
menjadi populasi adalah Wakil Kepala Sekolah, Guru, Karyawan , Mantan Siswa
(Alumni Siswa SMK PGRI 4 Ngawi) dan Orang tua Alumni Siswa Sekolah yang
berjumlah 100 orang. Maka sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah
Wakil Kepala Sekolah, dua orang Guru, dua orang Karyawan sekolah, tiga orang
Mantan siswa (alumni siswa SMK PGRI 4 Ngawi) dan dua orang tua Alumni
siswa sekolah tersebut yang berjumlah 10 orang.
E. Teknik Pengumpulan Data

52
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data


sebagai berikut :
1. Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam atau in depth interviewing. “Wawancara ini bersifat lentur dan terbuka, serta tidak
terstruktur ketat dalam suasana formal dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama”
(HB. Sutopo, 2002: 56). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban yang lebih lengkap dan
mendalam tentang Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di
SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Wawancara mandalam ini peneliti lakukan pada informan
kunci.
Adapun informan dalam penelitian ini antara lain:
a. Wakil kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.
b. Guru dan karyawan SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.
c. Mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.
d. Orang tua mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur
Adapun pedoman wawancara lihat lampiran 3 halaman 88 dan hasilnya dapat
dilihat pada dan lampiran 4 halaman 89.
2. Observasi Langsung
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa,
tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pada observasi langsung dapat dilakukan dengan mengambil
peran atau tak berperan. Spradley (1980) menjelaskan “bahwa pelaksanaan teknik dalam observasi
dapat di bagi menjadi (1) tak berperan sama sekali, (2) observasi berperan, yang terdiri dari, (1)
berperan pasif, (2) berperan aktif, dan (3) berperan penuh, dalam arti peneliti benar-benar menjadi
warga (bagian) atau anggota kelompok yang sedang diamati” (HB Sutopo, 2002: 64).
Teknik observasi yang digunakan dengan pengamatan secara langsung maupun tidak
langsung terhadap suatu gejala peristiwa yang terjadi dilapangan dengan mengkaji, serta
mengungkap fenomena-fenomena yang ada hubungannya dengan penelitian baik secara nyata
maupun secara mendalam yaitu mengenai pelaksanaan ujian nasional di sekolah SMK PGRI 4
Ngawi Jawa Timur.
Untuk penelitian ini peneliti berperan secara pasif dengan cara melakukan pengamatan,
meliputi segala aspek aktivitas di obyek yang diteliti, baik aktivitas yang didengar maupun yang
dilihat mengenai pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan oleh para siswa dan siswi SMK PGRI
4 Ngawi Jawa Timur.
3. Analisis Dokumen

53
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki posisi
penting dalam penelitian kualitatif.
Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari tertulis sederhana sampai lengkap, dan
bahkan bisa berupa benda-benda lainnya sebagai peninggalan masa lampau. Demikian
pula arsip yang ada umumnya berupa catatan-catatan yang lebih formal bila dibanding
dengan dokumen. Sebagai catatan formal arsip sering memiliki peran sebagai sumber
informasi yang sangat berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Sumber data berupa
arsip dan dokumen biasanya merupakan sumber data pokok dalam penelitian
kesejarahan, terutama untuk mendukung proses interprestasi dari setiap peristiwa yang
diteliti
(H.B Sutopo 2002 :69).
Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan content
analysis. Menurut H.B Sutopo (2002 :69) “mencatat dokumen disebut juga content
analysis dan yang dimaksud peneliti bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang
tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi juga tentang maknanya yang tersirat”.
Dokumen atau arsip yang digunakan peneliti dalam penelitian ini berupa Surat Putusan
dari Pengadilan Negeri Ngawi tentang Identitas Pelaku Tindak Kejahatan Penggelapan Naskah
Ujian Nasional dan hukuman pidana atas para pelaku.
F. Validitas Data
Agar hasil penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
maka di perlukan adanya validitas data untuk menjaga keabsahan data yang
dikumpulkan, validitas data merupakan sarana untuk membuktikan bahwa
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang ilmiah.
Didalam bukunya H.B Sutopo (2002: 78) menyebutkan ada empat
macam trianggulasi data yaitu :
1. Trianggulasi data atau disebut trianggulasi sumber adalah penelitian dengan menggunakan
berbagai sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis.
2. Trianggulasi penelitian yaitu cara yang mana hasil penelitian baik data maupun kesimpulan
mengenai bagian tertentu atau keseluruhan diuji validitasnya dari berbagai peneliti.
3. Trianggulasi metodologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data yang
sejenis tetapi dengan teknik pengumpulan data yang berbeda.
4. Trianggulasi teori yaitu melakukan penelitian dengan topik yang sama dan datanya dianalisis
dengan menggunakan beberapa perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan
yang di kaji.

Menurut (HB.Sutopo, 2002: 77) “Guna menjamin dan mengembangkan


validitas data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif maka
menggunakan teknik trianggulasi data atau sumber”. Dalam hal ini peneliti
mengumpulkan data tentang Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur dari

54
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sumber data yang berbeda, yang digali dari sumber data informan, arsip dan
peristiwa selama kegiatan berlangsung.
G. Analisis Data
Menurut Lexy J. Moleong (2005: 280) “Analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis
kerja seperti yang disarankan oleh data”. Sedangkan menurut HB. Sutopo (2002:
91) berpendapat bahwa “Dalam proses analisis data terdapat 4 komponen utama
yang harus dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Empat komponen utama
tersebut adalah : (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) sajian data, (4)
penarikan kesimpulan/ verifikasi”.
1. Pengumpulan Data
Kegiatan ini digunakan untuk memperoleh informasi yang berupa
kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi, wawancara, dan
dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data yang mentah yang tidak teratur,
sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.
2. Reduksi Data
Merupakan suatu proses seleksi, pengfokusan penyederhanaan dan
abstraksi dari field note (data mentah). HB. Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa:
“Reduksi data adalah bagian dari proses analisis, yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan
mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”.
3. Sajian Data
Merupakan rakitan dari organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar atau
skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel. Semuanya dirakit secara teratur guna
mempermudah pemahaman informasi.
4. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan akhir akan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir
pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa

55
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar kesimpulan
yang di ambil lebih kuat dan bisa dipertanggung jawabkan.
Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam
proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan,
dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa
mengandung salah satu komponen. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam
bagan berikut ini:

1. Pengumpulan Data

2. Reduksi Data 3. Sajian Data


Data

GambarSimpulan
4. Penarikan 2. /verifikasi
Verifikasi
Data Model Analisis Interaktif
( HB. Sutopo, 2002 : 96 )

Pada penelitian ini peneliti memfokuskan pengumpulan data pada


Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa
Timur, baru kemudian peneliti menyajikan data tersebut dalam bentuk narasi yang
didalamnya menggambarkan Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Dari data
yang telah diuraikan tersebut akan ditarik suatu kesimpulan.
H. Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini direncanakan melalui beberapa tahapan yaitu:
“(1) Persiapan, (2) Pengumpulan data, (3) Analisis data, dan (4) Penyusunan
laporan penelitian” (HB. Sutopo, 2002: 187-190).
Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:
1. Persiapan
a. Mengurus perijinan penelitian

56
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data


dan menyusun jadwal kegiatan penelitian.
2. Pengumpulan Data
a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan wawancara mendalam
dan mencatat serta merekam dokumen
b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul
c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
3. Analisis Data
a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian
b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check
kan dengan temuan lapangan
c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses
verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang
dianggap lebih ahli
d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
4. Penyusunan Laporan Penelitian
a. Penyusunan laporan awal
b. Review laporan: pertemuan diadakan dengan mengundang kurang lebih 2
orang yang cukup memahami penelitian untuk mendiskusikan laporan yang
telah disusun sementara
c. Perbaikan laporan sesuai dengan rekomendasi hasil diskusi
d. Penyusunan laporan akhir.

57
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian


1. Sejarah Singkat Berdirinya SMK PGRI 4 Ngawi
Pasca kemerdekaan, sejarah dunia pendidikan di Kabupaten Ngawi cukup berkembang.
Ini ditandai dengan sudah berdirinya sekolah tingkat atas/ Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
yaitu SMA Negeri Ngawi pada tahun 1963. Seiring dengan terus berkembangnya dunia pendidikan
dengan ditandai dengan semakin banyaknya lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
maka daya tampung SMA Negeri Ngawi tidak mampu menyerap semua lulusan SLTP yang ingin
melanjutkan ke SLTA. Akhirnya dalam kurun waktu 16 tahun kemudian berdirilah SMA Negeri
kedua di Ngawi.
Melihat amino masyarakat yang demikian besar, akhirnya kedua sekolah negeri tersebut
tidak mampu menampung lulusan SLTP. Untuk mengatasi hal itu maka pada tahun 1979 berdirilah
SMK PGRI 4 Ngawi sebagai SMK swasta keempat di Kabupaten Ngawi.
SMK PGRI 4 Ngawi berdiri di bawah naungan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan
Dasar dan Menengah (YPLP Dasmen) PGRI Ngawi. Ijin operasional dari Departemen Pendidikan
Nasional dengan nomor SK: 60/U/PC/PGRI/1979 tanggal 18 Mei 1979.
Sejak momentum berdirinya SMK PGRI 4 Ngawi itulah dunia pendidikan khususnya
tingkat Sekolah Menengah Sangat bergairah terbukti semakin banyak bermunculan sekolah-
sekolah swasta baru, antara lain: SMA PGRI Widodaren, SMK PGRI 4 Geneng, SMA Santo
Thomas Ngawi, SMK Muhammadiyah Ngawi, SMA Soerjo Ngawi, dan lain-lain.
Pada rintisan awal SMK PGRI 4 Ngawi pada Tahun ajaran 1979/1980 membuka 3 kelas
dengan daya tampung 147 siswa. Karena Belum memiliki gedung sendiri maka meminjam gedung
SD Negeri Grudo Ngawi dengan cara masuk siang karena pagi hari digunakan untuk proses
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) siswa SD.
Tahun ajaran 1981/1982 jumlah siswa keseluruhan mencapai 715 anak, karena SD
Grudo tidak mampu menampung, maka pihak sekolah mengambil langkah meminjam gedung SD
Cupo Ngawi sebagai gedung kedua.
Tahun ajaran 1982/1983 SMK PGRI 4 Ngawi harus kembali meminjam gedung sekolah
lain karena jumlah siswa yang semakin bertambah mencapai 906 anak. Akhirnya dipilihlah SD
Jururejo Ngawi untuk dipinjam sebagai gedung ketiga. Kebetulan ketiga SD tersebut berlokasi
tidak berjauhan hanya sekitar ±1000 meter.
Momentum berikutnya terjadi pada tahun ajaran 1987/1988, yaitu ketika untuk pertama
kalinya SMK PGRI 4 Ngawi berhasil menempati gedung milik sendiri, yang berlokasi di Jl. Raya
Ngawi Madiun Klitik Geneng Ngawi. Gedung ini ditempati hingga Sekarang dan sudah banyak
sekali perkembangannya.

58
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Profil Aktual SMK PGRI 4 Ngawi


Data lengkap SMK PGRI 4 Ngawi adalah sebagai berikut :
NPSN 20508446
Nama Sekolah SMK PGRI 4 NGAWI
Tingkat Sekolah SMU/SMK/MA
Status Swasta
Alamat Jalan A. Yani (Timur Terminal Bus) Ngawi
Kode Pos 63271
Kelurahan Klitik
Kecamatan Geneng
Propinsi Jawa Timur
Kab/Kota Ngawi
Telepon (0351) 749676
Fax (0351) 749676
Email Sekolah smk_pgri_4_ngawi@yahoo.co.id
Nama lengkap dari sekolah ini adalah Sekolah Menengah Kejuruan Persatuan Guru
Republik Indonesia 4 Ngawi (SMK PGRI 4 Ngawi). Nomor Statistika Sekolah/ Madrasah
(NSSM): 304050901003 dan Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN): 20508446. Alamat: Jl. A.
Yani Klitik Geneng Ngawi Jawa Timur, Kode Pos: 63271 Telepon: 0351-749676 e-mail:
smk_pgri_4_ngawi@yahoo.co.id.
SMK PGRI 4 Ngawi berstatus sekolah swasta klasifikasi sekolah mandiri. Status ini
tertuang dalam SK No: 420/11/404.109 tertanggal : 28/02/2007. dalam akreditasi sekolah yang
terakhir tahun 2007 mendapat status terakreditasi dengan nilai “A” tertuang dalam SK Badan
Akreditasi Sekolah No: 036/5/BASDA/TU tertanggal: 19/07/2007.
Visi dari SMK PGRI 4 Ngawi adalah Terwujudnya sumber daya manusia bertaraf dunia
yang dilandasi iman dan taqwa serta keunggulan lokal, sedangkan misinya adalah :
a. Memberdayakan potensi yang ada dalam bentuk sarana prasarana, dana, teknologi dan
informasi.
b. Meningkatkan manajemen pelayanan dan kepuasan kerja.
c. Menciptakan iklim organisasi yang sehat.
d. Meningkatkan sumber daya manusia tenaga kependidikan terus menerus
Tahun pelajaran 2008/2009 SMK PGRI 4 Ngawi mengelola 15 kelas dengan jumlah
siswa sebanyak 654 orang.
Tinjauan terhadap sarana fisik, sekolah ini sudah menempati gedung milik sendiri dan
meyelenggarakan sekolah di pagi hari. Memiliki 16 ruang kelas, 1 ruang laboratorium, 1 ruang
laboratorium komputer yang sudah terkoneksi jaringan internet, 1 ruang laboratorium bahasa, 1

59
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ruang perpustakaan, 1 ruang multimedia, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang tata usaha,
masjid, ruang osis, WC, lapangan basket, lapangan voli, lapangan futsal, kantin dan tempat parkir.
Semua sudah berstatus milik sendiri dan berdiri di atas tanah hak milik bersertifikat.
SMK PGRI 4 NGAWI didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan muda yang
profesional dan inovatif serta memiliki fasilitas gedung milik sendiri, laboratorium komputer,
laboratorium bahasa, laboratorium penjualan, sistem pembelajaran menggunakan sistem multi
media.
SMK PGRI 4 NGAWI memiliki Bursa Kerja Khusus (BKK) yang telah mengantarkan
lulusan bekerja di dalam negeri (Batam, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Palembang) serta ke luar
negeri (Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong).
Jumlah tenaga pendidik (guru) di SMK PGRI 4 Ngawi seluruhnya 53 orang, terdiri dari
Guru Tetap sejumlah 6 orang, Guru Tidak Tetap sejumlah 44 orang, Guru Bantu Pusat sejumlah 1
orang dan Guru Bantu Daerah sejumlah 2 orang. Latar belakang pendidikannya mayoritas sudah
S1 sejumlah 50 orang, D3 sejumlah 2 orang dan D2 sejumlah 1 orang.

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian


1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di
SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
a. Pelaksanaan Ujian Nasional
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks di
Indonesia, mulai dari robohnya bangunan sekolah yang terjadi di mana-
mana, kekurangan guru, mahalnya biaya pendidikan, putus sekolah, korupsi
di bidang pendidikan, kontroversi Ujian Nasional, kecurangan penerimaan
siswa baru, kurikulum pendidikan yang sering berubah tanpa jelas arah dan
tujuannya, tidak merata dan rendahnya kualitas pendidikan, sampai pada
ketidaknyamanan anak belajar di sekolah.
Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistim
Pendidikan Nasional, Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan
nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman.
Pendidikan Nasional sendiri merupakan pengembangan dari arti kata
Pendidikan sendiri yang berarti: usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

60
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menambah kekuatan


spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, ketrampilan yang dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan
mempunyai fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Semua itu
bermuara pada Sistem Pendidikan Nasional yang telah dicanangkan oleh
pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Sistem
Pendidikan Nasional yang berarti keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di dalam pendidikan nasional itu sendiri terdapat peserta didik
selaku anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan
tertentu. Selain peserta didik sudah tentu harus tersedia tenaga
kependidikan yang merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri
dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan seperti guru,
dosen, konselor, instruktur, pamong belajar, fasilitator dan lainnya yang
turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dilakukan evaluasi terhadap peserta didik, lembaga
dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua
jenjang, satuan dan jenis pendidikan.
Hal ini dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evalusi peserta didik, satuan pendidikan dan
program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Di tengah kondisi sosial masyarakat yang memprihatinkan, sektor pendidikan masih
menghadapi persoalan besar. Selain rendahnya mutu pendidikan dan terbatasnya komponen

61
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

instrumental yang mendukung pendidikan, ketidaksiapan masyarakat dalam mendukung setiap


kebijakan pendidikan terus-menerus menghantui di tiap tahunnya.
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi
saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN
atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti
kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Hanya,
sementara Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada
sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs),
sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan sekolah
menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar
biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah
ibtidaiyah (MI), Ebtanas diganti dengan ujian akhir sekolah. Perdebatan
muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen
Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang
bersifat fundamental secara yuridis dan paedagogis.
Selain itu, pada penyelenggaraan UN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi
Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi secara teknis hingga finansial
pada penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ajaran 2003/2004 Dari Hasil Kajian
Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005, hal 5) yaitu:
Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan
secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu
kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan
baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada
prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang
yang baik.
Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan
menjadi bagian penting dalam UN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan
yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru
dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi
dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk

62
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek. Kasus di beberapa sekolah,


guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti
matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi
kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan
daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil
ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-
jawaban siswa.
Ketiga, pembiayaan. Dalam dua kali UN, penyelenggaraannya
dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya,
peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan sekolah,
tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian (baik APBN
maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang sudah
ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana untuk
menyelenggarakan UN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi,
sehingga kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan
menumpangkan pada biaya SPP atau biaya acara perpisahan.
Dari penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan
penyelenggaraan UN menimbulkan ketidakadilan bagi para peserta didik
yang telah mengikuti UN. UN seharusnya didahului dengan pemerataan
standar baik di kota-kota besar maupun di daerah dan daerah-daerah
terpencil sehingga para peserta UN mempunyai bekal yang sama sebelum
mengikuti UN tersebut. Sebagai contoh, ada lulusan SD di Papua yang belum
bisa membaca tetapi harus disamakan dengan lulusan SD di DKI Jakarta
yang sudah sangat lancar membaca. Fasilitas di Papua jelas sangat berbeda
dengan di Jakarta, sehingga perbedaan tersebut jelas ada. Apabila
dibandingkan dengan sistem pendidikan di luar negeri, misalnya negara
tetangga Malaysia dan Singapura, jelas berbeda. Karena di negara-negara
tersebut sudah mempunyai standar mutu yang sama di setiap wilayahnya
sedangkan di Indonesia terjadi kesenjangan yang sangat mencolok di dalam
bidang pendidikan.

63
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ujian Nasional itu sendiri juga bertentangan dengan prinsip


Kurikulum Berbasis Kompetensi, sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: bahwa kedalaman muatan kurikulum
pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam dasar kompetensi dan
kompetensi dasar pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan
Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
pendidik-lah yang mengetahui kompetensi siswa yang bersangkutan. Karena
setiap hari telah melakukan proses belajar dan mengajar terhadap siswa
tersebut otomatis yang lebih mengetahui perkembangan siswa tersebut
adalah pendidik itu sendiri. Dan penilaian kelulusan itu ditentukan pendidik
dengan memperhatikan 3 (tiga) unsur yaitu afektif, psikomotorik dan
kognitif. Karena itu tidak mungkin kelulusan seorang siswa hanya
ditentukan oleh tiga mata pelajaran dan dalam waktu satu hingga dua jam
saja.
b. Pelanggaran-Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian
Nasional (UN)
Karena tingginya standar kelulusan siswa dalam UN tahun ini
dimana nilai kelulusan peserta UN tingkat SMP/SM-PLB/MTs dan di tingkat
SMA/SMK/MA tidak bisa diganggu gugat dan ditawar-tawar. Untuk lulus
nilai rata-rata UN harus 5,00 dan nilai satu mata pelajaran minimal 4,25.
Bila salah satu mata ujian nilainya 4,00 maka dua mata ujian lainnya harus
minimal 6,00. Walaupun kurang nol koma nol sekian, tapi nilainya tidak
sampai 4 (empat), tetap tidak bisa lulus UN, hal ini dinyatakan oleh Yunan
Yusuf, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (Warta Kota,
Sabtu, 5 Mei 2007, Hal. 3). Bila nilai ujian lainnya tinggi dan akhlaknya baik
tetapi nilai UN-nya dibawah 4 (empat) tetap tidak lulus. Begitu juga
sebaliknya, bila UN tinggi, tapi nilai ujian sekolah di bawah standar
kelulusan, siswa bisa tetap tidak lulus.
Pihak sekolah tidak bisa mengintervensi nilai UN untuk
mendongkrak nilai UN siswa sehingga lulus sekolah. Karena, seluruh hasil
UN itu diperiksa dan dikeluarkan oleh Puspendik Depdiknas. Skor UN

64
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

disampaikan oleh BSNP ke propinsi dan dilanjutkan ke sekolah-sekolah.


Supaya tidak terjadi dongkrak mendongkrak nilai harus ada batas nilai
kelulusan.
Dibandingkan dengan tahun lalu, nilai kelulusan yang diterapkan
saat ini telah diturunkan batas minimalnya. Tahun lalu, standar lulus satu
nilai mata ujian minimal 4,25. Tahun ini, peserta UN yang nilainya 4,00 bisa
lulus UN asalkan nilai dua ujian lainnya minimal 6,00. Tetapi walaupun
demikian masih banyak siswa yang gagal dalam UN.
Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan
terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam
pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang
mengakibatkan banyaknya pelanggaran dalam UN ini adalah kekhawatiran
dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun
jika banyak diantaranya siswanya yang tidak lulus. Sebagian masyarakat
masih berpendapat jika keberhasilan suatu sekolah dilihat dari banyaknya
siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang tidak lulus otomatis
kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan berkurang dan
bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran juga
melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya
demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa
yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan
turun dan dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena
prosentase kelulusan yang kecil.
Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah
didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan
pada tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga
ke kabupaten/kota.
Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah
penyelenggara. soal diambil pada pukul 05.00 subuh, waktu yang tersedia
antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh oknum guru
atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN, mengerjakannya,

65
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

serta menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah yang nanti beredar
dalam bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa masuk ke ruang ujian
oleh guru sekolah penyelenggara atau ditulis di papan tulis di ruang ujian.
Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja
mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada
sisa soal di kelas itu. Padahal menurut Prosedur Operasional Standar
(POS), sisa soal harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan
dan jawabannya diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke
seluruh peserta ujian (Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4).
Selain itu, sekolah-sekolah yang tidak ingin muridnya gagal dalam
UN telah membentuk tim sukses untuk meluluskan para muridnya. Tim
Sukses ini beranggotakan guru-guru yang mata pelajarannya menjadi mata
pelajaran yang diujikan dalam UN.
Sebelum UN dilaksanakan, pihak sekolah telah mengundang tim
pengawas yang akan mengawasi UN di sekolah tersebut. Mereka diberi
pengarahan agar tidak terlalu ketat dalam mengawasi UN dan segala bentuk
pelanggaran yang terjadi tidak perlu dicatat. Karena sewaktu UN berjalan,
para murid akan saling memberitahukan jawaban ujian yang berasal dari
guru yang telah mendapatkan jawaban dari soal ujian yang telah dibuka
terlebih dahulu sebelum UN dimulai. Para guru pengawas tersebut, pada
saat UN berjalan hanya duduk di depan kelas sambil membaca saja dan
seolah tidak peduli akan segala sesuatu yang berjalan pada waktu ujian.
Tidak lupa para pengawas ini pun diberi amplop yang berisi uang sogokan
(Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4).
Apabila setelah UN berakhir masih ada siswa yang belum selesai
mengisi lembar jawaban dengan jawaban yang benar, maka waktu yang
tersedia digunakan oleh pihak sekolah untuk membetulkan jawaban sebelum
semua jawaban dikumpulkan ke rayon masing-masing.
Siswa juga diminta hadir lebih awal ke sekolah sebelum pengawas
datang dan siswa tersebut diberi tahu kunci jawaban oleh tim sukses dan
guru yang telah mengerjakan soal-soal UN pada hari itu.

66
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Selain bentuk pelanggaran-pelanggaran di atas, ada pula kasus


penggelapan naskah soal UN oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi
(Seputar Indonesia, 15 Juni 2007 Hal 5). Kasus ini termasuk dalam tindak pidana
kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur.
Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah, Guru dan
Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif terdakwa
melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua siswanya
dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah, dia
ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK
yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah
ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari
Kantor Diknas Ngawi untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi. Seluruh
terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil. Karena saat
itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat untuk
menggelapkan.
Jadi berbagai kecurangan itu justru berlangsung di ruang-ruang
kelas sekolah, bahkan di luar kelas. Karena dari mulai penyelenggara UN
Pusat ke percetakan yang ditetapkan Gubernur sebagai pemenang tender,
master copy dijaga ketat oleh Kepolisian dan tim pemantau independen.
Soal-soal UN itu dicetak dan dipak dengan menggunakan tiga gembok
berbeda yang kuncinya masing-masing dipegang pihak percetakan, tim
pemantau independen dan Kepolisian. Ketika perusahaan percetakan
mendistribuskan bahan UN kepada penyelenggara UN tingkat
kabupaten/kota dan menyimpannya di kantor dinas pendidikan
kabupaten/kota, di kantor kepolisian dan di sub rayon sekolah
penyelenggara, seluruhnya juga dijaga ketat kepolisian, tim pemantau
independen dan penyelenggara UN kabupaten/kota hingga sampai ke
sekolah.
Ada informasi yang sedang diselidiki oleh pihak LSM tersebut
karena diperoleh kabar bahwa pengelola Bimbingan Belajar tersebut bisa
membeli soal seharga Rp. 20 juta sampai Rp 25 juta. Bimbingan Belajar

67
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tersebut akan membahas soal UN tersebut dua minggu sebelum UN


dilaksanakan. Semua informasi survey ini diperoleh dari pengakuan peserta
UN, karena sepertinya ada kesepakatan bersama untuk menutupi
kecurangan UN antara sekolah dan guru, jadi sulit untuk
mengungkapkannya (Republika, Selasa 8 Mei 2007, Hal 5).
c. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di
SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
Sebagaimana di Sekolah lain, SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur juga
melaksanakan UN. Pada prakteknya, dalam pelaksanaan UN di Sekolah tersebut
terdapat banyak pelanggaran bahkan sampai terjadi tindak kejahatan, ini terlihat
dengan adanya oknum pejabat di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang telah
menggelapkan naskah Ujian Nasional. (Harian Seputar Indonesia, 15 Juni 2007,
Hal 5). Hal ini dikarenakan pada UN mulai tahun 2006 sampai 2008 selain
persyaratan kelulusan sulit juga jumlah mata pelajaran yang diujikan pada UN
juga bertambah dari tahun ketahun. Tidak hanya siswa saja yang khawatir dalam
menghadapi ujian tahun ini tetapi juga orang tua, sekolah, pemerintah daerah
masing-masing juga mengkhawatirkan.
Hal ini sesuai dengan wawancara dengan (CL nomor 1), Salah satu guru
pada sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. (Wawancara dilakukan pada hari
Senin tanggal 21 Juli 2008, pukul 10.00 WIB).
“Wah..gimana ya..? tahun lalu saja kita merasa kesulitan untuk memenuhi nilai
standar kelulusan yang diterapkan..e..malah sekarang dinaikkan standar kelulusannya.
Akhirnya kita melakukan berbagai upaya, agar anak-anak kita bisa mencapai nilai yang
diharapkan...Kalau tidak kita bantu, wah, ya sulit”
Selain karena tingginya standar kelulusan yang ditetapkan, salah satu
sebab terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN adalah karena siswa
merasa malu jika tidak lulus ujian, seolah-olah mereka belajar 3 tahun tidak ada
hasilnya, mau mengulang malu, takut pada orangtua dan secara psikologis
menjadi rendah diri. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan lulusan SMK
PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang saat ini bekerja sebagai karyawan toko (CL
nomor 2), (Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 20 Juli 20008, pukul
12.05 WIB).

68
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“Gimana ya Mbak, kalau ingat waktu ujian dulu, kita kerjasama, sms an, buat
contekan agar bisa lulus..Habis kalau sampai tidak lulus, saya malu banget, sama
tetangga, apalagi sama orang tua..”
Perasaan malu juga dialami orangtua jika anaknya tidak lulus, uang yang
telah mereka gunakan untuk membiayai anaknya seolah-olah tidak ada hasilnya.
Hal ini sesuai dengan wawancara dengan, Orang tua mantan siswa SMK PGRI 4
Ngawi Jawa Timur. (CL nomor 3).(Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal
21 Juli 2008, pukul 14.40 WIB)
“Wah..kalau sampai anak saya nggak lulus, mau ditaruh dimana muka saya ini
Mbak..sudah lah bayar sekolahnya mahal..eh, ujiannya nggak lulus pula”
Kekhawatiran tersebut, tidak saja dialami oleh siswa, guru maupun orang tua siswa.
Kekhawatiran juga dialami oleh sekolah. Kekhawatiran sekolah adalah persentase kelulusan ujian
nasional yang diperoleh kecil. Jika persentase kelulusan kecil maka sekolah akan menanggung
beban moral terhadap masyarakat karena merasa gagal dalam melakukan proses pembelajaran di
sekolah. Kegagalan tersebut juga sebagai indikator mutu sekolah, walaupun sebenarnya angka
kelulusan hanya merupakan salah satu indikator keberhasilan sekolah. Namun selama ini
masyarakat menilai bahwa mutu sekolah dapat dilihat dari angka kelulusan yang dicapai.
Hal ini seperti hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMK
PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.(CL nomor 4). (Wawancara dilakukan pada hari
Senin tanggal 21 Juli 2008, pukul 10.30 WIB).
“UN ini memang menjadi beban moral kami. Bagaimana tidak, kalau sampai banyak
siswa sekolah kami yang tidak lulus, pasti masyarakat akan mempertanyakan mutu
sekolah ini. Padahal sebagai sekolah swasta, mutu tersebut menjadi tolok ukur
perolehan siswa pada tahun ajaran berikutnya”
Bahkan usaha penolakan pelaksanaan ujian nasional juga dilakukan oleh
sebagian dari kalangan pendidik. Mereka merasa bahwa penilaian adalah
merupakan hak pendidik, jadi kurang pas bila dievaluasi selain pendidik,
begitulah yang terjadi di tahun sebelumnya.
Kekhawatiran yang dimiliki oleh siswa, sekolah maupun pemerintah
daerah, baik tingkat kabupaten maupun propinsi menumbuhkan semangat untuk
melakukan usaha untuk meraih sukses dalam ujian nasional. Bentuk upaya itu bisa
berupa tambahan pelajaran, try out ujian nasional, supervisi persiapan ujian
nasional dan bentuk-bentuk lain yang serupa.

69
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4


Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education
Bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa
Timur berupa Membuat contekan jawaban Ujian Nasional (UN) hal ini dapat di kemukakan
sebagai berikut:
Selain Tindak Kejahatan yang sudah terkena sanksi hukum sebagaimana uraian yang
akan di paparkan di bawah, tidak sedikit bentuk kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional.
Kecurangan ini terjadi pada siswa, guru, sekolah sampai di tingkat daerah. Yang telah terjadi
ditemui banyak tulisan-tulisan jawaban di tempat tertentu seperti WC dan kamar mandi, banyak
siswa yang izin ke belakang saat ujian berlangsung, bahkan ada juga guru pada suatu sekolahan
yang secara terang-terangan memberikan jawaban di ruang ujian.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan salah seorang guru di SMK 4 PGRI
Ngawi (CL nomor 1), (Wawancara ini dilakukan pada hari selasa 22 Juli 2008, pukul 08.05 WIB).
“Yaa.. kita mesti pinter-pinter cari kesempatan mbak..ya nanti kita buatkan contekan
jawaban, trus diam-diam kita berikan pada siswa. Trus, kita juga pura-pura tidak tau
kalau ada siswa yang saling bertukar jawaban di WC atau dimana saja”
Berbagai macam pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional dapat di
lihat sesuai hasil wawancara dengan salah seorang alumni siswa SMK PGRI 4
Ngawi (CL nomor 2), (Wawancara ini dilakukan pada hari pada hari Senin
tanggal 20 Juli 20008, pukul 12.05 WIB).
“Pelanggaran?..ya macem-macem mbak..sms an, mengambil soal sebelum digunakan,
membuat contekan, ngasih tau jawaban kalau pas siswa keluar…itu semua termasuk
pelanggaran Mbak”
Ya itu tadi Mbak…ada yang buat contekan..ada yang sms an nyocokkan
jawabannya..ada yang pura-pura ke WC trus disana sms atau cari jawaban di buku
yang ditinggalkan di luar…pokoknya banyak deh cara yang dilakukan siswa
itu…ha..ha..ha..
Uraian di atas, menggambarkan bentuk-bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian
Nasional. Ketika pelaksanaan UN cara-cara curangpun dilakukan agar bisa lulus mulai pencurian
soal, saling contek, joki soal atau modus lain mewarnai UN. Memang bagi siswa yang siap
mungkin UN tidak menjadi masalah. Tapi, siswa yang tidak siap UN menjadi permasalahan besar,
tindakan nekatpun dilakukan.
Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI
Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan Naskah soal Ujian Nasional (UN),
hal ini dapat di kemukakan sebagai berikut :

70
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Ujian Nasional SMK


Tahun Pelajaran 2006/2007 yang akan dilaksanakan pada hari Selasa
tanggal 17 April 2007, maka Pemerintah melalui Diknas Kabupaten Ngawi
pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 telah membagikan Naskah Ujian
Nasional kepada masing-masing sekolah di seluruh Wilayah Kabupaten
Ngawi termasuk Sekolah SMK PGRI-4 yang kepala sekolahnya adalah Drs.
H. Ma’mun Effendi.
Kejadian dalam tindak kejahatan pelanggaran pelaksanaan Ujian
Nasional berawal dari pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 Drs. H.
Ma’mun Effendi Bin Muhadi, Drs. Fusi Santoso Bin Wiro Diharjo, Bambang
Sugeng Winarno, SH Bin Soenardi dan Agus Sulaiman Bin Karto Diharjo
Pardi selaku Panitia Pelaksanaan Ujian Nasional dari sekolah SMK PGRI-4
Ngawi telah menerima pembagian berkas Naskah Ujian Nasional di Kantor
Diknas Ngawi berupa : 26 Amplop terdiri dari 24 Amplop Besar dan 2
Amplop Kecil Mata Ujian Matematika, 26 Amplop terdiri dari 24 Amplop
Besar dan 2 Amplop Kecil Mata Ujian Bahasa Inggris dan 26 Amplop terdiri
dari 24 Amplop Besar dan 2 Amplop Kecil Mata Ujian Bahasa Indonesia,
ditambah 25 buah Kaset LC Bahasa Inggris. Drs H. Ma’mun Effendi sebagai
Pihak ke-II (Penerima) dan Pihak ke-I : Drs. Djarot Nugroho – selaku Ketua
Sub Rayon 62 dengan disaksikan oleh Drs. Fusi Santoso dan Drs. M. Fathoni
telah menandatangani Berita Acara Serah Terima Naskah Ujian Nasional.
Setelah Serah Terima Naskah selesai, sedianya Naskah untuk
Sekolah SMK PGRI-4 dititipkan di Polsek Geneng. Namun setelah diadakan
musyawarah antara pihak Diknas, Guru dan Petugas Polsek Geneng
disepakati bahwa Naskah tersebut akan dititipkan di Polsek Ngawi.
Kemudian Mahmud sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang
menginstruksikan bahwa untuk pengangkutannya dilakukan bersama-sama
dengan pengangkutan Naskah Sekolah MAN dan SMKN-1 Ngawi yang akan
dikawal oleh Purwo dan Toeran juga sebagai Petugas Pengawal dan
Pengamanan Barang.

71
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada saat Purwo dan Toeran sedang menyelesaikan pengecekan dan


penyusunan Naskah Sekolah MAN dan SMKN-1 Ngawi, para pelaku selaku
Panitia Pelaksanaan Ujian Nasional di Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa
Timur yaitu : (Drs.H.a’mun Effendi Bin Muhadi yang berkedudukan sebagai
Kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi , Drs. Fusi Santoso Bin Wiro Diharjo
sebagai salah satu guru SMK PGRI 4 Ngawi, Bambang Sugeng Winarno, SH
Bin Soenardi juga sebagai guru SMK PGRI 4 Ngawi, dan Agus Sulaiman Bin
Karto Diharjo Pardi berkedudukan sebagai Kepala Tata Usaha SMK PGRI
4 Ngawi ). Tanpa sepengetahuan dan seijin Purwo dan Toeran yang
berkedudukan sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang
berangkat terlebih dahulu dengan menggunakan Kendaraan Kijang no Pol
AE-2825-HB milik Drs. H. Ma’mun Effendi menuju ke Polsekta Ngawi.
Dalam perjalanan menuju Polsekta Ngawi, karena didukung adanya
kesempatan maka timbullah niat untuk mengambil sebagian dari Naskah
Ujian Nasional tersebut untuk diberikan kepada para Siswa. Agus Sulaiman
yang duduk di jok belakang mobil di sebelah Naskah Ujian Nasional
mengambil 1 (satu) buah Amplop Kecil berisi Naskah soal Bahasa Indonesia
dan 1 (satu) buah Kaset LC Bahasa Inggris dan mencoret atau mengganti
jumlah kaset yang tertera dalam Berita Acara Serah Terima Barang yang
semula tertulis 25 diganti menjadi 24, lalu diberikan kepada Drs. Fusi
Santoso yang kemudian diserahkan kepada Drs. H. Ma’mun Effendi dan
diletakkan di bawah kakinya. Kemudian Bambang Sugeng Winarno, SH
yang lalu memasukkan ke dalam tas Drs. H. Ma’mun Effendi.
Sesampainya di Polsekta Ngawi Drs. H. Ma’mun Effendi menyerahkan Naskah Ujian
Nasional dan kaset tersebut beserta Berita Acara Serah Terima kecuali Naskah dan Kaset yang
telah di ambil para pelaku yang menerima adalah Mahmud sebagai Petugas Pengawal dan
Pengamanan Barang, lalu para pelaku kembali ke Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi.
Sesampainya di Sekolah ternyata Mahmud telah menunggu Drs. H. Ma’mun Effendi
dan menanyakan masalah jumlah Naskah yang tidak sesuai dengan Berita Acara Serah Terima
Barang dan Mahmud mengatakan agar segera dikembalikan. Saat itu juga Drs. H. Ma’mun Effendi
mengakui bahwa telah mengambil Naskah tersebut bersama-sama dengan para pelaku lainnya.

72
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pejabat Sekolah di SMK


PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Dapat dilihat atau di tinjau dari dua aspek yaitu segi
hukum dan perspektif civic education, yaitu:
Pertama, Apabila dilihat atau di tinjau dari segi hukum, maka
termasuk tindakan Kejahatan, dimana telah melakukan tindak pidana “
Penggelapan yang dilakukan secara bersama” sebagaimana diatur dalam surat
dakwaan melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi : Barang siapa
dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali
atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena
kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.
Kejahatan ini dinamakan penggelapan biasa. Penggelapan adalah
kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362, hanya bedanya
kalau dalam pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum berada di
tangan pelaku, sedang dalam kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk
dimiliki itu sudah berada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau sudah
dipercayakan kepadanya.
Sedangkan Pasal 55 KUHP berbunyi :
a. Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana : ke-1, orang yang melakukan, yang
menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu; ke-2, orang yang dengan
pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan,
ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja
menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
b. Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub-2 itu, yang boleh dipertanggung
jawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat
perbuatan itu.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP tersebut adalah :
a. Unsur Barang siapa
Yang dimaksud dengan barang siapa disini adalah siapa saja atau setiap orang selaku
Subyek Hukum atau Pendukung hak dan kewajiban yang terhadap dirinya berlaku dan/atau dapat
diterapkan Ketentuan Hukum Pidana Indonesia serta atas perbuatannya tersebut dapat

73
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dipertanggungjawabkan secara hukum. Yang dimaksud Subyek Hukum dalam Keputusan ini
adalah para Terdakwa yaitu : Drs. H. Ma’mun Effendi Bin Muhadi, Drs. Fusi Santoso Bin Wiro
Diharjo, Bambang Sugeng Winarno, SH Bin Soenardi dan Agus Sulaiman Bin Karto Dharjo
Pardi. Semuanya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, sehingga dapat dimintakan
pertanggungan jawab atas perbuatannya.
b. Unsur Dengan Sengaja dan Melawan Hukum Memiliki Barang
Yang dimaksud Dengan Sengaja dan Melawan Hukum Memiliki Barang adalah suatu
perbuatan itu telah dilakukan dengan disadari atau telah ada niat dari Pelaku, baik untuk
melakukan perbuatan itu sendiri atau untuk timbulnya suatu akibat dari perbuatan yang akan
dilakukannya, dimana perbuatan tersebut dilakukan tanpa seijin ataupun sepengetahuan pihak
yang berwenang dengan cara menganggap ataupun memperlakukan sesuatu benda seolah-olah
miliknya sendiri, padahal para Terdakwa mengetahui bila Naskah Ujian Nasional tersebut
merupakan Dokumen Rahasia Negara yang hanya boleh diambil, disimpan dan dibuka melalui
prosedur yang telah ditentukan Pemerintah.
c. Unsur Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang Lain
Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Ujian Nasional SMK Tahun Pelajaran
2006/2007 yang akan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 17 April 2007, maka Pemerintah
melalui Diknas Kabupaten Ngawi pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 telah membagikan
Naskah Ujian Nasional kepada masing-masing sekolah di seluruh Wilayah Kabupaten Ngawi
termasuk Sekolah SMK PGRI-4 yang kepala sekolahnya adalah Terdakwa I Drs. H. Ma’mun
Effendi.
Berdasarkan penjelasan diatas Unsur Yang Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang Lain
telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
d. Unsur Dan Yang Ada Padanya Bukan Karena Kejahatan
Perbuatan para Terdakwa menerima penyerahan Naskah Ujian Nasional tersebut
memang dikehendaki ataupun seijin dari Diknas Kabupaten Ngawi oleh karenanya jelas menurut
hukum bahwa penguasaan barang berupa Naskah Ujian Nasional tersebut oleh para Terdakwa
bukan karena kejahatan melainkan sesuai dengan kewenangannya yang untuk selanjutnya
diserahkan dan disimpan di Polsek Ngawi untuk pengamanan.
Berdasarkan penjelasan di atas Unsur Yang Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang
Lain telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
e. Unsur Dilakukan Oleh Dua Orang atau Lebih Secara Bersama-sama
Dapat disimpulkan bahwa perbuatan menyisihkan sebagian Naskah Ujian
Nasional dan Kaset tersebut adalah dikehendaki bersama-sama oleh para
Terdakwa sesuai perannya masing-masing, hal mana dapat diketahui dari tidak
adanya salah satu dari para Terdakwa yang menyatakan keberatan dengan

74
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kejadian tersebut dengan melaporkan pada yang berwajib, sehingga dapat


diartikan bahwa para Terdakwa setuju dan bersepakat untuk melakukan Perbuatan
tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut Unsur Dilakukan oleh Dua Orang atau
Lebih Secara Bersama-sama telah terbukti secara sah dan meyakinkan.
Bahwa dengan telah terpenuhinya semua unsur tindak pidana tersebut
maka para Terdakwa telah pula terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana Penggelapan Yang Dilakukan Secara Bersama-sama.
Terdapat hal-hal yang memberatkan perbuatan para Terdakwa ini yaitu:
Perbuatan para Terdakwa telah merusak citra dunia Pendidikan hal mana
bertentangan dengan Program Pemerintah yang sedang giat-giatnya meningkatkan
mutu Pendidikan di Indonesia dan para Terdakwa sebagai Pendidik seharusnya
menjadi panutan bagi anak didiknya namun justru melakukan perbuatan yang
sebaliknya.
Sedangkan hal-hal yang meringankan para Terdakwa yaitu : Perbuatan
para Terdakwa belum sampai mengakibatkan kebocoran dan mengganggu
kelancaran jalannya Ujian Nasional, para Terdakwa mengakui terus terang
perbuatannya sehingga memperlancar jalannya Persidangan, para Terdakwa
menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya
tersebut, para Terdakwa telah cukup lama mengabdi di dunia Pendidikan tanpa
cela dan para Terdakwa belum pernah dihukum.
Sehingga sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, penjatuhan pidana terhadap para
Terdakwa bukanlah didasarkan atas tindakan balas dendam atau rasa benci melainkan sebagai
tindakan hukum yang bersifat mendidik yang didasarkan atas nilai-nilai keadilan hukum dan
keadilan masyarakat.
Kedua, Apabila dilihat dari Perspektif Civic Education,
Mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam pelaksanaan ujian
nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau
sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, ternyata dalam pelanggaran
ujian nasional ada kasus oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai
pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan
masyarakat, dan seorang guru di harapkan berperan sebagai teladan dan rujukan

75
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik yang dia ajar. Bahwa seorang guru
yang memiliki kewajiban sebagai pendidik bagi anak didiknya dan seharusnya
memberikan contoh yang baik, dalam hal ini telah melakukan perbuatan yang
tidak patut di contoh yaitu menggelapkan naskah Ujian Nasional hal ini termasuk
dalam tindak kejahatan, menyangkut dengan tindakan tersebut berarti guru itu
telah melanggar nilai kode etik seorang guru dimana nilai-nilai moral telah di
langgar selain itu telah melanggar ketentuan hukum pidana yang telah termuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu perbuatan
Penggelapan barang, dalam kasus ini yang di gelapkan adalah Naskah Ujian
Nasional. Penggelapan barang tergolong dalam tindak Kejahatan yang melanggar
pasal 372 KUHP. Tindakan tersebut telah menjatuhkan harkat dan martabat
seorang guru sebagai pendidik. Jika dilihat dari kasus tersebut maka tidak
mencerminkan adanya sikap yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang
individu dan sosial selain itu tindakan tersebut tidak mencerminkan peranan
warga negara yaitu salah satunya Kewajiban yang sama bagi setiap warga negara
untuk menjunjung/ mematuhi hukum dan pemerintahan.
Selain itu maraknya tindak kejahatan dan pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian
Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education
(Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang
dimaksudkan sebagai wahana pendidikan yang bertujuan memfasilitasi seorang pendidik, agar
dapat membentuk kepribadian, mengembangkan diri menjadi warga negara yang kritis, cerdas, dan
berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan praksis
pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen atau Kompetensi dasar
Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (kompetensi pengetahuan
kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills (kompetensi
keterampilan kewargaan).
Menurut Ketiga Kompetensi dasar yang dimiliki Civic Education yaitu (1) civic
knowledge (kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap
kewargaan) dan (3) civic skills ( kompetensi keterampilan kewargaan) yang ada diatas maka
Tindakan Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional apabila dilihat dari perspektif Civic
Education sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, hal ini dapat dilihat yang pertama
kompetensi civic knowledge (kompetensi pengetahuan kewarganegaraan) bahwa oknum-oknum
yang melakukan tindakan kejahatan adalah oknum pejabat sekolah yang kedudukanya sebagai
pendidik menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai pengetahuan kewarganegaraan

76
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

seharusnya seorang pendidik memiliki atau membekali dirinya dengan pengetahuan


kewarganegaraan sehingga tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian nasional tidak terjadi.
Komponen atau kompetensi esensial kedua Civic Education adalah civic dispositions (kompetensi
sikap kewargaan) disini tindakan yang dilakukan pendidik tersebut karena rendahnya pemahaman
atau kurang memahami arti nilai-nilai yang terkandung dalam Civic Education, misalnya tidak
adanya kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan karena
seharusnya pendidik mampu memberikan contoh, panutan, rujukan dan keteladanan yang baik
bagi para peserta didiknya tapi dengan tindakan yang dilakukan oknum para pejabat sekolah
selaku para pendidik tidak mencerminkan atau mencontohkan hal yang baik sehingga nilai rasa
tanggung jawab selaku pendidik rendah, seharusnya pula pendidik mampu menerima tanggung
jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan mampu memenuhi kewajiban moral
yang demokratis. Kompetensi yang mendasar ketiga civic skills (kompetensi ketrampilan
kewargaan) dalam hal ini sebagai pendidik dan peserta didik juga kurang memahami adanya civic
skills karena tidak mampu mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan tanggung jawabnya
sebagai seorang pendidik, Seorang pendidik seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan intelektual
yang sangat penting pada dirinya yaitu mampu berpikir kritis, berpikir kritis disini yaitu
berpengetahuan, efektif dan bertanggung jawab. Karena rendahnya kecakapan intelektual yang
dimiliki oleh para oknum pejabat sekolah di mana mereka merasa takut apabila para siswanya
banyak yang tidak lulus Ujian Nasional sehingga mereka bertindak gegabah yaitu dengan cara
melakukan tindak kejahatan menggelapkan naskah ujian dengan tindakan tersebut skills atau
kecakapan seorang pendidik sangat rendah karena pendidik tersebut tidak mampu berpikir kritis
tapi sebaliknya mereka berpikir sempit dengan menghalalkan segala cara supaya para peserta
didiknya atau siswanya mampu untuk dapat lulus ujian dengan nilai yang sempurna. kompetensi
ketrampilan kewargaan
Dalam Civic Education di harapkan para pendidik dan peserta didik mampu membekali
dirinya dengan ketiga kompetensi yang dimiliki dalam civic education yaitu memiliki civic
knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) yang tinggi, civic dispositions (sikap kewargaan) yang
tinggi dan civic skills (keterampilan kewargaan yang tinggi), selain itu pula harus memiliki
kreativitas tinggi, memiliki kemandirian, dan sikap toleransi yang tinggi. Di samping itu agar
pendidik dan peserta didik dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan
tanggung jawab baik individu maupun sosial. Maka dengan bekal ilmu yang telah dimiliki itu
semua seyogianya Tindakan kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional tidak akan terjadi.
3. Cara Mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN yang terjadi
di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
a. Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa).
Dalam hal ini Guru harus memiliki skills atau keterampilan yang tinggi supaya mampu
menjadikan peserta didiknya menjadi warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam

77
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

segala aspek kehidupan, mampu bertindak lebih aktif dalam memberikan pendalaman materi
ataupun masukan kepada para peserta didik untuk lebih giat belajar karena Ujian Nasional (UN)
merupakan Kegiatan penilaian hasil belajar siswa yang menentukan lulus atau tidaknya para siswa.
Bagi para peserta didik sebagai harapan masa depan bangsa, seharusnya para siswa atau anak didik
mengetahui benar tanggung jawab dan kewajiban besar yang dibebankan di bahu mereka yaitu
memiliki kecakapan partisipasif dan bertanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara jadi sebagai peserta didik tidak hanya diharapkan cerdas, aktif dan kritis tetapi juga
memiliki komitmen kuat menjaga persatuan dan integritas bangsa selain itu kewajiban untuk dapat
belajar dan menuntut ilmu maka dari itu para siswa untuk bisa rajin belajar, giat membaca buku
sehingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam Ujian Nasional.
Pada Intinya ketiga kompetensi dasar pada Civic Education harus dimiliki oleh para
pendidik dan peserta didik yaitu memiliki pengetahuan mengenai kewarganegaraan, memiliki
kecakapan-kecakapan intelektual dan memiliki nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu
kewarganegaraan.
b. Dengan meninjau kembali alat ukurnya (Naskah Ujian).
Sebetulnya pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional semacam ini sudah
melanggar tata tertib, namun hal yang semacam ini tidak muncul dalam permukaan walaupun ada
tim pengawas independen. Dengan kecurangan seperti itu maka tidak aneh jika sekolah yang
betul-betul taat pada tata tertib malah gagal dalam ujian nasional. Dengan kecurangan-kecurangan
tersebut menjadikan ujian nasional tidak dapat digunakan sebagai fungsi yang sebenarnya seperti
tersebut dalam Permendiknas No 34 yaitu “Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi”. Untuk itulah agar ujian nasional betul-betul dapat digunakan
sebagai alat guna mengukur ketercapaian kompetensi lulusan secara nasional, maka setiap
komponen yang terkait dalam pelaksanaan ujian nasional harus berpegang pada ketentuan-
ketentuan yang telah dibuat. Adapun jika hasilnya buruk secara nasional maka yang perlu ditinjau
kembali adalah alat ukurnya. Mungkin alat ukur (naskah ujian) terlalu sulit dan belum pas untuk
mengukur siswa kita secara nasional. Bisa juga terjadi terlalu mudah sehingga perlu dinaikkan
tingkat kesulitannya. Adapun untuk mengatasi sementara jika terjadi angka kelulusan sangat
rendah secara nasional maka bisa dilaksanakan ujian ulangan perbaikan seperti yang telah
dilakukan.
c. Dengan memperbaiki teknik penyelenggaraan.
Menyediakan perlengkapan pelaksanaan ujian yang memadai.Misalnya, dalam mata
pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa
menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone).
Maka tape dan earphone seharusnya sudah tersedia di sekolah-sekolah yang akan
menyelenggarakan ujian.

78
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d. Dengan memperbaiki teknik pengawasan.


Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk
memastikam tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini
diserahkan kepada guru dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang
bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Maka dengan hal tersebut agar dijalankan sesuai dengan
kesepakatan yang telah di tentukan dan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam
mengawasi para siswa.
e. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi
pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas.
Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya
ditindak sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran
maka sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar
tidak akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya.
f. Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan tugas
dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.
Adapun tim independen juga harus betul-betul menjalankan fungsinya, tidak malah
memberikan iklim untuk terjadinya kecurangan. Sudah semestinya jika mengetahui terjadinya
kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional maka tim independen membuat
laporan sehingga dapat ditindaklanjuti. Bagaimanapun juga keberadaan ujian nasional sangat
kita perlukan untuk mengetahui standar mutu secara nasional. Dengan mengetahui
kekurangan dan kelebihan baik pada siswa, guru, sekolah, instansi yang terkait dalam
pelaksanaan ujian nasional, maka sudah ada arah langkah apa yang seharusnya dilakukan.
g. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan.
Kenyataan ini, suka atau tidak, makin memperjelas sikap sense of
belonging masyarakat kita yang sebenarnya rendah atau kurang sama sekali
terhadap sektor pendidikan. Padahal, salah satu jalan untuk mendongkrak mutu
pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk
mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal.
Salah satunya adalah dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar
minimum kelulusan.
h. Dengan pemetaan pendidikan.
Jika tidak ada pemetaan sulit dilakukan evaluasi terhadap perkembangan
pendidikan di suatu daerah. Tidak adanya pemetaan sangat berisiko terhadap arah
kebijakan maupun program dari pemerintah pusat dan daerah. Sebagai pemakai
tenaga guru, sudah sewajarnya daerah punya gambaran sekolah mana yang perlu

79
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perhatian khusus. Dalam hal penempatan guru, misalnya, pemerintah daerah bisa
menggunakan peta tersebut. Guru bukanlah satu-satunya faktor utama dalam
pencapaian mutu pendidikan. Kendati demikian, kompetensi guru tetap
merupakan faktor penentu. Karena itu, penyebaran guru jangan sampai
sembarangan.
Oleh karena itulah, kebijakan menaikkan standar kelulusan yang akan
diterapkan media tahun ini mudah-mudahan bisa dipahami secara wajar oleh
masyarakat kita. Ke depan, standar kelulusan bagi siswa diharapkan makin lama
makin tinggi. Konsekuensinya, jika seorang siswa belum mencapai standar
minimum tersebut, ia tidak boleh diluluskan. Justru dengan cara tersebut seluruh
komponen pendidikan, terutama guru dan orangtua, benar-benar ikut terpacu
kesadarannya untuk menyekolahkan anak-anaknya bukan untuk sekadar
mendapatkan ijazah, melainkan kecerdasan, daya kritis, dan etika moral.
C. Temuan Studi
Berdasarkan data penelitian yang telah dipaparkan diatas dalam
penelitian ini, peneliti menemukan beberapa temuan studi yaitu:
1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN di
SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi menyebabkan terjadinya
berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di
hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan
banyaknya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN ini adalah
kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang
bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak
lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu
sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak
yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah
tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan
murid.
2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi
Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education

80
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur
berupa Penggelapan Naskah Ujian nasional.
Perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pejabat Sekolah di SMK
PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Dapat dilihat atau di tinjau melalui dua aspek yang
pertama dari segi hukum dan kedua perspektif civic education, maka dapat dilihat
sebagai berikut :
Pertama, Apabila dilihat atau di tinjau dari segi hukum, maka
termasuk tindakan Kejahatan, dimana telah melakukan tindak pidana “
Penggelapan yang dilakukan secara bersama” sebagaimana diatur dalam surat
dakwaan melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi : Barang siapa
dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali
atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena
kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.
Kedua, Apabila dilihat dari Perspektif Civic Education, Maraknya pelanggaran
dalam pelaksanaan Ujian Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan
dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan
pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum yang bertujuan memfasilitasi
seorang pendidik, mahasiswa atau peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga
negara yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam
intrumentasi dan praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen
atau Kompetensi dasar dalam Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge
(kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3)
civic skills (kompetensi keterampilan kewargaan). Maka mengenai tindak kejahatan dan
pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat
menyimpang atau sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari terutama pada tiga
kompetensi dasar yang dimiliki Civic Education seperti yang telah di sebutkan di atas.
3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di SMK
PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
a. Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa)
Dalam hal ini Guru harus memiliki skills atau keterampilan yang tinggi supaya mampu
menjadikan peserta didiknya menjadi warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam

81
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

segala aspek kehidupan. Pada Intinya ketiga kompetensi dasar pada Civic Education harus dimiliki
oleh para pendidik dan peserta didik yaitu memiliki pengetahuan mengenai kewarganegaraan,
memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan memiliki nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu
kewarganegaraan.
b. Dengan meninjau kembali alat ukurnya (Naskah Ujian)
Untuk itulah agar ujian nasional betul-betul dapat digunakan sebagai alat guna mengukur
ketercapaian kompetensi lulusan secara nasional, maka setiap komponen yang terkait dalam
pelaksanaan ujian nasional harus berpegang pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuat. Adapun
jika hasilnya buruk secara nasional maka yang perlu ditinjau kembali adalah alat ukurnya.
Mungkin alat ukur (naskah ujian) terlalu sulit dan belum pas untuk mengukur siswa kita secara
nasional. Bisa juga terjadi terlalu mudah sehingga perlu dinaikkan tingkat kesulitannya. Adapun
untuk mengatasi sementara jika terjadi angka kelulusan sangat rendah secara nasional maka bisa
dilaksanakan ujian ulangan perbaikan seperti yang telah dilakukan.
c. Dengan memperbaiki teknik penyelenggaraan.
Menyediakan perlengkapan pelaksanaan ujian yang memadai.Misalnya, dalam mata
pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa
menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone).
Maka tape dan earphone seharusnya sudah tersedia di sekolah-sekolah yang akan
menyelenggarakan ujian.
d. Dengan memperbaiki teknik pengawasan
Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk
memastikam tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini
diserahkan kepada guru dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang
bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Maka dengan hal tersebut agar dijalankan sesuai dengan
kesepakatan yang telah di tentukan dan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam
mengawasi para siswa.
e. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi
pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas
Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya ditindak
sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran maka
sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar tidak
akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya.
f. Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan tugas
dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab
Adapun tim independen juga harus betul-betul menjalankan fungsinya, tidak malah
memberikan iklim untuk terjadinya kecurangan. Sudah semestinya jika mengetahui terjadinya
kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional maka tim independen membuat laporan

82
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sehingga dapat ditindaklanjuti. Bagaimanapun juga keberadaan ujian nasional sangat kita perlukan
untuk mengetahui standar mutu secara nasional.
g. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan
Melihat persoalan standar kelulusan tidak bisa setengah-setengah dan
cukup sekali gebrakan. Apalagi untuk mengubah cara pandang lama, yaitu
kebijakan semua siswa naik kelas atau tamat belajar yang diterapkan di hampir
semua sekolah. Untuk itu, ada beberapa pendapat yang melatar belakangi
munculnya keinginan kuat tersebut, dan kemudian bisa juga dijadikan acuan bagi
masyarakat di masa mendatang.
h. Dengan pemetaan pendidikan
Dalam upaya menciptakan sinergisitas antara pemerintah pusat dan daerah,
pemetaan pendidikan merupakan hal mutlak, terutama menyangkut kompetensi
tenaga pengajar. Pemerintah tidak serta-merta mampu memenuhi kebutuhan
tenaga guru untuk ditempatkan di daerah-daerah. Sementara tuntutan akan mutu
pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian
Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional
terjadi akibat standar kelulusan siswa yang tinggi sehingga hal ini menyebabkan
terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN
di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bahkan hampir di seluruh daerah di

83
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran dan tindak


kejahatan dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik
sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang
tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu
sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang
tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan
berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran
juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya
demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa yang
tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan
dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase
kelulusan yang kecil
2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional
di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic
Education
Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur
berupa Penggelapan Naskah Ujian nasional. Mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam
pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau
sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari. Maraknya pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian
Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education
(Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang
dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum yang bertujuan memfasilitasi seorang pendidik,
mahasiswa atau peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga negara yang kritis,
cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan
praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen atau Kompetensi
dasar dalam Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (kompetensi
pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills
(kompetensi keterampilan kewargaan. Maka mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam
pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau
sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari terutama pada tiga kompetensi dasar yang
dimiliki Civic Education seperti yang telah di sebutkan di atas.
3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di SMK
PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
a. Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa).

84
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Dengan meninjau kembali alat ukurnya (naskah ujian).


c. Dengan membenahi teknik penyelenggaraan.
d. Dengan membenahi teknik pengawasan
e. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar
f. Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan
tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.
g. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan.
h. Dengan pemetaan pendidikan.

B. IMPLIKASI
Berdasarkan kesimpulan yang telah di kemukakan di atas, maka
implikasi yang dapat di sampaikan sebagai berikut:
1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian
Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
Karena standar kelulusan siswa yang tinggi mengakibatkan terjadinya
berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di hampir
seluruh daerah di Indonesia maka dari itu dengan cara membenahi sistem ujian
sekaligus standar minimum kelulusan dan pemerintah lebih meninjau,
menimbang, meneliti, dan mengukur apakah kebijakan yang telah dibuat
berdampak baik atau malah beresiko buruk terhadap kemajuan pendidikan.
2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK
PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education
Karena ketakutan dan beban moral apabila anak didiknya gagal dalam
Ujian nasional terjadilah Penggelapan Naskah Ujian Nasional yang telah
dilakukan oknum pejabat sekolah, salah satunya adalah seorang guru maka dari
itu tindakan tersebut tidak terjadi karena Para pelaku yang berprofesi sebagai
seorang pendidik adalah tidak etis dan tidak terpuji melakukan perbuatan tercela
seperti tersebut, seperti arti kata “guru” dalam bahasa Jawa, yaitu “digugu” dan
“ditiru” yang artinya semua ucapan dan tingkah lakunya akan dijadikan panutan
bagi Siswa didiknya dalam bertindak, seorang guru lebih bertindak positif seperti
memperbaiki kualitas guru, memotivasi guru untuk memberikan jam-jam
tambahan kepada para anak didiknya untuk membahas materi-materi yang di

85
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ujikan dalam Ujian Nasional atau memberikan semangat kepada anak didiknya
untuk lebih giat belajar dalam menghadapi Ujian Nasional.
3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di
SMK PGRI 4 Ngawi jawa Timur
Karena cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan ujian
nasional tidak dapat dilakukan sendiri maka dari itu semua pihak dalam hal ini perlu ada
kerjasamanya dan harus ada sangsi yang tegas kepada si pelanggar dan para pelaku tindak
kejahatan tanpa terkecuali dan apabila terjadi pelanggaran bahkan sampai terjadi tindak kejahatan
harus dapat ditindak sampai tuntas.

C. SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang peneliti ajukan serta pengalaman selama penelitian ini
dilaksanakan, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan
Kenyataan ini, suka atau tidak, makin memperjelas sikap sense of
belonging masyarakat kita yang sebenarnya rendah atau kurang sama sekali
terhadap sektor pendidikan. Padahal, salah satu jalan untuk mendongkrak mutu
pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk
mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal.
Salah satunya adalah dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar
minimum kelulusan.
Melihat persoalan standar kelulusan tidak bisa setengah-setengah dan
cukup sekali gebrakan. Apalagi untuk mengubah cara pandang lama, yaitu
kebijakan semua siswa naik kelas atau tamat belajar yang diterapkan di hampir
semua sekolah. Untuk itu, ada beberapa pendapat yang melatar belakangi
munculnya keinginan kuat tersebut, dan kemudian bisa juga dijadikan acuan bagi
masyarakat di masa mendatang.
2. Bagi Pendidik (Guru)
Pertama, memperbaiki kualitas guru kita yang kurang membanggakan.
Hal ini disinyalir karena faktor kualitas guru berbanding lurus dengan
kewibawaan guru di negeri ini yang juga mengalami keadaan serupa. Diakui,
banyaknya lembaga pendidikan guru di negeri ini sudah tidak lagi mendapatkan
input calon guru bermutu. Beramai-ramai calon mahasiswa mulai enggan memilih

86
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

jalur keguruan. Akibatnya, bisa diterka, input guru dari lembaga-lembaga


pencetak guru bukanlah mereka yang memang profesional dan terpilih sebagai
penyemai intelektualitas bangsa ini, melainkan mereka yang ikut-ikutan dan asal
memilih. Ke depan, kualitas guru kita diharapkan dapat memainkan perannya
dengan optimal, yaitu mencerdaskan kehidupan siswa dan mau menanamkan budi
pekerti kepada siswa.
Kedua, memotivasi guru untuk mau mengikuti kegiatan-kegiatan, seperti
studi lanjut, seminar, lokakarya, penataran, semiloka, srawung ilmiah, latihan, dan
simposium di bidang pendidikan, terutama bagi mereka yang belum memenuhi
kualifikasi sesuai aturan pemerintah. Sebab, kendatipun secara kuantitas jumlah
guru di Indonesia cukup memadai, secara kualitas mutu guru di negeri ini masih
rendah karena mereka jarang dilibatkan dalam serangkaian kegiatan tersebut, yang
justru lebih bisa mendongkrak tingkat profesionalismenya dari keadaan
sebelumnya.
3. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi
pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas
Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya
ditindak sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran
maka sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar
tidak akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya.

87
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta : Sinar


Grafika

Anonim. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005


Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Pustaka Merah Putih

A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2008. Pendidikan Kewarganegaan (Civic


Education) Demokrasi Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta :
Tim ICCE UIN

Azra Azyumardi. 2002. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi


Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta : Tim ICCE UIN

Bassar M Sudrajat. 1986. Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam Kitab Undang


- Undang Hukum Pidana. Bandung : Remaja Karya

Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional


Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasional Tahun
Pelajaran 2005/2006. Jakarta : Biro Organisasi dan Hukum

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional


Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian Nasional Tahun
Pelajaran 2006/2007. Jakarta : Biro Organisasi dan Hukum

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: :
Biro Organisasi dan Hukum

Lexy J. Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : P.T Remaja


Rosda Karya
Margaret S. Bronson.1999. Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta :
Lkis

Prodjodikoro Wirjono. 1981. Tindak- Tindak Pidana tertentu di Indonesia. Jakarta


: Eresco

Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika

Sutopo Hb. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press

88
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Wantjik Saleh. 1983. Hukum Pidana. Jakarta : Raja Grafindo Persada

W Bawengan Gerson. 1983. Hukum Pidana di dalam Teori dan Praktek. Jakarta :
P.T Pradnya Paramita

Winarno Surakhmad. 2004. Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah. Bandung :


Tarsito

Slamet Widodo. 2007. Mei 5 ”BSNP Evaluasi Pelanggaran Ujian”. Warta Kota.
3.

Solihin. 2007. Mei 4 ” Noda di Ujian Nasional”. Tempo Interaktif. 4.

Solihin. 2007. Juni 15 ” Noda di Ujian Nasional”. Seputar Indonesia. 1.

Tya Eka. 2007. Mei 5 ”Pelanggaran Ujian Nasional Karena Alasan Hati”,
Republika. 4.

”Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan Banyak di minati”. 2007. Mei.


Republika. 5.

http: // Journal Article Excerpt. com. Landon E. Beyer. Journal of Teacher


Education. Vol. 4 Tahun 1999. 20 Juni 2009

http: // Journals Cambridge. Org. Steven E. Finkel. The Journal of Politics. 15


Agustus 2002

89

Anda mungkin juga menyukai