DISUSUN OLEH
Nama : Nadia Rizki Zalma
Kelas : X MIPA 4
GURU PEMBIMBING
Indarwati,S.Sn
ALKISAH, menurut cerita suku Rejang, pada zaman dahulu di sebuah desa
terpencil tinggallah tujuh orang bersaudara. Mereka menjadi yatim piatu sejak si
bungsu lahir. Ketujuh bersaudara itu terdiri atas nama enam orang laki-laki dan
seorang perempuan. Kebetulan yang perempuan itu adalah si bungsu. Mereka
hidup sebagai petani yang menggarap sebidang tanah di tepi hutan.
Pada suatu malam ketika Putri Sedaro Putih sedang tidur nyenyak, ia bermimpi
serasa didatangi oleh seorang laki-laki tua yang mengatakan bahwa ia adalah
kakek tujuh bersaudara itu. Kadatangannya memberitahukan kepada Putri
Sedaro Putih bahwa ajal Putri telah dekat. Oleh karena itu, ia dinasihati supaya
bersiap diri menghadapinya. Apabila telah dikuburkan nanti, dari pusaranya
akan tumbuh sebatang pohon yang belum pernah ada pada masa itu. Pohon itu
akan banyak memberi manfaat bagi umat manusia.
Putri : “Aduh, saya dimana ya? Saya kedinginan dan takut sekali, lalu
dimana kakak-kakak saya ya?”
Putri : “Wah, sepertinya tadi ada suara orang yang sedang batuk-batuk.
Sebaiknya saya cepat menghampiri orang itu.”
Putri : “Wah, kakek kenapa batuk-batuk? Kakek sakit ya? Sakit apa?”
Putri : “Oh, seperti itu ya. Ada yang bisa saya bantu kek?”
Putri : “Oh iya kek, saya masih bingung ini dimana ya? Kenapa sepi dan
gelap sekali ya?”
Kakek : “Rahasia.”
Kakek : “Nah, sekarang umur kamu berapa? Kakek sudah lama tidak
ketemu kamu, mungkin kamu sudah tidak ingat dengan kakek.”
Putri : “Hah? Kakek pernah ketemu dan kenal dengan saya? Lalu siapa
kakek ini sebenarnya? Saya tidak ingat jika pernah bertemu dengan
kakek satu kalipun. Atau sebenarnya kakek ini salah orang? Serius,
saya tidak ingat jika pernah bertemu dengan kakek. Bagi saya ini
pertemuan pertama kalinya saya dengan kakek.”
Kakek : “Nah, benarkan. Kamu sudah tidak ingat lagi dengan kakek.
Padahal kamu ini masih muda kok sudah pikun. Kalau begitu
bagaimana jika kakek perkenalkan diri dahulu, tapi jangan kaget
ya.”
Putri : “Iya kek, lagipula kenapa saya harus kaget memangnya kakek ini
sudah meninggal apa sampai saya harus kaget hahahaha.”
Putri : “Lah masa si kek? Mungkin kakek salah orang, sebab kakek saya
sudah lama meninggal, sejak saya masih kecil.”
Kakek : “ Nah, ini rumah kakek. Kakek masuk dulu , ya. Terimakasih
sudah diantarkan.”
Putri : “Iya kek, tapi ini serius kalo saya cucu kakek?”
Kakek : “Iya, lagipula untuk apa kakek menipu kamu. Oh iya, tadi kamu
belum jawab umur kamu”
Kakek : “Umur kamu sudah tidak panjang lagi di dunia.Jadi besar harapan
kakek untuk kamu mulai mempersiapkan diri. Dan, nantinya dari
kuburanmu akan tumbuh pohon yang belum ada jenisnya sampai
saat ini hingga kamu meninggal nantinya. Jadi itu saja pesan
kakek, semoga diingat baik-baik ya.”
Putri : “Kok gitu sih kek? Saya kan masih muda kek, kenapa saya cepat
sekali meninggalnya? Selain itu, kakek tahu darimana?”
Kakek : “Urusan ajal tidak memandang umur cu. Masalah kakek tahu
darimana itu adalah rahasia. Intinya siap-siapa saja ya.”
Kemudian, tiba-tiba Putri Sedaro Putih terbangun dari mimpinnya dan merasa
sangat bingung dengan keadaan yang terjadi dalam hidupnya.
Putri : “Wah, ternyata saya mimpi. Tapi kenapa terasa sangat nyata? Jika
memang akan terjadi bagaimana dengan kakak-kakak saya nanti?
Siapa yang akan mengurusinya?”
Lalu Putri berdiam cukup lama dan masih mencerna kejadian yang Ia alami.
Putri : “Hah? Ternyata masih jam 2 pagi. Lebih baik saya tidur lagi saja.
Tapi..bagaimana jika saya tidur saya bertemu kembali dengan
kakek tadi?Ah sudahlah, semoga saja tidak bertemu kembali.”
Sejak saat itu, Putri Sedaro Putih terkesan akan mimpi itu sehingga setiap hari ia
selalu terbayang akan kematiannya. Makan dan minum terlupakan olehnya. Hal
ini mengakibatkan tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara sulung sebagai
pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri Sedaro Putih. Ia
menanyakan apa sebab adiknya sampai bersedih hati seperti itu. Apakah ada
penyakit yang di idapnya sehingga perlu segera diobati? Jangan sampai
terlambat diobati sebab akibatnya menjadi parah.
Putri : “Kalau Cerita dalam mimpi itu benar, bahwa dari tubuhku akan
tumbuh pohon yang mendatangkan kebahagiaan orang banyak, aku
rela berkorban untuk itu.”
Kakak ke-1 :“Tidak, Adikku. Jangan secepat itu kau tinggalkan kami. Kita
akan hidup bersama, sampai kita memperoleh keturunan masing-
masing sebagai penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi itu.
Bukankah mimpi sebagai hiasan tidur bagi semua orang?”
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun telah dilupakan Putri Sedaro Putih.
Ia telah kembali seperti semula, seorang gadis periang yang senang bekerja di
rumah. Hasil panen pun telah dihimpun sebagai bekal mereka selama semusim.
Pada suatu malam, tanpa menderita sakit terlebih dahulu Putri Sedaro Putih
meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi gempar dan
meratapi adik kesayangannya itu. Mereka menguburkannya tidak jauh dari
rumah kediaman mereka.
Kakak ke-5 : “Saya juga tidak tahu, padahal Putri tidak pernah mengeluh dan
berkata jika dia sakit.”
Kakak ke-6 : “Mungkin Putri tidak mau kita bersedih jadi dia merahasiakan
dari kita semua.”
Kakak ke-1 : “Hei, tidak boleh berpikiran seperti itu. Lebih baik kita segerakan
niat kita untuk mengubur Putri secepatnya.”
Kakak ke-3 : “Ah, kamu benar kak. Mari kita bersiap semuanya.”
Seperti yang telah diceritakan oleh Putri Sedaro Putih kepada kakak
pertamanya, di tengah pusarannya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum
pernah melihat pohon seperti itu. Karena kakak pertamanya telah menceritakan
mengenai mimpi Putri Sedaro Putih kepada saudaranya yang lain mereka sangat
merawat dan menyayangi seperti merawat dan menyayangi Putri Sedaro Putih.
Pohon itu mereka beri nama Sedaro Putih. Di samping pohon itu, tumbuh pula
pohon kayu kapung yang sama tinggi dengan pohon Sedaro Putih. Pohon itu
pun dipelihara sebagai pohon pelindung.
Lima tahun kemudian, pohon sedaro putih mulai berbunga dan berbuah. Jika
angin berembus, dahan kayu kapung selalu memukul tangkai buah sedaro putih
sehingga menjadi memar dan terjadilah peregangan sel-sel yang mempermudah
air pohon sedaro putih mengalir ke arah buah.
Pada suatu hari, seorang saudara Putri Sedaro Putih berziarah ke kubur itu. Ia
beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung selalu
memukul tangkai buah pohon sedaro putih ketika angin semilir berhembus.
Pada saat itu, datang seekor tupai menghampiri buah pohon sedaro putih dan
menggigitnya sampai buah terlepas dari rangkaiannya. Dari tangkai buah yang
terlepas, keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Air itu dijilat tupai sepuas-
puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Putri Sedaro Putih sampai tupai tadi
itu pergi meninggalkan tempat itu.
Saudara Putri Sedaro Putih mendekati pohon itu. Cairan yang menetes dari
tangkai buah ditampungnya dengan telapak tangan lalu dijilat untuk mengetahui
rasa air tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat manis. Dengan muka
berseri, ia pulang menemui saudara-saudaranya.
Kakak ke-4 : “Hei, tadi saya melihat hal yang menakjubkan di kuburan
Putri Sedaro Putih.”
Agar pekerjaan itu tidak gagal, mereka melakukan urutan kejadian yang
disaksikan oleh saudaranya ketika berziarah ke kubur Putri Sedaro Putih.
Urutannya sebagai berikut.
Perolehan mereka semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai buah
yang tumbuh dari pohon sedaro putih sudah mendatangkan hasil. Akan tetapi,
timbul suatu masalah bagi mereka karena air sadapan itu akan masam jika
disimpan terlalu lama.
Lalu, mereka sepakat untuk membuat suatu percobaan dengan memasak air
sadapan itu sampai kental. Air yang mengental itu didinginkan sampai keras
membeku dan berwarna coklat kekuningan.
Semenjak itu, pohon sedaro putih disebut pohon enau atau pohon aren. Air
pohon yang keluar dari tangkai buah dinamakan nira, sedangkan air nira yang
dimasak sampai mengental dari membeku disebut gula merah.