Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH PERADABAN ISLAM: DINASTI BANI

ABBASIYAH

Disusun oleh:
1. Dimas Firmansyah
2. Gilang Maulana Fahrezi
3. Muhamad Abdul Anaswi
4. Galih Prasetyo
5. Rega Fajar Kurniawan
6. Nova Yogi Pratama
BAB I

PENDAHULUAN

        A.       Latar Belakang


Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para
sahabat (Khulafaur Rasyidin), dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat
Islam sekarang. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa
bangsa arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh
bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju.
Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada peradaban islam yang
masuk ke eropa melalui spanyol. Islam memang berbeda dari agama-agama lain,
sebagaimana pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam
kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of
theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah
agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat
Islam itu sendiri. Maka dari itu kita akan membahas sebuah peradaban besar yang
sangat berpengaruh luas, yaitu masa kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di
Baghdad.

B.        Maksud dan Tujuan

1. Mengetahui sejarah peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah


2. Memahami proses berkembang dan terbentuknya Dinasti Abbasiyah
3. Mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh para khalifah pada
masa Dinasti Abbasiyah.
4. Memahami proses kemunduran dan keruntuhannya.
BAB II
DINASTI ABBASIYAH

A.          Asal-usul Pertumbuhan dan Perkembangannya


Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman
Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-
Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani
Abbasiyah berdiri antara tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Lima setengah abad
lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana Khilafah Islamiyah. Pusat
pemerintahannya di kota Baghdad.
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang
dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-
Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia
tidak tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman
al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh
muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas
termasuk lama, yaitu sekitar lima abad.
Bani Abbasiyah mempunyai kholifah sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan
Abul Abbas As-Saffah sampai Kholifah Al-Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman
keemasan (132 – 232 H / 749 – 879 M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai
dengan Al-Mu’tashim, Islam mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat
serangan bangsa Mongol Tartar pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656 H / 1258 M.[1]
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan
dan pola politik itu para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas
menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani sejak
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.[2]

B.           Perkembangan Politik


Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan
daulah Bani Umayyah yang telah hancur di Damaskus. Meskipun demikian, terdapat
perbedaan antara kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah, diantaranya adalah :
a. Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala hal para
pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula corak peradaban yang
dihasilkan pada dinasti ini.
b. Dinasti Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah
terpengaruh dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan
sebagainya.

C.          Perkembangan Peradaban Islam


Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah merupakan masa kejayaan Islam dalam
berbagai bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada
zaman ini, umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu
pengetahuan, yaitu melalui upaya penterjemahan karya-karya terdahulu dan juga
melakukan riset tersendiri yang dilakukan oleh para ahli. Kebangkitan ilmiah pada
zaman ini terbagi di dalam tiga lapangan, yaitu : kegiatan menyusun buku-buku
ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam dan penerjemahan dari bahasa asing.[3]
Setelah mencapai kemenangan di medan perang, tokoh-tokoh tentara
membukakan jalan kepada anggota-anggota pemerintahan, keuangan, undang-undang
dan berbagai ilmu pengetahuan untuk bergiat di lapangan masing-masing. Dengan
demikian munculah pada zaman itu sekelompok penyair-penyair handalan, filosof-
filosof, ahli-ahli sejarah, ahli-ahli ilmu hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-
pujangga yang memperkaya perbendaharaan bahasa Arab.[4]
Banyak ahli dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti; filsafat. Filosuf
terkenal saat itu antara lain adalah Al-Kindi (185-260 H/801-873 M). Abu Nasr al
Faraby (258-339 H/870-950 M), yang menghasilkan karya dalam bentuk buku berjudul
Fusus al-Hikam, Al-Mufarriqat, Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah. Selain mereka, juga
ada Ibnu Sina(370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajjah (w. 533 H/1138 M), diantara
karyanya adalah Risalatul Wada’, akhlak, kitab al-Nabat, Risalah al-Ittishal al-‘Aql bil
Ihsan, Tadbir al-Mutawahhid, kitab al-Nais, Risalah al-Ghayah al-Insaniyah, Al-
Ghazali (1059-1111 M), Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1196 M), dan lain-lain. Selain
filsafat, juga terjadi perkembangan dan kemajuan dalam bidang Ilmu Kalam atau
Teologi. Diantara tokoh-tokohnya adalah Washil bin Atha, Baqillani, Asyary Ghazali,
Sajastani, dan lain-lain.[5]
Adapun bentuk-bentuk peradaban Islam pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah
sebagai berikut :
a.  Kota-Kota Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan
Samarra. Baghdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan
Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya,
kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota
inilah para ahli ilmu pengetahuan datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan
kota Samarra terletak di sebelah timur sungai Tigris, yang berjarak +60 km dari kota
Baghdad. Di dalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan
Islam di kota-kota lain.[6]

b.  Bidang Pemerintahan


Pada masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan kholifah sebagai kepala negara sangat
terasa sekali dan benar seorang kholifah adalah penguasa tertinggi dan mengatur
segala urusan negara. Sedang masa Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit
menurun, sebab Wazir (perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan
negara. Dan pada masa Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah
menjadi boneka saja, karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri
mereka sebagai penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah
pusat tidak ada apa-apanya lagi.
Dalam pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya
dengan Imaraat, gubernurnya bergelar Amir/ Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam,
yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada
wilayah/imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura dengan
kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.
Selain itu, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan perang yang kuat di
bawah panglima, sehingga kholifah tidak turun langsung dalam menangani tentara.
Kholifah juga membentuk Baitul Mal/ Departemen Keuangan untuk mengatur
keuangan negara khususnya. Di samping itu juga kholifah membentuk badan
peradilan, guna membantu kholifah dalam urusan hukum.[7]

c.  Bangunan Tempat Peribadatan dan Pendidikan


Di antara bentuk bangunan yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan adalah
madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu adalah Madrasah Nizamiyah, yang didirikan
di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah, Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk
seorang perdana menteri pada tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga
Kuttab, sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai
tempat pertemuan dan diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai perpustakaan.
Di samping itu, terdapat juga bangunan berupa tempat-tempat peribadatan, seperti
masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah
sholat, tetapi juga sebagai tempat pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di antara
masjid-masjid tersebut adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan lain
sebagainya.[8]

d.  Bidang Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu
‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu
Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu
Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.[9]

D.          Perluasan/ekspansi Kekuasaan Islam


Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam
semakin bertambah, meliputi wilayah yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain
Hijaz, Yaman Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania,
Palestina, Lebanon, Mesir, Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan
Pakistan, dan meluas sampai ke Turki, Cina dan juga India.[10]
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di
daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng
di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke
utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan
senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di
bagian lain Oksus dan India.[11]

E.           Sebab-sebab Kemunduran dan Kehancuran


Kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak terjadi dengan cara spontanitas,
melainkan melalui proses yang panjang yang diawali oleh berbagai pemeberontakan
dari kelompok yang tidak senang terhadap kepemimpinan kholifah Abbasiyah.
Disamping itu juga, kelemahan kedudukan kekholifahan dinasti Abbasiyah di Baghdad,
disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang terkendali, sehingga
menimbulkan disintegrasi wilayah.
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi
berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti
Islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak
adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali,
tetapi hanya di Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini
menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan
yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal
babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai
sejak periode kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya
khalifah pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para
menteri cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka
akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Di antara kelemahan yang menyebabkan kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah
sebagai berikut :
a.  Mayoritas Kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya
dan cenderung hidup mewah.
b.  Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan.
c.  Ketergantungan kepada tentara bayaran.
d.  Semakin kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia, yang menimbulkan
kecemburuan bagi bangsa Arab murni.
e.  Permusuhan antara kelompok suku dan agama.
f.  Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
g.  Penyerbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang
menghacur leburkan kota Baghdad.
 

BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman
Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-
Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani
Abbasiyah berdiri antara tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Lima setengah abad
lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana khilafah Islamiyah. Pusat
pemerintahannya di kota Baghdad.
Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan
Samarra. Bangdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan
Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya,
kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan.
Ketika banyak terjadi pemberontakan, kekuatan Dinasti Abbasiyah pun melemah.
Sehingga terjadi kegoncangan kekuasaan yang berakhir dengan disintegrasi wilayah
dan keruntuhan dinasti ini.

Anda mungkin juga menyukai