Anda di halaman 1dari 16

Jawaban Soal-soal Remidial Ulumul Hadis

Nama : Aida Aulia Rahmah


NIM : 190101040940
Mata Kuliah : Ulumul Hadis
Dosen Pengampu : Dr. Fahmi Riady, S. Th. I, M. Si.
1. Skema Hadis dari Kitab Sunan Abu Daud dan Penjelasan tentang Sanad,
Matan, Lambang Periwayatan, Perawi, dan Mukharrij.
a. Skema Hadis dari Kitab Sunan Abu Daud
 Hadis Sunan Abu Daud

‫َعجْ اَل نَ ب ِْن ُم َح َّم ِد ع َْن ْال ُمبَا َر ِك اب ُْن َح َّدثَنَا النُّفَ ْیلِ ُّي ُم َح َّم ٍد ْبنُا هللِ َع ْب ُد‬
‫َح َّدثَنَا‬
‫اع الْ ع َْن‬ ِ َ‫ح َأبِي ع َْن َح ِك ٍیم ْب ِن قَ ْعق‬ ٍ ِ‫صال‬ َ ‫قَا َل هُ َر ْی َرةَ َأبِي ع َْن‬, ‫ال‬ َ َ‫هللِ َرسُو ُل ق‬
‫صلَّى‬َ ُّ‫ْالغَاِئطَ َأ َح ُد ُك ْم َأتَى فَِإ َذا ُأ َعلِّ ُم ُك ْم ْال َوالِ ِد بِ َم ْن ِزلَ ِة لَ ُك ْم َأنَا ِإنَّ َما َو َسلَّ َم َعلَ ْی ِه هللا‬
‫اربِثَاَل ثَ ِة یَْأ ُم ُر َو َكانَ بِیَ ِمینِ ِه یَ ْستَ ِطبْ َواَل یَ ْستَ ْدبِرْ هَا َواَل ْالقِ ْبلَةَ یَ ْستَ ْقبِلْ فَاَل‬ ٍ ‫حْ َج‬
‫ث ع َْن َویَ ْنهَى‬ ِ ْ‫َوال ِّر َّم ِة ال َّرو‬

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad an Nufaili(1)


telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak(2) dari Muhammad bin Ajlan(3)
dari al Qa'qa' bin Hakim(4) dari Abu Shalih(5) dari Abu Hurairah(6) dia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya aku bagi
kalian hanyalah seperti kedudukan orang tua, aku ajarkan kepada kalian; apabila
salah seorang dari kalian hendak buang air, janganlah dia menghadap kiblat,
jangan pula membelakanginya, dan jangan beristinja dengan tangan kanannya."
Dan beliau juga menyuruh untuk beristinja dengan tiga batu, serta melarang
beristinja dengan kotoran binatang dan tulang basah”.1

i. Sanad

‫َعجْ اَل نَ ب ِْن ُم َح َّم ِد ع َْن ْال ُمبَا َر ِك اب ُْن َح َّدثَنَا النُّفَ ْیلِ ُّي ُم َح َّم ٍد ْبنُا هللِ َع ْب ُد‬
‫َح َّدثَنَا‬

ِ َ‫ح َأبِي ع َْن َح ِك ٍیم ب ِْن قَ ْعق‬


…..‫اع الْ ع َْن‬ َ ‫قَا َل هُ َری َْرةَ َأبِي ع َْن‬
ٍ ِ‫صال‬
ii. Matan

‫…القِ ْبلَةَ یَ ْستَ ْقبِلْ فَاَل ْالغَاِئطَ َأ َح ُد ُك ْم َأتَى فَِإ َذا ُأ َعلِّ ُم ُك ْم ْال َوالِ ِد بِ َم ْن ِزلَ ِة لَ ُك ْم َأنَا ِإنَّ َما‬.
ْ
‫اربِثَاَل ثَ ِة یَْأ ُم ُر َو َكانَ بِیَ ِمینِ ِه یَ ْست َِطبْ َواَل یَ ْستَ ْدبِرْ هَا َواَل‬ ٍ ‫ث ع َْن َویَ ْنهَى حْ َج‬ ِ ْ‫ال َّرو‬
….‫َوال ِّر َّم ِة‬

iii. Lambang Periwayatan

…‫…ح َّدثَنَا‬,
َ ‫…ع َْن‬, ‫قَا َل‬
‫‪ Skema Hadis Sunan Abu Daud‬‬

‫َأ َح ُد ُك ْم َأتَى فَِإ َذا ُأ َعلِّ ُم ُك ْم ْال َوالِ ِد بِ َم ْن ِزلَ ِة لَ ُك ْم َأنَا ِإنَّ َما َو َسلَّ َم َعلَ ْی ِه هللاُّ َ‬
‫صلَّى ِ‬
‫هلل َرسُو ُل قَا َل‬
‫َویَ ْنهَى بِثَاَل ثَ ِة یَْأ ُم ُر َو َكانَ بِیَ ِمینِ ِه یَ ْست َِطبْ َواَل یَ ْستَ ْدبِرْ هَا َواَل ْالقِ ْبلَةَ یَ ْستَ ْقبِلْ فَاَل ْالغَاِئطَ‬

‫ث ع َْن‪.‬‬
‫َوالرِّ َّم ِة ال َّروْ ِ‬

‫هُ َری َْرةَ َأبِي )‪(W. 57 H‬‬

‫ح َأبِي )‪(W. 101 H‬‬


‫صالِ ٍ‬
‫َ‬

‫َح ِك ٍیم ب ِْن قَ ْعقَ ِ‬


‫اع الْ‬

‫َعجْ اَل نَ ب ِْن ُم َح َّم ِد )‪(W. 148 H‬‬

‫ك اب ُْن )‪(W. 181 H‬‬ ‫ْال ُمبَ َ‬


‫ار ِ‬

‫النُّفَ ْیلِ ُّي ُم َح َّم ٍد ْبنُا هللِ َع ْب ُد )‪(W. 234 H‬‬

‫)‪Abu Daud (W. 276 H‬‬


b. Penjelasan tentang Sanad, Matan, Lambang Periwayatan, Perawi, dan Mukharrij.

1) Sanad, menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang kita jadikan
sadaran. Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian sanad. Al-
Badru bin Jama’ah dan at-Tiby menyatakan bahwa sanad adalah “berita
tentang jalan matan”.2 Dengan redaksi yang berbeda, ada yang nendefenisikan
sanad dengan “silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang
menyampaikannya kepada matan hadis”.3 Muhammad ‘Ajjaj al-Katib
menyatakan bahwa sanad adalah “silsilah para perawi yang menukilkan hadis
dari sumbernya yang pertam”. Dari definisi-definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa sanad adalah para perawi yang terdapat sebelum matan
hadis.
2) Matan, dari kata al-matn yang menurut bahasa adalah tanah yang meninggi.
Sedangkan menurut istilah adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.4
Dengan redaksi yang berbeda dinyatakan bahwa matan adalah “lafaz-lafaz
hadis yang didalamnya terkandung makna-maknanya. Dari dua definisi di atas
difahami bahwa matan adalah lafaz, materi, atau teks dari hadis itu sendiri.
3) Rawi, bentuk jamak dari ruwah berarti orang yang meriwayatkan atau
memberitakan hadis (naqil al-hadis). Menurut istilah ilmu hadis, ar-riwayat
4) adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis
itu kepada rangkaian periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
5) Lambang Periwayatan, adalah penyandaran berita yang dilakukan oleh setiap
pembawa berita dalam mata rantai sanad menggunakan ungkapan kata-kata
yang melambangkan pertemuan langsung (muttasil) atau tidaknya.
6) Perawi, adalah orang yang meriwayatkan Hadis. Orang yang menerima dan
menyampaikan hadis daripada Nabi Muhammad SAW.
7) Mukharrij, secara bahasa berasal dari kata kharraja yang berarti orang yang
mengeluarkan. Menurut ahli hadis, yang dimaksud mukharrij adalah orang
yang berperan dalam pengumpulan hadis. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa yang dimaksu mukharrij atau mukhrij adalah perawi hadis atau orang-
orang yang telah berhasil menyusun kitab berupa kumpulan hadis.

2. Hadis dilihat dari Kuantitas


a. Mutawatir
Secara bahasa, kata mutawatir merupakan ism fa’il dari kata at-tawatur, yang
bermakna at-tatabu’ (berturut-turut).5
Menurut istilah ulama hadis, hadis mutawatir adalah “hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah periwayat dari sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan
tidak mungkin mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan)”.6

1) Hadis Mutawatir Lafzhi


Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya.7
contoh hadis mutawatir lafzi:
‫ض َي ْال ُم ِغی َر ِة ع َْن َربِی َعةَ ْب ِن َعلِ ِّي ع َْن ُعبَ ْی ٍد ب ُْن َس ِعی ُد َح َّدثَنَا نُ َعی ٍْم َأبُو َح َّدثَنَا‬ ِ ‫هللاُّ َر‬
ُ‫ال َع ْنه‬ ُ ‫ي َس ِمع‬
َ َ‫ْت ق‬ َّ ِ‫صلَّى النَّب‬ َ ُّ‫ي َك ِذبًا ِإ َّن یَقُو ُل َو َسلَّ َم َعلَ ْی ِه هللا‬ َّ َ‫ْس َعل‬ َ ‫ب لَی‬ ٍ ‫َعلَى َك َك ِذ‬
‫ب َم ْن َأ َح ٍد‬ َ ‫ي َك َذ‬َّ َ‫ار ِم ْن َم ْق َع َدهُ فَ ْلیَتَبَ َّوْأ ُمتَ َع ِّمدًا َعل‬
ِ َّ‫الن‬
”Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempat
tinggalnya adalah neraka”.

2) Hadis Mutawatir Ma’nawi


Hadis mutawati ma’nawi adalah hadis yang mutawatir maknanya saja, bukan
lafaznya.8
Contoh hadis mutawatir ma’nawi:
‫ض اِ ْبطَ ْي ِه‬ َ ‫صلَّى ا هّلل ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَدَي ْيهُ َحتَّى ُرِؤ‬
َ ‫ي بَيَا‬ َ ِ ‫َما َر فَ َح َرسُوْ ُل هّللا‬
‫بِ َش ْى ٍء ِم ْن ُد عَا ْن ِه اِالّ فِى ااْل ِ ْستِ ْسقَا ِء‬
“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua
tangannya begitu tinggi sehingga terlihat ketiaknya yang putih pada waktu
berdoa memohon hujan.”

b. Ahad
Secara bahasa, hadis ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja.9
Menurut istilah ulama hadis, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-
syarat hadis mutawatir.10

1) Hadis Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur merupakan ism maf’ul dari kata syahara
yang berarti masyhur, terkenal, dan populer.11
Sedangkan menurut istilah, hadis masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan selama
tidak sampai pada batasan mutawatir.12
Dari definisi di atas dipahami bahwa hadi yang diriwayatkan oleh tiga
orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan sanad disebut hadis masyhur.
Contoh hadis masyhur:
‫ولكن العلماء صدور˜ من ینتزعه انتزاعًا العلم یقبض ال اللهإن‬
‫العلماء بقبض العلم یقبض‬، ‫اتخذ عال ًما یبق لم إذا حتى‬
‫ رؤوسً̃ا الناس‬،ً‫علم بغیر فأفتو̃ا فسئلوا جهاال‬
ٍ ‫وأضلوا فضلو̃ا‬
“Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu ini sekaligus yang
dicabutnya dari dada para ulama, akan tetapi Dia mencabutnya dengan
mewafatkan para ulama. Hingga jika Dia tidak menyisakan seorang yang
berilmu, manusia akan mengambil tokoh-tokoh yang bodoh. Mereka pun
ditanya dan mereka berfatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan
menyesatkan.”
2) Hadis Aziz
Dalam bahasa Arab, kata ‘aziz berasal dari kata ‘azza-ya’izzu yang
berarti sedikit atau jarang, dan dari kata ‘azza-ya’azzu yang berarti kuat dan
sangat.
Menurut istilah, hadis ‘aziz adalah (hadis) yang perawinya tidak
kurang dari dua orang pada seluruh tingkatan sanadnya.13
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa hadis ‘aziz adalah hadis
yang diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang pada setiap thabaqat
(tingkatan) sanadnya, dan boleh jadi lebih dari dua orang, dengan syarat
bahwa pada salah satu tingkatan sanadnya harus ada perawinya yang tediri
dari dua orang. Contoh hadis aziz :
‫أجمعین والناس وولده والده من إلیه أحبَّ أكون متى أحدكم یؤمن ال‬
“Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga aku lebih
dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.”

3) Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib berarti menyendiri atau jauh dari
kerabatnya.
Sedangkan menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan
secara sendirian oleh seorang periwayat.14
Definisi ini menyatakan bahwa hadis gharib diriwayatkan oleh satu
orang periwayat, baik pada tingkatan sanad maupun pada sebagiannya saja.

Hadits Gharib terbagi dua, yaitu:


 Gharîb Mutlaq, yaitu hadits yang gharabahnya (letak perawi yang
bersendirian pada sanad) berada pada pokok sanadnya.
Contohnya adalah hadits,
‫بالنیات األعمال إنما‬

“Sesungguhnya amal-amal itu hanyalah dengan niatnya.”

 Gharîb Nisbî, yaitu hadits yang gharabahnya terdapat di tengah-tengah


sanad. Yaitu diriwayatkan oleh banyak orang pada pokok (awal) sanadnya
kemudian seorang perawi bersendirian meriwayatkannya dari mereka pada
satu tingkatan sanad.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan Malik bin Anas dari az-Zuhri
dari Anas radhiyallahu ‘anhu,

‫المغفر رأسه وعلى مكةَ دخل وسلم علیه اللهصلى النب ّي أن‬

“bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki Makkah dan di


kepalanya terdapat penutup kepala baja.”
3. Pengertian Hadis dan Periode – periode Perkembangan Hadis
 Secara etimologi :
Secara bahasa, kata hadis (al-hadis) berarti baru, yaitu sesuatu yang baru.
Bentuk jamak hadis denagn makna ini adalah hidas, hudasa, dan hudus, dan
lawan katanya qadim (sesuatu yang lama). Al-hadis juga mengandung arti dekat
(qarib) yaitu sesuatu yang belum lama terjadi, dan juga berarti berita (khabar)
yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang
lain.15
 Secara terminologi :
Adapun pengertian secara terminologi, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW baik perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat beliau.16
Definisi di atas mengandung 4 unsur : perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat.
Semuanya disandarkan kepada beliau saja, tidak termasuk yang
disandarkankepada beliau saja, tidak termasuk yang di sandarkan kepada sahabat
maupun tabi’in.
 Periode – periode Perkembangan Hadis
 Hadis pada Masa Nabi
Ada beberapa cara yang dilakukan Rasul dalam menyampaikan hadis
keoada para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat pengajian yang diadakan
oleh Nabi untuk membina para jama’ah. Jika terjadi persoalan yang
menyangkut kebenaran hadis yang mereka terima, mereka dapat langsung
mengecek kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul,
dan bermuamalah dengan mereka, sehingga bisa terjadi kesalahan penukilan,
kekeliruan pengucapan, atau kekurang pahaman terhadap makna teks hadis,
dapat di rujuk pada Nabi.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian dari para sahabat disampaikan
lagi kepada orang lain. Ini dikarenakan terkadang ketika Nabi menyampaikan
suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja.
Ketiga, menyampaikan hadis melalui istri-istrinya.cara ini beliau
lakukan untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut suami istri).

Penerimaan hadis pada masa Rasulullah dilakukan oleh para


sahabatdekat beliau seperti seperti al-Khulafa ar-Rasyidin, dan dari kalangan
sahabat lainnya.
Pada masa Nabi, hadis belum dikodofikasi secara resmi sebagaimana
yang terjadi pada masa Khalifah Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).
Rasulullah tidak pernah memerintahkan kepada sahabat tertentu untuk menulis
dan membukukan hadis.17
 Hadis pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidin
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat,
khususnya masa al-Khulafa ar-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H. Masa
ini disebut juga dengan masa sahabat besar. Pada masa ini, perhatian para
sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an,
sehingga periwatan hadis belum begitu berkembang. Mereka sangat berhati-
hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis.

 Hadis pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in


Para sahabat kecil dan tabi’in juga cukup berhati-hati dalam
periwayatan hadis. Pada masa ini, daerah kekuasaan Islam semakin luas.
Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah
yang baru dikuasai. Para sahabat pindah ke daerah baru sekaligus membawa
perbendaharaan hadis yang ada pada mereka, sehingga hadis-hadis tersebar di
berbagai daerah. Masa ini dikenal dengan ‘asr intisyar ar-riwayah (masa
menyebar nya periwayatan hadis).

 Hadis pada Masa Kodifikasi


Secara harfiah, kodifikasi atau tadwin berarti mengumpulkan,
menghimpun, mencatat, membukukan, dan juga berarti menertibkan sesuatu.
Hadis pada masa kodifikasi berarti menghimpun catatan-catatan hadis Nabi
SAW ke dalam suatu mushaf. Kegiatan kodifikasi secara resmi dimulai pada
masa pemerintahan khalifah kedelapan Bani Umayyah, yaitu Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz yang menjabat khalifah antara tahun 99 – 101 H, melalui instruksinya
kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari
para penghafalnya.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadis pada masa
khalifah Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, yaitu :
Pertama, para ulama telah tersebar ke berbagai negeri, dan
dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka.
Kedua, kekhawatiran bercampurnya antara hadis Nabi dengan hadis
palsu, karena banyak berita yang diada-adakan oleh pelaku bid’ah seperti
Khawarij, Rafidah, Syi’ah, dan lain-lain.
Ketiga, usaha kodifikasi sangat penting mengingat semakin meluasnya
daerah kekuasaan Islam, sedangkan kemampuan para tabi’in tidak sama.18
Keempat, alasan tidak terdewannya hadis secara resmi pada masa
Rasul dan al-Khulafa’ ar-Rasyidin karena kekhawatiran bercampur aduknya
dengan Al-Qur’an telah hilang disebabkan Al-Qur’an telah dikumpulkan
dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok.19

 Hadis pada Masa Awal Sampai Akhir Abad III H


Masa kodifiksi dilanjutkan dengan masa seleksi hadis. Maksudnya
adalah masa upaya para mudawwin hadis yang melakukan seleksi secara ketat,
sebagai kelanjutan dari upaya para ulama sebelumnya yang telah berhasil
melahirkan suatu kitab tadwin.20 Masa ini dimulai sekitar akhir abad II atau
awal abad III H, yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Bani
‘Abbasiyah, khususnya sejak masa al-Makmun sampai dengan akhir abad III
atau awal IV, masa pemerintahan al-Muktadir.
Pada masa ini, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis yang dha’if
dari yang shahih, serta hadis-hadis yang mauquf dan maqtu’ dari yang marfu’,
meskipun berdasarkan penelitian para ulama berikutnya masih ditemukan
tersisipkannya hadis- hadis yang dha’if pada kitab-kitab shahih. Secara
umum, abad ke tiga hijriyah ini merupakan masa keemasan dalam peradaban
Islam.21

 Hadis pada Abad IV H Sampai Pertengahan Abad VII H


Masa seleksi dilanjutka dengan masa pengembangan dan
penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadis. Masa ini dikenal dengan
‘asr at-tahzib wa at-taqrib wa al-istidrak wa al-jami’ (masa
pemeliharaan,penertiban, penambahan, dan penghimpunan).22
Periode ini dimulai pada masa khalifah al-Muqtadir sampai khalifah al-
Mu’tasim. Meskipun kekuasaan Islam mulai melemah pada periode ini,
bahkan mengalami keruntuhan pada pertengahan abd ke-VII H akibat
serangan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, namun kegiatan memelihara dan
mengembangkan hadis tetap berlangsung sebagaimana pada periode-periode
sebelumnya. Hanya saja hadis-hadis yang dihimpun pada periode ini tidak
sebanyak periode-periode sebelumnya. Kitab-kitab yang dihimpun pada
periode ini adalah :
1) As-Sahih oleh Ibnu Khuzaimah (313 H)
2) Al-Anwa’ wa at-Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)
3) Al-Musnad oleh Abu Awanah (316 H)
4) Al-Muntaqa oleh Ibn Jarud
5) Al-Mukhtarah oleh Muhammad ibn Abd al-Wahid al-Maqdisi.23
 Hadis pada Masa Pertengahan Abad VII H Sampai Sekarang
Kegiatan ulama hadis pada masa ini berkaitan dengan upaya mensyarah
kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-
hadis dari kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis dalam kitab-kitab
tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab hadis, maupun kaidah-kaidah
syara’ lainnya. Contohnya adalah :
a. Kitab Syarah, yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan
hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang
bersumber dari Al-Qur’an, hadis, maupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.
Contohnya adalah :
1) Fath al-Bari, syarah kitab Sahih al-Bukhari, karya Ibn Hajar al-
Asqalani.
2) Al-Minhaj, syarah kitab Sahih Muslim, karya an-Nawawi.
3) ‘aun al-Ma’bud, syarah Sunan Abu Daud, karya Syams al-Haq
al-‘Azim al-Abadi.
b. Kitab Mukhtasar, yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadis,
seperti Mukhtasar Sahih Muslim oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi
c. Kitab Zawa’id, yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kitab-kitab
tertentu yang tidak dimuat oleh kitab tertentu lainnya. Contohnya adalah
Zawa’id as-Sunan al-Kubra oleh al-Basiri, yang memuat hadis-hadis
riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub as-sittah.
d. Kitab petujuk (kode indeks) hadis, yaitu yang berisi petunjuk praktis untuk
mempermudah mencari matan hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya :
Miftah Kunuz as-Sunnah, karya A.J. Wenssinck, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi.
e. Kitab Takhrij, yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambila
hadis-hadis yang dimuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya.
Contohnya adalah Takhrij Ahadis al-Ihya oleh al-‘Iraqi. Kitab ini
mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din
karya Imam al-Ghazali.
f. Kitab Jami’, yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari beberapa kitab
hadis tertentu, seperti Al-Lu’lu wa al-Marjan, karya Muhammad Fu’ad
Abd al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadis-hadis Bukhari dan Muslim.
g. kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum.
Contohnya, Bulug al-Maram min Adillah al-Ahkam, karya Ibn Hajar al-
Asqalani, dan Koleksi Hadis-Hadis Hukum oleh T.M. Hasbi ash-
Shiddieqy.24

4. Sejarah Ulumul Hadis dan Penjelasan 5 dari Cabang-cabang Ilmu Hadis


a. Sejarah Ulumul Hadis
Dalam sejarah perkembangan hadis tercatat bahwa ulama yang pertama kali
berhasil menyusun ilmu ini dala satu disiplin ilmu yang lengkap adalah al-Qadi
Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan kitabnya al-Muhadis al-
Fasil baina ar-Rawi wa al-Wa’i. selanjutnya muncul al-Hakim Abu ‘Abdillah an-
Naisaburi (321-405H) dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Berikutnya
muncul al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dengan kitabnya al-Kifayah fi Qawanin
ar-Riwayah, dan al-Jami’ li Adab asy-Syekh wa as-Sami’. Al-Qadi ‘Iyad ibn Musa
(w. 544 H) dengan kitabnya al- ‘Ilm fi Dabt ar-Riwayah wa Taqyid al-Asma’. Abu
Hafz Umar ibn Abdul Majid al-Mayanzi (w. 580 H) dengan kitabnya Mla Yasi’u
al-Muhaddis Jahlahu.25
Setiap ada periwayatan hadis, tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan
diperlukan, baik dalam penerimaannya msupun dalam penyampaiannya kepada
pihak lain. Ilmu hadis riwayah tidak mungkin berdiri sendiri tanpa ilmu hadis
dirayah, demikian juga sebaliknya.
Upaya pengumpulan hadis dan perlawatan ini sudah barang tentu secara
langsung atau tidak langsung memerlukan kaidah-kaidah dalam menyeleksi suatu
periwayatan hadis. Ketika itulah ilmi hadis dirayah mulai terwujud dalam bentuk
kaidah-kaidah yang sederhana. Kaidah-kaidah tersebut pada perkembangan
selanjutnya disempur nakan oleh para ulama yang muncul pada abad ke-II dan ke-
III H.

b. Cabang-cabang Ilmu Hadis


1) Ilmu Rijal al-Hadis
Rijal al-Hadis berarti orang-orang yang meriwayatkan hadis serta
berkecimpung dengan hadis Nabi. Dengan demikian, Ilmu Rijal al-Hadis
berarti ilmu yang membahas tentang orang-orang yang meriwayatkan hadis.26
Ilmu ini membahas keadaan para periwayat baik dari kalangan sahabat,
tabi’in, dan generasi generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan
hadis.
2) Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil maksudnya adalah ilmu yang menerangkan
tentang cacat dan keadilan para periwayat hadis dengan menggunakan redaksi
khusus sarta membahas tingkatan-tingkatan redaksi itu. Ilmu ini tersusun dari
tiga kata, yaitu ilmu, al-jarh yang secara bahasa berarti luka atau cacat, dan at-
Ta’dil. Jadi ilmu al-Jarh berarti ilmu pengetahuan yang membahas tentang
kecacatan para periwayat.
3) Ilmu Tarikh ar-Ruwah
Secara bahasa, kata tarikh ar-ruwah berarti sejarah para periwayat
hadis. Jadi Ilmu Tarikh ar-Ruwah berarti ilmu yang membahas tentang sejarah
periwayat hadis. Secara terminologis, Ilmu Tarikh ar-Ruwah adalah ilmu yang
membahas segala hal yang terkait dengan para periwayat hadis.
Ilmu ini difokuskan pada pengetahuan tentang para periwayat hadis
dari segi keberadaan mereka sebagai periwayat hadis, bukan dari segi-segi lain
dari kehidupan mereka.27
4) Ilmu Garib al-Hadis
Kata garib dalam pembahasan ini adalah kalimat yang sulit dipahami
karena asing atau tidak tersusun dengan baik. Sedangkan Ilmu Garib al-Hadis
adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan
hadis yang sukar diketahui dan yang jarang dipakai oleh umum.28
5) Ilmu Asbab al-Wurud al-Hadis
Hadis Nabi ada yang disertai dengan sebab tertentu yang mendorong
Nabi bersabda, dan ada pula yang tidak disertai sebab tertentu. Sebab ini
merupakan latar belakang munculnya hadis yang dapat memperjelas maksud
hadis yang dapat memperjelas maksud hadis dan cakupan maknanya.
Kata asbab adalah jama’ dari sabab, yang berarti saluran (segala yang
menghubungkan satu benda dengan benda lainnya). Sedangkan menurut
istilah, asbab adalah sagala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan.29
5. Penjelasan-penjelasan dari Istilah-istilah berikut
a. Bayan Taqrir
Bayan Taqrir disebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan al- isbat, yaitu
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an,
mengungkapkan kembali apa yang telah dimuat dan terdapat dalam Al-Qur’an,
tanpa menambah atau menjelaskan apa yang terdapat dalam ayat tersebut. Fungsi
hadis dalam hal ini hanya memperkuat dan memperkokoh isi kandungan Al-
Qur’an.30
b. Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan Bayan Tafsir adalah menjelaskan dan menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an yang datang secara mujmal, ‘am, dan mutlaq. Fungsi hadis
sebagai penafsi Al-Qur’an dapat dibagi tiga, yaitu :
1) Tafshil al-Mujmal, menafsirkan serta merinci ayat-ayat yang mujmal (bersifat
global). Fungsi ini adalah dengan menjelaskan dengan rinci kandungan ayat-
ayat yang mujmal, yakni ayat-ayat yang bersifat ringkas atau singkat, sehingga
maknanya kurang atau bahkan tidak jelas, kecuali ada penjelasan atau
perincian. Dengan kata lain, ungkapan ayat masih bersifat global sehingga
memerlukan mubayyin (penjelasan).31
2) Takhshish al-‘Amm, mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum. Fungsi
hadis ini disebut juga dengan bayan takhshish, yaitu penjelasan Nabi dengan
cara membatasi atau mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
umum,sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu yang mendapat
pengecualian.32
3) Taqyid al-Mutlaq, memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Al-
Qur’anyang bersifat mutlaq. Fungsi hadis ini disebut jufa dengan bayan
taqyid, yaitu penjelasan hadis dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat
mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu.33
c. Bayan Naskhi
Bayan Naskhi adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadis yang datang setelah Al-Qur’an menghapus
ketentuan-ketentuan Al-Qur’an. Dalil syara’ (Al-Qur’an) yang datang lebih
dahulu dan telah dihapus hukum yang ditunjukkannya disebut mansukh.
Sementara dalil syara’ yang datang kemudian untuk menghapusnya yang dalam
hal inihadis disebut nasikh.34

d. Bayan Tasyri’
Bayan Tasyri’ adalah penjelasan yang berupa penetapan suatu hukum atau
aturan syar’I yang tidak didapati nashnya dalam Al-Qur’an.35 Bayanini disebut
juga dengan bayan za’id ‘ala al-kitab al-karim.36 Dalam hal ini, Nabi SAW
menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul saat itu
dengan sabdanya sendiri tanpa didasarkan pada ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an.
Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan
memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
6. Hadis Shahih dan Hadis Hasan
a. Hadis Shahih
Kata shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah, dan sempurna.37
Hadis Shahih secara bahasa berarti hadis yang sehat, selamat, benar, sah,
sempurna, dan yang tidak sakit. Hadis Shahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung, para periwayatnya bersifat ‘adil dan dabit, tidak mengandung syaz
(kejanggalan) dan ‘illat (cacat).
Contoh hadis shahih:

َ َ‫ق‬,‫ك َأ ْخبَ َرنَا‬


‫ال یُوْ سُفَ ب ُْن َع ْب ُدهللاِ َح َّدثَنَا‬ ٍ ‫ُجبَی ِْر ب ِْن ُم َح َّم ِد ع َْن ِشهَا‬
ٌ ِ‫ب اب ِْن ع َِن َمال‬
ْ ‫ال َأبِ ْی ِه ع َْن ُم‬
‫ط ِع ِم ْب ِن‬ ُ ‫ص هللاِ َرسُوْ َل َس ِمع‬.‫ب فِي قَ َرَأ م‬
َ َ‫ق‬, ‫ْت‬ ِ ‫الطوْ ِر ْال َم ْغ ِر‬
ُّ ِ‫ب‬
(‫)البخاري رواه‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair
bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw
membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).

Klasifikasi Hadits Shahih:

 Hadits Shahih li-Dzatihi


Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang
yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang
tercela.
 Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya
berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang
menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-
ghairihi.

b. Hadis Hasan
Hasan menurut bahasa adalah sesuatu yang diinginkan dan yang menjadi
kecenderungan jiwa atau nafsu. Orang yang pertama kali mempopulerkan istilah
Hadis Hasan adalah at-Tarmizi. Hadis Hasan menurut beliau adalah “tiap-tiap
hadis yang pada sanadnya tidak terdapat periwayat yang tertuduh dusta, hadis
tersebut tidak syaz, dan diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.38 Hadis Hasan
adalah hadis yang sanadnya bersambung , diriwayatkan oleh periwayat ’adil, tidak
mengandung syaz dan ‘illat, tetapi di antara periwayatnya dalam sanad ada yang
kurang dabit.
Contoh hadis hasan :
‫َأبِي ع َْن ْال َجوْ نِي ِع ْم َرا ِن َأبِ ْي ع َْن الضُّ بَ ِعي ُسلَ ْی َمانَ ب ُْن َج ْعفَ ُر َح َّدثَنَا قُتَ ْیبَةُ ح َّدثَنَا‬
‫ قَا َل اَأْل ْش َع ِريْ ُموْ َسي َأبِي ْب ِن بَ ْك ِر‬: ‫ْت‬ ُ ‫ یَقُوْ ُل ال َع ُد ِّو بِ َحضْ َر ِة َأبِي َس ِمع‬: ‫قَا َل‬
…..‫ص هللاِ َرسُوْ َل‬.‫ م‬:‫اب ِإ َّن‬ َ ‫ف ِظالَ ِل تَحْ تَ ْال َجنَّ ِة َأ ْب َو‬ِ ْ‫ال ُّسیُو‬
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada
kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa
al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang :
Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan
pedang…” (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).

Klasifikasi Hadits Hasan:

 Hadits Hasan li-Dzatih


Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa
ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.

 Hadits Hasan li-Ghairih


Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui
keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan
dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang
bersesuaian dengan maknanya.

 1
Danss Bass, “Hadis Sunan Abu Daud”, diakses dari
http://carihadis.com/Sunan_Abu_Daud/7, pada tanggal 18 November 2019 pukul 20.05.
 2
Jalal ad-Din ‘Abd. Ar-Rahman ibn Abi Bakar as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib
an-Nawawi (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 6.

 3
At-Tahhan, Taisir, h. 15.

 4
Ibid.

 5
Mahmud at-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1979), h. 19.

 6
Sa’di Yasin, Al-Idhah fi Tarikh al-Hadits wa ‘Ilm al-Ishthilah (Beirut: Dar al-‘Arabiyah,
1971), h. 38.

 7
At-Thahhan, Taisir, h. 20.

 8
At-Thahhan, Taisir, h. 20.

 9
At-Thahhan, Taisir, h. 21.

 10
Ibid.

 11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997),
h. 748

 12
At-Thahhan, Taisir, h. 22.

 13
At-Thahhan, Taisir, h. 24.

 14
At-Thahhan, Taisir, h. 25.

 15
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), h. 6.

 Muhammad Mahfuz ibn Abdillah at-Tirmizi, Manhaj Zawi an-Nazar ( Surabaya:


16

Ahmad ibn Sa’ad ibn Nabhan, 1974), h. 8.

 17
An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (Indonesia: Maktabah Dahlan, tth.),
h. 2289.

 18
Subhi as-Salih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1973),
h. 45.

 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1995), h.


19

36.

 20
Idri, Studi Hadis, h. 48.

 21
Abu Zahw, al-Hadis, h. 424.

 22
Idri, Studi Hadis, h. 50
 23
Yuslem, Ulumul Hadis, h. 138-139.

 24
Yuslem, Ulumul Hadis, h. 144-145.

 25
Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 25.

 26
As-Salih, ‘Ulum al-Hadis, h. 255.

 27
‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, h. 255.

 28
Idri, Studi Hadis, h. 72.

 29
Munzier Saputra dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 23.

 30
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, tth.) h. 481.
 31
Ibid., juz I, h. 111.

 32
Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, juz II, h. 1376.

 33
Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul as-Salam, juz. II (Bandung: Dahlan, tth.) h.
27.

 Mustafa as-Siba’I, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami (Kairo: Dar al-


34

Qaumiyah, 1949), h. 360.

 35
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 29.

 36
Abbas Mutawali Hamadah, as-Sunnah an- Nabawiyah wa Makanatuha fi at-Tasyri’
(Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1965), h. 143.

 37
W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka,
1985), h. 849.

 38
At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, juz. I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.), h. 76

Anda mungkin juga menyukai