Anda di halaman 1dari 18

Hak dan Kewajiban Suami Istri.

Dalam UU No 1 Tahun 1974 dan


KHI, Analisis Perbandingan
Nama kelompok :
M. Wabi Zadin Ka’af
Ahmad Rojul Jadid
PERBANDINGAN PERKAWINAN MENURUT TAHUN
1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

UNDANG-UNDANG NOMOR TAHUN 1974


1. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang-undangan- undangan
menurut pasal 1 UU Tidak. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud
pernikahan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekekalan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Prinsip – prinsip Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam
mencapai kesejahteraan spiritual dan bahan.
Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan- undangan yang berlaku, pencatatan tiap tiap
perkawinan sama halnya denagn catatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan.
Undang-undang ini menganut prinsip asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang orang,
karena hukum dan agama dari yang bersangkutan diizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus siap jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara
calon suami istri yang masih di bawah umur, karena perkawinan itu mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem laju
kelahirannya yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon
suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka
Undang-Undang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi
pria maupun bagi wanita, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya
perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan di luar Islam.

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami yang baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama suami istri.
3. Hakikat Perkawinan

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan


lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Jadi intinya pernikahan bukan sekedar ikatan resmi belaka, tetapi juga ikatan
batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
4. Asas-asas Perkawinan
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 3 adalah asas monogami
relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya disahkan.
5. Syarat Sah Perkawinan
Adapun syarat perkawinan yang tercantum dalam Bab II. Pasal 6
sampai dengan 12 UU No.1/1974, antara lain:
A. Sebuadanya persetujuan kedua calon mempelai.
B. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
• Bagi yang akan melangsungkan perkawinan dan usianya belum mencapai 21 tahun maka harus mendapat
izin dari kedua orang tua, bukan bapak atau ibu (tidak hanya mendapat izin dari pihak bapak saja atau
pihak ibu saja, tetapi kedua belah pihak)(ayat 2).
• Jika salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak dapat
menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu banyakakan kehendaknya (ayat 3).
•Jika kedua orang tua telah meninggal atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya (ayat 4).
• Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2). (3) dan (4) Pasal ini,
atau salah satu atau lebih di antara mereka tidak disebutkan pendapatnya, maka pengadilan
dalamdaerahhukum tempati tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-oreng tesebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) Pasal ini (ayat 5).
•Ketentuan-ketentuan tersebut, yaitu mulai dari ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang terkait tidak menentukan lainnya(ayat 6).
C. Usia minimal bagi pria yang ingin melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun sedangkan untuk wanita 16
tahun.
D. Antara calon mempelai pria dan wanita tidak ada hubungan darah keluarga yang menyebabkan tidak dapat
melangsungkan perkawinan.
Perkawinan dilarang antara dua orang karena:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas, misalnya dalam garis keturunan
lurus ke atas adalah: seseorang dengan ibu/ayahnya, dengan nenek/kakeknya. Dalam garis keturunan lurus ke
bawah adalah: seseorang dengan anaknya, dengan cucunya atau bahkan dengan cicitnya. (dalam hal garis
keturunan lurus atas atau ke bawah yang dimaksud adalah hubungan asli/kandung)
2) Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara
orang tua, dan antara seseorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu seorang dengan
mertua, seorang dengan anak tiri, seorang dengan menantu, dan seorang dengan ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu seorang dengan orang tua susuan, seorang dengaseoran susuan, seorang dengan
saudara susuan, dan seorang dengan paman/bibi susuan.
5) Berhububugan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri
lebih dari seorang.
6) Memiliki hubungan yang menurut agamanya atau peraturan lain dilarang kawin.
E. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
F. Bagi suami istri yang telah cerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk
kedua, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk itu ketiga
kalinya.
G. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Syarat-syarat tersebut di atas menyangkut pribadi-pribadi yang akan melangsungkan
pernikahan.
6. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekeliruan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
KOMPILASI HUKUM ISLAM
1. Pengertian Perkawinan
Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci
(sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak yang harus dipenuhi perintah
dan saran Tuhan Yang Maha esa, agar berkehidupan keluarga dan berumah tangga serta
berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi,
perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang
membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta
keluarga kerabatnya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
2. Prinsip Perkawinan
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu:
A. sebuarus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan.
Caranya adalah mengadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua
belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
B. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan
perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan. C. Perkawinan harus dipenuhi
dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang melibatkan kedua belah pihak
maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
D. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga
tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
E. Hak dan kewajiban suami istri seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab
tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
3. Hakikat Perkawinan
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakanya merupakan ibadah.
4. Asas Perkawinan
Asas monogami relatif.
5. Syarat Sah Perkawinan
Dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum
Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin
pernikahan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar
pengawas pencatatan nikah tidak memiliki kekuatan hukum.
6. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan
kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
PERBANDINGAN
A. Sebsama
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari hukum
perkawinan yang tertuang didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena ia
tidak dapat lepas dari misi yang diemban oleh Undang-undang perkawinan
tersebut. Kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam.
Karena KHIPS dalam banyak hal merupakan penjelasan Undang-undang
Perkawinan, maka prinsip-prinsip atau asas-asasnya dikemukakan dengan mengacu
kepada Undang-undang tersebut.
Secara umum, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan Kompilasi
Hukum Islam adalah sejalan.
B. Perbedaan
Di dalam UU perkawinan No 1 tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 ayat (2)
UU Perkawinan mendefinisikan: “Ikatan lahir bathin antara serorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut KIII, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam
hukum Islam adalah: “Pernikahan yaitu aqad yang sangat kuat atau miitsaagan
gholüdhzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Berdasarkan pasal selanjutnya bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tentram cinta dan
kasih sayang.
Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya
pernikahan. Pasal 2UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan “Perkawinan adalah sah.
Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha,
Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.
Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu: “Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat
1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih
tegang buku dalam konsep hukum Islam, namun tetap berdasarkan
pada UU Nomor 1 Tahun 1974.

Anda mungkin juga menyukai