Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ILMU NEGARA

‘ Pemisahan Kekuasaan ‘
Dosen : Dian Eka Prastiwi SH, MH

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4


• Cristin Herlina ( 221010201407 )
• Dede Rahmawan ( 221010201403 )
• Jihan Zam Zama Qotrunada ( 221010200436 )
• Stephanie Magdalena ( 221010200439 )
• Muhammad Romadhon Syahrul Jihad ( 221010201393 )
• Reren Nopita Sari ( 221010201382 )
• Rifky Fitra Hadi ( 221010201386 )

PROGRAM ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat limpahan dan
rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Pemisahan
Kekuasaan‘ yang merupakan salah satu tugas Ilmu Negara. Makalah ini di susun agar
pembaca dapat memperluas ilmu dan mengetahui tentang ‘Pemisahan Kekuasaan’.
Makalah ini berdasarkan berbagai sumber informasi, referensi, berita dan Buku.
Dengan penuh kesabaran juga terutama pertolongan dari Tuhan, akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Mohon maaf bila mungkin banyak
kekurangan di dalamnya dan juga jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami meminta
masukkannya demi perbaikan pembuatan makalah kami dimasa yang akan datang
dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Tangerang Selatan, September 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG ..........................................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH .....................................................................................................................1
1.3 TUJUAN PENULISAN .......................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................................................2
2.1 PENGERTIAN PEMISAHAN KEKUASAAN NEGARA ..........................................................................2
2.2 PEMISAHAN KEKUASAAN MENURUT JOHN LOCKE .......................................................................4
2.3 KONSEP TRIAS POLITICA MONTESQUIEU ......................................................................................5
2.4 KONSEP PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN ..................................................................8
2.5 PEMBAGIAN KEKUASAAN DI INDONESIA ....................................................................................10
BAB III PENUTUP ....................................................................................................................................14
3.1 KESIMPULAN ................................................................................................................................14
DAFTAR PUSAKA ....................................................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang
dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian
kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Pembagian kekuasaan terdiri dari
dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi
beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain.
Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan
(memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
Sehingga secara harfiah pemisahan kekuasaan adalah proses menceraikan
wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb)
menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada
beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada
satu pihak/ lembaga.
Sistem pemisahan kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas
dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan
sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Sistem
pemisahan kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran
Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang
penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat.
1.2 RUMUSAN MASALAH

Masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah


1. Apa pengertian dari pemisahan kekuasaan negara ?
2. Apa saja teori pemisahan kekuasaan menurut John Locke ?
3. Apa konsep Trias Politica Montesquieu ?
4. Apa konsep pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan ?
5. Bagaimana pembagian kekuasaan di Indonesia ?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Memahami pengertian pemisahan kekuasaan negara
2. Mengetahui dan memahami teori kekuasaan menurut John Locke
3. Mengetahui dan memahami konsep Trias Politica Montesquieu
4. Mengetahui dan memahami konsep pemisahan kekuasaan dan
pembagian kekuasaan
5. Memahami pembagian kekuasaan di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN PEMISAHAN KEKUASAAN NEGARA
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan
kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang
dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk
monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari
hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol
dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang
dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian
kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL
dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan
kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya
disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material
hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa
Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian,
alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik
rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip
pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam
alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa
menekankan pemisahannya.
Pemisahan kekuasaan negara Indonesia bertujuan untuk mempermudah
dalam pengaturan negara, setiap pejabat pemerintah mempunyai tugas yang sudah
ditentukan dan disepakati oleh negara. Pemisahan kekuasaan ini diatur dari yang
paling bawah hingga yang paling atas dalam suatu negara.
Prof. Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti
materiil dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Adapun yang dimaksudkannya
dengan pemisahan kekuasaan dalam arti materiil ialah pemisahan kekuasaan dalam
arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas
kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu
kepada tiga bagian: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang
dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah jika pembagian
kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas.
Prof. Dr. Ismail Suny S.H., M.C.L. Dalam bukunya yang berjudul
Pergeseran kekuasaan Eksekutif mengambil kesimpulan, bahwa pemisahan kekuasaan
dalam arti materiil sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan),
sedangkan dalam arti formal sebaiknya disebut division of power (pembagian
kekuasaan). Ismail Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasan dalam arti

2
materil paling banyak hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan
Uni Soviet terdapat pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Dengan kata lain, di
Amerika Serikat terdapat separation of power, sedangkan di Inggris dan Uni Soviet
terdapat division of power.
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan
“kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki
pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu)
lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas
sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang
yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa
lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu
pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan
berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif,
eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi
bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama.
Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu
harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang
yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling
mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan,
yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama.
Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan
yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk
membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan
yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan.

Pada hakikatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu :
➢ Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya.
Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan,
misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam
negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara
bagian dalam suatu suatu negara federal.
➢ Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam
pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi
pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

3
2.2 PEMISAHAN KEKUASAAN MENURUT JOHN LOCKE
Teori Pemisahan Kekuasaan adalah menjadi kebiasaan di Eropa Barat untuk
membagi tugas pemerintahan ke dalam Tiga Bidang Kekuasaan, diantaranya sebagai
berikut:
1. Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2. kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
3. Kekuasaan Yudikatif, kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang
(kekuasaan untuk mengadili).
Pemisahan ketiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem
ketatanegaraan di berbagai negara, walaupun batas pembagian itu tidak selalu
sempurna, karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah,
bahkan saling mempengaruhi. Orang yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan
negara adalah John Locke dan Montesquieu. John Locke seorang ahli ketatanegaraan
Inggris, ia adalah orang pertama yang dianggap membicarakan teori ini.
John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment”
mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara
yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak
sewenang-wenang. Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori
pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan
kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
Dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690),
John Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam:
1. Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2. Kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
3. Kekuasaan Federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta
segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.
Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu dari yang
lainnya. Setengah abad kemudian dengan diilhami oleh pembagian kekuasaan dari
John Locke, Montesquieu (1689-1755) seorang pengarang, ahli politik dan filsafat
Prancis menulis sebuah buku yang berjudul L’Esprit des lois (Jiwa Undang-undang)
yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2 jilid).
Dalam hasil karya ini Montesquieu menulis tentang Konstitusi Inggris, yang
antara lain mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat 3 jenis kekuasaan
yang diperincinya dalam: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
Yudikatif. Ketiga kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-
lengkapnya kekuasaan yang ditentukan padanya masing-masing.
Menurut Montesquieu dalam suatu sistem pemerintahan negara, ketiga jenis
kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat
kelengkapan (organ) yang melaksanakan:
1. Kekuasaan Legislatif, dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat
(parlemen)
2. Kekuasaan Eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan
bantuan menteri-menteri atau kabinet).
3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung
dan pengadilan bawahannya).

4
2.3 KONSEP TRIAS POLITICA MONTESQUIEU
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis
mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul
“L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari
pendapat John Locke.
Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan
pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
3. Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang
dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
• Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang
mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan
undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri)
merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
• Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif
karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif,
sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri
sendiri dan terpisah dari eksekutif.
• Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian
kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima.
Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif
melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing.
Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang
membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari
kekuasaan-kekuasaan itu.
Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
• Fungsi Pengaturan (Legislasi).
• Fungsi Pengawasan (Control).
• Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
• Sistem Pemerintahan.
• Kementerian Negara.

5
Kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut:
• Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
• Prinsip Pokok Kehakiman.
• Struktur Organisasi Kehakiman
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai
cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara
dalam penyelenggaraan negara. Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai
pemisahan kekuasaan negara (the separation of power) yang lebih terkenal dengan
istilah Trias Politica istilah yang diberikan oleh immanuel Kant.
Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah agar
tindakan sewenang-wenang oleh raja dapat dihindarkan. Isi ajaran Montesquieu
berpangkal pada pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal
dengan istilah “Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga
jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan
yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk
menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat.
Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain,
yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah
kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak
memberikan peradilan kepada rakyat.
Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan
hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan
legislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif. Walaupun para hakim pada
umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa,
tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak
menghukum kepala negara jika melakukan pelanggaran hukum.
Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan John Locke yang
memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif. Montesquieu
memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan federatif
menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari
kekuasaan eksekutif.
Istilah Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya “Politik Tiga
Serangkai”. Menurut ajaran Trias Politica dalam tiap pemerintahan negara harus ada
tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan
masing-masing kekuasaan itu harus terpisah.Ajar Trias Politica ini nyata-nyata
bertentangan dengan kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman Feodalisme
dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam
negara ialah seorang raja, yang membuat sendiri undang-undang, menjalankannya,
dan menghukum segala pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan
oleh raja tersebut.

6
Monopoli atas ketiga kekuasaan tersebut dapat dibuktikan dalam semboyan Raja
Louis XIV “L’Etat Cest moi” (negara adalah saya), kekuasaannya berlangsung hingga
permulaan abad XVII. Setelah pecah Revolusi Prancis pada tahun 1789, barulah paham
tentang kekuasaan yang tertumpuk ditangan raja menjadi lenyap. Ketika itu pula timbul
gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquieu.

Pada intinya, ajaran Trias Politica isinya adalah sebagai berikut:

• Kekuasaan Legislatif (Legislative Powers)


Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu
badan yang memiliki wewenang khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang
tidak diletakkan pada suatu badan tertentu, maka memungkinkan tiap golongan atau
tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri.
Di dalam negara demokrasi yang peraturan perundangan harus berdasarkan
kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat harus dianggap sebagai badan yang
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang, badan inilah yang
disebut legislatif. Legislatif penting sekali dalam susunan kenegaraan, karena undang-
undang ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan negara dan sebagai alat yang
menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.
Sebagai badan pembentuk undang-undang, maka legislatif hanya berhak
untuk membentuk undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk
menjalankan undang-undang itu harus diserahkan kepada suatu badan lain. Yaitu
badan yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang atau
“Eksekutif”.

• Kekuasaan Eksekutif (Executive Powers)


Kekuasaan menjalankan undang-undang itu dipegang oleh kepala negara.
Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-
undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan kepala negara dilimpahkannya (didelegasikan)
kepada pejabat-pejabat pemerintah/negara yang bersama-sama dalam suatu badan
pelaksana undang undang (badan eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban
menjalankan kekuasaan Eksekutif
• Kekuasan Yudikatif atau kekuasaan kehakiman (Judicative Powers).
Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah kekuasaan
yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak untuk memberikan
peradilan kepada rakyat. Badan Yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara,
menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan
dan dijalankan. Walaupun para hakim biasanya diangkat oleh kepala negara
(Eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak
tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya, bahkan
ia adalah badan yang berhak menghukum kepala negara, jika melanggar hukum.

7
• Kecaman Terhadap Montesquieu
Pendapat Montesquieu bertentangan dengan kenyataan yang berlaku di
Inggris pada masa itu. Pada tahun 1732, ketika Montesquieu berada di Inggris,
dinegara ini terdapat lebih banyak kebebasan jika dibandingkan dengan banyak
negara lainnya di Eropa. Perlu diketahui, sekitar tahun 1732 itu Montesquieu sedang
mengembara meninggalkan tanah airnya, Prancis, yang sedang menentang despotisme
(pemerintahan yang lalim) dari Raja Louis XIV. Oleh karena itu, jika ia menulis
tentang negara Inggris yang agak berlainan dengan keadaan yang sebenarnya berlaku
di Inggris, maka latar belakangnya ialah bahwa Montesquieu sendiri ingin
menggulingkan kekuasaan absolut yang pada waktu itu berlaku di Prancis.
Seorang ahli konstitusi yang pernah turut serta dalam pembuatan beberapa
konstitusi dari bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yaitu Sir Ivor Jennings, dalam
bukunya yang berjudul The Law and Constitution, membantah pendapat Montesquieu
memang tak pernah berlaku dalam system pemerintahan Inggris yang parlementer.
Selain menyangga pendapat Montesquieu mengenai berlakunya perinsip Trias Politica
dalam sistem ketatanegaraan Inggris, Prof. Jennings juga memberikan lebih lanjut
tentang pemisahan kekuasaan (the separation of powers).
Akan tetapi, walaupun Trias Politica ini dinegara-negara lainnya tidak
dilaksanakan secara konsekuen seperti halnya di Amerika Serikat, namun alat-alat
perlengkapan dari negara-negara yang melaksanakan tugas-tugas ini dapat dibeda-
bedakan. Apabila dalam sistem republik, rakyat di Eropa Timur dan Tengah menolak
sama sekali prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi dalam pasal-
pasal tersendiri mengenai tiap-tiap kelengkapan negara yang tiga itu, tetapi dengan
tidak menekankan kepada pemisahannya.
2.4 KONSEP PEMISAHAN DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan kehidupan
bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran
yang pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan beralih
pada konsep negara yang mendasarkan atas hukum (rechtstaat). Para ahli sepakat
bahwa salah satu ciri dari sebuah negara hukum adalah adanya konsep pembatasan
kekuasaan. Pembatasan kekuasaan menjadi syarat mutlak sebuah negara hukum yang
demokratis. Adanya pembatasan kekuasaan sebagai perwujudan prinsip
konstitusionalisme yang melindungi hak-hak rakyat.
Konsep pemisahan kekuasaan lahir dari keinginan membatasi kekuasaan
para raja yang bersifat absolut di Eropa. Ide mengenai pembatasan kekuasaan ini
dihembuskan oleh John Locke dan Montesquieu. Montesquieu menggambarkan
konsep pemisahan kekuasaan (Trias Politica) yang berlaku di Inggris meliputi
kekuasaan Raja (eksekutif), Parlemen (legislatif), dan Majelis (judikatif).
Montesquieu menilai kekuasaan raja sangat tumpang tindih dan dapat
melakukan kewenangan apapun. Sehingga konsep pemisahan kekuasaan menurut
hematnya harus dilaksanakan secara tegas, kaku, dan mutlak. Pandangan ini
sesungguhnya bukan untuk membatasi kekuasaan secara mutlak melainkan mencegah
adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan.
8
Pemikir Inggris John Locke mengemukakan konsepnya mengenai
pemisahan kekuasaan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government. Menurut
Locke kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni: kekuasaan legislatif (membuat
peraturan undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang yang
di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili), dan kekuasaan federatif (kekuasaan
yang meliputi segala tindakan untuk mengamankan negara).
Sedangkan Van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan negara menjadi
empat bagian yang dikenal dengan “catur praja”, yakni:
1. Regeling (fungsi legislatif);
2. Bestuur (fungsi eksekutif);
3. Rechtspraak (fungsi judikatif); dan
4. Politie (fungsi keamanan dan ketertiban negara)
Ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal
melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis
dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai
konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya
ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi
superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap
lembaga.
Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan
konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita menilik pada
pelaksanaan trias politica sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris
ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini
disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada
kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan
legislatif maupun judikatif.
Sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen yang hanya melihat pelaksanaan kekuasan
dalam pemerintahan hanya ada dua yakni membentuk undang-undang dan
menjalankan undang. Kekuasaan yang ada tidak dipisahkan melainkan didistribusikan
ke tiap-tiap cabang kekuasaan. Setiap cabang kekuasaan menjalankan tugas dan fungsi
masing-masing tanpa harus menimbulkan absolutisme di tiap cabang. Seperti yang
diberlakukan di Amerika, separation of power antara presiden, supreme court, dan
senat.
Pemisahan kekuasaan juga disebut dengan istilah trias politica adalah sebuah
ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih
kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa
yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam
tubuh pemerintahan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, antara legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif
bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama,
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara
yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat.

9
2.5 PEMBAGIAN KEKUASAAN DI INDONESIA
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan”
(separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat
Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara
diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan
dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan
ala trias politica Monstesquieu.
Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan
bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan
kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan. Di sisi lain Jimly
Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat
kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu
secara nyata.
Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
• Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
• Diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai
produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-
undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-
undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
• diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR,
melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung
merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
• MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai
lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
• hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan
satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat
dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun
menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh
hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem
baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan
kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi
antar lembaga negara.
• Latar Belakang Checks and Balances di Indonesia
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui
sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden
yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde
lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh
Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang
jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersebut
menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk
mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu
kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden
berada di tangan MPR.

10
Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri,
sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan
kekuasaannya. Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur
Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga
dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal
kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang
mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah
atau golongan yang diwakilinya.
Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki
hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri
merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan
hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai
hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi
Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan
vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu.
Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR
sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis
yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai
sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu
lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan
lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung
jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen
penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga
tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden
yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang
seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1)
naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan
rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk
undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih
kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian
sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah
sekali.
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena
berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu
membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945,
penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan
KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena
masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan

11
Indonesia untuk mewujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin
hak asasi warga negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945
yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
• Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
• Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
• Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat
menimbulkan multi tafsir.
• Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan
undang-undang
• Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan
pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks
and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD
1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung
secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak
yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang
sangat besar dan mendasar.
Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara
yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak
lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-
undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya
beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain
sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD
1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1
Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan
terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat”.
Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat
dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah
dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari
ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini
dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu
perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan
begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar
lembaga negara (checks and balances).

12
Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk
membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar
sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial.
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan
membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori
“pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR
menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and
balances sebagai ciri melekatnya.
Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk
memperkuat sistem presidensial. Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan
bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan”
(seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya
pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.

13
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang
dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian
kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL
dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan
kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya
disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas
dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan
sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Undang-undang
Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politica karena memang dalam UUD 1945
kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara terdiri dari
Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang, Badan
eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang, Badan judikatif,
yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan
megadilinya.

14
DAFTAR PUSAKA
Abdy Yuhana. (2007). Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945. Fokusmedia.

C. S .T Kansil. (2007). Ilmu Negara. PT. Pradnya Paramita, 50-60.

Inu, & K. S. (2001). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Refika Aditama.

Soehino. (1985). Hukum Tata Negara. Yogyakarta, Liberty: Ndraha.

15

Anda mungkin juga menyukai