Konsep Dasar Budaya Serta Keberadaan Budaya Dalam Organisasi
Konsep Dasar Budaya Serta Keberadaan Budaya Dalam Organisasi
Konsep Dasar Budaya Serta Keberadaan Budaya Dalam Organisasi
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Pemahaman tentang budaya organisasi tentu tidak lepas dari konsep dasar tentang
budaya, yang merupakan salah satu terminologi dalam sosiologi. Kata budaya sendiri terbentuk
dari dua kata kunci yaitu “budi” dan “daya”. Budi artinya akal dan hati sebagai perwujudan
dari daya yang berarti karya, cipta dan karsa manusia. Serangkaian dari adanya unsur-unsur
budaya disebut dengan kebudayaan yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Adapun beberapa definisi budaya organisasi menurut para ahli:
a) Budaya organisasi menurut Stephen Robbins (2010), adalah sebuah persepsi umum yang
dipegang oleh anggota organisasi, suatu sistem tentang keberartian bersama.
b) Menurut Geert Hofstede (2010), menyatakan bahwa budaya terdiri dari mental program
bersama yang mensyaratkan respon individual pada lingkungannya. Definisi tersebut
mengandung makna bahwa kita melihat budaya dalam perilaku sehari - hari, tetapi
dikontrol oleh mental program yang ditanamkan sangat dalam.
c) Menurut Rivai dan Mulyadi (2012) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah suatu
kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari dan membuat keputusan
untuk karyawan dan mengarahkan tindakan mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai - nilai (Values) organisasi yang
dipahami, dijiwai, dan dipraktikkan oleh organisasi, sehingga pola tersebut memberikan
arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.
d) Menurut Sutrisno (2010), budaya organisasi adalah sebagai perangkat sistem nilai-
nilai (values), atau norma-norma (beliefs), asumsi-asumsi (asssumptions), atau
norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota
suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah
organisasinya.
Dari beberapa pengertian budaya organisasi menurut para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa budaya organisasi didefinisikan sebagai suatu perangkat system nilai-nilai, keyakinan,
asumsi, kebiasaan, adat-istiadat, aturan, dan norma yang telah disepakati bersama dalam suatu
lingkungan organisasi dan berlaku sebagai pedoman perilaku serta segala aktivitas organisasi.
Sehingga budaya organisasi ini dapat menjadi suatu cirikhas yang berbeda-beda dalam setiap
lingkungan organisasi. Budaya organisasi dapat tercermin dari perilaku dan aktivitas kerja
dalam organisasi karena adanya kebudayaan dalam organisasi dapat berpengaruh terhadap
karyawan dan pola manajemen organisasi.
Keberadaan budaya dalam sebuah organisasi memang tidak dapat dilihat oleh mata, tapi
bisa dirasakan melalui perilaku para anggota atau cara berpikir, merasa, menanggapi dan
menuntun para anggota organisasi dalam mengambil keputusan ataupun dalam kegiatan
lainnya.
Budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong dan
meningkatkan efektivitas kinerja organisasi, khususnya kinerja pegawai baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk
menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
bagaimana mengalokasikan sumber daya organisasional dan juga sebagai alat untuk
menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan organisasi. Adapun beberapa ahli yang
berpendapat tentang fungsi dari budaya dalam suatu organisasi:
Ada beberapa tipologi budaya organisasi. Menurut Kotter dan Heskett (1998)
mengkategorisasi jenis budaya organisasi menjadi tiga, yaitu budaya kuat dan budaya lemah;
budaya yang memiliki kecocokan stratejik; dan budaya adaptif.
1) Budaya yang kuat. Organisasi yang berbudaya kuat biasanya dapat dilihat oleh orang
luar sebagai memilih suatu gaya tertentu. Dalam budaya organisasi yang kuat ini, nilai-
nilai yang dianut bersama itu dikonstruksi ke dalam semacam pernyataan misi dan secara
serius mendorong para manajer untuk mengikutinya. Oleh karena itu, dengan akar-
akarnya yang sudah mendalam, maka gaya dan nilai budaya yang kuat cenderung tidak
banyak berubah walaupun ada pergantian pimpinan. Sejalan dengan penjelasan
sebelumnya, Robbins (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan budaya yang
kuat adalah budaya dimana nilai-nilai inti dipegang secara intensif dan dianut bersama
secara meluas. Semakin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar
komitmen mereka pada nilai-nilai itu, maka semakin kuat juga budaya tersebut.
Sebaliknya, jika organisasi yang berbudaya lemah, nilai-nilai yang dianut tidak begitu
kuat sehingga jati diri organisasi tidak begitu menonjol dan kemungkinan besar nilai-
nilai yang dianut pun berubah setiap pergantian pimpinan atau sesuai dengan kebijakan
pimpinan yang baru.
2) Budaya yang memiliki kecocokan stratejik. Jenis budaya yang cocok secara stratejik
memiliki perspektif yang menegaskan tidak ada resep umum untuk menyatakan seperti
apa hakikat budaya yang baik, dan hanya cocok apabila sesuai dengan konteksnya.
Konteks tersebut dapat berupa kondisi objektif dari organisasinya, segmen usahanya
yang dispesifikasi oleh strategi organisasi atau strategi bisnisnya sendiri. Konsep
kecocokan sangat bermanfaat, khususnya dalam menjelaskan perbedaan-perbedaan
kinerja jangka pendek dan menengah. Esensi konsepnya mengatakan bahwa suatu
budaya yang seragam tidak akan berfungsi. Oleh karena itu, beberapa variasi dibutuhkan
untuk mencocokan tuntutan-tuntutan spesifik dari bisnis-bisnis yang berbeda itu.
3) Budaya adaptif. Budaya adaptif didasari pemikiran bahwa organisasi merupakan sistem
terbuka dan dinamis yang dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk
dapat meraih sukses dalam lingkungan yang senantiasa berubah, organisasi harus
tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat membaca
kecenderungan-kecenderungan penting dan melakukan penyesuaian secara tepat.
Budaya organisasi adaptif memungkinkan organisasi mampu menghadapi setiap
perubahan yang terjadi tanpa harus berbenturan dengan perubahan itu sendiri.
1) Inisiatif individu
Inisiatif individu adalah seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan.
Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan, dan independensi dari masing-masing
anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam
melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan
kewenangannya dan seberapa luas kebebasan yang mengamil keputusan.
2) Toleransi terhadap risiko
Toleransi terhadap risiko, menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong
untuk lebih agresif, inovatif, dan bisa menghadapi risiko dalam pekerjaannya.
3) Pengarahan
Pengarahan, dalam hal ini berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam
menentukan objek dan harapa terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya.
Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas, dan waktu.
4) Integrasi
Integrasi adalah seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam
melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan
koordinasi yang baik.
5) Dukungan manajemen
Dukungan manajemen, dalam hal ini merupakan seberapa jauh para manajer memberikan
komunikasi yang jelas, membantu, dan memberikan dukungan terhadap bawahannya
dalam melaksanakan tugasnya.
6) Pengawasan
Pengawasan meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk
melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan.
7) Identitas
Identitas menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi
secara penuh dan seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi.
8) Sistem penghargaan
Sistem penghargaan akan dilihat dalam budaya organisasi, yang berarti pengalokasian
“reward” (kenaikan gaji maupun promosi) berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan
yang telah ditentukan.
9) Toleransi terhadap konflik
Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauh mana usaha untuk mendorong
karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi.
10) Pola komunikasi
Karakteristik yang terakhir adalah pola komunikasi yang terbatas pada hierarki formal
dari setiap perusahaan.
Robbins (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga kekuatan yang merupakan bagian yang
sangat penting dalam mempertahankan budaya organisasi, yaitu:
a) Praktik Seleksi
Tujuan utama dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan
individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk
melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam suatu organisasi. Proses seleksi
memberikan informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar
mengenai organisasi yang akan dimasuki, dan jika mereka merasakan suatu konflik
antara nilai mereka dengan nilai organisasi, maka mereka dapat menyeleksi diri keluar
dari kumpulan pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi jalan dua-arah, dengan
memungkinkan pemberi kerja atau pelamar untuk memutuskan kehendak hati mereka
jika tampaknya terdapat kecocokan. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung suatu
budaya organisasi dengan menyeleksi keluar individu-individu yang mungkin
menyerang atau menghancurkan nilai-nilai intinya.
b) Manajemen Puncak
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi.
Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior
menegakkan norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang organisasi, misalnya
apakah pengambilan risiko diinginkan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan
oleh para manajer kepada bawahan mereka, pakaian apakah yang pantas dan tindakan
apakah akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi, dan ganjaran lain.
c) Sosialisasi
Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan suatu organisasi dalam perekrutan dan
seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi itu.
Yang paling penting, karena para karyawan baru tersebut tidak mengenal baik budaya
organisasi yang ada. Oleh karena itu, organisasi tampaknya akan berpotensi membantu
karyawan baru menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian ini disebut
sosialisasi.
Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai suatu proses yang terdiri atas tiga tahap yaitu:
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada materi ini kita mengetahui ap aitu budaya organisasi. Kata budaya sendiri
terbentuk dari dua kata kunci yaitu “budi” dan “daya”. Budi artinya akal dan hati sebagai
perwujudan dari daya yang berarti karya, cipta dan karsa manusia. Dari beberapa pengertian
budaya organisasi menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
didefinisikan sebagai suatu perangkat system nilai-nilai, keyakinan, asumsi, kebiasaan, adat-
istiadat, aturan, dan norma yang telah disepakati bersama dalam suatu lingkungan organisasi
dan berlaku sebagai pedoman perilaku serta segala aktivitas organisasi. Adapun fungsi budaya
organisasi yaitu: pembeda dengan organisasi lainnya, sebagai identitas anggota sebuah
organisasi, sebagai komitmen anggota di atas kepentingan bersama, sebagai alat komunikasi,
sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan, sebagai perekat sosial antar anggota
organisasi, dan sebagai mekanisme kontrol yang membentuk perilaku anggota.
Selain itu, tipologi budaya dalam organisasi bertujuan untuk menunjukkan aneka budaya
organisasi yang mungkin ada di realitas. Ada beberapa tipologi budaya organisasi. Menurut
Kotter dan Heskett (1998) mengkategorisasi jenis budaya organisasi menjadi tiga, yaitu budaya
kuat dan budaya lemah; budaya yang memiliki kecocokan stratejik; dan budaya adaptif. Serta
pada materi ini kita mengetahui bentuk-bentuk budaya yang ditransmisikan kepada karyawan
yakni melalui cerita, ritual, symbol, serta bahasa.
DAFTAR PUSTAKA