Sebermula, di suatu Kerajaan yang bernama Ajam hiduplah seorang saudagar
kaya yang sudah memiliki keluarga, ia bernama Khojan Mubarok. Kebahagiaan dari keluarga itu masih terasa kurang lengkap karena mereka belum juga dikaruniai seorang buah hati. Walaupun begitu, sang saudagar tersebut tidak pernah putus asa dan tak pernah lelah untuk memohon kepada Tuhan agar harapannya segera terkabul. Akhirnya penantian yang panjang itu pun akan segera berakhir, karena saat ini istrinya sedang mengandung anaknya dan melahirkan seorang bayi laki- laki yang kemudian diberi nama Khojan Maimun. Maimun tumbuh menjadi seorang anak yang baik hati, saleh, dan juga tidak sombong. Saat usianya sudah menginjak 15 tahun, sang| pemuda ini dinikahkan dengan Bibi Zainab, anak gadis dari seorang saudagar kaya juga. Hatta di suatu hari, Khojan Maimun meminta izin kepada istrinya untuk pergi berlayar. Sebelum ia berangkat, Khojan Maimun membeli sepasang burung bayan jantan dan burung tiung betina.Kemuadian ia berpesan kepada istrinya jika ia sedang menghadapi masalah, sebaiknya dibicarakan saja dengan kedua burung tersebut. Setelah beberapa lama ia ditinggal oleh suaminya, Bibi Zaenab pun merasa sangat kesepian. Hingga pada suatu hari datanglah seorang anak Raja yang terpikat akan kecantikan yang dimiliki oleh Bibi Zaenab dan berniat untuk mendekatinya. Lelaki itu pun kemudian meminta kepada seorang perempuan tua untuk membantunya berkenalan. Bak gayung yang bersambut, ternyata Zaenab pun sudah menaruh hati terhadap laki-laki itu dan mereka pun saling mencintai. Di suatu malam, Bibi Zaenab berencana untuk pergi dengan si anak Raja tersebut, ia pun berpamitan dengan Burung Tiung yang dibelikan oleh suaminya. Burung itu kemudian menasihatinya untuk tidak jadi pergi karena, hal tersebut sudah melanggar aturan dari Allah SWT karena dia sudah memiliki seorang suami. Mendengar hal tersebut, wanita itu akhirnya marah, lalu membanting sangkar burung hingga menyebabkan burung itu mati. Bibi Zaenab kemudian melihat seekor burung bayan yang sedang tertidur. Namun, sebenarnya Burung Bayan itu hanya berpura-pura tidur saja karena, jika dia memberikan jawaban yang sama seperti Burung tiung, maka nyawanya juga akan terancam. Saat Zaenab berpamitan kepada burung itu, Burung Bayan itu pun berkata, “Aduhai Siti yang baik paras, pergilah dengan segeranya mendapatkan anak raja itu. Apapun hamba ini haraplah tuan, jikalau jahat sekalipun pekerjaan tuan, Insya Allah diatas kepala hambalah menanggungnya. Baiklah tuan pergi, karena sudah dinanti anak araja itu. Apatah dicara oleh segala mausia disunia ini selain martabat, kesabaran dan kekayaan? Adapun akan hamba, tuan ini adalah seperti hikayat seekor unggas bayan yang dicabut bulunya oleh tuannya seorang istri saudagar.” Hatta setiap malam, Bibi Zaenab semakin sering pergi untuk bertemu dengan anak Raja tersebut. Setiap kali dia berpamitan dengan Burung Bayan, Burung itu selalu menceritakan sebuah kisah kepadanya. Hingga tak terasa sudah hari ke-24, wanita itupun akhirnya menyadari dan menyesali perbuatannya, ia juga sudah berjanji tidak akan mengulangi hal itu lagi.