Kel 1 Fardas S1-3D - Farmakodinamik
Kel 1 Fardas S1-3D - Farmakodinamik
FARMAKODINAMIK
KELAS : S1-3D
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Farmakologi Dasar
tentang “FARMAKODINAMIK”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibuk
apt. Mira Febrina, M.Sc selaku dosen pengampu karena dengan adanya tugas ini
dapat menambah wawasan kami.
Adapun maksud penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakologi Dasar. Penyusun telah berusaha semaksimal mungkin dalam
penyusunan makalah ini dengan memberikan gambaran secara deskriptif agar mudah
di pahami.
PENDAHULUAN
Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun
untuk tenaga medis, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan
obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu
agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala
penyakit. Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat
kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat. Seiring
berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang
menjadi ilmu tersendiri (Setiawati dkk,1995)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Farmakodinamik
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama
obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel
suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimia dan fisiologi yang merupakan respons yang khas untuk obat tersebut.
Reseptor adalah makromolekul ((biopolimer)khas atau bagiannya dalam
organisme yakni tempat aktif obat terikat. Komponen yang paling penting dalam
reseptor obat adalah protein. struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan
affinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil
dalam molekul obat dapat menimbulkan perubahan yang besar.
Interaksi Obat Reseptor persyaratan untuk obat - reseptor adalah
pembentukan kompleks obat reseptor. apakah kompleks ini terbentuk dan
seberapa besar terbentuknya tergantung pada affinitas obat terhadap reseptor.
kemampuan obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan membentuk kompleks
dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Agonis adalah obat yang memilki baik
afinitas dan aktivitas intrinsik. Pada teori reseptor obat sering dikemukakan
bahwa efek obat hanya dapat terjadi bila terjadi interaksi molekul obat dengan
reseptornya. Lebih mudahnya dirumuskan seperti ini.
Obat (O) + Reseptor (R) --> Kompleks obat reseptor (OR) ---> Efek-Efek
Terapeutik
Protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan
obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau
kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer
dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.
1.Sifat Kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein
( mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.). asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting misalnya untuk sitostatika.iaktan
obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau
kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu
diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lama
kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikian ikatan non
kovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.
2.Hubungan Struktur-Aktivitas
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap
reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat,
misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam
sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas
bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio
terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.
3. Reseptor Fisiologis
Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk
menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler
yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon,
neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang
sesuai (oleh ligand binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh effektor domain
) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar tidak
langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang
dikenal sebagai second messenger.
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan
protein seluler lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan
respons. Contohnya, sistem adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat
siklase sedang kan efektornya mensitesis cAMP sebagai second messenger.
Dalam sistem ini protein G lah yang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan
enzim tersebut. Terdapat dua macam protein G yang satu berfungsi sebagai
penghantaran yang lain berfungsi sebagai penghamabatan sinyal.
Antagonis
Antagonis adalah obat yang berikatan dengan reseptor tanpa mengaktifkan
reseptor tersebut. Antagonis biasanya berikatan melalui ikatan ion, hidrogen,
atau van der Waals sehingga bersifat reversibel. Antagonis menghalangi kerja
agonis dengan mencegah agonis berikatan dengan reseptor sehingga efek obat
tidak bisa dihasilkan.
Antagonisme Farmakodinamik
2 jenis antagonisme :
1. Antagonisme fisiologik
Terjadi pada organ yang sama, tetai ada system reseptor yang
berlainan.
Misal : efek bronkokonstriksi histamine dapat dilawan dengan adrenalin
yang bekerja pada adrenoreseptor beta.
2. Antagonisme pada reseptor
Terjadi melalui system reseptor yang sama. Antagonis mengikat
reseptor di tempat ikatan agonis sehingga terjadi antagonisme antara
agonis dengan antagonisnya. Misalnya, efek histamin yang dilepaskan
dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang
menduduki reseptor yang sama.
2. Antagonism Non-Kompetatif
Antagonis non kompetitif terjadi bila setelah pemberian antagonis,
konsentrasi agonis yang tinggi sekalipun tetap tidak mampu melampaui
antagonis. Hal ini bisa dikarenakan agonis berikatan secara ireversibel
dengan reseptor, atau agonis tersebut berikatan di lokasi yang berbeda pada
molekul dan interaksinya bersifat alosterik (berdasarkan perubahan pada
bentuk dan aktivitas reseptor)
c. antagonism non-kompetitif
agonis dan antagonis berikatan ada waktu yang bersamaan, pada daerah
selain reseptor.
Contoh: aksi papaverin terhada histamine ada reseptor histamine-1 otot
polos trakea.
Interaksi obat yang umu terjadi adalah sinergisme antara 2 obat yang
bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek
farmakologi yang sama. Sebaliknya antagonisme terjadi bila obat yang
berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini
mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih
obat. (Fradgley, 2003)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan
fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.
2. Antagonisme merupakan respon obat yang tidak menimbulkan efek,
dikarenakan adanya obat lain yang dapat menghilangkan zat aktif dari
obat tersebut. Namun ada beberapa obat yang dapat bekerja pada tempat
yang sakit atau efek yang diinginkan dengan cara mengurangi kadar obat
yang satunya. Contohnya yaitu obat emberian Na-bikarbonat untuk
alkalinisasi urine pada keracunan fenobarbital
DAFTAR PUSTAKA
Ciraulo, D. A., Shader, R. I., Greenblatt, D. J., Greelman, W., 2006. Drug
Interactions in Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelpia.