Anda di halaman 1dari 16

FARMAKOLOGI DASAR

FARMAKODINAMIK

Dosen Pengampu : apt. Mira Febrina, M.Sc

Disusun Oleh Kelompok 1 :

1. Aulia Amarizka : 2101172


2. Marta Dila Putri : 2101185
3. Mukhairani Azmi : 2101187
4. Ril Aisyah Nurhawa : 2101194
5. Ristyva Aliyda : 2101195
6. Siti Aysiah : 2101204
7. Wilda Silviana : 2101212
8. Winda Asda Aisyah : 2101213

KELAS : S1-3D

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

PEKANBARU

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Farmakologi Dasar
tentang “FARMAKODINAMIK”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibuk
apt. Mira Febrina, M.Sc selaku dosen pengampu karena dengan adanya tugas ini
dapat menambah wawasan kami.
Adapun maksud penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakologi Dasar. Penyusun telah berusaha semaksimal mungkin dalam
penyusunan makalah ini dengan memberikan gambaran secara deskriptif agar mudah
di pahami.

Namun penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, maka dari pada itu penyusun memohon saran dan arahan yang
sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah ini di masa akan datang dan
penyusun berharap makalah ini bermanfaat bagi semua pihak
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun
untuk tenaga medis, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan
obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu
agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala
penyakit. Farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat
kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat. Seiring
berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang
menjadi ilmu tersendiri (Setiawati dkk,1995)

Cabang farmakologi diantaranya farmakognosi ialah cabang ilmu


farmakologi yang memepelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang
merupakan sumber obat, farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara membuat,
memformulasikan, menyimpan, dan menyediakan obat. farmakologi klinik ialah
cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia. farmakoterapi
cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan
pengobatan penyakit, toksikologi ialah ilmu yang mempelajari keracunan zat
kimia, termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, pestisida dan lain-
lain serta farmakokinetik ialah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat
dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya dan
farmakodinamik yang mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia
berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Pada penulisan makalah ini akan
di bahas tentang aspek farmakologi yaitu farmakodinamik.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa itu farmakodinamik.
2. Untuk mengetahui sisi aksi obat, mekanisme aksi obat, reseptor site, agonis
dan antagonis, terapeutik indeks, dan efek samping obat
3. Untuk mengetahui nasib obat di dalam tubuh melalui absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresinya
4. Untuk mengetahui efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ
tubuh serta mekanismenya.

1.3 Manfaat Penulisan


1. Sebagai khazanah ilmu pengetahuanMeningkatkan motivasi belajar bagi
2. Menambahkan pola berfikir kritis dan instruktif bagi mahasiswa

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Farmakodinamik

Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan


fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. (Setiawati dkk,1995)

Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama
obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spectrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini
merupakan dasar terapi nasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari efek-efek biokimiawi dan


fisiologi obat serta mekanisme kerja obat tersebut didalam tubuh. (Gunawan,
2009).
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat adalah:
1. Meneliti efek utama obat.
2. Mengetahui interaksi obat dengan sel.
3. Mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel
suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimia dan fisiologi yang merupakan respons yang khas untuk obat tersebut.
Reseptor adalah makromolekul ((biopolimer)khas atau bagiannya dalam
organisme yakni tempat aktif obat terikat. Komponen yang paling penting dalam
reseptor obat adalah protein. struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan
affinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil
dalam molekul obat dapat menimbulkan perubahan yang besar.
Interaksi Obat Reseptor persyaratan untuk obat - reseptor adalah
pembentukan kompleks obat reseptor. apakah kompleks ini terbentuk dan
seberapa besar terbentuknya tergantung pada affinitas obat terhadap reseptor.
kemampuan obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan membentuk kompleks
dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Agonis adalah obat yang memilki baik
afinitas dan aktivitas intrinsik. Pada teori reseptor obat sering dikemukakan
bahwa efek obat hanya dapat terjadi bila terjadi interaksi molekul obat dengan
reseptornya. Lebih mudahnya dirumuskan seperti ini.
Obat (O) + Reseptor (R) --> Kompleks obat reseptor (OR) ---> Efek-Efek
Terapeutik

Tidak semua obat bersifat betul-betul menyembuhkan penyakit, beberapa obat


memang dibuat hanya untuk meniadakan atau meringankan gejala suatu penyakit.
Berikut ini adalah tiga jenis terapi obat:
1. Terapi Kausal, obat yang berfungsi untuk memusnahkan penyebab penyakit,
obat inilah yang digunakan untuk menyembuhkan penderita dari penyakit.
contoh obat dengan terapi kausal adalah antibiotik, anti malaria dan lain-lain.
2. Terapi simptomatis, obat ini berguna untuk meringankan gejala dari suatu
penyakit. contoh obat jenis ini adalah analgesik, antipiritik, anti emetik dan
sebagainya.
3. Terapi subtitusi, obat yang digunakan untuk menggantikan zat yang lazim
diproduksi oleh tubuh. misal insulin pada penderita diabetes, hormon estrogen
pada pasien hipo fungsi ovarium dan obat-obat hormon lainnya.

2.2 Sisi Aksi Obat


Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang dapat mempengaruhi efek
dari salah satu obat. Interaksi ini dapat menimbulkan efek sinergi dan antagonis
karena memiliki mekanisme aksi sama (Ismail et al., 2013). Interaksi
farmakodinamik sinergi adalah apabila dua obat atau lebih digunakan secara
bersamaan dapat memberikan efek sinergi atau memberikan efek yang lebih
menguntungkan daripada penggunaan tunggal. Sebagai contoh adalah pemberian
dua obat yang bersifat sedatif-hipnotik seperti benzodiazepin dan antihistamin.
Efek sedasi dan depresi SSP lebih meningkat daripada penggunaan tunggal.
Tetapi walaupun menguntungkan, tetap dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan, maka penggunaan kombinasi harus secara tepat, hati-hati, dan terus
dikontrol.
Interaksi farmakodinamik antagonis terjadi ketika efek farmakologis dari
salah satu obat berkurang karena penggunaan obat secara bersamaan, tanpa
menurunkan kadar obatnya di dalam darah. Mekanisme interaksi farmakodinamik
adalah dengan menempati sisi reseptor antagonis, sehingga tidak akan
menimbulkan efek farmakodinamik, namun menghalangi agonis endogen untuk
menempati reseptor dan menimbulkan efek farmakodinamik. Contoh interaksi ini
adalah kombinasi antara TCA dan guanetidin sebagai antihipertensi yang dapat
berakibat pada penurunan efikasi teraupetik.
Mekanisme aksi TCA adalah menghambat reuptake neurotransmitter pada
sinapsis noradrenergik. Sisi aksi guanetidin adalah pada presinap adrenergik
neuron dimana aksinya adalah mengganti katekolamin yang berisi gelembung dari
native neurotransmitter, sehingga dapat menimbulkan efek antihipetensi.
Transporter yang dimediasi oleh reuptake norepineprin dihambat oleh TCA.
Sehingga, guanetidin tidak dapat menjangkau sisi aksi yang membuatnya tidak
aktif lagi sebagai antihipertensi. (Ciraulo et al., 2006)

2.3 Mekanisme Aksi Obat


kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya
pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya dapat menimbulkan
perubahan dan biokimiawi yang merupakan respon khas dari obat tersebut. Obat
yang efeknya menyerupai senyawa endogen di sebut agonis, obat yang tidak
mempunyai aktifitas intrinsic sehingga menimbulkan efek dengan menghambat
kerja suatu agonis disebut antagonis.
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan resptor pada sel
suatu organisme. interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut.
Reseptor obat mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah
kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak
berlaku bagi terapi gen secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang,
setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat,
tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk
ligand endrogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai
senyawa endrogen disebut agonis. Sebaiknya, senyawa yang tidak mempunyai
aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis ditempat
ikatan agonis (agonist bind-ing site) disebut antagonis.

2.4 Reseptor Site

Protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan
obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau
kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer
dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.

1.Sifat Kimia
Komponen yang paling penting dalam reseptor obat ialah protein
( mis.asetilkoli nesterase, na+ K+ -A Tpase, Tubulin, dsb.). asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting misalnya untuk sitostatika.iaktan
obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik,van der walls, atau
kovalen, tetapi umumnya merupakan campuran berbagai ikatan diatas. Perlu
diperhatikan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang kuat sehingga lama
kerja obat sering kali, tetapi tidak selalu panjang. Walaupun demikian ikatan non
kovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.

2.Hubungan Struktur-Aktivitas
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap
reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat,
misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam
sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas
bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio
terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.

3. Reseptor Fisiologis
Istilah reseptor sebagai makro molekul seluler tempat terikatnya obat untuk
menimbulkan respons telah diuraikan diatas. Tetapi terdapat juga protein seluler
yang berfungsi sebagai reseptor fisiologik, bagi ligand endogen seperti hormon,
neurotransmitor, dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi lipatan ligand yang
sesuai (oleh ligand binding domain ) dan penghantar sinyal ( oleh effektor domain
) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intra sel atau secar tidak
langsung memulai sintesis maupun penglepasan molekul intrasel lain yang
dikenal sebagai second messenger.
Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan
protein seluler lain membentuk sistem resptor-efektor seluler lain menimbulkan
respons. Contohnya, sistem adenilat siklase : reseptor mengatur aktivitas adenilat
siklase sedang kan efektornya mensitesis cAMP sebagai second messenger.
Dalam sistem ini protein G lah yang berfungsi sebagai perantara reseptor dengan
enzim tersebut. Terdapat dua macam protein G yang satu berfungsi sebagai
penghantaran yang lain berfungsi sebagai penghamabatan sinyal.

2.5 Agonis dan Antagonis


Agonis
Obat yang mengaktifkan reseptor dengan berikatan dengan reseptor
tersebut disebut agonis. Sebagian besar agonis berikatan melalui ikatan ion,
hidrogen, dan van der Waals (jumlah gaya tarik dan dorong antara molekul).
Ikatan-ikatan ini bersifat reversibel. Sedangkan sebagian kecil agonis
berikatan dengan reseptor secara kovalen, dan ikatan ini bersifat ireversibel.
Reseptor sering digambarkan sebagai protein yang bisa berikatan ataupun
tidak berikatan dengan ligan agonis. Ketika reseptor berikatan dengan ligan
agonis, maka akan menghasilkan efek obat. Ketika tidak berikatan, maka efek
obat tidak akan muncul.
Keadaan reseptor dibagi menjadi berikatan dan tidak berikatan, yang
masing-masing menghasilkan bentuk yang berbeda. Agonis secara sederhana
sering digambarkan sebagai pengaktif reseptor. Dalam hal ini, besarnya efek
obat tergantung dari total jumlah reseptor yang terikat. Sehingga efek obat
paling maksimal terjadi ketika semua reseptor terikat.

Antagonis
Antagonis adalah obat yang berikatan dengan reseptor tanpa mengaktifkan
reseptor tersebut. Antagonis biasanya berikatan melalui ikatan ion, hidrogen,
atau van der Waals sehingga bersifat reversibel. Antagonis menghalangi kerja
agonis dengan mencegah agonis berikatan dengan reseptor sehingga efek obat
tidak bisa dihasilkan.
Antagonisme Farmakodinamik
2 jenis antagonisme :
1. Antagonisme fisiologik
Terjadi pada organ yang sama, tetai ada system reseptor yang
berlainan.
Misal : efek bronkokonstriksi histamine dapat dilawan dengan adrenalin
yang bekerja pada adrenoreseptor beta.
2. Antagonisme pada reseptor
Terjadi melalui system reseptor yang sama. Antagonis mengikat
reseptor di tempat ikatan agonis sehingga terjadi antagonisme antara
agonis dengan antagonisnya. Misalnya, efek histamin yang dilepaskan
dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang
menduduki reseptor yang sama.

1. Mekanisme Antagonis Kompetitif


Antagonis kompetitif terjadi saat konsentrasi antagonis meningkat dan
menghambat respon agonis secara progresif. Dalam hal ini, antagonis
mengikat reseptor ditempat ikatan agonis (receptor site atau active site )
secara reversible sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan
demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar
agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, dierlukan
kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti
afinitas agonis terhadap reseptornya menurun. Contoh antagonis kompetitif
adalah β˗bloker dan antihistamin.
Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor di temat lain dari
reseptor site agonis dan menyebabkan perubahan konformasi reseptor
sedemikian sehingga afinitas terhadap agonisnya menurun. Jika penurunan
afinitas agonis ini dapat diatasi dengan meningkatkan dosis agonis, maka
keadaan ini tidak disebut antagonisme kompetitif, tetapi disebut
kooperativitas negatife

2. Antagonism Non-Kompetatif
Antagonis non kompetitif terjadi bila setelah pemberian antagonis,
konsentrasi agonis yang tinggi sekalipun tetap tidak mampu melampaui
antagonis. Hal ini bisa dikarenakan agonis berikatan secara ireversibel
dengan reseptor, atau agonis tersebut berikatan di lokasi yang berbeda pada
molekul dan interaksinya bersifat alosterik (berdasarkan perubahan pada
bentuk dan aktivitas reseptor)

Contoh Peristiwa ANTAGONISME


Menurut mekanisme terjadinya, antagonisme dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. antagonisme kimiawi
antagonisme yang terjadi pada 2 senyawa yang mengalami reaksi kimia
pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan efek obat berkurang.
Contoh : tetrasiklin mengikat secara kelat logam-logam bervalensi 2 dan 3
(Ca, Mg, Al) → efek obat berkurang
b. antagonisme farmakokinetik
antagonisme ini terjadi jika suatu senyawa secara efektif menurunkan
konsentrasi obat dalam bentuk aktifnya pada sisi aktif reseptor.

Contoh : fenobarbital → induksi enzim pemetabolisme warfarin →


konsentrasi warfarin berkurang → efek berkurang.

c. antagonism non-kompetitif
agonis dan antagonis berikatan ada waktu yang bersamaan, pada daerah
selain reseptor.
Contoh: aksi papaverin terhada histamine ada reseptor histamine-1 otot
polos trakea.

2.6 Indeks Terapeutik


Indeks terapeutik adalah rasio antara LD50 dan ED50 (LD50/ED50).
Semakin luas indeks terapeutik suatu obat, maka akan semakin aman
obat tersebut untuk pemberian klinis. Hubungan antara ED50, LD50,
dan indeks terapeutik ditunjukkan oleh gambar :

Perhitungan klasik dari LD50 tidak secara klinis sangat membantu


dalam anestesia dimana kita mengharapkan 100% dari pasien untuk
tertidur dan tidak ada yang meninggal. Rasio yang lebih efektif adalah
rasio LD1/ED99. Rasio tersebut menunjukkan margin keamanan yang
jauh lebih kecil dan sebenarnya terbalik yang berarti bahwa terdapat
risiko kematian yang cukup besar, bahkan pada dosis subterapeutik di
beberapa individu. Obat-obatan anestetik secara unik menurunkan rasio
terapeutik, sehingga memerlukan kewaspadaan yang besar dalam
penggunaannya.

2.7 Efek Samping Obat


Interaksi farmakodinamik terjadi antara obat-obatan yang mempunyai
efek samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan
oleh kompetisi pada reseptor yang sama atau terjadi antara obat-obatan
yang bekerja pada sistem fisiologi yang sama.
Menurut Stockley et al (2003) kemungkinan efek yang dapat terjadi
pada interaksi farmakodinamik antara lain :
1) Sinergisme atau penambahan efek satu atau lebih obat
2) Efek antagonisme satu atau lebih obat
3) Penggantian efek satu atau lebih obat

Interaksi obat yang umu terjadi adalah sinergisme antara 2 obat yang
bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek
farmakologi yang sama. Sebaliknya antagonisme terjadi bila obat yang
berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini
mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih
obat. (Fradgley, 2003)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan
fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.
2. Antagonisme merupakan respon obat yang tidak menimbulkan efek,
dikarenakan adanya obat lain yang dapat menghilangkan zat aktif dari
obat tersebut. Namun ada beberapa obat yang dapat bekerja pada tempat
yang sakit atau efek yang diinginkan dengan cara mengurangi kadar obat
yang satunya. Contohnya yaitu obat emberian Na-bikarbonat untuk
alkalinisasi urine pada keracunan fenobarbital
DAFTAR PUSTAKA

Ciraulo, D. A., Shader, R. I., Greenblatt, D. J., Greelman, W., 2006. Drug
Interactions in Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelpia.

Fradgley, S. 2003. InteraksiObatdalamAslam, M, Tan., C. K., dan Prayitno.,


FarmasiKlinis 120-130. Jakarta :PT Elex Media KomputindoGramedia.

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta:


Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ismail, M., Iqbal, Z., Khan, M. I., Javaid, A., Arsalan, H., Farhadullah, Khan, J,
A., 2013. Frequency, Levels and Predictors of Potential Drug-Drug
Interactions in a Pediatrics Ward of a Teaching Hospital in Pakistan.
Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 12(3), 401–406.

Setiawati dkk. Pengantar Farmakologi dalam farmakologi dan terapi edisi 4.


Jakarta. Gaya Baru:1995    
Stockley, I, H., and Lee, A. 2003. Drug Interaction, in: Walker, R, and Edwark,
C., Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third Edition.London :Churcill
Livingstone.

Anda mungkin juga menyukai