Anda di halaman 1dari 4

Perkembangan Ajaran Melawan Hukum dan Pembalikan Beban Pembuktian.

Sifat melawan
hukum dikenal secara formil dan materiil dan pembalikan beban beban pembuktian merupakan
upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada terdakwa memberikan keterangan mengenai
asal usul harta kekayaan yang ada sangkut paut dengan yang diperkarakan.

Pertanyaan:

1. Bierikan analisis mengenai  arti atau makna dari pengertian ‘melawan hukum’ dalam
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 003/PUU-IV/2006 dan berikan analisis mengenai  dasar pertimbangan MK atas
putusan dimaksud.

melalui putusannya nomor 003/PUU-IV/2006 telah memutuskan untuk menyatakan


sebuah kalimat dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor (31/99) bertentangan
dengan konstitusi. Kalimat tersebut berbunyi: “Yang dimaksud dengan “secara melawan
hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun
dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.” Adapun pertimbangan pokok mengapa menurut MK
kalimat penjelas dari apa yang dimaksud dari “secara melawan hukum” dari Pasal 2 Ayat
(1) bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D Ayat (1) adalah sebagai berikut:
Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan
Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru,
yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang
secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Penjelasan yang
demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai
jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seolah-olah
telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana
(wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat
moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu
daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan
perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan
yang melawan hukum; Sedangkan dalam konteks pidana perbuatan melawan
hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang dilakukan di
luar kekuasaan atau kewenangannya serta perbuatan yang melanggar asas-asas umum
dalam lapangan hukum. Bahwa di dalam sistem peradilan pidana Indonesia khususnya
dalam mengatatur dan menjelaskan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi pada
awalnya adalah melawan hukum secara formil dan materiil. Setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUUIV/2006 tanggal 24 Juli 2006 yang pada intinya
membatalkan pengertian Pasal 2 .ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 yang
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka hakim dalam menafsirkan melawan hukum hanya secara
formil saja.Pengertian melawan hukum secara formil adalah suatu perbuatan itu bersifat
melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik
dalam Undang-Undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan
atau bertentangan dengan Undang-Undang. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia
seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan pengertian melawan hukum secara
materiil dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah
dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.Karena sifat dari hukum materiil itu adalah sangat erat dengan Pasal 5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Oleh karena itu adanya sifat melawan hukum secara materiil mewajibkan
hakim untuk menggali semua peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat, dan pendekatan yang digunakan hakim dalam memeriksa
kasus korupsi harus menggunakan pendekatan hukum progresif (hukum yang tidak hanya
tertuilis namun semua hukum yang tumbunh dan berkembang di masyarakat), karena
mengingat tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahataan yang bersifat extraordinary
crime sehingga mebutuhkan suatu penemuan hukum yang baru juga. Menurut sata
Meskipun Hakim sudah mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi dalam merumuskan
unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi, namun penerapannya kurang tepat
dan cermat.Seharusnya Majelis hakim lebih memperhatikan adanya suatu delik formil
sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, dimana maksud dari delik tersebut
adalah suatu perbuatan tidak perlu melihat akibat yang terjadi terbukti tanpa melihat
seberapa besar atau kecil uang atau dana atau baya suatu pekerjaan yang menyangkut
kebutuhan masyarakat dengan menggunakan dana dari Negara dan atau Pemerintah.
Majelis Hakim haruslebih teliti dalam melihat fakta-fakta dalam persidangan, seperti
keterangan saksi ahli yang hanya dimasukkan sepotong-potong dan tidak lengkap dalam
pertimbangan hakim, dan majelis hakim lebih mempertimbangkan keterangan dari saksi
ahli yang pada hakikatnya saksi ahli mengerti apa yang terjadi dalam perkara tersebut,
yang dikaitkan dengan kapasitas keilmuan dan pengetahuan saksi ahli.

2. Bagaimana pendapat saudara apakah sistem pembalikan beban pembuktian melanggar


asas presumption of innocence?

Dalam hal pembalikan beban pembuktian yang terdapat pada undang-undang korupsi


sangatlah berbeda dengan pembuktian secara negatif yang terdapat didalam KUHP.
Sehingga sangatlah rawan melanggar asas praduga tak bersalah ( presemption
of innocence ) dan asas mempersalahkan diri sendiri ( non self incrimination ). suasana
peradilan yang bebas yang dilandasi dengan asas praduga tak bersalah dapat terganggu
oleh keterangan terdakwa mengenai dari mana harta kekayaannya diperoleh dan
dikhawatirkan keputusan yang diambil tidak berdasarkan pertimbangan yang rasional.
Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi diterapkan dua
jenis sistem pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun
1999 dan KUHAP. Kedua teori ini menerapkan Hukum pembuktian dilakukan dengan
cara menerapkan pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang
dan menggunakan sistem pembuktian negatif menurut Undang-undang (Negative
Wettelijk Overtuinging). Tidak menerapkan teori pembalikan beban pembuktian murni
(zivere oms keering bewijstlast), tetapi teori pembalikan beban pembuktian terbatas dan
berimbang. Pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang yakni
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi
dan wajib memberikan keterangan mengenai seluruh harta benda setiap orang atau
koorporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dengan
Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

3. Apakah dengan penerapan pembalikan beban pembuktian dapat memberikan efek jera
dan menurunkan perilaku korupsi, Berikan argumentasi dan analisis!

Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau sistem Pembuktian Terbalik dalam istilah
lain disebut juga omkering van het bewijslast (Belanda) atau reversal borden of proof
(Inggris) ini merupakan adopsi dari negara anglo-saxon, seperti Inggris, Singapura dan
Malaysia. Di Indonesia, pengkajian terhadap sistem atau teori Pembalikan Beban
Pembuktian ini memiliki manfaat yang sangat komprehensif, sebab salah satu hambatan
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sulit dilakukannya pembuktian terhadap
para pelaku tindak pidana korupsi. Atas dasar penelitian akademis dan praktis, maka
maksud diberlakukannya asas ini tidak dalam konteks total dan absolut, tetapi pendekatan
komparatif negara yang memberlakukan asas ini.5 Sistem Pembalikan Beban Pembuktian
ini tidak pernah ada yang bersifat total absolut, artinya hanya dapat diterapkan secara
terbatas yaitu terhadap delik yang berkenaan dengan “âîÉñã‘ãÖÉñãëê” (pemberian) yang
berkaitan dengan suap (“bribery”). pembuktian terbalik menurut bunyi Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :

1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak


pidana korupsi.

2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya.

3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.

5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Menurut saya pidana korupsi di Indonesia sampai saat ini masih tetap terjadi; malah
dengan intensitas yang makin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Dengan demikian bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 37 sebagai alat
dalam memberantas tindak pidana korupsi belum efektif. Bahwa untuk mencegah dan
mengatasi tindak pidana korupsi di Indonesia serta untuk menghilangkan tindak pidana
korupsi, paling tidak mengurangi kualitas maupun kuantitasnya, maka tidak cukup
dilakukan pendekatan secara yuridis, tapi juga pendekatan sosiologis dan politis.
Khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi sistem hukum acara pidana untuk
penanganan dan penyelesaiannya harus seefektif mungkin diterapkan. Tidak cukup
dengan menggunakan sistem pembuktian yang konvensional tetapi nampaknya harus
digunakan sistem pembuktian terbalik murni. Namun demikian pemberlakuan sistem
pembuktian terbalik murni – pure reversal borden of proof akan menimbulkan
pelanggaran terhadap asas hukum praduka tak bersalah, non-self incrimination,
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan hak tidak untuk bungkam, juga akan
menimbulkan chaos birokrasi. Karena pemberlakuan sistem pembuktian terbalik murni –
pure reversal borden of proof akan menimbulkan pelanggaran terhadap asas hukum
praduka tak bersalah, non-self incrimination, pelanggaran terhadap hak asasi manusia,
dan hak tidak untuk bungkam, juga akan menimbulkan chaos birokrasi, maka
pemberlakuannya dalam waktu dekat perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan dengan
matang dan penuh perhitungan terutama dari tinjauan politis

Anda mungkin juga menyukai