Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“KODE ETIK PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING”

Oleh:
TITIN. KS 210404502037
RISMA TANGKE ALLO 210404501017
TITIN WIRATNI 210404502025

Dosen Pengampu:
Dr. H. Abdullah Pandang, M.Pd
Sahril Buchori, S.Pd.,M.Pd

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING


JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala nikmat dan Karunia-Nya,
sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai pelengkap tugas perkuliahan pada
mata kuliah Profesi BK. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung Penyusun untuk menyelesaikan tugas ini. Ucapan terima kasih tidak lupa
Penyusun haturkan kepada bapak Dr. H. Abdullah Pandang, M.Pd dan bapak Sahril
Buchori, S.Pd.,M.Pd. sebagai dosen pengampu mata kuliah ini.

Penulis telah berusaha menyusun tugas ini dengan sebaik mungkin. Namun. tentunya
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini. Sehingga. dengan
segala kerendahan hati Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan serta informasi yang
bermanfaat bagi semua pihak. khususnya bagi Penulis pribadi.

Makassar, 15 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
A. Pengertian Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling ..................................................... 5
B. Tujuan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling ........................................................... 7
C. Peran Kode Etik Profesi Bimbingan Dan Konseling ............................................................. 8
D. Perkembangan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling .............................................. 9
E. Permasalahan dalam Penerapan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling .............. 11
BAB III................................................................................................................................................. 13
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 13
B. Saran ........................................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti layaknya sebuah pembelajaran bimbingan dan konseling juga membutuhkan apa
yang dinamakan setrategi dalam pelaksanaanya. Dalam hal untuk mengetahui strategi apa yang
tepat untuk digunakan kepada seorang yang hendak dibimbing (konseli) itulah seorang yang
hendak membimbing (konselor) membutuhkan kode etik untuk menjalankan profesinya
tersebut.

Dalam masalah bimbingan dan konseling kode etik sangat dibutuhkan. kode etik
dibutuhkan ketika seseorang (konselor) hendak membimbing seorang atau individu (konseli)
kearah pengembangan pribadinya. peran kode etik yaitu sebagai acuan dan tuntunan dalam
memberikan masukan-masukan kepada konseli agar masukan yang diberikan oleh konselor
tidak menyelewwng atau keluar dari aturan-aturan, norma-norma yang berlaku dimasyarakat
maupun di kalangan konselor sendiri.

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis dalam makalah ini mengkaji materi dengan
judul “Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun pokok permasalahan yang akan dikaji sebagai
berikut:

1. Bagaimana Pengertian Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling


2. Apa Tujuan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
3. Bagaimana Peran Kode Profesi Etik Bimbingan dan Konseling
4. Bagaimana Perkembangan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
5. Apa Permasalahan dalam Penerapan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan Pengertian Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
2. Menganalisis Tujuan dan Peran Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
3. Mengetahui Peran Kode Etik Profesi Bimbingan Dan Konseling
4. Memahami Perkembangan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling
5. Mengetahui Permasalahan dalam Penerapan Kode Etik Profesi Bimbingan dan
Konseling
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling

Kata ”etika” dalam bahasa Inggris ”ethics” artinya ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak; hal tingkah laku dan kesusilaan. Dalam bahasa Yunani kuno ”Ethos” berarti timbul
dari kebiasaan adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi
studi mengenai standar dan penilaian moral. Namun dalam bahasa Indonesia etik dan etika
diartikan berbeda. Kata ”etik” mempunyai dua arti yaitu 1) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan ahlak; 2) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Sementara etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak).

Kode etik bimbingan dan konseling adalah ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan


yang harus ditaati oleh siapa saja yang ingin berkecimpung dalam bidang bimbingan dan
konseling demi untuk kebaikan.

Konseling merupakan proses pelayanan bantuan yang pelaksanaannya didasarkan atas


keahlian. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konseling tidak bisa dilaksanakan secara
asal-asalan, namun harus ada keterampilan khusus yang dimiliki konselor. Keterampilan
tersebut tidak terbatas hanya pada kompetensi profesional, dalam artian bagaimana konselor
mampu memahami teoritis pelayanan konseling dan menerapkannya, namun lebih luas seorang
konselor harus memenuhi dirinya dengan kompetensi pribadi, sosial, dan pedagogik.

Berdasarkan karakteristik seperti yang telah dikemukakan di atas, maka setiap praktisi
bimbingan dan konseling dalam melaksanakan tugasnya harus diiringi etika-etika khusus.
Etika dalam proses konseling disusun dalam bentuk kode etik profesi sehingga mudah
dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh konselor. Menurut Sunaryo Kartadinata (2011:15)
kode etik profesi adalah regulasi dan norma perilaku profesional yang harus diindahkan oleh
setiap anggota profesi dalam menjalankan tugas profesi dan dalam kehidupannya di dalam
masyarakat. Menurut Abkin (2006:94) kode etik merupakan suatu aturan yang melindungi
profesi dari campur tangan pemerintah, mencegah ketidaksepakatan internal dalam suatu
profesi, dan melindungi atau mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malpraktik.
Selanjutnya Abkin (2006:92) mengemukakan bahwa kekuatan dan eksistensi suatu profesi
muncul dari kepercayaan publik. Etika konseling harus melibatkan kesadaran dan komitmen
untuk memelihara pentingnya tanggungjawab melindungi kepercayaan klien.
Abkin (2006:94) mengemukakan bahwa penegasan identitas profesi Bimbingan dan
Konseling harus diwujudkan dalam implementasi kode etik dan supervisinya. Sunaryo
Kartadinata (2011:15) menjelaskan bahwa penegakan dan penerapan kode etik bertujuan
untuk: (1) menjunjung tinggi martabat profesi; (2) melindungi masyarakat dari perbuatan
malpraktik; (3) meningkatkan mutu profesi; (5) menjaga standar mutu dan status profesi, dan
(6) penegakan ikatan antara tenaga profesi dan profesi yang disandangnya.

Kode Etik Bimbingan dan Konseling di Indonesia sebagaimana disusun oleh ABKIN
(2006:69) memuat hal-hal berikut:

1. Kualifikasi; bahwa konselor wajib memiliki a) nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan


dan wawasan dalam bidang Bimbingan dan Konseling, b) memperoleh pengakuan atas
kemampuan dan kewenangan sebagai Konselor.
2. Informasi, testing dan riset; a) penyimpanan dan penggunaan informasi, b) testing,
diberikan kepada Konselor yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya, c)
riset, menjaga prinsip-prinisp sasaran riset serta kerahasiaan.
3. Proses pada pelayanan; a) hubungan dalam pemberian pada pelayanan, b) hubungan
dengan klien.
4. Konsultasi dan hubungan dengan rekan sejawat atau ahli lain; a) pentingnya berkonsultasi
dengan sesama rekan sejawat; b) alih tangan kasus apabila tidak dapat memberikan
bantuan kepada klien tersebut
5. Hubungan kelembagaan; memuat mengenai aturan pelaksanaan layanan konseling yang
berhubungan dengan kelembagaan
6. Praktik mandiri dan laporan kepada pihak lain; 1) konselor praktik mandiri, menyangkut
aturan dalam melaksanakan konseling secara private, 2) laporan kepada pihak lain.
7. Ketaatan kepada profesi, 1) pelaksanaan hak dan kewajiban, serta 2) pelanggaran
terhadap kode etik.

Selanjutnya Uman Suherman (2007) menegaskan bahwa seorang konselor hendaknya


menunjukkan sikap dan perilaku sebagai berikut: (1) berusaha meciptakan suasana dan
hubungan konseling yang kondusif; (2) berusaha menjaga sikap objektif terhadap klien; (3)
mengekplorasi faktor penyebab masalah-masalah psikologis, baik masa lalu maupun masa
kini; (4) menentukan kerangka rujukan atau perangkat kognitif terhadap kesulitan klien dengan
cara yang dapat dimengerti klien; (5) konseling memiliki strategi untuk mengubah kembali
perilaku salah suai, keyakinan irasional, gangguan emosi dan menyalahkan diri sendiri; (6)
mempertahankan transfer pemahaman tentang perilaku baru yang diperlukan klien dalam
kehidupan sehari-harinya; (7) menjadi model atau contoh sosok yang memiliki sikap sehat dan
normal; (8) menyadari kesalahan yang pernah dibuat dan resiko yang dihadapi; (9) dapat
dipercaya dan mampu menjaga kerahasiaan; (10) memiliki orientasi diri yang selalu
berkembang; dan (11) ikhlas dalam menjalankan profesinya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dipahami bahwa seorang konselor tidak
hanya dituntut secara teknis menguasai keseluruhan aspek teoritis dan praktis Bimbingan dan
Konseling, namun juga harus memiliki segenap aspek kepribadian yang positif. Setiap
pelanggaran terhadap kode etik dapat menyebabkan kerugian bagi diri konselor sendiri maupun
pihak yang dilayani. Bahkan Abkin menegaskan bahwa setiap pelanggaran terhadap kode etik
akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia.

B. Tujuan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling

Tujuan adanya kode etik profesi adalah untuk anggota dan organisasi profesi itu sendiri.
Secara umum, menurut R. Hermawan S (1979) dalam Soetjipto & Raflis Kosasi (2011: 31-31)
tujuan kode etik profesi yaitu:

1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi, dalam hal ini kode atik dapat menjaga
pandangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai
memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahtraan para anggotanya, yang dimaksud dari
kesejahtraan disini meliputi baik kesejahtraan lahir (material) maupun kesejahtraan batin
(spiritual atau mental)
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi, tujuan lain kode etik dapat juga
berkaitan dengan peningkatan kegiatan pegabdian profesi, sehingga bagi para anggota
profesi dapat lebih mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam
melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan
yang perlu dilakukan para anggota profesi dalam menjalankan tugasnya.
4. Untuk mmeningkatkan mutu profesi, untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga
memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk
meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota
untuk aktif berpartisipasi kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam
membina organisasi profesi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.

Menurut ABKIN (2010: 2-3) kode etik profesi bimbingan dan konseling Indonesia
memiliki lima tujuan, yaitu:

1. Memberikan panduan perilaku yang berkarakter dan professional bagi anggota organisasi
dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling.
2. Membantu anggota organisasi dalam membangun kegiatan pelayanan yang professional.
3. Mendukung misi organisasi profesi, yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN)
4. Menjadi landasan dan arah dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang
dating dari dan mengenal diri anggota profesi
5. Melindungi anggota asosiasi dan sasaran layanan atau konseling.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan kode etik profesi bimbingan
dan konseling adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi bimbingan dan konseling,
membantu menjaga dan memelihara kesejahtraan anggota profesi bimbingan dan konseling
dalam membangun kegiatan pelayanan yang professional, memberikan panduan perilaku yang
berkarakter dan professional bagi anggota profesi dalam meningkatkan mutu organisasi
profesi, yaitu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia, dan melindungi anggota profesi
dan sasaran layanan atau konseli dengan meningkatkan layanan diatas keuntungan pribadi.

C. Peran Kode Etik Profesi Bimbingan Dan Konseling

Pentingnya kode etik profesi bimbingan dan konseling bagi seorang konselor dalam
menjalankan tugasnya menurut Mungin Eddy Wibowo (2005: 53), yaitu:

1. Memberikan pedoman etis/moral berperilaku waktu mengambil keputusan bertindak


menjalankan tugas profesi konseling
2. Memberikan perlindungan kepada konseli (individu pengguna)
3. Mengatur tingkah laku pada waktu menjalankan tugas dan mengatur hubungan konselor
dengan konseli, rekan sejawat, dan tenaga-tenaga professional yang lain, atasan,
Lembaga tempat bekerja.
4. Memberikan dasar untuk melakukan penilaian atas kegiatan professional yang
dilakukannya
5. Menjaga nama baik profesi terhadap masyarakat (public trust) dengan mengusahakan
standar mutu pelayanan dengan kecakapan tinggi dan menghindari perilaku tidak layak
atau tidak patut/pantas
6. Memberikan pedoman berbuat bagi konselor jika menghadapi dilemma etis
7. Menujukkan kepada konselor standar etika yang mencerminkan pengharapan
masyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pentingnya kode etik profesi
bimbingan dan konseling adalah dapat melindungi dan memperkuat kepercayaan publik
(public trust) dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, mengatur hubungan
konselor dengan konseli, teman sejawat, lembaga tempat bekerja, pimpinan, dan profesi lain
yang ada hubungannya dengan profesi bimbingan dan konseling dalam mengontrol anggota
profesi bimbingan dan konseling Ketika bertingkah laku tidak sesuai dengan etika yang
diharapkan oleh masyarakat.

D. Perkembangan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling

Pengaturan konseling oleh badan profesi disebagian besar negara semakin meningkat.
Salah satu fungsi organisasi profesional seperti British Association for Counselling and
Psychoterapy atau British Psychological Society adalah untuk menegaskan standar etik praktik.
Untuk mencapai tujuan ini, kedua badan tersebut telah mengeluarkan kode etik bagi praktisi,
disertai dengan prosedur dalam menghadapi keluhan berkenaan dengan perilaku tidak etis. Di
Amerika Serikat, kode etik di publikasikan oleh American Psychiatric Association, American
Psychological Association, American Association for Marital and Family Theraphy, and
American Association and of Counselling and Development. Selain itu, beberapa dewan
legislatif negara di bagian AS telah merancang kode etik sebagaimana yang dimiliki oleh
berbagai kelompok dan agen profesi lainnya. Semua konselor yang terlatih dan kompoten
sekarang melakukan praktik harus mampu menunjukkan kode etik tertentu kepada kliennya.
Sampai musim gugur 2001, British Association for Counseling and Psychoterapy (BACP)
menjalankan Code of Ethics and Practice for Counsellor, yang mencakup karakteristik
konseling, tanggung jawab, kompetensi, manajemen kerja, kerahasiaan dan iklan. BACP
mengganti kode etik ini dengan Ethical Framework for Good Practice in Counseling and
Psychotheraphy (2001), yang memberikan penekanan lebih besar kepada moralitas dan nilai
positif.
Penting untuk di catat bahwa kode etik ini dikembangkan bukan hanya untuk melindungi
klien dari pelecehan atau malapraktik yang dilakukan oleh konselor, tapi juga untuk melindungi
profesi konseling dari campur tangan pemerintah dan menguatkan klaennya untuk mengontrol
bidang ke pakaran profesional tertentu. Komite kode etik dan kode praktik berfungsi
menunjukkan kepada dunia luar bahwa konseling berjalan sesuai aturan, bahwa konselor dapat
diandalkan untuk memberikan pelayanan profesional.

Kode etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat oleh American Counseling
Association (ACA) oleh Donald Super yang disetujui pada tahun 1961 berdasarkan kode etika
American Psychological Assosiation yang asli (Allen, 1986 dalam Gladding, 2012: 69). Kode
etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat saat konveksi yang diselenggarakan di
Malang pada tahun 1975 oleh Organisasi Profesi Bimbingan dinamakan Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI), yang sekarang Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN) yang mengikat anggota organisasi profesi (Tim Dosen PBB FIP UNY, 2000: 4).
Setiap kali diadakannya konveksi Organisasi Profesi, kode etik sebaiknya dikembangkan dan
dikaji Kembali agar dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat-saat tertentu
sehingga para anggota profesi dapat menjalankan tugas dan peranannya tanpa melanggar kode
etik yang telah ditetepkann secara tertulis dalam kode etik profesi tersebut.

Kode etik bimbingan dan konseling di Indonesia sebagaimana disusun oleh ABKIN
(2006 : 69) memuat hal-hal berikut:

1. Kualifikasi, bahwa konselor wajib memiliki; a) nilai, sikap, keterampilan, pengetahuan


dan wawasan dalam bidang bimbingan dan konseling. b) memperoleh pengakuan atas
kemampuan dan kewenangan sebagai konselor
2. Informasi, testing dan riset; a) penyimpanan dan pengguna informasi, b) testing,
diberikan kepada konselor yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya, c)
riset, menjaga prinsip-prinsip sasaran riset serta kerahasiaan.
3. Proses pada layanan; a) hubungan pada pemberian pada pelayanan, b) hubungan dengan
klien
4. Konsultasi, dan hubungan dengan rekan sejawat atau ahli lain; a) pentingnya
berkonsultasi dengan sesama rekan sejawat, b) alih tangan kasus apabila tidak bisa
memberikan bantuan kepada klien tersebut
5. Hubungan kelembagaan; memuat mengenai aturan pelaksanaan konseling yang
berhubungan dengan kelembagaan
6. Praktik mandiri dan laporan dengan pihak lain; a) konselor praktik mandiri, menyangkut
aturan dalam melaksanakan konseling secara private, b) laporan kepada pihak lain.
7. Ketaatan terhadap profesi; pelaksanaan hak dan kewajiban, serta pelanggaran terhadap
kode etik.

E. Permasalahan dalam Penerapan Kode Etik Profesi Bimbingan dan Konseling


Kode etik profesi bimbingan dan konseling seperti yang telah dipaparkan di atas belum
sepenuhnya terimplementasikan secara baik. Masih banyak terjadi kekeliruan dalam
pelaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling yang justru dilakukan oleh guru
BK/Konselor sekolah itu sendiri. Seperti penelitian yang dilakukan Suhertina (2010) terkait
dengan implementasi kode etik bimbingan dan konseling, ditemukan hasil bahwa Guru BK
atau konselor sekolah memiliki pemahaman yang relatif rendah terkait dengan kode etik BK,
bahkan yang mengejutkan yakni sebagian konselor sekolah tidak mengenal kode etik BK

Prayitno & Erman Amti (2004) menjelaskan bahwa masih banyak kesalahpahaman
tentang Bimbingan dan Konseling. Salah satu penyebabnya adalah bidang bimbingan dan
konseling digeluti oleh pihak yang bukan berlatar belakang dari pendidikan bimbingan dan
konseling. Pelaksanaan Bimbingan dan konseling umumnya hanya untuk mengurusi siswa-
siswa yang bermasalah, baik yang dipanggil langsung oleh Konselor maupun dirujuk oleh
pihak lain, sehingga wajar apabila siswa tidak mau memanfaatkan pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Mereka memiliki anggapan bahwa apabila datang ke ruangan BK maka
menunjukan ia mengalami ketidakberesan tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas terkait dengan permasalahan dalam penerapan kode etik,
penulis dapat merumuskan sumber permasalahannya antara lain:
1. Pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling yang kurang memiliki kompetensi.
Hal ini dikarenakan banyak guru BK yang tidak berlatar belakang pendidikan Bimbingan
dan Konseling. Selain itu kemauan guru BK untuk mengembangkan kompetensi seperti
mengikuti pelatihan/ seminar/ worskhop atau melanjutkan pendidikan yang linear masih
rendah. Implikasi dari rendahnya penguasaan kompetensi tersebut yakni buruknya
pelayanan yang diberikan kepada pengguna pelayanan konseling, seperti ada guru BK
yang menjadi polisi sekolah, guru BK yang pemarah/galak, guru BK yang tidak mampu
menyusun program BK, guru BK yang tidak mampu melakukan kerjasama dengan rekan
sejawat, di luar profesi atau hubungan dengan lembaga, ketidakmampuan guru BK dalam
menerapkan ilmu pendidikan ketika melaksanakan pelayanan, ketidakmampuan guru BK
dalam melakukan evaluasi dan melakukan tindak lanjut dari evaluasi, serta masih banyak
lagi.
2. Pihak di luar BK. Bimbingan dan Konseling merupakan bagian dari sistem pendidikan
itu sendiri, sehingga bagaimana dukungan dari sistem akan memberikan warna postif
pada terlaksananya pelayanan konseling. Namun seperti yang kita lihat bahwa beberapa
kebijakan yang dibuat oleh pihak tertentu justru mengaburkan hakikat pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan para
pembuat kebijakan mengenai pelaksanaan pelayanan konseling yang ideal. Contohnya
seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak
berwenang untuk mengangkat guru mata pelajaran menjadi guru Bimbingan dan
Konseling dikarenakan lebihnya guru mata pelajaran. Dapat dibayangkan bagaimana
pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh tenaga yang
tidak mengerti mengenai bimbingan dan konseling.

Demikian kompleksnya permasalahan terkait implementasi kode etik profesi Bimbingan


dan Konseling, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan
konseling. Banyak masyarakat yang masih “kabur” mengenai apa itu konseling, siapa yang
memberikan pelayanan konseling, permasalahan apa saja yang dapat ditangani oleh konselor,
dan apa saja kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang konselor. Persepsi seperti itu justru
akan menghambat konseling untuk menjadi profesi yang bermartabat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kode etik profesi BK merupakan pedoman dan landasan moral yang berisi laporan bagi
anggota profesi BK yang mencakup tingkah laku, sikap, akhlak, dan perbuatan yang
wajib dipatuhi dan di amalkan oleh setiap anggota organisasi profesi BK dengan harapan
dapat bertanggungjawab dalam menjalani tugasnya sebagai seorang professional.
2. Tujuan kode etik profesi bimbingan dan konseling adalah untuk menjunjung tinggi
martabat profesi bimbingan dan konseling, membantu menjaga dan memelihara
kesejahtraan anggota profesi bimbingan dan konseling dalam membangun kegiatan
pelayanan yang professional, memberikan panduan perilaku yang berkarakter dan
professional bagi anggota profesi dalam meningkatkan mutu organisasi profesi.
3. Kode etik bimbingan dan konseling yang pertama dibuat saat konveksi yang
diselenggarakan di Malang pada tahun 1975 oleh Organisasi Profesi Bimbingan
dinamakan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), yang sekarang Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)

B. Saran
Adapun makalah yang penulis susun ini didasari dari referensi-referensi yang penulis
dapatkan baik dari buku maupun pengetahuam dari online. Jika terdapat kesalahan dan
kekurangan dari makalah ini, penulis harap kritik/saran dari pembaca, guna untuk mewujudkan
perubahan lebih baik di kemudian harinya.
DAFTAR PUSTAKA

McLEOD, J. (2010). Pengantar Konseli Teori dan Studi Kasus . Jakarta: Kencana.

Rahardjo, S. (2017). Jurnal Konseling, 14.

Sujadi, E. (2018). Kode Eetik Profesi Konseling Serta Permasalahan dalam Penerapannya .
Jurnal Ilmu Pendidikan, 69-77.

Willis, S. (2017). Konseling Individual teori dan praktek . Bandung: Alfabeta.

Pengurus Daerah ABKIN Jawa Tengah. (2006). Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia. Jawa Tengah

Prayitno & Amti, E. (2004). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT Rineka
Cipta.

Anda mungkin juga menyukai