Anda di halaman 1dari 63

MODUL PERKULIAHAN

Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Modul 1
Pengertian dan Lingkup Manajemen K3

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

01
FEB Manajemen S1 Tim Dosen

Abstract Kompetensi
Bab ini membahas mengenai tentang Mahasiswa memiliki kemampuan
pengertian, tujuan, lingkup dan dalam memahami tentang
sejarah manajemen K3. pentingnya K3 di dalam lingkungan
kerja.
Modul 1
Pengertian dan Ruang lingkup Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Pengertian K3

Banyak ahli yang telah mendefinikan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja,
perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja.
Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan.
(Suma’mur, 1988) Menyatakan bahwa kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi
berhubungan dengan kerja termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Demikian
pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dan berangkat dari rumah menuju tempat
kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. (Hadipoetro, 2014)
Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah upaya perlindungan bagi keselamatan tenaga
kerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerja dan melindungi keselamatan setiap orang
yang memasuki tempat kerja, serta agar sumber produksi dapat dipergunakan secara aman,
dan efisien. Mathis dan Jackson (2002, p. 245), menyatakan bahwa Keselamatan adalah
merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cedera yang
terkait dengan pekerjaan. Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan
stabilitas emosi secara umum.

World Health Organization (WHO) dan International Labour Organization (ILO) juga
memberi definisi tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Menurut International Labour
Organization (ILO) kesehatan keselamatan kerja atau Occupational Safety and Health
adalah meningkatan dan memelihara derajat tertinggi semua pekerja baik secara fisik,
mental, dan kesejahteraan sosial di semua jenis pekerjaan, mencegah terjadinya gangguan
kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan, melindungi pekerja pada setiap pekerjaan dari
risiko yang timbul dari faktor-faktor yang dapat mengganggu kesehatan, menempatkan dan
memelihara pekerja di lingkungan kerja yang sesuai dengan kondisi fisologis dan psikologis
pekerja dan untuk menciptakan kesesuaian antara pekerjaan dengan pekerja dan setiap
orang dengan tugasnya

Definisi K3 yang disampaikan oleh ILO berbeda dengan yang disampaikan oleh
Occupational Safety Health Administrasi (OSHA). Pengertian K3 menurut OSHA adalah
kesehatan dan keselamatan kerja adalah aplikasi ilmu dalam mempelajari risiko
keselamatan manusia dan properti baik dalam industri maupun bukan. Kesehatan
keselamatan kerja merupakan mulitidispilin ilmu yang terdiri atas fisika, kimia, biologi dan
ilmu perilaku dengan aplikasi pada manufaktur, transportasi, penanganan material bahaya.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
2 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan definisi K3
menurut WHO-ILO dan OSHA. Pertama, pendekatan yang dilakukan WHO-ILO mengarah
pada perlindungan kesehatan masyarakat pekerja melalui upaya promotif, prefentif, kuratif
dan rehabilitasi. Sasarannya pekerja. Sedangkan OSHA lebih menekankan pada
pengendalian lingkungan kerja fisik, kimia, biologi dan ergonomi psikologi yang dapat
mengganggu status kesehatan dan keselamatan pekerja. Sasarannya lingkungan kerja.

Perbedaan yang kedua adalah WHO-ILO menekankan pada kesehatan kerja


sedangkan OSHA pada keselamatan kerja. Namun demikian perlu digarisbawahi, bahwa
masalah K3 tidak bisa dipisahkan antara masalah kesehatan atau keselamatan, karena
keduanya saling berkaitan.

Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Dari uraian mengenai definisi di atas, K3 dapat dirumuskan tujuan K3. Tujuan utama
pelaksanaan K3 ada dua.

a. Menciptakan lingkungan kerja yang selamat dengan melakukan penilaian secara


kualitatif dan kuantitatif. Penilaian lingkungan kerja secara kualitatif meliputi
lingkungan kerja fisik, kimia, biologis dan psikologi ergonomi (akan dibahas lebih
mendalam pada Bab 4 Lingkungan Kerja).Sedangkan secara kuantitatif,
penilaian lingkungan kerja dengan parameter yang telah ditentukan dan
dibandingkan dengan nilai standar yang ada. Beberapa pedoman standar yang
sering digunakan bersumber dari Kementerian Tenaga Kerja Transmigrasi dan
Koperasi dan Standar Nasional Indonesia. Sedangkan beberapa parameter
lingkungan kerja yang belum ada standar nasional masih mengacu standar yang
dikeluarkan oleh NIOSH (National Institute of Occupational Safety and Health)
dan ACGIH (American Conference of Govermental and Industrial Hygienist).
b. Kedua, menciptakan kondisi yang sehat bagi karyawan, keluarga dan
masyarakat sekitarnya melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Promosi kesehatan di tempat kerja menurut WHO adalah berbagai kebijakan dan
aktifitas di tempat kerja yang dirancang untuk membantu pekerja dan
perusahaan di semua level untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan
dengan melibatkan partisipasi pekerja, manajemen dan stakeholder lainnya.
Promosi K3 bisa juga diartikan sebagai suatu usaha merubah perilaku seseorang
dalam hal ini pekerja untuk bertindak ke arah yang diinginkan oleh promosi itu.
Upaya promotif K3 dilakukan dengan peningkatan kesehatan (health promotion)
dan perlindungan khusus (spesific protection). Peningkatan kesehatan di tempat
kerja dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dengan berbagai metode dan
‘20 Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
3 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
media yang intraktif. Sedangkan perlindungan khusus (spesific protection) adalah
upaya promosi K3 dalam mencapai tujuan tertentu. Perlindungan khusus ini
misalnya pemberian vaksin bagi pekerja yang akan bertugas ke daerah dengan
endemik penyakit tertentu pengendalian lingkungan kerja secara teknis,
administrasi dan pemakaian alat pelindung diri, penyesuaian antara manusia
dengan lingkungan kerja. Usaha preventif di tempat kerja dilakukan dengan
diagnosis awal dan pengobatan dini. Diagnosis adalah serangkaian pemeriksaan
yang dilakukan oleh seorang dokter untuk mengenali adanya suatu penyakit.
Diagnosis dilakukan dengan penapisan (screening), pemantauan, pemeriksaan
kesehatan. Misalnya pada kasus paparan bahaya debu terhadap fungsi paru.
Pada penapisan ini petugas kesehatan kerja termasuk dokter perusahaan dan
perawat harus mengetahui kriteria yang ditemukan pada pekerja yang terpapar.
Dari hasil penapisan dapat diketahui kelompok pekerja yang mengalami
gangguan kelainan fungsi paru dan yang tidak, dibandingkan dengan kelompok
pekerja yang tidak terpajan. Pengobatan awal dapat diberikan apabila diperlukan
setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan pekerja. Pemeriksaan kesehatan
dilakukan sebelum bekerja, berkala dan pemeriksaan kesehatan khusus.
Kesehatan kerja kuratif yaitu upaya yang dilakukan untuk membatasi terjadinya
kecacatan karena penyakit akibat kerja atau kecelakaan kerja. Secara harfiah,
kesehatan kerja kuratif berarti memberikan pengobatan. Pengobatan yang tepat
bertujuan untuk menghentikan penyakit dan mencegah komplikasi dan cacat
menetap. Adanya kepastian jaminan kesehatan kerja juga merupakan usaha
kesehatan kerj kuratif. Rehabilitatif atau pembatasan kecacatan bertujuan
mengoptimalkan fungsi-fungsi yang masih ada. Pekerja yang mengalami
kecacatan akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja masih bisa bekerja
secara penuh.
Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Secara umum, K3 memiliki tujuan, berikut penjelasan lengkapnya:

• Untuk memelihara serta melindungi kesehatan dan juga keselamatan pekerja guna
meningkatkan produktifitas atau kinerja
• Untuk memastikan dan menjaga kesehatan serta keselamatan semua orang yang
berada di lingkungan kerja
• Untuk memastikan sumber produksi terpelihara secara baik dan juga bisa digunakan
dengan aman serta efisien.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
4 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Penerapan sistem K3 di tempat kerja atau perusahaan tak boleh dianggap menjadi upaya
pencegahan kecelakaan kerja serta penyakit yang dikarenakan kerja yang sifatnya
menghabiskan banyak biaya perusahaan (cost).

Sementara itu, peraturan perundangan No. I tahun 1970 Pasal 3 tentang keselamatan kerja
ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk :

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan;


b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. Memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. Memberi alat-alat pelindung diri pada para pekerja.
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban,
debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan
getaran;
h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun
psychis, peracunan, infeksi dan penularan.
i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses
kerjanya;
n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau
barang;
o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan
penyimpanan barang;
q. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
Ruang lingkup K3

Jika dilihat dari tujuan, fungsi dan juga pengertian K3, ruang lingkup dari penerapan sistem
K3 bisa dikatakan cukup lengkap dan luas. Begitu juga dengan aspek-aspek yang
mendukung pelaksanaan P3. Dimana aspek ini yang bisa mempengaruhi atau menimbulkan
kecelakaan kerja.Jika aspek-aspek tersebut diatur sedemikian rupa sesuai dengan standar,
maka kecelakaan dan keselamatan kerja pun bisa lebih terjamin. Nah berikut adalah
penjelasan lengkap tentang seberapa luas ruang lingkup K3:

• Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja adalah lokasi tempat para pekerja melakukan aktivitas kerjanya.
Kondisi lingkungan kerja seperti penerangan, ventilasi serta situasi harus memadai.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
5 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Tujuannya adalah untuk meminimalisir potensi terjadinya kecelakaan kerja yang
membahayakan semua orang dan aset di dalamnya.Ketika kondisi lingkungan kerja
tak memadai, semisal penerangan yang kurang, tentunya ini akan berdampak buruk
pada kesehatan mata pekerja ataupun memicu munculnya penyakit. Biasanya
dampak buruk ini akan muncul dalam jangka waktu tertentu dan tidak spontan.
• Alat dan Bahan Kerja
Alat kerja dan bahan pun sangat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja.
Semua bahan serta alat yang digunakan pada suatu perusahaan atau pabrik untuk
proses produksi barang ialah faktor penentu efektifitas produksi perusahaan. Oleh
sebab itu, kelengkapan dan kondisi alat kerja maupun bahan harus dicek secara
berkala. Tak hanya itu, bahan yang digunakan pada aktivitas kerja pun perlu
diperhatikan dengan baik. Semisal penggunaan bahan kimia untuk proses tertentu,
dimana pekerja harus menggunakan alat keselamatan sehingga potensi bahaya
akibat bahan kimia tersebut terminimalisir dengan baik.
• Metode Kerja
Prosedur kerja atau metode kerja ialah standar cara kerja yang harus dilakukan
seorang pekerja. Pembuatan Standar Operasional Prosedur (SOP) pada sebuah
perusahaan dibuat dengan tujuan agar pekerjaan yang dilaksanakan dan dikerjakan
bisa tercapai secara efisien dan efektif. Contoh prosedur penggunaan APD (Alat
Pelindung Diri) dan prosedur pengoperasian mesin harus sesuai standar. Pada
sistem manajemen K3 diatur beberapa batas maksimum jam kerja dalam sehari.
Penerapan ini guna meminimalisir potensi risiko pada kesehatan pekerja.
Sejarah dan Perkembangan K3

Sejarah perkembangan K3 di dunia dimulai dari jaman pra-sejarah sampai dengan


jaman modern. Pada masing-masing jaman berkembang teknologi yang kelak menjadi ilmu-
ilmu K3.

a. Jaman Pra-Sejarah. Pada jaman batu dan goa (Paleolithic dan Neolithic) manusia
yang hidup pada jaman ini telah mulai membuat kapak dan tombak yang mudah
untuk digunakan serta tidak membahayakan bagi mereka saat digunakan. Desain
tombak dan kapak yang mereka buat umumnya mempunyai bentuk yang lebih besar
proporsinya pada mata kapak atau ujung tombak. Hal ini adalah untuk menggunakan
kapak atau tombak tersebut tidak memerlukan tenaga yang besar karena dengan
sedikit ayunan momentum yang dihasilkan cukup besar. Desain yang mengecil pada
pegangan dimaksudkan untuk tidak membahayakan bagi pemakai saat
mengayunkan kapak tersebut.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
6 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
b. Jaman Bangsa Babylonia (Dinasti Summeria) di Irak. Pada era ini masyarakat sudah
mencoba membuat sarung kapak agar aman dan tidak membahayakan bagi orang
yang membawanya. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal berbagai macam
peralatan yang digunakan untuk membantu pekerjaan mereka. Semakin
berkembang setelah ditemukannya tembaga dan suasa sekitar 3000-2500 BC. Pada
tahun 3400 BC masyarakat sudah mengenal konstruksi dengan menggunakan
batubata yang dibuat proses pengeringan oleh sinar matahari. Pada era ini
masyarakat sudah membangunan saluran air dari batu sebagai fasilitas sanitasi.
Pada tahun 2000 BC muncul suatu peraturan “Hammurabi” yang menjadi dasar
adanya kompensasi asuransi bagi pekerja.
c. Jaman Mesir Kuno. Pada masa ini terutama pada masa berkuasanya Fir’aun banyak
sekali dilakukan pekerjaan-pekerjaan raksasa yang melibatkan banyak orang
sebagai tenaga kerja. Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa Raja Ramses II
dilakukan pekerjaan pembangunan terusan dari Mediterania ke Laut Merah.
Disamping itu Raja Ramses II juga meminta para pekerja untuk membangun
“temple” Rameuseum. Untuk menjaga agar pekerjaannya lancar Raja Ramses II
menyediakan tabib serta pelayan untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.
d. Jaman Yunani Kuno. Pada Jaman romawi kuno tokoh yang paling terkenal adalah
Hippocrates. Hippocrates berhasil menemukan adanya penyakit tetanus pada awak
kapal yang ditumpanginya.
e. Jaman Romawi. Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius mulai
memperkenalkan adanya gangguan kesehatan yang diakibatkan karena adanya
paparan bahan-bahan toksik dari lingkungan kerja seperti timbal dan sulfur. Pada
masa pemerintahan Jendral Aleksander Yang Agung sudah dilakukan pelayanan
kesehatan bagi angkatan perang.
f. Abad Pertengahan. Pada abad pertengahan sudah diberlakukan pembayaran
terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan cacat atau
meninggal. Masyarakat pekerja sudah mengenal akan bahaya vapour di lingkungan
kerja sehingga disyaratkan bagi pekerja yang bekerja pada lingkungan yang
mengandung vapour harus menggunakan masker.
g. Abad ke-16. Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Phillipus Aureolus
Theophrastus Bombastus von Hoheinheim atau yang kemudian lebih dikenal dengan
sebutan Paracelsus mulai memperkenalkan penyakit-penyakit akibat kerja terutama
yang dialamai oleh pekerja tambang. Pada era ini seorang ahli yang bernama
Agricola dalam bukunya De Re Metallica bahkan sudah mulai melakukan upaya
pengendalian bahaya timbal di pertambangan dengan menerapkan prinsip ventilasi.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
7 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
h. Abad ke-18. Pada masa ini ada seorang ahli bernama Bernardino Ramazzini (1664 –
1714) dari Universitas Modena di Italia, menulis dalam bukunya yang terkenal :
Discourse on the diseases of workers, (buku klasik ini masih sering dijadikan
referensi oleh para ahli K3 sampai sekarang). Pada jaman ini melihat bahwa dokter-
dokter pada masa itu jarang yang melihat hubungan antara pekerjaan dan penyakit,
sehingga ada kalimat yang selalu diingat pada saat dia mendiagnosa seseorang
yaitu “ What is Your occupation ?”. Ramazzini melihat bahwa ada dua faktor besar
yang menyebabkan penyakit akibat kerja, yaitu bahaya yang ada dalam bahan-
bahan yang digunakan ketika bekerja dan adanya gerakangerakan janggal yang
dilakukan oleh para pekerja ketika bekerja (ergonomic factors).
i. Era Revolusi Industri (Traditional IndustrialiJation). Pada era ini hal-hal yang turut
mempengaruhi perkembangan K3 adalah : penggantian tenaga hewan dengan
mesin-mesin seperti mesin uap yang baru ditemukan sebagai sumber energi,
penggunaan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia, pengenalan metode-
metode baru dalam pengolahan bahan baku (khususnya bidang industri kimia dan
logam). Pada masa ini berkembang pula pengorganisasian kerja dalam cakupan
yang lebih besar. Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai muncul penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa
pembakaran.
j. Era Industrialisasi (Modern IdustrialiJation). Sejak era revolusi industri di atau sampai
dengan pertengahan abad 20 maka penggunaan teknologi semakin berkembang
sehingga K3 juga mengikuti perkembangan ini. Perkembangan pembuatan alat
pelindung diri, safety devices. dan interlock dan alat-alat pengaman lainnya juga turut
berkembang.
k. Era Manajemen dan Manjemen K3. Perkembangan era manajemen modern dimulai
sejak tahun 1950-an hingga sekaran. Perkembangan ini dimulai dengan teori
Heinrich (1941) yang meneliti penyebab penyebab kecelakaan bahwa umumnya
(85%) terjadi karena faktor manusia (substandar act) dan faktor kondisi kerja yang
tidak aman (substandar condition). Pada era ini berkembang sistem automasi pada
pekerjaan untuk mengatasi masalah sulitnya melakukan perbaikan terhadap faktor
manusia. Namun sistem otomasi menimbulkan masalah- masalah manusiawi yang
akhirnya berdampak kepada kelancaran pekerjaan karena adanya blok-blok
pekerjaan dan tidak terintegrasinya masing-masing unit pekerjaan. Sejalan dengan
itu Frank Bird dari International Loss Control Institute (ILCI) pada tahun 1972
mengemukakan teori Loss Causation Model yang menyatakan bahwa faktor
manajemen merupakan latar belakang penyebab yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan. Berdasarkan perkembangan tersebut serta adanya kasus kecelakaan di
‘20 Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
8 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Bhopal tahun 1984, akhirnya pada akhir abad 20 berkembanglah suatu konsep
keterpaduan sistem manajemen K3 yang berorientasi pada koordinasi dan efisiensi
penggunaan sumber daya. Keterpaduan semua unit-unit kerja seperti safety, health
dan masalah lingkungan dalam suatu sistem manajemen juga menuntut adanya
kualitas yang terjamin baik dari aspek input proses dan output. Hal ini ditunjukkan
dengan munculnya standar-standar internasional seperti ISO 9000, ISO 14000 dan
ISO 18000.
l. Era Mendatang. Perkembangan K3 pada masa yang akan datang tidak hanya
difokuskan pada permasalahan K3 yang ada sebatas di lingkungan industri dan
pekerja. Perkembangan K3 mulai menyentuh aspek-aspek yang sifatnya publik atau
untuk masyarakat luas. Penerapan aspek-aspek K3 mulai menyentuh segala sektor
aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat manusia
serta penerapan hak asasi manusia demi terwujudnya kualitas hidup yang tinggi.
Upaya ini tentu saja lebih banyak berorientasi kepada aspek perilaku manusia yang
merupakan perwujudan aspek-aspek K3.
Sejarah K3 di Indonesia.

Secara pasti tidak dapat diketahui kapan awal perkembangan K3 di Indonesia. Namun
demikian diyakini bahwa metode pengobatan Indoenesia asli sudah diterapkan. Untuk
menolong korban kecelakaan yang terjadi pada para petani, buruh industri atau korban
perang antar kerajaan pada masa itu. Secara ringkas sejarah K3 di Indonesia dimulai pada
masa sebelum abad 17, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, masa
kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde reformasi.

• Masa sebelum abad 17 (kerajaan di Indonesia). Pada masa ini tidak diketahui secara
pasti. Namun demikian penggunaan bahan alamiah yang digunakan sebagai obat
untuk prajurit yang terluka dan pengenalan beberapa bahan toksikan alamiah untuk
senjata merupakan awal pengenalan K3.
• Masa penjajahan Belanda. Perkembangan K3 pada masa Belanda berbeda dengan
makna K3 sesungguhnya. K3 pada masa Belanda ditujukan untuk kesehatan dan
keselamatan militer Belanda, dan tidak ditujukan untuk Indonesia. Termasuk juga
beberapa produk peraturan tentang K3 yang dikeluarkan pada masa itu bertujuan
untuk memelihara peralatan, mesin dan karyawan Belanda supaya tetap sehat dan
terpelihara keselamatannya
• Masa penjajahan Jepang. Pada masa ini bisa dikatakan tidak ada perkembangan
K3.
• Masa kemerdekaan.Pada masa kemerdekaan ini ditandai dengan adanya dasar
hukum yang jelas berdirinya sebuah negara, yaitu UUD 1945. Pada pasal 27 ayat 2
‘20 Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
9 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
UU yang menyebutkan bahwa ” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”.Ini mengandung pengertian bahwa
pekerjaan yang dilakuan harus sesui dengan norma-norma kemanusiaan, termasuk
juga adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
• Masa Orde Lama – Orde Baru. Pada masa ini pemerintah Indonesia mulai memberi
perhatian yang lebih besar terhadap ketenagakerjaan terutama pentingnya upaya
K3. Pada tahun 1957 Departemen Perburuhan dan Jawatan Keselamatan Kerja yaitu
dengan UU No 14 Tahun 1969 Tentang Ketenagakerjaan. Kemudian pada tanggal
12 Januari 1970, lahirlah Undang-undang Keselamatan Kerja. Pada masa ini juga
berdiri beberapa lembaga yang bergerak di bidang K3 yaitu Dinas Higiene
Perusahaan dan Sanitasi Umum, dan berbagai seminar tentang Higiene perusahaan.
Dilihat dari istilah higiene yang dipakai, penekanannya lebih pada lingkungan kerja
dan kesehatan pekerja, unsur keselamatan kerja belum menonjol. Tanggung jawab
dalam pelaksanaan K3 lebih besar pada Departemen Tenaga Kerja, meskipun pada
awal tahun 2000an yaitu 2003 K3 mulai mendapat perhatian dari Departemen
Kesehatan. Mulai berkembang K3 berbasis manajemen dengan adanya Sistem
Manajemen K3.
• Era Reformasi. Pada masa ini seiring dengan semangat otonomi daerah, maka
perhatian terhadap K3 yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,
pemerintah daerah pun memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan K3. Semua
tempat kerja wajib menyelenggarakan upaya kesehatan dan keselamatan kerja. K3
mulai berkembang tidak hanya di perusahaan namun juga di tempat kerja lainnya,
misalnya rumah sakit. Perkembangan K3 di dunia yang menekankan manajemen
juga banyak berkembang disini, mulai mengikuti standar internasional.
• Masa mendatang. Perkembangan K3 di dunia pada masa mendatang juga ikut
mempengaruhi di Indonesia. Implementasi K3 yang masih berorientasi pada
kepatuhan terhadap aturan, pada masa mendatang lebih menekankan pada
kesadaran berperilaku selamat dan sehat.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
10 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Modul 2

Peraturan K3

Pendahuluan

Salah satu upaya dlm menanggulangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja
adalah dg penerapan peraturan perundangan, antara lain melalui:Adanya ketentuan dan
syarat-syarat K3 yg selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi,
Penerapan semua ketentuan dan persyaratan K3 sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku sejak tahap rekayasa.Pengawasan dan pemantauan pelaksanaan K3 melalui
pemeriksaan-pemeriksaan langsung tempat kerja

PERATURAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Pentingnya Peraturan Perundang-Undangan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik jika kualitas, kompetensi dan
profesionalisme sumber daya manusianya juga baik, termasuk didalamnya sumber daya
manusia keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Data menunjukkan bahwa di dunia terjadi
270 juta kecelakaan kerja, 160 juta pekerja menderita penyakit akibat kerja, 2,2 juta pekerja
meninggal dunia dan kerugian yang dialami sebesar 1,25 triliun USD. Sementara itu, data PT.
Jamsostek (Persero) menunjukkan bahwa dalam Periode 2002-2005 telah terjadi lebih dari
300 ribu kecelakaan kerja, 5.000 kematian, 500 cacat tetap dan kompensasi lebih dari Rp 550
milyar (DK3N, 2007). Tenaga kerja merupakan asset penting perusahaan. Oleh karena itu
tenaga kerja harus diberikan perlindungan dalam hal K3, karena terdapat ancaman dan
potensi bahaya yang berhubungan dengan kerja. Mengingat hal tersebut, pemerintah telah
membuat kebijakan perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3 melalui peraturan
perundang-undangan K3. Peraturan perundang-undangan K3 merupakan salah satu usaha
dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakt akibat kerja, kebakaran, peledakan dan
pencemaran lingkungan kerja yang penerapannya menurut jenis dan sifat pekerjaan serta
kondisi lingkungan kerja. Peraturan perundang-undangan K3 perlu disosialisaikan baik
kepada tenaga kerja dan pengusaha agar semua memahami aturan tersebut terutama
mengetahui hal dan kewajibannya.

Landasan Hukum Peraturan Perundangan-Undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Sumber hukum peraturan perundang-undangan tentang K3 adalah UUD 1945 Pasal 27 ayat
(2) yang menyatakan bahwa, ”Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Makna pasal tersebut sangatlah luas. Disamping menjelaskan
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan yang layak, juga berhak
mendapatkan perlindungan terhadap K3 agar dalam melaksanakan pekerjaan tercipta kondisi
kerja yang kondusif, nyaman, sehat, dan aman serta dapat mengembangajan ketrampilan dan
kemampuannya agar dapat hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) tersebut, kemudian ditetapkan UU RI No. 14 Tahun
1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ketenagakerjaan. Dalam UU Pokok
Ketenagakerjaan tersebut diatur tentang perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja,
yaitu:

1. Pasal 9 yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan


perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan
sesuai dengan harkat dan martabat serta moral agama.
2. Pasal 10 yang menyatakan bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang
mencakup: a. norma keselamatan kerja,
b. norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan,
c. norma kerja, dan
d. pemberian ganti kerugian, perawatan, dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja.

Seiring berjalannya waktu, UU RI No. 14 Tahun 1969 tidak lagi sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan zaman sehingga diganti dengan UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. UU tersebut mempertegas perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3
sebagaimana termaktup dalam Pasa 86 dan 87 UU RI No. 13 Tahun 2003.

A. Pasal 86
1. Ayat (1): Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; dan perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
2. Ayat (2): Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja.
B. Pasal 87 Ayat (1): Setiap perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Aturan keselamatan kerja secara khusus sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Aturan
tersebut dikenal dengan Veiligheids Reglement (VR) Tahun 1910 (diundangkan dalam
Lembaran Negara No. 406 Tahun 1910). Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan
Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Safety Act) mengingat
VR sudah tidak mampu menghadapi perkembangan industri yang tidak lepas dengan
penggunaan mesin, pealatan, pesawat, instalasi dan bahan baku dalam rangka mekanisasi,
elektrifikasi, dan modernisasi untuk meningkatkan intensitas dan produktivitas kerja.
Disamping itu, pengawasan VR bersifat represif yang kurang sesuai dan tidak mendukung
perkembangan ekonomi, penggunaan sumber-sumber produksi, dan penanggulangan
kecelakaan kerja serta alam negara Indonesia yang merdeka. Penetapan UU No. 1 Tahun
1970 berdasarkan pada UU No. 14 Tahun 1969 Pasal 9 dan 10 dimana pengawasannya yang
bersifat preventif dan cakupan materinya termasuk aspek kesehatan kerja. Dengan demikian
UU No. 1 Tahun 1970 merupakan induk dari peraturan perundang-undangan K3. 4.

Tujuan dan Ruang Lingkup UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mempunyai tujuan memberikan


perlindungan atas keselamatan pekerja, orang lain yang memasuki area kerja, dan sumber-
sumber produksi dapat digunakan dengan aman, efektif, dan efisien. Sedangkan ruang
lingkup UU Keselamatan Kerja ini meliputi tempat kerja di darat, dalam tanah, permukaan air,
dalam air, dan di udara dengan terdapat unsur dilakukan usaha, tenaga kerja yang bekerja,
dan sumber bahaya.

Materi UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Materi UU Keselamatan Kerja lebih dominan berisi tentang hak dan atau kewajiban tenaga
kerja dan pengusaha/pengurus (manajemen) dalam melaksanakan K3. Berikut adalah pokok-
pokok materi dari UU Keselamatan Kerja.

Pasal 12

a. Hak Tenaga Kerja ditetapkan dalam Pasal 12 Huruf (d) dan (e)
• Huruf d: Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
• Huruf e: Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat
keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang
diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain
oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih
dipertanggungjawabkan.
b. Kewajiban tenaga kerja ditetapkan dalam Pasal 12 Huruf (a), (b), dan (c
• Huruf a: Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas dan atau ahli keselamatan kerja.
• Huruf b: Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. Huruf
• c: Memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan kerja dan kesehatan
kerja yang diwajibkan
c. Kewajiban pengusaha/pengurus 1. Pasal 3 Ayat (1): Melaksanakan syarat-syarat
keselamatan kerja untuk:
• mencegah dan mengurangi kecelakaan
• mencegah, mengurangi, dan memaadmkan kebakaran
• mencegah dan mengurangi bahaya peledakan
• memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu lebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya
• memberikan pertolongan pada kecelakaan
• memberikan alat-alat perlindungan diri pada para pekerja
• mencagah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelebaban, debu,
kotoran, asap, gas, dan hembusan
• mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik mauun psikis,
peracunan, infeksi dan penularan
• memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
• menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang cukup
• menyelenggarakan penyegaeab udara yang cukup
• memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban
• memperoleh keserasian antara tenaga kerja, lingkungan, cara kerja, dan porses
kerjanya
• mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkat muat, perlakuan, dan
penyimpanan barang.
• Mengamankan dan memelihara segala jenis bengunan
• Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
• Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamatan pada pekerjaan yang berbahaya
kecelakaan kerja menjadi lebih tinggi

Pasal 8

Pasal 8 terdiri dari:

a. Ayat (1): Pengurus diwajibkan memeriksa kesehatan badan, kondisi mental, dan
kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun yang akan dipindahkan
sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepadanya.
b. Ayat (2): Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada dibawah
pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh
direktur.

Pasal 9

Pasal 9 terdiri dari :

a. Ayat 1: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru
tentang: - kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerja, -
semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja, - alat-
alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan, - cara-cara dan sikap yang aman
dalam melaksanakan pekerjaannya.

b. Ayat (2): Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah
ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut diatas.

c. Ayat (3): Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja
yang berada dibawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan
kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian
pertolongan pertama pada kecelakaan.

d. Ayat (4): Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syaratsyarat dan ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankan. 4. Pasal 10 Ayat (1):
Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (P2K3) guna memperkembangkan kerjasama, saling pengertian, dan partisipasi efektif
dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk
melaksanakan tugas kewajiban bersama di bidang K3, dalam rangka melancarkan usaha
berproduksi.

Pasal 11

Pasal 11 terdiri dari:

a. Ayat (1): Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat
kerja yang dipimpinnya pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.

Pasal 14:

Pasal 144 terdiri dari:


a. Pengurus diwajibkan a) secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang
dipimpinnya, semua syarat-syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai
undang-undang ini dan semua peraturan pelaksananya yang berlaku bagi tempat
kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
b. memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua gambar keselamatan kerja
yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang
mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan
kerja.
c. menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada
tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setipa orang lain
yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai denfan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja.

Peraturan Pelaksana UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja UU Keselamatan


Kerja ini membutuhkan peraturan pelaksana.

Beberapa peraturan pelaksana ini antara lain:

A. Peraturan pelaksana yang bersifat khusus (lex specialist), meliputi:


• UU Uap (Stoom Ordonnantie) Tahun 1930 (Stbl. No. 225 Tahun 1930)
• Peraturan Uap (Stoom Verordening) Tahun 1930 (Stbl. No. 339 Tahun 1930)
• UU Timah Putih Kering (Loodwit Ordonnantie) Tahun 1931 (Stbl. No. 509
Tahun 1931) tentang larangan membuat, memasukkan, menyimpan atau
menjual timah putih kering kecuali untuk keperluan ilmiah dan pengobatan
atau dengan izin dari pemerintah.
• UU Petasan Tahun 1932 (Stbl. No. 143 Tahun 1932 jo Stbl. No. 10 Tahun
1933) tentang petasan buatan yang diperuntukkan untuk
kegembiraan/keramaian kecuali untuk keperluan pemerintah.
• UU Rel Industri (Industrie Baan Ordonnantie) Tahun 1938 (Stbl. No. 595
Tahun 1938) tentang pemasangan, penggunaan jalan-jalan rel guna
keperluan perusahaan, pertanian, kehutanan, pertambangan, kerajinan dan
perdagangan. Peraturan perundang-undangan K3 tersebut merupakan
produk hukum pada masa koonial Belanda yang hingga saat ini tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan UU RI No- 1 Tahun 1970. Pada Pasal
17 UU RI No. 1 Tahun 1970 dinyatakan bahwa,”Selama peraturan
perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini
belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang
ada pada waktu undangundang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan denganundang ini.
B. Peraturan pelaksana dari ketetuan pasal-pasal UU RI No. 1 Tahun 1970 (Pasal 15
UU RI No. 1 Tahun 1970). UU Keselamatan Kerja masih bersifat umum (lex generalis),
oleh karena itu peraturan pelaksananya dijabarkan secara teknis dan rinci dalam
bentuk PP, Keppres, Permenaker, Kepmenaker, Surat Edaran (SE) Menaker, dan
Kepdirjen Binwasnaker Depnakertrans RI.

Ringkasan

Tenaga kerja merupakan aset penting perusahaan. Oleh karena itu tenaga kerja harus
diberikan perlindungan dalam hal K3, karena terdapat ancaman dan potensi bahaya yang
berhubungan dengan kerja. Mengingat hal tersebut, pemerintah telah membuat kebijakan
perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3 melalui peraturan perundang-undangan K3.

Peraturan perundang-undangan K3 perlu disosialisaikan baik kepada tenaga kerja dan


pengusaha agar semua memahami aturan tersebut terutama mengetahui hal dan
kewajibannya. Sumber hukum peraturan perundang-undangan tentang K3 adalah UUD 1945
Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa,”Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2)
tersebut, kemudian ditetapkan UU RI No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Ketenagakerjaan. Dalam UU Pokok Ketenagakerjaan tersebut diatur tentang perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja yaitu pada Pasal 9 dan 10. Seiring berjalannya waktu, UU
RI No. 14 Tahun 1969 tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman sehingga
diganti dengan UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU tersebut
mempertegas perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3 sebagaimana termaktup dalam
Pasa 86 dan 87 UU RI No. 13 Tahun 2003.

Aturan keselamatan kerja secara khusus sudah ada sejak masa kolonial Belanda.
Aturan tersebut dikenal dengan Veiligheids Reglement (VR) Tahun 1910 (diundangkan dalam
Lembaran Negara No. 406 Tahun 1910). Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan
UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Safety Act) mengingat VR sudah tidak
mampu menghadapi perkembangan industri yang tidak lepas dengan penggunaan mesin,
pealatan, pesawat, instalasi dan bahan baku dalam rangka mekanisasi, elektrifikasi, dan
modernisasi untuk meningkatkan intensitas dan produktivitas kerja. UU RI No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja adalah memberikan perlindungan atas keselamatan pekerja,
orang lain yang memasuki area kerja, dan sumber-sumber produksi dapat digunakan dengan
aman, efektif, dan efisien.
Jawablah pertanyaan-pertanyan berikut ini dengan singkat dan jelas!

1. Jelaskan mengapa pemerintah perlu membuat peraturan perundang-undangan


tentang K3?
2. Jelaskan mengapa peraturan perundang-undangan perlu disosialisasikan termasuk
kepada mahasiswa Pendidikan Teknik Busana?
3. Apakah sumber hukum tertinggi dari peraturan perundang-undangan tentang K3?
Bagaimana makna dari sumber hukum tersebut?
4. Indonesia telah mempunyai peraturan perundang-undangan khusus mengatur K3.
Sebutkan peraturan perundang-undangan tersebut! Bagaimana sejarah adanya
peraturan perundang-undangan tersebut?
5. Apakah tujuan dan ruang lingkup UU K3? 6. Apakah materi pokok dari UU K3?
Sebutkan pasal-pasal yang menunjukkan materi pokok tersebut
MODUL PERKULIAHAN

Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Modul 3
Pengertian dan Lingkup Manajemen K3

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

03
FEB Manajemen S1 Tim Dosen

Abstract Kompetensi
Bab ini membahas mengenai Mahasiswa memiliki kemampuan
pengertian, tujuan, lingkup dalam memahami tentang
lingkungan kerja dalam mengelola pentingnya lingkungan kerja .
K3.
Modul 3
Lingkungan Kerja dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Pendahuluan
Lingkungan kerja merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi perilaku
karyawan terutama dalam lingkungan pekerjaan yang secara tidakn langsung maupun
langsung mempengaruhi kinerja karyawan. Lingkungan kerja yang tidak baik tentunya akan
memberikan dampak negatif terhadap para pekerja, yaitu menurunkan semangat kerja,
gairah kerja, dan kepuasan kerja yang akhirnya menurunkan kinerja karyawan.

Perusahaan harus dapat memperhatikan kondisi yang ada dalam perusahaan baik
di dalam maupun di luar ruangan tempat kerja, sehingga karyawan dapat bekerja dengan
lancar dan merasa aman. Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk
diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksanakan proses produksi
dalam suatu perusahaan tetapi lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap
para karyawan yang melaksanakan proses produksi tersebut

Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada dilingkungan sekitar para pekerja dan
yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya, misalnya kebersihan, musik, dan lain-lain”. Menurut Sedarmayanti (2007: 21)

Secara garis besar, terdapat 2 jenis lingkungan kerja, yaitu:

a. LingkunganKerja Fisik Menurut Sarwono (2005:104) Lingkungan kerja fisik adalah


“tempat kerja pegawai melakukan aktivitasnya”. Lingkungan kerja fisik
mempengaruhi semangat dan emosi kerja para karyawan. Lingkungan kerja fisik
adalah semua keadaan berbentuk fisik yang dapat mempengaruhi karyawan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Robbins (2002: 193) lingkungan
kerja fisik merupakan salah satu factor penyebab stress kerja pegawai yang
berpengaruh panda prestasi kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan
kerja fisik adalah: Suhu, Kebisingan, Penerangan dan Mutu udara.”
b. Lingkungan kerja nonfisik Lingkungan kerja non-fisik adalah semua keadaan yang
terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan
maupun sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan. Menurut
Sihombing (2004) menyatakan bahwa lingkungan kerja non fisik mencakup
hubungan kerja yang terbentuk diperusahaan antara atasan dan bawahan serta
antara sesama karyawan dan hubungan-hubungan antar karyawan. Membina
hubungan yang baik antara sesama rekan kerja, bawahan maupun atasan harus
dilakukan karena kita saling membutuhkan. Hubungan kerja yang terbentuk sangat
mempngaruhi psikologis karyawan. Menurut Mangkunegara (2009: 94) untuk
menciptakan hubungan yang harmonis dan efektif pimpinan perlu meluangkan waktu
untuk mempelajari aspirasi-aspirasi emosi pegawai dan bagaimana mereka
‘20 Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
2 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
berhubungan dengan tim kerja, Menciptakan suasana yang meningkatkan
kreativitas.
Lingkungan kerja dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Lingkungan Kerja Fisik. Lingkungan kerja fisik yang akan dibahas pada bab ini terdiri dari
kebisingan, pencahayaan, getaran mekanis, dan radiasi.

Kebisingan.

Definisi kebisingan oleh beberapa ahli mengatakan, antara lain:

a. Bising adalah suara yang timbul dari getaran – getaran yang tidak teratur ,
b. Bising adalah suara yang kompleks yang mempunyai sedikit ataupun tidak
mempunyai periodik, bentuk gelombang tak dapat diikuti atau diproduksi lagi dalam
waktu tertentu ,
c. Bising adalah suara yang tidak mempunyai kualitas musik,
d. Bising adalah suara yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh yang mendengar dan
mengganggu, dan
e. Kebisingan didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga oleh getran-
getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki,
maka dinyatakan sebagai kebisingan.
Suara dapat dihasilkan bila suatu sumber bunyi menggerakkan udara sekitarnya dalam
gerakan gelombang. Gerakan akan menyebar ke partikel-partikel udara yang jauh dari
sumber bunyi. Bunyi merambat di udara dengan kecepatan 340 m/detik. Kecepatan
merambat dalam cairan dan zat padat lebih besar dibandingkan dengan di udara. Sebagai
gambaran 1500 m/detik di dalam air, dan 5000 m/detik di dalam baja. Kebisingan menurut
KEP.MENAKAER NOMOR:KEP51/MEN/1999 adalah semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat-alat proses produksi atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu
dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

Ada dua hal yang menentukan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya.
Frekuensi dari gelombang bunyi dinyatakan dalam banyaknya geteran perdetik, dan diukur
dalam satuan Hertz (Hz). Bunyi dapat ditemukan dalam range frequensi yang besar. Bunyi
yang dapat didengar oleh manusia antara 16 Hz sampai 20.000 Hz. Biasanya suatu
kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang-gelombang sederhana dari beraneka
frekuensi.

Klasifikasi Kebisingan.

Klasifikasi kebisingan menurut sumbernya kebisingan dapat dibedakan menjadi beberapa:

• Kebisingan tetap (steady noise) adalah kebisingan dengan frekuensi tetapini.


Kebisingan dengan frekuensi terputus adalah kebisingan berupa nada-nada
murni pada frequency yang beragam. Contohnya suara mesin, suara kipas dan
sebagainya,.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
3 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id

Kebisingan dengan frequensi terputus dan broad band noise sama-sama
dogolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah
broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi.
• Kebisingan fluktuatif (fluctuatif noise), kebisingan yang selalu berubah-ubah
menurut rentang waktu tertentu. Intermitten noise, sesuai dengan terjemahannya,
intermitten noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat
berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas. Impulsive Noise, kebisingan
impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga)
dan dalam waktu yang relatif singkat,misalnya suara ledakan senjata api dan
alat-alat sejenisnya.
Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan

Pengaruh kebisingan pada pekerja bisa terjadi secara langsung (akut) dan terjadi
dalam jangkapanjang (kronis). Efek kebisingan pada fungsi pendengaran bisa dikategorikan
menjadi 3, yaitu 1) trauma akustik, 2) temporary threshold shift, 3) Permanent threshold
shift. Trauma akustik.

Trauma aksutik adalah hilangnya pendengaran yang umumya karena pengaruh


exposure tunggal atau beberapa exposure dari kebisingan dengan intensitas yang sangat
tinggi dalam waktu yang singkat seperti ledakan. Ketulian sementara. Ketulian
sementara/temporary threshold shift (ketulian sementara) yaitu bila memasuki ruangan yang
sangat bising, maka pendengaran akan berkurang dan pulih kembali sekitar 3 – 7 x 24 jam.
Ketulian menetap. Ketulian menetap atau permanen threshold shift (ketulian menetap) yaitu
hilang pendengaran secara perlahan-lahan, oleh karena kerusakan sensorneural sebagai
akibat pemaparan kebisingan yang lama dengan intensitas tinggi

Sedangkan pengaruh kebisingan bukan pada pendengaran bisa berupa gangguan


kenyamanan bekerja, gangguan konstrasi dan perhatian, gangguan emosional, gangguan
tidur, gangguan komunikasi, kelelahan (fatigue). Gangguan pada non pendengaran pada
akhirnya dapat menyebabkan produktivitas yang menurun, perubahan moral kerja yang
buruk, tingginya ketidakhadiran bekerja atau mengalami sakit, kesalahan dalam
menginterpretasi perintah, kecenderungan mengalami kecelakaan. Selain akibat buruk yang
terjadi, dampak lain dari kebisingan (extrauditory effects)bisa berupa gangguan pencernaan
(nausea =mual), keadaan tubuh terasa lemas atau rasa tidak enak (Malaisea), dan sakit
kepala (Headache).

Pencahayaan.

Pencahayaan atau cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang sensitif terhadap


mata manusia. Definisi lainnya cahaya adalah energi yang merambat seperti gelombang
elektromagnetik. Pada saat melihat atau mengamati suatu benda kita menggunakan mata,
mata dapat melihat karena menerima rangsangan yang berasal dari cahaya atau sinar yang

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
4 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
dating dari benda tersebut, baik yang di pancarkan langsung maupun yang dipantulkan dari
sumber penerangan (cahaya) yang mengenai benda- benda tersebut.

Berdasarkan sumbernya, cahaya dibedakan menjadi dua, yaitu pencahayaan alami,


dan pencahyaan buatan. Pencahayaan alami, yang berasal dari sinar mata hari (bulan pada
malam hari). Pencahayaan buatan yang berasal dari lampu pijar, lampu minyak tanah,
lampu fluorscent dan lilin yang menyala.

Berdasarkan, jenisnya pencahayaan adalah pencahayaan lokal dan pencahaayn


umum. Pencahayaan local (khusus) adalah cahaya yang dipancarkan langsung dari sumber
kepermukaan bidang tempat kerja tenaga kerja melakukan aktivitasnya. Pencahayaan
general (umum) adalah rata-rata intensitas pencahayaan yang terdapat dalam lingkungan
tempat kerja terutama tempat yang dilalui oleh tenaga kerja. Selain intensitas cahaya, perlu
diukur pula nilai pantulan.

Iklim Kerja.

Iklim kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja, sangat erat
kaitannya dengan suhu udara, kelembaban, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi.
Untuk mengetahui pengaruh panas lingkungan kerja pada suhu tubuh maka dilakukan
metoda pengkuran sederhana yang mencakup pengaruh faktor lingkungan (suhu udara,
kelembaban, gerakan aliran udara dan radiasi), yang dinyatakan dalam bentuk skala atau
indeks.

Radiasi.

Jenis-Jenis Radiasi

• Radiasi ultraviolet.
Ultraviolet mempunyai panjang gelombang 160 – 40 nm. Secara alami radiasi ini
dapat ditemukan pada cahaya matahari. Dua pertiga dari ultraviolet yang secara
biologis adalah aktif terdapat antara jam 10.00 hingga 14.00. Radiasi ini akan lebih
banyak ditemukan pada daerah dimana tekanan udara atmosfirnya rendah (daerah
pegunungan). Selain itu radiasi ultraviolet dari cahaya matahari yang mengenai bumi
akan disebarkan ke semua arah. Banyaknya radiasi yang disebarkan kurang lebih 50
%, sehingga topi-topi atau payung-payung hanya dapat mereduksi intensitas radiasi
paling banyak sebesar 50 %. Sebagai sumber radiasi buatan adalah lampu-lampu
merkuri bertekanan rendah dan tinggi, lampu pembunuh hama (germicidal lamps)
dan pada pengelasan terutama las listrik.
• Radiasi infra merah.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
5 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Panjang gelombang inframerah berkisar 750nm – 1mm. Sumber radiasi ini adalah
matahari, semua benda yang berpijar atau logam yang dipanaskan, lampu-lampu
pijar/ filament, tungkutungku/ dapur pijar, bunga api yang dihasilkan pada
pengelasan listrik dan lain-lain. Energi yang terkandung dalam inframerah ini adalah
rendah sehingga tidak menyebabkan ionisasi pada jaringan tubuh.
• Radiasi Cahaya Tampak (Visible Light ). Visible light adalah sebagai suatu bagian
dari spektrum magnetik mempunyai gelombang 400 – 760 nm. Energi ini tidak
berbahaya bagi mata karena mata akan mendeteksinya sehingga bila terpapar
cahaya yang sangat kuat secara refleks pupil akan menyempit dan kelopak mata
akan menutup sehingga pemaparan radiasi yang berlebihan akan dapat dicegah.
• Radiasi Gelombang Mikro. Gelombang mikro/ microwave adalah suatu gelombang
elektromagnetik yang mencakup suatu kisaran panjang gelombang yang luas (1 mm
sampai 1 m) dan frekuensi radiasi ini berkisar antara 300 Mhz sampai 300 Ghz.
Sumber gelombang mikro ini antara lain rdar, televisi, berbagai peralatan medis
(microwave diathermy), rumah tangga (microwave oven), peralatan navigasi,
telekomunikasi dan lain-lain.
• Laser.
Laser merupakan singkatan dari Light Amplification by Stimulating Emission of
Radiation. Laser merupakan suatu alat untuk mengkonsentrasikan visible light yang
memiliki panjang gelombang yang bermacam-macam dan yang memancarkan
cahaya ke segala arah sehingga terbentuk cahaya yang mempunyai panjang
gelombang yang sama, melintas dalam udara menurut satu arah, cahaya yang
dipancarkan adalah sempit dan monomkromatik sehingga sinar laser ini dikenal
sebagai coherent light.
Lingkungan Kerja Kimia

Bahan kimia adalah unsur kimia dan senyawanya dan campurannya, baik yang
bersifat alami maupun sintesis. Untuk mengetahui bahaya bahan kimia, bahan kimia dapat
dikelompokkan berdasarkan sifat fisik racun, sifat kimia, dan tipe bahan kimia. Berdasarkan
Sifat Fisik Racun. Berdasarkan sifat racun bahan kimia dikelompokkan menjadi :) Gas, Uap,
Debu, Kabut, Fume, Awan dan Asap

Lingkungan Kerja Fisiologi Ergonom

Ergonomi yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan
pekerjaan mereka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi ialah penyesuaian
tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia ialah untuk menurunkan stress yang akan
dihadapi. Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi
tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahaya dan kelembaban bertujuan agar
sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia. Ada beberapa definisi menyatakan bahwa
ergonomi ditujukan untuk “fitting the job to the worker”, sementara itu ILO antara lain
menyatakan, sebagai ilmu terapan biologi manusia dan hubungannya dengan ilmu teknik
‘20 Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
6 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
bagi pekerja dan lingkungan kerjanya, agar mendapatkan kepuasan kerja yang maksimal
selain meningkatkan produktivitasnya”.

Aplikasi Ergonomi.

Aplikasi ergonomi adalah penerapan teknik penyesuaian antara pekerja dengan


lingkungannya. Secara umum aplikasi ergonomi meliputi posisi kerja, proses kerja, tata
letak, cara kerja termasuk cara mengangkat beban, dan organisasi kerja.

• Posisi kerja. Posisi kerja terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri, posisi
duduk dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil
selama bekerja. Sedangkan posisi berdiri dan posisi tulang belakang vertikal
dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki.
• Proses kerja. Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan
posisi waktu bekerja dan sesuai dengan ukuran anthropometrinya. Harus
dibedakan ukuran anthropometri barat dan timur.
• Tata letak . Display harus jelas terlihat pada waktu melakukan aktivitas kerja.
Sedangkan simbol yang berlaku secara internasional lebih banyak digunakan
daripada kata-kata.
• Mengangkat beban. Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban
yakni, dengan kepala, bahu, tangan, punggung dan sebagainya. Beban yang
terlalu berat dapat menimbulkan cedera tulang punggung, jaringan otot dan
persendian akibat gerakan yang berlebihan. Menjinjing beban. Beban yang
diangkat tidak melebihi aturan yang ditetapkan ILO adalah untuk laki-laki
dewasa 40 kg, wanita dewasa 15-20 kg,
Lingkungan kerja psikologi dan perilaku

Bahaya yang bersumber dari lingkungan kerja biologis ini berupa berupa interaksi antara
manusia atau karyawan dengan pekerjaan, interaksi antara karyawan dengan karyawan dan
interaksi antara karyawan dengan atasan. Interaksi antara karyawan dan pekerjaannya,
yang sering menjadi sumber tekanan psikis berupa:

• Pengaturan jam kerja dan jam istirahat. Jam kerja perlu diatur sesuai dengan
kemampuan manusia bekerja. Rata-rata jam kerja normal adalah 8 jam sehari atau
40 jam seminggu. Apabila melebihi jam ini maka dihitung sebagai kerja lembur.
Pekerja yang melaksanakan kerja lembur harus diberikan kompensasi sesuai
dengan haknya. Kerja dengan shift malam juga perlu diberi perhatian kaitannya
dengan kemampuan fisiologisnya. Pekerja shift malam harus cukup istirahat dan
diatur pergantian shift yang baik sehingga meminimalkan terjadinya kelelahan kerja.
• Beban atau volume pekerjaan. Beban kerja atau volume pekerjaan harus diatur
sesuai dengan kapasitas kerja karyawan. Beban kerja terlalu besar daripada
kapasitas kerja (overload) akan menimbulkan performa kerja yang tidak baik,
sedangkan beban kerja yang kurang menyebabkan rendahnya motivasi kerja.
• Pajanan lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang telah diceritakan pada sub lainnya
dapat memberikan pengaruh secara tidak langsung terhadap kondisi psikis
karyawan. Kondisi bising, menyebabkan sulit fokus pada pekerjaan, sehingga
pekerjaan yang mudah tidak diselesaikan sesuai dengan target.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
7 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
• Tanggung jawab. Setiap karyawan memiliki tanggung jawab pada pekerjaan
Seringkali dalam pelaksanaannya target harus dicapai dengan waktu penyelesaian
yang singkat. Semakin tinggi posisi jabatan karyawan menuntut tanggung jawab
yang besar.
• Budaya organisasi. Organisasi yang menerapkan suasana kerja kekerluargaan lebih
memberikan kenyamanan bekerja dibandingkan dengan tempat kerja yang kaku.
Kondisi kerja seperti ini akan memacu karyawan dalam berprestasi dan mengurangi
risiko stres kerja.
• Kerja monoton. Kerja monoton dapat menimbulkan kebosanan, pada akhirnya
produktifitas turun

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
8 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
©Jurnal MAGISTER MANAJEMEN
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
29
www.ejurnal.asmi.ac.id

PENERAPAN BUDAYA KERJA UNGGULAN 5S (SEIRI,


SEITON, SEISO, SEIKETSU, DAN SHITSUKE) DI
INDONESIA
Chandra Suwondo 1
Pengajar PPs. Magister Manajemen IBM ASMI, Universitas Borobudur

Abstract

Currently, the Company/Organization faced tremendous competition.


Superior Company/Organization, should have, and must implement
superior Work Culture Company / Organization. Work Culture for Company
/ Organization recognized the most superior in the world is the 5S Work
Culture (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu and Shitsuke). 5S Work Culture easy
to understand, but it is very difficult to be applied. In Indonesia, to date of
observation, very few have managed to implement 5S Work Culture,
become habits and work ethic. Studies of successful implementation of 5S
Work Culture in Indonesia is very minimal. Based on these, the authors
estimate the success of the implementation issues 5S Work Culture at the
Company/Organization in Indonesia, will be similar to other countries that
have been successful, specifically that "the success implementation of 5S
Work Culture" (Y), influenced by the "Top Management Support" (X1 ),
"Good Planning" (X2), "Effective Management Structure Formation" (X3),
"Pilot Project" (X4), "Continuous Training to all Level Employees" (X5),
"Effective Communication" (X6) and "Building Partnerships between
Section and Personal" (X7). The end result of the successful
implementation of 5S, among others: Reducing waste, improving quality
and productivity, avoiding accidents, Improving team performance, low
attendance, Improved and sustainable performance improvement, office
equipment and regular work location, neat and clean, Cluster the quality
that goes well, the production of good quality results, Excellence to have
employees who minded forward and positive attitude and behavior as well
as the initial step towards a world-class company.

Keywords: Work Culture, Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke.

Ucapan Terima Kasih: Penulis berterima kasih kepada Aristarkus Didimus Rumpak untuk
komentarnya sebagai editor dan Rudy C Tarumingkeng sebagai internal reviewer atas
artikel ini.
Korespondensi penulis: Chandra Suwondo, Program Pascasarjana Magister Manajemen
IBM ASMI. Jl. Pacuan Kuda No. 1-5 Pulomas, Jakarta 13210
E-mail: chandrasuwondo@gmail.com

Chandra Suwondo
30

Abstrak

Saat ini Perusahaan/Organisasi dihadapkan pada persaingan yang sangat


luar biasa. Perusahaan / Organisasi yang unggul, harus memiliki, dan
mengimplementasikan Budaya Kerja Perusahaan / Organisasi yang unggul.
Budaya Kerja Perusahaan / Organisasi yang diakui paling unggul di dunia
adalah Budaya Kerja 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke).
Budaya Kerja 5S mudah dimengerti, tetapi adalah sangat sulit di terapkan.
Di Indonesia sampai saat ini dari pengamatan, sangat sedikit yang berhasil
menerapkan Budaya Kerja 5S, menjadi kebiasaan dan sikap kerja.
Penelitian-penelitian mengenai keberhasilan penerapan Budaya Kerja 5S di
Indonesia sangat minim sekali. Berdasarkan hal tersebut, penulis
memperkirakan masalah kesuksesan penerapan budaya kerja 5S pada
perusahaan/organisasi di Indonesia, akan serupa dengan negara lain yang
telah sukses, yaitu bahwa “Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S” (Y),
dipengaruhi oleh “Dukungan Manajemen Puncak” (X1), “Perencanaan yang
Baik” (X2), “Pembentukan Struktur Manajemen yang Efektif” (X3), “Proyek
Perintis” (X4), “Pelatihan yang Terus Menerus ke Seluruh Tingkat
Karyawan” (X5), “Komunikasi yang Efektif” (X6) dan “Membangun
Kemitraan antar Bagian maupun Personal” (X7). Hasil akhir dari
kesuksesan penerapan 5S, antara lain: Menurunkan pemborosan,
Meningkatkan mutu dan produktivitas, Menghindari kecelakaan kerja,
Meningkatkan kinerja tim, Absensi yang rendah, Peningkatan dan
perbaikan kinerja yang berkelanjutan, Peralatan kantor dan lokasi kerja
yang teratur, rapi dan bersih, Gugus mutu yang berjalan dengan baik, Hasil
produksi yang berkualitas baik, Keunggulan untuk mempunyai karyawan
yang bermental maju dan bersikap dan berperilaku positif serta Langkah
awal menuju perusahaan kelas dunia.

Kata Kunci: Budaya kerja, Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke.

Pendahuluan

Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata


budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan
sendiri diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran
manusia, sehingga dapat menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya
fisik sekelompok manusia. Kemajuan suatu negara maupun perusahaan,
tidaklah dapat terlepas dari Budaya yang berkembang di negara maupun di
perusahaan tersebut.
Pada Tanggal 27 Oktober 2014, diangkat Menko Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, sekaligus menggantikan nama Menko
Kesejahteraan Rakyat. Nama Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
memang jauh lebih tepat dengan kata Kesejahteraan. Dengan
pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang optimal, secara otomatis
Indonesia akan menjadi negara yang sejahtera dan makmur; dikarenakan
damai penuh toleransi, penuh pekerja keras, disiplin dan hal positif lainnya.

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
31
www.ejurnal.asmi.ac.id

Dalam pengamatan saya, sebelum dipegang Jokowi dan Ahok, Jakarta


relatif tidak disiplin, pelayanan di kelurahan sangat jelek, cenderung datang
semaunya tidak disiplin, padahal jelas di peraturan jam kerja karyawannya.
Setelah Jokowi dan Ahok menangani Jakarta, ditanamkan budaya untuk
melakukan ketentuan yang sudah ada dengan penuh rasa tanggung jawab.
Terjadi perubahan budaya positif, sehingga memungkinkan pelayanan di
kelurahan akan dapat seperti pelayanan profesional di Bank.
Di Eropa, perkembangan budaya Jerman dimulai dari Otto von
Bismarck (1815-1895), seorang bangsawan Prusia yang tampil sebagai
Kanzler, perdana menteri. Inilah orang yang mendapat julukan 'perdana
menteri besi', der eiserne Kanzler dan dapat menyatukan bangsa Jerman
dalam satu negara. Akhirnya berdirilah Negara Jerman, dengan Wilhelm I
dari Prusia diangkat jadi Kaisar Wilhelm I dari Jerman.
Dengan pengembangan Budaya unggulan selama lebih dari 100 tahun,
saat ini Jerman telah menjadi salah satu negara termaju di Eropa dan
Dunia; dengan budaya unggulnya: berdisiplin tinggi, menghargai waktu,
pekerja keras, teliti, berorientasi sukses, tidak hedonis, hemat dan
bersahaja, suka menabung dan investasi serta berorientasi kepada
Integritas. Perusahaan-perusahaan Jerman dengan Budaya Perusahaan
unggulnya, juga terkenal kualitas produknya seperti: Bayer, Mercedez,
BMW, Volkswagen, Siemens, Bosch, Adidas, Nivea dan Allianz.
Di Asia, perkembangan budaya Jepang, juga mengalami
perkembangan yang sangat luar biasa, diantaranya kemenangan Jepang
atas Rusia tahun 1905, awal kebangkitan Jepang dan Asia. Dimulai dari
restorasi Meiji, Masa Meiji (1867 – 1912) merupakan salah satu periode
yang paling istimewa dalam sejarah Jepang. Di bawah pimpinan kaisar
Meiji, Jepang bergerak maju sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa
mencapai pembentukan suatu bangsa modern yang memiliki perindustrian
modern dan lembaga-lembaga politik modern.Pada tahun-tahun pertama
pemerintahannya, kaisar Meiji memindahkan ibukota kekaisaran dari Kyoto
ke Edo. Edo pun berganti nama baru menjadi Tokyo (ibu kota Timur).
Dibuat undang-undang dasar yang menetapkan sebuah kabinet dan badan-
badan legistlatif. Golongan-golongan masyarakat selama masa Edo yang
membuat masyarakat terbagi berdasarkan kasta, dihapuskan. Kaisar Meiji
membawa pencerahan dalam membimbing bangsanya melewati peralihan
yang sangat mencuat. Lalu berakhir pada saat meninggalnya kaisar Meiji
pada tahun 1912.
Tetapi pengembangan Budaya diteruskan oleh penerusnya Kaisar
Taisho dan Kaisar Hirohito, menjadikan jepang menjadi Bangsa Unggul.
Bahkan setelah kekalahan perang dunia ke 2 yang menghancurkan Jepang,
dengan budaya-nya yang sangat kuat sekali menjadikan Jepang menjadi
negara Industri maju, dalan Industri, Jepang melebihi Jerman dan negara
Eropa lainnya. Salah satu budaya unggulannya yang dikembangkan di
Jepang, untuk menjadi organisasi/ perusahaan unggulan adalah Budaya
Kerja Unggulan.

Chandra Suwondo
32

Gambar 1
Contoh Buku tentang 5S.

Kaizen (Perbaikan Berkesinambungan): Mendorong bangsa Jepang


selalu memiliki komitmen tinggi pada setiap pekerjaannya. Setiap
pekerjaan harus dilaksanakan dan diselesaikan tepat waktu dan sesuai
jadwal, agar tidak menimbulkan pemborosan biaya. Jika tidak tepat waktu
sesuai jadwal, maka penyelesaian pekerjaan terhambat dan menimbulkan
kerugian. Perusahaan di Jepang menerapkan peraturan “Tepat Waktu”.
Inti Kaizen: optimal biaya dan waktu dalam menghasilkan produk yang
berkualitas tinggi. 5S(Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke)
merupakan “Intisari untuk Kaizen”.

Keuntungan Penerapan 5S Dalam


Perusahaan / Organisasi

Pada era modernisasi dan industrialisasi ini, “Budaya Kerja 5S”,


merupakan suatu budaya kerja perusahaan yang terunggul di dunia saat
ini. “Budaya Kerja 5S”, merupakan suatu ilmu yang sangat perlu untuk
dipelajari, dalam pengembangan suatu perusahaan atau organisasi
(Universitas, Sekolah, partai dll), untuk mencapai efektivitas dan efisiensi,
menciptakan manusia yang berdisiplin tinggi, menghargai waktu, pekerja

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
33
www.ejurnal.asmi.ac.id

keras, teliti, berorientasi sukses, tidak hedonis, hemat dan bersahaja, suka
menabung dan investasi, berorientasi kepada Integritas dan hal yang positif
lainnya.
Gambar 2
Ringkasan dalam Visual mengenai 5S.

Ada pun yang menjadi dasar-dasar pemahaman dari 5S adalah sebagai


berikut:

Seiri (整 理) (Ringkas – Sisih – Keteraturan - Pemilahan - Sort)

Merupakan langkah awal dalam menjalankan budaya 5S, yaitu


membuang/menyortir/ menyingkirkan barang-barang, file-file yang tidak
digunakan lagi ke tempat pembuangan. Semua barang yang ada di lokasi
kerja, hanyalah barang yang benar-benar dibutuhkan untuk aktivitas kerja.
Tindakan dilakukan agar tempat penyimpanan menjadi lebih efisien, karena
dipergunakan untuk menyimpan barang atau file yang memang penting
dan dibutuhkan, serta bertujuan juga agar tempat kerja terlihat lebih rapi
dan tidak berantakan.
Keuntungan yang akan didapat dalam menerapkan Seiri (Ringkas-
Sisih–Keteraturan-Pemilahan–Sort):
1. Kuantitatif:
1) Penghematan pemakaian ruangan.
2) Persediaan dan produk barang yang bermutu.
3) Kecepatan waktu pencarian barang/dokumen yang dibutuhkan.
2. Kualitatif:
1) Tempat kerja lebih aman.
2) Suasana kerja lebih nyaman.
3) Mencegah tempat/alat/bahan menjadi rusak lebih awal.

Chandra Suwondo
34

Gambar 3
Gambaran Ilustrasi dari Seiri.

Seiton (整 頓) (Rapi – Susun – Kerapian – Penataan - Set In Order)


Setelah menyortir semua barang atau file yang tidak dipergunakan
lagi, pastikan segala sesuatu harus diletakkan sesuai posisi yang
ditetapkan, sehingga selalu siap digunakan pada saat diperlukan. Pastikan
bahwa:
1. Setiap barang punya tempat.
2. Setiap tempat punya nama untuk barang tertentu.
3. Buat menjadi terorganisir dan sistematis.
4. Beri nama pada setiap tempat penyimpanan yang mudah diingat,
dapat menggunakan kode pada tempat penyimpan:
1) Bila berbentuk barang, berikan label dengan nama atau visual
sebagai ciri khas.
2) Bila berbentuk file atau softcopy data, atur semua folder di
komputer.
3) Pastikan agar mudah mengidentifikasi, saat file, barang ataupun
benda tersebut dibutuhkan, sehingga tidak perlu membuang
banyak waktu untuk mencarinya.
Keuntungan yang akan didapat dalam menerapkan Seiton (Rapi –
Susun – Kerapian – Penataan - Set in Order):
1. Kuantitatif:
1) Kendali persediaan dan produk, secara efisien.
2) Waktu pencarian yang cepat.
3) Proses kerja yang lebih cepat.
4) Menghindari kesalahan.
5) Meminimalkan terjadinya kehilangan peralatan.

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
35
www.ejurnal.asmi.ac.id

2. Kualitatif:
1) Suasana kerja akan lebih nyaman.
2) Mendidik dan meningkatkan disiplin karyawan.
3) Memacu karyawan, agar terus menghasilkan ide yang kreatif.
4) Moral karyawan menjadi lebih tinggi.
5) Merasa aman di tempat kerja.
6) Menerapkan FIFO.
Gambar 4
Gambaran Ilustrasi dari Seiton

Seiso (清 楚) (Resik – Sapu – Kebersihan – Pembersihan – Shine)


Setelah menjadi rapi, langkah berikutnya adalah membersihkan
tempat kerja, ruangan kerja, peralatan dan lingkungan kerja. Tumbuhkan
pemikiran bahwa kebersihan merupakan hal yang fital dalam kehidupan,
jika kita tidak menjaga kebersihan, lingkungan akan menjadi kotor dan
menjadi faktor utama terjangkitnya penyakit tidak nyaman. Menyebabkan
berkurangnya produktivitas dan berakibat banyak kerugian. Lakukanlah
pembersihan harian, pemeriksaan kebersihan dan pemeliharaan
kebersihan.
Keuntungan yang akan didapat dalam menerapkan Seiso (Resik-Sapu-
Kebersihan-Pembersihan–Shine):
1. Kuantitatif:
1) Sistem pengawasan persediaan dan produk yang lebih murah dan
hemat.
2) Meminimalkan biaya kerusakan pada peralatan.
3) Proses kerja cepat dan tidak berulang “Benar pada saat melakukan
pekerjaannya pertama kali”.
4) Meningkatkan kualitas produk.
5) Waktu melakukan pembersihan lebih cepat.
2. Kualitatif:

Chandra Suwondo
36

1) Suasana kerja lebih nyaman dan ceria.


2) Karyawan terus menghasilkan ide yang kreatif.
3) Moral karyawan meningkat.
4) Aman di tempat kerja.
Gambar 5
Gambaran Ilustrasi dari Seiso

Seiketsu ( 清 潔 ) (Rawat – Seragam – Kepatuhan – Pemantapan –


Standadized)
Tahap ini adalah tahap yang sukar. Untuk menjaga ketiga tahap yang
sudah dijalankan sebelumnya secara rutin. Tahap ini dapat juga disebut
tahap perawatan, merupakan standarisasi dan konsistensi dari masing-
masing individu untuk melakukan tahapan-tahapan sebelumnya. Membuat
standarisasi dan semua individu harus patuh pada standar yang telah
ditentukan. Dapat dimotivasi dengan memberikan hadiah atau hukuman.
Keuntungan yang akan didapat dalam menerapkan Seiketsu (Rawat-
Seragam-Kepatuhan-Pemantapan–Standardize):
1. Kuantitatif:
1) Biaya penyelenggaran operasi yang rendah.
2) Biaya pengeluaran tambahan (overhead) yang rendah.
3) Efisiensi dari proses meningkat.
4) Kuantitas pengeluaran menurun.
5) Sedikit keluhan dari pelanggan.
6) Produktivitas karyawan meningkat.
2. Kualitatif:
1) Mendidik disiplin karyawan positif.
2) Karyawan terus menghasilkan ide kreatif.
3) Kemahiran karyawan meningkat.
4) Karyawan setia kepada organisasi.

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
37
www.ejurnal.asmi.ac.id

5) Citra organisasi meningkat.


Gambar 6
Gambaran Ilustrasi dari Seiketsu

Shitsuke ( 躾 け ) (Rajin – Senantiasa – Kedisiplinan – Pembiasaan –


Suistain)
Pemeliharaan kedisiplinan pribadi meliputi suatu kebiasaan dan
pemeliharaan program 5S yang sudah berjalan. Bila berada pada posisi
sebagai atasan, buatlah standarisasi 5S serta berikan pelatihan 5S, agar
seluruh karyawan perusahaan dapat mengerti akan kegunaan dari 5S
sebagai dasar kemajuan perusahaan, karena dengan menerapkan 5S yang
praktis dan ringkas bertujuan pada efisiensi, pelayanan yang baik,
keamanan bekerja serta peningkatan produktivitas dan profit.
Keuntungan yang akan didapat dalam menerapkan Shitsuke (Rajin-
Senantiasa- Kedisiplinan-Pembiasaan–Sustain):
1. Kuantitatif:
1) Biaya pengeluaran rendah.
2) Produktivitas karyawan meningkat.
3) Kualitas produk/layanan meningkat.
4) Memperoleh manfaat dari pelaksanaan 5S.
5) Meminimalkan kecelakaan di tempat kerja.
2. Kualitatif:
1) Disiplin karyawan meningkat dan inovatif.
2) Ketrampilan karyawan meningkat.
3) Kesehatan karyawan bertambah baik.
4) Karyawan setia kepada organisasi.
5) Budaya kerja antar tim yang tinggi.

Chandra Suwondo
38

Gambar 7
Gambaran Ilustrasi dari Shitsuke

Manfaat penerapan 5S secara umum, akan menghasilkan berbagai


manfaat bagi perusahaan, seperti:
1. Meningkatkan semangat kerja tim.
2. Tempat kerja yang lebih bersih, rapi dan teratur.
3. Lingkungan kerja yang lebih aman dan nyaman.
4. Pengunaan ruang kerja secara optimal.
5. Mempermudah pemeliharaan rutin.
6. Mengadakan standar kerja yang jelas.
7. Kendali persediaan yang lebih efektif.
8. Mengurangi biaya operasional.
9. Meningkatkan citra perusahaan.
10. Mengurangi keluhan pelanggan.
Dalam penerapannya 5S juga dapat diterapkan dalam kehidupan
pribadi, untuk menjadi pribadi unggulan, juga dapat diterapkan dalam
organisasi seperti Universitas dan Sekolah, untuk menjadi Universitas dan
Sekolah unggulan. Budaya Negatif seperti juga kebiasaan dan sikap
negatif, haruslah diganti dengan Budaya Positif. Perlu penanaman budaya
anti bullying (intimidasi), budaya anti premanisme, budaya anti narkoba,
budaya anti rokok, budaya anti minuman keras, budaya toleransi dan lain-
nya melalui penyuluhan, pengawasan dan hukuman tanpa pandang bulu.
Implementasi Budaya yang baik dan unggul, yang dimulai dari
perusahaan/organisasi yang pada akhirnya akan menjadikan kita menjadi

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
39
www.ejurnal.asmi.ac.id

bangsa unggul, yang akan membawa kita kepada kehidupan yang lebih
baik, makmur, damai dan sejahtera.

Variabel Kesuksesan Penerapan Budaya kerja 5S

Paradigma Dasar Penelitian

Gambar 8
Gambaran Paradigma untuk Penelitian

Indikator Kesuksesan Penerapan Budaya 5S

Indikator Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S (Y) adalah berbagai


manfaat bagi perusahaan/organisasi, seperti:
1. Menurunkan pemborosan.
2. Meningkatkan mutu dan produktivitas.
3. Menghindari kecelakaan kerja.
4. Meningkatkan kinerja tim.
5. Absensi yang rendah.
6. Peningkatan dan perbaikan kinerja yang berkelanjutan.
7. Peralatan kantor dan lokasi kerja yang teratur, rapi dan bersih.
8. Gugus mutu yang berjalan dengan baik.
9. Hasil produksi yang berkualitas baik.
10. Keunggulan untuk mempunyai karyawan yang bermental maju dan
bersikap dan berperilaku positif.
11. Langkah awal menuju perusahaan kelas dunia.

Indikator Dukungan Manajemen Puncak (X1)

Chandra Suwondo
40

“Dukungan Manajemen Puncak” berpengaruh secara positif dan


signifikan terhadap “Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S”.
Indikator Dukungan Manajemen Puncak, seperti:
1. Berkomitmen pada waktu.
2. Berkomitmen pada biaya.
3. Berkomitmen pada sumber daya.
4. Membuat keputusan dan policy yang mendukung.
5. Menerima dan mengantisipasi konsekuensi.
6. Menjadi motor penggerak.

Indikator Perencanaan Yang Baik (X2)

“Perencanaan yang Baik” berpengaruh secara positif dan signifikan


terhadap “Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S”. Indikator
Perencanaan yang Baik, seperti:
1. Merumuskan keadaan saat ini sebelum memulai perencanaan.
2. Mengidentifikasikan setiap kemudahan dan kesulitan dalam
pelaksanaan.
3. Realistis.
4. Ekonomis.
5. Harus luwes dan mempunyai beberapa altenatif.
6. Mempertimbangkan perencanaan dari setiap masukan dan usulan dari
partisan.
7. Perencanaan dibuat lengkap baik secara taktikal (jangka pendek)
maupun secara strategis (jangka panjang).

Indikator Pembentukan Struktur Manajemen Yang Efektif (X3)

“Pembentukan Struktur Manajemen yang Efektif” berpengaruh secara


positif dan signifikan terhadap “Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S”.
Indikator “Pembentukan Struktur Manajemen yang Efektif”, seperti:
1. Spesialisasi Kerja.
2. Rantai Komando.
3. Wewenang Rentang Manajemen.
4. Departementasi (Fungsional, Produk, Territorial, Proses, Pelanggan
dan/atau Campuran).
5. Formalisasi.

Indikator Proyek Perintis Penerapan 5S (X4)

“Proyek Perintis” berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap


“Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S”. Indikator “Proyek Perintis”,
seperti:
1. Adanya Proyek Manajemen.
2. Struktur proyek yang jelas dan teratur.
3. Persiapan detail (pelatihan, kelengkapan peralatan dan dana).
4. Pernyataan awal dari misi proyek.
5. Penilaian berkelanjutan atas pelaksanaan proyek.

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
41
www.ejurnal.asmi.ac.id

6. Perencanaan Kontigensi.
7. Perencanaan Taktikal (action plan).
8. Perencanaan Strategis.
9. Pembuatan dokumentasi dan standarisasi sebagai proyek berikutnya.

Indikator Pelatihan Yang Terus Menerus Ke Seluruh Tingkat Karyawan (X5)

“Pelatihan yang Terus Menerus ke Seluruh Tingkat Karyawan”


berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap “Kesuksesan Penerapan
Budaya Kerja 5S”. Indikator “Pelatihan yang Terus Menerus ke Seluruh
Tingkat Karyawan”, seperti:
1. Instruktur.
2. Partisipasi Peserta.
3. Materi.
4. Metode.
5. Tujuan dan Sasaran.

Indikator Komunikasi Yang Efektif (X6)

“Komunikasi yang Efektif” berpengaruh secara positif dan signifikan


terhadap “Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S”. Indikator “Komunikasi
yang Efektif”, seperti:
1. Pemahaman.
2. Minat.
3. Pengaruh pada sikap.
4. Persepsi.
5. Mudah diingat (tulisan, gambar dan film).
6. Meneruskan informasi ke rekan yang lain.

Indikator MembangaunKemitraan Bagian Maupun Personal (X7)

“Membangun Kemitraan antar Bagian maupun Personal” berpengaruh


secara positif dan signifikan terhadap “Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja
5S”. Indikator “Membangun Kemitraan antar Bagian maupun Personal”,
seperti:
1. Keterbukaan berbagi Ilmu, Informasi, masalah dan kemudahan.
2. Fungsi dan peran sebagai mitra.
3. Komitmen.
4. Saling membantu/memfasilitasi.
5. Saling mendorong dalam pelaksanaan.
6. Tingkat Sedikitnya Konflik.

Contoh Hasil-hasil Dalam Bentuk Visual Dari Perusahaan/Organisasi Yang


Berhasil Menerapkan 5S

Chandra Suwondo
42

Gambar 9
Contoh Ruang Kerja Kantor

Gambar 10
Contoh Ruang Kerja Pabrik

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
43
www.ejurnal.asmi.ac.id

Gambar 11
Contoh Tempat Penyimpanan File Kantor

Gambar 12.
Contoh Gudang Pabrik yang Teratur.

Chandra Suwondo
44

Gambar 13.
Contoh Ruang Diskusi Umum.

Gambar 14.
Contoh Ruang Pelatihan.

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
45
www.ejurnal.asmi.ac.id

Gambar 15.
Contoh Pantry di Kantor.

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

Pada saat ini, perusahaan/organisasi yang dapat bertahan dan menjadi


yang terbaik, adalah perusahaan/organisasi yang berorientasi pada
pengembangan budaya unggul pada perusahaan/organisasinya. Budaya
kerja yang saat ini diakui sebagai yang terbaik adalah Budaya Kerja
Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke). Mudah
dimengerti tetapi sangat sulit diaplikasikan tanpa keseriusan.
Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu
dan Shitsuke) di Indonesia, relatif sangat baru. Dalam pengamatan saya,
hampir tidak ada perusahaan/organisasi di Indonesia yang menerapkan
secara “All Out”. Data juga agak sulit didapat (karena sedikit sekali yang
baru mengaplikasikan 5S secara coba-coba). Bila ada Mahasiswa/umum
yang ingin melakukan penelitian, thesis, penerapan ataupun assessment
(penaksiran/penilaian) tentang kesuksesan dalam penerapan budaya kerja
5S, saya siap membantu.
“Kesuksesan Penerapan Budaya Kerja 5S” (Y), dipengaruhi oleh
“Dukungan Manajemen Puncak” (X1), “Perencanaan yang Baik” (X2),
“Pembentukan Struktur Manajemen yang Efektif” (X3), “Proyek Perintis”
(X4), “Pelatihan yang Terus Menerus ke Seluruh Tingkat Karyawan” (X5),
“Komunikasi yang Efektif” (X6) dan “Membangun Kemitraan antar Bagian
maupun Personal” (X7).

Chandra Suwondo
46

Hasil akhir dari kesuksesan penerapan 5S, antara lain: Menurunkan


pemborosan, Meningkatkan mutu dan produktivitas, Menghindari
kecelakaan kerja, Meningkatkan kinerja tim, Absensi yang rendah,
Peningkatan dan perbaikan kinerja yang berkelanjutan, Peralatan kantor
dan lokasi kerja yang teratur, rapi dan bersih, Gugus mutu yang berjalan
dengan baik, Hasil produksi yang berkualitas baik, Keunggulan untuk
mempunyai karyawan yang bermental maju serta bersikap dan berperilaku
positif serta Langkah awal menuju perusahaan kelas dunia.

Saran

Untuk menjadi Bangsa unggul, Indonesia perlu memperkuat kekuatan


Industrinya selain kekuatan bersenjata, dengan memperkuat budaya
kerjanya seperti Jepang dan Jerman. Indonesia perlu memperkenalkan,
mensosialisasikan dan mengimplementasikan Budaya Kerja 5S (Seiri,
Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke). Sebuah langkah awal menuju
perusahaan kelas dunia.
Dalam implementasi 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke),
haruslah dilakukan bertahap, harus dilakukan melalui tahapan pengenalan,
perubahan sikap dan kebiasaaan para pekerja, serta tahapan penerimaan
Budaya kerja yang baru tersebut. Keberhasilan implementasi, sangat
bergantung kepada penerapan X1-X7 di atas.

Daftar Pustaka

Asefeso, Ade (2014). 5s for Supervisors. Publisher: CreateSpace


Publishing.
Assauri, Sofjan (2004). Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Revisi.
Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
Biegel, John E. (1980). Production Control: A Quantitative Approach. New
Delhi: Prentice Hall of India.
Denison, Daniel R. (1990). Corporate Culture and Organizational
Effectiveness. New York: John Willey & Sons.
Hirano, Hiroyuki (1993). Putting 5S to Work: A Practical Step-by-step
Approach. Publisher: PHP Institute.
_______________, (1995). 5 Pillars of the Visual Workplace. Portland,
Oregon: Productivity Press.
Koentjoroningrat (1994). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Kusumohamidjojo (2010). Filsafat Kebudayaan; Proses Realisasi Manusia.
Yogyakarta: Jalasutra.
Monden, Yasuhiro (1983). Toyota Production Control System: Practical
Approach to Production Management. Atlanta: Institute of Industrial
Engineers.

Penerapan Budaya Kerja Unggulan 5S (Seiri, Seiton, Seiso,


Seiketsu, dan Shitsuke) Di Indonesia
©Jurnal Magister Manajemen
Vol. 1 No. 1, April 2012 29 - 48
47
www.ejurnal.asmi.ac.id

Moulding, Edward (2010). 5s: A Visual Control System for the Workplace.
Publisher: Authorhouse.
Osada, Takashi; Penerjemah: Mariani Gandamihardja (2002). Sikap Kerja
5S. Jakarta: PPM.
Peterson, Jim dan Smith, Roland (1998). The 5S Pocket Guide. Portland,
Oregon: Productivity Press.
Productivity Press Development Team (1996). 5S for Operators: 5 Pillars
of the Visual Workplace. Portland, Oregon: Productivity Press.
_________________________________ (1999). 5S for Safety: New Eyes
for the Shop Floor. Portland, Oregon: Productivity Press.

_________________________________ (2000). 5S for Safety


Implementation Toolkit: Creating Safe Conditions Using the 5S
System. Portland, Oregon: Productivity Press.
Schein, Edgar H. (2010). Organizational Culture and Leadership. New
York: John Wiley & Sons, Inc.
Scotchmer, Andrew (2008). 5S Kaizen in 90 Minutes. New Paperback.
Suwondo, Chandra (2014). Budaya Kerja Super 5S – Implementasi 5S di
Indonesia. Jakarta: Halaman Moeka.
Tim Perbadanan Produktiviti Malaysia, Mohd. Razali Hussain (Ketua
Pengarah Perbadanan Produktiviti Malaysia) (2010). Amalan
Perserikatan Berkualiti (5S): Buku Panduan Pelaksanaan Langkah
Demi Langkah. Selangor: Perbadanan Produktiviti Malaysia (MPC).
Tim Unit Permodenan Tadbiran dan Perancangan Pengurusan Malaysia
(MAMPU), Datuk Normah MD Yusof (ketua pengarah Tim) (2010).
Panduan Amalan 5S Sektor Awam. Malaysia: MAMPU.

Chandra Suwondo
MODUL PERKULIAHAN

Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Modul 5
Pengertian dan Lingkup Alat
Keselamatan kerja
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

05
FEB Manajemen S1 Tim Dosen

Abstract Kompetensi
Bab ini membahas mengenai tentang Mahasiswa memiliki kemampuan
pengertian, tujuan, lingkup alat dalam memahami tentang alat
keselamatan kerja dalam manajemen keselamatan kerja di dalam
K3. lingkungan kerja.
Modul 5
Pengertian dan Ruang lingkup Alat Keselamatan Kerja.

Pentingnya alat pelindung

Alat Pelindung Diri (APD) merupakan kelengkapan yang wajib digunakan saat
bekerja sesuai bahaya dan resiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan
orang di sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departement
Tenaga Kerja Republik Indonesia. Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan
tidak diharapkan. Biasanya kecelakaan menyebabkan kerugian material dan penderitaan
dari
yang paling ringan sampai pada yang paling berat. Untuk menghindari risiko dari kecelakaan
dan terinfeksinya petugas laboratorium khususnya pada laboratorium kesehatan sebaiknya
dilakukan tindakan pencegahan seperti pemakaian APD, apabila petugas laboratorium tidak
menggunakan alat pengaman, akan semakin besar kemungkinan petugas laboratorium
terinfeksi bahan berbahaya, khususnya berbagai jenis virus (Dian danAthena, 2006)

Tujuan dan Manfaat Alat Pelindung Diri

Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan salah satu usaha
dalam melindungi tenaga kerja di tempat kerja /praktikan di laboratorium sehingga dapat
mencapai produktivitas yang optimal. Salah satu wujud dari penerapan K3 adalah dengan
menggunakan APD secara disiplin. Pengunaan APD merupakan suatu kewajiban.
Pemanfaatan APD oleh tenaga kerja/praktikan sampai saat ini masih merupakan masalah
rumit dan sulit dipecahkan. Hal ini karena faktor disiplin tenaga kerja/praktikan yang masih
rendah.

Tujuan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) adalah untuk melindungi tubuh dari
bahaya pekerjaan yang dapat mengakibatkan penyakit atau kecelakaan kerja, sehingga
penggunaan alat pelindung diri memegang peranan penting. Hal ini penting dan bermanfaat
bukan saja untuk tenaga kerja tetapi untuk perusahaan.

Manfaat APD bagi tenaga kerja/ praktikan

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh tenaga kerja dengan menggunakan alat
pelindung diri, antara lain:

1. tenaga kerja/ praktikan dapat bekerja dengan perasaan lebih aman untuk
terhindar dari bahaya-bahaya kerja

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
2 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
2. Dapat mencegah kecelakan akibat kerja.
3. tenaga kerja/ praktikan dapat memperoleh derajat kesehatan yang sesuai hak
dan martabatnya sehingga tenaga kerja/ praktikan akan mampu bekerja secara
aktif dan produktif.
4. Tenaga kerja/ praktikan bekerja dengan produktif sehingga meningkatkan hasil
produksi/prakteknya. Khusus bagi tenaga kerja, hal ini akan menambah
keuntungan bagi tenaga kerja yaitu berupa kenaikan gaji atau jaminan sosial
sehingga kesejahteraan akan terjamin.
Manfaat APD bagi perusahaan:

Sedangkan bai perusahaan penggunaan alat pelindung diri dapat memberikan keuntungan antara
lain:

1. Meningkatkan produksi perusahaan dan efisiensi optimal


2. Menghindari hilangnya jam kerja akibat absensi tenaga kerja
3. Penghematan biaya terhadap pengeluaran ongkos pengobatan serta pemeliharaan
kesehatan tenaga kerja
Dasar Hukum Penggunaan Alat Pelindung Diri

Induk dari peraturan perundang-undangan K3 adalah Undang-Undang No.1 Tahun 1970


tentang Keselamatan Kerja atau bisa disebut dengan UU K3. Karena APD merupakan salah
satu perwujudan dari K3 maka dasar hukum APD adalah UU K3 yang memang telah
mengatur tentang APD. UU K3 menetapkan syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang
berkaitan dengan alat pelindung diri kepada pekerja.

a. Pasal 9 Ayat (1) UU K3 mewajibkan manajemem perusahaan untuk menunjukkan


dan menjelaskan:
• Kondisi-kondisi dan bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerjanya.
• Semua pengaman dan alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja
• Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
• Cara-cara dan sikap kerja yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
b. Pada Pasal 12 (b) UU K3 mengatur mengenai kewajiban dan hak tenaga
kerja untuk memakai alat-alat pelindung diri.
c. Pasal 14 (c) memerintahkan manajemen perusahaan untuk menyediakan secara
cuma-cuma semua alat pelindung diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang
berada dibawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang
memasuki tempat kerja tersebut disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau keselamatan kerja.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
3 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Pe 03/Men/1982 tentang
Pelayanan Kesehatan Kerja.Permenakertrans tersebut mengatur APD sebagimana
termuat pada Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1).
• Pasal 1 ayat (2) tentang Tujuan Pelayanan Kesehatan Kerja: “Melindungi
tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari
pekerjaan atau lingkungan kerja.
• Pasal 2 ayat (1) tentang Tugas Pokok Pelayanan Kesehatan Kerja:
“Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat
kerja”
Pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan zat gizi serta penyelenggaraan makanan
ditempat kerja”. Alat Pelindung Diri (APD) merupakan kelengkapan yang wajib digunakan
saat bekerja sesuai bahaya dan resiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri
dan orang di sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui
Departement Tenaga Kerja Republik Indonesia. Beberapa APD yang dapat digunakan
dalam pekerjaan di bidang busana atau ketika pembelajaran di laboratorium busana antara
lain alat pelindung kepala, alat pelindung mata, alat pelindung pernapasan, alat pelindung
telinga, alat pelindung tangan, alat pelindung kaki, alat serta pelindung badan.

Jenis Alat Pelindung Diri

Alat Pelindung Diri Jenis APD adalah banyak macamnya menurut bagian tubuh yang
dilindunginya (Suma’mur PK, 1989: 296). Penggunaan alat pelindung diri di
laboratorium/perusahaan ditentukan berdasarkan kesesuaian dengan potensi bahaya yang
ada. Beberapa alat pelindung diri yang dapat dipilih sesuai jenis dan tempat kerja antara
lain:

a. Kaca Mata Pengaman (Safety Glasses). Berfungsi sebagai pelindung mata ketika
bekerja (misalnya mengelas).
b. Penutup Telinga (Ear Plug / Ear Muff). Berfungsi sebagai pelindung telinga pada saat
bekerja di tempat yang bising
c. Safety Helmet. Berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang bisa mengenai
kepala secara langsung.
d. Tali Keselamatan (safety belt). Berfungsi sebagai alat pengaman ketika
menggunakan alat transportasi ataupun peralatan lain yang serupa (mobil, pesawat,
dan alat berat)
e. Sepatu Karet (sepatu boot). Berfungsi sebagai alat pengaman saat bekerja di tempat
yang becek ataupun berlumpur. Kebanyakan di lapisi dengan metal untuk melindungi
kaki dari benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
4 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
f. Sepatu pelindung (safety shoes). Seperti sepatu biasa, tapi dari bahan kulit dilapisi
metal dengan sol dari karet tebal dan kuat. Berfungsi untuk mencegah kecelakaan
fatal yang menimpa kaki karena tertimpa benda tajam atau berat, benda panas,
cairan kimia.
g. Sarung Tangan. Berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di
tempat atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan. Bahan dan bentuk
sarung tangan di sesuaikan dengan fungsi masing-masing pekerjaan.
h. Tali Pengaman (Safety Harness). Berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di
ketinggian. Diwajibkan menggunakan alat ini di ketinggian lebih dari 1,8 m.
i. Masker (Respirator). Berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di
tempat dengan kualitas udara buruk (misal berdebu, beracun).
j. Pelindung wajah (Face Shield). Berfungsi sebagai pelindung wajah dari percikan
benda asing saat bekerja (misal pekerjaan menggerinda)
k. Jas Hujan (Rain Coat). Berfungsi melindungi dari percikan air saat bekerja (misal
bekerja pada waktu hujan atau sedang mencuci alat.
Alat pelindung telinga.

Alat pelindung telinga digunakan untuk mengurangi intensitas suara yang masuk
kedalam telinga (melindungi dari kebisingan). Disamping itu, dapat juga berfungsi untuk
melindungi pemakainya daribahaya percikan api atau logam panas terutama pada alat
pelindung telinga jenis tutup telinga (ear muff). Terdapat 2 (dua) jenis alat pelindung telinga
yaitu sumbat telinga (ear plug) dan tutup telinga (ear muff) yang lebih efektif dibandingkan
sumbat telinga (Septina, 2006).

Alat pelindung badan (baju pengaman/baju kerja).

Baju kerja merupakan salah satu jenis dari baju pengaman sebagai alat pelindung
badan. Alat ini berguna untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh dari percikan api,
panas, dingin, cairan kimia dan oli. Bahan baju kerja dapat terbuat dari kain drill, kulit,
plastik, asbes atau kain yang dilapisi aluminium. Beberapa persyaratan yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan baju kerja adalah pemakaiannya harus fit, dan dalam keadaan
tubuh. Sebaiknya tidak terlalu kencang dan kaku sehingga tidak membatasi gerakan.
Namun tidak terlalu longgar sehingga mengundang bahaya tergulung mesin atau tercantol
bagian-bagian mesin yang menonjol hingga menyebabkan jatuh.

Alat pelindung pernapasan.

Alat pelindung pernapasan merupakan alat yang berfungsi untuk melindungi


pernafasan dari gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
5 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
bersifat racun, korosi maupun rangsangan (Septina, 2006). Alat pelindung pernafasan dapat
berupa masker dan respirator. Masker berguna mengurangi debu atau partikel-partikel yang
lebih besar yang masuk kedalam pernafasan. Masker ini biasanya terbuat dari kain.
Sedangkan respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap logam,
asap dan gas. Respirator dapat dibedakan atas chemical respirator, mechanical respirator,
dan cartidge/canister respirator dengan Salt Contained Breating Apparatus (SCBA) yang
digunakan untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen serta air
supplay respirator yang memasok udara bebas dari tabung oksigen.

Alat pelindung tangan.

Jenis alat pelindung tangan seperti sarung tangan/gloves, mitten/holder, pads. Alat
pelindung ini dapat terbuat dari karet, kulit, dan kain katun. Sedangkan manfaat dari alat
pelindung tangan adalah melindungi tangan dari temperatur yang ekstrim baik terlalu
panas/terlalu dingin; zat kimia kaustik; benda-benda berat atau tajam ataupun kontak listrik

Alat pelindung mata.

Alat pelindung mata diperlukan untuk melindungi mata dari kemungkinan kontak
bahaya karena percikan atau kemasukan debu, gas, uap, cairan korosif, partikel melayang,
atau terkena raidasi gelombang elektromagnetik. Terdapat tiga jenis alat pelindung diri mata
yaitu kaca mata dengan atau tanpa pelindung samping (side shild), goggles, (cup type and
box type) dan tameng muka (Septina, 2006). Sedangkan manfaat dari alat pelindung mata
adalah: 1) Melindungi mata dari percikan bahan kimia, debu, radiasi, panas, bunga api. 2)
Untuk melindungi mata dari radiasi

Alat pelindung kaki.

Jenis alat pelindung kaki seperti sepatu karet hak rendah. Alat pelindung kaki dapat
terbuat dari kulit yang dilapisi Asbes atau Chrom. Sepatu keselamatan yang dilengkapi
dengan baja diujungnya dan sepatu karet anti listrik. Alat pelindung kaki (safety shoes) ini
berfungsi melindungi kaki dari benturan/tusukan/irisan/goresan benda tajam, larutan bahan
kimia, temperatur yang ekstrim baik terlalu tinggi maupun rendah, kumparan kawat-kawat
yang beraliran listrik, dan lantai licin agar tidak jatuh (terpeleset).

Penatalaksanaan Penggunaan Alat Pelindung Diri

Terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh bagi perusahaan/ laboratorium


yang hendak menerapkan penggunaan APD. Langkah-langkah tersebut antara lain:

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
6 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
a. Menyusun kebijaksanaan penggunaan dan pemakaian APD secara tertulis, serta
mengkomunikasikannya kepada semua tenaga kerja/praktikan dan tamu yang
mengunjungi perusahaan/ laboratorium tersebut.
b. Memilih dan menempatkan jenis APD yang sesuai dengan potensi bahaya yang
terdapat di tempat kerja/ laboratorium.
c. Melaksanakan program pelatihan penggunaan APD untuk meyakinkan tenaga
kerja/ laboratorium agar mereka mengerti dan tahu caramenggunakannya. Untuk
kegiatan praktikum di laboratorium dapat berupa penjelasan pentingnya dan cara
penggunaan APD. d. Menerapkan penggunaan dan pemakaian APD serta
pemeliharaannya secara berkala.
Rinkasan

Alat Pelindung Diri (APD) merupakan kelengkapan yang wajib digunakan saat
bekerja sesuai bahaya dan resiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan
orang di sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh pemerintah melalui Departement
Tenaga Kerja Republik Indonesia.

Tujuan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) adalah untuk melindungi tubuh dari
bahaya pekerjaan yang dapat mengakibatkan penyakit atau kecelakaan kerja, sehingga
penggunaan alat pelindung diri memegang peranan penting. Hal ini penting dan bermanfaat
bukan saja untuk tenaga kerja tetapi untuk perusahaan.

Dasar hukum APD adalah UU K3 dan Permenakertrans No. Per 03/Men/1982


tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Beberapa pasal UU K3 yang mengatur APD misalnya
Pasal 9 Ayat (1) UU K3 yang mewajibkan manajemem perusahaan untuk menunjukkan dan
menjelaskan APD; Pasal 12 (b) UU K3 mengatur mengenai kewajiban dan hak tenaga kerja
untuk memakai alat-alat pelindung diri; dan Pasal 14 (c) memerintahkan manajemen
perusahaan untuk menyediakan secara cuma-cuma semua alat pelindung diri yang
diwajibkan.

Jawablah pertanyaan-pertanyan berikut ini dengan singkat dan jelas!

1. Apakah yang dimaksud dengan alat pelindung diri?


2. Jelaskan peraturan keselamatan pribadi pada area kerja?
3. Apakah manfaat menggunakan alat pelindung kepala? Berikan contoh dari alat
pelindung kepala!
4. Berikan contoh dari alat pelindung badan! Apa syarat dari alat pelindung badan
sehingga nyaman dan aman bagi pekerja/praktikan

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
7 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
MODUL PERKULIAHAN

Manajemen
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja
Modul 6 dan 7
Pengertian dan Lingkup Kecelakaan
kerja
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

06
FEB Manajemen S1 Tim Dosen

Abstract Kompetensi
Bab ini membahas mengenai tentang Mahasiswa memiliki kemampuan
pengertian, tujuan, lingkup dalam memahami tentang
kecelakaan kerja dalam manajemen kecelakaan kerja di dalam
K3. lingkungan kerja.
Modul 6 dan 7
Pengertian dan Ruang lingkup Kecelakaan Kerja.

Pengertian Kecelakaan Kerja

Pengertian Kecelakaan Kerja ada beberapa macam menurut para ahli. Pada
dasarnya, Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena
ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk
selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta
dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan
serupa tidak berulang kembali (Suma’mur, 2009).

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu


kejadian yang tidak dapat dipersiapkan penanggulangan sebelumnya sehingga
menghasilkan cedera yang riil. Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak
dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban jiwa dan
harta benda (Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor: 03/Men/1998).
Menurut (OHSAS 18001, 1999) dalam Shariff (2007), kecelakaan kerja adalah suatu
kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian, luka-luka,
kerusakan harta benda atau kerugian waktu. Menurut Ervianto (2005), kecelakaan
kerja adalah kecelakaan dan atau penyakit yang menimpa tenaga kerja karena
hubungan kerja di tempat kerja.

Sedangkan menurut UU No. 3 Tahun 1992 tentang JaminanSosial Tenaga


Kerja, kecelakaan kerja adalah Universitas Sumatera Utarakecelakaan yang terjadi
dalam pekerjaan sejak berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke
rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.

Jenis-jenis Kecelakaan di Laboratorium


Kecelakaan di laboratorium dapat berbentuk 2 jenis yaitu :
a. Kecelakaan medis, jika yang menjadi korban adalah pasien.
b. Kecelakaan kerja, jika yang menjadi korban adalah petugas laboratorium itu
sendiri.
Berbagai jenis kecelakaan dapat terjadi di laboratorium sekolah di antaranya :

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
2 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
a. Terluka, disebabkan terkena pecahan kaca dan/atau tertusuk oleh benda-
benda tajam lainnya.
b. Terbakar, disebabkan tersentuh api atau benda panas lain, dan oleh bahan
kimia tertentu.
c. Terkena racun (keracunan), keracunan ini terjadi karena tidak sengaja
dan/atau kecerobohan sehingga masuk ke dalam tubuh. Keracunan sebagai
akibat penyerapan bahan-bahan kimia beracun atau toksik, seperti ammonia,
karbon monoksida, benzene, kloroform, dan sebagainya. Keracunan dapat
berakibat fatal ataupun gangguan kesehatan. Yang terakhir adalah yang lebih
sering terjadi baik yang dapat diketahui dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Pengaruh jangka panjang seperti pada penyakit hati, kanker, dan
asbestois, adalah akibat akumulasi penyerapan bahan kimia toksik dalam
jumlah kecil tetapi terus-menerus.
d. Terkena zat korosif, seperti berbagai jenis asam.
e. Terkena radiasi sinar berbahaya, seperti sinar dari zat radioaktif (jika sekolah
tersedia zat seperti itu), sinar-X, dan sinar ultraviolet.
f. Terkena kejutan listrik pada waktu menggunakan listrik bertegangan tinggi.
g. Kebakaran, kebakaran dapat terjadi apabila suatu rekasi kimia antara bahan
dengan oksigen yang menghasilkan energi berupa panas dan cahaya (api).
Panas akan merambat ke sekelilingnya yang selanjutnya akan mempercepat
pula kebakaran.
Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja.

Teori Tiga Faktor Utama (Three Main Factor Theory) Dari beberapa teori tentang
faktor penyebab kecelakaan yang ada, salah satunya yang sering digunakan adalah
teori tiga faktor utama (Three Main Factor Theory). Menurut teori ini disebutkan
bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ketiga faktor
tersebut dapat diuraikan menjadi :

A. Faktor manusia.
Faktor manusia sering kali menjadi penyebab utama kecelakaan kerja.
Adapun penyebabnya antara lain:
• Umur
Umur harus mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi
fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
3 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Umur pekerja juga diatur oleh Undang-Undang Perburuhan yaitu
Undang-Undang tanggal 6 Januari 1951 No.1 Pasal 1 (Malayu S. P.
Hasibuan, 2003:48). Karyawan muda umumnya mempunyai fisik yang
lebih kuat, dinamis, dan kreatif, tetapi cepat bosan, kurang
bertanggung jawab, cenderung absensi, dan turnover-nya rendah
(Malayu S. P. Hasibuan, 2003:54). Umum mengetahui bahwa
beberapa kapasitas fisik, seperti penglihatan, pendengaran dan
kecepatan reaksi, menurun sesudah usia 30 tahun atau lebih.
Sebaliknya mereka lebih berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih
menyadari akan bahaya dari pada tenaga kerja usia muda. Efek
menjadi tua terhadap terjadinya kecelakaan masih terus ditelaah.
Namun begitu terdapat kecenderungan bahwa beberapa jenis
kecelakaan kerja seperti terjatuh lebih sering terjadi pada tenaga kerja
usia 30 tahun atau lebih dari pada tenaga kerja berusia sedang atau
muda. 22 Juga angka beratnya kecelakaan rata-rata lebih
meningkat mengikuti pertambahan usia ( Suma’mur PK., 1989:305 ).
• Jenis Kelamin
Jenis pekerjaan antara pria dan wanita sangatlah berbeda.
Pembagian kerja secara sosial antara pria dan wanita menyebabkan
perbedaan terjadinya paparan yang diterima orang, sehingga penyakit
yang dialami berbeda pula. Kasus wanita lebih banyak daripada pria
(Juli Soemirat, 2000:57). Secara anatomis, fisiologis, dan psikologis
tubuh wanita dan pria memiliki perbedaan sehingga dibutuhkan
penyesuaian-penyesuaian dalam beban dan kebijakan kerja,
diantaranya yaitu hamil dan haid. Dua peristiwa alami wanita itu
memerlukan penyesuaian kebijakan yang khususMasa kerja adalah
sesuatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja disuatu
tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun
negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja bila dengan semakin
lamanya masa kerja personal semakin berpengalaman dalam
melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, akan memberi pengaruh negatif
apabila dengan semakin lamanya masa kerja akan timbul kebiasaan
pada tenaga kerja. Hal ini biasanya terkait dengan pekerjaan yang
bersifat monoton atau berulang-ulang. Masa kerja dikategorikan
‘20 Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
4 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
menjadi tiga yaitu: 1. Masa Kerja baru : < 6 tahun 2. Masa Kerja
sedang : 6 – 10 tahun 3. Masa Kerja lama : < 10 tahun (MA. Tulus,
1992:121).
• Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan alat pelindung diri yaitu penggunaan seperangkat alat
yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh
tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan kerja. APD
tidak secara sempurna dapat melindungi tubuhnya, tetapi akan dapat
mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi.
Penggunaan alat pelindung diri dapat mencegah kecelakaan kerja
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan praktek pekerja
dalam penggunaan alat pelindung diri.
• Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan,
sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat
tempat ia hidup, proses sosial yakni orang yang dihadapkan pada
pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang
datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami
perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimal (Achmad Munib, dkk., 2004:33). Pendidikan adalah segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa
yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, maka mereka cenderung untuk menghindari
potensi bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.
• Perilaku
Variabel perilaku adalah salah satu di antara faktor individual yang
mempengaruhi tingkat kecelakaan. Sikap terhadap kondisi kerja,
kecelakaan dan praktik kerja yang aman bisa menjadi hal yang
penting karena ternyata lebih banyak persoalan yang disebabkan oleh
pekerja yang ceroboh dibandingkan dengan mesin-mesin atau karena
ketidakpedulian karyawan. Pada satu waktu, pekerja yang tidak puas
dengan pekerjaannya dianggap memiliki tingkat kecelakaan kerja

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
5 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
yang lebih tinggi. Namun demikian, asumsi ini telah dipertanyakan
selama beberapa tahun terakhir. Meskipun kepribadian, sikap
karyawan, dan karakteristik individual karyawan tampaknya
berpengaruh pada kecelakaan kerja, namun hubungan sebab akibat
masih sulit dipastikan.
• Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar
untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan
metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori, dalam hal
ini yang dimaksud adalah pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja.
Timbulnya kecelakaan bekerja biasanya sebagai akibat atas kelalaian
tenaga kerja atau perusahaan. Adapun kerusakan-kerusakan yang
timbul, misalnya kerusakan mesin atau kerusakan produk, sering tidak
diharapkan perusahaan maupun tenaga kerja. Namun tidak mudah
menghindari kemungkinan timbulnya risiko kecelakaan dan
kerusakan. Apabila sering timbul hal tersebut, tindakan yang paling
tepat dan harus dilakukakan manajemen tenaga kerja adalah
melakukan pelatihan. Penyelenggaraan pelatihan dimaksudkan agar
pemeliharaan terhadap alat-alat kerja dapat ditingkatkan. Salah satu
tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi timbulnya kecelakaan
kerja, kerusakan, dan peningkatan pemeliharaan terhadap alat-alat
kerja. Peraturan K3 Peraturan perundangan adalah ketentuan-
ketentuan yang mewajibkan mengenai kondisi kerja pada umumnya,
perencanaan, konstruksi, perawatan dan pemeliharaan, pengawasan,
pengujian dan cara kerja peralatan industri, tugas-tugas pengusaha
dan buruh, latihan, supervisi medis, P3K dan perawatan medis. Ada
tidaknya peraturan K3 sangat berpengaruh dengan kejadian
kecelakaan kerja. Untuk itu, sebaiknya peraturan dibuat dan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk mencegah dan
mengurangi terjadinya kecelakaan
B. Faktor Lingkungan
• Kebisingan Bising

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
6 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Kebisingan adalah suara/bunyi yang tidak diinginkan . Kebisingan
pada tenaga kerja dapat mengurangi kenyamanan dalam bekerja,
mengganggu komunikasi/percakapan antar pekerja, mengurangi
konsentrasi, menurunkan daya dengar dan tuli akibat kebisingan.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP-
51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat
Kerja, Intensitas kebisingan yang dianjurkan adalah 85 dBA untuk 8
jam kerja (Tabel 3).
• Suhu Udara
Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja
manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur
sekitar 24°C- 27°C. Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan
kaku dan kurangnya koordinasi otot. Suhu panas terutama berakibat
menurunkan prestasi kerja pekerja, mengurangi kelincahan,
memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan,
mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf
perasa dan motoris, serta memudahkan untuk dirangsang. Sedangkan
menurut Grandjean dkondisi panas sekeliling yang berlebih akan
mengakibatkan rasa letih dan kantuk, mengurangi kestabilan dan
meningkatkan jumlah angka kesalahan kerja. Hal ini akan
menurunkan daya kreasi tubuh manusia untuk menghasilkan panas
dengan jumlah yang sangat sedikit.
• Penerangan
Penerangan ditempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang
menerangi benda-benda di tempat kerja. Banyak obyek kerja beserta
benda atau alat dan kondisi disekitar yang perlu dilihat oleh tenaga
kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin
terjadi. Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat
obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya
tidak perlu. Penerangan adalah penting sebagai suatu faktor
keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa penyelidikan
mengenai hubungan antara produksi dan penerangan telah
memperlihatkan bahwa penerangan yang cukup dan diatur sesuai
dengan jenis pekerjaan yang harus dilakukan secara tidak langsung
‘20 Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
7 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
dapat mengurangi banyaknya kecelakaan. Faktor penerangan yang
berperan pada kecelakaan antara lain kilauan cahaya langsung
pantulan benda mengkilap dan bayang-bayang gelap (ILO, 1989:101).
Selain itu pencahayaan yang kurang memadai atau menyilaukan akan
melelahkan mata. Kelelahan mata akan menimbulkan rasa kantuk dan
hal ini berbahaya bila karyawan mengoperasikan mesin-mesin
berbahaya sehingga dapat menyebabkan kecelakaan (Depnaker RI,
1996:45).
• Lantai licin
Lantai dalam tempat kerja harus terbuat dari bahan yang keras, tahan
air dan bahan kimia yang merusak (Bennet NB. Silalahi, 1995:228).
Karena lantai licin akibat tumpahan air, tahan minyak atau oli
berpotensi besar terhadap terjadinya kecelakaan, seperti terpeleset.
C. Faktor Peralatan
• Kondisi Mesin
Dengan mesin dan alat mekanik, produksi dan produktivitas dapat
ditingkatkan. Selain itu, beban kerja faktor manusia dikurangi dan
pekerjaan dapat lebih berarti. Apabila keadaan mesin rusak, dan tidak
segera diantisipasi dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.
• Ketersediaan alat pengaman mesin
Mesin dan alat mekanik terutama diamankan dengan pemasangan
pagar dan perlengkapan pengamanan mesin ata disebut pengaman
mesin. Dapat ditekannya angka kecelakaan kerja oleh mesin adalah
akibat dari secara meluasnya dipergunakan pengaman tersebut.
Penerapan tersebut adalah pencerminan kewajiban perundang-
undangan, pengertian dari pihak yang bersangkutan, dan sebagainya.
• Letak mesin
Terdapat hubungan yang timbal balik antara manusia dan mesin.
Fungsi manusia dalam hubungan manusia mesin dalam rangkaian
produksi adalah sebagai pengendali jalannya mesin tersebut. Mesin
dan alat diatur sehingga cukup aman dan efisien untuk melakukan
pekerjaan dan mudah (AM. Sugeng Budiono, 2003:65). Termasuk
juga dalam tata letak dalam menempatkan posisi mesin. Semakin jauh
letak mesin dengan pekerja, maka potensi bahaya yang

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
8 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
menyebabkan kecelakaan akan lebih kecil. Sehingga dapat
mengurangi jumlah kecelakaan yang mungkin terjadi.
Kecelakaan kerja dan cara menghindarinya

Kebisingan Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang


bersumber dari alatalat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Suara keras, berlebihan atau
berkepanjangan dapat merusak jaringan saraf sensitif di telinga, menyebabkan
kehilangan pendengaran sementara atau permanen. Hal ini sering diabaikan
sebagai masalah kesehatan, tapi itu adalah salah satu bahaya fisik utama. Batasan
pajanan terhadap kebisingan ditetapkan nilai ambang batas sebesar 85 dB selama 8
jam sehari.

Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi bahaya dari
kebisingan?

• Identifikasi sumber umum penyebab kebisingan, seperti mesin,


system ventilasi, dan alat-alat listrik. Tanyakan kepada pekerja
apakah mereka memiliki masalah yang terkait dengan kebisingan.
• Melakukan inspeksi tempat kerja untuk pajanan kebisingan. Inspeksi
mungkin harus dilakukan pada waktu yang berbeda untuk memastikan
bahwa semua sumbersumber kebisingan teridentifikasi.
• Terapkan 'rule of thumb' sederhana jika sulit untuk melakukan
percakapan, tingkat kebisingan mungkin melebih batas aman.
• Tentukan sumber kebisingan berdasarkan tata letak dan identifikasi
para pekerja yang mungkin terekspos kebisingan
• Identifikasi kontrol kebisingan yang ada dan evaluasi efektivitas
pengendaliannya
• Setelah tingkat kebisingan ditentukan, alat pelindung diri seperti
penutup telinga (earplug dan earmuff) harus disediakan dan dipakai
oleh pekerja di lokasi yang mempunyai tingkat kebisingan tidak dapat
dikurangi.
• Dalam kebanyakan kasus, merotasi pekerjaan juga dapat membantu
mengurangi tingkat paparan kebisingan.

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
9 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
Penerangan Penerangan di setiap tempat kerja harus memenuhi syarat untuk
melakukan pekerjaan. Penerangan yang sesuai sangat penting untuk peningkatan
kualitas dan produktivitas. Sebagai contoh, pekerjaan perakitan benda kecil
membutuhkan tingkat penerangan lebih tinggi, misalnya mengemas kotak. Studi
menunjukkan bahwa perbaikan penerangan, hasilnya terlihat langsung dalam
peningkatan produktivitas dan pengurangan kesalahan. Bila penerangan kurang
sesuai, para pekerja terpaksa membungkuk dan mencoba untuk memfokuskan
penglihatan mereka, sehingga tidak nyaman dan dapat menyebabkan masalah pada
punggung dan mata pada jangka panjang dan dapat memperlambat pekerjaan
mereka.

Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi potensial kerugian dari
penerangan yang buruk?

• pastikan setiap pekerja mendapatkan tingkat penerangan yang sesuai


pada pekerjaannya sehingga mereka tidak bekerja dengan posisi
membungkuk atau memicingkan mata;
• untuk meningkatkan visibilitas, mungkin perlu untuk mengubah posisi
dan arah lampu
Penanggulangan Kebakaran

Kebakaran merupakan kejadian yang dapat menimbulkan kerugian pada jiwa,


peralatan produksi, proses produksi dan pencemaran lingkungan kerja. Khususnya
pada kejadian kebakaran yang besar dapat melumpuhkan bahkan menghentikan
proses usaha, sehingga ini memberikan kerugian yang sangat besar. Untuk
mencegah hal ini maka perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan kebakaran.

Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah, mengurangi dan memadamkan


kebakaran?

• Pengendalian setiap bentuk energi;


• Penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi
• Pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;
• Pembentukan unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja;
• Penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara
berkala;

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
10 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id
• Memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi
tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga
kerja dan atau tempat kerja yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan
berat.
Kegiatan yang perlu dilakukan dalam pengendalian setiap bentuk energi :

• Melakukan identifikasi semua sumber energi yang ada di tempat kerja/


perusahaan baik berupa peralatan, bahan, proses, cara kerja dan
lingkungan yang dapat menimbulkan timbulnya proses kebakaran
(pemanasan, percikan api, nyala api atau ledakan);

• Melakukan penilaian dan pengendalian resiko bahaya kebakaran


berdasarkan peraturan perundangan atau standar teknis yang berlaku

‘20 Manajemen Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Biro Akademik dan Pembelajaran
11 Sri Astuti Pratminingsih S.E .,M.A., P.hD http://www.widyatama.ac.id

Anda mungkin juga menyukai