Anda di halaman 1dari 2

RUU HPP SEBAGAI AGENDA REFORMASI

Di dalam Alinea ke empat Pembukaan UUD NRI 1945 disebutkan salah satu Tujuan Negara adalah
memajukan kesejahteraan Umum. Negara dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut tentunya perlu
di lakukan dengan berbagi macam upaya yang secara komperhensif dan juga di lakukan di semua
sektor yang sekiranya dapat mendorong terwujudnya Kesajahteraan bagi masyarakat. Salah satu
upaya yang baru saja di canangkan oleh Pemerintah yaitu akan mengesahkan Rancangan Undang-
Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“RUU HPP”). Mengutip pendapat akhir pemerintah
terhadap RUU HPP, pemerintah berpandangan dalam kondisi Pandemi Covid-19 mengesahkan RUU
HPP ini menjadi suatu momentum yang tepat untuk melakukan reformasi struktural di bidang
perpajakan. Hal ini tidak lain karena Reformasi perpajakan sendiri merupakan satu dimensi tak
terpisahkan dari berbagai agenda reformasi yang sedang dijalankan, yaitu: Reformasi struktural
(sektor riil), Reformasi fiskal, Reformasi sistem keuangan, dan Reformasi tata kelola negara. Bentuk
RUU HPP sendiri menggunakan metodologi omnibus dalam bentuk Undang-Undangnya dimana
didalamnya memuat 6 (enam) kelompok materi utama yang terdiri dari 9 BAB dan 19 Pasal, yaitu
mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam beberapa UU perpajakan, baik UU Ketentuan
Umum Perpajakan (“UU KUP”), UU Pajak Penghasilan (“UU PPh”), UU Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU PPN”), UU Cukai, Program Pengungkapan Sukarela
(“PPS”) dan memperkenalkan Pajak Karbon. Adapun secara garis besar muatan atas perubahan diatas
ialah:

a. Perubahan atas UU PPh


Salah satu perubahannya ialah menaikkan penerimaan dari PPh Badan sebesar 22% untuk
tahun pajak 2022 dan seterusnya. PPh Badan terbaru ini lebih tinggi 2% dibanding tarif PPh
Badan versi peraturan sebelumnya pada UU No. 2/2020 tersebut yang sebesar 20%.
b. Perubahan atas UU PPN.
Perubahan pada sector ini ialah diterapkannya sistem PPN tarif tunggal dan juga kenaikan
tarif PPN menjadi 12% disepakati untuk dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11% mulai
1 April 2022 dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025, dengan mempertimbangkan
kondisi masyarakat dan dunia usaha yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak
pandemi Covid-19.
c. perubahan UU KUP
salah satu perubahan yang telah banyak dimuat di media terkait perubahan UU KUP ialah
terobosan atas usulan dari DPR, yaitu mengintegrasikan basis data kependudukan dengan
sistem administrasi perpajakan. Dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi. Pemerintah
menjelaskan bahwasanya meskipun penggunaan NIK, tidak berarti semua WNI wajib
membayar PPh, tetapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk
membayar pajak, yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP
atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp500 juta setahun. Selain
itu juga terdapat pengenaan sanksi dalam upaya hukum yang diselaraskan dengan moderasi
sanksi administrasi dalam UU Cipta Kerja dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
d. Perubahan UU Cukai yaitu mengatur mengenai penambahan atau pengurangan jenis Barang
Kena Cukai dan Penegasan ultimum remedium bagi pelanggaran atau tindak pidana di bidang
cukai.
e. Pajak Karbon yaitu pengenaan pajak untuk memulihkan lingkungan, sebagai bagian dari
komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined
Contribution (NDC) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan
internasional pada tahun 2030.

Keberlakuan dari RUU HPP ini diharapkan dapat memberi dampak, setidaknya pada 2 sektor:

1. Keuangan Negara dan Ekonomi Makro


Pada sektor ini pemerintah berharap bahwa ketentuan ini dapat berdampak positif terhadap
keuangan negara dan ekonomi, dalam konteks, Kebijakan mengenai penguatan Administrasi
peningkatan kepatuhan Wajib pajak, perluasan basis pajak, serta peningkatan keadilan dan
kesetaraan perlakuan perpajakan, tidak semata-mata untuk mencapai tujuan pembiayaan atau
budgetair, tetapi juga sebagai instrumen intervensi dalam interaksi ekonomi secara
keseluruhan.
2. Sosial dan Budaya
Salah satu upaya yang mendorong perbaikan pada sector social adalah lahirnya kebijakan
pajak karbon kebijakan pajak karbon, karena diprediksi mampu mendorong sektor yang
ramah lingkungan dan menghasilkan performa yang baik pada pencapaian indikator
lingkungan, seperti emisi CO2 dan intensitas energi. Dari sudut pandang pengembangan
interaksi sosial secara umum, kebijakan yang mendorong perlakuan yang setara antarperlaku
usaha konvensional dan pelaku usaha online, diharapkan akan mendorong transformasi sosial,
pengembangan pasar, inovasi, alih keahlian dan pengetahuan

Anda mungkin juga menyukai