Saya ikut menjadi tim penguji pada ujian terbuka Doktor (S3). Topik penelitiannya
adalah bahan tanaman yang antara lain terbukti meningkatkan kadar hormon testosteron
pada tikus. Penelitian bahan tanaman ini merupakan bahan yang kesekian kali bagi saya,
baik sebagai pembimbing atau pun penguji di tingkat S2 maupun S3. Saya mengajukan 3
pertanyaan, salah satunya adalah “Apakah saudara Promovenda akan langsung
menggunakan bahan ini sebagai obat dan digunakan oleh manusia?”. Saya senang karena
dia menjawab, “Saya harus melakukan penelitian lebih lanjut, dan pada akhirnya harus
melakukan uji klinis pada manusia”.
Jawaban ini harus menjadi jawaban yang baku bagi semua peneliti dan praktisi di
bidang kesehatan, khususnya dokter. Selama ini, banyak orang yang tidak mengerti, tetapi
berani menyatakan suatu bahan herbal ampuh mengatasi suatu penyakit. Padahal, banyak
sekali produk herbal yang ditarik dari peredaran oleh BPOM karena ternyata dicampur
berbagai bahan obat keras. Kebetulan saya menerima cukup banyak pasien yang
mengalami akibat buruk setelah sekian lama menggunakan ramuan herbal, yang ternyata
dicampur bahan berbahaya. Sampai sekarang, mereka masih setia dalam pengobatan
untuk mengembalikan kondisinya agar sehat dan normal kembali.
Ketika HIV/AIDS menjadi topik berita beberapa tahun yang lalu, berbagai ramuan
juga ditawarkan sebagai obatnya. Salah satunya adalah buah merah. Akhirnya, semua itu
tinggal catatan kelam masa lalu yang tidak benar. Saya juga pernah melakukan uji klinis
beberapa merk herbal dengan hasil yang baik. Akan tetapi, setelah saya lakukan analisis
lebih jauh, ternyata herbal itu dicampur bahan obat yang sebenarnya. Pantaslah, hasilnya
bagus.
Pada masa pandemi corona sekarang ini, kejadian seperti itu terulang kembali.
Beberapa orang dengan semangat menyatakan telah menemukan ramuan herbal untuk
membunuh virus corona. Berita lebih menyedihkan lagi ialah "Impor jamu besar-besaran
dari China untuk dibagikan ke Rumah Sakit rujukan Corona tanpa koordinasi dengan
BPOM”. Membaca berita tersebut, saya merasa sangat kecewa, sekaligus jengkel. Karena
saya bukan pengusaha, maka saya tidak berpikir dari sudut bisnis. Otak dan perasaan saya
terganggu dengan pertanyaan yang muncul: “Apakah pihak yang mengimpor itu mengerti
sejauh mana jamu itu benar efektif melawan virus Corona? Mengertikah dia bahan apa dan
bagaimana cara kerjanya sampai mampu melawan Corona? Tahukah dia, tidak ada bahan
lain yang dicampurkan di dalam ramuan itu?” Akan tetapi, saya terhibur membaca
pernyataan Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu
Indonesia yang menyatakan antara lain, “Produk jamu belum diuji secara klinis untuk virus
Corona”. Artinya, belum atau tidak ada bukti bahwa bahan herbal yang mana pun mampu
melawan virus corona.
Kasihan masyarakat, selalu diperdaya oleh iklan, apalagi disertai kesaksian orang tertentu,
yang antara lain mengaku, “Karena menggunakan bahan herbal X, saya jadi segar”. Orang
lupa bahwa di pihak lain, lebih banyak orang yang tidak menggunakan bahan X dan juga
segar, bahkan lebih segar. Iklan dan kesaksian personal seperti itu diedarkan secara luas
melalui media daring bahkan media cetak dan TV. Saya berharap dalam kondisi yang
mencekam pada masa pandemi ini, berhentilah menjual diri lewat produk herbal yang
belum terbukti. WHO dan beberapa negara sedang melakukan uji klinis yang benar untuk
menemukan obat atau bahan yang efektif mengatasi serangan Corona. Kita juga
mempunyai peneliti yang terkemuka, yang dengan pedoman secara ilmiah dan diakui
secara internasional, akan mampu menemukan bahan atau obat, termasuk untuk
mengatasi virus Corona. Tentunya berdasarkan prinsip Evidence-Based Medicine
(pendekatan praktis medis berdasarkan bukti-bukti ilmiah).
Sumber: https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/01/180600923/ramuan-herbal-untuk-
corona-benarkah-hebat-?page=all#page3