Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQIH

SUNAH DAN BID’AH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Ushul fiqih

Dosen Pengampu: Ali Sadikin Ritonga, M.,Pd.I

Disusun Oleh:

Sallim Ritonga
Refi Fauzah Sipahutar
Hidayanti Ritonga
Putri Wahyuni Rambe

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU


MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL-BUKHARY LABUHANBATU
2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjat puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Sunnah dan Bid’ah” .
Dalam makalah ini menjelaskan tentang Sunnah dan Bid’ah. Diharapkan
makalah ini dapat memberikan pemahaman tentang Sunnah dan Bid’ah. Terima kasih
pemakalah sampaikan kepada semua pihak yang membantu penyusunan makalah.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam proses penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.

Rantauprapat, November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah……...........................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1. Pengertian Sunah dan Bid'ah...................................................................3

2.2. Macam- Macam Sunnah dan Bid’ah.......................................................5

2.3. Fungsi Sunah dan latar belakang Bid’ah.................................................7

2.4. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum..........................................9

BAB III PENUTUPAN..........................................................................................13

3.1. Kesimpulan ...........................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyusunan makalah ini kami maksudkan sebagai bahan kajian serta diskusi kami
mengenai sunnah dan bid’ah. tidak bisa disangkal lagi bila kenyataan yang terdapat
menunjukkan tidak sedikit berasal kaum muslimin yang begitu hobi melakukan
praktek bid’ah serta khurafat, yang lebih mengenaskan bid’ah serta khurafat itu
dikemas sedemikian rupa supaya tampak seolah-olah suatu ibadah yang disyariatkan,
lebih tampil menarik dan bisa memikat perhatian poly orang. ada interim apa yang
terdapat pada pada Kitabullah berisikan perintah buat ittiba’ (mengikuti tuntunan
Rosulullah).

Bidah ialah pelanggaran yg sangat besar berasal sisi melampaui batasan- batasan
hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah kentara bahwa hal ini
menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad
SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang serta
membutuhkan tambahan serta belum tepat.

Sunnah sering disamakan dengan hadits. Segala perkataan, perbuatan, dan takril
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan perbuatan para
sahabatnya seperti Kholid bin Walid, memakan daging biawak. Nabi SAW
mengizinkan Nabi untuk percaya bahwa dia tidak melarangnya. Sunnah adalah
sumber hukum kedua setelah Alquran. Dalam kajian ushul fiqh, asSunnah adalah cara
untuk menjelaskan Al-Qur'an, jadi fungsi asSunnah adalah menjelaskan, menafsirkan,
menyempurnakan, menambah, dan menambah berbagai hukum yang terkandung
dalam Al-Qur'an. Dan adapula yang masih mubham.

Menggunakan penyusunan makalah ini kami harapkan akan bisa menambah


wawasan bagi kami serta segenap pembaca di umumnya agar bisa sebagai ilmu yang
berguna nantinya.

Makalah ini kami susun menjadi bentuk tugas pembuatan makalah mata kuliah
Ke-Aswajaan.

1
1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang dapat dijabarkan mengenai pembahasan makalah ini


yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana pengertian sunah dan bid’ah?

2. Apa macam – macam sunah dan bid’ah?

3. Bagaimana cara membedakan sunah dan bid’ah?

4. Bagaimana kedudukan Sunnah dalam hukum?

1.3 Tujuan Penulisan

Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan memberi tujuan diantaranya sebagai


berikut:

1. Untuk dapat mengetahui pengertian tentang sunah dan bid’ah

2. Untuk memahami tentang apa saja sunah dan bid’ah

3. Untuk dapat membedakan macam-macam sunah dan bid’ah

4. Untuk mengetahui kedudukan Sunnah dalam hukum

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sunah dan Bid'ah

1. Pengertian Sunnah
A. Secara etimologi
Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum
pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang
terpuji maupun yang tercela.
Sabda rasulullah SAW :
Artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik
didalam Islam, maka ia menerima pahalannya dan pahala orang-orang
sesudahnya yang mengamalkannya”. (H.R. Muslim )
B. Secara terminology
Pengertian sunnah bisa dilihat dari 3 disiplin ilmu ;
1. Ilmu hadits
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
2. Ilmu ushul fiqhi
Segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan,
perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3. Ilmu fiqih
Salah satu hukum takhlifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan
mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila
ditinggalkan.
Para ulama islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa
Arab yang mereka gunakan dalam artian khusu yaitu: ”cara yang biasa
dilakukan dalam pengamalan agama”.

Kata Sunnah sering disebut dengan kata ”kitab”. Di kala kata sunnah
dirangkaikan dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal
dalam agama berdasarkan apa yang disarankan dari Nabi Muhammad SAW”;
atau “suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah

3
dalam artian ini adalah “bid’ah” yaitu amaliah yang diadakan dalam urusan
agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi.

Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan


dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun
pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah:
“sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk
tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang
melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.

Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata


“Hadits” ini sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama
dengan kata “Sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama
ushul.

Dikalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dan Hadits, terutama


karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih
banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih
banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi
tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.

2. Pengertian Bid’ah
Secara bahasa, kata bid’ah ( ‫) البدعة‬berasal dari bahasa Arab bada’a

– yabda’u – bad’an – bid’atan( ‫ع‬K‫د‬K ‫ع – ب‬K‫د‬K ‫عا – ي ب‬K‫د‬K ‫ ب‬- ‫ )بدعة‬yang bermakna
bada’a (memulai).

Sedangkan, secara istilah bid’ah disifati secara mutlak dengan sifat sayyiah
(tercela).

Beberapa ulama mengemukakan pendapatnya;

1. Al-Imam Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka


dalam madzhab Syafi’I, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya
Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam yaitu “Bid’ah adalah
mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa
Rasulullah.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
2. Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu

4
Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam
madzhab Syafi’i. Beliau berkata : “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu
yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah.” (Al- Imam al-
Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Laughat, 3/22).

3. Bahkan al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani, ulama Syiah


Zaidiyah, mendefinisikan bid’ah hampir sama dengan definisi diatas.
Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau
mengatakan : “Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan
tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah disini
adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’
melalui Qur’an dan Sunnah” (al-Imam al- Shana’ani, Subul al-Salam,
2/48).

2.2 Macam- Macam Sunnah dan Bid’ah

1. Macam- Macam Sunnah


Pembagian sunnah dari segi bentuknya:
A. Sunnah Qauliyyah

Adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar


oleh sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain.

Contoh sunnah qauliyyah:

Artinya: Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Belum


beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya”.

B. Sunnah Fi’liyah
Adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang
dilihat atau diketahui atau diperhatikan oleh sahabat,
kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya.

Contoh sunnah fi’liyah:

Artinya: Dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya


melihat Rasullah SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan
shalat gerhana matahari, katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya

5
membelakangi jama’ah menghadap kiblat dan berdoa, kemudian beliau
membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat bersama kami dua
rekaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rekaat itu”.

Sunnah fi’liyyah pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 bagian,


yaitu:

1. Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang


berkaitan dengan hukum.

Misalnya; tata cara shalat, puasa, haji, transaksi dagang,tata cara makan
dll. Perbuatan ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau
sendiri, atau karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al-
Qur’an maupun dari sifat perbuatan Rasulullah SAW.

2. Perbuatan yang khusus berlaku bagi Rasulullah SAW.

Misalnya; beristri lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan shalat tahajjud,


berkurban, shalat witir, dll. Semua perbuatan itu bagi umatnya tidak
wajib.

3. Perbuatan dan tingkah laku Nabi berhubungan dengan penjelasan


hukum, seperti: shalat, puasa, jual beli, utang piutang, dll.

C. Sunnah Taqririyah
Adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di
hadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak
ditanggapi atau dicegah oleh Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini
merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat
dibedakan pada 2 bentuk:

1. Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang


oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa
si pelaku berketerusan melakukan perbuatan yang pernah dibenci
dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya.
Diamnyan Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan
larangan sebelumnya.

6
2. Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak
diketahui pula haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini menunjukkan
hukumnya adalah ibahah atau meniadakan keberatan untuk
diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi
mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti
Nabi berbuat kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shum
(terhindar dari kesalahan).
Contoh sunnah taririyyah:

Artinya: Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada Nabi SAW


dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang
untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada beliau:
“Itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka Khalid
berkata: “Apakah haram memakannya?” Beliau menjawab:
“Tidak,tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan didaerah
saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid
memakannya, sedang Rasulullah memandanginya.
2.3 Macam-macam Bid’ah
Para ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu Bid’ah Hasanah (bid’ah
yang baik) dan bid’ah Madzmumah (bid’ah yang tercela).
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’I – mujtahid besar dan
pendiri madzhab Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di
dunia Islam berkata :
“Bid’ah ada dua macam : pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-
Quran atau sunnah atau Ijma’ dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat).
Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al- Quran,
Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.” (Al- Baihaqi,
Manaqib al-Syafi’I, 1/469).
Al-Imam Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika membicarakan
masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib al- Asma’ wa al- Laughat (3/22), beliau
mengatakan:
“Bid’ah terbagi menjadi dua yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah
(buruk).” (Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ al- Lughat 3/22).
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua, juga dilegitimasi dan dibenarkan
oleh Ibnu Taimiyah, rujukan paling otoritatif dari kalangan yang menolak pembagian

7
Bid’ah, seperti Salafi, Muhamadiyah, dan lain lain. Beliau berkata,
“Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan
kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak menyalahinya, terkadang
tidak dinamakan bid’ah. Imam Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama,
bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sebagian sahabat
Rasulullah saw. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak
menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah berdasarkan
perkataan Umar ra, “Inilah sebaik- baik bid’ah”. (Syekh Ibnu Taimiyah,
Majmu’ al-Fatawa, 20/163).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama seiring berjalannya
waktu mulai dari al-Imam al-Syafi’I, al-Imam al-Nawawi, al- Hafizh Ibn Hajar dan
Syaikh Ibn Taimiyah telah sepakat membagi bid’ah mejadi dua, yaitu bid’ah hasanah
dan bid’ah madzmumah. Bahkan, bid’ah hasanah sudah ada semenjak masa
Rasulullah saw, masa sahabat dan terus berlanjut sampai pada generasi selanjutnya.

D. Contoh - contoh Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik)

1. Pembukuan al Qur’an, sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an,


bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak
era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra.
Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu
kemudian penomoran ayat atau surat, harakat tanda baca, dan lain lain.

2. Sholat tarawih berjama’ah. Khalifah Umar bin Khattab ra yang


mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada
seorang imam yang sebelumnya dilakukan rasulullah SAW tidak
berjama’ah. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan
sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa.

3. Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam


pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum
khotbah Jum’at menjadi 2 adzan.

4. Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan,


dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke
hadits lainnya. Bahkan Rasulullah saw. pernah melarang menuliskan
hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan

8
hadits baru sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H.

5. Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata


bahasa Arab, Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dan lain lain.

E. Contoh – contoh bid’ah Dhalalah (Bid’ah yang buruk)

1. Munculnya golongan baru seperti Syi’ah, Khowarij, Salafi wahhabi,


dan lain-lain. Hal ini sesuai hadits yang menjelaskan umat islam akhir
zaman akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya tersesat kecuali
Ahlussunnah wal’jama’ah.

2. Melukai tubuh sendiri pada hari Asyura 10 Muharram (Ritual Arbain


mengenang kematian imam Husain). Tradisi Golongan baru Syi’ah
yang tidak ada manfaatnya melainkan kerugian yang didapat.

3. Membaca Al-Qur’an dengan iringan musik. Al-Qur’an ialah kalam


Allah yang suci sedangkan musik merupakan hal yang melalaikan
sehingga keduanya tidak dapat di satukan karena tidak ada manfaatnya
sama sekali.

2.4 Fungsi Sunah dan latar belakang Bid’ah

1. Fungsi Sunnah
Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar
ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang
secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah.
Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-
Qur’an.

Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fiqh, maka Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai
bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi
sebagai berikut:

1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-


Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah
hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al- Qur’an.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:

9
Dan diriknlah shalat dan tunaikanlah zakat....
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al- Qur’an
dalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an
b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis
besar
c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara
umum
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al- Qur’an
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah
menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al- Qur’an.
Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” atau “insya”.

Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang
ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa
yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-
Qur’an secara terbatas.

2. Latar belakang pembagian Bid’ah


Telah kita ketahui bahwa Mayoritas Para ulama’ Ahli hadits Ahlussunnah
wal jama’ah membagi Bid’ah menjadi dua macam, hal ini berangkat dari
sebuah hadits sebagai berikut:

“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik- baik


ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap
bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).

Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Kemudian


jangkauan hukum hadits tersebut dibatasi oleh sekian banyak dalil, antara
lain hadits berikut: “Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah SAW
bersabda:

“Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan


memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya

10
sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan
barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya
sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim).

Dalam hadits pertama, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa setiap bid’ah


adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah SAW menegaskan
pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka
ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang- orang yang
melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas
membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah
(setiap bid’ah adalah sesat)” . Dalam hadits kedua, Nabi SAW
menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang
baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah
dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW.

4. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum

Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat


dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-
kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di
luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.

Kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:


1. Sunnah sebagai Ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Tidak heran kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban
shalat, zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.

2. Sunnah sebagai Penjelas Al-Qur’an


Sunnah adalah penjelas (bayanu tasyri’) sesuai dengan firman Allah surat An-
Nahl ayat 44:

Artinya:
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang
apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.(Q.S. An-
Nahl:44)

11
Penjelasan sunah terhadap Al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi 3 bagian:
a. Penjelasan terhadap hal yang global.
Seperti diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan
mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal
itu dijelaskan oleh sunah sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
b. Penguat secara mutlaq. Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-
dalil umum yang ada dalam Al-Qur’an.
c. Sunnah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih
umum.
3. Sebagai Musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada
dalam Al-Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan
lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:

a. Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.
b. Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Qur’an, tetapi
hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur’an.

12
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:

Sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti
oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela. Sunnah dibagi
menjadi 3 bagian:

1. Sunnah Qauliyah
2. Sunnah Fi’liyyah
3. Sunnah Taqririyyah
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan
dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang mengalaminya
dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada
orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya sekitar abad
ketiga Hijriah.

Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:


berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada
orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa
khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi
kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.

Fungsi sunnah adalah Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang


tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang diSmaksud dalam al-Qur’an.

Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat Al-Qur’an,


sebagai penjelas Al-Qur’an, dan sebagai musyar’i.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010, Jakarta: Amzah. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, 2008, Jakarta: Kencana.
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, 2008, Bandung: Pustaka Setia. Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 2010, Bandung: Pustaka Setia.
Saeful Hadi, Ushul Fiqih,2009, Yogyakarta: Sabda Media

Isnan Ansory, Bid’ah Apakah Hukum syariah?, rumah fiqh publishing, setiabudi
jakarta Selatan, 10 Oktober 2018

Ramli, Idrus, Membedah Bid’ah dan Tradisi. Khalista, Surabaya 2012


Abdusshomad, Muhyiddin, Fiqih Tradisionalis, Jawaban Pelbagai Persoalan
Keagamaan sehari- hari, Pustaka Bayan. Khalista, Surabaya, 2010

http://sidogiri.net/2014/10/bidah-hasanah-dari-masa-ke-masa/
https://reevy.wordpress.com/2010/09/24/beberapa-contoh-bid%E2%80%99ah- yang-
tercela-menurut-al-hafidz-as-suyuthi-rahimahullah/

http://www.muslimedianews.com/2015/02/contoh-contoh-bidah-hasanah- menurut.html

14

Anda mungkin juga menyukai