Anda di halaman 1dari 2

Tidak dapat disangkal bahwasannya pertanian saat ini sedang tidak baik-baik saja.

 Seiring
berjalannya waktu, pertanian telah berkurang dan berada di jalur kemunduran, yang sekarang
dianggap biasa saja oleh masyarakat. Padahal petani merupakan salah satu penyangga tatanan
negara Indonesia, akronim yang melekat dan selalu dipandang spesial sebagai penjaga ketahanan
pangan negeri. Oleh karena itu, penurunan tajam dalam populasi pertanian dan kekosongan
masyarakat dalam bertani dianggap sebagai kenyataan yang cukup menyedihkan.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, yaitu negara dengan perekonomian bergantung atau
ditopang oleh sektor pertanian. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki sumber daya alam yang
melimpah serta dipercaya dapat mendorong perekonomian negeri. Negara agraris juga memiliki arti
sebagai negara yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Namun pada
kenyataannya petani di Indonesia saat ini hanya berjumlah 33,4 juta orang dari 270 juta penduduk di
Indonesia. Kondisi ini cukup disayangkan, fakta di lapangan tidak menunjukkan ciri negara agraris
yang melekat di negeri ini. Apalagi dalam kurun waktu hampir tiga dekade terakhir, sumbangan
sektor pertanian terhadap produk domestik bruto terus menurun. 

Seperti yang baru-baru ini kita saksikan, ketidakstabilan produksi pertanian terus berlanjut yang
mengakibatkan terjadinya kenaikan harga bahan-bahan pokok di pasar Internasional akibat
kurangnya stok ketersedian bahan pangan atau ketahanan pangan, cuaca ekstrem dan juga karena
adanya pengaruh situasi ekonomi global (perang antara Rusia dan Ukrania). Ini bukanlah hanya
situasi domestik lagi tapi situasi Internasional bahkan lebih serius, dan kita sekarang sedang
memasuki era krisis pangan.

Para ahli memperkirakan bahwa 300 juta orang akan kelaparan terutama di negara-negara miskin
seperti Afrika, sebab mereka bergantung dengan mengimpor makanan dari Rusia dan
Ukrania. Beberapa perkiraan juga menunjukkan bahwa 700 juta orang di seluruh dunia juga
mengalami krisis pangan. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah beberapa kali
mewanti-wanti ancaman krisis pangan global dan berharap Indonesia bisa berperan membantu.
Terutama mengatasi ancaman kelaparan akut di puluhan negara di dunia. 

Sebelum tahun 2000, produksi pangan global lebih besar dari total konsumsi. Oleh karena itu,
masalah pangan pada periode ini merupakan masalah yang relatif, yaitu masalah inkonsistensi
geografis antara produksi dan konsumsi. Namun, sejak tahun 2000, konsumsi telah melampaui
produksi, dan dunia kini menghadapi kekurangan pangan mutlak. Dengan kata lain, makanan yang
diproduksi di Bumi tidak dapat memberi makan manusia. Oleh karena itu, untuk menghadapi krisis
pangan ini dperlukannya tenaga kerja (petani) untuk memenuhi produksi pangan global. Terutama
dengan produk yang berkualitas. Itulah betapa pentingnya seorang petani. Lantas, apakah kita masih
menerima begitu saja kerusakan pertanian, pengorbanan petani, dan runtuhnya daerah pedesaan
khususnya desa pertanian untuk memperbaiki krisis pangan ini dan hidup lebih baik?

Apalagi permasalahan yang kini dihadapi para petani tak kunjung berhenti. Mulai dari persoalan
mengenai harga gabah yang tak berpihak kepada petani, alih fungsi lahan, kurangnya pemahaman
teknologi dan lainnya hingga stigma negatif petani yang dianggap tak menjamin sukses di masa
nanti. Padahal kini yang menjadi petani sudah tidak muda lagi, jumlahnya pun sedikit sekali.
Minimnya regenerasi petani di RI memicu problematik bagi industri pangan. Banyak anak muda tidak
melirik industri pertanian karena dianggap tidak menjanjikan ketimbang kerja kantoran.

Mengutip keterangan Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2021 lalu, jumlah penduduk usia kerja
mencapai 206,71 juta. Di mana bidang pertanian jadi bidang yang banyak ditinggalkan angkatan
kerja.
Kadang tak lagi mengherankan bahwasannya para politisi masih tega memanfaatkan kesederhanaan
hidup petani untuk dieksploitasi demi terciptanya figur publik yang baik hati. Miris sekali, sudah
seharusnya para petani merasakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan. Petani merupakan
profesi yang mulia, kita harus menghormatinya. Karena berkat merekalah kita bisa makan.

Tak perlu banyak peraturan dan perundang-undangan, hanya kesejahteraan yang mereka butuhkan.
Sudah bukan lagi masanya kita fokus pada peningkatan produksi hasil pertanian, melainkan
regeneration dan pengolahan hasil tani yang diutamakan. Pertanian harus dimasukkan dalam
domain publik sebagai kebijakan pertanian yang bertanggung jawab secara nasional. Hal ini karena
pertanian bukan masalah satu industri, tetapi masalah kelangsungan hidup rakyat. 

Tentu saja hal ini bukan semata tanggung jawab pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Namun,
butuh kolaborasi seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat kerjasama dan kolaborasi dalam
upaya memajukan sektor pertanian, serta mengatasi semua persoalan.

Selain itu, peran mahasiswa juga sangat penting dalam permasalahan kontekstual dan krusial pada
sektor pertanian. Mereka merupakan generasi-generasi penerus para petani nantinya dan juga
sebagai penggerak inovasi baru terhadap pertanian berkelanjutan baik dari hulu-hilir sampai
pengolahan, seta management produk pertanian agar memiliki nilai tambah lebih dan berdaya saing,
dan mampu sebagai agen promosi produk pertanian lokal

Adanya korelasi yang tepat antara pemerintah selaku pemangku kebijakan, dan mahasiswa
penyambung lidah rakyat, serta petani milenial dan petani rakyat dapat bersama bersinergi
menyatukan visi mulia dan memenuhi hajat umat manusia, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan
memperbaiki pembangunan pertanian.

Anda mungkin juga menyukai