Anda di halaman 1dari 280

Dr. I Gede Yusa, S. ., M.H. dkk.

Negara hukum tak lain adalah negara yang berkonstltusi.


Sehlngga salah satll indikasi kebernegaraan yang balk
adalah kepatuhannya pada konstitusi. Dengannya selu­
ruh pengaturan kenegaraan ditata guna menghadirkan
keadllan dan kesejahteraan. Menuju itu, buku ini memuat
seJumlah aspek dasar dalam bahasan-bahasan Hukum
rata Negara Indonesia: Perspektif Keilmuan Hukum Tata
Negara Dasar-Dasar Hukum Ta a Negara. Lembaga­
Lembaga Negara. Wilayah Negara dan Otonoml Daerah l
Warga Negara dan Hak Asasi Manusia, Partai Palltik dan
Pemilu.

ISBN:978-bD2-1b42-98-b

SETARA PRESS
JI. JovO\uko M 110 No. 41 Mt'IJOS8,i Mala09
l \. p.I+62lJ41-57J650
.. fax (-62)341-188010
. Email: M!.sksi.lfl lill'l'><3: all.com (Perla n)
IntIaQS_m.a!ar~ hoo.com (PtnYsara ) 9786021642986
w:.w.lOlran blishing.(om
Hukum Tata Negara
... ...
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

i
ii
Hukum Tata Negara
... ...
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Penulis:
Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H.
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.H.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Komang Pradnyana Sudibya, S.H., M.Si.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.

Editor:
Bagus Hermanto

Setara Press
Malang 2016

iii
HUKUM TATA NEGARA
PASCA PERUBAHAN UUD NRI 1945
Copyright © Agustus, 2016

Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam Bahasa Indonesia oleh Setara Press. Hak
Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik
sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Ukuran: 15,5cm X 23cm; Hal: xviii + 260

Penulis:
Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H.
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.H.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Komang Pradnyana Sudibya, S.H., M.Si.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.

Editor:
Bagus Hermanto

ISBN: 978-602-1642-98-6

Cover: Dino Sanggrha Irnanda


Lay Out: Kamilia Sukmawati

Penerbit:
Setara Press
Kelompok Intrans Publishing
Wisma Kalimetro
Jl. Joyosuko Metro 42 Malang, Jatim
Telp. 0341-573650, Fax. 0341-573650
Email Redaksi: redaksi.intrans@gmail.com
Email Marketing: intrans_malang@yahoo.com
Website: www.intranspublishing.com
Anggota IKAPI

Distributor:
Cita Intrans Selaras

iv
Kata Pengantar

Puji Syukur kehadapan Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha


Kuasa, penyusunan bahan buku ajar Mata Kuliah Hukum Tata
Negara untuk Program S1 Ilmu Hukum Universitas Udayana telah
terwujud dalam bentuknya seperti di tangan pembaca.
Dinamika perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia sangat
dinamis sehingga membutuhkan banyak waktu untuk menye-
suaikan dengan hukum positif yang sedang berlaku. Kami merasa-
kan keterbatasan ini, sehingga substansi pokok yang dipilih adalah
bersifat teori dan asas-asas, sementara untuk pengembangannya
dalam praktik perkuliahan dan diskusi akan mengikuti perkem-
bangan nyata setiap saat.
Atas tersusunnya buku ajar Hukum Tata Negara ini, kami
dibantu banyak pihak, untuk itu pada kesempatan ini disampaikan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas
semangat dan dorongannya.
2. Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
3. Rekan-rekan sejawat Anggota Bagian Hukum Tata Negara.

v
Semoga usaha ini dapat memberi manfaat. Atas segala ke-
kurangannya kami mohon maaf. Saran dan kritik untuk penyem-
purnaannya akan diterima dengan senang hati.

Denpasar, 11 Maret 2016


Tim Penyusun

vi
Pengantar Ahli
... ...
Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Udayana

Patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas


sumbangan pemikiran yang diberikan rekan-rekan sejawat dari
bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana
yang sangat berarti dalam pengembangan ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Tata Negara khususnya.
Karya ilmiah semacam ini sudah barang tentu bertujuan
memberikan pemahaman teoritik, konseptual, serta justifikasi yuridis
konstitusional mengenai obyek-obyek kajian para mahasiswa
Fakultas Hukum dan pembaca. Selain itu, buku Hukum Tata Negara
Pasca Perubahan Undang Undang Dasar 1945 ini juga untuk
membantu mahasiswa dan pembaca lainnya karena literatur ilmiah
dalam bentuk buku jumlahnya masih belum memadai. Apalagi
karya-karya ilmiah dalam bidang hukum Tata Negara Pasca
Perubahan Undang Undang Dasar 1945 sampai dengan buku ini
dipublikasikan jumlahnya masih terbatas. Terbitnya buku Hukum
Tata Negara Pasca Perubahan Undang Undang Dasar 1945, sangat

vii
bermanfaat sebagai bahan acuan bagi dosen Hukum Tata Negara
dan mahasiswa peserta mata kuliah Hukum Tata Negara dalam
proses belajar dan mengajar.
Metode yang digunakan dalam pengkajian dan penulisan buku
ini adalah metode normatif dengan menggunakan bahan-bahan
hukum primer seperti Undang Undang Dasar 1945 Pasca perubahan
serta peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak, di samping
bahan-bahan bacaan sebagai bahan hukum sekunder yang
fungsinya untuk melakukan klarifikasi dan justifikasi ilmiah. Oleh
sebab itu, pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah pende-
katan Undang-undang “Statute Approach”, pendekatan konsep
“conceptual Approach” dan pendekatan historis “historical Approach”.
Buku yang terdiri dari enam bab ini, pada setiap babnya terurai
pokok-pokok bahasan yang sangat penting bagi mahasiswa dan
masyarakat pembaca dalam memahami hakekat masing-masing
substansi. Diawali dengan pemahaman-pemahaman dasar mengenai
istilah, definisi obyek, ruang lingkup dan metode Hukum Tata Negara.
Sumber-sumber dan asas-asas Hukum Tata Negara dan perkem-
bangan ketatanegaraan penguraiannya ditempatkan dalam Bab I
dan Bab II. Pemaparan tersebut merupakan materi dasar yang harus
dipahami mahasiswa maupun pembaca lainnya sebelum mendalami
bahasan-bahasan berikutnya.
Materi tentang isi hukum akan dapat dipahami dengan baik
apabila telah mendalami bagian sumber-sumber Hukum Tata Negara.
Kecuali itu, asas-asas Hukum Tata Negara berfungsi untuk melaku-
kan justifikasi dan klarifikasi ilmiah. Sedangkan sejarah ketata-
negaraan yang penguraiannya secara periodik, sejak tahun 1945
sampai sekarang, bermanfaat untuk memberikan pemahaman historis.
Selain menggali tentang sumber-sumber Hukum Tata Negara,
Buku ini juga menyinggung tentang lembaga-lemga negara. Dalam
rangka merealisasikan cita-cita perjuangan bangsa, sebagaimana
terkandung dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, maka
eksistensi lembaga-lembaga Negara di Republik ini sangat diperlu-
kan. Hal tersebut sesuai Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang
menentukan bahwa; “....kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

viii
memajukan kesejahteraan umum, berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial…..”. Dengan demikian, amanat
Pembukaan UUD 1945 tentang pemerintahan Negara Indonesia
dalam buku ini, pemaparannya dalam Bab III tentang lembaga-
lembaga negara baik dalam bidang legislatif, eksekutif maupun
yudisial. Fokus pemaparan tersebut menyangkut kedudukan,
distribusi wewenang, fungsi dan tugas masing-masing lembaga
negara serta hubungan antar lembaga Negara tersebut. Distribusi
wewenang pada ketiga kekuasaan tersebut bermanfaat untuk:
1. Menghindari kemungkinan tumpang tindih wewenang,
2. Menghindari pemusatan wewenang pada suatu lembaga Negara,
3. Memudahkan koordinasi.
Hal selanjutnya yang tidak tertinggal untuk dibahas dalam
buku ini adalah wilayah negara sebagai syarat dari diakuinya
kedaulatan sebuah negara, Konvensi Montevideo Tahun 1933 yang
merupakan hasil dari Konferensi Pan Amerika menentukan syarat-
syarat berdirinya negara antara lain:
1. Penduduk yang tetap.
2. Wilayah tertentu.
3. Pemerintah.
4. Pengakuan Internasional.
Wilayah negara yang merupakan syarat kedua dalam konvensi
tersebut, merupakan salah satu pokok bahasan dalam Bab IV, selain
tentang otonomi daerah. Wilayah negara merupakan kriteria yang
sangat penting, karena tanpanya eksistensi negara kemingkinan
sulit dipertahankan.
Wilayah Negara Indonesia secara konstitusional sebagai suatu
negara kepulauan (archipelago State) dengan wilayah yang batas-
batas dan hak-haknya ditetapkan Undang-Undang. Hakikat otonomi
daerah merupakan salah satu dari sekian hak, wewenang dan ke-
wajiban yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan, dan kepentingan masyarakat. Dengan
demikian, daerah berwenang membuat kebijakan-kebijakan dalam
rangka memberi pelayanan, meningkatkan peran serta, prakarsa
dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan

ix
kesejahteraan rakyat. Prinsip-prinsip otonomi daerah dan hal-hal
substansial lainnya ini juga terurai secara detail dalam bab IV.
Selanjutnya, Bab V buku ini mencoba mendetilkan seputar hak
dasar dan kewarganegaraan. Hak Dasar yang merupakan terje-
mahan dari istilah Bahasa Inggris, basic right sebetulnya merupakan
sinonim dari istilah Bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis
seperti Fundamental Human Rights, Grond Rechten, Grund Recjte dan Droit
Fundamentaux. Penggunaan istilah Hak Dasar merupakan kelaziman
dalam kepustakaan Hukum Tata Negara, sebelum istilah Hak Asasi
Manusia (HAM) yang lebih dikenal dalam perpustakaan ilmu politik
dilegitimasi penggunaannya dalam hukum positif. Oleh sebab itu,
penggunaan istilah hak dasar sebetulnya hanya sebagai suatu
kebiasaan saja.
Deskripsi mengenai cakupan hak dasar meliputi hak sipil, politik,
ekonomi sosial dan budaya yang diatur dalam UUD 1945 dan
hukum positif justifikasi akademik yang bersangkut paut dengan
hak dasar nampak dalam penggunaan pandangan beberapa sarjana.
Selain itu, deskripsi mengenai kewarganegaraan fokusnya pada asas-
asas yang berkaitan dengan cara memperoleh kewarganegaraaan,
hak untuk memilih kewarganegaraan serta beberapa prinsip lain
yang berfungsi sebagai pegangan bagi seseorang dalam menentukan
status kewarganegaraannya.
Bab terahir, bab VI, dalam buku ini mecoba mengetengahkan
tentang partai politik dan pemilihan umum yang terkategori dalam
Hak Asasi Manusia (HAM) generasi pertama. Partai politik sebagai
salah satu wadah kebebasan berkumpul berfungsi mengembangkan
demokrasi dan demokratisasi dalam negara. Tujuan partai politik
adalah memperoleh kekuasaan guna mengisi jabatan politik secara
konstitusional dan yuridis. Oleh sebab itu, penjabarannya bertalian
dengan esensi, fungsi, sistem kepartaian yang dijustifikasi dengan
teori-teori dan pengaturan menurut hukum positif.
Pemilihan umum adalah sarana demokrasi dalam rangka memilih
wakil-wakil rakyat yang akan ditempatkan pada lembaga-lembaga
perwakilan rakyat, guna memperjuangkan kepentingan rakyat. Pen-
jabaran pemilihan umum dalam bab ini menyangkut esensi, sistem
dan penyelenggaraannya semenjak pemilihan pertama tahun 1955.

x
Akhirnya, saya menyampaikan selamat kepada para anggota
tim penyusun buku ini, dan khususnya saudara Ketua Bagian
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr. I
Gede Yusa, S.H., M.H. yang telah berhasil mempersembahkan buku
ilmiah ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat
pembaca, dan upaya pengembangan Hukum Tata Negara.

Denpasar, 4 Februari 2016

Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, S.H., M.H.


Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

xi
Pengantar Penerbit

Keterhubungan antara hukum sebagai aturan yang mem-


berikan cakupan dan batasan bagi tindakan-tindakan masyarakat
dan politik sebagai sebuah aktivitas/tindakan yang bergerak dalam
dimensi otoritas dan kekuasaan tampak dalam kajian akademis
merupakan bahasan dari Hukum Tata Negara. Seluruh aktivitas
politik berikut institusi yang menaunginya ditata berdasarkan
kemungkinannya untuk sampai pada tujuan semula negara di-
dirikan. Namun bagaimanapun juga, dalam proses penataan
tersebut (aturan kelembagaan dan alat perlengkapan lainnya) mesti
terstimulasi oleh kepentingan-kepentingan politik seperti misi
kelompok tertentu atas dasar primordialisme agama, etnis atau ras
tertentu ataupun bahkan kelompok politik (partai politik) yang
hendak merebut posisi strategis negara.
Maka, dapat kita lihat sejarah perubahan sistem tata negara
(pemerintahan) Indonesia bergantung situasi politik yang melatari-
nya, walaupun dalam posisi tertentu telah ditetapkan di awal, seperti
landasan ideologis bangsa yang mengokohkan Pancasila sebagai
sistem nilai kebangsaan Negara Indonesia, bentuk negara sebagai

xii
Negara Kesatuan Republik, sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945
Pasal 1 ayat (1) “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”. Juga soal posisi kedaulatan dalam konsepsi
kenegaraan yang diletakkan pada rakyat, yakni kelanjutan Pasal 1
ayat (2) “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang” penegasan ini menunjukkan bahwa
rakyat sebagai entitas utama negara memiliki posisi etis tertinggi
negara. Namun konteks pengaturan tersebut tidak berjalan asal
berdaulat namun semua mekanisme kenegaraan diatur berdasar atas
hukum, bukan otoritas kekuasaan tertentu, yakni ayat (3) pada
Pasal 1 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Ayat ini turut
menegaskan posisi republik ini sebagai negara yang diatur berdasar
hukum sebagai konsensus publik bukan negara yang diatur oleh
kuasa (otoritas) kelompok tertentu.
Tata negara diatur sedemikian rupa merurut tantangan-
tantangan dan kesadaran yang muncul juga fenomena rezim yang
berlaku. Misalnya, walaupun aspek kelembagaan ada, Orde Baru
mampu mengooptasi seluruh suara lembaga-lembaga negara
berdasar selera kepentingan politiknya, dengan kekuatan militer
sebagai pengdongkraknya. Sentralisasi kebijakan adalah modelnya.
Berbeda dengan reformasi yang dilandasi semangat transparansi
dan balancing kekuasaan, meletakkan sejumlah batasan-batasan
kewenangan lembaga negara (dari lembaga tertinggi negara menuju
lembaga tinggi negara) juga mengubah model pengaturan posisi
seperti dicabutnya dwifungsi ABRI. Berikut pula menjamurnya
sejumlah lembaga-lembaga yudikatif negara seperti Mahkamah
Konstitusi, dan lembaga-lembaga komisioner seperti Komisi Pem-
berantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), dan beberapa lembaga lainnya. Tak lupa yang juga
amat penting dari hasil reformasi adalah pemerintahan daerah
dengan gagasan otonomi daerah.
Namun jalan penataan kelembagaan berdasar semangat reformasi
belumlah solusi pasti kebangkitan nasional, karena masih amat
keruh ditaburi etika dan budaya politik yang koruptif, dan produk-
produk kebijakan ekonomi yang mengokohkan industri-industri
besar sehingga rakyat tetap saja terpinggirkan dalam banyak akses-
akses sosial, politik dan ekonomi.

xiii
Tegasnya, memahami hukum tata negara tidak hanya sebatas
memahami fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara namun
juga melihatnya sebagai arena kepentingan yang mesti ditinjau
selalu agar tetap berada pada rel konstitusi sebagai peruwujudan
rasa keadilan dan keinginan akan kesejahteraan rakyat.
Buku ini dapat menjadi referensi pembaca guna memahami tata
negara Indonesia berikut isu-isu ideologis yang melatarinya. Selamat
Membaca!

xiv
Daftar Isi

Kata Pengantar __ v
Pengantar Ahli __ vii
Pengantar Penerbit __ xii

Bagian Pertama: Perspektif Keilmuan Hukum Tata Negara __ 1


A. Istilah dan Pengertian Hukum Tata Negara __ 1
B. Obyek dan Ruang Lingkup Hukum Tata Negara __ 3
C. Metode dan Penafsiran dalam Hukum Tata Negara __ 13
1. Metode dalam Hukum Tata Negara __ 13
2. Penafsiran dalam Hukum Tata Negara __ 17
Daftar Bacaan __ 24

Bagian Kedua: Dasar-Dasar Hukum Tata Negara __ 27


A. Sumber-sumber Hukum Hukum Tata Negara __ 27
1. Pengertian dan Istilah Sumber Hukum __ 27
2. Sumber Hukum Tata Negara __ 29
3. Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia __ 30
B. Asas-asas Hukum Tata Negara __ 51
1. Asas Kekeluargaan __ 51
2. Asas Kedaulatan Rakyat __ 53

xv
3. Asas Pembagian Kekuasaan __ 55
4. Asas Negara Hukum __ 58
C. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia __ 59
1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1945-1949 __ 59
2. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1949-1950 __ 66
3. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1950-1959 __ 68
4. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1959-Sekarang __ 69
Daftar Bacaan __ 83

Bagian Ketiga: Lembaga-Lembaga Negara __ 85


A. Pengertian Sistem Pemerintahan dan Lembaga Negara __ 85
B. Mengidentifikasi Lembaga-Lembaga Negara pada Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 __ 96
1. Teori Pemisahan dan Teori Pembagian Kekuasaan __ 96
2. Penanaman dan Dasar Huku Atribusi Wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 __ 97
C. Tata Cara Pembentukan, Susunan, dan Kedudukan Lembaga-
Lembaga Negara Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 __ 100
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat __ 100
2. Dewan Perwakilan Rakyat __ 111
3. Dewan Perwakilan Daerah __ 126
4. Lembaga Kepresidenan dan Wakil Presiden __ 137
5. Kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi) __ 139
6. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) __ 144
D. Hubungan Antar Lembaga Negara __ 145
1. Hubungan Antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah __ 145
2. Hubungan Antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Presiden __ 146
3. Hubun gan An ta ra Dewa n Perwakil an Rakyat dan
Presiden __ 147

xvi
4. Hubungan Antara Presiden dan Dewan Pertimbangan
Agung __ 149
5. Hubungan Presiden dan Kementerian Negara __ 149
6. Hubungan Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah
Agung __ 150
7. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan
Pemeriksa Keuangan __ 150
E. Kesimpulan __ 151
Daftar Bacaan __ 151

Bagian Keempat: Wilayah Negara dan Otonomi Daerah __ 157


A. Wilayah Negara __ 157
B. Otonomi Daerah __ 161
1. Prinsip Negara Kesatuan __ 161
2. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah __ 164
3. Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 hingga Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 __ 169
Daftar Bacaan __ 188

Bagian Kelima: Warga Negara dan Hak Asasi Manusia __ 190


A. Warga Negara dan orang Asing __ 190
B. Asas-asas Kewarganegaraan __ 191
C. Sejarah Perkembangan Peraturan Perundang-undangan
tentang Kewarganegaraan di Indonesia __ 191
1. Pada Awal Kemerdekaan Indonesia __ 191
2. Dalam Kenferensi Meja Bundar __ 192
3. Di Bawah UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia __ 193
4. Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarga-
negaraan Republik Indonesia LNRI Tahun 2006 No. 63 __ 194
D. Hak-hak Dasar Warga Negara/Hak Konstitusional Warga
Negara __ 209

xvii
1. Khusus untuk Warga Negara __ 209
2. Hak Asasi Manusia __ 210
Daftar Bacaan __ 214

Bagian Keenam: Partai Politik dan Pemillihan Umum __ 215


A. Konsep Kekuasaan Negara dan Pembagian Kekuasaan Negara
dalam Tinjauan Ketatanegaraan __ 215
B. Partai Politik __ 218
1. Definisi Partai Politik __ 218
2. Perbedaan Parpol dengan Gerakan dan Kelompok Kepen-
tingan atau Kelompok Penekan __ 220
3. Fungsi Partai Politik __ 221
4. Klasifikasi Sistem Kepartaian __ 223
5. Sejarah Pengaturan Kepartaian di Indonesia __ 226
C. Pemilihan Umum
1. Masalah Perwakilan __ 234
2. Sistem Pemilihan Umum __ 242
3. Sejarah Perkembangan Sistem Pemilihan Umum di Indo-
nesia __ 245
D. Kesimpulan __ 252
Daftar Bacaan __ 253

xviii
Hukum Tata Negara

Bagian Pertama
Perspektif Keilmuan Hukum
Tata Negara

A. Istilah dan Pengertian Hukum Tata Negara


Istilah Hukum Tata Negara (HTN) merupakan padanan dari
istilah dalam Bahasa Belanda Staatsrecht, dalam Bahasa Inggris
Constitutional Law, dalam Bahasa Jerman Verfassungsrecht, atau dalam
Bahasa Perancis Droit Constitutionel.
Mengenai pengertian Hukum Tata Negara, E.C.S Wade dan G.
Godfrey Phillips (selanjutnya disebut Wade dan Phillips) mengata-
kan bahwa:
“There is no hard and fast definition of constitutional law. According to
one very wide definition, constitutional law is that part of the law which
relates to the system of government of the country.”
Oleh karena itu, menurut mereka:
“It is more convenient to define constitutional law as meaning those laws
which regulate the structure of the principle organs of govern-ment and
their relationship to each other and to the citizen, and determine their main
functions.1”
Sementara itu, M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengutip,
beberapa definisi sampai pada simpulan, bahwa Hukum Tata Negara
adalah:
1
E.C.S. Wade and G. Godfrey Phillips, 1977, Constitutional and Administrative Law,
Ninth Edition, Bungay, Suffolk, Great Britain: Richard Clay (The Chaucer Press) Ltd., hlm. 5.
1
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

“Sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari


pada negara, hubungan antar alat perlengkapan negara dalam
garis vertikal dan horizontal, serta kedudukan warga negara
dan hak-hak azasinya.2”
Hampir sama dengan definisi ini, R.G. Kartasapoetra menge-
mukakan bahwa Hukum Tata Negara adalah:
“Sebagai sekumpulan hukum yang mengatur tentang ke-
organisasian suatu negara, atau tentang hubungan antar alat
perlengkapan negara dalam garis koordinasi vertikal dan hori-
zontal, tentang kedudukan warga negara pada negara itu
beserta hak-hak asasinya.3”
Definisi-definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa belum
ada kesatuan pendapat mengenai pengertian Hukum Tata Negara.
Ada suatu pengertian yang luas mengenai Hukum Tata Negara,
namun tidak mendalam. Dalam pengertian tersebut dikatakan
bahwa Hukum Tata Negara merupakan bagian dari hukum me-
ngenai sistem pemerintahan suatu negara. Sebaliknya, ada penger-
tian yang sempit dari Hukum Tata Negara, seperti dikemukakan
oleh Maurice Duverger. Dalam definisinya Maurice mengemukakan
bahwa Hukum Tata Negara hanya peraturan mengenai lembaga-
lembaga politik (lembaga-lembaga negara) dan fungsi-fungsinya,
mengenai kedudukan warga negara tidak dinyatakan secara eksplisit.
Dalam kaitan ini, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa sebagai
doktrin ilmu pengetahuan hukum, Hukum Tata Negara lazimnya
dipahami sebagai bidang ilmu hukum tersendiri yang mengenai
struktur ketatanegaraan dalam arti statis, mekanisme hubungan
antara kelembagaan negara, dan hubungan antara negara dengan
warga negara. Dalam arti luas, Hukum Tata Negara mencakup pula
Hukum Administrasi Negara (HAN) sebagai aspek Hukum Tata
Negara dalam arti dinamis. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk
membedakan antara bidang Hukum Tata Negara yang bersifat
umum, dalam arti tidak terbatas kepada satu negara dengan bidang
Hukum Tata Negara dari suatu negara, maka Hukum Tata Negara

2
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cetakan Ketujuh, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan CV. Sinar Bakti, hlm. 29.
3
R.G. Kartasapoetra, 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Jakarta:
PT. Bina Aksara, hlm. 3.

2
Hukum Tata Negara

Indonesia dibedakan antara Hukum Tata Negara Umum dan


Hukum Tata Negara Positif. Hukum Tata Negara Umum disebut
pula Pengantar Hukum Tata Negara yakni mengenai teori-teori
ketatanegaraan secara umum, sedangkan Hukum Tata Negara
Positif hanya membahas konstitusi yang berlaku di Indonesia saja.
Di samping itu, menurut Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara
memiliki pula cabang ilmu khusus yang melakukan kajian
perbandingan antar berbagai konstitusi, yaitu Hukum Tata Negara
Perbandingan atau Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara.4
Dengan demikian, Hukum Tata Negara dapat diartikan secara
luas, secara sempit, dalam arti umum, dan dalam arti hukum positif.
Dalam hal ini, Hukum Tata Negara yang dimaksudkan adalah
Hukum Tata Negara dalam arti sempit, sebab Hukum Administrasi
Negara, sebagai salah satu bidang Hukum Tata Negara, sudah
merupakan satu mata kuliah tersendiri. Namun, mencakup Hukum
Tata Negara Umum dan Hukum Tata Negara Positif, sebab bidang
telaah tidak hanya mengenai konstitusi di Indonesia, melainkan
juga disertai dengan teori-teori ketatanegaraan secara umum. Oleh
karena itu, Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan-
peraturan yang mengenai organisasi negara, lembaga-lembaga
negara, kekuasaannya, hubungannya satu dengan yang lain, dan
hubungan negara dengan warga negaranya.

B. Obyek dan Ruang Lingkup Hukum Tata Negara


Berdasarkan pada pengertian Hukum Tata Negara seperti
tersebut di atas, dapat diketahui bahwa obyek Hukum Tata Negara
adalah negara, yaitu negara dalam arti konkret negara tertentu atau
negara yang terikat oleh kurun waktu dan tempat. Sedangkan
mengenai ruang lingkup kajian Hukum Tata Negara adalah
mengenai organisasi negara yang mencakup mengenai lembaga-
lembaga negara, hubungannya satu dengan yang lain, dan
kekuasaannya. Di samping itu, juga mengenai warga negara (dalam
hal ini termasuk hak asasi manusia atau HAM), dan wilayah negara.
Dalam kaitan dengan ruang lingkup kajian Hukum Tata
Negara, Logemann dalam bukunya Het Staatsrecht van Indonesie,

4
Jimly Asshiddiqie, 1998, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cetakan
Pertama, Jakarta: Ind. Hill-Co, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I), hlm. 1 dan 2.

3
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

seperti dikutip oleh Usep Ranawidjaja, mengatakan bahwa Hukum


Tata Negara adalah hukum mengenai organisasi (tata susunan)
negara yang mencakup dua bidang pokok, yaitu: hukum mengenai
kepribadian hukum dari jabatan-jabatan; dan hukum mengenai
lingkungan kekuasaan negara yaitu lingkungan manusia tertentu,
lingkungan wilayah tertentu dan lingkungan waktu tertentu.
Mengenai kepribadian hukum dari jabatan-jabatan. Logemann
dalam bukunya College-aantekeningen over het Staatsrecht van Nederlands
Indie mengatakan bahwa hal itu merupakan obyek kajian Hukum
Tata Negara (dalam arti sempit) yakni mengenai:5
1) jabatan-jabatan apa yang terdapat dalam susunan negara;
2) siapa yang mengadakan jabatan;
3) cara pengisian jabatan dengan pejabat;
4) tugas jabatan;
5) wewenang jabatan;
6) hubungan antarjabatan; serta
7) batas-batas dari tugas-tugas organisasi negara.
Sedangkan menurut Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Negara
mengatur persoalan-persoalan ketatanegaraan, yaitu:6
1) Struktur umum dari organisasi negara yang terdiri dari bentuk
negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, corak
pemerintahan (diktator atau demokrasi), sistem pemencaran
kekuasaan negara (desentralisasi), garis-garis besar tentang
organisasi pelaksana (perundang-undangan, pemerintahan,
peradilan), wilayah negara, hubungan antara negara dengan
rakyat, cara rakyat menjalankan hak-hak ketatanegaraan (hak
politiknya), dasar negara, ciri-ciri lahir dari kepribadian negara
Republik Indonesia (lagu kebangsaan, bahasa nasional, lambang,
bendera dan sebagainya).
2) Badan-badan ketatanegaraan yang memunyai kedudukan di dalam
organisasi negara. Mengenai hal ini, penyelidikan mencakup
cara pembentukan, susunannya, tugas dan wewenangnya, cara

5
Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta:
Ghalia Indonesia, hlm. 13-14.
6
Ibid, hlm. 29-30.

4
Hukum Tata Negara

bekerjanya masing-masing, hubungannya satu dengan yang


lain, dan masa jabatannya.
3) Pengaturan kehidupan politik rakyat. Substansi ini mencakup partai
politik, hubungan antara kekuatan-kekuatan politik dengan badan-
badan negara, kekuatan politik dan pemilihan umum, arti dan
kedudukan golongan kepentingan dan golongan penekan, pen-
cerminan pendapat, dan cara kerja sama antar kekuatan-kekuatan
politik (koalisi, oposisi, kerja sama atas dasar kerukunan).
4) Sejarah perkembangan ketatanegaraan sebagai latar belakang dari
keadaan yang berlaku.
Dengan demikian, ada empat hal pokok ruang lingkup Hukum
Tata Negara yaitu struktur umum organisasi negara, badan-badan
ketatanegaraan, pengaturan kehidupan politik rakyat, dan sejarah
perkembangan ketatanegaraan suatu negara.
Sementara itu, Bagir Manan dan Kuntana Magnar dalam
bukunya Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia menge-
mukakan bahwa yang juga merupakan masalah Hukum Tata
Negara Indonesia adalah “bentuk dan teknik perancangan peraturan
perundang-undangan7”.
Berbeda dengan beberapa pandangan tersebut di atas, Ni’matul
Huda lebih menekankan pada segi kajian teoritis dan yuridis terhadap
konstitusi Indonesia sebagai obyek kajian Hukum Tata Negara. Oleh
karena itu, ruang lingkup kajiannya mencakup mengenai gagasan
cita negara dalam UUD NRI 1945; analisis yuridis terhadap naskah
UUD NRI 1945, konstituante dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959; hukum
darurat negara di Indonesia; masa jabatan, peralihan kekuasaan dan
pertanggungjawaban presiden; kedudukan, peranan, dan pertang-
gungjawaban wakil presiden; jaminan hak asasi manusia dalam
konstitusi Indonesia; hak uji materiil terhadap undang-undang;
reformasi konstitusi Indonesia; susunan dan kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD; dan konvensi ketatanegaraan di Indonesia.8

7
H. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Bandung Alumni, (selanjutnya disebut H.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar I), hlm. 1-121.
8
Ni’matul Huda, (selanjutnya disebut Ni’Matul Huda I) 1999, Hukum Tata Negara:
Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta:
Pusat Studi Hukum FH Ull Yogyakarta. Selanjutnya disebut Ni’matul Huda I, hlm. 1-179.

5
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Hal di atas menunjukkan adanya perbedaan perspektif dalam


melakukan kajian terhadap masalah Hukum Tata Negara, dan hal
itu bersifat situasional dan kondisional, yang mengekspresikan
adanya kesulitan dalam menentukan batasan yang tegas mengenai
ruang lingkup Hukum Tata Negara. Hal itu sangat disadari oleh
Padmo Wahjono yang mengatakan bahwa sulit untuk menentukan
materi Hukum Tata Negara sebab banyak hal yang belum membaku
sebagai “tata negara” karena masalah ketatanegaraan Indonesia
masih dalam proses perkembangan. Oleh karena itu, diidentifikasi
ada 16 masalah pokok ketatanegaraan sebagai ruang lingkup kajian
Hukum Tata Negara yang terdapat di dalam UUD 1945, yaitu: pem-
bentukan lembaga negara, pembentukan UUD dan GBHN, kepe-
mimpinan nasional, fungsi legislatif, fungsi eksekutif, fungsi yudi-
katif, fungsi kepenasehatan, fungsi pengaturan keuangan negara,
fungsi pemeriksaan keuangan negara, fungsi kepolisian, fungsi
hubungan luar negeri, masalah hak asasi, kewarganegaraan,
otonomi daerah, kelembagaan negara dan wawasan nusantara.9
Paralel dengan pandangan Padmo Wahjono, Bagir Manan
mengatakan bahwa kesulitan menulis dan mempelajari Hukum Tata
Negara (sebagai hukum positif) karena bidang hukum ini sangat
dinamis, sangat mudah diadakan perubahan. Ini dialami oleh In-
donesia, di mana pernah berlaku tiga Undang-Undang Dasar dalam
empat periode. Bahkan, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan
dalam kurun waktu tahun 1999 hingga tahun 2002. Perubahan
dilakukan terhadap hal-hal yang sangat pokok, bahkan sampai
menghapuskan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan sebaliknya
mengintrodusir lembaga-lembaga negara baru seperti Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Akibatnya, buku-buku
Hukum Tata Negara di Indonesia mudah sekali “usang” dan me-
nuntut pembaharuan yang cepat. Berbeda halnya dengan negara-
negara yang sistem ketatanegaraannya sudah mapan seperti Amerika
Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, India, Malaysia, dan Singapura,
walaupun terjadi perubahan terhadap konstitusi, tetapi tidak me-
nyangkut dasar-dasar sistem ketatanegaraanya. Undang-Undang
di bidang ketatanegaraan jarang mengalami perubahan. Perubahan
9
Padmo Wahjono, 1984, Beberapa Masalah Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan
Pertama, Jakarta: CV. Rajawali, hlm. 1-8.

6
Hukum Tata Negara

sering ditimbulkan oleh yurisprudensi ketatanegaraan terutama


melalui putusan judicial review.10
Mengenai perkembangan studi Hukum Tata Negara ini, Jimly
Asshiddiqie mengatakan bahwa studi Hukum Tata Negara di mana-
mana berkembang sangat pesat. Di Amerika maupun Eropa, per-
kembangannya sudah sangat jauh. Studi Hukum Tata Negara tidak
terbatas hanya pada memahami bunyi teks konstitusi, melainkan
sudah menggunakan analisis Ilmu Politik, analisis-analisis sosial
dan ekonomi untuk memahami obyek studi Hukum Tata Negara.
Menurut Jimly Asshiddiqie, studi Hukum Tata Negara di Indonesia
sepatutnya memperhatikan perkembangan itu, termasuk mengait-
kannya dengan penerapan konstitusi di dalam praktik. Bahkan,
karena konstitusi merupakan hukum dasar yang melandasi semua
bidang hukum, maka studi Hukum Tata Negara juga perlu mem-
pertimbangkan kajian-kajian dasar mengenai semua bidang hukum
itu. Artinya, bahwa studi Hukum Tata Negara perlu dikembangkan
ke dalam wilayah-wilayah nonkonvensional seperti hukum pertam-
bangan dan industri, hukum lingkungan, hukum yang menyangkut
hak-hak perempuan, hukum perkawinan, hukum agama, hukum
kesehatan, hukum tanah, hukum ekonomi dan perdagangan, dan
lain-lain, terutama dalam kaitannya dengan UUD 1945 sebagai
sumber Hukum Tata Negara.11
Dengan demikian, maka studi Hukum Tata Negara Indonesia
terpusat pada substansi dan penerapan UUD NRI 1945 di dalam
kenyataan, serta berkembang pada semua bidang hukum, sejauh
mengenai prinsip-prinsip konstitusional yang melandasi penerapan-
nya dalam praktik. Di atas sudah dikemukakan bahwa UUD NRI
1945 sudah diubah empat kali. Jika diidentifikasi masalah ketata-
negaraan yang terdapat di dalamnya, maka dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1) Struktur umum organisasi negara, meliputi: bentuk negara dan
pemerintahan (pasal 1 ayat (1)); Sistem ketatanegaraan-negara
hukum yang demokratis (pasal 1 ayat (2) dan (3)); Wilayah

10
Ni’matul Huda; 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945, Cetakan I, Yogyakarta: FH UII Press, (selanjutnya disebut Ni’matul
Huda II), hlm. ix-x.
11
Jimly Asshiddiqie I; Op.Cit., hlm. 7-8.

7
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

negara dan otonomi daerah (Bab VI, pasal 18, 18A, 18B dan Bab
IXA, Pasal 25 A); Warga negara dan HAM (Bab X dan XA); dan
faktor-faktor pemersatu bangsa: pemilihan Umum (Bab VIIB,
Bendera, Bahasa dan Lambang negara serta Lagu Kebangsaan
(Bab XV).
2) Lembaga-lembaga Negara: Majelis Permusyawaratan Rakyat (Bab
II), Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-menteri (Bab III dan
Bab V), Dewan Perwakilan Rakyat (Bab VII), Dewan Perwakilan
Daerah (Bab VIIA), Komisi Pemilihan Umum (Bab VIIB, Pasal
22E), Bank Sentral (Bab VIII, Pasal 23D), Badan Pemeriksa
Keuangan (Bab VIIIA), Mahkamah Agung (Bab IX, Pasal 24 ayat
2 dan Pasal 24A), Komisi Yudisial (Bab IX, Pasal 24B), dan
Mahkamah Konstitusi (Bab IX, Pasal 24C), Tentara Nasional
Indonesia (Bab XI, Pasal 30 ayat (3)), dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Bab XI, Pasal 30 ayat (4)).
3) Hal Keuangan negara (Bab VIII)
4) Pertahanan dan keamanan negara (Bab XII).
5) Pendidikan dan kebudayaan (Bab XIII).
6) Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial (Bab XIV).
Paparan di atas menunjukkan bahwa ruang lingkup kajian
Hukum Tata Negara bermuara pada Undang-Undang Dasar (UUD
NRI 1945). Hal itu karena di dalam UUD NRI 1945 terdapat mengenai
tipe negara; struktur organisasi negara; lembaga-lembaga negara,
kekuasaan, dan hubungan antar lembaga-lembaga negara; warga
negara beserta hak-hak dan kewajibannya; wilayah negara dan asas-
asas kenegaraan. Di samping itu, juga mengatur mengenai per-
ekonomian dan kesejahteraan sosial, serta mengenai pertahanan
dan keamanan. Bahkan, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa
sebagian besar kaidah-kaidah Hukum Tata Negara terdapat di dalam
Undang-Undang Dasar. Hal ini terkait dengan kedudukan Undang-
Undang Dasar dalam suatu negara yaitu sebagai the supreme law of
the land, bahkan sebagai the highest authority.12

12
L.M. Friedman, 2001, “American Law: An Introduction”, 2nd Edition, terjemahan
Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta: PT.
Tatanusa, hlm. 251.

8
Hukum Tata Negara

Dalam pengertian ini, maka siapapun dan segala cabang peme-


rintahan baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bahkan, termasuk
polisi yang sedang berpatroli, tidak dapat mengabaikan Undang-
Undang Dasar sebab bahasa dan aturannya adalah hukum. Namun
demikian, ruang lingkup kajian Hukum Tata Negara tidak terpaku
pada teks UUD NRI 1945 secara dogmatis, melainkan juga mengenai
aplikasinya dan pengembangannya ke semua bidang hukum.
Dengan demikian, Hukum Tata Negara norma-normanya sebagian
besar untuk tidak mengatakan seluruhnya terdapat di dalam
Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu sendiri merupa-
kan hukum dasar negara yang menjadi induk atau master of the rule
bagi semua bidang hukum dalam negara.
Hukum Tata Negara memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu
kenegaraan lainnya seperti Ilmu Negara, Ilmu Politik, Hukum
Administrasi Negara (HAN), Hukum Tata Negara Perbandingan,
dan Hukum Internasional (HI).
Ilmu Negara memberikan dasar-dasar teoritis kepada Hukum
Tata Negara positif, sedangkan Hukum Tata Negara merupakan
konkretisasi dari teori-teori Ilmu Negara.13 Ilmu Negara sebagai ilmu
yang bersifat teoritis memberikan pengetahuan dasar mengenai
pengertian-pengertian pokok dan asas-asas pokok tentang negara
pada umumnya. Misalnya, Ilmu Negara menyediakan teori-teori
mengenai bentuk negara dan pemerintah: pengertian, jenis-jenis,
kualifikasi, dan sebagainya untuk lebih mudah memahami mengenai
bentuk negara dan bentuk pemerintahan suatu negara tertentu yang
dipelajari oleh Hukum Tata Negara.
Hubungan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik pertama kali
dikemukakan oleh J. Barent dalam bukunya De Wetenschap der
Politiek. Hubungan antara kedua cabang ilmu kenegaraan itu
diungkapkan dengan suatu perumpamaan, het vices omhet geraamte
van de staat. Maksudnya adalah bahwa Hukum Tata Negara sebagai
kerangka manusia, sedangkan Ilmu Politik sebagai daging yang
melekat di sekitarnya.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menerangkan bahwa
pertautan Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik disebabkan Ilmu
13
Azhary, 1983, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg Cetakan
Keempat, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 12.

9
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Politik diperlukan untuk mengetahui latar belakang dari suatu


perundang-undangan. Di samping itu, keputusan-keputusan politik
merupakan peristiwa yang banyak pengaruhnya terhadap Hukum
Tata Negara.14 Bahkan, studi Hukum Tata Negara tidak mungkin
dapat dipisahkan dari politik.15
Mengenai hubungan Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, Van Vollenhoven dalam bukunya Omtreck van
het Administratiefrecht mengemukakan bahwa:
“Staatsorganen zander Staatsrecht is vluegellan, want hun bevoegdheid
onbreek of is onzeker. Staatsorganen zonder Administratiefrecht is
vluegelvrij, want zij kunnen hun bevoegdheid niet zo toepassen als zii
zelfit Hefts willen.”
Maksudnya, badan-badan negara tanpa Hukum Tata Negara
itu lumpuh bagaikan tanpa sayap, karena badan-badan negara itu
tidak memiliki wewenang. Sebaliknya, badan-badan negara tanpa
adanya Hukum Administrasi Negara menjadi bebas tanpa batas,
sebab dapat berbuat menurut kehendaknya. Dengan demikian,
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara memunyai
hubungan yang bersifat komplementer dan interdependen. Oleh
karena itu, keduanya sukar untuk dipisahkan. Hal itu disadari pula
oleh Wade dan Phillips. Ia mengatakan:
“There is no precise demarcation between Constitutional and Administra-
tive Law in Britain ...
A rough distinction may be drawn by suggesting that Constitutional
Law is mainly concerned with the structure of the primary organs of
government, whereas Administrative Law is concerned with the work of
official agencies in providing services and in regulating the activities of
citizens. Because Administrative Law is directly affected by the constitu-
tional structure of government, ...”16
Di negara-negara Eropa kontinental, ada paham yang mem-
bedakan secara prinsipiil antara Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, seperti dianut oleh Van Vollenhoven (pada
mulanya), Logemann dan Stellinga. Sebaliknya, ada pula paham
yang mengatakan bahwa antara Hukum Tata Negara dan Hukum

14
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit, hlm. 33 dan 34.
15
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit, hlm. 8.
16
Wade and Phillips, Op.Cit., hlm. 6-7.

10
Hukum Tata Negara

Administrasi Negara tidak ada perbedaan prinsip. Paham kedua ini


dianut oleh aliran Relativisme (Vegting dan Wiarda) dan aliran
Historis Utilitis (van der Pot, Kranenburg, van Poelje dan de Vries).
Di atas sudah dikemukakan bahwa salah satu bidang Hukum
Tata Negara yang khusus melakukan kajian perbandingan antar
konstitusi-konstitusi adalah Hukum Tata Negara Perbandingan.
Sri Soemantri mengatakan bahwa dalam memelajari Hukum Tata
Negara (positif) sering kali tidak dapat dilepaskan dari penggunaan
perbandingan-perbandingan dengan Hukum Tata Negara lainnya.
Sebagai contoh, dikemukakan mengenai pasal 7 UUD 1945 (pra-
perubahan) yang menimbulkan pertanyaan mengenai berapa kali
seseorang dapat dipilih kembali sebagai presiden. Saat itu, Penjelasan
UUD 1945 sama sekali tidak memberikan jawabannya. Oleh karena
itu, untuk dapat memberikan arti yang tepat pada ketentuan pasal
7 itu, diperlukan metode perbandingan. Dalam hal ini, perbandingan
dapat dilakukan dengan Hukum Tata Negara Amerika Serikat, di
mana seseorang bisa menjadi presiden hanya dua kali masa jabatan
(dua kali empat tahun sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 Konstitusi
Amerika Serikat).17 Hasil perbandingan seperti itu tampaknya di-
akomodasi di dalam Perubahan Pertama UUD 1945, sehingga
kemudian Pasal 7 menentukan “Presiden dan Wakil Presiden me-
megang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan.” Pada Perubahan Ketiga UUD 1945, diintrodusir suatu
norma baru, yakni mengenai mekanisme pemberhentian presiden
dalam masa jabatan melalui impeachment process (Pasal 7B UUD 1945).
Model ini semula dikenal di dalam Hukum Tata Negara Amerika
Serikat (Pasal 2 ayat 4 Konstitusi Amerika Serikat). Oleh karena itu,
untuk memahami ketentuan Pasal 7B itu, ada baiknya jika dilakukan
perbandingan dengan Hukum Tata Negara Amerika Serikat. Dengan
demikian, penggunaan metode perbandingan dalam Hukum Tata
Negara sangat penting untuk dikembangkan, paling tidak untuk
dua hal: pertama, dalam rangka mengembangkan teori Hukum Tata
Negara yang bersifat umum dan kedua, dalam rangka lebih men-
dalami dan mengembangkan studi Hukum Tata Negara Positif.18
17
Sri Soemantri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar) Hukum Tata Negara,
Bandung: Alumni (selanjutnya disebut Sri Soemantri I), hlm. 6-7.
18
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit., hlm. 4.

11
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Akhirnya, di sini akan ditunjukkan mengenai hubungan antara


Hukum Tata Negara dan Hukum Internasional. Dalam kaitan ini,
C. Parry dalam bukunya “Manual of Public International Law” seperti
dikutip oleh Wade dan Phillips mengatakan bahwa:
“International Law thus deals with the external relations of a state with
other states; Constitutional Law deals with the legal structure of the state
and internal relations with its citizens and others present on its territory.
Both are concerned with the problem of regulating by legal process and
values the great power which modern states wield. In principle, the sys-
tems of National and International Law operate at two distinct levels, but
one important branch of Constitutional Law is the National Law relating
to a governments power to enter into treaties with other states and thus to
create new international obligations ...”19
(Hukum Internasional berkaitan dengan hubungan luar negeri
suatu negara dengan negara-negara lain; Hukum Tata Negara
mengatur mengenai hubungan negara dengan warga negaranya
dan pihak-pihak lain di dalam wilayah negara. Keduanya mem-
perhatikan mengenai masalah pengaturan nilai-nilai dan proses
hukum kekuasaan besar yang dimiliki negara modern. Pada
prinsipnya, sistem hukum nasional dan Hukum Internasional
berlaku pada level yang berbeda, tetapi satu cabang penting
Hukum Tata Negara adalah hukum nasional yang berhubungan
dengan kekuasaan pemerintah untuk mengadakan perjanjian
internasional atau traktat dengan negara-negara lain yang
menimbulkan kewajiban-kewajiban internasional baru).
Dengan demikian, menurut pandangan di atas, walaupun antara
Hukum Internasional dan Hukum Tata Negara berlaku dalam level
yang berbeda, namun keduanya memiliki hubungan. Urusan
hubungan antarnegara menjadi bidang pengaturan Hukum Inter-
nasional, namun kapasitas pemerintah untuk dapat mengadakan
hubungan antarnegara itu ditentukan di dalam Hukum Tata Negara.
Oleh karena itu, pandangan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
paham dualisme mengenai hubungan antara Hukum Tata Negara
dan Hukum Internasional.
Sementara itu, para penganut selbst-limitation theorie, yang di-
introdusir oleh penganut paham monisme, terutama yang terkenal
yakni Georg Jellinek dan Zorn berpendapat bahwa Hukum Inter-
nasional itu tidak lain dari pada Hukum Tata Negara yang mengatur
19
Wade and Phillips, Op.Cit., hlm. 7.

12
Hukum Tata Negara

hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Hukum Inter-


nasional bukan suatu yang lebih tinggi yang memunyai kekuatan
mengikat di luar kemauan negara.20
Kedua pandangan di atas menunjukkan bahwa Hukum Tata
Negara dan Hukum Internasional memiliki hubungan yang saling
membutuhkan di mana Hukum Tata Negara memiliki fungsi-fungsi
yang bermanfaat bagi penerapan Hukum Internasional. Sebaliknya,
Hukum Internasional pun memiliki fungsi-fungsi penting bagi
penerapan Hukum Tata Negara. Dalam UUD NRI 1945, ditentukan
mengenai kekuasaan presiden untuk mengadakan hubungan
internasional antara lain dengan mengadakan perjanjian inter-
nasional dan hubungan diplomatik atau konsuler.21 Mengenai hal
ini, kualifikasi dan mekanismenya di samping diatur di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, juga
ditentukan di dalam Hukum Internasional, terutama di dalam Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969, Vienna Convention on Diplomatic
Relations 1961, dan Vienna Convention on Consular Relations 1963.22
Berdasarkan pada paparan obyek dan ruang lingkup Hukum
Tata Negara seperti tersebut di atas, maka pada buku ini studi Hukum
Tata Negara mencakup beberapa substansi pokok yakni perspektif
keilmuan Hukum Tata Negara; dasar-dasar Hukum Tata Negara;
lembaga-lembaga Negara; wilayah negara dan otonomi daerah;
warga negara; partai politik; kesejahteraan sosial dan ekonomi serta
pertahanan dan keamanan negara.

C. Metode dan Penafsiran dalam Hukum Tata Negara


1. Metode dalam Hukum Tata Negara
Djokosoetono mengatakan bahwa metode memunyai empat arti
yaitu metode dalam arti ilmu pengetahuan, dalam arti sebagai cara
bekerja, dalam arti pendekatan dan dalam arti tujuan. Para penulis
Hukum Tata Negara menggunakan metode dalam arti cara bekerja
20
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Buku I : Bagian
Umum, Cetakan Kedua, Bandung : Binacipta, hlm. 46-47.
21
Pasal 11 dan 13 UUD 1945.
22
Konvensi Wina 1961 dan Konvensi Wina 1969 tersebut sudah diratifikasi dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982.

13
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

dan pendekatan. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengguna-


kan kata pendekatan.23 Dikatakan bahwa dalam menyelidiki per-
soalan Hukum Tata Negara, di samping menggunakan pendekatan
yuridis formal yang lazim dipakai dalam ilmu pengetahuan hukum,
juga perlu menggunakan metode filsafat, metode kemasyarakatan
(sosiologis), dan metode sejarah (historis). Sebab ruang lingkup
kajian Hukum Tata Negara tidak hanya terbatas pada bangunan-
bangunan hukumnya saja, melainkan juga meliputi asas-asas dan
pengertian-pengertiannya yang merupakan dasar bagi terwujudnya
bangunan-bangunan hukum itu. Sebagai contoh dikemukakan
salah satunya ialah mengenai kaitan antara Pancasila dengan asas
kekeluargaan, musyawarah, dan Ketetapan MPR/MPRS. Namun
demikian, mereka mengingatkan bahwa cara pendekatan yang lain
dari pada yuridis formal dapat digunakan sebagai alat pembantu,
dengan ketentuan jangan sampai penulis terlibat dalam suatu metode
syncretismus.
Sama halnya dengan Harmaily Ibrahim dan M. Kusnardi, Usep
Ranawijaya juga menggunakan metode dalam arti pendekatan.
Dikatakan bahwa Hukum Tata Negara tidak dapat dimengerti dengan
hanya semata-mata melihat dan mempelajari bentuk-bentuk peru-
musan kaidah hukum yang dapat diketahui dari hasil perundang-
undangan, kebiasaan, yurisprudensi dan penemuan ilmu penge-
tahuan, melainkan juga harus mendekati persoalan Hukum Tata
Negara dari segi sejarah, kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam
masyarakat dan perbandingan dengan tertib hukum negara-negara
lainnya.24
Dalam Hukum Tata Negara, pada mulanya tidak disadari untuk
mengadakan metode tertentu. Usaha pertama yang secara sadar
untuk mengadakan suatu metode tertentu dilakukan oleh Paul
Laband dari aliran Deutsche Publizisten Schule (Mazab Hukum Publik
Jerman). Dalam bukunya yang berjudul “Das Staatsrecht des Deutzen
Reiches”, diintrodusir metode yuridis dogmatis (1876-1882). Menurut
metode yuridis dogmatis, pengkajian masalah Hukum Tata Negara
dilakukan dengan memahami berbagai peraturan ketatanegaraan,
mulai dari Undang-Undang Dasar hingga peraturan perundang-
23
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; Op.Cit, hlm. 20-21.
24
Usep Ranawijaya; Op.Cit, hlm. 33-34.

14
Hukum Tata Negara

undangan yang terendah. Jika suatu persoalan tidak ada pengaturan-


nya dalam peraturan-peraturan ketatanegaraan tersebut, maka hal
tersebut bukan masalah Hukum Tata Negara.
Metode yuridis dogmatis dalam kenyataannya tidak sesuai
dengan perkembangan ketatanegaraan. Kekurangan metode ini
ditunjukkan oleh Struycken, yang mengatakan bahwa Hukum Tata
Negara tidak cukup hanya menyelidiki Undang-Undang Dasar dan
Undang-Undang. Di luar itu, masih terdapat berbagai peraturan
Hukum Tata Negara lainnya, yang walaupun tidak tertulis, namun
memunyai kekuatan hukum sama dengan UUD, misalnya conven-
tions (kebiasaan ketatanegaraan atau kelaziman ketatanegaraan atau
konvensi ketatanegaraan). Kelemahan metode yuridis dogmatis juga
ditunjukkan oleh Thoma dari aliran Sociological Jurisprudence dalam
bukunya “Handbuch des Deutzen Staatsrecht.25 Menurut Thoma, dengan
metode historis yuridis pemahaman terhadap masalah Hukum Tata
Negara tidak cukup dengan memahami lembaga-lembaga ketata-
negaraan yang terdapat di dalam peraturan-peraturan ketata-
negaraan melainkan juga harus memahami aspek sosiologis dan
politis yang menjadi latar belakang perkembangan lembaga-lembaga
ketatanegaraan tersebut. Tetapi, menurut van der Pot dalam bukunya
“Handboek van Nederland Staatsrecht”, metode historis yuridis menye-
babkan penyelidik bersifat subyektif dan tidak dapat mengungkap-
kan latar belakang yang sebenarnya dari masalah yang dikaji.
Oleh karena itu, dalam perkembangan Hukum Tata Negara,
dikenal pula metode historis sistematis (historische systematische
methode) yang dikembangkan oleh S.W. Couwenberg dalam bukunya
Modern Constitutioneelrecht Emancipate van de Mens. Dengan metode ini,
permasalahan didekati dari sudut historis dan dianalisa secara
sistematis untuk mendapatkan pengertian yang tepat, baik mengenai
teori maupun peraturan ketatanegaraan. Hal itu hanya dapat
dipahami secara tepat berdasarkan kondisi-kondisi historis yang
melahirkannya. Setiap konsep maupun ide, betapapun abstraknya,
terikat pada situasi tertentu. Oleh karena itu, pemahamannya secara
tepat tidak dapat dilepaskan dari situasi yang melahirkannya.26
25
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum Tata Negara,
Cetakan Pertama, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 34.
26
Philipus M. Hadjon, dkk, 1986, Peranan Hukum Tata Negara sebagai Stabilisator
dan Dinamisator Kehidupan Masyarakat, Makalah Seminar Ilmiah, Jember : Fakultas
Hukum Universitas Jember, hlm. 2-3.
15
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa metode historis sistematis


menggantikan metode historis yuridis yang sudah ditinggalkan oleh
negara asalnya. Sebab, metode ini hanya berorientasi pada masa
lampau dan hanya menerima apa adanya saja serta tidak mengadakan
analisa lebih lanjut terhadap masalah yang ditelaahnya. Sedangkan,
metode historis sistematis dengan tajam mengadakan analisa dan
penilaian terhadap suatu masalah dan berusaha mencari relevansi
masalah tersebut terhadap perkembangan ketatanegaraan. Dengan
demikian, metode ini berorientasi pada masa lampau, masa sekarang
dan masa depan. Satu contoh yang dikemukakan ialah mengenai
pemahaman terhadap Dekrit presiden 5 Juli 1959.
Di negara Republik Indonesia, dikembangkan suatu metode
Hukum Tata Negara, yaitu metode yuridis historis sosiologis atau
yuridis historis fungsional oleh Djokosoetono. Willy Voll menegas-
kan bahwa metode ini memenuhi syarat ilmu pengetahuan modern
dan dapat memberikan kejelasan yang tepat tentang negara modern.
Di samping itu, dengan metode yuridis historis fungsional dapat
diketahui adanya wewenang khusus atau fungsi khusus dari
presiden. Dicontohkannya mengenai pembentukan Komando
Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB).
Sementara itu, Sri Soemantri dalam bukunya “Prosedur dan Sistem
Perubahan Konstitusi” menggunakan pendekatan historik-yuridik-
komparatif dan analitik dalam melakukan penelitian dan pem-
bahasan terhadap “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi
dalam Undang-undang Dasar 1945.27
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pada awalnya
kajian-kajian dalam Hukum Tata Negara dilakukan secara dogmatis
yakni dilakukan hanya terhadap ketentuan-ketentuan konstitusi
secara tekstual. Kemudian, kajian secara dogmatis tersebut ditinggal-
kan, melainkan dilakukan eksplanasi analisis mengenai studi
Hukum Tata Negara dengan menggunakan pendekatan historis,
sosial, politik, komparatif, filosofis, dan bahkan pendekatan ekonomi.

27
Sri Soemantri, 1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi
dalam Batang Tubuh UUD 1945, Bandung : Alumni (selanjutnya disebut Sri Soemantn II)
hlm. 7-8.

16
Hukum Tata Negara

2. Penafsiran dalam Hukum Tata Negara


Penafsiran (interpretasi) merupakan salah satu langkah dalam
penerapan hukum,28 yang dimaksudkan untuk menentukan makna
yang tepat bagi suatu peraturan perundang-undangan. Dalam studi
ilmu hukum adanya penafsiran tidak dapat dihindari. Hal itu ber-
kaitan dengan adanya kata-kata di dalam peraturan perundang-
undangan yang menimbulkan arti ganda dan ketidakpastian
hukum.29 Di samping itu, juga karena ide dan semangat yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan ketika peraturan
perundang-undangan itu dibentuk dapat mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan waktu dan situasi sebagai akibat dari
tuntutan perkembangan masyarakat.
Dalam studi Hukum Tata Negara, kebutuhan untuk meng-
adakan penafsiran itu timbul karena naskah konstitusi (UUD 1945)
tidak memuat semua ketentuan normatif yang diperlukan untuk
menata kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Apalagi setelah
konstitusi itu mengalami perjalanan waktu cukup lama sejak di-
rumuskan, berbagai peristiwa kenegaraan terjadi dan timbul perkem-
bangan politik dan sosial yang semakin kompleks, yang mungkin
belum diprediksikan pada waktu konstitusi itu disusun.
Oleh karena itu, di dalam Hukum Tata Negara, mutlak diperlu-
kan penafsiran. Namun demikian, hal itu dilakukan dengan meng-
gunakan metode dan teknik-teknik tertentu yang dapat dipertang-
gungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga usaha untuk
menegakkan konstitusi sesuai dengan tuntutan perkembangan
sosial-politik yang ada, tetapi tetap sesuai dengan semangat rumusan
konstitusi yang lazim digunakan sebagai pegangan normatif dalam
menata kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di samping itu,
aspek otoritatif juga harus jelas, sehingga penafsiran tidak dilakukan
secara sewenang-wenang, melainkan memiliki legitimasi konstitu-
sional. Dengan demikian, dalam hal ini, kajian terhadap penafsiran
dalam Hukum Tata Negara ditekankan pada segi metode penafsiran
dan segi otoritas yang berwenang untuk melakukan penafsiran.
28
Roscoe Pound menyebutkan ada tiga langkah dalam penerapan hukum yaitu memilih
suatu aturan hukum, menafsirkan aturan hukum, dan menyatakan berlaku aturan hukum
itu. Dalam Roscoe Pound, 1975, An introduction to the Philosophy of Law, Yale University
Press, hlm. 48.
29
L.B. Curzon, 1979, Jurisprudence, First Published, Macdonald & Evans Ltd, hlm. 153-255.

17
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dalam Hukum Tata Negara, selain menggunakan metode


penafsiran yang sudah umum dikenal di dalam Ilmu Hukum30, dalam
penafsiran konstitusi digunakan metode penafsiran kontemporer
yang digandengkan dengan metode penafsiran historis. Hal itu
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hak hukum dan
hak politik rakyat. Di samping itu, sudah saatnya hakim meng-
gunakan penafsiran antisipatif sebagai upaya memberantas ke-
jahatan yang merugikan kepentingan sosial ekonomi rakyat.
Sebaliknya, dalam usaha meningkatkan kualitas demokrasi,
sehingga penggunaan teori penafsiran predestinata oleh pemerintah
sudah saatnya diakhiri.31
Dalam kaitannya dengan penafsiran konstitusi, dalam Hukum
Tata Negara Amerika (Constitutional Law), kebanyakan teori mewarnai
mengenai dasar pembenar Supreme Court untuk menafsirkan
konstitusi. Menurut Robert A. Burt, ada empat mazhab yang mem-
berikan pandangan berbeda dalam menentukan titik tolak hakim
menafsirkan konstitusi.32 Mazhab Originalis (The Originalists) yang
berpendapat bahwa maksud yang sesungguhnya dari pembentuk
konstitusi yang dapat dibenarkan sebagai dasar melakukan penaf-
siran terhadap konstitusi. Ini dibantah oleh Mazhab Interpretasionis
(The Interpretationists) bahwa sulit dan bahkan mungkin tidak dapat
diketahui maksud dari pembentuk konstitusi. Oleh karena itu, hakim
dalam melakukan interpretasi berdasarkan pada nilai-nilai funda-
mental (fundamental values) yang terdapat dalam kebudayaan Amerika
seperti kebajikan, moralitas, kebenaran, dan integritas. Sedangkan
Mazhab Prosessis (The Process School) berpandangan bahwa funda-
mental values itu tidak tepat dijadikan dasar untuk menyatakan hukum
tidak berlaku. Tetapi, hanya jaminan yang cukup terbuka bagi
semua pesaing untuk mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang
30
Berbagai jenis penafsiran yang dikenal dalam Ilmu Hukum yaitu penafsiran autentik,
gramatika, sejarah hukum, sejarah perundang-undangan, sistematik, sosiologis, teologis,
fungsional, futuristik, penafsiran interdisipliner, dan multidisipliner. Dalam Yudha Bhakti
Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Edisi Pertama, Cetakan ke-1,
Bandung : Alumni, hlm. 12. Bandingkan Jimly Asshidiqie, Op.Cit, hlm. 17-18.
31
I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen, Pidato Pengenalan
jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Uni-
versitas Udayana 10 April 1996, hlm. 20.
32
Robert A. Burt, 1995, The Constitution in Conflict, First Edition Second Printing,
Cambridge, Massachusetts London Harward University Press, hlm. 9-10.

18
Hukum Tata Negara

merupakan legitimasi uji yudisial (judicial review). Berbeda dengan


pendapat ketiga mazhab tersebut, Mazhab Teori Hukum Kritis (The
Critical Legal Theory School) mengatakan bahwa pertanyaan “What
gives legitimacy to the Supreme Court’s interpretation of constitutional issues?”
merupakan pertanyaan yang tidak perlu diindahkan. Kebanyakan
kata-kata yang tidak berguna sebagai kedok atas realita sosial yang
tidak prinsipil, yang tidak lain hanya tuntutan atas ligitimasi
pelaksanaan kekuasaan. Sementara itu, Burt mengatakan bahwa
ketiga mazhab sebelumnya menyatakan pemecahan masalah
penafsiran konstitusi melalui rute-rute yang tidak konsisten satu
dengan yang lain. Sedangkan mazhab keempat terhadap pertanyaan
itu their answer is nothing.33
Jimly Asshidiqie dengan mengacu pada pandangan John Hart
Ely mengatakan bahwa berbagai pendapat yang berkembang
mengenai penafsiran konstitusi itu pada pokoknya dapat dibagi ke
dalam dua kelompok besar, yaitu pertama, kelompok originalist atau
foundationalist yang konservatif; dan kedua, kelompok kontektualisme
nilai-nilai dasar yang mengutamakan upaya menemukan nilai-nilai
dasar yang melandasi perumusan suatu konstitusi.34
Kelompok pertama mengandalkan pada kekuatan bahasa atau
bahkan cenderung menafsirkan konstitusi secara letterlijk atau
harfiah dalam memahami teks konstitusi. Pandangan yang dianut
oleh Raoul Berger itu sangat ketat menuntut ketaatan mutlak kepada
teks konstitusi. Semua tindakan hakim harus berdasarkan pada
perintah tekstual konstitusi. Pandangan yang cenderung merujuk
secara ketat kepada suasana kebatinan ketika konstitusi itu dirumus-
kan oleh para perancangnya, menurut Jimly Asshidiqie dikatakan
cukup berpengaruh di kalangan ahli Hukum Tata Negara di
Amerika Serikat. Hal itu disebabkan pandangan itu lebih sederhana
dan memang memunyai daya tarik untuk dikembangkan.
Pandangan originalis ini dikembangkan oleh Hanna Fenichel
Pitkin dan Richard Epstein, yang berusaha untuk tidak terjebak ke
dalam cara-cara dogmatis yang kaku. Mereka mengakui penerapan
hukum secara luas asalkan tidak bertentangan dengan semangat

33
Ibid, hlm. 10.
34
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit, hlm. 35.

19
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

konstitusi yang orisinil. Mereka tidak lagi menekankan pada ke-


sesuaian suatu tindakan hukum dengan teks konstitusi, melainkan
menekankan prinsip agar tindakan hukum itu tidak bertentangan
saja dengan konstitusi sudah cukup. Di samping itu, semangat para
perumus konstitusi harus dipahami sesuai dengan perkembangan
semangat zaman. Menurut Jimly Asshidiqie, mereka dapat digolong-
kan sebagai originalisme umum yang berhasil merespon secara kritis
terhadap kemunculan paham originalisme sempit. Tetapi, mereka
tetap berpatokan pada pentingnya merujuk kepada semangat para
perumus konstitusi dalam menyelesaikan setiap kasus ketata-
negaraan yang muncul.35
Kelompok kedua merupakan kebalikan dari kelompok pertama,
yang lebih mengutamakan pada nilai-nilai fundamental yang
terkandung di dalam teks konstitusi dengan mengaitkan dengan
moralitas konvensional sekarang, bukan pada bunyi teks yang ter-
tulis dari konstitusi. Harry Wellington yang menganut pandangan
ini menekankan bahwa dalam melakukan penafsiran terhadap teks
konstitusi haruslah berdasarkan pada standar moralitas yang secara
konvensional berlaku ketika konstitusi dirumuskan. Dalam menye-
lesaikan setiap kasus hukum, pengadilan harus berdasarkan pada
pandangan moral tertentu sehingga putusannya akan dilandasi oleh
prinsip-prinsip yang umum bentuknya dan universal penerapan-
nya. Pandangan Wellington dikembangkan oleh Michael Perry yang
mengatakan bahwa kewenangan pengadilan terbatas pada tugas
untuk memastikan dan menegakkan conventional morality. Perry
menegaskan bahwa jika seorang hakim mengetahui bahwa pen-
dapatnya sendiri berbeda dengan moral yang umum, maka ia harus
bertanggung jawab untuk menghormati pandangan moral publik itu.
Dari perbedaan pandangan kelompok pertama dan kedua itu,
timbul suatu usaha ke arah konvergensi seperti yang dilakukan
antara lain oleh Roberto Mangabiera Unger dan Sanford Levinson.
Unger menawarkan pemecahan ekstrim dengan mengintrodusir
teori experimental democracy, sedangkan Levinson mengajukan
gagasan konstitusi sebagai civil religion yakni konstitusi merupakan
konsep keimanan atau kepercayaan dalam masyarakat. Mereka sama-
sama berusaha untuk meliberalisasikan hak-hak untuk menafsirkan
35
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit, hlm. 45.

20
Hukum Tata Negara

konstitusi. Mereka berpendapat bahwa usaha untuk menafsirkan


konstitusi tidak hanya dapat diserahkan kepada petinggi hukum
dan kalangan akademisi saja, melainkan kepada setiap orang perlu
diberikan kesempatan untuk menafsirkan konstitusi sesuai dengan
hak-haknya yang paling dasar yang dijamin oleh konstitusi itu
sendiri. Namun, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa John Hart
Ely-lah sebenarnya yang berhasil menemukan pemecahan terhadap
kesimpangsiuran ilmiah dalam teori mengenai penafsiran konstitusi.36
Dalam Hukum Tata Negara Indonesia, selain uji yudisial dikenal
pula adanya uji legislatif (legislative review), seperti ditentukan di
dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/
2000 (selanjutnya disebut: Tap MPR No. III/MPR/2000) tentang
“Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan”37
dan UUD 1945 (pasca Perubahan Ketiga).
Uji yudisial merupakan suatu cara untuk melakukan pengujian
yang dilakukan oleh pengadilan (hakim) terhadap produk hukum
yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif maupun
yudikatif. Itu merupakan penerapan prinsip checks and balances
berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara. Di dalam UUD
1945, ditentukan ada dua badan pelaksana kekuasaan kehakiman
yang memiliki wewenang itu, yakni Mahkamah Agung (MA) dan
Mahkamah Konstitusi (MK), namun dengan kewenangan yang
berbeda. Makhamah Agung berwenang untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang (UU) terhadap
Undang-undang (UU). Pengaturan kewenangan Makhamah Agung
itu terdapat pula di dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung38, dan Undang-undang
36
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit, hlm. 51-52.
37
Menurut pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang “Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002", maka Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tetap berlaku hingga
terbentuknya Undang-Undang yang dimaksudkan oleh pasal 22A UUD 1945.
38
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000, pasal 11
ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 serta Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009.

21
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam
hal ini, Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat
pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final.39
Uji legislatif merupakan pengujian peraturan perundang-
undangan yang dilakukan oleh parlemen (legislatif), bukan oleh
hakim. Dalam UUD 1945, wewenang itu dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perpu). Setiap Perpu yang ditetapkan oleh Presiden
harus diajukan ke DPR untuk dilakukan uji legislatif, sehingga DPR
akan memutuskan disetujui atau ditolak terhadap Perpu itu.40 Di
samping itu, ada pula uji legislatif yang dilakukan oleh MPR. Namun,
wewenang itu tidak ditentukan di dalam UUD 1945, melainkan di
dalam pasal 5 ayat (1) Tap. MPR Nomor III/MPR/2000 bahwa, MPR
berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD dan Tap MPR.
Pengujian yang dilakukan oleh MPR itu tidak dapat disebut sebagai
uji yudisial, melainkan sebagai uji legislatif. Walaupun ketentuan
itu sah adanya, tetapi ada pandangan pesimis bahwa ketentuan itu
tidak akan mungkin dapat dilaksanakan karena isinya salah total.41
Pandangan demikian dapat dimaklumi karena, fungsi pengujian
Undang-Undang merupakan fungsi yang bersifat permanen dan
rutin, sedangkan MPR tidak memiliki forum seperti itu.
Wewenang MPR (S) untuk menguji produk-produk legislatif
di luar produk MPR (S) pernah ditetapkan berdasarkan Ketetapan
MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPRS Nomor XXXIX/
MPRS/1968 tentang “Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif
Negara di Luar Produk-produk MPRS yang Tidak Sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945.” Produk legislatif yang akan ditinjau
kembali adalah semua Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan
Presiden (Perpres) yang dikeluarkan sejak Dekrit Presiden 5 Juli
39
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, pasal 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2004, pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011.
40
Pasal 22 UUD 1945.
41
Jimly Asshiddiqie, “Judicial Review: Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji
Material terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGPTPK”, dalam Dictum: Jurnal Kajian
Putusan Pengadilan, Edisi 1, 2002, Jakarta Le IP. (selanjutnya disebut Dictum), hlm. 33.

22
Hukum Tata Negara

1959 serta Undang-Undang dan Perpu yang bertentangan dengan


UUD 1945. MPRS menugaskan kepada Pemerintah bersama-sama
dengan DPR Gotong Royong untuk melaksanakan tugas itu. Dalam
kaitan ini, maka diklasifikasikan bahwa Penpres dan Perpres yang
isi dan tujuannya sesuai dengan kehendak rakyat dituangkan
menjadi Undang-Undang. Sebaliknya, yang tidak sesuai dengan
suara hati nurani rakyat dinyatakan tidak berlaku. Peninjauan
kembali itu harus selesai dalam jangka waktu dua tahun sejak
dikeluarkannya Ketetapan MPRS tersebut.
Wewenang MPR untuk menguji Ketetapan MPR sudah pernah
diatur dan dilaksanakan pada Sidang Umum MPR Tahun 1973.
Dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1973 tentang Peraturan Tata
Tertib MPR, ditentukan salah satu wewenang MPR yaitu “memberi-
kan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap Putusan-putusan
Majelis”.42 MPR Tahun 1973 melakukan peninjauan terhadap
Ketetapan-ketetapan MPRS RI dan memutuskan bahwa, pertama,
menyatakan tidak berlaku dan mencabut beberapa Ketetapan MPRS;
kedua, menyatakan tidak berlaku beberapa Ketetapan MPRS karena
materinya sudah tertampung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN); ketiga, menyatakan tetap berlaku dan perlu disempurnakan
beberapa Ketetapan MPRS.43 Pada Tahun 2003, MPR melakukan
pengujian terhadap Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dari Tahun
1960 hingga Tahun 2002. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
pertama, delapan Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku; kedua, tiga Ketetapan MPRS dan Ketetapan
MPR dinyatakan tetap berlaku dengan kualifikasinya masing-
masing; ketiga, delapan Ketetapan MPR dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum
(pemilu) Tahun 2004; keempat, 11 Ketetapan MPRS dan Ketetapan
MPR dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-
Undang; kelima, lima Ketetapan MPR dinyatakan masih berlaku
42
Wewenang ini secara terus menerus ditetapkan kembali dengan Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/1978, Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983, Ketetapan MPR Nomor I/
MPR/1999 tentang Perubahan Kelima Atas Ketetapan MPR No. l/MPR/1983, Ketetapan
MPR Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI, dan terakhir dengan
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2003 tentang Perubahan Kelima Atas Ketetapan MPR
Nomor II/MPR/1999.
43
Pasal 1, 2, dan 3 Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-
produk yang berupa Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

23
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh


MPR hasil Pemilu 2004; keenam, ada 104 Ketetapan MPRS dan
Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan
hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut,
maupun telah selesai dilaksanakan.44
Paparan di atas menunjukkan bahwa penafsiran dalam Hukum
Tata Negara selain menggunakan metode dan teknik penafsiran yang
umumnya digunakan di dalam studi ilmu hukum, juga terdapat
berbagai aliran dalam penafsiran konstitusi seperti aliran originalis,
interpretasionis, nilai-nilai dasar, dan teori hukum kritis. Dalam
Hukum Tata Negara Indonesia, dikenal adanya uji yudisial dan uji
legislatif. Uji yudisial merupakan wewenang kekuasaan kehakiman
yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung,
sedangkan uji legislatif dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
... ...
DAFTAR BACAAN
Asshiddiqie, Jimly, “Judicial Review: Kajian atas Putusan Permohonan
Hak Uji Material terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGPTPK”,
dalam Dictum: Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, Edisi 1, 2002,
Jakarta Le IP.
Asshiddiqie, Jimly, 1998, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara,
Cetakan Pertama, Jakarta: Ind. Hill-Co.
Azhary, 1983, Ilmu Negara: Pembahasan Buku Prof. Mr. R. Kranenburg,
Cetakan Keempat, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bhakti Ardhiwisastra, Yudha, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,
Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Bandung: Alumni.
Burt, Robert A., 1995, The Constitution in Conflict, First Edition Second
Printing Cambridge, Massachusetts London Harward Uni-
versity Press.

44
Pasal 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai
Dengan 2002.

24
Hukum Tata Negara

Busroh, Abu Daud dan Abu Bakar Busro; 1983, Asas-asas Hukum
Tata Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Curzon, L.B.; 1979, Jurisprudence, First Published, Macdonald &
Evans Ltd.
E.C.S, Wade and G. Godfrey Phillips, 1977, Constitutional and Adminis-
trative Law, Ninth Edition, Bungay, Suffolk, Great Britain: Richard
Clay (The Chaucer Press) Ltd.
Friedman, L.M., 2001, “American Law: An Introduction”, 2nd Edition,
terjemahan Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,
Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Tatanusa.
Hadjon, Philipus M. dkk., 1986, Peranan Hukum Tata Negara sebagai
Stabilisator dan Dinamisator Kehidupan Masyarakat, Makalah Semi-
nar Ilmiah, Jember: Fakultas Hukum Universitas Jember.
Huda, Ni’matul, 1999, Hukum Tata Negara: Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Konstitusi Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta:
Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta.
Huda, Ni’matul, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap
Dinamika Perubahan UUD 1945, Cetakan I, Yogyakarta: FH UII
Press.
Kartasapoetra, R.G., 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Cetakan
Pertama, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV.
Sinar Bakti.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Buku
I: Bagian Umum, Cetakan Kedua, Bandung: Binacipta.
Manan, H. Bagir. dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,
Bandung: Alumni.
Pound, Roscoe, 1975, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale
University Press.
Ranawijaya, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-
Dasamya, Jakarta: Ghalia Indonesia.

25
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Soemantri, Sri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar) Hukum


Tata Negara, Bandung: Alumni.
Soemantri, Sri, 1979, Persepsi Terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, Bandung: Alumni.
Wahjono, Padmo, 1984, Beberapa Masalah Ketatanegaraan Indonesia,
Cetakan Pertama, Jakarta: CV. Rajawali.

26
Hukum Tata Negara

Bagian Kedua
Dasar-Dasar Hukum
Tata Negara

A. Sumber-sumber Hukum Hukum Tata Negara


1. Pengertian dan Istilah Sumber Hukum
Menelaah dan memelajari sumber hukum memerlukan kehati-
hatian karena istilah sumber hukum mengandung berbagai
pengertian tanpa kehati-hatian dan kecermatan, maka apa yang
dimaksud sumber hukum dapat menimbulkan kekeliruan. Dalam
hubungan ini, Paton,1 menyatakan bahwa sumber hukum menurut
tinjauan sejarah, berbeda dengan pengertian sumber hukum
menurut tinjauan filsafat, sumber hukum menurut tinjauan agama
berbeda dengan pengertian menurut tinjauan ilmu hukum.
I. Sumber hukum menurut tinjauan sejarah: Pertama, stelsel
hukum apakah yang memainkan peranan pada waktu hukum
yang sedang berlaku sekarang. Kedua, kitab-kitab hukum
manakah yang telah diperhatikan pembuat undang-undang
pada waktu menetapkan hukum yang berlaku sekarang.
II. Sumber hukum menurut tinjauan filsafat: Pertama, sumber
untuk atau menentukan isi hukum. Kedua, sumber untuk
menentukan kekuatan mengikat suatu kaidah hukum.
1
Bagir Manan, 1987, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico, hlm. 10. Ibid,
hlm. 10.

27
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

III. Sumber hukum menurut tinjauan agama adalah ketentuan


Allah yang diwahyukan kepada manusia melalui Rasulnya.
Bagi seorang ahli hukum, sumber hukum dapat dibagi dalam
dua pengertian2 yaitu:
1) Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang
dikenal dari segi bentuknya, karena bentuknya itu menyebab-
kan hukum berlaku umum, diketahui dan ditaati selama hukum
itu belum mem[unyai bentuk, mungkin hukum itu baru me-
rupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru me-
rupakan cita-cita hukum, dan oleh karena itu belum memunyai
kekuatan mengikat.
2) Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang
menentukan isi hukum sumber hukum dalam arti materiil ini
diberlakukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum, dan
menentukan isi hukum.
Yang penting dari kedua sumber hukum itu adalah sumber
hukum dalam arti formal hal ini disebabkan hukum itu berlaku
dan mengikat apabila sudah memunyai bentuk. Baru bila dirasa
perlu akan asal-usul hukum itu, maka akan dicari dalam sumber
hukum dalam arti materiil.
Menurut Usep Ranawijay,3 perkataan sumber hukum sebenar-
nya memunyai dua arti yakni:
1) Sumber hukum dalam arti sebagai penyebab timbulnya atau
lahirnya aturan hukum. Sumber hukum sebagai penyebab
adanya hukum adalah tidak lain dari pada keyakinan hukum
dari orang-orang yang melakukan peranan menentukan tentang
apa yang harus jadi hukum dalam negara. Sumber hukum dalam
arti demikian dalam bahasa Belanda dikenal dengan nama
“welbron”, bagi hukum tatanegara Indonesia sumber hukum
demikian kuranglah penting karena lebih pada tempatnya untuk
diselidiki oleh ilmu politik.
2) Sumber hukum sebagai bentuk perumusan kaidah-kaidah
hukum tatanegara yang terdapat dalam masyarakat dari mana

2
Ibid, hlm. 9.
3
Usep Ranawijaya, 1960, Tjatatan Kuliah HTN, Bandung : Fa Pustaka Star, hlm. 14.

28
Hukum Tata Negara

kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum. Sumber hukum


dalam arti bentuk atau dalam arti formil dalam bahasa Belanda
dikenal dengan nama “kenborn”, sumber hukum dalam arti inilah
yang perlu diketahui dan diselidiki bagi hukum tatanegara In-
donesia.
Menurut Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sumber hukum yang dijadikan bahan untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan.

2. Sumber Hukum Tata Negara


Pengertian sumber Hukum Tata Negara secara etimologis
berasal dari istilah “sumber” dan “Hukum Tata Negara”. Sumber
berarti tempat/sumber asal usul hukum positif yang dijadikan bahan
untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Sumber hukum
terdiri dari sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan
Hukum Tata Negara, menurut Logemann adalah hukum yang meng-
atur organisasi negara. Jadi, sumber Hukum Tata Negara adalah
sumber/asal-usul dari mana Hukum Tata Negara itu berasal, apakah
dari hukum tertulis dan/atau tidak tertulis.
Sumber Hukum Tata Negara menurut Bagir Manan terdiri atas
dua yaitu:
1) Sumber hukum dalam arti materiil. Adalah sumber hukum yang
menentukan sisi hukum HTN, yang termasuk misalnya: Dasar
dan pandangan hidup. Kekuatan politik yang berpengaruh pada
saat perumusan Hukum Tata Negara.
2) Sumber hukum Tata Negara Formal adalah sumber hukum yang
dilihat dari segi bentuknya terdiri atas:
a) Hukum perundang-undangan ketatanegaraan
b) Traktat
c) Doktrin
d) Konvensi
e) Hukum Adat Ketatanegaraan.

29
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Menurut Joeniarto4, istilah sumber hukum digunakan dalam


tiga pengertian, yakni:
1) Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya
hukum positif ialah: berupa keputusan dari yang berwenang
untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan.
Keputusan itu diberikan oleh yang berwenang untuk itu, ini
berarti harus didasarkan atas adanya kewenangan hukum yang
diberikan tata hukum positif yang bersangkutan. Keputusan
penguasa yang berwenang ini dapat berbentuk:
a) Peraturan. Peraturan menurut Attamimi adalah semua
peraturan hukum yang dibuat oleh semua tingkat lembaga
dalam bentuk tertentu dan prosedur tertentu.
b) Ketetapan. Lebih dikenal dengan ketetapan administrasi yaitu
perubahan hukum pemerintah atau penguasa berdasarkan
wewenang yang diberikan, misalnya ijin, dispensasi.
2) Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai bentuk-
bentuk hukum di mana sekaligus merupakan tempat diketemu-
kannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif-
nya dan ini wujudnya ialah berupa peraturan-peraturan atau
ketetapan-ketetapan tertulis atau tidak tertulis.
3) Sumber hukum dalam pengertian sebagai hal yang seharusnya
menjadi isi hukum positif, dengan perkataan sumber hukum di
sini diartikan sebagai hal-hal yang seharusnya dijadikan per-
timbangan oleh penguasa yang berwenang di dalam menentukan
isi hukum.
3. Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia
Sumber hukum dalam Hukum Tata Negara terbagi atas sumber
hukum materiil dan sumber hukum formil.
a. Sumber Hukum Materiil
Dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, dikenal istilah
“Sumber dari segala Sumber Hukum”, yang merupakan sumber
hukum dari segala sumber hukum adalah Pancasila, yang menjadi
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum dan cita-cita

4
Joeniarto, tt. Selayang Pandang Sumber-sumber HTN Indonesia, Yogyakarta: Liberty
(selanjutnya disebut Joeniarto I) hlm. 1-13.

30
Hukum Tata Negara

moral, kejiwaan serta watak dari rakyat negara yang bersangkutan.


Ketetapan tersebut diubah dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/
2000 menurut pasal 1 ayat 3 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000,
sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis
dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Pancasila merupakan Sumber Hukum Materiil dalam Hukum
Tata Negara Indonesia di mana perwujudannya sebagai sumber
segala sumber hukum yakni melalui :5
1) Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2) Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
3) UUD 1945.
4) Surat Perintah Sebelas Maret.
1) Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
Proklamasi merupakan pernyataan bangsa Indonesia merdeka
dan membentuk negara Republik Indonesia, yang merupakan
tindakan pertama bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-
cita Pancasila. Dari segi hukum, bangsa Indonesia mulai
menyusun, mengatur negaranya sendiri, serta akan menentukan
hukumnya sendiri. Jadi, proklamasi merupakan dasar hukum
dalam tata hukum Indonesia, sehingga proklamasi dikatakan
sebagai “Norma Pertama”. Dasarnya adalah kenyataan sejarah
dan penerimaan seluruh rakyat serta kesanggupan untuk
mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan.
2) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden adalah merupakan dasar berlakunya kembali
UUD 1945, Dekrit keluar atas dasar hukum darurat negara
(Staatsnoodrecht). Adapun isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yakni:
a) Pembubaran Konstituante.
b) Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS
1950.
c) Pembentukan MPRS dan DPAS.
Hukum darurat negara dibedakan atas 2 yaitu:
a. Hukum darurat Negara yang obyektif/kontitusional (objectief
staatsnoodrecht), ialah hukum yang mengatur kemungkinan
5
Joeniarto I, op.cit, hlm. 18.
31
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

penguasa untuk mengambil tindakan dalam keadaan darurat.


Adapun tindakan yang diambil tersebut berdasarkan atas
peraturan yang sudah ada sebelumnya. Obyektif berarti
syarat suatu keadaan bahaya telah ditentukan terlebih dahulu
baik tindakan serta akibatnya.
b. Hukum darurat negara subyektif/inkonstitusional (subjectief
staatsnoodrecht), ialah tindakan penguasa tidak didasarkan atas
peraturan yang sudah ada tetapi didasarkan atas penilaian
penguasa sendiri. Contohnya dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.
3) UUD NRI 1945
Merupakan Undang-Undang Dasar pertama bagi bangsa In-
donesia di mana, apabila ditelaah pasal-pasalnya merupakan
perwujudan dari Pancasila perwujudannya antara lain dalam
pasal-pasal berikut.
1) Sila Pertama pada Pasal 9, 29 ayat (1) dan (2).
2) Sila Kedua pada Pasal 27, 28, 29 ayat (2), 30, 31 dan 34.
3) Sila Ketiga pada Pasal 1 ayat (l), 18, 26, 31 ayat (2), 32, 35 dan 36.
4) Sila Keempat pada Pasal 1 ayat (2), 2 ayat (1), 3, 5 ayat (1), 6,
18, 23, 27 ayat (1).
5) Sila Kelima pada Pasal 27 ayat (2), 29 ayat (2), 31, 33 dan 34.
4) Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
Pada Bagian I Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
disebutkan Supersemar sebagai dasar dan sumber hukum bagi
Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan guna meng-
amankan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dengan Supersemar memberikan landasan bagi pengembangan
untuk mengambil langkah mewujudkan negara berdasarkan
Pancasila.
b. Sumber Hukum Formal
Bagir Manan dan Kuntana Magnar6 memberikan pengertian
peraturan perundang-undangan ialah setiap putusan tertulis yang
dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat
6
Bagir Manan dan Kuntara Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan
dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, hlm. 13.

32
Hukum Tata Negara

yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata


cara yang berlaku.
Sumber Hukum Tata Negara formal menurut Bagir Manan yakni:7
1) Hukum Perundang-undangan Ketatanegaraan.
2) Hukum Adat Ketatanegaraan.
3) Kebiasaan.
4) Yurisprudensi.
5) Hukum Perjanjian Internasional.
6) Doktrin Ketatanegaraan.
Dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 yang mengubah
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/1973, maka sumber hukum formal HTN sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat RI;
3) Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5) Peraturan Pemerintah;
6) Keputusan Presiden;
7) Peraturan Daerah.
Berikut uraian dari Sumber-Sumber Hukum Formal ber-
dasarkan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, tetapi dalam
perkembangannya sudah berubah baik melalui Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011, melalui visualisasi tabel
sebagai berikut.

7
Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto; 2001, Sumber HTN Formal, di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya, hlm. 7.

33
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

1) Undang-Undang Dasar 1945


UUD merupakan dokumen hukum yang mengandung
aturan-aturan ketentuan-ketentuan yang pokok-pokok atau
dasar-dasar mengenai ketatanegaraan dari pada suatu negara
yang lazim kepadanya diberikan sifat luhur dan kekal dan apabila
akan mengadakan perubahan hanya boleh dilakukan dengan
prosedur yang berat dibandingkan dengan cara pembuatan atau
perubahan bentuk-bentuk beraturan dan ketetapan lainnya.
Di samping istilah UUD, lazim pula digunakan istilah konsti-
tusi atau Undang-undang yang mengkonstitusi. Istilah konstitusi
tidak hanya untuk menunjuk pada satu pengertian saja namun
dalam praktik sering digunakan dalam beberapa pengertian per-
tama konstitusi dalam arti sempit dan arti luas kedua konstitusi
dalam arti formal dan arti materiil. Pertama, konstitusi dalam
arti luas sering digunakan keseluruhan aturan mengenai ketata-
negaraan yang terdiri dari aturan-aturan dan ketentuan-keten-
tuan yang termuat dalam peraturan-peraturan dan ketetapan-
ketetapan yang tertulis ataupun bentuk aturan-aturan atau
ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, konstitusi dalam arti
sempit dipergunakan untuk menunjuk pada sebuah dokumen
yang memuat aturan-aturan dan ketentuan pokok-pokok
mengenai ketatanegaraan yang lazim diberikan sifat kekal dan
luhur dan perubahan hanya boleh dilakukan melalui prosedur
yang berat. Kedua, konstitusi dalam arti materiil dimaksudkan
konstitusi yang benar-benar berlaku dalam kenyataan sehari-
hari dan dalam arti formal konstitusi yang dalam kenyataannya

34
Hukum Tata Negara

tidak berlaku atau tidak dipatuhi dan tidak dilaksanakan seperti


yang telah ditentukan.8
Lasalle9 membagi konstitusi dalam 2 pengertian, yakni:
1) konstitusi merupakan hubungan kekuasaan yang terdapat
dalam masyarakat, misalnya presiden, raja, masyarakat, dan
lain-lain.
2) konstitusi merupakan apa yang ditulis di atas kertas mengenai
lembaga negara dan prinsip pemerintah dari suatu negara
serta paham kodifikasi.
Nilai konstitusi terdiri atas tiga jenis, yaitu pertama nilai nomi-
nal ialah konstitusi meskipun telah diterima oleh suatu bangsa,
namun kenyataannya tidak berlaku secara sempurna, kedua nilai
normatif di mana konstitusi telah diterima sebagai norma tertinggi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ketiga nilai semantik
meskipun konstitusi telah diterima oleh suatu bangsa tetapi
dalam praktik hanya sekedar memberi bentuk guna pelaksanaan
kekuasaan politik.
Undang-Undang Dasar 1945 yang mulai berlaku tanggal 18
Agustus 1945 terdiri atas 3 bagian, yakni:
1) Pembukaan, merupakan penuangan jiwa Proklamasi 1945
yaitu Pancasila.
2) Batang Tubuh, yang terdiri atas 16 bab, 37 pasal II Aturan
Peralihan dan 4 pasal aturan tambahan.
3) Penjelasan, yang memuat dasar-dasar penyelenggaraan
negara yang memuat 7 prinsip.
UUD 1945 telah dua kali mengalami perubahan yaitu per-
ubahan pertama ditetapkan tanggal 19 Oktober 1999 terdiri dari
9 (sembilan) perubahan pasal yaitu pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17,
20 dan 21. Perubahan kedua ditetapkan tanggal 18 Agustus 2000
terdiri dari 9 (sembilan) perubahan pasal, yaitu pasal 18, 19, 20,
22, 25, 26, 27, 28, 30 dan pasal 36.

8
Parlin M. Mangunsong; 1992, Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Sarana Perubahan
UUD, Bandung : Alumni, hlm. 16.
9
Andi Mustari Pide; 1999, Pengantar HTN, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 16.

35
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

UUD NRI 1945 merupakan sumber hukum utama karena


setiap bentuk hukum yang menjadi sumber Hukum Tata Negara
harus bersumberkan pada UUD dalam segala persoalan ketata-
negaraan penyelesaiannya haruslah terlebih dahulu mengacu
pada UUD dan dari UUD NRI 1945 mengalir ketentuan-
ketentuan pelaksana yang menurut tingkatannya masing-
masing merupakan sumber hukum formil.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
Istilah Ketetapan MPR sebenarnya tidak terdapat dalam UUD
NRI 1945, tetapi didasarkan pada Surat Presiden tanggal 20
Agustus 1959 no. 2262/HK 71959 yang ditujukan kepada DPR,
istilah ketetapan mulai dipakai pada sidang MPR. Dalam
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR
Nomor V/MPR/1973 menguatkan kedudukan Ketetapan MPR
dan diletakkan pada hierarki yang kedua. Berdasarkan Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/1978 (Pasal 100), bentuk-bentuk keputusan
MPR yakni:
(1) Keputusan MPR ialah keputusan yang isinya mengikat ke
dalam anggota majelis
(2) Ketetapan MPR ialah putusan majelis yang memunyai
kekuatan mengikat ke dalam dan keluar.
Perbedaan yuridis Ketetapan MPR di dalam Ketetapan MPR
No.II/MPR/1999, Ketetapan MPRMPR No.II/MPR/2000 dan
Ketetapan MPR No.III/MPR/2000.

36
Hukum Tata Negara

*Sumber: Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto10


3) Undang-Undang
Undang-undang adalah produk hukum yang dibuat oleh
DPR bersama dengan Presiden. Undang-undang ini dibuat dalam
rangka melaksanakan Undang-Undang dasar 1945 serta
ketetapan MPR.11
Undang-undang sebagai sumber hukum dapat dilihat dan
UUD 45 dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1). Undang-
undang sebagai pelaksana UUD 1945 contohnya adalah Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Partai Politik adalah
pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945. Undang-undang sebagai
pelaksana ketetapan MPR adalah Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pemilu adalah pelaksanaan dari Ketetapan
MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan
Atas Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1998 tentang Pemilu.
Perkataan Undang-undang memunyai dua pengertian yaitu
dalam arti material dan arti formil. Dalam arti material, yang
dimaksud dengan undang-undang ialah semua peraturan

10
Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto, 2001, Sumber HTN Formal Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 45.
11
Lihat Pasal 3 ayat (3) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000

37
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(dengan tidak memperhatikan bentuknya) yang memunyai


kekuatan mengikat pada masyarakat. Sedangkan dalam arti
formal, ialah menunjuk kepada satu bentuk peraturan tertentu
yang dibuat oleh pembentuk undang-undang seperti yang telah
dijelaskan dalam sistem UUD 1945 dibuat oleh Presiden dengan
persetujuan DPR.
Menurut Pasal 22A UUD 1945, di mana mengatur ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang
yang diatur dalam Undang-Undang. Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan serta Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Proses
pembentukan Undang-Undang meliputi:
(1) Tahap persiapan pembentukan Undang-Undang, yang diatur
dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 23 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004, serta dalam Pasal 16 sampai dengan
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
(2) Tahap penyusunan Undang-undang yang baru dimuncul-
kan dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011.
(3) Tahap pembahasan Undang-Undang, yang diatur dalam
Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004, serta dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 71
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
(4) Tahap pengesahan Undang-Undang, yang diatur dalam Pasal
37 sampai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, lihat juga dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011.
Undang-undang terbagi dalam:
(1) Undang-undang organik adalah Undang-undang yang
dibuat karena perintah langsung UUD 1945.
(2) Undang-undang pokok adalah Undang-undang yang hanya
memuat hal-hal pokok saja.

38
Hukum Tata Negara

Undang-undang berdasarkan sumber hukumnya menurut


Soehino:
(a) Undang-undang yang dibuat berdasarkan UUD.
(b)Undang-undang yang dibuat berdasarkan Ketetapan MPR.
(c) Undang-undang yang dibuat berdasarkan Undang-undang/
Ketetapan MPR.
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Perpu merupakan bentuk peraturan atau ketetapan yang
dibuat oleh Presiden sendiri berdasarkan kewenangan pasal 22
UUD 1945 jo. Pasal 3 ayat (4) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/
2000, yaitu dalam ihwal kepentingan yang memaksa, yang kalau
ditetapkan dalam bentuk Undang-undang akan membutuhkan
waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang genting itu
harus segera dapat diatasi sehingga kepada Presiden diberi hak
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang, dengan syarat bahwa Presiden harus meminta perse-
tujuan DPR dalam sidang berikutnya. Kalau DPR menyetujui-
nya, maka Perpu itu dijadikan Undang-undang. Sebaliknya kalau
DPR menolaknya, maka Presiden harus mencabut Perpu tersebut.
Perpu menurut Maria Farida Indrati Soeprapto12 adalah suatu
peraturan pemerintah yang bertindak sebagai Undang-Undang
atau dengan kata lain Peraturan Pemerintah yang diberi kewe-
nangan sama dengan Undang-Undang. Jadi di sini, Perpu tersebut
sebenarnya Genus dan Peraturan Pemerintah sehingga dalam
praktik Peraturan Pemerintah ada 2 jenis, yakni:
(1) Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh presiden untuk
melaksanakan Undang-Undang.
(2) Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh presiden untuk
menggantikan Undang-Undang guna mengatasi keadaan
yang mendesak.
Dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, letak Perpu ada
di antara Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini berarti

12
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, llmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 96.

39
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Perpu tidak sama dengan Peraturan Pemerintah dikarenakan


sebagai berikut:13
(1) Dari “nama” dan “badan Pembuatnya” sepihak, maka jelas
produk legislatif, sehingga tidak sama dengan Undang-Undang.
(2) Tidak sama dengan Peraturan Pemerintah, karena memiliki
sifat istimewa hukum publik yaitu keharusan meminta
persetujuan DPR.
Ketentuan tentang tata cara mempersiapkan Perpu diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Pasal 29 Rancangan
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan).
5) Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah ialah bentuk peraturan yang menurut
UUD NRI 1945 dapat dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan
lebih lanjut suatu undang-undang sebagaimana mestinya.
Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-undang sebagaimana mestinya demikian bunyi Pasal
5 ayat (2) UUD NRI 1945. Jadi dari ketentuan tersebut, Peraturan
Pemerintah diadakan untuk melaksanakan undang-undang,
sehingga tidak mungkin ada Peraturan Pemerintah sebelum ada
undang-undang.
Menurut Hamid S. Attamimi, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam menetapkan Peraturan Pemerintah, yakni:
(1) Harus ada UU yang dilaksanakan, jadi PP tidak dapat
dibentuk tanpa UU yang sebagai induknya.
(2) Tidak dapat mencantumkan sanksi bila UU induknya tidak
mencantumkan.
(3) Tidak dapat merubah/mengurangi ketentuan UU yang
bersangkutan.
(4) Untuk menjalankan ketentuan UU, PP dapat dibentuk meski
UU tidak meminta dengan tegas.
(5) Berisi peraturan dan/atau Penetapan.

13
Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto, op.cit, hlm. 72.

40
Hukum Tata Negara

6) Keputusan Presiden
Keputusan Presiden merupakan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan ketentuan
pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di
negara Republik Indonesia, Presiden adalah pemegang kekuasaan
eksekutif dan sekaligus pemegang kekuasaan legislatif. Menurut
Georg Jellinek14, pemerintah dalam arti formal mengandung ke-
kuasaan mengatur dan kekuatan memutus sedangkan pemerin-
tahan dalam arti material mengandung unsur melaksanakan.
Dengan kekuasaan mengatur, terlihat dari jalur legislatif
Presiden harus mendapatkan “persetujuan DPR” yaitu dalam
membentuk suatu undang-undang, sedangkan apabila Presiden
mengatur melalui kekuasaan eksekutif dengan membentuk suatu
keputusan Presiden berupa pengaturan pelaksanaan administrasi
negara dan administrasi pemerintahan. Keputusan Presiden
dimaksud untuk melaksanakan ketentuan UUD NRI 1945,
Ketetapan MPR, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden tidak selalu merupakan keputusan yang
berlaku sekali selesai (einmahlig) tetapi sering kali lebih banyak
merupakan keputusan yang mengatur dan berlaku terus
(dauerhafhig).
Saat ini, sudah dikenal bentuk Peraturan Presiden dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011.
7) Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah
satu unsur Pemerintah Daerah yang berwenang membuat
peraturan daerah. Jenis peraturan perundang-undangan daerah
terdiri dari pertama Peraturan Daerah yang ditetapkan Kepala
Daerah dengan persetujuan DPRD dalam rangka penyeleng-

14
Ibid, hlm. 99-100.

41
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

garaan Otonomi Daerah dan Penjabaran lebih lanjut dari


peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berdasarkan
Pasal 69 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, bahwasanya Keputusan Kepala Daerah
adalah keputusan yang ditetapkan sebagai Kepala Daerah bukan
sebagai Kepala Daerah bukan sebagai kepala wilayah.
Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal
18 ayat (6) UUD 1945, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal
3 ayat (7) dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 70, ditentukan
bahwa Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
Kepentingan Umum, Peraturan Daerah yang lain dan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut juga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, hal-hal
yang dimuat dalam Peraturan Daerah yakni:
(1) Sistem Rumah Tangga.
(2) Hal-hal yang ditentukan dengan tegas dalam UU Pemerin-
tahan daerah.
(3) Urusan pemerintah yang diserahkan oleh pemerintah yang
lebih tinggi tingkatannya.
Peraturan Daerah bertujuan untuk melaksanakan aturan
hukum dan menampung kondisi khusus daerah yang ber-
sangkutan Peraturan Daerah menurut Pasal 3 (7) Ketetapan
MPR Nomor III/MPR/2000 terdiri atas:
(1) Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh DPR daerah
Provinsi bersama Gubernur, demikian pula diatur dalam pasal
18 (d), Pasal 29 (d, f) UU No. 22 tahun 1999.
(2) Peraturan Daerah Kabupaten/kota dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/
Walikota, demikian pula diatur dalam Pasal 18 (d), Pasal 19
(d, f) UU No. 22 Tahun 1999.
(3) Peraturan desa yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan

42
Hukum Tata Negara

peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan


daerah kabupaten kota yang bersangkutan.
Pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, yaitu Undang-Undang tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan, di mana proses pembentukan
Peraturan Daerah meliputi:
(1) Tahap persiapan pembentukan Peraturan Daerah, yang
diatur dalam pasal 26 sampai dengan pasal 31 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004, maupun dalam pasal 32
sampai dengan pasal 38 Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 untuk persiapan pembentukan Peraturan Daerah
Provinsi, dan dari pasal 39 sampai dengan pasal 41 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 untuk persiapan pemben-
tukan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Tahap penyusunan Peraturan Daerah yang telah dimuat
dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 berkenaan dengan penyusunan Per-
aturan Daerah Provinsi, serta Pasal 63 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 atas penyusunan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(3) Tahap pembahasan Peraturan Daerah yang diatur dalam
Pasal 40 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004, maupun pada Pasal 75 sampai dengan Pasal
76 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 berkaitan dengan
pembahasan Peraturan Daerah Provinsi, serta Pasal 77
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 atas pembahasan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Tahap penetapan Peraturan Daerah, yang diatur dalam Pasal
37 sampai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, maupun pada Pasal 78 sampai dengan Pasal 79 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 berkaitan dengan penetapan
Peraturan Daerah Provinsi, serta Pasal 80 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 atas penetapan Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota.

43
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

8) Traktat (Perjanjian) Sebagai Sumber Hukum Tata Negara


Perjanjian antar negara di dalam Ilmu Hukum sering juga
dikatakan sebagai sumber hukum. Isi perjanjian karena meng-
ikat pihak-pihak negara termasuk para warga negara. Maka,
aturan-aturan dan ketentuan-ketentuannya merupakan pula
hukum positif dari negara yang bersangkutan masing-masing.
Dengan demikian, apabila menyangkut bidang tata negara akan
merupakan bagian hukum tata negara yang penting.
UUD NRI 1945 Pasal 11 mensyaratkan bahwa Presiden dengan
persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan Negara lain. Bentuknya tidak selalu tertulis
karena kemungkinan terjadi bahwa perjanjian itu hanya diadakan
dengan pertukaran nota atau surat saja. Dalam Kamus Hukum
Internasional, tidak dibedakan traktat dan perjanjian. Menurut
Bellefroid,15 kedua hal itu memunyai arti yang berbeda. Trakrat
adalah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu sedangkan
perjanjian tidak selalu terikat pada bentuk tertentu. Dalam Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 yaitu Undang-
Undang tentang Perjanjian Internasional. Perjanjian Internasional
adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur
dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Hal
ini menegaskan pada asas Pacta Sunt Servanda yang berarti
perjanjian antara pihak-pihak harus ditaati.
Tata cara mengikatkan diri dalam perjanjian diatur dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
(1) Penandatanganan.
(2) Pengesahan.
(3) Pertukaran dokumen perjanjian/nota politik.
(4) Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam
perjanjian internasional.
Sedangkan tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian diatur
dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

15
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hlm. 57.

44
Hukum Tata Negara

melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah,


penerimaan dan penandatanganan.
Pengesahan perjanjian Internasional oleh pemerintah Republik
Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional tersebut. Pengesahannya dilakukan melalui
Undang-Undang atau Keputusan Presiden (Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000). Dilakukan dengan Undang-
Undang apabila Perjanjian Internasional berkenaan dengan:
(1) Masalah politik, perdamaian dan pertahanan keamanan.
(2) Masalah perubahan wilayah/penetapan wilayah.
(3) Masalah kedaulatan hak berdaulat negara.
(4) Menyangkut HAM dan Lingkungan Hidup.
(5) Pembentukan Kaedah Hukum baru.
(6) Menyangkut pinjaman atau hibah.
Bila di luar dari materi tersebut, maka pengesahannya dalam
bentuk Keppres. Traktat berakhir karena telah dicapainya tujuan,
habis masa berlaku, musnah salah satu pihak dalam perjanjian,
diadakan perjanjian baru yang membatalkan perjanjian lama,
dipenuhinya syarat-syarat mengakhiri perjanjian.
9) Doktrin
Sumber lain yang juga merupakan sumber Hukum Tata
Negara ialah ajaran seorang pakar atau pendapat sarjana yang
sudah dapat diakui dan diuji kebenarannya. Di Indonesia, ajaran
tentang negara Integralistik yang dikemukakan oleh tokoh
Soepomo16 sebagai seorang ahli hukum berpengaruh besar atas
UUD 1945. Notonagoro juga berkontribusi besar dalam mem-
berikan landasan mengenai Pembukaan (Pancasila termasuk di
dalamnya) di dalam UUD 1945 sebagai kaedah fundamental
negara (grundnorm). Pembukaan merupakan kesatuan dengan
Batang Tubuh dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Pem-
bukaan tidak boleh diubah oleh siapapun termasuk MPR. Bila
Pembukaan diubah, berarti Pembubaran negara Proklamasi.
Walaupun, pendapat tersebut tidak lepas dari pengaruh ajaran
Hans Nawiasky.
16
Nyoman Dekker, 1993, HTN Republik Indonesia, IKIP Malang, hlm. 8.

45
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

10) Kebiasaan Ketatanegaraan (Convention)


Istilah konvensi atau convention of the constitution pertama kali
dipergunakan oleh A.V. Dicey.17 Dalam Kamus Istilah Hukum,
sering diberi pengertian sebagai arti hukum kebiasaan yang tidak
tertulis di bidang ketatanegaraan.
Menurut Ismail Suny,18 konvensi ketatanegaraan diartikan
sebagai perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang
sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan
suatu negara, walaupun perbuatan tersebut bukan hukum.
Menurut A.V. Dicey, ketentuan ketatanegaraan Inggris terdiri
atas dua ketentuan yaitu:
(1) Pertama, ketentuan-ketentuan yang digolongkan sebagai
kaidah hukum yaitu kaidah hukum tata negara. Termasuk ke
dalam kaidah-kaidah hukum tata negara ialah semua keten-
tuan yang penataannya dapat dipaksakan oleh atau melalui
pengadilan.
(2) Kedua, ketentuan-ketentuan yang tidak termasuk kaidah hukum
yaitu konvensi ketatanegaraan atau akhlak moral ketata-
negaraan. Meskipun mengatur cara pemegang kekuasaan,
tetapi konvensi jenis ini tidak digolongkan kaidah hukum
karena penataannya tidak dipaksakan oleh pengadilan. Di
Inggris, kebiasaan memunyai kekuatan mengikat secara hukum
apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundangan
yang berlaku, prinsip-prinsip dasar Common Law, telah ada
jangka waktu yang panjang, telah dilaksanakan secara damai,
dipandang masyarakat sebagai suatu kewajiban, diakui sebagai
suatu yang mengikat bagi mereka yang kena, layak dan tidak
bertentangan dengan hak yang dapat menimbulkan ketidak-
adilan kepentingan di luar kebiasaan.
Fungsi konvensi menurut Jennings19 ada dua. Pertama, ber-
fungsi memelihara agar peraturan hukum ketatanegaraan dapat
mengikuti perubahan masyarakat dan perubahan pandangan

17
Ni’matul Huda, 1999, op.cit, hlm. 196.
18
Ismail Suny, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru (selanjutnya
disebut Ismail Suny I), hlm. 31-46.
19
Bagir Manan, 1987, op.cit, hlm. 41.

46
Hukum Tata Negara

dalam bidang politik. Kedua, berfungsi agar penyelenggara negara


dapat menjalankan pemerintahannya.
Adapun dari bentuknya, menurut Wheare, konvensi dapat
terjadi dalam tiga bentuk, yaitu: Pertama, konvensi menghapus
beberapa ketentuan dalam UUD. Kedua, konvensi mengalihkan
kekuasaan yang telah ditetapkan UUD. Ketiga, melengkapi UUD
atau peraturan hukum ketatanegaraan yang telah ada.
Ketaatan terhadap konvensi ketatanegaraan, menurut Dicey,
didasarkan atas dua hal, yaitu: Pertama, the fear of impeachment.
Namun menurut Dicey, Impeachment bukanlah faktor yang
memaksa karena impeachment bukanlah konvensi melainkan
peraturan hukum. Perbedaannya hanya pelanggarannya diadili
oleh suatu peradilan khusus sedangkan konvensi sebagai kaidah
etika tidak dapat dipaksakan melalui peradilan, di mana lembaga
yang ada dalam sejarah karena sudah ditinggalkan di Inggris.
Menurut Bagir Manan, pendapat Dicey tersebut sangat sempit
bagaimana dengan negara-negara yang mengenal lembaga Im-
peachment. Kedua menaati konvensi berdasarkan pendapat umum,
hal ini disebabkan banyak aturan tingkah laku yang didukung
oleh pendapat umum tapi dilanggar setiap hari karena tidak puas.
Dicey berkesimpulan bahwa penaatan konvensi adalah “the force
of law” karena pelanggaran terhadap prinsip dasar konstitusi
dan konvensi hampir selalu membawa secara langsung pelanggar
ke dalam pertikaian dengan pengadilan dan hukum negara,
sehingga daya paksa hukumnya yang menjadi dasar penaatan
konvensi. Menurut Sri Soemantri, ditaati atau tidaknya konvensi
didasarkan atas kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Jenis-jenis konvensi, menurut pandangan Ismail Suny20 men-
sitir pendapat E.C.S. Wade dan E. Godfrey Philips, bahwa “.....
convention are a mixture is em-press agreement”, maka terdapat tiga
jenis konvensi, yaitu 1) custom; 2) expedi-ency; 3) express agreement.
(1) Pertama, custom (kebiasaan), di mana contoh yang paling jelas
berdasarkan praktik kebiasaan ialah penunjukan seorang
perdana menteri oleh presiden pada masa berlakunya UUD
1945 Pra-Orde Baru. Hal tersebut karena pemimpin-pemimpin
20
Parlin M. Mangunsong; 1992, op.cit, hlm. 50-52.

47
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

parpol atau dari koalisi partai-partai yang memunyai suara


terbanyak dalam komite nasional pusat. Penunjukan seperti
itu bersamaan atau memiliki kesamaan dengan praktik yang
berlaku di Inggris, di mana raja harus mengundang pemimpin
partai atau koalisi partai paling berpengaruh dalam Majelis
Rendah untuk membentuk kabinet.
(2) Kedua, Expediency (kepatuhan), bahwasanya Ismail Suny
mengambil masalah cara penggunaan “prerogatif presiden”
dalam penunjukan anggota Komite Nasional Pusat sesudah
“perundingan” dengan wakil presiden dan lain-lain pemimpin
politik yang menonjol, sebagai contoh jenis konvensi yang
tergolong kepatuhan sebab tidak ada ketentuan UUD 1945
yang mengharuskan terlebih dahulu perundingan antara
Presiden dan Wapres atau lain-lain pemimpin parpol dalam
penunjukan anggota Komite Nasional Pusat. Praktik tersebut
memunyai kesesuaian dengan di Inggris; di mana Perdana
Menteri yang dialihkan di Parlemen misalnya dapat mem-
bubarkan Parlemen kemudian setelah dikalahkan dalam
Pemilu dan akhirnya meminta raja untuk membubarkan
Parlemen untuk yang kedua kalinya dengan harapan dapat
mengatasi kebutuhan (dead lock).
(3) Ketiga, Express Agreement (persetujuan yang dinyatakan)
Sebagai contoh ialah persetujuan antara Presiden dan Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat. Hal ini sesuai dengan een
vrjwillige zelfbeferking van de presidentrelemacht sebagaimana
dimaksud dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November
1945 yang terjadi dan berlangsung berdasarkan pasal Aturan
Peralihan dan Tambahan UUD 1945. Terjadi perubahan
pertanggungan jawab para Menteri kepada Komite Nasional
Pusat dan tidak lagi kepada Presiden atau perubahan sistem
pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer, di masa
awal berlakunya UUD 1945 merupakan wujud dari pene-
rapan konvensi ketatanegaraan Express Agreement. Ialah satu
kuasa yang memungkinkan keadaan demikian ialah karena
tidak ada satu ketentuan konstitusi yang mengharuskan
eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, sedangkan
pada bagian lain, teks UUD 1945 sendiri juga tidak melarang
praktik pertanggungjawaban seperti itu.
48
Hukum Tata Negara

Kebiasaan lainnya dalam ketatanegaraan Indonesia, bahwa


setiap tanggal 16 Agustus pidato tersebut merupakan laporan
tahunan yang bersifat informatoris dari presiden yang memuat
rencana kebijaksanaan yang akan ditempuh pada tahun yang
akan datang. Di samping itu pula, pidato yang diucapkan sebagai
keterangan pemerintah tentang Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara pada minggu pertama bukan Januari.
Konvensi-konvensi di Inggris banyak sekali dan dibedakan dari
hukum konstitusi karena tidak dapat dipaksakan atau diakui
oleh badan-badan peradilan. Konvensi-konvensi itu antara lain
kebiasaan (customs), praktik (practices), asas (maxims) atau per-
aturan lain; kabinet yang mendapat dukungan kepercayaan dari
Majelis Rendah (house of commons) akan meletakkan jabatannya,
raja harus mengesahkan setiap rancangan undang-undang (bill),
Majelis Tinggi (House of Lords) tidak akan mengajukan suatu
rancangan Undang-undang Keuangan.
Kehadiran konvensi dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia, selain alasan-alasan di atas, didorong pula oleh alasan
lainnya yakni melalui (1) konvensi merupakan sub sistem konsti-
tusi yang selalu ada pada setiap negara, tanpa melihat sistem
konstitusi yang dianut, (2) Republik Indonesia adalah negara
yang berkedaulatan rakyat. Konvensi merupakan salah satu
sarana untuk menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat, serta
(3) Pada saat ini, telah terdapat praktik ketatanegaraan yang
oleh sebagian pengamat dipandang sebagai konvensi.
11) Hukum Adat Ketatanegaraan
Hukum adat ketatanegaraan adalah hukum di bidang ketata-
negaraan yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan
sehari-hari dari rakyat yang diakui berlaku oleh penguasa, baik
yang dari zaman dahulu (masa penjajahan dan sebelumnya)
maupun yang timbul dan berkembang di dalam masa kemerde-
kaan 21. Hukum Tata Negara adat yang berasal dari zaman
dahulu misalnya sebagai berikut:
(1) Ketentuan-ketentuan hukum mengenai swapraja.
(2) Meliputi kedudukan, struktur pemerintahan, organisasi
jabatan yang ada di dalamnya, dan hal-hal lainnya.
21
Usep Ranawijaya, op.cit, hlm. 22.
49
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(3) Mengenai persekutuan hukum kenegaraan asli meliputi desa,


kuria, gampong, dan lainnya.
(4) Mengenai Peradilan Agama.
Hukum Tata Negara adat yang timbul di masa kemerdekaan,
misalnya sebagai berikut.
(1) Ketentuan hukum mengenai pengaturan swapraja yang de
facto tidak diakui adanya oleh penguasa (Swapraja Surakarta,
Swapraja di Sumatera).
(2) Ketentuan hukum mengenai persekutuan hukum kenegaraan
asli (desa, dan lain sebagainya).
(3) Di dalam kota-kota besar yang kehidupannya tidak sesuai
lagi dengan kaidah Inlandse Gemeente Ordonantie atau hukum
adat dahulu (misalnya tentang hak ulayat, pemilihan dan
penetapan pejabat, tanah bengkok, penghasilan, dan lainnya).
Hukum Tata Negara adat modern mengenai sistem pemerin-
tahan dapat dikemukakan sebagai contohnya, yakni pada masa
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yaitu pada
pasal 85 UUDS 1950, di mana keputusan presiden juga mengenai
kekuasaan atas angkatan perang harus ditandatangani pula oleh
menteri yang bersangkutan. Akan tetapi, hukum tata negara
adat sudah menjadikan presiden sekarang sebagai panglima
tertinggi angkatan perang.
Perbedaan antara Hukum Adat Ketatanegaraan dan Konvensi,
yakni sebagai berikut:
(1) Hukum Adat Ketatanegaraan adalah hukum asli bangsa
Indonesia di bidang ketatanegaraan yang tumbuh, berkem-
bang dan dipertahankan masyarakat melalui putusan penguasa
adat. Hukum adat Ketatanegaraan semakin berkurang peranan-
nya, namun dalam beberapa hal masih tampak pada penye-
lenggaraan pemerintahan desa seperti rembug desa. Hukum
adat ketatanegaraan berangsur-angsur diganti oleh hukum
perundang-undangan dan konvensi.
(2) Konvensi (Kebiasaan Ketatanegaraan) adalah hukum yang
tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara, untuk me-
lengkapi, menyempurnakan, dan menghidupkan (men-

50
Hukum Tata Negara

dinamisasikan) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan


atau hukum adat ketatanegaraan.

B. Asas-Asas Hukum Tata Negara


1. Asas Kekeluargaan
Asas kekeluargaan terdapat di dalam Pasal 33 dan penjelasan
UUD 1945. Ide mengenai asas kekeluargaan dicantumkan dalam
UUD 1945 berasal dari Prof. Soepomo dalam pidatonya tanggal 31
Mei 1945 ketika diadakan Sidang BPUPKI di Jakarta. Staatside
Integralistik dari bangsa Indonesia terlihat dari sifat tata negara
Indonesia ialah pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyat dan
para pejabat negara senantiasa wajib memegang teguh persatuan
keseimbangan dalam masyarakat. Menurut H.M. Koesnoe, dalam
bahasa Jawa asas ini disebut asas kerakyatan atau asas kebersamaan,
kebrayatan dalam bahasa Indonesia menjadi kerakyatan.22
Ide asas kekeluargaan kemudian diusulkan dalam perencanaan
UUD RI oleh Prof. Mr. Soepomo dalam sidang BPUPKI tanggal 31
Mei 1945. Ide tersebut kemudian berhasil dituangkan dalam UUD
1945. Perumusan asas kekeluargaan dapat dilihat baik dalam Pem-
bukaan maupun dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dalam Pembukaan:
Alenia Pertama : “... kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa ...”.
Alenia Kedua : “...mengantarkan rakyat Indonesia ke depan ...”.
Alenia Ketiga : “... dengan didorong oleh keinginan luhur ...”.
Alenia Keempat : “... membentuk suatu Pemerintah Negara Indo-
nesia yang melindungi ...”.
Dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945, yakni pada Pasal 33 ayat
(1) yang tegas-tegas menyatakan asas kekeluargaan. Dalam pasal
itu disebutkan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan”.
Menurut pengertian negara integralistik, sebagai bangsa yang
teratur, sebagai persatuan rakyat yang tersusun, maka pada dasarnya
tidak akan ada dualisme antara staat dan individu”. Tidak akan ada
pertentangan antara susunan “staat” dan susunan hukum individu.

22
A.S.S. Tambunan; 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Popuris Publishers,
hlm. 96.

51
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dalam pelaksanaannya, semangat kekeluargaan itu dapat


diketahui pula pada hal-hal seperti berikut: (1) Cara pengambilan
keputusan yang dilakukan dalam lembaga Majelis-Permusya-
waratan rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
lembaga-lembaga lainnya. (2) Hubungan kerja sama antara Presiden
dan DPR dalam rangka penyusunan Undang-undang. Penjelasan-
nya sebagai berikut:
1) Cara Pengambilan keputusan
Cara pengambilan keputusan bersumber pada sila ke-4
Pancasila yang tertuang pada pembukaan alenia keempat:
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Cara seperti ini disebut musya-
warah mufakat yang berarti kepuasan yang diambil adalah hasil
kesepakatan bersama. Atau dengan kata lain, mufakat berarti
persetujuan bulat atau kesepakatan bersama.
Menyadari bahwa kemungkinan mufakat akan mengalami
kesukaran karena heterogennya masyarakat Indonesia, maka
alternatif lain untuk megambil keputusan seperti dirumuskan
dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 37, yaitu bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan dengan suara
terbanyak. Adapun dalam Hukum Tata Negara, ada jenis-jenis
keputusan suara terbanyak sebagai berikut.
(a) Suara terbanyak sederhana (simple mayority). Keputusan
diperoleh apabila yang setuju lebih banyak dari yang tidak
setuju dan yang setuju sekurang-kurangnya 1/2 + 1.
(b)Suara terbanyak mutlak (absolute mayority). Suara yang setuju
jauh lebih banyak dari pada yang tidak setuju.
(c) Suara terbanyak ditentukan (qualified mayority). UUD atau
UU atau peraturan tata tertib suatu lembaga negara menen-
tukan bahwa keputusan adalah sah apabila memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan.
(d)Suara terbanyak relatif. Ini bisa terjadi jika dalam pemilihan
presiden dan wakil presiden calon yang dijauhkan lebih dari
dua orang sehingga salah seorang akan mendapat suara
relatif lebih banyak dari yang lainnya.

52
Hukum Tata Negara

Kedua cara tersebut masing-masing memunyai kebaikan dan


keburukan yang dapat disimak di bawah ini.
- Musyawarah Mufakat.
Kebaikan : Semua pihak merasa terlibat, dihargai pen-
dapatnya, keputusan yang diambil adalah
bagian dari kepentingannya.
Keburukan : Pemecahan masalah memakan waktu lama,
dapat terjadi dictator minoritas di mana pihak
minoritas yang tidak setuju memungkinkan
dapat memaksakan pengambilan keputusan.
- Suara Terbanyak.
Kebaikan : Memakan waktu yang relatif lebih pendek.
Keburukan : Timbul Diktator Mayoritas. Pihak mayoritas
memaksakan kehendaknya sehingga golongan
minoritas tidak memunyai kesempatan bila
golongan minoritas tidak setuju.
2) Hubungan Kerja Sama antara Presiden dan DPR
Dalam pembentukan Undang-Undang, sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 UUD NRI 1945 (Hubungan
kerja sama itu tampak di mana wakil pemerintah akan selalu
bermusyawarah dengan DPR dalam proses pembicaraan
penyusunan Undang-Undang).
2. Asas Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan dipergunakan dalam berbagai pengertian.
Pengertian berdaulat ditujukan pada negara-negara yang berhak
menentukan urusannya sendiri, baik masalah-masalah dalam negeri
maupun masalah-masalah luar negeri tanpa ada campur tangan
negara lain. Pengertian kedaulatan adalah wewenang yang tertinggi
yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara.23
Kata ini merupakan terjemahan dari Sovereignty (Inggris), Souvereiniteit
(Belanda), souvereinete (Prancis), suvranus (Italia) dan dalam bahasa
Latin dikenal dengan istilah Supranus yang berarti “yang tertinggi”.
Jean Bodin dalam bukunya “Six Livre de la Republika” adalah yang
23
Ismail Suny, tt., Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru (selanjutnya
disebut Ismail Suny II), hlm. 3.

53
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

pertama-tama mengartikan bahwa kedaulatan adalah tidak dipecah-


pecah, asli, permanen dan sempurna atau tidak terbatas.
Tak terbatas artinya tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi
yang dapat membatasi kekuasaan tersebut permanen berarti abadi
tetap sepanjang negara itu ada. Konsep itu disebut juga konsep
negara monistis.24
Dalam Ilmu Negara, masalah kedaulatan yang memper-
masalahkan legitimasi sumber kekuasaan negara, melahirkan teori
kedaulatan yaitu teori kedaulatan Tuhan dengan penganut Thomas
Aquinas dan Agustinus, kedaulatan negara penganutnya Jean Bodin
dan Jellinek, Kedaulatan Hukum penganutnya Krabbe dan kedaulatan
Rakyat dipelopori oleh J.J. Rousseau. Menurut J.J. Rousseau dalam
pemikiran tentang asal muasal negara, manusia dalam keadaan
alamiah, dalam keadaan ada negara (in state of nature) asalnya baik.
Akan tetapi dalam keadaan alam bebas, manusia yang asalnya baik
itu rusak oleh peradaban, karena itu dalam keadaan alam bebas
orang memerlukan jaminan keselamatan. Lantas mereka menye-
lenggarakan perjanjian masyarakat untuk membentuk negara dalam
bukunya “du contract social”. Dalam perjanjian masyarakat, rakyat
tidak menyerahkan kekuasaan kepada penguasa, tetapi kepada
rakyat sendiri sebagai satu keseluruhan. Penguasa menjalankan
kekuasaan bukan karena haknya sendiri.
Dalam UUDNRI 1945, asas ini dinyatakan secara tegas dalam:
a) Pembukaan, yakni pada rumusan “...Negara Republik Indonesia
berkedaulatan Rakyat ....kerakyatan yang dipimpin oleh .... per-
musyawaratan perwakilan ....”.
b) Batang Tubuh yakni di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Pra-
Amandemen yang berbunyi,”Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD”. Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi,
”MPR terdiri atas anggota....” maupun pasal-pasal yang lain seperti
Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22C,
Pasal 23 ayat (1), Pasal 28, serta Pasal 37.
Hubungan asas kedaulatan dengan pemilu terlihat dari arti
kedaulatan yang berarti wewenang untuk menentukan wewenang
yang berada di bawahnya sehingga dalam asas kedaulatan rakyat,
24
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, op.cit, hlm. 112-113.

54
Hukum Tata Negara

rakyatlah yang berdaulat dan menentukan segala wewenang dalam


Negara. Asas kedaulatan rakyat disebut juga asas demokrasi.25
Terdapat dua bentuk demokrasi, yakni demokrasi langsung dan
demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Adapun
syarat-syarat dari representative government under the Rule of Law yakni:
(1) Proteksi konstitusional.
(2) Pengadilan-pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
(3) Pemilihan-pemilihan yang bebas.
(4) Kebebasan menyatakan pendapat.
(5) Kebebasan berserikat dan tugas oposisi.
(6) Pendidikan civics.
3. Asas Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan berbeda dengan pemisahan kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan terpisah tanpa ada
hubungan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan pembagian
berarti kekuasaan terbagi atas beberapa bagian, tetapi tidak terpisah
dan mempuyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Pencetus
teori pemisahan kekuasaan adalah John Locke dalam bukunya “Two
Treaties on Civil Government” yang memisahkan antara legislatif,
eksekutif dan federatif. Diilhami pendapat John Locke, Montesquieu
dalam bukunya “L’ esprit des Lois” mengemukakan bahwa dalam
setiap pemerintahan, terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu eksekutif,
legislatif dan yudikatif.26
Dalam praktik ketatanegaraan, tidak mungkin untuk melaksa-
nakan ajaran trias politica murni. Prof. Ivor Jennings, dalam bukunya
“The Law and the Constitution”, membedakan pengertian pemisahan
kekuasaan dalam:
I. Pemisahan Kekuasaan dalam arti material. Yakni pemisahan dalam
arti pembagian kekuasaan dengan mempertahankan secara tegas
pembagian tugas-tugas ketatanegaraan antara eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Hal ini disebut pemisahan kekuasaan (Separation
of Power).

25
Ismail Suny, 1992, Sistem Pemilu Yang Menjamin Hak-Hak Demokrasi Warga
Negara (selanjutnya disebut Ismail Sunny III), hlm. 2.
26
Ismail Suny, op.cit, hlm. 8.

55
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

II. Pemisahan Kekuasaan dalam arti formal. Yakni pembagian


kekuasaan yang tidak dipertahankan dengan tegas. Inilah yang
disebut Pembagian kekuasaan (Division of power).
Setelah amandemen UUD 1945, Indonesia memiliki kecende-
rungan menganut “pemisahan kekuasaan” dengan diintroduksi-
kannya asas checks and balances system. Amerika Serikat menganut
asas pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif,
namun pemisahan kekuasaan ini hanya berlaku pada situasi khusus,
yakni jika Veto Presiden ditolak oleh Kongres. Namun secara konsti-
tusional, Kongres dapat membuat Undang-Undang tanpa perse-
tujuan Presiden. Akan tetapi, dalam keadaan biasa, Presiden dapat
mencampuri urusan Kongres. Dalam hal Undang-Undang yang
telah disetujui oleh Kongres tetapi Presiden tidak melaksanakannya,
Presiden dapat mengajukan veto terhadap Undang-Undang tersebut.
Pada umumnya, kongres selalu memperhatikan veto dari presiden.
Padahal, kongres memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan
apakah veto presiden diterima atau ditolak. Inilah sistem peng-
awasan dan keseimbangan (checks and balances system) dalam
konstitusi Amerika Serikat, antara legislatif, yudikatif, eksekutif
yang saling mengimbangi dan saling mengawasi.27
Di Indonesia, asas pemisahan kekuasaan dengan sistem checks
and balances berarti bahwa kekuasaan yang diberikan kepada lembaga-
lembaga negara oleh pembuat Undang-Undang Dasar dipandang
sebagai balances (keseimbangan), dan sebaliknya kewajiban penerima
kekuasaan untuk mempertanggungjawabkan kepada pemberi
kekuasaan dipandang sebagai checks (pengawasan). Oleh karena itu,
hubungan antara pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan
terdapat hubungan pengawasan badan pemberi kekuasaan terhadap
badan penerima kekuasaan.28
Dalam UUD NRI 1945, hal itu tampak pada:
a. Dalam proses pembuatan Undang-Undang, yaitu tampak pada
Pasal 5 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, ”Presiden memegang
kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR”, juga Pasal 20
Ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi,”DPR memegang kekuasaan

27
L.M. Friedman, op.cit, hlm. 188-189.
28
Suwoto Mulyosudarmo; Peralihan Kekuasaan Kajian Retoris Yuridis terhadap Pidato
Nawaksara, Gramedia, Jakarta, (selanjutnya disebut Suwoto Mulyosudarmo I) hlm. 26.

56
Hukum Tata Negara

membentuk Undang-undang”, dan Pasal 21 UUD NRI 1945 yang


berbunyi,”Anggota DPR berhak mengajukan usulan rancangan
Undang-Undang”.
b. Pemberhentian presiden, yaitu pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI
1945 yang berbunyi,”Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-Undang Dasar” (kewenangan atributif) me-
nunjukan bukan pelimpahan oleh MPR, sehingga presiden tidak
dapat diberhentikan oleh MPR, namun ada perkecualian apabila
dipandang melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal
7A UUD NRI 1945 yang berbunyi,”Presiden dan /Wakil Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR
baik apabila telah terbukti melakukan pelanggaran hukum....” dan
menurut Pasal 24C Ayat (2) pendapat DPR tersebut harus di-
sampaikan dahulu kepada Mahkamah Konstitusi serta meka-
nisme pemberhentian harus berdasarkan Pasal 7B UUD NRI 1945.
c. Pengangkatan Menteri, bahwasanya Undang-Undang Dasar
menganut sistem presidensial di mana Presiden memunyai
kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.
Pasal 17 ayat (2) UUD NRI 1945 berbunyi,”Menteri-Menteri itu
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.”
d. Pengujian terhadap Undang-Undang yang nampak dalam Pasal
24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD....”
Selain itu, setelah amandemen UUD 1945, kekuasaan Negara
dilaksanakan:
a. Kekuasaan eksekutif yang dilaksanakan oleh Presiden. Pasal 4
ayat (l) UUD NRI 1945 berbunyi,”Presiden RI memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
b. Kekuasaan Legislatif yang dilaksanakan oleh Presiden dan DPR.
Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 berbunyi,”Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR”,
Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “DPR memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang” dan Pasal 21 UUD NRI
1945 yang berbunyi, “Anggota DPR berhak mengajukan usulan
rancangan Undang-Undang”.

57
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

4. Asas Negara Hukum


Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup bagai warga negaranya.
Dalam sejarah ketatanegaraan, selanjutnya dikenal negara hukum
sempit sebagai ajaran dari Immanuel Kant dan Fichte.
Negara hukum liberal atau negara hukum dalam arti sempit
dikenal dua (2) unsur, yakni:
a. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
b. Pemisahan kekuasaan.
Pada negara hukum formil, unsur-unsurnya bertambah men-
jadi empat unsur yakni:
a. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
b. Pemisahan kekuasaan.
c. Setiap tindakan pemerintah didasarkan atas Undang-Undang.
d. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
The Rule of Law dikenalkan oleh A.V. Dicey, yang meliputi 3 unsur,
yakni:
a. Supremasi hukum.
b. Persamaan kedudukan dan hukum bagi setiap orang.
c. Konstitusi bukan sumber Hak Asasi Manusia jika Hak Asasi
Manusia dituangkan dalam konstitusi hanya sebagai penegasan.
Negara hukum dicirikan tiga hal, yakni:
a. Pengakuan dan perlindungan HAM yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
c. Legalitas dalam segala bentuknya.
UUD 1945 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara
hukum. Hal itu terlihat dalam:
a. Pembukaan UUD NRI 1945 yakni Alenia Pertama yang ber-
bunyi,”Bahwa sesungguhnya .... perikeadilan”. Alenia Kedua yang
berbunyi,”Dan perjuangan pergerakan ....adil dan makmur.”, serta

58
Hukum Tata Negara

Alenia Keempat yang berbunyi,”Kata keadilan sosial dan ke-


manusiaan yang adil dan beradab”.
b. Dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945 yakni dalam Pasal 1 ayat
(3), Pasal 4, Pasal 9, Pasal 24, Pasal 27, serta Pasal 28.

C. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia


Pembahasan tentang sejarah ketatanegaraan dapat dilakukan
berdasarkan beberapa cara, antara lain; berdasarkan periode
berlakunya UUD (Konstitusi), pergantian Orde, pergantian peme-
rintahan dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini, sejarah ketatanegaraan Indonesia didasarkan
pada periode berlakunya UUD, yaitu; Periode Tahun l945 - Tahun
1949 (UUD 1945), Tahun 1949 - Tahun 1950 (KRIS), Tahun 1950 -
Tahun 1959 (UUDS), Tahun 1959 - sekarang (berlakunya kembali
UUD 1945, yang terbagi menjadi 3 masa yakni Tahun 1959 - Tahun
1966, Tahun 1966 - Tahun 1999 dan Tahun 1999 - sekarang. Pem-
bagian dalam 3 masa ini adalah berkaitan dengan pergantian
pemerintahan dan terjadinya amandemen terhadap UUD 1945).
1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1945-1949
a. Perencanaan dan Pengesahan UUD 1945
Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 18
Agustus 1945, ditetapkanlah UUD Negara Republik Indonesia,
yang lebih dikenal dengan nama UUD 1945. Persiapan penyu-
sunan UUD 1945 telah dilakukan sejak bulan Mei 1945 dengan
dibentuknya “Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemer-
dekaan Indonesia” (BPUPKI), atau dalam Bahasa Jepang disebut
dengan Dokuritsu Zyunby Tyoosakai29 pada tanggal 29 April 1945.
Badan ini diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dan
R. Pandji Soeroso dan Itjibangase sebagai wakil ketua. Badan ini
dibentuk oleh pemerintah balatentara Jepang sehubungan dengan
kesanggupan pihak Jepang untuk dalam jangka waktu sesingkat-
singkatnya memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Setelah badan ini dilantik oleh panglima tentara Jepang (Saiko
Sjikikan), kemudian pada tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945 diadakan

29
Nugroho Notosusanto; 1981, Naskah Proklamasi yang Autentik, Jakarta : PN Balai
Pustaka, hlm. 18.

59
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

sidang pertama untuk mendengarkan pandangan umum dari


anggota. Pada sidang pertama ini, pokok pembicaraan adalah
tentang Dasar Negara Indonesia. Pada hari pertama sidang
tanggal 29 Mei 1945, Moh. Yamin mengucapkan pidato mengenai
“Asas dan Dasar Kebangsaan Republik Indonesia” yang terdiri atas
Peri kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri
Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.30 Kemudian pada tanggal
31 Mei 1945, pembicaraan dilanjutkan untuk membahas Dasar
Negara Indonesia, Daerah Negara dan Kebangsaan Indonesia.
Pada sidang ini Moh. Yamin juga berpidato mengenai “daerah-
daerah Negara Indonesia.31 Pada hari terakhir tanggal 1 Juni
1945, Ir. Soekarno berpidato mengenai “dasar Indonesia Merdeka”
atau Philosopische Grondslag atau Weltanschauung dari pada Indo-
nesia merdeka, yang terdiri dari:
1) Kebangsaan Indonesia;
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan;
3) Mufakat atau demokrasi;
4) Kesejahteraan sosial.
5) Dan prinsip yang kelima menurut Ir. Soekarno, hendaknya
menyusun Indonesia merdeka dengan “bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa”. Kelima prinsip tersebut disebut dengan
Pancasila. Panca artinya lima dan sila artinya asas atau dasar.
Di atas kelima asas atau dasar itulah, kita mendirikan negara
Indonesia kekal dan abadi.32
Pada akhir sidang pertama, dibentuk panitia kecil yang ber-
anggotakan 9 orang yaitu; Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta,
Abikusno Tjokrosujoso Abdulkaharmuzakir, H.A. Salim, Mr.
Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim dan Mr. Moh. Yamin untuk
merumuskan pandangan umum dan pendapat para anggota.
Panitia ini pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan
Piagam Jakarta. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan
melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme (Belanda dan
30
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, tanggal 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, Sekretariat
Negara Republik Indonesia, 1992 hlm. 7.
31
Ibid; hlm. 39.
32
Abdullah Zaini; 1991, Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 113.

60
Hukum Tata Negara

sekutu-sekutunya serta Jepang), serta memuat dasar pem-


bentukan negara RI.33
Pada masa sidang kedua tanggal 10-16 Juli 1945, oleh panitia
kecil piagam tersebut dilaporkan ke BPUPKI, dan sidang
kemudian membentuk panitia hukum dasar yang diketuai oleh
Ir. Soekarno dan beranggotakan 19 orang. Panitia ini kemudian
membentuk panitia kecil perancang UUD (ic. pembukaan) yang
beranggotakan 7 orang yaitu: Prof. Dr. Mr. Soepomo, Mr.
Wongsonegoro, AA. Maramis, A. Soebardjo, R.P. Singgih, H.
Agus Salim dan Dr. Sukiman. Pada tanggal 16 Juli 1945 hasil
rumusan dari panitia kecil tersebut disahkan oleh BPUPKI,
termasuk pembukaan UUD 1945 yang isinya berdasarkan
Piagam Jakarta.
Dengan selesainya tugas dari BPUPKI, pada tanggal 8 Agustus
1945 dibentuklah Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan In-
donesia (PPKI) atau dalam Bahasa Jepang disebut “Dokuritsu
Zyunbi Inkai”, yang dipimpin oleh Soekarno dan Moh. Hatta
selaku wakil ketua. Tugas dari panitia ini adalah mempersiapkan
segala sesuatu sehubungan dengan kemerdekaan Indonesia.
PPKI tidak dapat melaksanakan tugasnya akibat di bom
atomnya Hirosima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Septem-
ber 1945 oleh sekutu, yang berakibat Jepang menyerah tanpa
syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
Akibat peristiwa tersebut, pada tanggal 17 Agustus 1945
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia kemudian dibentuk sehari setelah
proklamasi kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945.
PPKI dalam rapatnya kemudian mengesahkan UUD 1945 yang
terdiri dari Pembukaan (Preambule) dan Batang Tubuh, belum
ada penjelasan. Penjelasan yang terdapat dalam Berita Negara
RI tahun II No. 7 merupakan susunan dari Prof. Dr. Mr.
Soepomo yang pernah dikemukakan pada tanggal 15 Juli di
depan sidang BPUIPKI.34

33
Ibid, hlm. 113.
34
Abdullah Zaini; op.cit, hlm. 117.

61
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Sesuai dengan asas negara hukum (Rechtstaat), maka UUD


1945 tersebut merupakan hukum dasar tertulis dari negara RI
(Lois fundamentals). Dilihat dari sejarah pembentukannya, UUD
1945 merupakan hasil revolusi Bangsa Indonesia yang mencapai
titik kulminasinya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi ditinjau dari segi yuridis merupakan satu-satunya
sumber dari segala peraturan hukum nasional atau menurut
Joeniarto35 disebut sebagai Norma Pertama. Dinyatakannya kemer-
dekaan Bangsa Indonesia telah memutuskan ikatan dengan tata
hukum sebelumnya, yaitu tata hukum Hindia Belanda maupun
Jepang. Dengan kata lain, Bangsa Indonesia telah mendirikan
tatanan hukum baru yaitu tata hukum Indonesia, yang ber-
isikan tata hukum nasional yang akan ditentukan dan dilaksa-
nakan sendiri oleh Bangsa Indonesia.
Muncul pertanyaan, apakah UUD 1945 yang disusun oleh
BPUPKI dan disahkan oleh PPKI merupakan UUD yang sah?
Mengingat kedua badan tersebut bukanlah lembaga pembentuk
UUD. Terhadap masalah tersebut, Ismail Suny berpendapat bahwa
sahnya UUD 1945 harus dipertimbangkan dengan menunjuk
pada berhasilnya revolusi Indonesia. Jadi, karena revolusi In-
donesia berhasil, maka apa yang telah dihasilkan oleh revolusi
itu UUD 1945 adalah sah.36 Demikian pula dengan pendapat
Ivor Jennings dalam bukunya “The Constitution” yang menyata-
kan bahwa revolusi yang berhasil menciptakan konstitusi baru.37
b. Sifat UUD 1945
Oleh pembentuknya, UUD 1945 dimaksudkan bersifat
“sementara”. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal III
ayat (2) Aturan Tambahan yang menyebutkan: “dalam enam
bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu bersidang untuk mene-
tapkan UUD”. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 3 yang me-
nyatakan bahwa salah satu tugas MPR adalah menetapkan UUD.

35
Joeniarto; 1983, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : Bina Aksara,
(selanjutnya disebut Juniarto II) hlm. 39.
36
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; op.cit, hlm. 90.
37
Ibid; hlm. 90.

62
Hukum Tata Negara

c. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan.


Bila dilihat ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, maka
tampak bahwa yang memegang kekuasaan yang tertinggi dan
sebagai pelaku kedaulatan rakyat adalah MPR (Pasal 1 ayat 2).
Sebagian kekuasaan itu oleh MPR disalurkan kepada lembaga-
lembaga lain yang ada di bawahnya (Opdracht Van Bevogheid).38
Dengan demikian, maka lembaga-lembaga lain seperti DPR,
Presiden, BPK, DPA dan MAberada di bawah majelis (Untergeordnet).
Presiden dan DPR menerima mandat dari majelis di bidang
eksekutif, legislatif dan legislative control, di mana presiden dan
DPR harus mampu bekerja sama, terutama dalam melaksanakan
kekuasaan pembentukan UU (Pasal 5 ay at 1 jo Pasal 20 ayat 1
UUD 45). Presiden sebagai pelaksana kekuasaan pemerintahan
harus benar-benar memperhatikan suara DPR, meskipun
presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR dan juga DPR
tidak dapat memberhentikan presiden (ic. menteri-menteri
negara), sesuai dengan sistem presidensiil yang dianut oleh UUD
45. Meskipun demikian, dewan berhak meminta kepada majelis
untuk diadakannya sidang istimewa jika presiden dianggap
melanggar haluan negara (Penjelasan Umum UUD 45).
Dalam praktik ketatanegaraan, kekuasaan presiden pada masa
ini sangat luas, karena selain memegang kekuasaan pemerin-
tahan negara tertinggi juga memegang kekuasaan terhadap
lembaga MPR, DPR dan DPA selama lembaga tersebut belum
terbentuk. Selain itu di bidang eksekutif sesuai dengan ketentuan
Pasal 4 ayat 2 jo Pasal 17 presiden dibantu oleh wakil presiden,
menteri, dan di bidang pelaksanaan kekuasaan MPR, DPR dan
DPA dibantu oleh KNIP (Pasal IV Aturan Peralihan UUD ’45).
Yang menunjuk menteri dan anggota KNIP adalah Presiden.
Sehingga di sini presiden dengan bantuan KNIP berhak mene-
tapkan haluan negara, UU dan memberikan pertimbangan
(nasehat), sehingga di sini tampak bahwa kekuasaan presiden
dapat dikatakan sebagai Constitutional Dictatorship.39

38
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih; 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut
Sistem UUD 1945, Jakarta: Djaya Pirusa, hlm. 33.
39
Abdullah Zaini; Op. Cit, hlm. 127.

63
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Selain itu pada tanggal 16 Oktober 1945, dikeluarkan Maklumat


Wakil Presiden No. X dan Maklumat Presiden tanggal 14
Nopember 1945, di mana dengan maklumat tersebut telah terjadi
perubahan sistem pemerintahan dari sistem kabinet presidensial
ke sistem parlementer. Di sini, kabinet dipimpin oleh wakil
presiden selaku Perdana Menteri. Menteri negara diangkat dan
diberhentikan oleh presiden. Namun mereka bertanggung jawab
kepada BP KNIP.
Setelah kekalahan Jepang melawan sekutu Belanda berke-
inginan untuk kembali berkuasa di Indonesia. Belanda meng-
konsolidir kekuatan militernya di Indonesia dan melakukan politik
“Devide et impera” atau “Verdeel en heers”, yang artinya memecah
belah untuk tetap berkuasa.40 Belanda mencoba untuk mendiri-
kan negara-negara bagian seperti negara Sumatera Timur, Negara
Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur dan se-
bagainya. Kenyataan bahwa ketika Belanda masuk kembali ke
Indonesia sudah merupakan negara yang merdeka, memaksa
Belanda untuk mengadakan perundingan-perundingan antara lain:
1) Persetujuan Linggarjati
Ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, yang isinya
antara lain:
a) Belanda mengakui pemerintahan Republik Indonesia
berkuasa de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera.
b) Kedua pemerintah akan bekerja sama untuk dalam waktu
singkat membentuk suatu negara federasi yang berdaulat
dan demokratis bernama “Republik Indonesia Serikat”. RIS
akan terdiri dari negara Republik Indonesia (Jawa, Madura
dan Sumatera), Kalimantan dan Negara Indonesia Timur.
c) Republik Indonesia Serikat akan bergabung dengan
Belanda dalam bentuk “Uni” dan sebagai kepala uni
adalah Ratu Belanda.
d) Pembentukan RIS dan uni diusahakan terlaksana sebelum
tanggal 1 Januari 1949.

40
Wirjono Projodikoro; 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat, hlm. 23.

64
Hukum Tata Negara

Persetujuan ini belum dapat terlaksana, karena pada


Tanggal 20 Juli 1947 Belanda melaksanakan “Aksi Militer I”
(perang kemerdekaan I) terhadap Republik Indonesia
sehingga berhasil menduduki beberapa kota besar seperti
Jawa, Madura dan sumatera.
Atas desakan Dewan Keamanan PBB pada Tanggal 4
Agustus 1947, pemerintah Belanda menjalankan perintah
gencatan senjata. Selanjutnya Tanggal 17 Januari 1948 di
kapal “Renville” ditandatangani persetujuan Renville.
2) Persetujuan Renville
Isi dari persetujuan Renville antara lain:
a) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia
sampai kedaulatan diserahkan kepada Republik Indone-
sia Serikat, yang harus segera dibentuk.
b) Sebelum RIS dibentuk Belanda dapat serahkan sebagian
dari kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.
c) RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat akan
menjadi peserta yang sejajar dengan Kerajaan Belanda
dalam Uni Nederland-Indonesia dengan Ratu Belanda
sebagai kepala Uni.
d) Republik Indonesia akan menjadi Negara Bagian dari RIS.41
Persetujuan ini pun tidak dapat dilaksanakan oleh Belanda,
dan pada Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan “Aksi
Militer II” dan berhasil menduduki ibukota Republik Indo-
nesia Yogyakarta serta menahan Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta serta beberapa pejabat negara lainnya.
Atas tindakan Belanda menimbulkan reaksi di forum inter-
nasional, dan karena itu kemudian Dewan Keamanan PBB pada
Tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan resolusi yang berisi:
a) Supaya dilakukan “Cease Fire” (pemberhentian tembak
menembak).
b) Supaya pemimpin-pemimpin RI segera dibebaskan dan
kembali ke Jogjakarta.

41
Ibid, hlm. 26

65
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dalam rangka itu kemudian di bawah pimpinan Cochran


dari Komisi Jasa-jasa baik PBB pada Tanggal 14 April 1949
diadakan perundingan antara Dr. Van Royen dari pihak
Belanda dan Mohamad Roem, SH dari pihak Indonesia. Pada
Tanggal 7 Mei 1949 tercapailah “Persetjuan Roem Van Royen”.
Isi persetujuan tersebut antara lain:
a) RI akan menghentikan perang gerilya. Bekerja sama
keamanan,
b) Belanda menyetujui pengembalian pemerintah RI ke
Jogyakarta,
c) Menghentikan operasi militer dan membebaskan
pemimpin-pemimpin RI, serta selekasnya mengadakan
Konferensi meja Bundar.
3) Konferensi Meja Bundar (KMB)
Pada tanggal 23 agustus 1949 - 2 Nopember 1949 kemudian
diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, yang diikuti
oleh Belanda, Republik Indone-sia, BFO (Byeenkomst voor
Vederal Overleg) yang diawasi oleh UNCI (United Nations
Commission for Indonesia). Selama berlangsungnya KMB oleh
delegasi-delegasi RI dan BFO telah membentuk Panitia
Perancang konstitusi RIS yang bertugas untuk merancang
naskah konstitusi RIS. Hasilnya dirumuskan dalam Piagam
Persetujuan delegasi RI dan BFO tentang Konstitusi Semen-
tara RIS. Naskah tersebut kemudian disetujui oleh Peme-
rintah Belanda, Pemerintah RI, BFO dan juga oleh KNIP dan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat dari BFO, yang mulai
berlaku pada tanggal 27 Desember 1949.
2. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1949-1950
Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri tanggal 27 Desember
1949 dan sesuai dengan perjanjian KMB, maka negara RI hanya
merupakan salah satu negara bagian RIS. Demikian pula, UUD 1945
hanya berlaku untuk negara bagian RI, dan wilayahnya sesuai
dengan ketentuan Pasal 2 KRIS adalah daerah yang disebut dalam
Persetujuan Renville 17 Januari 1948.
Menurut ketentuan Pasal 186 KRIS, konstitusi ini masih bersifat
“sementara”, yang akan diganti dengan konstitusi yang bersifat

66
Hukum Tata Negara

tetap hasil pembentukan konstituante bersama-sama dengan


pemerintah. Tetapi, ketika lembaga tersebut belum dapat dibentuk,
KRIS telah dirubah dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950 menurut
ketentuan Pasal 190, Pasal 127 a dan Pasal 192 ayat (2) KRIS.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat 1 KRIS, maka “RIS yang
merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan
berbentuk federasi”. Berbeda dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (1),
bentuknya adalah “kesatuan” dengan bentuk pemerintahan
“Republik”.
Kekuasaan negara RIS dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat (Pasal 1 ayat 2 KRIS). Yang dimaksud dengan
pemerintah adalah presiden dan seorang/beberapa orang menteri,
yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum
mereka (Pasal 68 ayat 1 dan 2 KRIS). Dengan demikian, maka peme-
rintah, DPR dan Senat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi.
Sesuai dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh KRIS, presiden
ialah Kepala Negara, ia tidak memimpin pemerintahan (eksekutif).
Yang memimpin pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama-
sama dengan Dewan Menteri. Dalam penyelenggaraan pemerin-
tahan Negara, kedudukan presiden tidak dapat diganggu gugat,
menteri-menteri yang bertanggung jawab atas seluruh kebijak-
sanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun
masing-masing untuk bagiannya (departemen) sendiri-sendiri (Pasal
118 KRIS), sehingga kedudukan menteri-menteri di sini adalah
tergantung kepada DPR.
Dengan ketentuan tersebut di atas, maka jelas KRIS menganut
sistem pertanggungjawaban menteri atau lazim disebut dengan
“sistem parlementer”. Hal ini sesuai dengan Sistem Representative
and Responsible Government.
Lembaga Perwakilan Rakyat menurut KRIS menganut sistem
bicameral yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Majelis
Tinggi dilakukan oleh senat dan Majelis Rendah oleh DPR.
Keanggotaan Senat terdiri dari wakil negara bagian (masing-masing
2 orang), sedangkan DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia (Pasal
99-111 KRIS).
Kekuasaan perundang-undangan federal menurut Pasal 127
KRIS dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan
67
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Senat. Pengesahan suatu perundang-undangan selain ditanda-


tangani oleh presiden juga ditandatangani oleh menteri yang harus
bertanggung jawab terhadap materi UU tersebut sebagai contrasign.
Bentuk negara federasi dan sistem parlementer yang dianut KRIS
tidak sesuai dengan jiwa proklamasi maupun kehendak sebagian
besar rakyat di beberapa daerah/negara bagian. Hal ini terbukti dengan
terjadinya penggabungan beberapa daerah/negara bagian dengan
negara RI. Penggabungan tersebut memang dimungkinkan berdasar-
kan ketentuan Pasal 44 KRIS yang menyatakan bahwa suatu negara
bagian atau daerah bagian dari RIS dapat menggabungkan diri
dengan negara bagian lainnya yang harus dilakukan sesuai dengan
UU Federal dan berdasarkan kehendak rakyat.
Untuk mengatasi hal tersebut, kemudian diadakan persetujuan
antara pemerintah RI dengan RIS untuk merubah bentuk Negara
Federal menjadi bentuk Negara Kesatuan.
3. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1950 - 1959
Dengan UU Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan KRIS
menjadi UUDS RI (Lembaran Negara RIS No. 56 Tahun 1950), maka
KRIS berubah menjadi UUDS. Secara formil, UUDS 1950 adalah
merupakan perubahan dari KRIS 1949, namun pada hakikatnya
merupakan penggantian dari KRIS. Istilah perubahan dipakai karena
berdasarkan Pasal 190 dan 191 KRIS, dinyatakan bahwa untuk
merubah konstitusi hanya dapat dirubah dengan UU Federal,
sedangkan untuk mengganti harus dilakukan oleh lembaga konsti-
tuante (Pasal 186 KRIS). UU Fed-eral No. 7 Tahun 1950 terdiri atas
2 pasal, yaitu:
a. Berisi ketentuan perubahan KRIS menjadi UUDS dengan diikuti
naskah UUDS selengkapnya.
b. 1) Tentang UUDS berlaku Tanggal 17 Agustus 1950, 2) Aturan
Peralihan bahwa alat-alat perlengkapan negara sebelum
pengundangan undang-undang ini tetap berlaku.
Dengan UUDS, maka bentuk negara federal berubah menjadi
negara kesatuan (Pasal 1 ayat 1). UUDS sifatnya adalah sementara.
Hal ini dapat dilihat dari Pasal 134 UUDS yang menentukan bahwa:
konstituante bersama-sama pemerintah selekasnya menetapkan
UUD RI.

68
Hukum Tata Negara

Sebagai realisasi Pasal 134 tersebut kemudian dilaksanakan


pemilu untuk memilih anggota DPR pada bulan September 1955
dan memilih anggota konstituante pada bulan Desember 1955.
Konstituante yang diberi tugas untuk menetapkan UUD yang tetap,
setelah bersidang selama kurang lebih 2,5 tahun tidak mampu
menyelesaikan tugasnya. Hal ini disebabkan karena konstituante
tidak pernah mencapai quorum, 2/3 dari jumlah anggota seperti
yang ditentukan.42
Karena keadaan tersebut, kemudian pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, yang isinya adalah:
Pembubaran Konstituante, UUD 1945 berlaku kembali untuk
seluruh wilayah RI dan tidak berlakunya UUDS dan pembentukan
MPRS/DPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dasar
hukum keluarnya Dekrit Presiden ini tidak akan dijumpai dalam
peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi keluar didasarkan
pada “‘Staatsnoodrecht” (Hukum/Hak Darurat Negara), yaitu hukum
yang memberi hak kepada penguasa untuk mengambil tindakan
atau keputusan yang penting demi kesatuan bangsa dan kese-
lamatan negara. Staatsnoodrecht ada yang bersifat obyektif dan subyektif.
Dikatakan obyektif, bila tindakan penguasa didasarkan pada per-
aturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya. Sedang-
kan yang subyektif bilamana tindakan penguasa tidak didasarkan
pada peraturan yang sudah ada, tetapi didasarkan pertimbangan
subyektif dari penguasa sendiri. Dasar dari penguasa untuk melaksa-
nakan Hukum Darurat Negara yang ekstra konstitusional adalah
pada asas Salus Populi Suprema Lex (kepentingan rakyat merupakan
hukum yang tertinggi).43 Dekrit Presiden tersebut kemudian dikuat-
kan dengan TAP MPRS XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR
GR mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia.
4. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1959 - sekarang
Sejalan dengan perkembangan ketatanegaraan yang terjadi,
maka periode berlakunya UUD 1945 pada masa ini akan dibagi
menjadi tiga bagian yaitu:

42
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; Op. Cit, hlm. 96.
43
Ni’MatuI Huda, Op. Cit, hlm. 52.

69
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

1) Masa antara 1959 -1966.


UUD 1945 yang berlaku kembali atas dasar Dekrit Presiden 5
Juli 1959 terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh (16 Bab, 37
Pasal, 4 Aturan Peralihan dan 2 aturan Tambahan) serta Pen-
jelasan. Sebagaimana halnya dengan UUD 1945 yang pertama
kali berlaku tanggal 18 Agustus 1945, maka UUD 1945 yang
berlaku kembali dengan dekrit ini juga masih bersifat “semen-
tara”, karena tidak ditetapkan oleh MPR sekalipun kemudian
telah dibenarkan oleh TAP MPRS XX/MPRS/ 1966 jo TAP MPR
V/MPR/1973.44 Dekrit itu sendiri hanya menetapkan bahwa UUD
’45 berlaku bagi seluruh Bangsa Indonesia. Jadi dengan demi-
kian, berlaku pulalah ketentuan Pasal 3 dan ayat 2 Aturan
Tambahan UUD’45, yang berdasarkan kedua pasal tersebut maka
UUD 1945 masih bersifat sementara.45
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, maka asas ketata-
negaraan dan sistem pemerintahan mengalami perubahan, yaitu
dari asas Demokrasi Liberal menjadi asas Demokrasi Terpimpin,
dan dari sistem parlementer menjadi sistem presidensiil. Tentang
asas demokrasi terpimpin, presiden dalam sidang konstituante
tanggal 22 April 1959 menegaskan bahwa Demokrasi Terpimpin
adalah demokrasi yang didasarkan atas “kerakyatan” yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Jadi, inti dari demokrasi terpimpin adalah permusya-
waratan, tetapi suatu permusyawaratan yang “dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan”, bukan oleh perdebatan dan penyiasatan
yang diakhiri dengan pengadaan kekuatan dan perhitungan
suara pro dan kontra.46
Dengan sistem presidensiil yang dianut oleh UUD 1945, maka
presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintahan)
tertinggi (concentration of power and responsibility upon president),
yang dalam melaksanakan kekuasaannya dibantu oleh seorang
wakil presiden dan menteri-menteri (Pasal 4 dan 17 UUD 1945).
Dalam praktik ketatanegaraan yang terjadi sejak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya peristiwa G30 S, UUD
44
Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 166
45
JCT Simorangkir, 1983, Hukum dan Konstitusi, Inti Idayu Press, Jakarta, hlm. 8
46
Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 167

70
Hukum Tata Negara

1945 belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Banyak


penyimpangan (deviasi) yang terjadi baik dari segi kelembagaan
negara, sistem pemerintahan maupun dari segi hukum.
Dilihat dari segi kelembagaan negara, maka lembaga tertinggi
atau tinggi negara kedudukannya tidak neben atau tidak sejajar,
tetapi undergeordnet dengan presiden. Hal ini terlihat dari
didudukkannya ketua dan wakil ketua lembaga tertinggi/tinggi
negara sebagai pembantu presiden dengan jabatan menteri.
Contohnya adalah pengangkatan anggota DPR GR oleh presiden
dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960, di mana ketua
dan wakil ketua Dewan masing-masing menjabat sebagai Menteri
Koordinator dan Menteri.
Dalam sistem pemerintahan, kekuasaan presiden sangat besar,
di samping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga
sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memegang kekuasaan
seumur hidup, sebagaimana diatur dalam TAP MPRS III/MPRS/
1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia
Bung Karno menjadi presiden republik Indonesia seumur hidup.
Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Di bidang
hukum, banyak hal yang seharusnya diatur/dibentuk dengan
undang-undang tetapi dibentuk dengan Penetapan Presiden;
Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden.
Jadi secara konstitusional, maka seharusnya kekuasaan negara
tidak terletak di tangan “presiden”, tetapi MPR sebagai pemegang
kedaulatan rakyat, namun dalam praktik ketatanegaraan UUD
1945 yang menjadi landasan konstitusional dikesampingkan.
Dalam kondisi seperti tersebut, kemudian muncul pemberon-
takan G30 S, yang membawa korban beberapa jenderal, aparatur
negara dan masyarakat Indonesia.
Presiden/Kepala Negara/Pemimpin Besar Revolusi tidak
mampu mengendalikan stabilitas politik dan keamanan, sehingga
kemudian meletuslah TRI TURA (Tiga Tuntutan Rakyat) dari
angkatan 1966 yang isinya:
(1) Pelaksanaan kembali secara murni dan konsekuen UUD 1945.
(2) Pembubaran PKI dan
(3) Penurunan harga barang.

71
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

2) Masa antara 1966 - 1999


Untuk mengatasi keamanan negara dan kesatuan bangsa
pada saat itu, kemudian oleh Presiden Soekarno dikeluarkanlah
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) Tahun 1966, yang
memberi wewenang kepada Jenderal Soeharto, Panglima
Komando Staf Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi.
Supersemar kemudian dikukuhkan dengan TAP MPRS IX/
MPRS/1966. Kemudian pada tanggal 12 Maret 1967 dengan TAP
MPRS XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan IR. Soekarno,
dan kemudian mengangkat pemegang Ketetapan MPRS IX/
MPRS/1966 sebagai pejabat presiden. Soeharto diangkat sebagai
pejabat presiden berdasarkan TAP MPRS No.XLIX/MPRS/1968.47
Untuk melakukan penertiban terhadap produk peraturan
perundang-undangan, kemudian dikeluarkan TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR GR Mengenai
Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia, yang terdiri dari:
(1) UUD 1945;
(2) Ketetapan MPRS/MPR;
(3) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
(4) Peraturan Pemerintah;
(5) Keputusan Presiden; dan
(6) Peraturan pelaksana lainnya, seperti:
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. dan lain-lainnya.
Dalam sejarah berlakunya UUD 1945, kemudian pada Tanggal
3 Juli 1971 diadakan Pemilihan Umum yang pertama, dan
berhasil membentuk MPR, DPR, dan DPRD yang definitif sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 18 UUD
1945. Kemudian pada Bulan Maret 1973, MPR mengangkat
Jenderal Soeharto sebagai presiden, dan untuk selanjutnya dalam
5 kali pemilihan presiden, MPR terus menerus memilih Jenderal

47
Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 183

72
Hukum Tata Negara

Soeharto sebagai calon tunggal.48 Terakhir, Soeharto dipilih dan


diangkat sebagai presiden pada pemilu yang ke-6 era Orde Baru,
yaitu pada bulan Maret 1998.
Pada masa pemerintahan Soeharto, dikeluarkan UU yang
mengatur mengenai lembaga negara, antara lain: UU No. 5
Tahun 1973 tentang BPK, UU No. 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan pada masa
Soeharto berkuasa, terjadi pula deviasi, baik di bidang politik
maupun hukum. Antara lain dengan pelemahan fungsi MPR,
yang diawali dengan adanya konsensus nasional Tahun 1967
sebagai hasil kesepakatan partai politik dan Golongan Karya,
yang disahkan dengan Keputusan pimpinan DPR-GR tanggal
16 Desember 1967 dengan adanya anggota MPR yang diangkat
di samping melalui pemilu. Isi Keputusan tersebut antara lain:
(1) Adanya anggota MPR/DPR yang diangkat, disamping yang
dipilih melalui pemilu,
(2) Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan Non ABRI, untuk
Non ABRI harus non massa,
(3) Jumlah anggota yang diangkat untuk MPR adalah 1/2 dari
jumlah seluruh anggota DPR.49
Konsensus tersebut merupakan titik awal pelemahan anggota
MPR melalui penentuan komposisinya.
Puncak restrukturisasi politik adalah keluarnya serangkaian
UU politik, yaitu UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, UU
No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar, UU No. 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat. UU No. 1 Tahun
1985 dengan tegas mencantumkan harus adanya pengangkatan
jumlah anggota MPR/ DPR. Paket UU inilah yang menurut
Ni’Matul Huda merupakan sumber masalah politik di tanah air,
yaitu berkaitan dengan masalah komposisi keanggotaan MPR,
DPR dan DPRD. Keanggotaan lembaga tersebut ada yang dipilih

48
Harun Al Rasyid, 1998, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
hlm. 197
49
Bondan Gunawan S, 2000, Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 33

73
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

melalui pemilu dan ada yang diangkat dengan kriteria yang


tidak jelas. Anggota MPR yang diangkat50 (ABRI, Utusan Daerah
dan Golongan) jauh lebih banyak dibandingkan yang dipilih,
sehingga pengangkatan tersebut lebih banyak tergantung dari
selera presiden. Hal tersebut menyebabkan posisi MPR sebagai
lembaga tertinggi negara berada di bawah presiden/eksekutif,
bukan sebaliknya. MPR menjadi lembaga elastis yang lebih
banyak menyuarakan kepentingan penguasa.51
Penyimpangan lainnya adalah berkaitan dengan perubahan
UUD 1945, di mana UUD 1945 dianggap final dan merupakan
karya agung The Founding Fathers yang harus dilaksanakan
Bangsa Indonesia. UUD tidak dapat dirubah, karena merubah
UUD negara akan kacau dan merubah UUD berarti membubar-
kan negara proklamasi 17 Agustus 1945. Keinginan untuk tidak
merubah tampak dari ketentuan Pasal 115 TAP MPR I/MPR/
1978 tentang Peraturan Tata Tertib MPR/DPR yang menyatakan
bahwa;” majelis tidak akan merubah UUD 1945 dan Pancasila
dan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan
terhadapnya serta akan melaksanakan secara murni dan kon-
sekwen”. Peraturan tersebut sangat kontradiktif dengan semangat
Pasal 37 UUD 1945 dan terlalu dipaksakan.52 Hal tersebut
dipertegas lagi dalam TAP MPR IV/MPR/1983 tentang Referen-
dum, di mana untuk merubah UUD 1945 harus dilakukan ref-
erendum. Ketetapan ini dimaksudkan agar Pasal 37 UUD 1945
tidak mudah digunakan. Jadi, pada era pemerintahan Soeharto
Asas Kedaulatan Rakyat sebagaimana ditentukan dalam UUD
1945 tidak pernah dilaksanakan, yang dilaksanakan adalah
kedaulatan penguasa.53
Akibat pendekatan kekerasan yang dilakukan dan terpuruk-
nya ekonomi Indonesia sejak 1977, gelombang aksi mahasiswa
yang menghendaki mundurnya Soeharto sebagai presiden

50
Menurut UU No. 2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD, jumlah anggota MPR dua kali lipat jumlah anggota DPR, jumlah anggota DPR
500 orang (400 dipilih dan 100 diangkat). Sisanya yang 500 orang diangkat oleh Presiden
dari unsur ABRI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
51
Ni’Matul Huda, Op. Cit, hlm. 163
52
Ibid, hlm. 146
53
A. Ramlan Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakarta, hlm. 84

74
Hukum Tata Negara

kemudian terjadi. Akibatnya pada Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto


yang sudah memegang jabatan selama 7 periode mengundurkan
diri sebagai presiden dan digantikan oleh BJ. Habbie yang
sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden.
3) Masa 1998 - sekarang
Pemerintahan pada masa Habibie disebut sebagai pemerin-
tahan Transisional, yang menurut Mulyoto Mulyosudarmo
terdapat dua pemahaman tentang pemerintahan transisi. Pertama,
pemerintahan transisi digunakan untuk merujuk “pemerin-
tahan sementara” yang masa jabatannya dibatasi sampai ter-
bentuknya pemerintahan baru hasil pemilu. Kedua, pemerin-
tahan transisi merupakan pemerintahan yang otoriter dan sentra-
listik menjadi pemerintahan yang desentralistik dan demokratis.54
Pada masa Habibie, terjadi perubahan ketatanegaraan yang
lebih demokratis, yakni dengan keluarnya beberapa ketetapan
yang penting, Undang-undang serta dilakukannya amandemen
I (pertama) terhadap UUD 1945. Dalam bidang politik, dikeluar-
kan undang-undang yang menggantikan undang-undang
sebelumnya, yaitu: UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik,
UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan UU No. 4 Tahun
1999 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Dengan
keluarnya undang-undang tersebut, maka terdapat sejumlah
perubahan yakni; Pertama, dari sistem politik kepartaian, di mana
jumlah partai yang ikut pemilu tidak lagi terbatas PDI. PPP
dan Golkar tetapi multi partai. Kedua, diakhirinya peran militer
secara bertahap di MPR. Ketiga, asas tunggal Pancasila dalam
partai tidak berlaku lagi. Masing-masing partai bebas menentu-
kan asas yang dipakai. Keempat, pemilu dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Setelah terbentuknya MPR hasil pemilu 1999, kemudian
dilakukan perubahan pertama terhadap UUD 1945 dalam
sidangnya tanggal 14-21 Oktober 1999. Beberapa pasal yang
diamandemen antara lain: Pasal 5 ayat 1, Pasal 7, 9, 13 ayat 2,
14, 15, 17 ayat 2 dan 3, 20 serta Pasal 21.
54
Suwoto Mulyosudarmo, 3 Juli 1999, Dinamika Hukum Tata Negara di Era
Pemerintahan Transisi (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Air
Langga), Surabaya (selanjutnya disebut Suwoto Mulyosudarmo II).

75
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Perubahan terhadap Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 adalah


berkaitan dengan kekuasaan pembentukan UU. Bila sebelum
amandemen kekuasaan membentuk UU ada pada presiden, maka
kemudian beralih kepada DPR. RUU tersebut dibahas oleh
presiden bersama dengan DPR untuk mendapat persetujuan
bersama, dan jika tidak mendapat persetujuan bersama, maka tidak
boleh diajukan dalam persidangan masa itu (pasal 20 ayat 2 dan
3 amandemen I UUD 1945). Yang mengesahkan RUU tersebut
adalah presiden (Pasal 20 ayat 4). Masalahnya kemudian adalah
jika RUU tersebut ternyata kemudian tidak disahkan oleh
presiden, maka bagaimana status RUU tersebut, apakah lang-
sung menjadi UU atau batal?55 Bila dahulu sebelum amandemen,
maka RUU tersebut tidak boleh diajukan dalam persidangan
DPR masa itu (Pasal 21 ayat 2). Dengan amandemen, maka ke-
tentuan tersebut dihapus. Amandemen juga dilakukan terhadap
Pasal 7 yaitu berkaitan dengan pembatasan masa jabatan
persiden, yakni maksimal hanya untuk dua kali masa jabatan.
Sedangkan dalam Pasal 9 yaitu menyangkut sumpah presiden,
ditambah satu ketentuan lagi yaitu bahwa jika MPR/DPR tidak
mengadakan sidang, maka presiden dan atau wakil presiden
bersumpah/berjanji di hadapan pimpinan MPR dengan disaksi-
kan oleh pimpinan MA. Pasal 13 berkaitan dengan pengang-
katan/penerimaan duta bila dahulu sepenuhnya adalah merupa-
kan hak presiden selaku kepala negara, maka dengan amandemen
presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR. Demikian
pula dengan ketentuan Pasal 14 ayat 2 dalam hal pemberian
Amnesti dan Abolisi. Sedangkan dalam hal pemberian Grasi dan
Rehabilitasi, harus memperhatikan pertimbangan MA.
Sidang Umum MPR bulan Oktober 1999 mengakhiri pula
masa pemerintahan BJ. Habibie yakni dengan ditolaknya pidato
pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR dengan
TAP MPR III/MPR/1999. Kemudian dalam Sidang Umum MPR
tanggal 20 dan 21 Oktober 1999, Bangsa Indonesia menorehkan
sejarah penting bagi perkembangan demokrasi, yakni dengan
55
Dalam Amandemen ke-II UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
2000, hal tersebut sudah diatur dengan dicantumkannya Pasal 20 ayat (5) yang
menyebutkan bahwa, Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan
oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut
sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

76
Hukum Tata Negara

terpilihnya presiden dan wakil presiden yaitu Abdurrahman


Wahid dan Megawati Soekarno Putri melalui voting sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Pengangkatan
tersebut kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR VII/MPR/1999
dan TAP MPR VIII/MPR/1999. Dalam sidang tahunannya
tanggal 7-18 Agustus 2000, MPR melakukan amandemen ke-II
terhadap UUD 1945 yang meliputi perubahan dan atau penam-
bahan yaitu; Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, mencakup
Pasal 18, 18A, 18 B; Bab VII tentang DPR, mencakup Pasal 19,
20 ayat 5, 20A, 22 A dan 22 B;: Bab IX tentang Wilayah Negara,
mencakup Pasal 25 E; Bab X tentang Warga: Negara dan
Penduduk, mencakup Pasal 26 ayat 2 dan 3, Pasal 27 ayat 3; Bab
XII tentang HAM, mencakup Pasal 28 A-J dan Bab XII tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,
mencakup Pasal 36 A-C.
Beberapa hal penting berkaitan dengan amandemen tersebut
di atas adalah ketentuan Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah,
di mana dengan tegas ditentukan bahwa daerah Indonesia ter-
bagi atas daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota serta diakuinya
dan dihormatinya satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus dan istimewa.
Perubahan terhadap Pasal 19 ayat 1, berkaitan dengan penyu-
sunan anggota DPR di mana dalam amandemen, ditentukan
bahwa “anggota DPR dipilih melalui pemilu”. Jadi tidak lagi
dikenal adanya mekanisme pengangkatan sebagaimana yang
terjadi sebelumnya.
Dalam amandemen ke-III Pasal 20 ,ditambah satu ayat lagi
yaitu ayat (5), yang menentukan bahwa bilamana RUU yang telah
disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden, maka dalam jangka
waktu 3 bulan sejak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU.
Selama pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid, tuntutan
reformasi berjalan lambat dan gejolak disintegrasi bangsa di
berbagai daerah belum berhasil diatasi, terakhir adalah terjadinya
skandal Bulloggate dan Bruneigate,56 yang berakibat DPR me-
56
Skandal Bulloggate adalah tentang penggunaan uang Yayasan Dana Yanatera Bullog
sejumlah Rp. 35 Milyar, di mana Presiden diduga berperan dalam pencairan dana tersebut
untuk diberikan kepada Suwondo. Sedangkan Bruneigate adalah tentang pemberian
bantuan dari pemerintah Brunei Darussalam kepada pemerintah RI.

77
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

ngeluarkan Memorandum I57 pada tanggal 1 Februari Tahun 2001


dan diikuti dengan Memorandum II pada Tanggal 30 April 2001.58
Kewenangan DPR mengeluarkan Memorandum tersebut
didasarkan pada TAP MPR No.III/MPR/1978 tentang Kedudukan
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/
atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, di mana dalam
Pasal 7 ayat (2) disebutkan: Apabila DPR menganggap presiden
melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan memo-
randum untuk mengingatkan presiden. Kemudian dalam Pasal
7 ayat (3) disebutkan: Apabila dalam waktu 3 bulan presiden
tidak memperhatikan Memorandum DPR tersebut pada ayat (2),
maka DPR akan menyampaikan Memorandum kedua. Jika dalam
waktu 1 bulan Memorandum II tidak diindahkan, DPR dapat
meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggungjawaban presiden.
Konflik antara presiden dan DPR terus berlanjut, dan presiden
pada Tanggal 22 Juli 2001 mengeluarkan Maklumat yang berisi:
1) Pembekuan MPR/DPR,
2) Mengembalikan kedaulatan rakyat dan melaksanakan pemilu
dalam waktu satu tahun,
3) Membekukan Partai Golkar.
Keluarnya Maklumat tersebut menimbulkan reaksi dari ber-
bagai kalangan, dan akhirnya atas permintaan MPR, MA menge-
luarkan fatwa mengenai substansi maklumat tersebut, yaitu
bahwa: Maklumat tersebut bertentangan dengan konstitusi (pen-
jelasan). Demikian pula, presiden tidak berwenang membubar-
kan Golkar karena yang berwenang adalah MA sesuai dengan
ketentuan dalam UU tentang Parpol. Dari segi kelembagaan,
tindakan presiden juga tidak tepat, karena MPR adalah merupa-

57
Memorandum I DPR dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No 36 Tahun 2001,
yang berisi: a. Presiden diduga terlibat dalam kasus Bullogate dan Bruneigate, b. Melakukan
kebohongan publik, c. Inkonsistensi dalam memberikan pernyataan, d. Sungguh-sungguh
melanggar Haluan Negara, e. Melanggar Pasal 9 UUD 1945 tentang Sumpah Jabatan
Presiden, dan f. Melanggar TAP MPR No. XI/MPR/1998 (Ball Post 28 Maret 2001)
58
Memorandum II DPR Dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No. 47/IV/2001
yang berisi: a. Presiden telah melanggar GBHN, b. Dalam waktu 3 bulan, presiden tidak
memperhatikan Memorandum I, dan c. Memberikan waktu 1 bulan kepada presiden
menanggapi hal tersebut.

78
Hukum Tata Negara

kan lembaga tertinggi negara sehingga tidak dapat dibubarkan


oleh lembaga tinggi negara lainnya.
Akhirnya melalui Sidang Istimewa tanggal 22 Juli 2001, MPR
mencabut mandatnya dan mengangkat Megawati Soekarno
Putri sebagai presiden RI ke-V dan Hamzah Haz sebagai wakil
Presiden. Kemudian pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001,
MPR mengeluarkan 12 Ketetapan dan melakukan amandemen
ke III terhadap UUD 1945. Dalam amandemen ke III ini, beberapa
pasal yang dirubah atau ditambah adalah; Pasal 1 ayat (2 dan
3), 3 ayat (1, 3 dan 4), 6 ayat ( 1 dan 2), 6A ayat ( 1, 2, 3 dan 5),
7A, 7B ayat (1, 2, 3, 5, 6 dan 7), 7C, 8 ayat (1 dan 2), 11 ayat (2
dan 3), 17 ayat (4), 22C ayat (1, 2, 3 dan 4), 22D ayat (1, 2, 3 dan
4), 22E ayat (1, 2, 3, 4, 5 dan 6), 23 ayat ( 1, 2 dan 3), 23A, 23C ,
23E ayat (1, 2 dan 3), 23F ayat (1 dan 2), 23G ayat (1 dan 2), 24
ayat (1 dan 2), 24A ayat (1, 2, 3, 4 dan 5), 24B ayat (1, 2, 3 dan 4)
dan Pasal 24C ayat (1, 2, 3, 4, 5 dan 6).
Perubahan yang penting dalam amandemen ke-III ini antara
lain berkaitan dengan Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa:
“kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD”. Jadi tidak lagi dilaksanakan oleh MPR. Demikian pula
dalam ayat 2-nya yang menegaskan bahwa “Indonesia adalah
negara hukum”. Berdasarkan amandemen ke III ini, maka
perubahan yang mendasar terjadi pada lembaga MPR, yang
dahulu adalah merupakan lembaga tertinggi negara sekarang
kedudukannya sama dengan lembaga lainnya. Selain itu, diatur
pula beberapa lembaga baru seperti DPD (Pasal 22 C dan D),
Komisi Yudisial (Pasal 24 B), Mahkamah Konstitusi (Pasal 24
C), dan sebagainya.
Kemudian pada Agustus 2002 dalam sidang tahunannya,
MPR melakukan amandemen yang ke IV terhadap UUD 1945.
Perubahan dan atau penambahan meliputi Pasal 2 ayat (1), 6A
ayat (4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16, 23B , 23D, 24 ayat (3), BAB XIII,
Pasal 31 ayat (1, 2, 3 dan 4), 37 ayat (1, 2, 3, 4 dan 5), Aturan
Peralihan Pasal 1, 11 dan III, Aturan Tambahan Pasal I dan II.
Dalam amandemen ke IV ini, salah satu perubahannya adalah:
mencakup susunan lembaga MPR, di mana keanggotaannya
terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu,

79
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

serta dihapuskannya lembaga DPA. Dengan amandemen ini juga


ditegaskan bahwa UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-
pasal (Aturan Tambahan Pasal II), sehingga penjelasan tidak
termasuk lagi sebagai bagian dari UUD 1945.
Dengan diamandemennya UUD 1945 tersebut, maka
kemudian dikeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai
peraturan pelaksana dari UUD 1945, yaitu antara lain; UU No.
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 31 Tahun
2003 tentang Partai Politik, UU No. 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, UU No.
23 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dan sebagainya.
Pemilu Legislatif Tahun 2004 yang dilaksanakan pada Tanggal
5 April 2004 telah berhasil memilih anggota MPR, DPR, DPD
dan DPRD. Pemilu Tahun 2004 ini menghasilkan 10 partai yang
mendapat suara terbanyak dari 24 partai politik yang ikut
pemilu. Partai tersebut antara lain: Partai Demokrasi Indo-nesia
Perjuangan (PDIP) memperoleh suara (18,53%), Partai Golkar
(21,58%), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (10,57 %), PPP
(8,15%), Partai Demokrat (7,45%), PAN (6,44%), PBB (2,62%),
PER (2,44%) dan PDS (2,13%).59
Dengan perolehan suara tersebut, maka konsekuensinya
pada pemilu selanjutnya yaitu tahun 2009, partai yang berhak
ikut pemilu adalah 7 partai yang memperoleh suara terbanyak.60
Pemilu 2004 ini menunjukkan terjadinya perubahan dominasi
dan pemerataan kekuatan, misalnya PDIP dan Golkar hanya
menguasai 20% dan 23% kursi. Hal tersebut disebabkan karena:61

59
Imade Leo Wiratma, Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni) 2004; Dari
Pemilu Legislatif menuju Pemilu Presiden, Analisis CSIS Mencermati Hasil Pemilu
2004, Vol 33, No. 2 Juni 2004
60
Dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu disebutkan bahwa
untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus a. mem-
peroleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR, b. Memperoleh sekurang-kurangnya
4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah
Provinsi seluruh Indonesia, c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 jumlah Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia.
61
Anies Rasyid Baswedan, Sirkulasi Suara dalam Pemilu 2004, Analisis CSIS, Ibid,
hlm. 175

80
Hukum Tata Negara

1) Pertambahan kursi di DPR, dari 500 pada pemilu Tahun 1999


menjadi 550 kursi, sehingga ada 50 kursi tambahan yang
diperebutkan.
2) Dikosongkannya kursi ABRI di DPR. Hal ini berarti ada 38
kursi yang diperebutkan dalam pemilu 2004.
3) Merosotnya perolehan suara PDIP dalam yang kehilangan
44 kursi di DPR. Hal ini berarti bahwa ada 132 kursi yang
akan diperebutkan.
Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif Tahun 2004 tersebut,
maka pada Tanggal 5 Juli Tahun 2004 kemudian dilakukan
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh
rakyat dan ini merupakan hal yang baru bagi Bangsa Indone-
sia karena sebelumnya pemilihan presiden dan wakil presiden
dilakukan oleh MPR.62 Dalam Pemilu Tahun 2004 ini, Calon
Presiden (capres) dan Calon wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik/gabungan partai politik pemenang pemilu (Pasal 6A ayat
(2) UUD 1945) jo Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian berdasarkan ketentuan
Peralihan Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003, maka untuk pemilu
Tahun 2004 partai politik/gabungan partai politik yang berhak
mengajukan capres dan cawapres adalah yang memenuhi per-
syaratan perolehan suara pada pemilu anggota DPR sekurang-
kurangnya 3% dari jumlah kursi DPR atau 5% dari perolehan
suara sah secara nasional hasil pemilu anggota DPR Tahun 2004.
Atas dasar ketentuan tersebut, maka pada awalnya terdapat
6 pasangan capres dan cawapres yaitu: (a). Wiranto dan
Salahudin Wahid dari Golkar, (b) Megawati dan Hasyim Muzadi
dari PDIP, (c) Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo dari PAN,
(d) Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla dari Partai
Demokrat, (e) Hamzah Haz dan Agum Gumelar dari PPP dan
(f) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Marwah Daud Ibrahim
dari PKB. Namun pasangan Gus Dur dan Marwah Daud Ibrahim
dinyatakan gugur oleh KPU karena tidak memenuhi persyaratan.

62
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-3 menyatakan bahwa, Presiden dan
wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

81
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Gugurnya pasangan ini akibat terganjal ketentuan Pasal 6


huruf d UU No. 23 Tahun 2003 yang menyatakan: “mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai presiden dan wakil presiden”,63 Dan SK KPU No. 31 Tahun
2004 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan
Jasmani Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dalam salah
satu klausulnya menyebutkan bahwa :”Capres atau cawapres
memenuhi syarat apabila tidak ditemukan distabilitas dalam
kesehatan jasmani, termasuk di dalamnya perihal penglihatan”.64
Pada pemilu putaran pertama yang diselenggarakan pada
tanggal 5 Juli 2004 tersebut, ternyata dari 5 pasangan capres
dan cawapres tidak ada pasangan yang memenuhi syarat peroleh
suara untuk dapat dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.65
Karena itu kemudian atas dasar Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 jo
Pasal 66 UU No. 23 Tahun 2003, maka 2 pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua yang akan maju
pada pemilu putaran kedua. Hasil pemilu putaran pertama ini
membawa pasangan Megawati soekarno Putri dan Kiai Hasyim
Muzadi serta pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf
Kalla maju pada pemilu putaran kedua.
Pemilu putaran kedua yang dilaksanakan pada Tanggal 5
Oktober 2004, memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla sebagai presiden wakil presiden RI periode Tahun
2004-2009. Hal tersebut berdasarkan Keputusan KPU No. 28/
MK/KPU/2004 tentang Penetapan hasil rekapitulasi pemilu. KPU
memutuskan dan menetapkan bahwa pasangan Megawati-
Hasyim Muzadi memperoleh suara sebanyak 44.990.704, sedang-
kan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memperoleh suara
sebanyak 69.266.350.66 Pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono
63
Made Leo Wiratma, Op. Cit, hlm. 150
64
Akibat SK KPU tersebut PKB kemudian minta fatwa ke MK, namun ditolak karena
MK tidak berwenang mengeluarkan fatwa atas SK KPU, selain itu pula judicial review
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU adalah merupakan kewenangan
MA. MA pun kemudian menolak uji materiil yang diajukan oleh Gus Dur bersama PKB
(baca lebih jauh Made Leo Wiratma, analisis CSIS, Ibid, hlm. 151)
65
Pasal 6 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa pasangan capres dan cawapres
yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya
20% suara di setiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi; presiden dan wakil presiden.
66
Bali Post, Tanggal 21 Oktober 2004, hlm. 1.

82
Hukum Tata Negara

dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden dilakukan


dalam Rapat Paripurna MPR pada Tanggal 20 Oktober 2004.
... ...
DAFTAR BACAAN
Al Rasyid, Harun. 1998. Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta.
Dekker, Nyoman. 1993. HTN Republik Indonesia, IKIP Malang
Ekatjahjana, Widodo dan Totok Sudaryanto. 2001. Sumber HTN
Formal, di Indonesia, Bandung: Citra Aditya.
Gunawan S, Bondan. 2000. Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Joeniarto. tt. Selayang Pandang Sumber-sumber HTN Indonesia,
Yogyakarta: Liberty.
Juniarto. 1983. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta Bina
Aksara.
Kusnardi. Moh. dan Bintan R. Saragih. 1980, Susunan Pembagian
Kekuasaan menurut Sistem UUD 1945, Jakarta: Djaya Pirusa.
M. Mangunsong, Parlin. 1992. Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Sarana
Perubahan UUD, Bandung: Alumni
Manan, Bagir dan Kuntanan Magnar. 1987. Peranan peraturan
Perundang-undangan dalam pembinaan Hukum Nasional, Armico,
Manan, Bagir. 1987. Konvensi Ketatanegaraan, Bandung: Armico.
Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998, llmu Perundang-Undangan
Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Jakarta: Kanisius.
Mulyosudarmo, Suwoto. Peralihan Kekuasaan Kajian Retoris Yuridis
terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta
Mulyosudarmo, Suwoto. 3 Juli 1999. Dinamika Hukum Tata Negara
di Era Pemerintahan Transisi (Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Air Langga), Surabaya.
Notosusanto, Nugroho. 1981. Naskah Proklamasi yang Autentik,
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Pide, Andi Mustari. 1999. Pengantar HTN, Jakarta: Gaya Media
Pratama,

83
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Projodikoro, Wiryono. 1989. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indo-


nesia, Jakarta: Dian Rakyat.
Simorangkir, JCT. 1983. Hukum dan Konstitusi, Inti Idayu Press,
Jakarta.
Sunny, Ismail. Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara
Sunny, Ismail. 1983. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara
Baru.
Sunny, Ismail. 1992. Sistem Pemilu Yang Menjamin Hak-Hak Demokrasi
Warga Negara.
Surbakti, A., Ramlan. 1998. Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia,
Jakarta.
Tambunan. A.S.S. 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945,
Popuris Publishers
Zaini, Abdullah. 1991. Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Artikel
Bali Post, Tanggal 21 Oktober 2004.
Leo Wiratma, I Made, Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni
2004; Dari Pemilu Legislatif menuju Pemilu Presiden, Analisis CSIS
Mencermati Hasil Pemilu 2004, Vol 33, No. 2 Juni 2004.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992 Risalah Sidang BPUPKI-
PPKI, tanggal 29 Mei 1945-19 Agustus 1945.

84
Hukum Tata Negara

Bagian Ketiga
Lembaga-Lembaga Negara

A. Pengertian Sistem Pemerintahan dan Lembaga Negara


Sebagaimana telah diuraikan dalam kajian mata kuliah Ilmu
Negara1 terkait dengan pokok bahasan bentuk Negara, bentuk
pemerintahan serta sistem pemerintahan di dunia, serta berdasarkan
penelusuran bahan hukum dibidang Hukum Tata Negara yang
berkaitan dengan sistem pemerintahan dan lembaga negara, maka
dapat ditemukan konsep dan pengertian mendasar dari sistem
pemerintahan dan lembaga-lembaga negara.
Pertama, di dalam bahan hukum primer yakni pada bagian
Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 19452, yakni penjelasan
dari Undang-undang Dasar Indonesia sebelum perubahan, di-
tegaskan berkaitan dengan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan
Negara atau yang dalam nomenklaturnya disebut sebagai “Sistem

1
Baca dalam Abu Dauh Busroh, 2010, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 125-135.
2
Berkaitan dengan pembahasan pada bab ini, dapat dikaitkan dengan tujuh kunci
pokok sistem pemerintahan Nasional di Indonesia sebagaimana telah dirumuskan oleh
Soepomo dan beberapa tokoh nasional lainnya yang merumuskan Penjelasan Undang-
undang Dasar Tahun 1945, dimana mulanya sebagai bagian terpisah dari Naskah Undang-
undang Dasar Tahun 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 18 Agustus 1945. Lihat dalam Sekretariat Negara, 1995, Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, h. 126-145.

85
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar...”3


sebagai rujukan mendasar membahas dimensi sistem pemerintahan
di Indonesia pada masa sebelum amandemen Undang-undang
Dasar Tahun 1945, yang meliputi hal-hal berikut ini:4
1) Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat),
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2) Sistem Konstitusional, artinya pemerintahan berdasarkan atas
sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).
3) Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusya-
waratan Rakyat (Die gezamte Staatgewalt liegi allein bei der Majelis),
sebagaimana dirumuskan pada Penjelasan Undang-undang
Dasar, disebutkan maknanya ialah5 kedaulatan rakyat dipegang
oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan
des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang
Dasar dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Majelis
ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara
(Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan
negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan
haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan
oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk
dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris”
dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis.
Presiden tidak “neben” (sejajar, tambahan dari penulis), akan tetapi
“untergeordnet” (pada hierarkis, tambahan dari penulis) kepada
Majelis. Perlu dicatat, bahwa terhadap sistem kekuasaan negara
tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada
Pasal 1 Ayat (2) ditentukan bahwa,”Kedaulatan adalah di tangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
3
Lihat dan baca dalam Bagian Penjelasan Undang-undang Dasar Tahun 1945 dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat
Indonesia, h. 39. Untuk selanjutnya disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat I.
4
Undang-undang Dasar ‘45 Amandemen ke-4 Tahun 2002; 2002, Semarang : Penerbit
Aneka Ilmu, hlm. 38-39. Baca juga Chairul Anwar, 1999, Konstitusi dan Kelembagaan
Negara, Jakarta: Penerbit CV. Novindo Pustaka Mandiri, hlm. 104-105.
5
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 40-41.

86
Hukum Tata Negara

Rakyat”6, namun kemudian pasca Amandemen, bunyi dari Pasal


1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjadi,”Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.7
4) Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan negara yang tertinggi
di bawah Majelis. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi
dan di dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan
tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power
and responsibility upon the President)8.
5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Artinya, di samping Presiden ada Dewan Perwakilan
Rakyat. Hal ini mengindikasikaan adanya kedudukan sederajat
antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden
harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
membentuk undang-undang (Gesetzgebung) dan untuk mene-
tapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting).
Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi, Presiden tidak ber-
tanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya,
kedudukan Presiden tidak tergantung dari pada Dewan
Perwakilan Rakyat9.
6) Menteri negara ialah pembantu Presiden. Menteri negara tidak
bertangung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya,
Presiden mengangkat dan memperhentikan menteri-menteri
negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari
pada Dewan, akan tetapi tergantung dari pada Presiden. Mereka
ialah pembantu Presiden10.
7) Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas bermakna meskipun
Kepala Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Per-
wakilan Rakyat, Kepala Negara bukan “diktator”, artinya
kekuasaan tidak tak terbatas11.
6
Undang-undang Dasar’45 Amandemen Ke-4 Tahun 2002, op.cit., hlm. 2.
7
Ibid.
8
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 41.
9
Ibid.
10
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 41-42.
11
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 42-43.
87
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Kedua, dalam bahan hukum sekunder, Mohammad Mahfud MD12


memaparkan bahwa sistem Pemerintahan landasannya adalah pem-
bagian kekuasaan negara. Di samping itu, materi Konstitusi tentang
wewenang dan bekerjanya lembaga-lembaga negara juga disebut
sebagai sistem pemerintahan negara. Dipandang dari sudut penataan
kekuasaan negara, selanjutnya ditegaskan bahwa sejarah pembagian
kekuasaan negara adalah bermula dari pemisahan kekuasaan.
Mohammad Mahfud MD menjelaskan bahwa wacana mengenai
pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan telah berkembang
sejak dahulu. Di tahun 1690-an, John Locke menulis ajaran mengenai
pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam bukunya “Two
Treaties on Civil Government”13. Menurut John Locke, kekuasaan Negara
meliputi 3 (tiga) kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan federatif yang masing-masing terpisah satu
sama lain. Kekuasaan legislatif ialah membuat Undang-undang,
kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan Undang-undang
dan di dalamnya termasuk kekuasaan pengadilan.14 Oleh karenanya,
dalam konteks ini, John Locke memandang mengadili itu sebagai
“Uitvoering” yakni pelaksanaan Undang-undang, sedangkan ke-
kuasaan federatif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan
keamanan negara dalam kaitan hubungan luar negeri.15
Setengah abad kemudian, Montesquieu menulis sebuah buku
yang berjudul “L’ Esprit Des Lois”. Dalam Bab keenam buku tersebut,
diuraikan tentang tiga kekuasaan yang terpisah satu sama lain, baik
dari segi fungsinya maupun dari segi organnya. Montesquieu
memandang kekuasaan pengadilan harus dipisahkan dari ke-
kuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan federatif termasuk dalam
kekuasaan eksekutif.16
Dalam rangka menelusuri dan menjelaskan penataan kekuasaan
negara di Indonesia, kedua teori tersebut dapat dipakai untuk meng-
klarifikasi apakah di Indonesia dianut teori pemisahan kekuasaan
ataukah teori pembagian kekuasaan. Mohammad Mahfud MD me-
12
Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta, h. 65-67.
13
Baca dalam Abu Daud Busroh, op.cit., h. 45-55.
14
Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel,
hlm. 225.
15
Miriam Budiardjo, 1981, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia, hlm. 152.
16
Ismail Suny, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Bina Cipta, hlm. 6.
88
Hukum Tata Negara

ngemukakan bahwa ditinjau dari segi cara bekerja dan berhu-


bungan, ketiga kekuasaan negara tersebut dapat disebut sebagai
sistem pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud
sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja
antara lembaga-lembaga negara.17
Philipus Mandiri Hadjon18 berpendapat bahwa sistem Pemerin-
tahan Indonesia sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 merupakan sistem yang “unik”. Dikatakan “unik” dikarenakan
sistem yang dianut Indonesia tidak ada duanya di dunia, meskipun
tidak diingkari bahwa dalam beberapa hal terdapat kesamaan dan ke-
miripannya dengan sistem dan praktik ketatanegaraan di negara lain.
Adapun setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
194519, ditegaskan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah
sistem Presidensial. Penegasan yang dimaksud telah meng”amin”-
kan apa yang telah disepakati sebagai lima kesepakatan dasar dalam
amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 tersebut20.
Penegasan tersebut menyatakan bahwa Presiden dipilih langsung
oleh rakyat, masa jabatan Presiden yang pasti dan Presiden tidak
dapat dijatuhkan di tengah-tengah masa jabatannya21.
17
Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 74.
18
Philipus M. Hadjon, 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan,
Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu, hlm. ix.
19
Terjadi empat kali amandemen terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang
kemudian dituangkan ke dalam Lembaran Negara, masing-masing yakni Amandemen
Pertama dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
11, Amandemen Kedua dituangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 12, Amandemen Ketiga dituangkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 13, serta Amandemen Keempat dituangkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14. Baca lebih lanjut
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, op.cit., h. i-vii.
20
Baca Majelis Permusyawaratan Rakyat, op.cit., h. v-vii.
21
Lihat Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengenai Presiden
dipilih langsung oleh rakyat dalam rumusan Pasal 6A Ayat (1), masa jabatan Presiden yang
pasti melalui rumusan Pasal 7 serta dasar dan mekanisme pemberhentian Presiden dan
Wakil Presiden melalui rumusan Pasal 7 A yang berbunyi,”Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden“ serta Pasal 7 B Ayat (1) yang berbunyi,”Usul
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa Pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa

89
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Perlu dicatat, demi mendapatkan pemahaman yang utuh dan


menyeluruh, maka patut ditelusuri sejarah perumusan dan pem-
bahasan Undang-Undang Dasar oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia22, proses perdebatan pada Panitia Ad Hoc I Majelis Per-
musyawaratan Rakyat Republik Indonesia23 dalam melakukan per-
ubahan terhadap batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, dan bilamana dinilai perlu dapat juga digunakan
pendekatan perbandingan Hukum Tata Negara untuk mendapat
hasil yang lebih tajam dan maksimal24.
Ditinjau dari sejarah ketatanegaraan sebelum perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, tidak terdapat ketentuan yang menen-
tukan penggunaan nomeklatur lembaga negara. Istilah lembaga
negara tersebut mulai dikenal sejak ditetapkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis
Permusyawaratan Rakyat/1978 dengan menggunakan istilah
Lembaga Tertinggi Negara untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan Lembaga Tinggi Negara untuk penyebutan Dewan Perwakilan
Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan,
Dewan Pertimbangan Agung dan Mahkamah Agung.25 Sedangkan
dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, digunakan istilah
“alat-alat perlengkapan Federal” dan dalam Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 digunakan istilah “alat-alat perlengkapan Negara”.
Dalam kedua konstitusi tersebut26, disebutkan secara rinci siapa saja
alat-alat perlengkapan Negara yang dimaksud.

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden“. Baca lebih lanjut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 13 dan Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 116-118.
22
Lihat lebih lanjut dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., h. iii-vi.
23
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Revisi, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 275-279. Untuk selanjutnya disebut sebagai
Jimly Asshidiqie I.
24
I Dewa Gede Atmadja, 2006, Hukum Konstitusi: Hukum Konstitusi, Perubahan
Konstitusi Sudut Pandang Perbandingan, Denpasar: Bali Aga, hlm. 1-3.
25
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis
Permusyawaratan Rakyat/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga
Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, merupakan salah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masuk ke dalam katagori Ketetapan
yang dicabut melalui Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indo-
nesia 2003. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor I/Majelis Permusyawaratan Rakyat/2003, Cetakan
Kesepuluh, Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 15-17.
Untuk selanjutnya disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat II.
26
Lihat dalam Bab III Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Pasal 44 Undang-
Undang Dasar Sementara 1950. Baca dalam Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 45-57.
90
Hukum Tata Negara

Dipandang dari tujuan pembentukannya, lembaga negara me-


rupakan perwujudan dari kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian, dibentuk-
lah dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 lembaga-lembaga
negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, Mahkamah Agung,
Badan Pemeriksa Keuangan dan lembaga negara yang lainnya. Dan
kepada lembaga-lembaga negara tersebut27, diberikan fungsi, ke-
dudukan dan wewenang pemerintahan yang meliputi berbagai segi.
Lembaga negara sebelum dan setelah amandemen Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 terdapat perbedaaan. Ada beberapa yang
dihapus dan ada pula beberapa lembaga negara baru yang dibentuk.
Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di-
amandemen28, dipandang dari kedudukannya, terdapat lembaga
tertinggi negara yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat dan lembaga
tinggi negara yakni meliputi Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden,
Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Per-
timbangan Agung.
Pasca Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen, Majelis
Permusyawaratan Rakyat berubah kedudukannya sebagai lembaga
negara, sedangkan mengenai Dewan Pertimbangan Agung dihapus-
kan29, secara khusus melalui perubahan keempat Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, adapun ketentuan Pasal 16 sebelum amandemen
mengalami perubahan menjadi rumusan perbandingan sebagai berikut:
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG30
Pasal 16
1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan
undang-undang.
27
Ide pemikirannya diambil dari H. Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, 1984,
Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 36 dan paparannya disesuaikan
dengan perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
28
Baca dalam Joeniarto, op.cit., h. 47-50.
29
Periksa Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengenai penghapusan
Dewan Pertimbangan Agung, pembentukan Dewan Pertimbangan Daerah dan Mahkamah
Konstitusi, serta kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara
dan tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi. Baca dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 12, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 13 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14.
30
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 14.
91
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan


Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG ****) (Dihapuskan)31
Pasal 16
Presiden membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas
memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang
selanjutnya diatur dalam Undang-Undang32.
Di samping itu, dalam perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 juga terdapat pembentukan lembaga negara baru yakni
Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Bab
VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 22C dan 22D
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB VIIA***)33
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22C
1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum. ***)
2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan
Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. ***)
3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun. ***)
4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur
dengan undang- undang. ***)

31
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 132.
32
Pasal 16 Ayat (2) tersebut telah dituangkan ke dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, diundangkan
pada tanggal 28 Desember 2006, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 108 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4670, lihat dan bandingkan dengan rumusan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Angka (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tersebut.
33
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 140-141.

92
Hukum Tata Negara

Pasal 22 D34
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemben-
tukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***)
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama. ***)
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pem-
bentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampai-
kan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***)
4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang. ***)
Dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pula,
terdapat penambahan pada Kekuasaan Kehakiman Nasional yaitu
dengan munculnya Mahkamah Konstitusi sebagaimana dirumuskan
dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 24 Ayat (2) dan
Pasal 24C Ayat (1) sampai (6) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

34
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 141-142.

93
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 2435
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24C36
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. ***)
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar. ***)
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***)
4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi. ***)
5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ke-
tatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang. ***)

35
Lihat Undang-undang Dasar ’45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, op.cit., hlm. 20.
36
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 148-150.

94
Hukum Tata Negara

Masalah pokok yang dibahas dalam bab ini yakni mengenai


lembaga-lembaga negara menurut Perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 194537. Penataan kekuasaan Negara di Indonesia baik
sebelum maupun pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 “sarat akan diskusi dan pembahasan” dan “menjadi wacana baru”.
Disebut “sarat akan diskusi dan pembahasan”, dikarenakan di-
pandang dari pembagian kekuasaan negara beserta lembaga-lembaga
negaranya sebelum maupun sesudah Undang-Undang Dasar Tahun
1945 diamandemen, tidaklah mengikuti ajaran pemisahan kekuasaan
dari Montesquieu38 yang lazim dikenal melalui ajaran “Trias politica”,
tidak pula mengikuti pola dan praktik Amerika Serikat, dan tidak pula
mengikuti pola dan praktik negara-negara Eropa khususnya Belanda
yang pernah menjajah Indonesia39. Terlebih lagi, penataan lembaga-
lembaga Negara setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945, menjadi wacana baru yang kemudian menjadi hal substansial
dalam kajian ketatanegaraan.
Dikatakan “menjadi wacana baru” akibat dari adanya lembaga
negara yang dihapus dan terdapat pembentukan lembaga negara
yang baru40. Sehingga, sangat tepat pembahasan mengenai lembaga-
lembaga negara ini diangkat, khususnya dalam konteks sebagai
bahan perkuliahan.
Di Indonesia, runtuhnya kekuasaan Orde Baru41berdampak pada
runtuhnya sakralisasi pandangan terhadap Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 yang didesak dan dimotori oleh paradigma pemikiran
reformasi. Hal ini menjadikan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melakukan per-
ubahan dan penyempurnaan terhadap batang tubuh Undang-
Undang Dasar 194542.

37
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 189-191.
38
Baca dalam Ismail Suny, Loc.cit.
39
Philipus M. Hadjon, Loc.cit.
40
Baca Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun
1945 dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 1-275. Disamping itu, beberapa
literatur terkait seperti halnya Ni’matul Huda, 2008, Undang-undang Dasar 1945 dan
Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 1-25.
41
Lihat dalam Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Cetakan Pertama, Jakarta:
Kompas Gramedia Group, hlm. 1-5.
42
Dalam Jimly Asshidiqie I, op.cit., hlm. 275-276.

95
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Salah satu wacana penting yang patut ditindaklanjuti setelah


perubahan Undang-undang Dasar 1945, bahwa ketatanegaraan
negara Republik Indonesia telah berubah. Perubahan Ketatanegaraan
tersebut akan membawa implikasi pada perubahan atas paradigma
berpikir dan praktik ketatanegaraan di Indonesia, khususnya yang
berkaitan dengan lembaga-lembaga negara pasca perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

B. Mengidentifikasi Lembaga-lembaga Negara pada Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam rangka melakukan identifikasi terhadap lembaga-lembaga
negara pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat
dilakukan pendekatan melalui beberapa sudut pandang berikut ini:
1. Teori Pemisahan dan Teori Pembagian Kekuasaan
Teori yang berkaitan dengan pemisahan atau pembagian ke-
kuasaan adalah “teori pemisahan kekuasaan” yang dipopulerkan oleh
Montesquieu43 dan “teori pembagian kekuasaan” yang dipopulerkan
oleh Hans Kelsen44. Kedua teori tersebut merupakan cikal bakal pem-
bentukan lembaga negara (atau dengan nama lain penyebutannya)
lahirnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ditinjau dari
segi fungsinya, ketiga lembaga negara tersebut berfungsi melaksana-
kan kedaulatan rakyat.
Di Indonesia, ketiga kategori lembaga negara tersebut dikenal
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194545, terdapat Bab
III mengenai kekuasaan Pemerintahan Negara, yang lazim disebut
sebagai kekuasaan eksekutif, Bab VII mengenai Dewan Perwakilan
Rakyat, yang lazim disebut sebagai kekuasaan legislatif, serta Bab
IX mengenai Kekuasaan Kehakiman yang lazim dikenal sebagai
kekuasaan yudikatif.
Dalam konteks perkembangan ketatanegaraan Indonesia pasca
perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara eksplisit
ditentukan lebih dari 3 (tiga) mengenai lembaga negara, malahan
dengan penyebutan atau penamaan yang berbeda.

43
Ismail Suny, Loc.cit.
44
Baca dalam Hans Kelsen, op.cit., hlm. 250-253.
45
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121-149.

96
Hukum Tata Negara

2. Penamaan dan Dasar Hukum Atribusi Wewenang dalam


Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Berdasarkan penamaan dan atribusi wewenang mengenai
lembaga-lembaga negara dalam Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, maka dapat diidentifikasi sebagai berikut46 :
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi
wewenang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
meliputi Pasal 3 Ayat (1) dan (2), Pasal 7A, Pasal 7B Ayat (7), dan
Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
b) Presiden, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam Per-
ubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi Pasal 4 Ayat
(1), Pasal 5 Ayat (1), dan (2), Pasal 10, Pasal 11 Ayat (1), Pasal 12,
Pasal 13 Ayat (1), pasal 14 Ayat (1), dan (2), Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (2), dan (4), Pasal 22 Ayat (1),
Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23F Ayat (1), Pasal 24A Ayat (3), Pasal
24B Ayat (3), dan Pasal 24C Ayat (3) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
c) Dewan Perwakilan Rakyat, dengan dasar hukum atribusi wewe-
nang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 me-
liputi Pasal 20 Ayat (1) dan (2), Pasal 22 Ayat (2), Pasal 22D Ayat (1)
dan (2), Pasal 23 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1) dan Pasal 22D Ayat
(3), Pasal 22F Ayat (1), Pasal 22E Ayat (2) dan (3), Pasal 24B
Ayat (3), Pasal 24A Ayat (3), Pasal 24C Ayat (3), Pasal 13 Ayat
(3) dan (4), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 11 Ayat (2) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
d) Dewan Perwakilan Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewe-
nang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 me-
liputi Pasal 22D Ayat (1), (2), (3) dan Pasal 22F Ayat (l) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
e) Mahkamah Agung, dengan dasar hukum atribusi wewenang
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meliputi
Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24 A Ayat (1), dan Pasal 24 C Ayat (3)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

46
Lihat dan bandingkan dalam Ni’matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia,
Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 189-253.

97
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

f) Mahkamah Konstitusi, dengan dasar hukum atribusi wewenang


dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada
Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
g) Komisi Yudisial, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 24A
Ayat (3), dan Pasal 24B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
h) Badan Pemeriksa Keuangan, dengan dasar hukum Atribusi wewe-
nang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada
Pasal 23E Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
i) Pemerintah Daerah, dengan dasar hukum atribusi wewenang
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam Pasal
18 ayat (2), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
j) Komisi Pemilihan Umum, dengan dasar hukum atribusi wewe-
nang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada
Pasal 22E ayat (l), (2), dan (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
k) Bank Sentral, dengan dasar hukum atribusi wewenang dalam
Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal 23
D Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
l) Tentara Nasional Indonesia, dengan dasar hukum atribusi
wewenang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 pada Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
m) Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan dasar hukum atri-
busi wewenang dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 pada Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
n) Dewan Pertimbangan, dengan dasar hukum atribusi wewenang
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal
16 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Terminologi atau istilah yang digunakan dalam Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk menyebut lembaga-
lembaga negara47 tersebut tidak seragam. Sebagai lembaga-lembaga
negara disebutkan yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah
47
Jimly Asshidiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 1-69. Untuk selanjutnya disebut
sebagai Jimly Asshidiqie II. Baca juga Jimly Asshidiqie I, op.cit., hlm. 11-76, 281-342.

98
Hukum Tata Negara

Konstitusi dan ada pula Komisi Yudisial. Selain itu, ada pula disebut
Pemerintahan Daerah, Kepolisian Republik Indonesia, Tentara
Nasional Indonesia, Komisi Pemilihan Umum dan Bank Sentral.
Bila dikaji lebih mendalam, maka dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 terdapat lembaga yang menggunakan
nomenklatur atau nama komisi, yaitu Komisi Yudisial dan Komisi
Pemilihan Umum. Adapun diluar ketentuan Undang-Undang Dasar,
keberadaan lembaga komisi yang merupakan lembaga-lembaga
pembantu (state auxiliary agencies), yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang maupun Peraturan lainnya di bawah Undang-
undang48. Pembentukan lembaga-lembaga yang disebut komisi ini
sangat pesat perkembangannya sejak reformasi. Lembaga-lembaga
tersebut diposisikan setingkat lembaga negara, idealnya bersifat
“independen” dan secara khusus ditujukan untuk menjalankan
fungsi dan kewenangan tertentu.49
Dalam kenyataannya, di Indonesia telah dibentuk beberapa
komisi50, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi
Penyiaran (KPI), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU),
Komisi Nasional untuk Anak (Komnas Anak), Komisi Nasional
Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Ombudsman Nasional
(KON), Komisi untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas), Komisi untuk Perlindungan Saksi dan
Korban serta Komisi Hukum Nasional (KHN).
Dalam waktu mendatang51, diperkirakan masih akan ada lagi
beberapa Komisi yang akan dibentuk, seperti Komisi Pengawas
Kejaksaan dan Komisi untuk Kebebasan Informasi.
Adapun hingga saat ini52, komisi yang telah dibubarkan adalah
Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan
Komisi Konstitusi.
48
Baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 277-279.
49
Periksa Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-
undangan Nasional yang terkait. Agar lebih jelas pemahamannya bandingkan dengan
Firmansyah Arifin et.al., Hasil Penelitian Sementara tentang Lembaga Negara, 2004,
Jakarta dan Firmansyah Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi: Catatan-catatan untuk
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2004, hlm. 13-43.
50
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 13-15.
51
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 17.
52
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 18.
99
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

C. Tata Cara Pembentukan, Susunan, dan Kedudukan Lembaga-


Lembaga Negara Pasca Perubahan Undang-undang Dasar
Tahun 1945
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya dikaitkan dengan
dasar hukumnya yakni pada Bab II tentang Majelis Permusya-
waratan Rakyat Pasal 2 dan Pasal 3 Perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dan perundang-undangan nasional yakni dikait-
kan beberapa peraturan perundang-undangan pasca Amandemen
atas Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut, yakni melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 200353, kemudian diubah dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 200954, dan
terakhir dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 201455, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana di-
rumuskan dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) dari ketiga
peraturan perundang-undangan tersebut yakni,”...Majelis Permusya-
waratan Rakyat yang selanjutnya disingkat Majelis Permusyawaratan
Rakyat adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945...”
yang dikaitkan dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan lembaga Negara
yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum
dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang56.
Dengan ketentuan baru ini, Jimly Asshiddiqie mengemukakan
bahwa eksistensi utusan golongan dihapus dari sistem perwakilan
53
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31
Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
54
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
55
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
56
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat
dalam Undang-undang Dasar ’45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, Loc.cit.
100
Hukum Tata Negara

yang berpilar tiga tersebut pra Amandemen, yakni perwakilan politik


melalui sistem kepartaian di Dewan Perwakilan Rakyat (Political
Representatives), perwakilan daerah atau utusan daerah (Regional
Representatives), dan perwakilan golongan fungsional berupa utusan
daerah (Functional Representatives) seperti yang diadopsi dalam naskah
asli Undang-Undang Dasar 194557.
Adapun susunan dan keanggotaan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dapat dikaji dari rumusan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan lembaga
Negara yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-undang58, demikian
pula dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2003 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Per-
wakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum, selanjutnya
dalam Pasal 3 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2003 ditentukan bahwa Keanggotaan Majelis Permusya-
waratan Rakyat diresmikan dengan Keputusan Presiden59.
Kemudian pula ditegaskan kembali dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 dan
terakhir dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 yang menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga permusya-
waratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara serta
Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 dan Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Keanggotaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat diresmikan dengan Keputusan Presiden.

57
Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah Undang-undang Dasar 1945 Setelah
Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
lndonesia, (selanjutnya disebut Jimly Asshidqie III), hlm. 3.
58
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat
dalam Undang-undang Dasar ’45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, Loc.cit.
59
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, tentang Susduk,
Bandung: Penerbit “Citra Umbara”, 2003, hlm. 4.

101
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Kemudian berkaitan dengan pimpinan Majelis Permusyawaratan


Rakyat, baik pada Pasal 7 Ayat (1) dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 disebutkan bahwa pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang
wakil ketua yang mencerminkan unsur Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih dari dan oleh anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Kemudian dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, disebutkan bahwa pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang
berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 4 (empat) orang
wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 2 (dua) orang wakil ketua
berasal dari anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang ditetapkan
dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, serta Pasal
15 Ayat (1), (2) dan (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2014, disebutkan bahwa Pimpinan Majelis Permusya-
waratan Rakyat terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Majelis Permusya-
waratan Rakyat dipilih dari dan oleh anggota Majelis Permusya-
waratan Rakyat dalam satu paket yang bersifat tetap yang berasal
dari fraksi dan/atau kelompok anggota disampaikan di dalam sidang
paripurna, yang dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dipilih secara
musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Berkaitan dengan tugas Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, disebutkan dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 menentukan bahwa tugas Pimpinan
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai berikut.
a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk
diambil keputusan.
b) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
antara ketua dan wakil ketua.
c) Menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat.

102
Hukum Tata Negara

d) Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Majelis Per-


musyawaratan Rakyat.
e) Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan Pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
f) Mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat dan/atau alat
perlengkapan Majelis Permusyawaratan Rakyat di Pengadilan.
g) Melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
h) Menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan
anggaran Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan
i) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang
Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sedangkan dalam Pasal 15 Undang-undang Republik Indone-
sia Nomor 27 Tahun 2009 menentukan bahwa tugas Pimpinan
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai berikut.
a) memimpin sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
antara ketua dan wakil ketua;
c) menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d) melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
e) mengoordinasikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
f) mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat di pengadilan;
g) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Majelis
Permusyawaratan Rakyat; dan
h) menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang pari-
purna Majelis Permusyawaratan Rakyat pada akhir masa jabatan.
Serta dalam Pasal 16 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014 menentukan bahwa tugas Pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai berikut:

103
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

a) memimpin sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan me-


nyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
antara ketua dan wakil ketua;
c) menjadi juru bicara Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d) melaksanakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
e) mengoordinasikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
f) mewakili Majelis Permusyawaratan Rakyat di pengadilan;
g) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Majelis Per-
musyawaratan Rakyat; dan
h) menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang pari-
purna Majelis Permusyawaratan Rakyat pada akhir masa jabatan.
Dalam Pasal 8 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 15 Ayat (2) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tersebut, ditegas-
kan bahwa mengenai tugas dan tata cara pelaksanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata
Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dirumuskan dalam
Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003,
Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,
serta Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, yang menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga negara.
Kemudian, berkaitan dengan tugas dan wewenang Majelis Per-
musyawaratan Rakyat, berdasarkan ketentuan Pasal 3 Perubahan
Undang-Undang Dasar Tahun 194560 serta Pasal 11 Undang-Undang
60
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121.

104
Hukum Tata Negara

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, ditegaskan bahwa


Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai tugas dan wewe-
nang sebagai berikut.
a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b) Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil Pemilihan
umum, dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampai-
kan penjelasan di dalam Sidang Paripurna Majelis Permusya-
waratan Rakyat;
d) Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan
kewajibannya dalam masa jabatannya;
e) Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f) Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti
secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai politik
atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil
Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-
lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g) Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode etik Majelis Per-
musyawaratan Rakyat.
Sedangkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, disebutkan bahwa tugas dan wewe-
nang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat yakni sebagai berikut:
a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c) memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk mem-
berhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

105
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa


Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya;
e) memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya; dan
f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban-
nya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua)
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir
masa jabatannya.
Pasal 5 merupakan tata cara pelaksanaan dari Pasal 4 sebagai-
mana telah dirumuskan berikut ini.
1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 4, Majelis Permusyawaratan Rakyat me-
nyusun anggaran yang dituangkan dalam program dan kegiatan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Dalam menyusun program dan kegiatan Majelis Permusya-
waratan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk me-
menuhi kebutuhannya, Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat
menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada
Pemerintah untuk dibahas bersama.
3) Pengelolaan anggaran Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan keten-
tuan peraturan perundang-undangan.

106
Hukum Tata Negara

4) Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan pertanggung-


jawaban pengelolaan anggaran Majelis Permusyawaratan
Rakyat dalam peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) Majelis Permusyawaratan Rakyat melaporkan pengelolaan
anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada
publik pada akhir tahun anggaran.
Sedangkan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa wewenang Majelis
Permusyawaratan Rakyat secara terpisah dijabarkan sebagai berikut.
a) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
c) memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat untuk member-
hentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan-
nya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya;
e) memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya; dan
f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban-
nya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua)
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan
calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai
berakhir masa jabatannya.

107
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Sedangkan Pasal 5 terkait dengan tugas dari Majelis Permusya-


waratan Rakyat yakni sebagai berikut.
a) memasyarakatkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b) memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik In-
donesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
c) mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
d) menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat ditegas-
kan dalam Pasal 12 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 pada undang-
undang tersebut, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mem-
punyai hak sebagai berikut.
a) Mengajukan usul perubahan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar;
b) Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c) Memilih dan dipilih;
d) Membela diri;
e) Imunitas;
f) Protokoler; dan
g) Keuangan dan administratif.
Pada Pasal 12 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, ditegaskan bahwa tata cara penggunaan
hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2003, ditentukan bahwa anggota Majelis Permusya-
waratan Rakyat mempunyai kewajiban sebagai berikut:.
a) Mengamalkan Pancasila;
b) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia tahun 1945 dan Peraturan Perundang-undangan;

108
Hukum Tata Negara

c) Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan


Kerukunan Nasional;
d) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan; dan
e) Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Sedangkan hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan
Rakyat kembali ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat mempunyai hak sebagai berikut:.
a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Dalam Pasal 10 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009, ditentukan bahwa anggota Majelis Permusya-
waratan Rakyat mempunyai kewajiban sebagai berikut.
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan; dan
e. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Sedangkan hak dan kewajiban Majelis Permusyawaratan Rakyat
kembali ditegaskan dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 bahwa anggota Majelis Permusya-
waratan Rakyat mempunyai hak sebagai berikut.

109
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

a. mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Dalam Pasal 11 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009, ditentukan bahwa anggota Majelis Permusya-
waratan Rakyat mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik In-
donesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan; dan
f. melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
Lembaga Negara selain Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah adalah hubungan dengan Presiden dan Wakil
Presiden, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden, member-
hentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar serta memilih Wakil Presiden
dalam hal kekosongan jabatan Wakil Presiden61.
Sedangkan, hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan Mahkamah Konstitusi dalam kaitan Putusan Mahkamah
Konstitusi atas dugaan Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden/
61
Lihat dalam Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 8 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 114-120.

110
Hukum Tata Negara

Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi meme-
nuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti yang ditentukan
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194562 termasuk
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Dasar
Tahun 1945, yakni peraturan perundang-undangan terkait
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia63.
Prof. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa dalam konteks
hubungan seperti itu, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasca
amandemen menempatkan bahwa kekuasaan legislatif berada di
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat
juga berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Per-
wakilan Daerah secara personal. Selain itu, Majelis Permusya-
waratan Rakyat bersifat permanen dan berdiri sendiri disamping
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Sistem parlemen dengan gaya tersebut merupakan “trika-
meralisme”64. Dalam konteks ini, Indonesia adalah negara pertama
di dunia yang menggunakan sistem parlemen seperti model tersebut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat
Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya Bab VII tentang
Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B pada Perubahan Undang-Undang

62
Lihat Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm.148.
63
Dalam Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, sebagaimana telah diubah dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 20 Juli
2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226 dan terakhir melalui
Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5456. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 15 Januari 2014, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493.
64
Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Mahkamah
Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 138-
141. Lihat juga Firmansyah Arifin, et.al., op.cit., hlm. 20.

111
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


22 Tahun 200365 yang kemudian diubah dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 200966, dan terakhir dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 201467 yang
telah diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 201468, dinyatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum dan susunan Dewan
Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-Undang.
Adapun susunan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat
dapat dikaji dari rumusan Pasal 19 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 67 dan
Pasal 74 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,
serta Pasal 67, Pasal 68 dan Pasal 76 Undang-undang Republik In-
donesia Nomor 17 Tahun 2014, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
merupakan lembaga Negara yang terdiri atas anggota partai politik
peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan
umum, yang berjumlah lima ratus lima puluh orang pada Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 dan menjadi

65
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31
Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
66
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Per-
wakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
67
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Per-
musyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
68
Adapun substansi perubahannya terkait dengan Pasal 74 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5),
serta Ayat (6) yang dihapus, Pasal 97 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 98 Ayat (7),
Ayat (8) dan Ayat (9) dihapus, Pasal 104 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 109 Ayat (2)
yang juga diubah bunyinya, Pasal 115 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, Pasal 121
Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, Pasal 152 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya,
diantara Pasal 425 dengan Pasal 426 disisipkan Pasal 425 A dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014. Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan
pada tanggal 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5650.

112
Hukum Tata Negara

lima ratus enam puluh dalam Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, yang kemudian diresmikan keanggotaannya
dengan Keputusan Presiden, serta berdomisili di ibukota negara
Republik Indonesia.
Kemudian, berkaitan dengan pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat, pada Pasal 21 Ayat (1) dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 disebutkan bahwa pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan tiga orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, disebutkan bahwa pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat terdiri atas seorang ketua dan empat orang wakil
ketua yang ditentukan dalam Ayat (2) hingga Ayat (5) bahwa yang
berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi ter-
banyak pertama langsung menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
dan bagi partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak
kedua hingga kelima menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014, tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat disebutkan pada
Pasal 84 bahwa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas
seorang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan
oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian ditentukan dalam
Ayat (2) bahwa pimpinan dipilih dari anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dalam satu paket yang bersifat tetap yang berasal dari fraksi
dan diumumkan di dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana disebutkan Ayat (3). Kemudian setiap fraksi
hanya dapat mengajukan 1 (satu) bakal calon pimpinan saja, dan
tidak seperti halnya dirumuskan dalam Pasal 82 Ayat (1) hingga
Ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,
bahwa pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat berasal dari partai politik
berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak pertama langsung
menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan bagi partai politik
berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak kedua hingga kelima
menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

113
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Berkaitan dengan tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat,


disebutkan dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 bahwa tugas Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat adalah sebagai berikut:
a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk
diambil keputusan;
b) Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
antara ketua dan wakil ketua;
c) Menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;
d) Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Dewan Per-
wakilan Rakyat;
e) Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan putusan Dewan Perwakilan Rakyat;
f) Mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau alat kelengkapan
Dewan Perwakilan Rakyat di Pengadilan;
g) Melaksanakan putusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan
dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
h) Menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan
anggaran Dewan Perwakilan Rakyat; dan
i) Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya dalam sidang
Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan tugas Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang
disebutkan dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Republik In-
donesia Nomor 27 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a. memimpin sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan menyimpulkan
hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan
agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat;
d. menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;
e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Per-
wakilan Rakyat;

114
Hukum Tata Negara

f. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dalam berhubungan dengan


lembaga negara lainnya;
g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat;
h. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat di pengadilan;
i. melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan
dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. menyusun rencana anggaran Dewan Perwakilan Rakyat bersama
Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan
dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat yang khusus diadakan untuk itu.
Adapun tugas pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 dapat
disimak pada Pasal 86 Ayat (1) sebagai berikut:
a. memimpin sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan menyimpulkan
hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan
agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan Dewan
Perwakilan Rakyat;
d. menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Rakyat;
e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Per-
wakilan Rakyat;
f. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat dalam berhubungan dengan
lembaga negara lainnya;
g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat;
h. mewakili Dewan Perwakilan Rakyat di pengadilan;
i. melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan
dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;

115
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

j. menyusun rencana anggaran Dewan Perwakilan Rakyat bersama


Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan
dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat yang khusus diadakan untuk itu.
Dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut, yakni
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Pasal
22 Ayat (2), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 Pasal 84 Ayat (2), dan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 86 Ayat (2), ditegaskan mengenai tugas
dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih
lanjut diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat dirumuskan dalam Pasal
24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003,
Pasal 68 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009,
serta Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat merupa-
kan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga
negara. Sedangkan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 69 dan Pasal 70 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, serta Pasal 69 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 ditentukan bahwa
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi, anggaran
dan pengawasan. Ditambahkan pula penegasan baik pada Pasal 69
Ayat (2) dan Pasal 70 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009 maupun Pasal 69 Ayat (2) serta Pasal 70 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 perihal ketiga
fungsi tersebut dan tujuannya dalam kerangka representasi rakyat.
Kemudian, tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat
berdasarkan ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 23F Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 194569 serta Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

69
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 131-133.

116
Hukum Tata Negara

a. Membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden


untuk mendapat persetujuan bersama;
b. Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah
pengganti Undang-undang;
c. Menerima dan membahas usulan rancangan Undang-undang
yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah yang berkaitan dengan
bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d. Memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas
rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama;
e. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama
Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah;
f. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-
undang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta
kebijakan pemerintah;
g. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah terhadap pelaksanaan
Undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak
pendidikan, dan agama;
h. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan mem-
perhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
i. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas per-
tanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan;
j. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan
dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
k. Memberikan persetujuan calon hakim Agung yang diusulkan
Komisi yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim Agung oleh
Presiden;
l. Memilih tiga orang calon anggota hakim Konstitusi dan
mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
117
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

m. Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat


duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan
pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi;
n. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara
lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
pembentuk undang-undang;
o. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat; dan
p. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan
dalam Undang-undang.
Sedangkan, tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat
dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
dikaitkan dengan Pasal 72 dalam undang-undang tersebut,
dirumuskan sebagai berikut:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Daerah berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta peng-
gabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan per-
imbangan keuangan pusat dan daerah;
d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
dalam huruf c bersama Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah
sebelum diambil persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan
Daerah dan Presiden;
e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden atau Dewan Perwakilan Daerah yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
118
Hukum Tata Negara

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan


keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan Dewan
Perwakilan Daerah sebelum diambil persetujuan bersama antara
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden;
f. memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas
rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama;
g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertim-
bangan Dewan Perwakilan Daerah dan memberikan persetujuan
atas rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang diajukan oleh Presiden;
h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang di-
sampaikan oleh Dewan Perwakilan Daerah terhadap pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
pajak, pendidikan, dan agama;
j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,
serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbul-
kan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang;
k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian
amnesti dan abolisi;
l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal meng-
angkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
m. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan mem-
perhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas penge-
lolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan;

119
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan


dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan
Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden;
q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;
r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset
negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang
berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara;
s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat; dan
t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
undang-undang.
Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2014, terkait dengan tugas dan wewenang disebutkan
secara terpisah, yang dapat disimak dari kutipan Pasal 71 terkait
wewenang Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut.
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden atau Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan Dewan
Perwakilan Daerah sebelum diambil persetujuan bersama antara
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden;
d. memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah atas
rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan

120
Hukum Tata Negara

Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan


dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan per-
timbangan Dewan Perwakilan Daerah dan memberikan perse-
tujuan atas rancangan undang-undang tentang Anggaran Pen-
dapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Presiden;
f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
disampaikan oleh Dewan Perwakilan Daerah atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
pajak, pendidikan, dan agama;
g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;
h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian
amnesti dan abolisi;
j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal meng-
angkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
k. memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memper-
hatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan
dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan
Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden; dan
n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.
Kemudian, dalam Pasal 72 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014 disebutkan perihal tugas dari Dewan Per-
wakilan Rakyat, sebagaimana kutipan berikut:

121
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan pro-


gram legislasi nasional;
b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan
undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan Daerah berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan kebijakan
pemerintah;
e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas penge-
lolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset
negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang
berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara;
g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat; dan
h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.
Adapaun hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat ditegas-
kan dalam Pasal 27 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2003, Pasal 77 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009, dan Pasal 79 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewe-
nangnya, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak sebagai berikut.
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
Ditegaskan pada Pasal 12 Ayat (2) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 bahwa tata cara penggunaan hak

122
Hukum Tata Negara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata


Tertib Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan tata cara penggunaan
hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tersebut dalam Pasal 77 Ayat (2)70, Ayat (3)71 dan Ayat (4)72
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009.
Demikian halnya, bila dikaji dalam peraturan perundang-
undangan terbaru terkait Dewan Perwakilan Rakyat yakni pada
Pasal 79 Ayat (2)73, Ayat (3)74 maupun pada Pasal 79 Ayat (4)75 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014. Secara terperinci,
ketiga hak tersebut juga dijabarkan baik pada Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Hak Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 173 sampai dengan
70
Lihat dalam Pasal 77 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 yang berbunyi,”Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai
kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara“.
71
Lihat dalam Pasal 77 Ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 yang berbunyi,”Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan“.
72
Lihat dalam Pasal 77 Ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 yang berbunyi,”Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapat atas: a. kebijakan
Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional; b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau c. dugaan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.“.
73
Lihat dalam Pasal 79 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 yang berbunyi,”Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai
kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara“.
74
Lihat dalam Pasal 79 Ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2014 yang berbunyi,”Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan
suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan“.
75
Lihat dalam Pasal 79 Ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2014 yang berbunyi, ”Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyatakan pendapat atas: a. kebijakan
Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional; b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau c. dugaan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.“.
123
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Pasal 176 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun


2009 tentang Hak Interpelasi, kemudian Pasal 177 sampai dengan
Pasal 183 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2009 tentang Hak Angket serta Pasal 184 sampai dengan Pasal 189
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Hak Menyatakan Pendapat, dan pada Pasal 194 sampai dengan Pasal
198 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
mengenai Hak Interpelasi, Pasal 199 sampai dengan Pasal 209
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Hak Angket, serta Pasal 210 sampai dengan Pasal 216 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 khusus mengenai Hak
Menyatakan Pendapat.
Kemudian, dalam Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 78 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal 80 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, ditentukan bahwa anggota Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak anggota yang dapat disimak
dalam kutipan berikut:
a. mengajukan rancangan Undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Serta dalam Pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, ditentukan bahwa anggota Dewan Per-
wakilan Rakyat mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
124
Hukum Tata Negara

e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;


f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat; dan
j. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
yang terkait.
Sedangkan dalam Pasal 79 Undang-undang Republik Indone-
sia Nomor 27 Tahun 2009 maupun pada Pasal 81 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, ditentukan bahwa anggota
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerin-
tahan negara;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga
lain;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada konstituen di daerah pemilihannya.

125
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Maka, dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat


sebagai representasi politik (political representatives)76 dari rakyat In-
donesia tidaklah dapat bergelut hanya dengan sebuah peraturan
perundang-undangan, namun dengan dinamika yang ada, maka
terjadi perubahan peraturan perundang-undangan atas kelem-
bagaannya pula.
3. Dewan Perwakilan Daerah
Tata cara pembentukan Dewan Perwakilan Daerah yang
merupakan salah satu Lembaga Negara baru pasca Amandemen
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194577,
dapat dillihat pada Bab VII A tentang Dewan Perwakilan Daerah
pada Pasal 22C dan Pasal 22D Perubahan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Di samping itu, terdapat peraturan perundang-
undangan nasional terkait dengan Dewan Perwakilan Daerah, yakni
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
200378, yang kemudian diubah dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 200979, dan terakhir dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 201480.
Adapun dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 maupun pada Undang-Undang Republik Indo-
nesia Nomor 22 Tahun 200381, Undang-undang Republik Indonesia
76
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 189-192.
77
Baca dalam Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah KoMajelis Permusyawaratan
Rakyatehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Buku II Lembaga Perwakilan, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 13-16.
78
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal
31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
79
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Per-
musyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
80
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Per-
musyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
81
Baca lebih lanjut terkait dengan Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 32
dan Pasal 33 pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

126
Hukum Tata Negara

Nomor 27 Tahun 200982, serta Undang-undang Republik Indonesia


Nomor 17 Tahun 201483 dinyatakan bahwa Anggota Dewan Per-
wakilan Daerah dipilih dari setiap Provinsi melalui Pemilihan Umum.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap Provinsi jumlahnya
sama. Jumlah seluruh Dewan Perwakilan Daerah tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu,
ditentukan pula bahwa Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikit-
nya sekali dalam setahun. Segala hal perihal susunan dan kedudu-
kan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan Undang-Undang84.
Adapun susunan dan keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah
dapat dikaji dari rumusan Pasal 22C Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 40
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal
222 dan Pasal 227 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009, serta Pasal 246, Pasal 247 dan Pasal 252 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014. Disebutkan bahwa
Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga Negara yang terdiri
atas wakil-wakil daerah Provinsi yang dipilih melalui pemilihan
umum, dimana Anggota Dewan Perwakilan Daerah tersebut berasal
dari setiap Provinsi ditetapkan sebanyak empat orang, dimana
jumlah seluruh Anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak melebihi
dari 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
yang kemudian keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan
Presiden, berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang
bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia, dan dengan
masa jabatan 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang baru mengucapkan sumpah/janji85.

82
Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 221 dan Pasal
227 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
83
Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 246 dan Pasal
252 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
84
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 139.
85
Perihal masa jabatan telah ditegaskan dalam ditambahkan dalam Pasal 227 Ayat (5)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun Pasal 252 Ayat (5)
Undang-undang Republik Indonesia. Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, di-
undangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
127
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Berkaitan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, di-


sebutkan dalam Pasal 37 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2003 bahwa:
1) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas seorang ketua
dan sebanyak-banyaknya dua orang wakil ketua yang dipilih
dari dan oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Sidang
Paripurna Dewan Perwakilan Daerah.
2) Selama Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana di-
maksud pada ayat (1) belum terbentuk, Dewan Perwakilan Daerah
dipimpin oleh Pimpinan Sementara Dewan Perwakilan Daerah.
3) Pimpinan Sementara Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua sementara dan
seorang wakil ketua sementara yang diambilkan dari anggota
tertua dan anggota termuda usianya.
4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda usianya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai peng-
gantinya adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda
berikutnya.
5) Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah diresmikan
dengan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah.
Sedangkan dalam Pasal 235 Undang-undang Republik Indone-
sia Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal 260 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa:
1) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh
anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam sidang paripurna
Dewan Perwakilan Daerah.
2) Dalam hal pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, Dewan Perwakilan Daerah
dipimpin oleh pimpinan sementara Dewan Perwakilan Daerah.
3) Pimpinan sementara Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang ketua semen-

Nomor 5043 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.

128
Hukum Tata Negara

tara dan 1 (satu) orang wakil ketua sementara yang merupakan


anggota tertua dan anggota termuda usianya.
4) Dalam hal anggota tertua dan/atau anggota termuda sebagai-
mana dimaksud pada ayat (3) berhalangan, sebagai penggantinya
adalah anggota tertua dan/atau anggota termuda berikutnya.
5) Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah diresmikan
dengan keputusan Dewan Perwakilan Daerah.
6) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebelum memangku
jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 229 (dalam Undang-undang Nomor
27 Tahun 2009) atau Pasal 258 (dalam Undang-undang Nomor
17 Tahun 2014) yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
Kemudian, mengenai tata cara pemilihan Pimpinan Dewan
Perwakilan Daerah, hal itu diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 37 Ayat
(6) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003,
Pasal 235 Ayat (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2009, dan Pasal 260 Ayat (7) Undang-undang Republik In-
donesia Nomor 17 Tahun 2014.
Adapun tugas pimpinan Dewan Perwakilan Daerah sebagai-
mana disebutkan dalam Pasal 38 Ayat (1) dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 yakni sebagai berikut:
a) Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk
diambil keputusan;
b) menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
antara ketua dan wakil ketua;
c) menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Daerah;
d) melaksanakan dan memasyarakatkan putusan Dewan Per-
wakilan Daerah;
e) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan putusan Dewan Perwakilan Daerah;
f) mewakili Dewan Perwakilan Daerah dan/atau alat kelengkapan
Dewan Perwakilan Daerah di Pengadilan;
g) melaksanakan putusan Dewan Perwakilan Daerah berkenaan
dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
129
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

h) menetapkan arah, kebijakan umum dan strategi pengelolaan


anggaran Dewan Perwakilan Daerah; dan
i) pelaksanaan tugasnya dalam Sidang Paripurna Dewan Per-
wakilan Daerah.
Dalam Pasal 236 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009 dan Pasal 261 Ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan bahwa tugas
pimpinan Dewan Perwakilan Daerah yakni sebagai berikut:
a) memimpin sidang Dewan Perwakilan Daerah dan menyimpul-
kan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b) menyusun rencana kerja pimpinan;
c) menjadi juru bicara Dewan Perwakilan Daerah;
d) melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan Dewan Per-
wakilan Daerah;
e) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan keputusan Dewan Perwakilan Daerah;
f) mewakili Dewan Perwakilan Daerah di pengadilan;
g) melaksanakan keputusan Dewan Perwakilan Daerah berkenaan
dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
h) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran Dewan Per-
wakilan Daerah; dan
i) menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna Dewan
Perwakilan Daerah yang khusus diadakan untuk itu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tata cara pelaksa-
naannya diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 38 Ayat (2) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 236 Ayat
(2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009, dan
Pasal 261 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014.
Berkaitan dengan kedudukan dari Dewan Perwakilan Daerah,
ditentukan dalam Pasal 40 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 222 Undang-undang Republik Indo-

130
Hukum Tata Negara

nesia Nomor 27 Tahun 2009, maupun Pasal 247 Undang-undang


Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, bahwa Dewan Per-
wakilan Daerah merupakan lembaga perwakilan daerah yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.
Berkaitan dengan fungsi Dewan Perwakilan Daerah, ditentukan
dalam Pasal 41 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2003 bahwa Dewan Perwakilan Daerah mempunyai fungsi
sebagai berikut:
a. pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan
pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;
b. pengawasan atas pelaksanaan Undang-undang tertentu.
Dalam Pasal 223 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009 maupun dalam Pasal 248 Ayat (1) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan perihal
fungsi dari Dewan Perwakilan Daerah sebagai berikut:
a. pengajuan usul kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan peme-
karan serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang ber-
kaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, penge-
lolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. pemberian pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.

131
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Keseluruhan fungsi Dewan Perwakilan Daerah tersebut di-


tujukan dalam kerangka perwakilan daerah sebagaimana dirumus-
kan dalam Pasal 223 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009 dan Pasal 248 Ayat (2) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014.
Terkait dengan tugas dan wewenang Dewan Perwakilan
Daerah, hal ini ditentukan dalam Pasal 42 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003:
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-undang yang berkaitan
dengan Otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pem-
bentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, penge-
lolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Rancangan Undang-
undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mengundang
Dewan Perwakilan Daerah untuk membahas sesuai tata tertib
Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan sebelum Dewan Perwakilan Rakyat mem-
bahas Rancangan Undang-undang dimaksud pada ayat (1)
dengan Pemerintah.
Dalam Pasal 224 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2009 dan Pasal 249 Ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, tugas dan wewenang
Dewan Perwakilan Daerah ditentukan sebagai berikut:
a) dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b) ikut membahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagai-
mana dimaksud dalam huruf a;

132
Hukum Tata Negara

c) ikut membahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden


rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau
Dewan Perwakilan Rakyat, yang berkaitan dengan hal sebagai-
mana dimaksud dalam huruf a;
d) memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
atas rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan rancangan undang-undang yang ber-
kaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan peng-
gabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksa-
naan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pen-
didikan, dan agama;
f) menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, penge-
lolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, pajak, pendidikan, dan agama kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g) menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari Badan
Pemeriksa Keuangan sebagai bahan membuat pertimbangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara;
h) memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; dan
i) ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, peng-
elolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Adapaun hak Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana ditentu-
kan dalam Pasal 48 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

133
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

a. mengajukan Rancangan Undang-undang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat;
b. ikut membahas Rancangan Undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1).
Sedangkan dalam Pasal 231 Ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun dalam Pasal 256 Ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, hak
Dewan Perwakilan Daerah adalah sebagai berikut:
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pem-
bentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dalam pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
d. melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang me-
ngenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan peng-
gabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksa-
naan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pen-
didikan, dan agama.
Sedangkan, hak yang dimiliki oleh tiap-tiap anggota Dewan
Perwakilan Daerah dalam Pasal 49 Undang-undang Republik Indo-
nesia Nomor 22 Tahun 2003, yakni:.
a. menyampaikan usul dan pendapat;
b. memilih dan dipilih;
c. membela diri;

134
Hukum Tata Negara

d. imunitas;
e. protokoler; dan
f. keuangan dan administratif.
Dalam Pasal 232 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009, dan Pasal 257 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan perihal hak yang dimiliki oleh
tiap-tiap anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana rumusan
berikut ini:
a. bertanya;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Terkait dengan kewajiban yang dimiliki oleh tiap-tiap anggota
Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
50 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, yakni:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-undang Dasar negara RI tahun 1945 dan
mentaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan negara kesatuan RI;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat dan daerah;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada pemilih dan daerah pemilihannya;

135
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

i. menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan


Daerah; dan
j. menjaga etika dan moral adat daerah yang diwakilinya.
Dalam Pasal 233 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009, maupun dalam Pasal 258 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014, terjadi perubahan frasa mengenai
kewajiban dari anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai berikut.
a) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b) melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c) mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d) mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, golongan, dan daerah;
e) menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerin-
tahan negara;
f) menaati tata tertib dan kode etik;
g) menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan
lembaga lain;
h) menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat; dan
i) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Terakhir, Dewan Perwakilan Daerah sebagai Perwakilan atau
Representasi Daerah di tingkat nasional atau “Regional Represen-
tatives”86, merupakan lembaga Negara yang baru yang merupakan
bagian dari Majelis Permusyawaratan Rakyat dan diatur dengan
dasar hukum Bab VII A Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 24C
dan Pasal 24D serta Undang-undang tentang Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

86
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 193.

136
Hukum Tata Negara

4. Lembaga Kepresidenan dan Wakil Presiden


Dari awal kemerdekaan, lembaga kepresidenan di Indonesia
menjadi satu-satunya lembaga Negara yang pembentukannya tidak
diatur dengan Undang-undang tertentu dan hanya dalam batang
tubuh Undang-undang Dasar sebelum terjadinya Amandemen
terhadap Undang-undang Dasar Tahun 194587. Oleh karena itu,
lembaga kepresiden lazim disebut sebagai masa “executive heavy”88.
Setelah amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945,
mulai terjadi perubahan yang sangat mendasar terkait dengan lembaga
kepresidenan, yang lazim disebut sebagai pergeseran kekuasaan
eksekutif yang “executive heavy” menjadi “legislative heavy”89.
Pertama, dalam Amandemen Pertama atas Undang-undang
Dasar Tahun 1945, disebutkan terjadi perubahan atas pasal-pasal
dengan fokus pada lembaga kepresidenan yakni melalui perubahan
pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14,
Pasal 15, maupun Pasal 17 Ayat (2) dan (3) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 90, yang berfokus pada
pergeseran “executive heavy” menjadi “legislative heavy” dan mulai
diadopsinya konsep “checks and balances systems” dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia91.
Kemudian, dalam Amandemen Ketiga atas Undang-undang
Dasar Tahun 194592, disebutkan pula perihal perubahan pasal-pasal
terkait lembaga kepresidenan, diantaranya Pasal 6 Ayat (1) dan (2),
Pasal 6A Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (5), Pasal 7A,
Pasal 7B Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), dan
Ayat (7), Pasal 7C, Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Pasal 11 Ayat (2) dan Ayat
(3), serta Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

87
Hanya dirumuskan terkait lembaga kepresidenan hanya pada Bab III Kekuasaan
Pemerintahan Negara pada Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2),
Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 14, hingga Pasal 15 Undang-undang Dasar Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 20-24.
88
Baca dalam Jimly Asshidiqie III, op.cit., hlm. 25-55.
89
Baca lebih dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 225-235.
90
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 59-66.
91
Baca dalam Jimly Asshidiqie IV, op.cit., hlm. 289-293.
92
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 83-102.

137
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dalam hal ini, penting untuk mengkaji bagaimana dalam Aman-


demen tersebut, terjadi perubahan terkait cara pengisian jabatan
kepresidenan. Dimana dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945,
lembaga kepresidenan menjadi satu-satunya lembaga Negara yang
tidak dipilih secara langsung namun melalui Majelis Permusya-
waratan Rakyat93. Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945, ditentukan dalam Pasal 6 Ayat (1)94 bahwa Calon Presiden
dan Calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Adapun syarat-
syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang diatur lebih
lanjut melalui Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 200395 maupun Undang-undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 200896 menjadi hukum positif terkait pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden.
Berkaitan dengan kedudukan, tugas dan wewenangnya, Lembaga
Kepresidenan dipimpin oleh seorang Presiden dan seorang Wakil
Presiden. Pada masa sesudah amandemen Undang-undang Dasar
Tahun 1945, terdapat pembedaan kedudukannya (dalam hal ini
kedudukan Presiden), dimana Presiden berkedudukan sebagai
Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan.

93
Baca dalam Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Cetakan Pertama, Jakarta:
Gramedia Widiasarana, hlm. 35-60.
94
Lihat dan bandingkan dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945
Pra-Amandemen dan baca lebih lanjut penjelasannya dalam Jimly Asshidiqie, 2010,
Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 138-140.
95
Baca dalam Pasal II Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 6 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003. Lihat lebih lanjut dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
96
Baca lebih lanjut dalam Bab III Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
dan Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pasal 5 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada
24 November 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.

138
Hukum Tata Negara

Di samping kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai


Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia juga berhak meng-
ajukan Rancangan Undang-Undang, membahas rancangan undang-
undang bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat, mengesahkan,
mengundangkan Undang-Undang dalam Lembaran Negara dan
beberapa kewenangan di bidang legislatif. Dalam hal ini, berdasarkan
paparan di atas, maka kekuasaan Presiden dapat dikelompokkan
menjadi empat yakni kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan,
kekuasaan di bidang Perundang-undangan, kekuasaan di bidang
Yudisial, dan pula kekuasaan dalam hubungan luar negeri.97
Dilihat dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa betapa
besar kekuasaan seorang Presiden menurut Perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, meskipun telah terjadi pergeseran dari
“executive heavy” menjadi “legislative heavy” setelah terjadi Amandemen
atas Undang-undang Dasar Tahun 194598.
5. Kekuasaan Kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi)
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman99 di Indonesia, terdapat
dua kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Berikut akan dipaparkan lebih lanjut terkait kedua lembaga
Negara tersebut.
a. Mahkamah Agung
Adapun dasar hukumnya dapat ditelusuri pada Bab IX Ke-
kuasaan Kehakiman dalam Pasal 24 Ayat (1), Pasal 24 Ayat (2), dan
Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang intinya menentukan bahwa Kekuasaan kehakiman In-
donesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Per-

97
Baca sebagai perbandingan dalam Bagir Manan, op.cit., hlm. 115, lihat pula Sri
Soemantri, 1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bandung : Alumni, hlm. 113, dan Philipus M.
Hadjon, op.cit., hlm. 42-43.
98
Sebagai perbandingan, baca dalam Pasal 4, Pasal 10 sampai dengan 15 Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121, 130-131.
99
Adapun dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (1) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa,”Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan“. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,
op.cit., hlm. 145.

139
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

adilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan agama,


lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, di samping oleh sebuah Mahkamah Konstitusi100.
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-
undang101. Dalam Mahkamah Agung, para Hakim Agung harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum102.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
junto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung103, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004104 dan
terakhir, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2009105, Mahkamah Agung tidak hanya melaksanakan fungsi Per-
adilan saja, namun berbagai fungsi lainnya yakni fungsi peradilan,
fungsi mengatur, fungsi penasihat, fungsi pengawasan dan fungsi
administratif.106 Dalam konteks “negara hukum”, memang diperlu-
kan adanya Mahkamah Agung sebagai badan atau lembaga yang

100
Adapun Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi,”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi“. Baca dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145-146.
101
Baca dalam Pasal 24A Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi,”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang“. Lihat
lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146.
102
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146-147.
103
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, diumumkan ke dalam Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1985 Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316.
104
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359.
105
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diundang-
kan 12 Januari 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958.
106
Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 59.

140
Hukum Tata Negara

mempunyai tugas menegakkan tertib hukum, di samping sebagai


peradilan kasasi, mengawasi kegiatan-kegiatan peradilan bawahan
dan melakukan hak uji material peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-undang.
Bagir Manan memaparkan bahwa Mahkamah Agung me-
rupakan badan kekuasaan kehakiman tertinggi atau badan
pengadilan negara tertinggi. Sebagai penyelenggara negara,
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara seperti Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Badan
Pemeriksa Keuangan (pada masa sebelum Undang-undang Dasar
Tahun 1945 diamandemenkan).
Dari segi hubungan kelembagaan (institusional), Mahkamah
Agung hanya memiliki hubungan kelembagaan dengan Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan lembaga negara yang lain,
hanya ada hubungan kepenasihatan. Perlu dicatat, hubungan
tersebut ada yang bersifat searah dan ada yang dua arah. Adapun
hubungan dengan Presiden bersifat dua arah, dimana dari Presiden
hubungan berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian
Hakim Agung, sedangkan dari Mahkamah Agung kepada Presiden
terdapat hubungan kepenasihatan yaitu memberikan nasihat atau
pertimbangan hukum kepada Presiden. Demikian juga, hubungan
Mahkamah Agung dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifat
dua arah, dimana dari Dewan Perwakilan Rakyat terdapat hubungan
berkaitan dengan pencalonan Hakim Agung, sedangkan dari
Mahkamah Agung berkaitan dengan kepenasihatan.107
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Mahkamah Agung
memiliki peranan yang penting dan fundamental dalam lingkup
kekuasaan kehakiman nasional di Indonesia dengan pengembangan
hal-hal yang terkait dengan Mahkamah Agung dalam Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun
Undang-undang terkait dengan Mahkamah Agung.
b) Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang baru
dimunculkan pasca terjadinya Amandemen atas Undang-undang

107
Bagir Manan, 1995, Memahami Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Secara Historis,
dalam H. Mashudi dan Kuntana Magnar, ed.al., Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju, hlm. 33-34.

141
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945108. Secara eksplisit,


disebutkan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia dan secara jelas disebutkan pada Pasal 24
Ayat (2)109 serta Pasal 24C Ayat (1) sampai dengan Ayat (6) pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur secara
tegas dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945110 yakni mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran Partai
Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum,
serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-undang Dasar.
Adapun Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan Orang
anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang
diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
Orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga Orang oleh Presiden.
Dimana ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari
dan oleh Hakim Konstitusi111.
Dicatatkan pula bahwa Hakim Konstitusi harus memiliki inte-
gritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai pejabat negara. Pengangkatan dan pemberhentian Hakim
Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi diatur dengan Undang-Undang112.
108
Baca dalam Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan
Pertama, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 5-9.
109
Adapun Pasal 24A Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
berbunyi sebagai berikut, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi“. Baca dalam Majelis Permusya-
waratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145-146.
110
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 147-148.
111
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 148.
112
Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan
pada tanggal 13 Agustus 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4316, Undang-
142
Hukum Tata Negara

Dalam tinjauan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, ide awal


munculnya pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejak
dilontarkannya usul Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada Juli 1945 yakni agar
Mahkamah Agung “Balai Agung” diberikan wewenang membanding
Undang-Undang, tetapi usul Yamin tersebut ditolak oleh Soepomo
dengan alasan Undang-undang Dasar yang dibentuk tidak meng-
anut “Trias Politika” dan jumlah Sarjana Hukum pada saat itu
jumlahnya sedikit113.
Kemudian, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini ber-
kembang terus. Sekitar tahun 1980-an, muncul ide pengujian Konsti-
tusionalitas Undang-Undang yang diajukan oleh para Sarjana
Hukum terutama dari Pengacara. Namun, usul pengujian konsti-
tusionalitas Undang-Undang seperti usul IKADIN ditolak dengan
alasan tidak tepat berdasarkan Undang-undang Dasar 1945114.
Kemudian dikaitkan dengan tujuan pembentukannya, pem-
bentukan Mahkamah Konstitusi dilandasi oleh pemikiran: pertama,
Perubahan struktur Ketatanegaraan dari “sistem Supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat” ke pemisahan kekuasaan berdasarkan
prinsip “Checks and Balances System” dimana mekanisme demokrasi
dapat dikontrol dan diimbangi dengan “nomokrasi”, serta kedua,
Penegasan dan penguatan prinsip negara hukum di mana “rule of
the Constitution and Constitutional democracy” diutamakan serta ingin
dijalankan secara nyata dengan cara melakukan pengawalan terhadap
Undang-undang Dasar melalui Mahkamah Konstitusi115.

undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 20 Juli
2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, di-
undangkan pada tanggal 17 Oktober 2013, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 167 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5456, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493.
113
Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,
Jakarta: Yayasan Prapanca, hlm. 341-342.
114
Jimly Asshidiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Jakarta: Konpress, (untuk selanjutnya disebut sebagai Jimly Asshidiqie III), hlm. 1.
115
Baca dalam Mahkamah Konstitusi, op.cit., hlm. 7-8.
143
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Bila dibandingkan dengan negara lain, maka ditemukan istilah


sebagai berikut, pertama, dalam sistem Perancis disebut Dewan
Konstitusi, sedangkan dalam sistem Jerman dikenal Mahkamah
Konstitusi. Kedua, dalam tradisi “Common Law” dan sistem Konstitusi
Amerika Serikat, lembaga Mahkamah Konstitusi yang tersendiri
tidak dikenal, tetapi fungsinya langsung ditangani oleh Mahkamah
Agung yang disebut “the Guardian of American Constitution”. Di Eropa
Kontinental disebut demikian adalah Mahkamah Konstitusi. Serta
ketiga, di negara-negara komunis dan negara lainnya yang menganut
sistem supremasi Parlemen, Mahkamah Konstitusi juga tidak dikenal.
Sistem komunis ataupun tradisi Inggris dan Belanda menganut
doktrin “king or queen in Parliament.116
6. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
Berbicara terkait dengan Badan Pemeriksa Keuangan memiliki
Kekuasaan Eksaminatif yang telah diamanatkan dalam Bab VIII
A tentang Badan Pemeriksa Keuangan pada Pasal 23E sampai
dengan Pasal 23G Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945117.
Adapun tujuan adanya Badan Pemeriksa Keuangan yakni untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara yang diadakan melalui satu Badan Pemeriksa Keuangan yang
bebas dan mandiri. Dalam hal ini, hasil pemeriksaan keuangan negara
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
Undang-undang. Kemudian, hasil pemeriksaan tersebut ditindak-
lanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan
Undang-undang118.
Adapun anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. Dalam hal ini119,
Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota,
dimana baik pimpinan maupun anggota dari Badan Pemeriksa Ke-
uangan berkedudukan di ibukota Negara, dan memiliki perwakilan
116
Baca dalam Jimly Asshiddiqie III; op.cit, hlm. 2.
117
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144-145.
118
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144.
119
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145.

144
Hukum Tata Negara

di setiap Provinsi, yang mana segala ketentuan lainnya lebih lanjut me-
ngenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang.
Menurut Philipus M. Hadjon, Badan Pemeriksa Keuangan negara
merupakan kelanjutan dari badan semacam itu yang pernah ada
pada zaman Hindia Belanda120. Dimana Prof. Soepomo pada rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatakan: “... ada lagi
satoe badan keuangan (rekenkamer) yang mengontrol keuangan negara...”121.
Perlu diketahui, pada zaman Hindia Belanda, terdapat Algemene
Reken Kamer yang semula adalah alat eksekutif dengan tugas meng-
urus pembukuan. Badan ini pertama kali di Hindia Belanda didirikan
oleh Herman William Daendels dengan nama “Generate Reken Kamer”.
Dan kemudian, dengan ditetapkan “Indische Comtabilitaits Wet” pada
Tahun 1864, Parlemen Belanda menyerahkan tugas untuk meng-
adakan pemeriksaan dan penelitian tentang pelaksanaan anggaran
negara yang telah ditentukan, maka didirikanlah “Algemene Reken
Kamer” yang terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif.122
Hingga kemudian, terbentuklah Badan Pemeriksa Keuangan
pasca ditetapkannya Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada 18
Agustus 1945, yang melanjutkan tugas badan “Algemene Reken
Kamer” tersebut, dan kemudian pasca Amandemen Undang-undang
Dasar Tahun 1945, terdapat penegasan hukum dalam Bab VIII A
tentang Badan Pemeriksa Keuangan123.

D. Hubungan Antar Lembaga Negara


1. Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah
Adapun pasca perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai
Lembaga Negara, tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara124.
Bilamana dilihat dari perspektif kedudukan Majelis Permusya-
waratan Rakyat sebagai Lembaga Negara, pasca Perubahan Undang-

120
Baca Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 54.
121
Lihat dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang BPUPKI
dan PPKI Tanggal 29 Mei-18 Agustus 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara
Republik Indonesia, hlm. 125-128.
122
Baca lebih lanjut dalam Sri Soemantri, op.cit., hlm. 158-159.
123
Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 125-135.
124
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 35-55, 105-110.

145
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Undang Dasar Tahun 1945, maka seharusnya tugas dan wewenang-


nya sejajar dengan Lembaga Negara yang lainnya.
Akan tetapi, bila dipandang dari segi Pasal 3 Ayat (1), Pasal 3
Ayat (2) dan Pasal 3 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka tugas dan wewenang Majelis Per-
musyawaratan Rakyat sesungguhnya masih seperti yang dahulu
dengan alasan bahwasanya Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar,
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden serta hanya dapat mem-
berhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan-
nya menurut Undang-Undang Dasar, dan hanya berkurang ke-
kuasaannya yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi
memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan memberikan “mandat”
kepada Presiden. Oleh karena ditegaskan bahwa kedaulatan adalah
berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar serta Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh Rakyat.
2. Hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Presiden
Adapun hubungan antara Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan Presiden dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yakni sebagai berikut125.
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden (Pasal 3 Ayat (2) Perubahan Undang-undang
Dasar 1945)
b) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau
Dewan Perwakilan Rakyat (Baca sumpah atau Janji Presiden
dan Wakil Presiden, Pasal 9 Ayat (1) Perubahan Undang-undang
Dasar 1945).
c) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil
Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan Pimpinan Majelis Permusya-

125
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 120-129.

146
Hukum Tata Negara

waratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah


Agung (Pasal 9 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 3 Ayat (3) Perubahan
Undang-undang Dasar 1945).
e) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melaku-
kan pelanggaran hukum berupa pelanggaran pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
(Pasal 7A Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
3. Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
Adapun hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden dapat ditelusuri dalam bidang legislasi nasional sebagai-
mana dikutip dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1945 sebagai berikut126:
a) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang. (Pasal 20 Ayat (1) Perubahan Undang-undang
Dasar 1945).
b) Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 Ayat (1) Perubahan
Undang-undang Dasar 1945).
c) Setiap Rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Per-
wakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan ber-
sama (Pasal 20 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
d) Presiden mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang. (Pasal 20
Ayat (4) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
e) Dalam hal Rancangan Undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga

126
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 136-137.

147
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

puluh hari, semenjak Rancangan Undang-undang tersebut


disetujui, Rancangan Undang-undang tersebut sah menjadi
Undang-Undang dan wajib diundangkan.
f) Rancangan Undang-undang anggaran pendapatan dan belanja
negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat. (Pasal 23 Ayat (2) Perubahan Undang-
undang Dasar 1945).
g) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan
Undang-undang pendapatan dan belanja negara yang diusulkan
oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara tahun yang lalu. (Pasal 23 Ayat (3) Per-
ubahan Undang-undang Dasar 1945).
h) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-
undang. (pasal 22 Ayat (1) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
i) Peraturan Pemerintah tersebut harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan masa itu. (Pasal
22 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
j) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah
itu harus dicabut. (Pasal 22 Ayat (3) Perubahan Undang-undang
Dasar 1945).
k) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat me-
nyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain. (Pasal 11 Ayat (1) Perubahan Undang-undang
Dasar 1945).
l) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal
11 Ayat (2) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
m) Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat
keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang. (Pasal 12
Perubahan Undang-undang Dasar 1945).

148
Hukum Tata Negara

n) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertim-


bangan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 13 Ayat (2) Perubahan
Undang-undang Dasar 1945).
o) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal
13 Ayat (2), (3) Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
p) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 14 Ayat (2)
Perubahan Undang-undang Dasar 1945).
4. Hubungan antara Presiden dan Dewan Pertimbangan Agung
Adapun sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diaman-
demen, ditentukan dalam Bab IV Dewan Pertimbangan Agung pada
Pasal 16 Undang-undang Dasar Tahun 1945 bahwa Dewan ini
berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak
mengajukan usul kepada Pemerintah127.
Kemudian, setelah terjadi Amandemen atas Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, dimana Bab IV Dewan Pertimbangan Agung
dihapus128, maka Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan sebagai
salah satu lembaga Negara di Indonesia, dan kemudian fungsinya
digantikan dengan adanya suatu Dewan Pertimbangan yang
dibentuk oleh Presiden, dan memiliki tugas memberikan nasihat
dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
Undang-Undang.
5. Hubungan Presiden dan Kementerian Negara
Dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebelum diaman-
demen129, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam hal membantu Presiden,
menteri-menteri tersebut memimpin departemen pemerintahan.
Kemudian setelah Undang-undang Dasar 1945 diubah130, terjadi
perubahan hanya pada Pasal 17 Ayat (3) Undang-undang Dasar

127
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 23.
128
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 104-118, 132.
129
Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat
(3) Undang-undang Dasar Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,
op.cit., hlm. 24.
130
Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (2),
Pasal 17 Ayat (3), dan Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 132-133.
149
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi, “Setiap menteri


membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Dalam hal ini,
dipertegas pula bahwa pembentukan, pengubahan dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam Undang-undang131.
6. Hubungan Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah Agung
Adapun menurut Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih,
hubungan antara Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah Agung
terdapat dalam konteks melakukan peradilan, mengadakan peng-
awasan tertinggi atas jalannya peradilan, serta dalam konteks
memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Presiden tentang
permohonan grasi132. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 Ayat
(1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945133,
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
7. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan
Pemeriksa Keuangan
Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan
Badan Pemeriksa Keuangan terdapat dalam konteks hasil peme-
riksaan keuangan negara yang diserahkan kepada Dewan Per-
wakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, sesuai dengan Undang-Undang, dimana hasil
pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh Lembaga Perwakilan dan/
atau badan sesuai dengan Undang-Undang134.
Kemudian, menurut Mohammad Kusnardi dan Bintan R.
Saragih135, dalam bukunya Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut
Sistem Undang-undang Dasar 1945, dikemukakan bahwa hubungan
Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan meliputi
131
Adapun perihal Penjabaran Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, diundangkan pada 6 November 2008,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916.
132
Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, 1994, Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara,
hlm. 174.
133
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 22.
134
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 144.
135
Baca dalam Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 175.

150
Hukum Tata Negara

perihal mengikuti dan memeriksa penggunaan anggaran belanja oleh


pemerintah, memberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai hasil pemeriksaannya sebelum pemerintah memberikan
nota keuangan beserta rancangan anggaran belanja tahun berikut-
nya, serta berdasarkan penilaian tersebut Dewan Perwakilan Rakyat
memberikan pertimbangan-pertimbangan penetapan rancangan
anggaran belanja negara tahun berikutnya, dan memberikan pen-
jelasan tambahan tentang laporan penilaian tersebut serta mem-
berikan nasihat-nasihat teknis kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
E. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, makin jelaslah bahwa dalam
konteks Lembaga Negara di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga
pada masa Reformasi ini, terjadi perubahan yang signifikan meng-
ingat perkembangan dan dinamika ketatanegaraan sebagai ekses dari
Amandemen atas Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan mengarah
pada terciptanya politik hukum nasional dengan pembentukan per-
aturan perundang-undangan terkait dengan tugas, fungsi, konsep,
peranan dan wewenang, kedudukan, susunan, maupun konstruksi
dari keseluruhan Lembaga Negara di Indonesia.
... ...
DAFTAR BACAAN
Sumber Literatur
Anonymous, 2002, Undang-undang Dasar ‘45 Amandemen ke-4 Tahun
2002; Semarang : Penerbit Aneka Ilmu.
__________, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2003, tentang Susduk, Bandung: Penerbit “Citra Umbara”, 2003.
Anwar, Chairul, 1999, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Jakarta :
Penerbit CV. Novindo Pustaka Mandiri.
Asshiddiqie, Jimly, 2002, Konsolidasi Naskah Undang-undang Dasar 1945
Setelah Perubahan Keempat, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata
Negara, Fakultas Hukum Universitas lndonesia.
__________, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia,
Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Jakarta.

151
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

__________, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai


Negara, Jakarta: Konpress.
__________, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika.
__________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta:
Sinar Grafika.
__________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi Revisi,
Jakarta: Rajawali Grafindo Press.
Atmadja, I Dewa Gede, 2006, Hukum Konstitusi : Hukum Konstitusi, Per-
ubahan Konstitusi Sudut Pandang Perbandingan, Denpasar : Bali Aga.
Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.
Gramedia.
Busro, H. Abubakar, dan Abu Daud Busroh, 1984, Hukum Tata
Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Busroh, Abu Dauh, 2010, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh,
Jakarta: Sinar Grafika.
Hadjon, Philipus M., 1987, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa
Hukum dan Kenegaraan, Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu.
Huda, Ni’matul, 2008, Undang-undang Dasar 1945 dan Gagasan Aman-
demen Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
__________, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta:
Rajawali Grafindo Press.
Indrayana, Denny, 2011, Indonesia Optimis, Cetakan Pertama, Jakarta:
Kompas Gramedia Group.
Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Bina Aksara.
Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State, New York: Russel
& Russel.
Koesnardi, Mohammad, dan Bintan R. Saragih, 1994, Susunan Pem-
bagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-undang Dasar 1945, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.
Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Lembaga

152
Hukum Tata Negara

Perwakilan, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan


Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
__________, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama,
Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Sekretariat Jenderal
Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia.
__________, 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/
MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Sekretariat Jenderal
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Manan, Bagir, 1995, Memahami Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945
Secara Historis, dalam H. Mashudi dan Kuntana Magnar, ed.al.,
Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung:
Mandar Maju.
__________, 1999, Lembaga Kepresidenan, Cetakan Pertama, Jakarta:
Gramedia Widiasarana.
MD, Moh. Mahfud, 2001, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang BPUPKI
dan PPKI Tanggal 29 Mei 1945 sampai 18 Agustus 1945, Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Suny, Ismail, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Bina Cipta.
Soemantri, Sri, 1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945,
Bandung: Alumni.
Yamin, Muhammad, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, Jilid I, Jakarta: Yayasan Prapanca.
Jurnal, Makalah dan Karya Tulis Ilmiah Terkait
Arifin, Firmansyah et.al., Hasil Penelitian Sementara tentang Lembaga
Negara, 2004, Jakarta.
Arifin, Firmansyah, Hukum dan Kuasa Konstitusi: Catatan-catatan untuk
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
Cetakan Pertama, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional (KRHN), 2004.

153
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Peraturan Perundang-undangan Terkait


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor III/Majelis Permusyawaratan Rakyat/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga Tertinggi Negara
dengan /atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, diumumkan ke dalam Lembaran Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal
31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan
pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13 Agustus
2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang
Dewan Pertimbangan Presiden, diundangkan pada tanggal

154
Hukum Tata Negara

28 Desember 2006, diumumkan ke dalam Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 108 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4670.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara, diundangkan pada 6 November 2008,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 166 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4916.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan
pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, diundangkan 12 Januari 2009,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4958.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumum-
kan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 20 Juli 2011, di-
umumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5226.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

155
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 15 Januari 2014,


diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2014 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5493.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumum-
kan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5568.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Per-
wakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 15
Desember 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650.
Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17 Oktober
2013, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Nomor 167 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5456.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 11.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 12.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 13.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 14.

156
Hukum Tata Negara

Bagian Keempat
Wilayah Negara
dan Otonomi Daerah

A. Wilayah Negara
Dalam UUD 1945, tidak ada satu pasal pun menyinggung soal
luas wilayah Negara proklamasi. Dalam sidang-sidang BPUPKI
pernah ada pembahasan tentang wilayah Negara dan ditentukan
ada tiga pilihan yang diajukan, yaitu:
1. Wilayah Hindia Belanda;
2. Wialyah Majapahit dahulu Hindia Belanda + Malaysia,
Kalimantan Utara, Papua, dan Timor Portugis; dan
3. Hindia Belanda + Malaysia dikurangi Papua.
Dalam pembahasan ini bahkan sempat diadakan pemungutan
suara, dimana yang menyetujui usul I 19 orang, usul II 39 orangdan
usul III, 6 orang. Sejarah kemudian menunjukan lain. Bahwa
berdasarkan rapat PPKI 19 Agustus 1945 hanya meliputi usul I.
PPKI (pendiri Negara) berpendapat bahwa di dalam UUD tidak
disinggung soal luas wilayah Negara, karena soal mengklaim suatu
wilayah menjadi wilayah Negara seharusnya mendengar dahulu
persetujuan rakyatnya. Kalau rakyat di wilayah itu menyetujui,
maka mereka akan bergabung dengan Republik Indonesia. Dalam
rapat BPUPKI 10 Juli 1945, Soekarno dan Hatta mengemukakan

157
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

pendapatnya bahwa di dalam UUD tidak perlu diadakan ketentuan


mengenai batas-batas Negara.
Dalam Rapat PPKI 18 Agustus 1945, Sukarno mengusulkan
pedoman wilayah Negara RI adalah “daerah Hindia Belanda
dahulu” dan ini kemudian diterima oleh PPKI .1
Pada rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945, ditentukan mengenai
pembagian wilayah Negara RI atas delapan (8) Provinsi, yaitu:
1) Provinsi Jawa Barat
2) Provinsi Jawa Tengah
3) Provinsi Jawa Timur
4) Provinsi Sumatera
5) Provinsi Borneo (Kalimantan)
6) Provinsi Sulawesi
7) Provinsi Maluku
8) Provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara).
Perjalanan Proklamasi Negara Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, mengalami banyak rintangan dan tantangan, dengan
masuknya kembali Belanda (membonceng Tentara Sekutu)
menancapkan pengaruhnya, sehingga sampai terbentuknya Negara
Repulik Indonesia Serikat melalui Konprensi Meja Bundar, maka
wilayah negara RIS belum meliputi wilayah Irian Barat. Dalam Pasal
2 Konstitusi RIS menentukan:
Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia,
yaitu daerah bersama:
a. Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut statusquo
seperti dalam perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948; Negara
Indonesia Timur, Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal
Jakarta; Negara Jawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera
Timur, dengan pengertian bahwa statusquo Asahan Selatan dan
Labuhan Batu berhubungan dengan Sumatera Timur tetap
berlaku; Negara Sumatera Selatan.
b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak berdiri: Jawa Tengah,
Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Barat ( Daerah Istimewa),
1
Joeniartho,SH. 1982. Sejarah Ketatanegaraan Repulik Indonesia.Jakarta: Penerbit
Aksara; 131

158
Hukum Tata Negara

Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan


Kalimantan Timur. A dab b ialah daerah-daerah bagian dengan
kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan
federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan
Konstitusi ini dan lagi
c. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah bagian.2
Dari sejarah ketatanegaraan, muncul tuntutan untuk mem-
bentuk Negara Kesatuan di samping terjadi penggabungan wilayah-
wilayah dengan Negara Republik Indonesia, sehingga Wilayah RIS
hanya terdiri dari 3 negara Bagian yakni: Negara Sumatera Timur,
Negara Indonesia Timur dan sisanya adalah Negara Republik In-
donesia. Tuntutan ini kemudian diwujudkan dengan menbentuk
Negara Kesatuan di bawah UUDS 1950 Tanggal 17 Agustus 1950,
melalui perubahan Konstitusi RIS dengan UU No.7 Tahun 1950.
Pasal 2 UUDS 1950 menentukan: “Republik Indonesia meliputi
seluruh Daerah Indonesia”. Dalam Penjelasan Pasal 2, ditentukan
yang dimaksud dengan “daerah Indonesia” ialah daerah Hindia
Belanda dahulu. Dengan demikian termasuk Irian Barat. Negara
RI tetap menuntut bahwa Irian Barat adalah wilayah RI, dan tidak
mengakui kekuasaan Belanda di Irian Barat.
Tuntutan untuk memasukkan kembali “wilayah Hindia Belanda
dahulu”, yaitu termasuk Irian Barat terus dilakukan dengan gencar.
Belanda selalu mengelak untuk menggagalkan perundingan
mengenai wilayah Irian Barat. Bahkan pihak Belanda menginginkan
terbentuknya “Negara Papua” yang memiliki hak untuk menentu-
kan nasib sendiri, yang sesungguhnya untuk melindungi kepen-
tingan Belanda di Irian Barat.
Pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno dengan
pidatonya “Penemuan Kembali Revolusi kita” (Manifesto Politik
Republik Indonesia), mengingatkan kembali tujuan revolusi bangsa
Indonesia. Tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta dikumandang-
kan “Tri Komando Rakyat (Trikora)”, yang isinya:
1. Gagalkan Negara Papua;
2. Kibarkan Bendera Merah Putih , di Irian Barat
3. Bersiap-siaplah untuk mobilisasi Umum.
2
Ibid; 132

159
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dengan adanya Tri Komando Rakyat dan adanya bukti-bukti


kesungguhan serta kesanggupan bangsa Indonesia mempertahan-
kan Irian Barat, maka Belanda bersedia untuk mengadakan
perjanjian, yang dikenal dengan Perjanjian New York tanggal 15
Agustus 1962.
Adapun isi pokoknya: Belanda bersedia mengakhiri pemerin-
tahannya di Irian Barat sejak 1 Oktober 1962, dengan melalui peme-
rintahan peralihan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan peme-
rinthan akan diserahkan kepada Republik Indonesia tanggal 1 Mei
1963. Selain itu sebelum akhir tahun 1963, dengan bantuan Perseri-
katan Bangsa-Bangsa, Indonesia akan memberikan kesempatan
kepada penduduk Irian Barat untuk mengadakan pemilihan yang
bebas apakah mereka tetap bergabung dengan Republik Indonesia
atau memutuskan hubungan dengan Republik Indonesia.
Faktanya kemudian, hasil referendum penduduk Irian Barat
bergabung dengan Republik Indonesia.3 Dengan demikian, maka
secara de facto dan de jure, wilayah Republik Indonesia adalah
meliputi seluruh Wilayah Hindia Belanda.
Bila ingin melihat batas-batas wilayah secara jelas, maka harus
melihat dahulu perjanjian-perjanjian yang diadakan antara
Kerajaan Belanda dengan Inggris dan Kerajaan Portugis yang masih
berlaku, berdasarkan Pasal 5 Persetujuan Perpindahan Kekuasaan
sebagai berikut: “Segala hak dan kewajiban Kerajaan Belanda yang
disebabkan karena perjanjian–perjanjian dan persetujuan inter-
nasional menjadi kewajiban Negara Republik Indonesia Serikat
sekedar perjanjian-perjanjian dan perjnjian-perjanjian itu berlaku
atas daerah hukum RIS”.
Mengenai wilayah batas laut territorial, pada awalnya adalah 3
mil laut (kurang lebih 5 Km) dari pantai, dengan dasar pertimbangan
jarak tembak meriam pada saat itu. (Territoriale zee en Maritime Kringen
Ordonnantie 1939). Teori ini kemudian ditinggalkan karena sangat
merugikan Negara-negara Kepulauan (Archipelago) dan juga bila
dikaitkan dengan perkembangan tehnologi. Maka kemudian
dikeluarkan PERPU No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia,
yang menentukan batas laut territorial Indonesia sejauh 12 mil laut

3
Ibid; 134-135.

160
Hukum Tata Negara

dari pantai-pantai terluar kepulauan Indonesia.4 Di samping itu juga,


ada hak untuk Negara melakukan eksploitasi kekayaan laut seluas
200 mil dari batas laut teritorial.

B. Otonomi Daerah
Dalam Pembahasan mengenai Otonomi Daerah, akan dibagi
dalam sub-sub bahasan sebagai berikut: 1. Prinsip Negara Kesatuan,
2.Asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, 3. Otonomi
Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004.
1. Prinsip Negara Kesatuan
Pasal 1(1) UUD NRI 1945 menentukan: “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.”
Di Indonesia, dalam UUD yang pernah berlaku apakah bentuk
negara itu ditujukan pada bentuk republik/monarkhi atau pada
kesatuan/ federasi, memang ada kerancuan, tetapi menurut UUD
1945 sebelum dan sesudah amandemen menentukan bentuk negara
ditujukan pada republik. Sementara untuk kesatuan atau serikat/
federasi ditujukan pada bentuk susunan negara. Joeniartho meng-
gunakan istilah “bentuk susunan negara” untuk menunjukkan
negara kesatuan/ federasi.5 Pendapat yang sama juga dianut oleh
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang menyatakan bahwa
“susunan negara” ditujukan untuk negara kesatuan atau federasi,
sedangkan “bentuk Negara” ditujukan paba bentuk republik atau
monarkhi.
Ciri negara kesatuan dapat dilihat dengan membandingkannya
dengan negara serikat. Moh Koesnardi dan Harmaily Ibrahim
dengan menggunakan kriteria yang digunakan oleh CF Strong dan
kriteria dari KC Where sebagai berikut.6
Pada negara serikat, negara bagian mempunyai kewenangan
untuk membuat UUD nya sendiri, di samping adanya UUD Federal.
Sedangkan dalam negara kesatuan hanya ada satu UUD, provinsi
4
Untuk memahami wilayah perairan Indonesia baca: Pasek Diantha,I Made,SH,MS,
1993. Seri Hukum Laut Internasional. Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen
Dalam Perspektif Indonesia: Denpasar: Penerbit CV.Kayumas Agung.
5
Joeniartho,1967. Seri Ilmu Hukum Tatanegara: Pemerintah Lokal. Yogyakarta.
Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, h.8
6
Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim. 1981. Cet. IV. Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia.Jakarta. FH UI, h 166.

161
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

tidak memiliki wewenang membentuk atau memiliki undang undang


dasarnya sendiri. Kriteria ini digunakan oleh KC Where.
Pada negara federasi wewenang pemerintahan federal ditentukan
secara rinci, sedangkan kekuasaan/kewenangan sisa atau residu power-
nya ada pada negara bagian. Sebaliknya, pada negara kesatuan residu
power nya ada pada pemerintah federal. Ukuran ini pada umumnya
dapat diterima, tetapi kemungkinan dalam prakteknya berbeda
tergantung pada konstitusi tiap-tiap negara. CF Strong memberi
contoh Kanada sebagai negara serikat, tetapi residu power-nya ada
pada negara-negara bagian.7 Di Indonesia sendiri di bawah UU No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah justru menunjukkan hal
yang sebaliknya. Berdasarkan Pasal 7 sampai Pasal 12 PP No. 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai
Daerah Otonum dirinci secara tegas, residu power-nya ada pada
Kabupaten/ Kota, walaupun Indonesia negara kesatuan. Tetapi UU
No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dicabut dan
diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kriteria lain untuk membedakan suatu negara kesatuan dan
federasi adalah pada kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam
negara. Menurut Jean Bodin8, kedaulatan adalah wewenang tertinggi
yang tidak dibatasi oleh hukum dari penguasa atau warga negara
dan orang-orang lain dalam wilayahnya. Kedaulatan adalah atribut
dari negara, negara tanpa kedaulatan bukanlah negara. Ciri-ciri
khusus yang merupakan bagian pelengkap dari kedaulatan menurut
Jean Bodin adalah:
1) Membuat undang-undang/hukum untuk warga negara tanpa
dibatasi oleh sesuatu kekuasaan lain yang sederajat atau yang
lebih rendah
2) Wewenang membuat uang, memaklumkan perang, menentukan
badan-badan peradilan, wewenang pengawasan dan lain-lain.
Sarjana Jerman menyebutnya dengan kompetenz-kompetenz dan
dalam bahasa Perancis disebut de la competence de la competence, yaitu
7
Ibid, h. 169-170, juga bandingkan dengan Padmo Wahjono..1966.Diktat Ilmu
Negara.Jakarta Fakultas Hukum UI, h.147
8
Jhr.Dr.JJ von Schmid. Groot Denker Over Staats En Rechts (van Plato tot Kant).
Terjemahan oleh Wiranto, R. Djamaluddin Dt Singomangkuto dan Djamadi. 1980. dengan
judul: Ahli-Ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum.Cet V. Jakarta: PT
Pembangunan, h 109

162
Hukum Tata Negara

wewenang yang menentukan segala wewenang yang ada di dalam


negara atau kekuasaan untuk menentukan segala hukum yang ada
dalam negara.9 Pada negara kesatuan, kedaulatan bersifat bulat dan
tunggal atau monistis yang dipegang oleh Pemerintah Pusat,
sedangkan pada federasi kedaulatan yang dianut adalah kedaulatan
yang bersifat pluralistik, artinya dapat dibagi-bagi yaitu sebagian
pada pemerintah federal dan sebagian pada negara-negara bagian.10
Kriteria ini tampak lebih jelas untuk dapat membedakan antara
negara yang bersusunan kesatuan dan federasi yang mirip dengan
kriteria KC Where di atas.
Prinsip Negara Kesatuan dalam UUD 1945 sebelu di amandemen
ditentukan dengan regas dalam Pasal 1 ayat (1) dan dipertegas lagi
dalam penjelasan Pasal 18 yang berbunyi sebagai berikut:
“Oleh karena Negara Indonesia itu suatu”eenheidstaat”, maka
Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya
yang bersifat” staat”juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi akan bi bagi-bagi pula dalam daerah-daerah
yang lebih kecil.
Daerah ini bersifat otonum (streek dan locale rechtgemeenschaps)
atau bersifat administrative belaka, semua menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang”.
Prinsip ini tetap dipegang dalam UUD NRI 1945, dimana
Penjelasan UUD 1945 dihapus dan substansinya dituangkan dalam
Batang Tubuh UUD BAB VI PEMERINTAH DAERAH sebagai berikut.
Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
9
Padmo Wahjono, 1976 Op-Cit, 162
10
Ibid, h256 163
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala


Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerahprovinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerin-
tahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan Undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masya-
rakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
2. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah
Logemann menyatakan bahwa negara adalah organisasi jabatan-
jabatan, struktur jabatan dalam sebuah negara memiliki hubungan
horizontal maupun vertikal. Pembagian jabatan secara horizontal
akan melahirkan sistem pemerintahan, sedangkan pembagian
jabatan secara vertical berkaitan erat dengan hubungan pemerintah

164
Hukum Tata Negara

pusat dengan pemerintahan di daerah, sehingga akan menyangkut


sistem pemerintahan di daerah. Hubungan vertikal ini diselenggara-
kan dengan asas dekonsentrasi, asas desentralisasi dan asas
medebewind atau tugas pembantuan.
Asas desentralisasi adalah: lawan dari asas sentralisasi. Asas
sentralisasi suatu asas yang memusatkan seluruh kebijakan negara
atau kewenangan mengatur ada pada pemerintah pusat sampai pada
masalah sekecil-kecilnya. Tidak ada penyerahan wewenang untuk
mengatur pada aparatur di daerah. Sebaliknya, pada asas desentrali-
sasi yang artinya tidak sentralisasi, berarti ada penyerahan wewe-
nang untuk mengatur berdasarkan inisiatif aparat pemerintah
daerah. Kewenangan untuk mengatur inilah disebut dengan otonomi.
Desentralisasi berarti ada penyerahan wewenang kepada aparat
daerah daerah otonum, yang intinya adalah pembagian kekuasaan.
Daerah otonom (Gemeente) merupakan suatu persekutuan
penduduk yang disatukan oleh hubungan setempat atau sedaerah,
yang memiliki ciri-ciri:
1) Adanya wilayah atau lingkungan yang lebih kecil dari pada
negara.
2) Adanya penduduk yang mencukupi
3) Adanya kepentingan-kepentingan yang coraknya sukar
dibedakan dengan kepentingan negara
4) Adanya organisasi yang memadai untuk menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan itu
5) Adanya kemampuan untuk menyediakan biaya yang di-
perlukan.11
Kata otonomi berasal dari kata Latin auto = sendiri, nomoi =
undang-undang, sehingga otonomi daerah berarti membuat
undang-undang sendiri. Pengertian ini terlalu sempit, karena dalam
kenyataanya pemerintah daerah tidak hanya membuat undang-
undang atau menjalankan fungsi legislative saja, melainkan
menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan (eksekutip)
daerah. Dilihat dari sejarah perkembangan pemerintahan daerah,
istilah daerah otonom disebut dengan daerah swatantra dalam UU
No.1 Tahun 1957 dan UU No. 18 Tahun 1965, atau swapraja dalam
11
J Wajong.1975. Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah. Jakarta. Penerbit Jambatan; h 8

165
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

UU No. 22 Tahun 1948, yang berarti menyelenggarakan pemerin-


tahan sendiri. Tetapi kemudian dalam UU No. 5 Tahun 1974 dan
UU No.22 Tahun 1999 menggunakan nama daerah otonom., dengan
UU No. 32 Tahun 2004 disebut Provinsi dan daerah yang lebih
kecil disebut Kabupaten/Kota.
Asas dekonsentrasi adalah lawan dari asas konsentrasi. Asas
konsentrasi berarti seluruh penyelenggaraan administrasi pemerin-
tahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang berkedudukan
di ibukota negara. Semua diselenggarakan di pusat. Sedangkan
dekonsentrasi artinya tidak konsentrasi, yang berarti dalam menye-
lenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menempatkan pejabat-
pejabatnya di daerah yang bertugas sebagai tangan pemerintah pusat
di daerah. Inti dari dekonsentrasi adalah pelimpahan tugas penye-
lenggaraan atau administrasi saja, bukan penyerahan wewenang.
Asas medebewind atau tugas pembantuan adalah suatu asas
yang memungkinkan pemerintah pusat untuk meminta bantuan
aparat pemerintah daerah otonom untuk mengurus atau melaksa-
nakan urusan pemerintah pusat di daerah. Dengan demikian, peme-
rintah daerah otonom hanya bertugas melaksanakan sesuai dengan
perintah atau petunjuk pemerintah pusat.
Untuk lebih jelas dapat membedakan antara asas desentralisasi
dengan dekonsentrasi dan medebewind, dapat dilihat dari perbedaan
ciri-ciri masing-masing sebagai berikut.12
Ciri-ciri asas desentralisasi:
1) Adanya penyerahan wewenang untuk mengatur dan mengurus
urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri
(hak otonomi).
2) Aparatur yang diserahi wewenang itu adalah aparatur peme-
rintah daerah otonom.
3) Penyelenggaraan urusan-urusan otonom itu dilakukan atas
dasar inisiatif sendiri atau kebijakan pemerintah daerah otonom.
4) Hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom
adalah hubungan pengawasan.
5) Sumber pembiayaan urusan otonom itu adalah keuangan
daerah otonom itu sendiri yang dituangkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
12
Joeniartho.1967. Op-Cit , h 15-27
166
Hukum Tata Negara

Ciri-ciri asas Dekonsentrasi:


1) Urusan yang diselenggarakan adalah urusan pemerintah pusat
di daerah.
2) Aparat yang menyelenggarakan urusan itu adalah pejabat
pemerintah pusat yang ada di daerah.
3) Sifat penyelenggaraan itu hanya menjalankan kebijaksanaan
pemerintah pusat, inisiatip ada pada pemerintah pusat. Aparat
di daerah hanya bersifat administrative belaka.
4) Hubungan antara pemerintah pusat dengan aparat di daerah
adalah hubungan menjalankan perintah.
5) Sumber pembiayaanya adalah dari pemerintah pusat (APBN)
Ciri-ciri Medebewind/ Tugas Pembantuan:
1) Urusan yang diselenggarakan adalah urusan pemerintah pusat.
2) Yang ditugaskan adalah pemerintah daerah otonom.
3) Dalam penyelenggaraan urusan itu berdasarkan petunjuk
pemerintah pusat.
4) Hubungan antara yang memberi tugas dan yang ditugaskan
adalah hubungan menjalankan pemerintah.
5) Sumber pembiayaan urusan tersebut berasal dari yang memberi
tugas, dan yang ditugasi berkewajiban memberi pertanggung-
jawaban.
Ketiga asas penyelenggaraan pemerintahan secara vertikal ini
selalu ada terutama dalam negara yang memiliki wilayah yang luas,
termasuk di Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang. Yang
kemungkinan berbeda-beda adalah: pada substansi wewenang yang
diserahkan kepada pemerintah daerah otonom. Hal ini berkaitan
dengan otonomi daerah.
Berikut ini dibahas mengenai ajaran tentang pengisian otonomi
daerah. Ada tiga macam ajaran otonomi daerah yaitu ajaran
otonomi materiil, ajaran otonomi formil dan ajaran otonomi riil
atau otonomi nyata.
Ajaran Otonomi Materiil
Ajaran ini pada pokoknya bertitik tolak pada pandangan bahwa
ada perbedaan kakekat yang prinsipil antara tugas yang dilakukan

167
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

oleh pemerintah pusat dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah


daerah otonom. Urusan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah
pusat dan yang dapat dikerjakan oleh daerah otonom secara materiil
sangat berbeda.13 Urusan-urusan yang diserahkan pada daerah
otonom harus dirinci dengan tegas dalam undang-undang pem-
bentukan daerah otonom tersebut, sehingga tidak mungkin untuk
ditambah atau dikurangi.
Ajaran Otonomi Formil
Ajaran ini adalah kebalikan dari ajaran otonomi materiil yang
didasarkan pada pandangan bahwa tidak ada perbedaan hakiki
antara urusan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dengan
urusan yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dareah
otonum, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dapat
saja melakukan urusan itu, tetapi atas dasar pertimbangan daya
guna dan hasil guna, maka urusan-urusan tertentu diserahkan
kepada daerah otonom, dengan menekankan bahwa urusan itu
harus dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang jelas. Jadi, pertimbangan utama ditekankan pada efisiensi dan
efektivitas pemerintahan, kemungkinan untuk menambah atau
mengurangi urusan yang diserahkan kepada daerah otonom tetap
ada berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitasnya.14
Ajaran Otonomi Riil atau Otonomi Nyata
Ajaran ini menekankan pada suatu prinsip bahwa pemberian
otonomi kepada daerah otonum didasarkan atas pertimbangan
kondisi nyata, kebutuhan serta kemampuan daerah otonom untuk
menyelenggarakan urusan tertentu, di samping pertimbangan
efisiensi dan efektivitas. Penerapan ajaran ini ditempuh dengan cara
pemberian urusan pangkal pada saat terbentuknya daerah otonum
tersebut, kemudian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
keadaan dan kebutuhan nyata, urusan itu dapat ditambah atau
ditarik kembali oleh pemerintah pusat.
Prinsip Otonomi nyata sudah dianut dalam:
- UU No. 1 Tahun 1957 dengan otonomi yang seluas-luasnya.
- UU No.5 Tahun 1974 dengan prinsip otonomi nyata dan ber-
tanggung jawab
13
Joeniartho. 1967. Op-Cit, h 30 dan bandingkan pula Koesnardi Cs.1980, Op-cit, h 254
14
Joeniartho.1967. Op-Cit; h 31
168
Hukum Tata Negara

- UU No. 22 Tahun 1999 dengan prinsip otonomi luas, nyata dan


bertanggung jawab
- UU No. 32 Tahun 2004 dengan prinsip otonomi seluas-luasnya.
3. Otonomi Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 hingga Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
Undang-undang yang merupakan implementasi dari Perintah
Pasal 18 dan 18 A UUD NRI 1945 adalah UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menentukan:
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah,
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri
atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat
menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerin-
tahan desa.
Dilihat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1, 2 dan 3) UU No.32
Tahun 2004, sering kali orang menafsirkan bahwa urusan peme-
rintahan yang lain merupakan kewenangan Pemerintah Daerah.
169
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Prinsip Otonomi yang seluas-luasnya dibuka asal Pemerintah


Daerah mampu melaksanakan sesuai dengan prinsip yang
ditentukan dalam Pasal 11 UU No.32 Tahun 2004.
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan cri-
teria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mem-
perhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan pelaksanaan, hubungan kewenangan
antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabu-
paten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait,
tergantung, dan sinergis sebagai satu system pemerintahan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang, bersifat wajib
yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan
secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Sementara untuk urusan pemerintahan selain 6 urusan Peme-
rintahan pemerintah memiliki kewenangan menentukan urusan
pemerintahan seperti yang diatur dalam Pasal 10 ayat (5) UU
No.32 Tahun 2004.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Kemudian, muncul perubahan pasca gejolak dimasyarakat,
dengan kemunculan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyangkut
pelaksanaan Pasal 18 khususnya Bab Pemerintahan Daerah dalam
UUD NRI 1945 melalui pasal-pasal berikut:
170
Hukum Tata Negara

BAB IV
URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Klasifikasi Urusan Pemerintahan
Pasal 9
(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut,
urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum
(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Peme-
rintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan Absolut
Pasal 10
(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:

171
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

a. melaksanakan sendiri; atau


b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada
di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
berdasarkan asas Dekonsentrasi.
Bagian Ketiga
Urusan Pemerintahan Konkuren
Pasal 11
(1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam
Pasal ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak ber-
kaitan dengan Pelayanan Dasar.
(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan
Pelayanan Dasar.
Pasal 12
(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masya-
rakat; dan
f. sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

172
Hukum Tata Negara

c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Pasal 13
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional.

173
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria


Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi
atau lintas negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi ke-
pentingan nasional.
(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabu-
paten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabu-
paten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
174
Hukum Tata Negara

Pasal 14
(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan,
kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan
raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
(3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan
pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat.
(4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan
pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah kabupaten/
kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil men-
dapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk peng-
hitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada
dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi
sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari
Daerah yang berbatasan.
Pasal 15
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam
Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap
tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya meng-
gunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
175
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden.
(4) Perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak
berakibat terhadap pengalihan urusan pemerintahan konkuren
pada tingkatan atau susunan pemerintahan yang lain ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
(5) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan kriteria pem-
bagian urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
Pasal 16
(1) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan peme-
rintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) berwenang untuk:
a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam
rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap pe-
nyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewe-
nangan Daerah.
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berupa ketentuan peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai
pedoman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan kon-
kuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang
menjadi kewenangan Daerah.
(3) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian.
(4) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga peme-
rintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
(5) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua)

176
Hukum Tata Negara

tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksa-


naan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
Pasal 17
(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk me-
nyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewe-
nangan Daerah.
(2) Daerah dalam menetapkan kebijakan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib berpedoman pada norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Dalam hal kebijakan Daerah yang dibuat dalam rangka penye-
lenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah tidak mempedomani norma, standar, prosedur, dan kriteria
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat mem-
batalkan kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (5) Pemerintah Pusat belum menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, penyelenggara Pemerin-
tahan Daerah melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
Pasal 18
(1) Penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksa-
naan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).
(2) Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib
yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berpedoman pada standar pelayanan minimal yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal
diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 19
(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat diselenggarakan:
a. sendiri oleh Pemerintah Pusat;
b. dengan cara melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat atau kepada Instansi Vertikal yang ada di
Daerah berdasarkan asas Dekonsentrasi; atau
177
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

c. dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas


Pembantuan.
(2) Instansi Vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dibentuk setelah mendapat persetujuan dari gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat.
(3) Pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan
pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh
kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak memerlukan persetujuan dari gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah berdasarkan
asas Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan peraturan menteri/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian.
(5) Peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah ber-
koordinasi dengan Menteri.
Pasal 20
(1) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi diselenggarakan:
a. sendiri oleh Daerah provinsi;
b. dengan cara menugasi Daerah kabupaten/kota berdasarkan
asas Tugas Pembantuan; atau
c. dengan cara menugasi Desa.
(2) Penugasan oleh Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
berdasarkan asas Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan kepada Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan peraturan gubernur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota diselenggarakan sendiri oleh Daerah
kabupaten/kota atau dapat ditugaskan sebagian pelaksanaannya
kepada Desa.

178
Hukum Tata Negara

(4) Penugasan oleh Daerah kabupaten/kota kepada Desa sebagai-


mana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan peraturan
bupati/wali kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan
konkuren diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam melaksa-
nakan Tugas Pembantuan.
(2) Kebijakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan Tugas
Pembantuan di Daerahnya.
(3) Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disediakan
oleh yang menugasi.
(4) Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan
disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan
kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian rancangan
APBD dalam dokumen yang terpisah.
(5) Laporan pelaksanaan anggaran Tugas Pembantuan disampaikan
oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD
bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan Pemerintah
Daerah dalam dokumen yang terpisah.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 24
(1) Kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian bersama
Pemerintah Daerah melakukan pemetaan Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan
Pemerintahan Pilihan yang diprioritaskan oleh setiap Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
(2) Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan

179
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan


peraturan menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
(3) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk menentukan intensitas Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar berdasarkan
jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah.
(4) Pemetaan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan Daerah yang mem-
punyai Urusan Pemerintahan Pilihan berdasarkan potensi,
proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan.
(5) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Daerah
dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran
dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah.
(6) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh kemen-
terian atau lembaga pemerintah nonkementerian sebagai dasar
untuk pembinaan kepada Daerah dalam pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan secara nasional.
(7) Pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan serta
pembinaan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (6) dikoordinasikan oleh Menteri.
Bagian Keempat
Urusan Pemerintahan Umum
Pasal 25
(1) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (5) meliputi:
a. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional
dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila,

180
Hukum Tata Negara

pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-


nesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta
pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
c. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat
beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan
stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
d. penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahan
yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/
kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi
serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Panca-
sila; dan
g. pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan
merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh
Instansi Vertikal.
(3) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah
kerja masing-masing.
(4) Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), gubernur dan bupati/wali kota dibantu
oleh Instansi Vertikal.
(5) Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum, gubernur
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri dan bupati/
wali kota bertanggung jawab kepada Menteri melalui gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(6) Gubernur dan bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan
pemerintahan umum dibiayai dari APBN.

181
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(7) Bupati/wali kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan


umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tingkat
Kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada camat.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan peme-
rintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai
dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah.
Kemudian, mengalami perubahan pasca dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga muncullah Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan
atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Secara khusus, terjadi kembali perubahan atas Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2015 sehingga kembali diubah dalam Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni
sebagai berikut.
Mengenai pembagian kewenangan antara Pemerintah (Pusat),
Provinsi, dan Kabupaten/ Kota dijabarkan lebih lanjut dalam Per-
aturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabu-
paten/Kota (LNRI Tahun 2007 Nomor 82). Pemerintah Pusat sebagai
pemerintahan tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
tetap memiliki kewenangan menentukan seperti ketentuan Pasal 10
ayat (5) UU No.32 Tahun 2004.
Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang
menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi
tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi,
melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat (Pasal
1 angka 5 PP 38/2007). Urusan pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
(politik luar negeri; pertahanan dan keamanan; yustisi; moneter

182
Hukum Tata Negara

dan fiskal nasional; dan Agama) dan urusan pemerintahan yang


dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan
(Pasal 2 ayat 1 PP 38/2007). Urusan pemerintahan yang dibagi ber-
sama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah terdiri
atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum;
4. perumahan;
5. penataan ruang;
6. perencanaan pembangunan;
7. perhubungan;
8. lingkungan hidup;
9. pertanahan;
10. kependudukan dan catatan sipil;
11. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
12. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13. sosial;
14. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
15. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
16. penanaman modal;
17. kebudayaan dan pariwisata;
18. kepemudaan dan olah raga;
19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasikeuangan
daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
21. pemberdayaan masyarakat dan desa;
22. statistik;
23. kearsipan;
24. perpustakaan;
25. komunikasi dan informatika;
26. pertanian dan ketahanan pangan;

183
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

27. kehutanan;
28. energi dan sumber daya mineral;
29. kelautan dan perikanan;
30. perdagangan
31. perindustrian
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan peme-
rintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya,
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia se-
bagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 angka 2 PP 38/2007). Ciri utama
negara kesatuan adalah kekuasaan tertinggi ada pada pemerintah
pusat, walaupun ada asas desentraslisasi tampaknya sangat terbatas.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditentukan urusan wajib bagi
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai
dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana,
serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur
disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang di-
dekonsentrasikan.
Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial;

184
Hukum Tata Negara

g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;


h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota;dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan,
b. pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;

185
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

k. pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan, dan


catatan sipil;
l. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
m. pelayanan administrasi penanaman modal;
n. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
o. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan ber-
potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan,ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dari penelusuran pelaksanaan prinsip desentralisasi, maka wewe-
nang penyelenggaraan pendidikan antara Pemerintah, Provinsi dan
Kabupaten Kota diatur dalam Lampiran Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
di bidang Pendidikan. Di bawah ini, dikutip contoh bagaimana
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Provinsi
dan Kabupaten, khususnya sub Bidang Penentuan kebijakan pen-
didikan sebagai berikut:

186
Hukum Tata Negara

Tabel 1. Contoh Pembagian Urusan Pemerintahan antara


Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota

187
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Sumber: Kutipan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007


Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan di bidang Pendidikan
Dari kutipan di atas, tampak bahwa kebijakan Urusan
Pemerintahan yang didesentralisasikan ke Provinsi dan Kabupaten
Kota hanya sebagian urusan-urusan tertentu, kebijakan ada pada
Pemerintah Pusat. Untuk pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan Dasar dan Menengah adalah Kabupaten/ Kota.
Ketentuan Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah terutama bunyi ayat 1, 2 dan 3, sering menimbulkan ke-
keliruan bahwa Urusan Pemerintahan yang diurus oleh Pemerintah
Pusat hanya 6 urusan sajadan yang lainnya diserahkan pada daerah
Otonom karena dianut prinsip otonomi yang seluas-luasnya,
kenyataannya bahwa semua kebijakan, norma, standar dari setiap
urusan pemerintahan merupakan wewenang pemerintah Pusat.
... ...
DAFTAR BACAAN
Joeniartho. 1967. Seri Ilmu Hukum Tatanegara: Pemerintah Lokal.
Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada.
Joeniartho. 1982. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta:
Penerbit Aksara;
Koesnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. 1981. Cet. IV. Pengantar
Hukum Tatanegara Indonesia. Jakarta. FH UI,
Padmo Wahjono. 1966. Diktat Ilmu Negara. Jakarta Fakultas
Hukum UI.

188
Hukum Tata Negara

Pasek Diantha, I Made. 1993. Seri Hukum Laut Internasional. Analisis


Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Indone-
sia. Denpasar: Penerbit CV.Kayumas Agung.
Schmid. Jhr.Dr.JJ von. Groot Denker Over Staats En Rechts (van
Plato tot Kant). Terjemahan oleh Wiranto, R. Djamaluddin Dt
Singomangkuto dan Djamadi. 1980 dengan judul: Ahli-Ahli
Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum.Cet V. Jakarta: PT
Pembangunan.
Wajong, J.1975. Azas dan Tujuan Pemerintahan Daerah. Jakarta. Penerbit
Djambatan.

189
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Bagian Kelima
Warga Negara
dan Hak Asasi Manusia

A. Warga Negara dan Orang Asing


Setiap Negara pasti memiliki warga negara, atau rakyat, di
samping wilayah dan pemerintahan. Warga Negara adalah istilah
yuridis sementara rakyat adalah istilah politik, baik yang tinggal di
dalam negeri maupun di luar negeri. Ada juga istilah penduduk
yang mengandung arti lebih luas yaitu meliputi warganegara dan
orang asing. Penduduk Indonesia meliputi warga Negara Indone-
sia maupun orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Kewajiban warga negara berbeda dengan orang asing di Indo-
nesia antara lain:
Warga Negara:
a. memiliki hak dan kewajiban membela negara
b. memiliki hak pilih aktif dan pasif dalam pemilihan umum
c. hak di bidang hukum publik tertentu, seperti hak menjadi Pegawai
negeri sipil/militer, anggota partai politik dan sebagainya.
d. Bebas mencari pekerjaan di Indonesia
Orang Asing:
a. hak untuk memperoleh perlindungan terhadap keamanan diri
selama di Indonesia kebebasan beribadah dan memeluk agama

190
Hukum Tata Negara

b. kewajiban mentaati hukum yang berlaku di Indonesia


c. Wajib memiliki ijin masuk/dan tinggal di Indonesia
d. Wajib melaporkan diri dan memiliki surat-surat keimigrasian
e. Bila bekerja di Indonesia harus memiliki ijin kerja dengan
prosedur khusus.1

B. Asas-asas Kewarganegaraan
Cara untuk menentukan seseorang menjadi warga negara suatu
Negara bisa berdasarkan atas asas ius soli dan asas ius sanguinis. Ius
Soli adalah cara memperoleh kewargaannegaraan berdasarkan
tempat di mana ia dilahirkan, sedangkan Ius Sanguinis adalah dalam
menentukan kewarganegaraan berdasarkan keturunan darah, bila
orang tuanya warganegara Indonesia, maka ia juga akan menjadi
warga negara Indonesia. Sementara hak seseorang untuk menen-
tukan kewarganegaraan ada dua macam yaitu Hak Opsi: hak untuk
memilih menjadi warganegara suatu negara dan Hak Repudiasi:
hak untuk menolak menjadi warga negara suatu negara. Bila
seseorang menjadi warga negara dua negara atau lebih disebut
Bipatride, sedangkan seseorang tanpa kewarganegaraan suatu
negara disebut Apatride.

C. Sejarah Perkembangan Peraturan Perundang-undangan


tentang Kewarganegaraan di Indonesia
1. Pada Awal Kemerdekaan Indonesia
Tgl 18 Agustus 1945 ditetapkan UUD 1945 dan Pasal 26
menentukan sebagai berikut:
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indone-
sia asli dan bangsa-bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga negara.
(2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan diatur dengan
undang-undang.
Penjelasan Pasal 26 menentukan: Bagi mereka yang keturunan
asing dapat menjadi warga Negara dengan akan diatur dengan
Undang-undang selama mereka mengakui Indonesia sebagai tanah
airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia.
1
Lihat lbih detail dalam Sudargo Gautama;1987. Warganegara dan Orang Asing.
Bandung: Penerbit Alumni; hlm. 73-103

191
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Untuk mengaturnya lebih lanjut, maka dikeluarkan UU No. 3


Tahun 1946, tgl 10 April 1946 (sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 6 dan 8 Tahun 1947). UU ini menganut asas ius soli, yang
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1:
a. Warga Negara Indonesia ialah orang yang asli dalam daerah
Indonesia;
b. Orang peranakan yang lahir dan bertempat tinggal di Indone-
sia paling sedikit untuk 5 tahun terakhir dan berturut-turut
serta berumur 21 tahun adalah warganegara Indonesia kecuali
kalau ia berkeberatan menjadi warga Negara Indonesia.
Jadi, seseorang yang tanpa mengajukan keberatan/penolakan
(hak repudiasi), praktis menjadi warga Negara Indonesia. Jangka
waktu penolakan adalah satu tahun dan dengan Undang-Undang
No. 8 Tahun 1947 diberikan perpanjangan sampai 10 April 1948.
2. Dalam Konferensi Meja Bundar
Ada persetujuan mengenai pembagian kewarganegaraan antara
Negara RIS dan Kerajaan Belanda. Tiga hal yang penting yaitu:
1) Orang Belanda yang tetap memegang teguh kewarganegaraan
Belanda, bagi keturunannya yang lahir atau bertempat tinggal
di Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan sebelum tanggal
27 Desember 1949, dalam waktu dua tahun setelah penyerahan
kedaulatan dapat menyatakan memilih kewarganegaraan Indo-
nesia. Di sini, keturunan Belanda itu diberi kesempatan untuk
memilih kewarganegaraan Indonesia (hak opsi).
2) Orang-orang yang tergolong sebagai kawula Belanda dari
golongan Indonesia asli, yang berada di Indonesia kecuali mereka
yang berada di Suriname atau Antillen Belanda dan dilahirkan
di wilayah Kerajaan Belanda, yang kemudian dapat memilih
kewarganegaraan Indonesia.
3) Orang-orang yang menurut sistem hukum Hindia Belanda dulu
termasuk golongan Timur Asing, kawulanegara Belanda ke-
turunan asing yang bukan berstatus orang Belanda (Golongan
Arab dan China), maka terhadap mereka terdapat dua ke-
mungkinan, yaitu jika bertempat tinggal di Belanda mereka tetap
berkewarganegaraan Belanda, sedangkan yang tinggal di Indo-

192
Hukum Tata Negara

nesia menjadi warga Negara Indonesia. Mereka yang dinyatakan


sebagai warga Negara Indonesia dapat menyatakan penolakan-
nya dalam jangka waktu dua tahun. Jadi bagi mereka, ada pilihan
untuk menolak kewarganegaraan (hak Repudiasi).2
Atas dasar UU No. 3 Tahun 1946 maupun persetujuan pem-
bagian kewarganegaraan tetap mengandung ketidak-tegasan, karena
banyak yang tidak mengajukan keberatan, dan khusus untuk orang
China tidak praktis menjadi warganegara Indonesia, karena undang-
undang Kewarganegaraan China menganut asa Ius Sanguinis,
yang akan menimbulkan Bipatride bagi orang-orang China.
Untuk mengatasi masalah ini, maka diadakan perjanjian antara
Indonesia dan China yang dikenal dengan Perjanjian Sonario-Chou
pada tanggal 22 April 1955 yang kemudian dituangkan dalam
Undang-undang No. 2 Tahun 1958. Isi pokoknya menentukan bagi
orang-orang China diwajibkan melakukan pilihan dengan tegas
dan secara tertulis apakah akan tetap menjadi warganegara Indo-
nesia. Kesempatan memilih itu adalah dua tahun sejak 22 April 1955.3
UU No. 2 Tahun 1958 kemudian oleh pemerintah Orde Baru
dicabut dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 1969 yang menegaskan
bahwa bagi mereka yang menurut perjanjian Dwi Kewarga-
negaraan Indonesia-China telah menjadi warga Negara Indonesia,
tetap menjadi warganegara Indonesia demikian pula dengan anak-
anaknya yang telah dewasa. Selanjutnya mereka tunduk pada
Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI.
3. Di Bawah UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
UU No. 62 Tahun 1958 ini diundangkan tanggal 1 Agustus
1958 sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUDS
1950. Ada beberapa hal pokok yang diatur sebagai berikut.
1) Mengenai asas kewarganegaraan, menitikberatkan pada asas Ius
Sanguinis. Dasar pertimbangannya adalah: keturunan dipakai
suatu dasar adalah lazim, sudah sewajarnya suatu negara
menganggap anak-anak dari warganegaranya adalah sebagai
2
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim;1981. Pengantar Hukum Tatanegara Indonesia.
Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara UI dan CV. Sinar Bhakti; hlm. 299
3
Ibid; hlm. 301

193
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

warga negara di manapun ia dilahirkan. Pasal 1 hurup b, c, d


dan e: seorang anak adalah warga Negara Indonesia karena
orangtuanya atau salah satu orang tuanya berkewarganegaraan
Indonesia. Di samping itu, Ius Soli juga digunakan sebagai ke-
kecualian, yaitu khusus untuk anak-anak yang lahir di wilayah
Indonesia yang orang tuanya tidak diketahui, atau orang tuanya
Apatride (tanpa kewarganegaraan) atau yang belum mendapat
kewarganegaraan dari Negara orangtuanya. (Pasal 1 huruf
f,g,h,dan i.)
2) Mencegah adanya Apatride dan Bipatride.
a. Untuk orang asing yang ingin menjadi WNI dengan jalan
naturalisasi, ia benar-benar harus melepaskan kewarga-
negaraan asalnya.
b. Seorang anak yang lahir dari ibu WNI dengan orang asing,
kemudian bercerai atau dilahirkan di luar nikah mengikuti
kewarganegaraan ayahnya, setelah berusia 18 tahun dapat
mengajukan permohonan untuk menjadi dengan syarat
setelah menjadi WNI yang bersangkutan tidak mempunyai
kewarganegaraan lainnya.
c. Bagi wanita WNI yang kawin dengan WNA baru dapat
meninggalkan kewarganegaraan Indonesia apabila jelas
bahwa Negara suaminya memungkinkan baginya untuk
mendapat kewarganegaraan.
3) Penyebab kehilangan kewarganegaraan RI:
a. karena mendapat kewarganegaraan negara lain;
b. menjadi pegawai atau tentara negara lain tanpa ijin dari
presiden;
c. perempuan Indonesia karena kawin dengan laki-laki warga
negara lain (catatan periksa UU No. 62 Tahun 1958).
4. Undang Undang RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarga-
negaraan Republik Indonesia LNRI Tahun 2006 Nomor 63
Undang Undang Nomor 62 Tahun 1958 tersebut di atas secara
filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan per-
kembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.4
4
Periksa Penjelasan Umum Undang-undang RI No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarga-
negaraan Republik Indonesia L N R I Tahun 2006 Nomor 63 TLNRI NOMOR 4634
194
Hukum Tata Negara

- Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung


ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah
Pancasila, antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang
menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga
negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap
perempuan dan anak-anak.
- Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-
undang tersebut adalah Undang Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada Undang Undang
Dasar 1945. Dalam perkembangannya, Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami
perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak
asasi manusia dan hak warga negara.
- Secara sosiologis, Undang Undang tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indone-
sia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan
global yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan
kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya
kesetaraan dan keadilan gender.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, perlu dibentuk
undang-undang kewarganegaraan yang baru sebagai pelaksanaan
Pasal 26 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga
negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan
amanat Undang Dasar sebagaimana tersebut di atas, Undang-
undang ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau
universal, yaitu asas ius sanguinis, ius soli, dan campuran. Adapun
asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini sebagai berikut:
1) Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan negara tempat kelahiran.
2) Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara
tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
195
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

3) Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan


satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4) Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarga-
negaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak
dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian.
Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi
dasar penyusunan undang-undang tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, yakni:
1) Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan
bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepen-
tingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan
kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita
dan tujuannya sendiri.
2) Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan
bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh
kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun
baik di dalam maupun di luar negeri.
3) Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas
yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia
mendapatkan perlakuan yang lama di dalam hukum dan
pemerintahan.
4) Asas kehenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan
seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai
substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertang-
gungjawabkan kebenarannya.
5) Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan
perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan
warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis
kelamin dan gender.
6) Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan
dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan

196
Hukum Tata Negara

memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga


negara pada khususnya.
7) Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam
segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara harus
dilakukan secara terbuka.
8) Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang
yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indone-
sia agar masyarakat mengetahuinya.
Pokok materi muatan yang diatur dalam undang-undang ini
meliputi:
a) siapa yang menjadi warga Negara Indonesia;
b) syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia;
c) kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia;
d) syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia;
e) ketentuan pidana.
Dalam undang-undang ini, pengaturan mengenai anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah semata-mata hanya untuk mem-
berikan perlindungan terhadap anak tentang status kewarga-
negaraannya saja.
Oleh karena hukum yang sedang berlaku, maka UU No. 12
tahun 2006 dikutip pasal-pasalnya dengan lengkap sebagai berikut:
1) Siapa Warga Negara Indonesia
Warga Negara Indonesia menurut Undang Undang No. 12
Tahun 2006, adalah:
Pasal 4
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indo-
nesia dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku
sudah menjadi Warga Negara Indonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
dan ibu warga Negara Indonesia;

197
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
warga negara asing dan ibu warga Negara Indonesia;
e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak mem-
berikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari
setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah
dan ayahnya warga Negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara
Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan
sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara
Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila
ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak
diketahui keberadaannya;
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indone-
sia dari seorang ayah dan ibu warga Negara Indonesia yang
karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan per-
mohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau me-
nyatakan janji setia.

198
Hukum Tata Negara

Pasal 5
(1) Anak warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan
yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum
kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan
asing tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.
(2) Anak warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima)
tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing
berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga
Negara Indonesia.
Pasal 4
(1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,
huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarga-
negaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah
satu kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan
kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat
3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun
atau sudah kawin.
Dari petikan pasal-pasal di atas, tampak sekali perubahan politik
hukum yang lebih mengutamakan pengharusutamakan gender dan
perlindungan terhadap anak-anak anak-anak hasil perkawinan
campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara
asing dan mencegah kewarganegaraan ganda dan tanpa ke-
warganegaraan.
Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan
ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai
dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut,
ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah

199
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya ataukah


memilih kewarganegaraan asing.
2) Syarat dan Tatacara Memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
Pasal 8
Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui
pewarganegaraan
Pasal 9
(1) Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon
jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat
tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat
5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh)
tahun tidak berturut-turut;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara
Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945;
e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
permohonan diterima oleh menteri dan diberitahukan kepada
pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
Keputusan presiden ditetapkan.
g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap;dan
h. membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.
(2) Penolakan permohonan pewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus disertai alasan dan diberitahukan
oleh menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh menteri.

200
Hukum Tata Negara

Pasal 14
(1) Keputusan presiden mengenai pengabulan terhadap permo-
honan pewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal
pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(2) Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan presiden
dikirim kepada pemohon, pejabat memanggil pemohon untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(3) Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh pejabat untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu
yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa
alasan yang sah, Keputusan presiden tersebut batal demi hukum.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai
akibat kelalaian pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia di hadapan pejabat lain yang
ditunjuk menteri.
Pasal 10
(1) Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh
pemohon secara tertulis dalam Bahasa Indonesia di atas kertas
bermaterai cukup kepada presiden melalui menteri.
(2) Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada pejabat.
Pasal 11
Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada presiden dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan
diterima.
Pasal 12
(1) Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarga-
negaraan.

201
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(2) Pengabulan permohonan pewarganegaraan sebagaimana di-


maksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat berita acara
pelaksanaan pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.
(4) Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia,
(5) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia
kepada menteri.
Pasal 14
(1) Keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap permo-
honan pewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal
pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(2) Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan Presiden
dikirim kepada pemohon, pejabat memanggil pemohon untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(3) Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh pejabat untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu
yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa
alasan yang sah, Keputusan Presiden tersebut batal demi hukum.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai
akibat kelalaian pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia di hadapan pejabat lain yang
ditunjuk Menteri.
Pasal 15
(1) Pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dilakukan di hadapan Pejabat,
jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia,
tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat berita acara
pelaksanaan pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.
(3) Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peng-
ucapan sumpah atau pernyataan janji setia, Pejabat sebagaimana

202
Hukum Tata Negara

dimaksud pada ayat (1) menyampaikan berita acara pengucapan


sumpah atau pernyataan janji setia kepada menteri.
Pasal 16
Sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1) adalah: Yang mengucapkan sumpah, lafal
sumpahnya sebagai berikut:
Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah
melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing,
mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan
sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang
dibebankan negara kepada saya sebagai warga Negara Indo-
nesia dengan tulus dan ikhlas.
Yang menyatakan janji setia, lafal janji setianya sebagai berikut:
Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada ke-
kuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Ke-
satuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan mem-
belanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan
kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai warga
Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.

Pasal 17
Setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pe-
mohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian
atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan
sumpah atau pernyataan janji setia
Pasal 18
(1) Salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan berita acara peng-
ucapan sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) menjadi bukti sah
Kewarganegaraan Republik Indonesia seseorang yang mem-
peroleh kewarganegaraan.
(2) Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
203
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Pasal 19
(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga
Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga
negara di hadapan Pejabat.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak
berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan
tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarga-
negaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarga-
negaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang
bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan
pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Per-
aturan Menteri.
Pasal 20
Orang asing yang telah berjasa kepada Negara Republik Indonesia
atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarga-
negaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibat-
kan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
Pasal 21
(1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Negara Republik
Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarga-
negaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarga-
negaraan Republik Indonesia.
(2) Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (Lima) tahun
yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai

204
Hukum Tata Negara

anak oleh Warga Negara Indonesia memperoleh Kewarga-


negaraan Republik Indonesia.
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan mem-
peroleh Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Per-
aturan Pemerintah.
3) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
Pasal 23
Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika
yang bersangkutan:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan
untuk itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di
luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan
Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari
Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan
dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga
Negara Indonesia;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;

205
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara


asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarga-
negaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau
i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia
selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas
negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak
menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara
Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir,
dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara In-
donesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal
Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan
secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang
bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Pasal 24
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d tidak
berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara
lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer.
Pasal 25
(1) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang
ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan
anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(2) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang
ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang
tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai
dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin.
(3) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena
memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus
perkawinannya, tidak dengan sendirinya berlaku terhadap
anaknya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin.
(4) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap
anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
206
Hukum Tata Negara

(3) berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia


18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 26
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-
laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarga-
negaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat
perkawinan tersebut.
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perem-
puan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarga-
negaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat
perkawinan tersebut.
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi
Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan
mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan
atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibat-
kan kewarganegaraan ganda.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga)
tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Pasal 27
Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat
perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status ke-
warganegaraan dari istri atau suami

Pasal 28
Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indo-
nesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu
atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai
orangnya oleh instansi yang berwenang dinyatakan batal kewarga-
negaraannya.
207
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Pasal 29
Menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan Kewarga-
negaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara ke-
hilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Soal kehilangan kewarganegaraan adalah perwujudan asas
kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa per-
aturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional
Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai
negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
3) Syarat dan Tatacara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia
Pasal 31
Seseorang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur
pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 18 dan Pasal 22.
Pasal 32
(1) Warga Negara Indonesia yang kehilangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf
i, dan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) dapat memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan mengajukan
permohonan tertulis kepada Menteri tanpa melalui prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 17.
(2) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia,
permohonan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indo-
nesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
Permohonan untuk memperoleh kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia dapat diajukan oleh perempuan atau laki-
laki yang kehilangan kewarganegaraannya akibat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) sejak
putusnya perkawinan.
208
Hukum Tata Negara

(4) Kepala Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah menerima
permohonan.
Pasal 33
Persetujuan atau penolakan permohonan memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia diberikan paling lambat 3
(tiga) bulan oleh Menteri atau Pejabat terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan.
Pasal 34
Menteri mengumumkan nama orang yang memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tatacara mem-
peroleh kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

D. Hak-hak Dasar Warga Negara/Hak Konstitusional Warga Negara


Di atas telah dibahas perbedaan hak dan kewajiban warga
negara dan orang asing. Dalam UUD NRI 1945 dari Pasal 26 sampai
Pasal 34, diatur hak-hak warga negara dan hak asasi manusia.
Membaca setiap pasal haruslah cermat. Hak asasi manusia berlaku
untuk semua manusia baik warga negara maupun orang asing,
sementara untuk warga negara berlaku hanya pada warga negara.
Hal itu bisa untuk dipilah sebagai berikut.

1. Khusus untuk Warga Negara


Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerin-
tahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak negara.

209
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Pasal 28D
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan
Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
2. Hak Asasi Manusia
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang.
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan mem-
peroleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan

210
Hukum Tata Negara

budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi


kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memper-
juangkan haknya secara kolektif untuk membangun masya-
rakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial-
nya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah ke-
kuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi.
211
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapa pun.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diper-
budak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskri-
minatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlin-
dungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak assi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksa-
naan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundangan-undangan.

212
Hukum Tata Negara

Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Semua hak asasi yang dimuat dalam pasal-pasal mengenai warga
negara maupun hak asasi manusia di atas merupakan hak dasar
atau hak konstitusional warga negara. Penjabaran dari hak-hak
dasar ini juga tesirat dalam pelbagai peraturan perundangan di
bawah UUD NRI 1945. Setiap warga negara memiliki hak untuk
mempertahankan hak-hak konstitusionalnya ini dengan melakukan
permohonan pengujian undang-undang bila hak-hak ini dilanggar
oleh pembuat undang-undang.

213
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

DAFTAR BACAAN
Gautama, Sudargo; 1987. Warganegara dan Orang Asing. Bandung:
Penerbit Alumni.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; 1981. Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara UI
dan CV. Sinar Bhakti.
Undang Undang RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia L N R I Tahun 2006 Nomor 63 TLNRI
NOMOR 4634.
UUD NRI 1945.

214
Hukum Tata Negara

Bagian Keenam
Partai Politik
dan Pemilihan Umum

A. Konsep Kekuasaan Negara dan Pembagian Kekuasaan Negara


dalam Tinjauan Ketatanegaraan
Negara dilihat dari sudut kekuasaan atau politik merupakan
suatu sistem kekuasaan. Pengertian kekuasaan adalah suatu ke-
mampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok orang lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku seseorang atau kelompok orang tersebut
menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang
memiliki kemampuan itu1. Gejala kekuasaan itu adalah gejala yang
lumrah terdapat pada setiap masyarakat.
Menurut K.F Flechthiem, yang dimaksud dengan kekuasaan
adalah2:
“Kekuasaan adalah keseluruhan dari kemampuan, hubungan-
hubungan, dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak
lain untuk tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan”.

1
Baca dalam Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar
Grafika, hlm. 134-135.
2
Baca lebih lanjut dalam Miriam Budiardjo, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta :
Gramedia, hlm. 155-156.

215
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Sedangkan, RM. Mac Iver memberikan definisi kekuasaan dari


segi konsep kekuasaan sosial sebagai berikut3:
“Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengendalikan
tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan cara mem-
beri perintah maupun tidak langsung dengan mempergunakan
alat dan cara yang tersedia”.
Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan umum (pemerintah), baik dalam proses terbentuknya
maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang
kekuasaan itu sendiri. Dalam hal ini, kekuasaan pada dasarnya
adalah suatu hubungan yang didasarkan atas ketidaksamaan,
dimana kekuasaan dalam negara selalu berbentuk piramida, yang
diakibatkan oleh adanya kenyataan bahwa kekuasaan yang satu
lebih unggul dari kekuasaan yang lain, dan kekuasaan yang
unggul selalu mengsubordinasi kekuasaan- kekuasaan lain4.
Adapun sumber-sumber kekuasaan bisa didasarkan pada
kekuasaan fisik, kedudukan atau jabatan, kekayaan, kepercayaan,
sementara bentuk lain kekuasaan sering dikenal istilah-istilah tertentu
diantaranya pengaruh, dominasi, hubungan atau relasi, kontrol
dan lain-lain yang mirip dengan itu.
Ciri-ciri dari kekuasaan Negara adalah:5
- Adanya unsur kekuatan memaksa, misalnya memungut pajak,
menghukum mati orang, memenjarakan orang dan perihal lain
sebagainya.
- Negara memiliki monopoli kekuasaan dalam menetapkan tujuan
bersama dalam masyarakat, termasuk melarang suatu keyakinan
atau paham tertentu seperti komunisme ataupun tergabung
dalam Partai Komunis Indonesia6.
- Sifat kekuasaan Negara mencakup semua orang tanpa kecuali,
dimana setiap peraturan negara berlaku bagi semua orang.
3
Lihat Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 157.
4
Baca dalam Abu Daud Busroh, op.cit., hlm. 136-137.
5
Simak lebih lanjut dalam I Made Sucipta, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid
I, Edisi Revisi, Singaraja: Petada Pasi Grafika, (selanjutnya disebut sebagai I Made Sucipta
I), hlm. 19-21.
6
Ketentuan tersebut ditegaskan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk

216
Hukum Tata Negara

Struktur Kekuasaan Negara dapat dibagi menjadi dua bagian


besar, yakni:7
- Suprastruktur politik adalah struktur di atas permukaan yang
keberadaannya ditentukan dalam Konstitusi Negara seperti halnya
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden, Mahkamah Agung, sampai pada Kepala Desa yang
merupakan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Sehingga
sering juga disebut sebagai Struktur formal atau sebagai struktur
pemerintahan.
- Infrastruktur politik adalah struktur di bawah permukaan yang
keberadaannya ada dalam masyarakat. Komponennya antara
lain yakni Partai-partai politik, Kelompok Kepentingan (interest
groups), Kelompok Penekan (Pressure groups), Alat komunikasi
politik (media massa atau mass media), Tokoh-tokoh Politik
(Political figure).
Dalam hal ini, hubungan antara suprastruktur politik dan infra-
struktur politik saling mempengaruhi8, dimana suprastruktur politik
mengatur infrastruktur politik melalui peraturan perundang-
undangan atau kebijakan lainnya, sementara infrastruktur politik
sangat mempengaruhi berjalannya suprastruktur politik, terutama
dalam konteks negara demokrasi. Adapun hubungan yang paling
nyata yakni pada adanya lembaga pemilihan umum yang diseleng-
garakan secara periodik.

Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme,


yang dalam hal ini tergolong Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomr I/MPR/2003 yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada Pasal tersebut dinyatakan tetap berlaku. Baca dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat, hlm. 8-9, 37-46.
7
Baca dalam I Made Sucipta, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid II, Edisi Revisi,
Singaraja: Petada Pasi Grafika, (selanjutnya disebut sebagai I Made Sucipta II), hlm. 35-39.
8
Dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 158.

217
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Gambar 1. Struktur kekuasaan negara


Dari uraian tersebut di atas, nampak bahwa partai politik berada
pada struktur kemasyarakatan dan pemilihan umum merupakan
jembatan antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik.

B. Partai Politik
1) Definisi Partai Politik
Partai politik pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang
terorganisir, dimana para anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai
dan cita-cita yang sama, dengan tujuan untuk memperoleh ke-
kuasaan politik dengan merebut jabatan-jabatan politik secara
konstitusional lewat pemilihan umum9.
Menurut Carl J. Friederich10, partai politik adalah sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Kemudian menurut R.H. Soltau11, yang dimaksud dengan partai
politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak ter-
organisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang
“dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih” bertujuan
9
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160.
10
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160-161.
11
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 161.

218
Hukum Tata Negara

untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan


umum mereka.
Sedangkan, Sigmund Newmann12 memberikan definisi partai
politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha
untuk menguasai kekuaaan pemerintahan serta merebut dukungan
rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-
golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Menurut I Dewa Gede Atmadja13, partai politik adalah organisasi
yang dibentuk secara sukarela oleh sekelompok warga negara
berdasarkan persamaan ideologi, cita-cita atau persamaan orientasi
pada program.
Ditinjau dari perspektif peraturan perundang-undangan, Bab
I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 199914 menyebutkan “Dalam undang-
undang ini, yang dimaksud dengan Partai adalah setiap organisasi yang
dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar
persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya
maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum”.
Sedangkan dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 200215 berbunyi”Partai
Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa,
dan negara melalui pemilihan umum”.
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka (1) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 200816 sebagaimana
12
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 161-162.
13
Baca lebih lanjut dalam I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara, Dimensi Historis
Ketatanegaraan, Malang : Setara Press, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede Atmadja
I), hlm. 118-119.
14
Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3809.
15
Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4251.
16
Baca Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4801.

219
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

diubah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun


201117 disebutkan bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara,
serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
2) Perbedaan Parpol dengan Gerakan dan Kelompok Kepen-
tingan atau Kelompok Penekan
Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin
mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik.
Terkadang bahkan ingin menciptakan suatu tatanan masyarakat
yang baru sama sekali dengan memakai cara-cara politik. Dibandingkan
partai politik, gerakan memiliki tujuan yang lebih terbatas dan bersifat
fundamental, dan kadang-kadang bersifat ideologis. Gerakan dalam
memperjuangkan tujuannya biasanya tidak melalui pemilihan umum18.
Kelompok Penekan sebenarnya adalah sama dengan Kelompok
Kepentingan, perbedaannya terletak dalam cara memperjuangkan
kepentingannya lebih keras/gencar dengan melancarkan tekanan
kepada pemerintah agar mendapat keputusan yang menguntung-
kan atau menghindarkan keputusan yang merugikan kepentingan
kelompoknya19.

17
Hal-hal perubahan mencakup Pasal 1 Angka (7), ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat
(1b) serta pada ayat (4) ditambahkan 4 (empat) huruf yakni huruf g, huruf h, huruf i, dan
huruf m, ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e diubah,
ketentuan Pasal 4 Ayat (1) diubah, ketentuan Pasal 5 diubah, ketentuan Pasal 16 Ayat (2)
diubah, Diantara Pasal 19 ayat (3) dan ayat (4) Pasal 19 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(3a), ketentuan Pasal 23 Ayat (2) diubah, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d
serta ayat (2) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(1a), ketentuan Pasal 32 diubah, ketentuan Pasal 33 Ayat (1) diubah, diantara Pasal 34 ayat
(3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b) serta ayat (4)
diubah, di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A, ketentuan
Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah, ketentuan Pasal 39 diubah, ketentuan Pasal 45 diubah,
ketentuan Pasal 47 Ayat (1) diubah, Ketentuan Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4)
diubah, ayat (3) dihapus, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat
(1a), ayat (1b), dan ayat (1c). Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5189.
18
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 158-159.
19
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 159-160.

220
Hukum Tata Negara

Perbedaan Kelompok Kepentingan dengan Partai Politik adalah


dalam melancarkan pengaruhnya, kelompok kepentingan tidak ber-
usaha merebut jabatan-jabatan politik bagi anggotanya, melainkan
cukup hanya mempengaruhi beberapa partai politik, pejabat peme-
rintah, menteri-menteri agar kepentingannya mendapat perhatian20.
3) Fungsi Partai Politik
Adapun 4 (empat) fungsi utama partai politik dalam negara
yakni sebagai berikut21:
1) Partai sebagai sarana komunikasi politik dimana partai politik
bertugas sebagai alat komunikasi dua arah, yakni menyalurkan
aspirasi anggotanya kepada pemerintah dan sebaliknya meng-
informasikan segala kebijaksanaan yang telah diambil pemerintah
kepada para anggotanya. Proses penyaluran aspirasi melalui
langkah penggabungan aspirasi (interest aggregation), kemudian
diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur (interest
articulation). Hasil perumusan kepentingan ini kemudian di-
sampaikan kepada pemerintah.
2) Partai Politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik (Instru-
ment of political socialization). Sosialisasi politik merupakan suatu
proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi
mengenai suatu fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam
masyarakat dimana ia berada. Proses ini berjalan secara ber-
angsur-angsur dari masa anak-anak sampai dewasa, melalui
mana orang-orang mentransfer norma-norma dan nilai-nilai dari
generasi ke generasi berikutnya. Partai politik inilah sebagai
salah satu sarana.
3) Partai Politik sebagai sarana recruitment politik. Partai politik ber-
fungsi mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk aktif
dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Caranya yakni me-
lalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain. Melalui proses seleksi
akan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa di kemudian hari.
4) Partai Politik sebagai sarana manajemen konflik. Dalam suatu
negara demokrasi, perbedaan pendapat adalah wajar terjadi. Jika

20
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160.
21
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 163.

221
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

sampai terjadi konflik dalam masyarakat, partai politik ber-


kewajiban menengahi atau menyelesaikan konflik.
Mengenai perlunya partai politik di dalam negara, ada dua
kelompok pendapat. Ada yang menyatakan sangat perlu dan ada
yang mengatakan tidak perlu.22
Woodrow Wilson (mantan Presiden AS), A.D. Lindsay, R.M.
Mac Iver, Joseph Schumpeter dan Maurice Duverger menilai eksis-
tensi atau keberadaan Partai Politik secara teoritis sangat diperlukan.
Mereka mengemukakan alasan sebagai berikut:23
(1) Partai politik membuka seluas-luasnya bagi rakyat untuk ber-
partisipasi dalam kegiatan politik dan pemerintahan.
(2) Paratai Politik dapat mewujudkan pemerintahan yang bertang-
gung jawab (Responsible government).
(3) Partai Politik dapat memperjuangkan kepentingan umum.
(4) Partai Politik dapat mencegah kesewenang-wenangan perilaku
atau tindakan pemerintah.
Sedangkan M. Ostrogorsky, James Bryce, Robert Crowley, dan
Puffet, tidak setuju pada eksistensi partai politik dengan alasan
sebagai berikut:24
1) Kata “partai” berarti sebagian (part), sehingga adanya partai
politik cenderung menjurus ke arah separatisme, artinya daerah
pemilihan masyarakat (electorate) dipisah-pisahkan, dan loyalitas
rakyat terhadap negara menjadi terbelah.
2) Partai Politik sebagai organisasi cenderung bersifat hirarkhis,
birokratis dan berdisiplin sempit.
3) Partai politik dalam merealisasi ideologi politiknya memerlukan
dana yang biasanya diperoleh dari donatur (investor) sebagai
imbalannya partai memberikan komitmen-komitmen (janji-janji)
tetentu, sehingga sering menimbulkan manipulasi dan korupsi.
22
I Dewa Gede Atmadja, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat), Denpasar:
Fakultas Hukum Universitas Udayana, (selanjutnya disebut sebagai I Dewa Gede Atmadja
II), hlm. 77.
23
Lihat lebih lanjut dalam A.S.S. Tambunan, 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses
Pembentukannya; Bandung: Binacipta, hlm. 4.
24
I Dewa Gede Atmadja, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam Lintasan
Perundang-Undangan, Denpasar: Penerbit Setia Kawan, (selanjutnya disebut sebagai I
Dewa Gede Atmadja III), hlm. 24.

222
Hukum Tata Negara

4) Partai politik dalam mengurus dan mengendalikan partainya


memerlukan tenaga dan pegawai-pegawai tetap (full timer).
Apabila partainya menang dalam pemilihan umum, maka tenaga
tetap itu biasanya melakukan transaksi politik (politic transaction).
Akan tetapi, dalam negara modern, partai poliik dipandang
sebagai salah satu pilar demokrasi dalam rangka pemilihan umum,
maka eksistensi partai politik dipandang suatu keniscayaan.
4. Klasifikasi Sistem Kepartaian
Pengelompokan partai politik ada bermacam-macam kriteria.
Ada 3 (tiga) macam kriteria untuk mengadakan klasifikasi, yakni
sebagai berikut25:
1) Klasifikasi menurut jumlah dan fungsi anggotanya; terdapat
partai massa dan partai kader.
- Partai Massa yakni partai yang selalu mendasarkan kekuatan-
nya pada jumlah anggotanya. Hubungan antara anggota
sangat longgar, disiplin dan kualitas anggota partai tidak
atau kurang mendapat perhatian dan pembinaan.
- Partai Kader yakni partai yang mementingkan kualitas,
loyalitas dan disiplin anggotanya. Karena itu, untuk menjadi
anggota partai perlu seleksi yang ketat, dan adanya sanksi
yang tegas terhadap anggotanya dari pimpinan partai yang
menyimpang dari garis kebijakan partai serta disiplin partai
sangat tegas dan konsekuen, dimana jumlah anggota tidak
dijadikan target partai.
2) Klasifikasi berdasarkan sifat dan orientasi partai; dimana partai
dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam sebagai berikut:26
- Partai Lindungan (Patronage Party).
Umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor. Maksud
utama adalah memenangkan pemilihan umum dengan men-
cari dukungan dan kesetiaan anggotanya terutama men-
jelang pemilihan umum.

25
Lihat dalam Miriam Budiardjo, op.cit. hlm. 166-170.
26
Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 144-145.

223
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

- Partai asas/Ideologi.
Biasanya mempunyai pandangan hidup (ideologi) yang
digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada
doktrin dan disiplin partai yang kuat dan mengikat. Dengan
demikian, hubungan antar anggota sangat kuat/erat dan
ideologinya sangat kuat.
- Partai program.
Merupakan partai yang berorientasi pada program-program
yang konkret untuk diperjuangkan menjadi program nasional.
Diakui bahwa klasifikasi atas dasar 1) dan 2) di atas tidak me-
muaskan karena bisa saja satu partai politik sekaligus merupa-
kan partai kader dan partai massa, dan orientasi merupakan
partai kader selakigus partai program.
3) Klasifikasi atas dasar Jumlah Partai yang berpengaruh dalam
Badan Perwakilan, bahwa menurut Maurice Duverger, terdiri
atas tiga (3) sistem, yakni sebagai berikut:27
- Sistem satu partai atau Partai Tunggal/Mono Partai.
Dalam sistem ini, konsentrasi kekuasaan ada pada satu partai
yang berkuasa secara dominan. Bilamana ada partai politik
lain, sifatnya non kompetitif (tidak boleh bersaing secara bebas).
Sistem ini biasanya dianut oleh negara-negara komunis.
- Sistem dua Partai/Dwi Partai.
Sistem ini diartikan sebagai adanya dua partai atau lebih, tetapi
dengan peranan dominan dari dua partai. Contohnya Inggris
dan Amerika Serikat. Di Inggris ada 3 partai yakni Partai
Buruh, Partai Konservatif dan Partai Liberal. Namun yang
dominan adalah partai Buruh dan Konservatif. Sistem dwi
partai akan lebih menjamin stabilitas pemerintahan, karena
fungsi partai dalam Badan Perwakilan adalah sangat jelas.
Partai yang menang dalam pemilihan Umum akan men-
duduki pemerintahan, dan partai yang kalah akan menjadi
oposisi yang loyal. Menurut Miriam Budiardjo, sistem dwi
partai akan berjalan dengan baik bila didukung oleh adanya

27
Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 145-147.

224
Hukum Tata Negara

Komposisi Masyarakat yang homogen (social homogeneity),


Konsensus dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan
sosial yang pokok adalah kuat, dan adanya kontinuitas
sejarah. Di samping itu, sistem dwi partai pada umumnya
diperkuat dengan sistem pemilihan distrik (single member con-
stituency) karena cenderung menghambat tumbuh dan
berkembangnya partai kecil.
- Sistem Multi Partai.
Dalam sistem multi partai, ada lebih dari dua partai politik
yang berpengaruh di badan perwakilan rakyat. Sistem ini
tumbuh dalam masyarakat yang komposisinya heterogen.
Perbedaan ras, suku, agama sangat kuat sehingga kelompok-
kelompok dalam masyarakat cenderung mengikatkan diri
pada ikatan-ikatan terbatas (primordial), dan menyalurkan
aspirasinya lewat ikatan-ikatan terbatas tersebut. Contohnya
di Indonesia. Sistem multi partai apabila digandengkan
dengan sistem pemerintahan parlementer akan cenderung
menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan karena eksekutif
merupakan pemerintahan koalisi (gabungan lebih dari satu
partai) untuk memperoleh dukungan mayoritas di parlemen.
Pemerintah koalisi ini mudah pecah bila ada sedikit saja per-
bedaan pendapat antara partai yang berkoalisi. Di samping
itu, tugas partai dalam parlemen menjadi tidak jelas karena
suatu saat ia menjadi partai pemerintah dan saat koalisi pecah
ia berubah menjadi partai oposisi. Contoh nyata dapat dilihat
dari pengalaman Indonesia dari Tahun 1950-1959, di bawah
Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950, dalam jangka
waktu 9 (sembilan) tahun ada tujuh kali pergantian kabinet,
yang membuktikan eksekutif menjadi labil28. Sistem multi
partai akan terus berkembang bila didukung oleh sistem
pemilihan proporsional, karena memberi kemungkinan
kepada partai kecil terus hidup, walaupun hanya memperoleh
sedikit sekali kursi di dalam parlemen.

28
Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
hlm. 65-70.

225
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

5. Sejarah Pengaturan Kepartaian di Indonesia


Adapun sejarah pengaturan partai politik di Indonesia dapat
dikelompokkan dalam penjabaran berikut ini29:
a) Masa Penjajahan30
Partai politik dibentuk berdasarkan adanya gerakan ethische
politiek dengan memberikan kesempatan di wilayah jajahan
membentuk dewan perwakilan rakyat (Volksraad) Tahun 1939. Partai
politik dibentuk dan melakukan perjuangan lewat Volksraad adalah
sebagai berikut:
- Indonesiche Nationale Groep dipimpin Moh. Yamin.
- Fraksi National di bawah Husni Thamrin.
- Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera di bawah Pimpinan
Parwoto.
Di luar Volksraad pula, terdapat usaha-usaha untuk meng-
gabungkan partai politik dengan membentuk beberapa organisasi
politik sebagai berikut:
- GAPI (Gabungan Partai Politik) yang merupakan gabungan dari
partai partai politik yang beraliran nasional, tahun 1939.
- MIAI (Majelis Islam Ala’a Indonesia), yang merupakan gabungan
partai-partai yang beraliran Islam, tahun 1937.
- MRI (Majelis Rakyat Indonesia) adalah gabungan partai dari
organisasi buruh.
Massa penjajahan Jepang, partai politik dilarang, hanya golongan-
golongan Islam diberi kebebasan membentuk Partai Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Namun, secara keseluruhan pada
masa ini, ditandai dengan adanya sistem kepartaian yang menganut
pola sistem Multi Partai.

29
Baca dalam Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 135-245.
30
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 171.

226
Hukum Tata Negara

b) Masa Kemerdekaan Indonesia, yang dapat diklasifikasi


menjadi bagian berikut ini:
- Masa Maklumat Pemerintah Republik Indonesia pada 3
Nopember 194531.
Masa ini merupakan cikal-bakal Partai Politik di Indonesia
sesudah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, yang
diwarnai oleh dua pemikiran pendiri negara (founding fathers),
yakni pertama, pemikiran Bung Karno, yang mengajukan gagasan
pola “partai tunggal” (mono party system) yakni “partai pelopor”,
dengan ditetapkannya Partai Nasional Indonesia sebagai satu-
satunya partai politik yang berperan menggerakkan potensi
rakyat, memperkukuh persatuan, dan pelopor menegakkan ke-
merdekaan, serta kedua, Sutan Sjahrir (Bung Sjahrir), gagasan-
nya yakni adanya pola “banyak partai” (multiparty systems), dengan
argumentasi, bahwa partai politik yang ideal untuk meng-
gerakkan rakyat dalam relevansi demokrasi adalah partai politik
revolusioner, berideologi, rapi terorganisasi secara modern, dan
efisien. Dengan demikian, bagi Bung Sjahrir, yang dibutuhkan
Indonesia adalah “partai kader” bukan “partai massa”32.
Dari kedua pemikiran tokoh pendiri negara (founding fathers)
tersebut, gagasan Sutan Sjahrir dipandang lebih cocok bagi negara
demokrasi, sehingga pemerintah menganjurkan berdirinya
parati-partai politik, dengan Maklumat Pemerintah No.X (baca
eks) yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia,
Drs. Moh.Hatta (Bung Hatta), sehingga lebih dikenal dengan
sebutan Maklumat Wakil Presiden No. X. (3 November 1945), yakni
sebagai dasar hukum sistem multi partai bagi Negara Indonesia.
Maklumat ini merupakan pengumuman dari pemerintah yang
berisi usulan dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BP-KNIP) untuk mendirikan partai-partai politik dengan alasan
partai politik akan dapat memperkuat barisan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Adapun isi dari maklumat tersebut
adalah sebagai berikut:

31
Baca I Dewa Gede Atmadja III, op.cit., hlm. 84.
32
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 119, dan lihat lebih lanjut dalam
Rusli Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut,
Jakarta: CV. Rajawali, hlm. 43.

227
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

1) Pemerintah menyukai pembentukan partai-partai politik;


2) Pemerintah berharap partai-partai itu terbentuk sebelum
pemilihan Badan Perwakilan Rakyat.
Himbuan ini memunculkan 10 partai politik, yakni Masyumi,
Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indo-
nesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, Partai
Sosialis Indonesia, Partai Katolik Republik Indonesia, Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia33.
Dengan demikian, lahirlah pola sistem kepartaian di Indonesia
yang multipartai.
- Masa Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum.
Menurut penelitian Herbert Feith, terjadinya perkembangan
atas sistem kepartaian di Indonesia yang multi partai sebagai-
mana yang digagas oleh Bung Sjahrir pada masa ini diwarnai
oleh lima aliran, yakni sebagai berikut34:
1) Tradisi Jawa, diantaranya diwakili Partai Indonesia Raya (PIR-
Wongsonegoro).
2) Islam, diwakili Partai Majelis Syuro Indonesia (Masyumi) dan
Partai Nahdhatul Ulama (NU).
3) Nasionalisme radikal, diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI)
dan Partai Rakyat Nasional (PRN).
4) Komunis, diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (melakukan
pemberontakan Madiun pada 18 September 1948 dan 30 Sep-
tember 1965 yang lazim dikenal sebagai Gerakan 30 Septem-
ber/Partai Komunis Indonesia atau G 30 S/PKI).
5) Sosial demokrat, yang diwakili oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Pada masa ini pula, muncul Undang-undang Republik Indo-
nesia Nomor 7 Tahun 195335 yang berkaitan dengan pelaksanaan
33
Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
hlm. 35-37.
34
Baca dalam Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.
Gramedia, hlm. 8-10.
35
Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953
tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante,
diundangkan pada 7 April 1953, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 1953 Nomor 29.

228
Hukum Tata Negara

Pemilihan Umum Tahun 1955. Pada undang-undang tersebut,


diadakan Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat pada 29 September 1955 serta memilih Anggota
Konstituante pada 18 Desember 1955. Jumlah Partai Politik yang
mengikuti Pemilihan Umum tersebut adalah 24 partai politik
untuk merebut 272 kursi. Pada akhir Pemilihan Umum, per-
olehan suara terbesar diraih oleh empat besar, yakni Partai
Nasional Indonesia dengan 57 kursi, Masyumi dengan 57 kursi,
Nahdatul Ulama dengan 47 kursi, serta Partai Komunis Indo-
nesia dengan 32 kursi, dan sisa kursi sebesar 75 kursi diperebut-
kan partai-partai kecil lainnya, dan kemudian dilantik pada 1
Maret 1956 untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta pada
10 November 1956 untuk anggota Dewan Konstituante yang
bekerja hingga pada munculnya Dekrit Presiden Republik In-
donesia pada 5 Juli 1959.
- Masa Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959
Dari sejarah ketatanegaraan Indonesia, terjadinya kegagalan
Badan Konstituante menetapkan Undang-undang Dasar baru
memicu keluarnya Dekrit Presiden Republik Indonesia pada 5
Juli 195936, dan terjadi perubahan ketatanegaraan dari Undang-
undang Dasar Sementara 1950 dengan memberlakukan Undang-
undang Dasar Tahun 1945, yang dikenal dengan sistem
Demokrasi Terpimpin. Selang beberapa minggu, Presiden Jang
Mulia (PJM) Dr. (H.C.) Ir. Soekarno mengeluarkan Penetapan
Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 195937 yang intinya men-
cakup perihal berikut ini:
- Partai politik harus menerima asas Negara Kesatuan Republik
Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945.
- Dalam Anggaran Dasar Partai harus dicantumkan dengan
tegas partai politik menerima dan mempertahankan Pancasila.
- Partai Politik harus menegaskan bahwa program kerjanya
adalah Manifesto Politik Pidato Presiden 17 Agustus 1959
sebagai penjelasan dari dikeluarkannya Dekrit Presiden.38
36
Baca dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959 tentang
Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan pada 5 Juli 1959, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150.
37
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat
Penyederhanaan Kepartaian. Baca lebih lanjut dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 175-177.
38
Lihat dalam Lampiran pada I Dewa Gede Atmadja III, op.cit., hlm. 64-120.
229
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Kemudian di masa ini39, Pemerintah Republik Indonesia


mengundangkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indo-
nesia Nomor 13 Tahun 196040, yang kemudian diperkuat dengan
Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440
Tahun 196141. Dalam kedua peraturan tersebut, diakui 10 (sepuluh)
partai politik yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat-
Gotong Royong (DPR-GR) yakni Partai Nasional Indonesia
(PNI), Nahdhatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI),
Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik Republik
Indonesia (PKRI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai
Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah
Rakyat Banyak (Murba), Partai Indonesia (Partindo), serta
Golongan Karya, yang merupakan wakil golongan fungsional
yakni tani, buruh, Angkata Bersenjata Republik Indonesia, Alim
Ulama, Wanita, Cendekiawan, Koperasi, Pengusaha nasional,
Veteran, Wartawan, serta Angkatan 1945.
Sedangkan partai-partai yang dibubarkan pada masa ini di-
antaranya Partai Masyumi dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 200 Tahun 196042 serta Partai Sosialis Indone-
sia (PSI) dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
201 Tahun 196043. Di samping itu, terdapat beberapa partai politik
lainnya yang ditolak dengan Keputusan Presiden Republik In-
donesia Nomor 129 Tahun 196144 tgl 14 April 1961 diantaranya
Partai Syarikat Islam Indonesia Abikusno Tjokrosuyoso, Partai
Rakyat Nasional Bebas Lalung Dalo, Partai Rakyat Indonesia,
dan Partai Rakyat Nasionalis Djodi Gondokoesoemo.
Hal tersebut masih terjadi hingga terjadi konstelasi per-
politikan nasional pada Tahun 1965 dengan terjadinya Pem-
39
Baca lebih lanjut dalam Jimly Asshidiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 408-412.
40
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai.
41
Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun 1961 tentang
Pengakuan Partai-partai Politik.
42
Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960, diundangkan
pada 17 Agustus 1960. Baca dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 180-181.
43
Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960, diundangkan
pada 17 Agustus 1960. Baca dalam Mahfud MD., op.cit., hlm. 181.
44
Baca Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961, diundangkan
pada 14 April 1961. Baca dalam Jimly Asshidiqie, op.cit., hlm. 410-411.

230
Hukum Tata Negara

berontakan Gerakan 30 September 1965, dan kemudian muncul-


nya Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966 hingga pada
runtuhnya masa Orde Lama di Indonesia, dengan kebangkitan
masa Orde Baru di Indonesia.
- Masa Pemilihan Umum Tahun 1971
Dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966,
Letjen. (TNI) Soeharto sebagai pelaksana presidium kabinet
mengeluarkan Keputusan Tanggal 12 Maret 1966 yakni dengan
membubarkan Partai Komunis Indonesia beserta ormas-
ormasnya, yang kemudian, pembubaran ini diperkuat dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor
XXV/MPRS/196645 tentang Pembubaran Partai Komunis Indo-
nesia dan Ormas-Ormasnya, serta larangan penyebarluasan
ajaran Marxisme–Leninisme, sehingga muncul semboyan di
masa Orde Baru yakni”melaksanakan Undang-undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen”.
Kemudian, dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-
undangan khususnya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 196946 serta Undang-undang Republik Indo-
nesia Nomor 16 Tahun 196947, dan diadakanlah Pemilihan Umum
pada tanggal 3 Juli 1971 yang diikuti oleh sepuluh (10) Partai
Politik, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Syarikat Is-
lam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai
Katolik Republik Indonesia (PKRI), Partai Islam Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Musyawarah Rakyat Banyak
(Murba), Ikatan Pendukung Indonesia (IPKI), serta Golongan
Karya (Golkar).
Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum
Tahun 1971 kemudian melakukan fusi/penggabungan dalam
fraksi-fraksi, yakni adanya Fraksi Persatuan Pembangunan yang
terdiri atas Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai
45
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, Loc.cit.
46
Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan
Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
47
Simak Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.

231
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam Persatuan Tarbiyah


Islamiyah; Fraksi Demokrasi Indonesia yang terdiri Partai
Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik
Republik Indonesia, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia; serta Fraksi Karya
Pembangunan yakni Golongan Karya, dan adanya dua Fraksi
Fungsional yang melalui pengangkatan yaitu Fraksi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, dan Fraksi Utusan Daerah48.
- Masa Undang-undang Partai Politik dan Golongan Karya
pada Tahun 1975-1998.
Fusi ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-
undang Nomor 3 Tahun 197549, yang menyederhanakan jumlah
partai (organisasi sosial politik) menjadi tiga, yakni Partai Demo-
krasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan dan Golongan
Karya. Ketiga Organisasi Sosial Politik ini selain harus menerima
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai asas, juga
masih diakui asas ciri partai politik yakni Partai Persatuan
Pembangunan berasaskan Islam, Partai Demokrasi Indonesia
berasaskan Nasionalisme serta Keadilan Sosial, dan Golongan
Karya yang berasaskan Kerakyatan untuk kesejahteraan
bangsa dan keadilan sosial. Namun, asas ciri ini dihapus
dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1985 50, serta dengan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 198551, yang hanya mengenal asas Pancasila
sebagai satu-satunya asas partai politik dan organisasi ke-
masyarakatan, dan partai diarahkan menjadi partai program,
sehingga dengan kondisi demikian, telah berhasil diadakan
pemilihan umum legislatif setiap lima tahun sekali secara
periodik, yaitu tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982 52, tahun
48
Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka,
1965-1974, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 65-73.
49
Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
50
Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
51
Baca Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
52
Terjadi perubahan pengaturan diantaranya dengan Undang-Undang No.2 Tahun
1980 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan
Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975.

232
Hukum Tata Negara

1987 53, tahun 1992, dan terakhir pada tahun 1997 54 dengan
hasil pemilihan umum yang senantiasa didominasi oleh
Golongan Karya, hingga pada masa Orde Baru runtuh pada
pertengahan Mei 1998.
- Masa Reformasi pada Tahun 1998 sampai saat ini
Diawali oleh krisis moneter, Indonesia dilanda krisis keper-
cayaan (moral) terhadap pemerintahan dalam arti luas ber-
samaan dengan isu penegakan hak asasi manusia dan penegakan
hukum. Khusus terhadap kehidupan partai politik, dikeluarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 199955
tentang Partai Politik, Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 199956 dan Undang-undang Republik Indone-
sia Nomor 4 Tahun 199957.
Perlu dicatat, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1999 tersebut menjadi kunci utama untuk membuka kembali
kebebasan membentuk Partai politik dan boleh mencantumkan asas
ciri masing-masing partai, sehingga akhirnya muncul sistem banyak
partai, dan pada Pemilihan Umum Tahun 1999 terdapat 48 Partai
peserta Pemilihan Umum, demikian juga berdasarkan Undang-
53
Diantaranya diatur dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1980, Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomer 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1980, serta Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
54
Diatur dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1985
55
Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3809.
56
Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999
Tentang Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3810.
57
Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811.

233
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

undang Nomor 31 Tahun 2002 58, berkurang secara signifikan


sebanyak 24 partai, dari 80 partai politik yang mendaftar, karena
ditentukan syarat-syarat partai politik yang dapat menjadi peserta
pemilihan umum yang ikut serta dalam Pemilihan Umum Legislatif
Tahun 2004.59
Kondisi tersebut masih berlangsung dengan adanya rezim
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, dan
menghasilkan peserta Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 men-
jadi 36 partai politik dan 6 partai lokal di Nangroe Aceh Darussalam60.
Menjelang Pemilihan Umum Tahun 2014, terjadi perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011, sehingga
menghasilkan peserta Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 menjadi
hanya 12 partai politik dan 4 partai lokal di Nangroe Aceh Darussalam.
Perlu dicatat, bahwa kondisi sistem multi partai di masa Reformasi
tersebut muncul karena masyarakat Indonesia sangat heterogen,
mereka cenderung melakukan ikatan-ikatan terbatas/primordial, baik
berdasarkan kelompok/golongan, agama, ras maupun kedaerahan.

C. Pemilihan Umum
1) Masalah Perwakilan
Demokrasi menurut J.J. Rousseau dalam bukunya “Du Contract
Social” adalah suatu demokrasi langsung di mana pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan kehendak umum (volonte generale) atau
sebagian besar dari warga negara. Dalam praktik, ajaran Rousseau
ini sulit diterapkan karena luasnya wilayah negara, banyaknya
penduduk dengan kepentingan yang beragam, sangat menyulitkan
untuk penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan demokrasi
langsung tersebut, dan jalan keluarnya adalah melalui sistem per-
wakilan61. Negara Swiss mencoba menerapkan ajaran Rousseau

58
Baca lebih lanjut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang
Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4251.
59
Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Perjalanan dan
Profilnya. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003, hlm. 4-5.
60
Baca dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
61
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 96-97, 108.

234
Hukum Tata Negara

dengan sistem referendum. Pada umumnya, negara-negara di


seluruh dunia menganut sistem perwakilan.
Adapun pengertian Pemerintahan dengan sistem perwakilan
menurut Konferensi International Commission of Jurist di Bangkok 1965
adalah sebagai berikut62:
“Representative Government is a government deriving its power and au-
thority from the people, which power and authority are exercised through
representative freely chosen and responsible to them”.
Yang dialihbahasakan yakni menjadi, “Pemerintahan Perwakilan
adalah pemerintahan yang memperoleh kekuasaan dan kewenangan dari
rakyat, dimana kewenangan dan kekuasaan itu diperoleh melalui perwakilan
yang dipilih secara bebas dan bertanggung jawab kepada pemilihnya”.
Adapun syarat-syarat Pemerintahan dengan sistem perwakilan
tersebut harus mencakup perihal berikut ini63:
1) Proteksi Konstitusional.
2) Pengadilan-pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3) Pemilihan-pemilihan yang bebas.
4) Kebebasan menyatakan pendapat.
5) Kebebasan berserikat dan tugas oposisi.
6) Harus ada pendidikan civics.
Dan bila ditinjau dari rumusan dalam Pasal 35 Undang-undang
Dasar Sementara Tahun 1950, berbunyi,”Kemauan rakyat adalah dasar
kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala dan
jujur dan dilakukan berdasarkan hak pilih yang bersifat umum, kebersamaan,
serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang
juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”64
Adapun konsekuensi dari Representative Government adalah
sebagai berikut65:

62
Baca dalam Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hlm. 92-93.
63
Baca dalam Ismail Suny, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara
Baru, hlm. 19-24.
64
Baca Ismail Suny, op.cit., hlm. 21.
65
Lihat lebih lanjut dalam Sri Soemantri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar)
Hukum Tata Negara, Bandung : Alumni, hlm. 33-34.

235
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

1) Keharusan adanya lembaga perwakilan rakyat.


2) Keharusan adanya seleksi, baik melalui pemilihan umum yang
bebas dan rahasia, maupun dengan cara lain.
3) Keharusan adanya partai politik.
4) Keharusan adanya lembaga yang mempunyai tugas pelaksa-
naan dan bertanggung jawab kepada rakyat melalui badan
perwakilan rakyat.
Berikut adalah uraian mengenai hubungan antara “si wakil”
dengan “yang diwakili” dengan beberapa teori di bawah ini66.
1) Teori Mandat
Menurut teori mandat, si wakil dianggap duduk di lembaga
perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat, sehingga disebut
mandataris, seperti yang diajarkan oleh Rousseau. Teori mandat
berkembang menjadi tiga, yakni67:
a) Mandat Imperatif, dimana si wakil bertugas dan bertindak di
lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan
oleh yang diwakili, si wakil tidak boleh bertindak di luar instruksi
tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak terdapat
dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi
baru dari yang diwakilinya, sehingga ia baru dapat melaksana-
kannya. Kelamahan mandat jenis ini yakni dapat menghambat
tugas lembaga perwakilan.
b) Mandat Bebas. Ajaran ini dianut oleh Abbe Sieyes (Perancis)
dan Black Stone (Inggris). Dalam hal ini, si wakil dapat bertindak
bebas tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Si
Wakil adalah orang-orang terpercaya dan terpilih serta memiliki
kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si
wakil dapat bertindak atas nama yang diwakilinya.
c) Mandat Representatif, dimana si wakil dianggap bergabung
dengan badan perwakilan (Parlemen). Rakyat memilih dan mem-
berikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga si wakil
sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya, apalagi

66
Baca dalam Abu Daud Busroh, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kelima, Jakarta : Sinar
Grafika, hlm. 147-148.
67
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 109.

236
Hukum Tata Negara

pertangungjawabannya. Lembaga perwakilan inilah yang


bertanggung jawab kepada rakyat.
2) Teori Organ
Ini dianut oleh Von Gierke dan juga Jellinek dan Paul Laband.
Menurut teori ini, negara merupakan organisme yang mempunyai
alat-alat perlengkapan dengan fungsinya masing-masing dan saling
tergantung satu dengan lainnya. Setelah rakyat memilih lembaga
perwakilan rakyat, maka rakyat tidak perlu mencampuri lembaga
tersebut, dan lembaga itu bebas berfungsi sesuai dengan wewenang
yang diberikan Undang-Undang Dasar68. Masalah hubungan wakil
dengan yang diwakili tidak perlu dipersoalkan dari segi hukum.
3) Teori Sosiologis dari Rieker
Rieker menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupa-
kan bangunan politis, tetapi merupakan bangunan sosial (masya-
rakat). Si pemilih akan memilih wakilnya yang benar-benar ahli dalam
bidang kenegaraan dan yang akan benar-benar mewakili kepen-
tingan si pemilih sehingga terbentuk lembaga perwakilan dari
kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat69. Lembaga
perwakilan akan mencerminkan lapisan-lapisan kepentingan dalam
masyarakat.
4) Teori Hukum Objektif dari Leon Duguit70.
Menurut teori ini, dasar dari pada hubungan antara rakyat
dengan parlemen adalah solidaritas. Wakil rakyat dapat melaksana-
kan tugas kenegaraannya atas nama rakyat, sedangkan rakyat tidak
dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya tanpa mendukung
wakilnya dalam menentukan kewenangan pemerintahan. Jadi,
terdapat pembagian kerja. Keinginan untuk berkelompok yang disebut
solidaritas merupakan dasar hukum objektif yang timbul. Hukum
objektif inilah yang membentuk lembaga perwakilan sebagai suatu
bangunan hukum. Akibatnya, sebagai berikut:

68
Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 149 dan I Dewa Gede Atmadja,
op.cit., hlm. 110.
69
Lihat dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 159-150 dan I Dewa Gede Atmadja,
op.cit., hlm. 110-111.
70
Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 150.

237
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

a) rakyat atau kelompok yang diwakili harus ikut serta dalam pem-
bentukan badan perwakilan dan cara terbaik adalah melalui
pemilihan umum yang menjamin adanya solidaritas sosial.
b) Kedudukan hukum antara pemilih dan yang dipilih adalah
semata-mata berdasarkan hukum objektif. Jadi, tidak ada per-
soalan hak-hak dari masing-masing. Mereka harus menjalankan
kewajibannya sesuai dengan hasrat mereka untuk berkelompok
dalam Negara atas dasar solidaritas sosial.
c) Si wakil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
menyesuaikan tindakannya dengan kehendak pemilihnya bukan
karena adanya hukum objektif yang didasarkan pada solidaritas
sosial yang mengikat, melainkan karena rasa solidaritasnya.
5) Teori Gilbert Abcarian
Gilbert Abcarian, dalam bukunya “Contemporary Political System”
(1970), melihat bahwa ada empat tipe hubungan antara “si wakil”
dengan “yang diwakili” dari segi kebebasan bertindak “si wakil”
dalam lembaga perwakilan. 4 (empat) tipe hubungan tersebut yakni:71
1. Tipe Wali, dimana “si wakil” bertindak sebagai “wali” (trustee).
Dalam hubungan ini, “si wakil” bebas bertindak atau mengambil
keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu ber-
konsultasi dengan yang diwakilinya (konstituen).
2. Tipe Utusan, dimana “si wakil” bertindak sebagai utusan (delegate).
Dalam hubungan ini, “si wakil” tidak memiliki kebebasan ber-
tindak, karena “si wakil” hanya merupakan duta, sehingga ia
harus selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakili-
nya dalam melaksanakan atau menjalankan fungsi lembaga
perwakilan. Jadi, tipe utusan atau delegasi ini identik dengan
“teori mandat”.
3. Tipe Politico, dimana “si wakil” bertindak kadang-kadang sebagai
wali (trustee) dan ada kalanya sebagai utusan (delegate).
Tindakannya tergantung dari isu (materi) yang dibahas.
4. Tipe Partisan, dimana “si wakil” bertindak sebagai “partisan”.
Dalam hubungan ini, “si wakil” tidak memiliki kebebasan ber-

71
Baca dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia; Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 85.

238
Hukum Tata Negara

tindak dalam menjalankan fungsi lembaga perwakilan, tetapi


terikat pada instruksi atau pada program partainya. Dengan
demikian, setelah “si wakil” dipilih oleh pemilih atau konstituen-
nya (“yang diwakilinya”), maka lepaslah hubungannya dengan
pemilihnya tersebut, dan mulailah hubungannya dengan partai
(organisai) yang mencalonkanya dalam pemilihan umum.
Tampaknya di Indonesia “tipe partisan” inilah yang dianut
dalam hubungan antara “si wakil” dengan “yang diwakili”,
sehingga lembaga perwakilan yakni DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) diidentikkan dengan “Lembaga Perwakilan Partai” .
6) Teori Prof. Dr. A. Hoogerwerf
Hoogewerf, dalam bukunya “Politikologi” (terjemahan), menge-
mukakan “hubungan antara “si wakil” dengan “yang diwakili”
dipandang atas dasar apa dan mewakili siapa “si wakil” tersebut
bertindak dalam lembaga perwakilan. Atas dasar itu, Hoogewerf
mengemukakan 5 (lima) model hubungan antara “si wakil” dan
“yang diwakili”, yakni sebagai berikut:72
a. Si wakil bertindak sebagai atas nama yang diwakilinya, disebut
“model delegate”. Dalam model ini, “si wakil bertindak atas “perintah
seorang kuasa usaha” yang harus menjalankan perintah dari
“yang diwakili”.
b. Si wakil bertindak sebagai “orang yang diberi kuasa”, yang disebut
“model trustee”. Dalam model ini, “si wakil” bertindak sebagai
orang yang memperoleh kuasa penuh dari yag diwakilinya, se-
hingga ia dapat bertindak atau mengambil keputusan berdasar-
kan pendirian atau pendapatnya sendiri.
c. “Model politicos”. Dalam model ini, “si wakil” bertindak, kadang-
kadang sebagai delegasi, menyuarakan instruksi “yang diwakili”,
dan kadang-kadang bertindak sebagai kuasa penuh. Hal ini ter-
gantung dari isu yang dibicarakan dalam lembaga perwakilan,
yakni apabila isunya menyangkut “kebutuhan primer”, seperti
sandang, pangan dan papan, “si wakil” bertindak sebagai delegasi,
sedangkan di luar itu “si wakil” bertindak sebagai kuasa penuh.
d. “Model kesatuan”, dimana dalam model ini, “si wakil” dipandang
sebagai anggota parlemen secara utuh atau merupakan satu
72
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 112-114.

239
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

kesatuan wakil-wakil rakyat. Jadi, bertindak atas nama lembaga


perwakilan atau Parlemen.
e. Model diversifikasi, dimana dalam model ini “si Wakil” dipandang
sebagai wakil kelompok teritorial, sosial, tertentu atau wakil
partai politik.
Demikian pendapat-pendapat teoritisi mengenai hubungan
antara wakil dengan yang diwakili. Materi ini relevan dengan masalah
apakah perlu hak recall atau tidak bagi fraksi/parpol di Dewan Per-
wakilan Rakyat.73 Demikian juga, analisis terhadap fakta bahwa
seorang wakil rakyat sering dipaksa menandatangani kontrak
politik oleh sekolompok massa, seperti fenomena menjelang
pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah hasil Pemilihan Umum tahun 2004.
Perlu dicatat, dari model diversifikasi Hoogewerf tersebut, dapat
dikatakan bahwa “karakter” atau sifat khas dari lembaga perwakilan74
mencakup: Pertama, perwakilan Politik (political representation). Di sini,
“si wakil” direkrut atau dicalonkan oleh paratai politik melalui
pemilihan umum. Kelemahan dari “perwakilan poliik” ini biasanya
yang terpilih hanyalah mereka yang memiliki “popularitas” politik-
nya, bukan karena keahlian atau penguasaannya di bidang teknis
pemerintahan. Dengan demikian, si wakil sulit untuk terpilih melalui
“perwakilan politik”. Mengatasi kelemahan ini, muncul sifat
perwakilan yang kedua, yakni perwakilan fungsional (functional atau
occupational representation). Dalam perwakilan fungsional, “si wakil”
direkrut biasanya melalui pengangkatan berdasarkan pada fungsi/
jabatan atau keahlian dalam masyarakat. Ketiga, perwakilan daerah
yang biasanya dalam negara federal atau negara kesatauan yang
wilayah atau teitorialnya luas, seperti Indonesia. “Si wakil” terpilih
dalam pemilihan umum mewakili daerahnya. Contohnya pada DPD
(Dewan Perwakilan Daerah), maupun di Amerika Serikat dengan
adanya Senat, mewakili “Negara-Negara Bagian”.
Kemudian, macam-macam lembaga perwakilan pada umumnya
ada dua (2), yaitu sistem monocameral dan sistem bicameral. Umumnya,
negara monarchi dan negara serikat menganut sistem bicameral se-
73
Baca Abu Daud Busroh, op.cit., hlm. 147-168.
74
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 113-114.

240
Hukum Tata Negara

dangkan negara kesatuan menganut sistem monocameral. Di Indo-


nesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum
Tahun 2004, Tahun 2009 serta Tahun 2014 menganut sistem yang
cenderung bicameral, yang ditunjukkan dari adanya Dewan Per-
wakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat75.
Adapun mengenai fungsi Lembaga perwakilan, menurut
Miriam Budiardjo76, terdapat dua fungsi yakni:
- Menentukan policy atau kebijaksanaan, misalnya dengan
membuat Undang-undang, hak Amandemen, hak inisiatif, hak
budget dan meratifikasi traktat.
- Mengontrol atau mengawasi badan eksekutif, dengan hak inter-
pelasi, hak bertanya, hak angket, hak bertanya, hak amandemen.
Sedangkan menurut Abu Daud Busroh, terdapat tiga fungsi
yakni mencakup fungsi legislasi, fungsi pengawasan, serta fungsi
sebagai sarana pendidikan politik.
Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih77, menyebutkan
pada umumnya lembaga perwakilan memiliki 3 (tiga) fungsi, yakni:
1) Fungsi perundang-undangan, dalam arti membentuk:
- Undang-Undang Pemilihan Umum, Undang-Undang Pajak
dan sebagainya.
- Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
- Ratifikasi terhadap perjajian-perjanjian internsional.
2) Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan adalah fungsi yang dijalankan oleh Parlemen
untuk mengawasi eksekutif, agar berfungsi menurut undang-
undang yang dibentuk oleh Parlemen. Dalam konteks melaksa-
nakan fungsi pengawasan ini, Parlemen diberi beberapa hak,
antara lain hak bertanya, hak interpelasi (meminta keterangan),
75
Walaupun istilah tersebut tidak tepat, dimana terdapat istilah “trikameralisme”, “sistem
monokameral bercirikan bikameral” dalam ketatanegaraan Indonesia. Baca dalam Jimly
Asshidiqie, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-lembaga Negara, Cetakan
Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 112-114 dan Ni’matul Huda, 2008, UUD 1945 & Gagasan
Amandemen Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 145-150.
76
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 151-152.
77
Lihat dalam Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara,
Jakarta: Gaya Media Pertama, hlm. 258-263.

241
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

hak angket (mengadakan penyelidikan), hak mengajukan mosi


tdak percaya (dalam sistem pemerintahan parlementer), dan
“impeachment” dalam sistem pemerintahan presidensial, seperti
Amerika Serikat dan Indonesia, maupun hak amendemen yakni
hak melakukan perubahan atas Undang-undang.
3) Sarana pendidikan politik
Fungsi pendidikan politik yaitu melalui pembhasan kebijakan
Pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat, dan dimuat, ditulis
oleh media massa. Rakyat mengikuti persoalan yang me-
nyangkut kepentingan umum dan menilai menurut kemampuan
masing-masing dan secara tidak langsung mereka dididik ke arah
warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya78. Fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai satu lembaga perwakilan
rakyat, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945, mencakup fungsi legislasi (membentuk dan
membahas Rancangan Undang-Undang bersama Presiden),
fungsi pengawasan (melakukan pengawsan terhadap tindakan
dan kebijakan pemerintah); dan fungsi anggaran berkaitan
dengan hak budget, Dewan Perwakilan Rakyat berhak menolak
atau menerima atau menolak rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan
Presiden/Pemerintah.
2) Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan umum merupakan satu cara untuk menentukan wakil-
wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sistem
pemilihan ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang terhadap
individu atau masyarakat dalam negara. Apakah mereka dipandang
sebagai individu yang bebas untuk memilih wakilnya atau dipilih
sebagai wakil rakyat atau mereka dipandang sebagai satu kesatuan
kelompok sehingga tidak dapat menentukan pilihan atau men-
calonkan diri untuk dipilih. Atas kriteria ini, maka dikenal dua sistem
pemilihan yakni sebagai berikut79:

78
Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 261-262.
79
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Pertama, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 415-417.

242
Hukum Tata Negara

1) Sistem pemilihan Mekanis, yang memandang rakyat sebagai


massa individu-individu yang sama sebagai satu kesatuan
otonom dan negara/masyarakat dipandang sebagai kompleks
hubungan-hubungan antar individu. Setiap individu memiliki
hak dipilih dan memilih aktif yang mengeluarkan satu suara
dalam setiap pemilihan. Sifat perwakilan yang dihasilkan adalah
perwakilan politik.
2) Sistem pemilihan Organis, yang menempatkan masyarakat
sebagai satu kesatuan individu-individu yang hidup bersama
dalam berbagai macam kesatuan hidup berdasarkan: hubungan
genealogis, fungsi ekonomi, industri, lapisan-lapisan sosial seperti:
buruh, cendekiawan, pengusaha, dsb. Kesatuan-kesatuan hidup
inilah yang mengendalikan hak memilih dan dipilih, atau meng-
utus wakil-wakilnya yang duduk di badan perwakilan rakyat.
Prosedurnya biasanya melalui pengangkatan, sehingga sifat per-
wakilan yang dihasilkan adalah perwakilan fungsional.80 Cara
pandang ini pun berkaitan dengan soal apakah perlu atau tidak
adanya partai politik dalam negara. Menurut sistem pemilihan
mekanis, maka partai politik mutlak diperlukan dan perlu adanya
pemilihan umum.
Pada umumnya, negara demokrasi menganut sistem pemilihan
mekanis, atau kombinasi kedua sistem ini, seperti Parlemen Inggris
yang bersifat bicameral dimana House of Lord diisi dengan peng-
angkatan dan House of Common diisi lewat pemilihan umum81.
Dan bilamana melihat sistem pemilihan mekanis, maka dapat
dikaji bahwa terdapat dua macam cara yakni sebagai berikut:
1) Sistem perwakilan distrik/Majority/Single member constituency,
dilakukan dengan cara sebagai berikut82.
a. Wilayah Negara dibagi-bagi dalam daerah pemilihan yang
disebut distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan
jumlah anggota badan perwakilan rakyat. Misalnya di badan

80
Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas Indonesia dan
CV Sinar Bhakti; hlm. 332-334.
81
Baca Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 239-240.
82
Lihat lebih lanjut dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 120-121 dan Jimly
Asshidiqie II, op.cit., hlm. 417-418.

243
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

perwakilan ada 500 kursi, maka wilayah Negara akan dibagi-


bagi menjadi 500 distrik pemilihan.
b. Setiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara
mayoritas. Misalnya dalam setiap distrik, jumlah pemilih
adalah 100 orang, dan jumlah calon yang dipilih adalah 5
dengan perolehan suara masing-masing: A = 40, B = 35, C =
15, D = 7, E = 3, maka yang mewakili distrik adalah A dengan
suara mayoritas di antara para calon yang lain.
Disamping itu, terdapat beberapa dampak dalam sistem
perwakilan distrik, yakni sebagai berikut:
a. Orang yang dipilih belum tentu mewakili suara mayoritas
dari wilayah distrik itu, terutama bila calon yang dipilih lebih
dari dua orang. Oleh karena itu, bilamana dianut sistem pemi-
lihan distrik, maka lambat-laun akan mendorong lahirnya
sistem dwi partai dalam Negara, karena partai-partai kecil akan
sangat kehilangan harapan untuk mendudukkan wakilnya
di badan perwakilan rakyat.
b. Biasanya, orang yang terpilih itu pasti sangat dikenal dan
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pemilihnya,
sehingga ia akan dituntut memperjuangkan aspirasi pemilih-
nya, sehingga kemungkinan akan ada akibat bahwa si wakil
hanya memperjuangkan kepentingan daerahnya dan kurang
memperhatikan kepentingan nasional.
2) Sistem perwakilan Proporsional
Sistem perwakilan proporsional83 adalah sistem perwakilan
dimana prosentase kursi di badan perwakilan rakyat yang
dibagikan kepada partai politik berdasarkan prosentase jumlah
suara yang diperoleh oleh tiap-tiap partai politik. Negara me-
rupakan satu wilayah pemilihan. Perolehan suara partai politik
dihitung secara nasional dan dibagi berdasarkan prosentase suara.
Contohnya, jumlah suara pemilih yang sah adalah 4.000.000,
sementara jumlah kursi yang diperebutkan adalah 400 buah,
maka nilai sebuah kursi adalah 10.000 pemilih.

83
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 121-122 dan Jimly Asshidiqie II,
op.cit., hlm. 418-419.

244
Hukum Tata Negara

Dampak secara umum dari sistem pemilihan proporsional yakni


sebagai berikut:
1) Setiap suara di wilayah pemilihan tetap dihitung secara
nasional, sehingga tidak ada suara yang hilang.
2) Sistem ini disukai oleh partai-partai kecil, karena masih ada
harapan kemungkinan dapat merebut kursi di lembaga
perwakilan rakyat walaupun hanya satu kursi. Sehingga
sistem pemilihan proporsional cenderung mendorong
tumbuhnya sistem multi partai.
3) Perhitungan suaranya berbelit-belit.
4) Rakyat bukan memilih orang, melainkan partai politik.
Sementara sistem distrik rakyat memilih orang.
Sistem proposional ada berbagai macam variasi dalam pelaksa-
naannya. Contohnya di Indonesia dalam Pemilihan Umum
Tahun 2004, Tahun 2009, serta Tahun 2014, dengan penjabaran-
nya bahwa Negara merupakan satu daerah pemilihan, yang kemu-
dian dibagi-bagi dalam wilayah pemilihan dan di tiap wilayah
pemilihan disediakan beberapa kursi sesuai dengan jumlah
penduduknya84. Misalnya, daerah pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat adalah seluruh Indonesia sebanyak 400 kursi,
kemudian di tiap Provinsi disediakan X atau Y kursi berdasarkan
tingkat kepadatan penduduk, sehingga nilai sebuah kursi ber-
variasi di tiap Provinsi, sehingga jumlah kursi untuk seluruh Indo-
nesia, yang 400 kursi tersebut tetap. Misalnya, untuk Provinsi
Bali, nilai satu kursi Dewan Perwakilan Rakyat yakni 150.000
suara, sedangkan di Provinsi Papua Barat hanya 100.000 suara.
3. Sejarah Perkembangan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Untuk memahami sistem pemilihan umum di Indonesia, maka
dapat dikaji dari segi perjalanan sejarah perkembangan Pemilihan
Umum di Indonesia dalam tinjauan sejarah ketatanegaraan Indo-
nesia, dengan mempelajari lebih mendalam undang-undang
pemilihan umum yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilihan
umum. Berikut adalah uraian perjalanan sejarah perkembangan
sistem pemilihan umum dari masa ke masa.

84
Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 420.

245
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

a) Masa Awal Kemerdekaan, Demokrasi Liberal hingga Orde Lama


Pada masa ini, Pemilihan Umum pertama diadakan pada Tahun
1955 dengan dasar hukum yakni pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 195385 juncto Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 195686, dengan sumber konstitusinya
yakni pada Pasal 1 Ayat (2) dan Pasal 3587 Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950, dimana Pemilihan umum tersebut diseleng-
garakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Badan Konstituante dengan menggunakan sistem pemilihan umum
sistem Proporsional88.
Berdasarkan Pasal 35 Undang-undang Dasar Sementara Tahun
1950 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953
juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956
tersebut, maka asas Pemilihan Umum Tahun 1955 yang diseleng-
garakan 29 September 1955 untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat
dan 15 Desember 1955 untuk memilih Badan Konstituante tersebut,
yakni Umum dan berkesamaan, langsung, bebas dan rahasia.89
b. Masa Orde Baru
Pada masa ini, Pemilihan Umum yang Kedua dilaksanakan pada
Tahun 1971. Namun bila ditelusuri lebih lanjut dalam Undang-
undang Dasar yang berlaku yakni Undang-undang Dasar Tahun
1945 yang bersifat singkat90, sehingga soal pemilihan umum tidak
diatur dalamnya.

85
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
86
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang Pengubahan
Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953, Lembaran-Negara
No. 29 Tahun 1953).
87
Pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang berbunyi,“Kemauan
dari rakyat adalah sumber dari kekuasaan penguasa, kemauan ini dinyatakan dalam pemilihan
berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan
berkesamaan serta pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara yang menjamin
kebebasan mengeluarkan pendapat …“. Baca dalam Mohammad Koesnardi dan Harmaily
Ibrahim, op.cit., hlm. 342.
88
Baca dalam ketentuan Pasal 134 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1953. Baca lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
89
Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 343.
90
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat, hlm. 3-4.

246
Hukum Tata Negara

Pemilihan Umum Tahun 1971 tersebut dilaksanakan dengan


embrio hukumnya berdasarkan Ketetapan Majelis Permusya-
waratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XLII/MPRS/
196891, maka pemilihan umum dilaksanakan selambat-lambatnya
tanggal 5 Juli 1971, sehingga Presiden (Pemerintah) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada saat itu menetapkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 196992 dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 196993, yang
kemudian, melalui Pemilihan Umum 1971 diikuti oleh 10 partai
politik, dengan asas pemilihan umum adalah Langsung, Umum,
Bebas dan Rahasia, adapun asas kebersamaan tidak dicantumkan
karena adanya pengangkatan tadi, dan kemudian membentuk
susunan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari 460 orang, ada
100 orang diisi dengan pengangkatan, khususnya bagi golongan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sedangkan, komposisi
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah 460 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan 530 orang Utusan Golongan Karya
serta 130 Utusan Daerah yang melalui pengangkatan. Komposisi
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah 360 yang dipilih dan 770
orang melalui pengangkatan (perwakilan fungsional)94.
Kemudian dalam Pemilihan Umum ketiga pada Tahun 1977,
dengan infrasruktur politik terjadi penggabungan, fraksi di Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan juga fusi partai politik. Hanya ada
kemudian dua partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan
Karya, sehingga peserta pemilu hanya ketiga organisasi sosial politik
tersebut berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor

91
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum termasuk
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum
lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai
dilaksanakan. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 22.
92
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
93
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
94
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 204.

247
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

3 Tahun 197595 maupun Undang-undang Republik Indonesia Nomor


4 tahun 197596.
Demikian berlangsung sampai Pemilihan Umum Keempat pada
Tahun 198297. Setelah itu, sempat diadakan perubahan terhadap
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1975 dengan
mengeluarkan lima paket Undang-undang di bidang Politik Tahun
198598, terutama berkaitan dengan asas partai politik hanya mengenal
asas Pancasila dan asas ciri dihapuskan, dimana hal tersebut berlaku
untuk Pemilihan Umum kelima pada Tahun 1987 sampai Pemilu
keempat pada Tahun 1992 dan terakhir dalam Pemilihan Umum
ketujuh pada Tahun 199799 hingga berakhirnya masa Orde Baru,
dimana dengan asas pemilihan umum adalah langsung, umum,
bebas dan rahasia, dengan sistem perwakilan proporsional dan
sistem pengangkatan (perwakilan fungsional).
c. Masa Reformasi
Pada masa ini, Pemilihan Umum Pertama di masa ini dan
kedelapan sejak pertama kalinya, diadakan pada Tahun 1999 sebagai
kelanjutan dari perjuangan reformasi di Indonesia sejak tahun 1997.
Dan dalam rangka tuntutan reformasi kemudian disusun tiga paket
undang-undang di bidang politik100, yakni melalui Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 101, Undang-undang
95
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
96
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
97
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
No.4 Tahun 1975.
98
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, Undang-
Undang No.1 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969
Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1975 dan Undang-
Undang No.2 Tahun 1980.
99
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagai-
mana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1985.
100
Di samping adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis Per-
musyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
101
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik,
diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
248
Hukum Tata Negara

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999102 dan Undang-undang


Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999103, sesuai dengan jiwa
undang-undang ini kemudian muncul banyak partai politik dengan
asas cirinya masing-masing, dan setelah melalui proses verifikasi di
Departemen Dalam Negeri, peserta Pemilihan Umum Tahun 1999
yakni 48 partai politik, dan pasca pemilihan, menghasilkan komposisi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih adalah 462 orang
dan yang diangkat sebanyak 38 orang dari Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Sementara itu, komposisi Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat adalah 500 anggota Dewan Perwakilan
Rakyat ditambah Utusan Daerah sebanyak 135 orang serta Utusan
Golongan sebanyak 65 orang dengan total keseluruhan berjumlah
700 orang, dengan sistem pemilihannya adalah sistem perwakilan
proposional dan pengangkatan.
Kemudian melalui Amandemen Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pelaksanaan Pemilihan Umum
kesembilan yakni pada Tahun 2004 memiliki keistimewaan tersendiri,
dimana dalam pemilihan umum Tahun 2004 tersebut, terdapat peng-
aturan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tentang Pemilihan Umum dalam Bab VII B pada Pasal
22 E Ayat (1) sampai Ayat (6) sebagaimana kutipan berikut104.
BAB VII B ***)
PEMILIHAN UMUM ***)
1) Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia jujur dan adil setiap lima tahun sekali. ***)
2) Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ***)

Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3809.
102
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum,
diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3810.
103
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang Susduk
MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3811.
104
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 110-115.

249
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Per-


wakilam Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah partai politik. ***)
4) Peserta pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perseorangan. ***)
5) Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. ***)
6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang. ***)
Disamping itu, Pemilihan Umum Tahun 2004 dilaksanakan
dengan adanya empat undang-undang di bidang politik, yakni
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 105,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 106,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003107 serta
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003108, dan
dalam hal ini, maka sistem pemilihan yang dianut yakni sistem
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar
terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut
sistem Distrik berwakil banyak. Sedangkan untuk memilih presiden
dan wakil presiden menganut sistem pemilihan perorangan dimana
paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik.
Kemudian, Pemilihan Umum Tahun 2009 dilaksanakan dengan
adanya empat undang-undang di bidang politik, yakni Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Nomor 2008109, Undang-undang
105
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik,
diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4251.
106
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4277.
107
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
108
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
109
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,
diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indo-
250 nesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801.
Hukum Tata Negara

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 110, Undang-undang


Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009111 serta Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008112, dan dalam hal ini,
maka sistem pemilihan yang dianut masih sama yakni sistem pemi-
lihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar
terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut
sistem Distrik berwakil banyak. Sedangkan untuk memilih presiden
dan wakil presiden menganut sistem pemilihan perorangan dimana
paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik.
Dan terakhir yakni pada Pemilihan Umum Tahun 2014, yang
dilaksanakan dengan adanya beberapa undang-undang di bidang
politik, yakni Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Nomor
2008 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2011 113, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2011114, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014115
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik In-
donesia Nomor 42 Tahun 2014116 serta Undang-undang Republik
110
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721.
111
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
112
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
113
Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4801 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, diundangkan
pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.
114
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober 2011, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5246.
115
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
116
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
251
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Indonesia Nomor 42 Tahun 2008117, dan dalam hal ini, maka sistem
pemilihan yang dianut juga masih sama dengan dua pemilihan
sebelumnya yakni Tahun 2004 serta Tahun 2009, yakni sistem pemi-
lihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar
terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut
sistem Distrik berwakil banyak. Sedangkan untuk memilih presiden
dan wakil presiden menganut sistem pemilihan perorangan dimana
paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik.
Dari keseluruhan pemilihan umum tersebut di Indonesia, tidak
terdapat perbedaan substansial berkaitan dengan pelaksanaan
pemilihan umum, hanya terdapat perbedaan dalam hal jumlah partai
politik, maupun pihak yang dipilih, serta pelaksana Pemilihan Umum
dari masa ke masa dalam tinjauan ketatanegaraan Indonesia.

D. Kesimpulan
Demikian telah dijabarkan berkaitan dengan garis besar tentang
kekuasaan negara, partai politik dan sistem pemilihan umum di
Indonesia. Seperti telah disinggung sebelumnya, konsep pemerin-
tahan dengan sistem perwakilan menuntut adanya konsep sistem
pemilihan mekanis dengan sistem perwakilan proporsional ada ber-
bagai variasi, demikian juga penerapan sistem distrik dengan ber-
wakil banyak adalah satu contoh variasinya. Untuk mengenal lebih
mendalam tentang kekuasaan Negara, partai politik maupun
pemilihan umum pada masa tertentu, tentunya haruslah diteliti
setiap undang-undang maupun pandangan doktrin ketatanegaraan
terkait dengan konsep kekuasaan negara, partai politik maupun
pemilihan umum, khususnya bilamana merujuk pada undang-
undang tentunya haruslah mengikuti dinamika ketatanegaraan
Indonesia yang dinilai paling cepat berubah.

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada 15 Desember 2014, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650.
117
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada 24 November 2008, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.

252
Hukum Tata Negara

DAFTAR BACAAN
Sumber Literatur
Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.
Gramedia.
Asshidiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
__________, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Negara, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.
__________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta :
Sinar Grafika.
__________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi Revisi,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Atmadja, I Dewa Gede, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam
Lintasan Perundang-Undangan, Denpasar: Penerbit Setia Kawan.
__________, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),
Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.
__________, 2012, Ilmu Negara, Dimensi Historis Ketatanegaraan,
Malang: Setara Press.
Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.
Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar
Grafika.
__________, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika.
Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang,
Cetakan Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Karim, Rusli, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret
Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali.
Koesnardi, Mohammad, dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar
Hukum Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi
Hukum Tatanegara Universitas Indonesia dan CV Sinar Bhakti.
Koesnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara,
Jakarta : Gaya Media Pertama.

253
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004


Perjalanan dan Profilnya. Jakarta : Komisi Pemilihan Umum,
Desember 2003.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta
: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis Permusya-
waratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta :
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MD., Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Saragih, Bintan R., 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia; Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1945-1949, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
__________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964, Cetakan
Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia.
__________, 1975, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1965-1974, Cetakan
Pertama, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Sucipta, I Made, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid I, Edisi Revisi,
Singaraja: Petada Pasi Grafika.
__________, 2012, Pendidikan Kewarganegaraan, Jilid II, Edisi Revisi,
Singaraja: Petada Pasi Grafika.
Soemantri, Sri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar) Hukum
Tata Negara, Bandung : Alumni.
Suny, Ismail, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara Baru.
Tambunan, A.S.S., 1976, Undang-Undang RI, No.3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya, Latar Belakang, Beserta Proses
Pembentukannya; Bandung : Binacipta.
Peraturan Perundang-undangan Terkait
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

254
Hukum Tata Negara

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang


Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Konstituante, diundangkan pada 7 April 1953, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953
Nomor 29.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang
Pengubahan Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-
Undang No. 7 Tahun 1953, Lembaran-Negara No. 29 Tahun 1953).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/
Perwakilan Rakyat.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Ke-
dudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1980 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang
Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/
Perwakilan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1975.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang
Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/
Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1980.

255
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomer 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1980.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969
tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah,
Terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 1985.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Partai Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Nomor 3809.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang
Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3810.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1
Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang
Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumum-
kan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

256
Hukum Tata Negara

2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara Republik


Indonesia Nomor 4251.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum, diundangkan pada 11 Maret 2003, diumum-
kan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4277.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal
31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 92 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan
pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik, diundangkan pada 4 Januari 2008, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 1 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4801.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan
pada 24 November 2008, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

257
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat


Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumum-
kan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5043.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indone-
sia Nomor 5189.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, diundangkan pada 16 Oktober
2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indo-
nesia Tahun 2011 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5246.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumum-
kan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5568.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang
di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai
Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia Nomor XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Kete-
tapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik
Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas

258
Hukum Tata Negara

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indo-


nesia Nomor III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor I/MPR/2003.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1959
tentang Dekrit Presiden Republik Indonesia, diundangkan
pada 5 Juli 1959, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 150.
Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959
tentang Syarat-syarat Penyederhanaan Kepartaian.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1960
tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 200 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 201 Tahun 1960,
diundangkan pada 17 Agustus 1960.
Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 440 Tahun
1961 tentang Pengakuan Partai-partai Politik.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1961,
diundangkan pada 14 April 1961.

259
Pasca Perubahan UUD NRI 1945

260

Anda mungkin juga menyukai