3.Dr. I Gede Yusa-SA.E
3.Dr. I Gede Yusa-SA.E
ISBN:978-bD2-1b42-98-b
SETARA PRESS
JI. JovO\uko M 110 No. 41 Mt'IJOS8,i Mala09
l \. p.I+62lJ41-57J650
.. fax (-62)341-188010
. Email: M!.sksi.lfl lill'l'><3: all.com (Perla n)
IntIaQS_m.a!ar~ hoo.com (PtnYsara ) 9786021642986
w:.w.lOlran blishing.(om
Hukum Tata Negara
... ...
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
i
ii
Hukum Tata Negara
... ...
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Penulis:
Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H.
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.H.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Komang Pradnyana Sudibya, S.H., M.Si.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.
Editor:
Bagus Hermanto
Setara Press
Malang 2016
iii
HUKUM TATA NEGARA
PASCA PERUBAHAN UUD NRI 1945
Copyright © Agustus, 2016
Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam Bahasa Indonesia oleh Setara Press. Hak
Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik
sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Penulis:
Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.
Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H.
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja, S.H., M.H.
I Nengah Suantra, S.H., M.H.
Komang Pradnyana Sudibya, S.H., M.Si.
Made Nurmawati, S.H., M.H.
Ni Luh Gede Astariyani, S.H., M.H.
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, S.H., M.H.
Nyoman Mas Aryani, S.H., M.H.
Editor:
Bagus Hermanto
ISBN: 978-602-1642-98-6
Penerbit:
Setara Press
Kelompok Intrans Publishing
Wisma Kalimetro
Jl. Joyosuko Metro 42 Malang, Jatim
Telp. 0341-573650, Fax. 0341-573650
Email Redaksi: redaksi.intrans@gmail.com
Email Marketing: intrans_malang@yahoo.com
Website: www.intranspublishing.com
Anggota IKAPI
Distributor:
Cita Intrans Selaras
iv
Kata Pengantar
v
Semoga usaha ini dapat memberi manfaat. Atas segala ke-
kurangannya kami mohon maaf. Saran dan kritik untuk penyem-
purnaannya akan diterima dengan senang hati.
vi
Pengantar Ahli
... ...
Prof. Dr. Drs. Yohanes Usfunan, S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Udayana
vii
bermanfaat sebagai bahan acuan bagi dosen Hukum Tata Negara
dan mahasiswa peserta mata kuliah Hukum Tata Negara dalam
proses belajar dan mengajar.
Metode yang digunakan dalam pengkajian dan penulisan buku
ini adalah metode normatif dengan menggunakan bahan-bahan
hukum primer seperti Undang Undang Dasar 1945 Pasca perubahan
serta peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak, di samping
bahan-bahan bacaan sebagai bahan hukum sekunder yang
fungsinya untuk melakukan klarifikasi dan justifikasi ilmiah. Oleh
sebab itu, pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah pende-
katan Undang-undang “Statute Approach”, pendekatan konsep
“conceptual Approach” dan pendekatan historis “historical Approach”.
Buku yang terdiri dari enam bab ini, pada setiap babnya terurai
pokok-pokok bahasan yang sangat penting bagi mahasiswa dan
masyarakat pembaca dalam memahami hakekat masing-masing
substansi. Diawali dengan pemahaman-pemahaman dasar mengenai
istilah, definisi obyek, ruang lingkup dan metode Hukum Tata Negara.
Sumber-sumber dan asas-asas Hukum Tata Negara dan perkem-
bangan ketatanegaraan penguraiannya ditempatkan dalam Bab I
dan Bab II. Pemaparan tersebut merupakan materi dasar yang harus
dipahami mahasiswa maupun pembaca lainnya sebelum mendalami
bahasan-bahasan berikutnya.
Materi tentang isi hukum akan dapat dipahami dengan baik
apabila telah mendalami bagian sumber-sumber Hukum Tata Negara.
Kecuali itu, asas-asas Hukum Tata Negara berfungsi untuk melaku-
kan justifikasi dan klarifikasi ilmiah. Sedangkan sejarah ketata-
negaraan yang penguraiannya secara periodik, sejak tahun 1945
sampai sekarang, bermanfaat untuk memberikan pemahaman historis.
Selain menggali tentang sumber-sumber Hukum Tata Negara,
Buku ini juga menyinggung tentang lembaga-lemga negara. Dalam
rangka merealisasikan cita-cita perjuangan bangsa, sebagaimana
terkandung dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, maka
eksistensi lembaga-lembaga Negara di Republik ini sangat diperlu-
kan. Hal tersebut sesuai Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang
menentukan bahwa; “....kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
viii
memajukan kesejahteraan umum, berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial…..”. Dengan demikian, amanat
Pembukaan UUD 1945 tentang pemerintahan Negara Indonesia
dalam buku ini, pemaparannya dalam Bab III tentang lembaga-
lembaga negara baik dalam bidang legislatif, eksekutif maupun
yudisial. Fokus pemaparan tersebut menyangkut kedudukan,
distribusi wewenang, fungsi dan tugas masing-masing lembaga
negara serta hubungan antar lembaga Negara tersebut. Distribusi
wewenang pada ketiga kekuasaan tersebut bermanfaat untuk:
1. Menghindari kemungkinan tumpang tindih wewenang,
2. Menghindari pemusatan wewenang pada suatu lembaga Negara,
3. Memudahkan koordinasi.
Hal selanjutnya yang tidak tertinggal untuk dibahas dalam
buku ini adalah wilayah negara sebagai syarat dari diakuinya
kedaulatan sebuah negara, Konvensi Montevideo Tahun 1933 yang
merupakan hasil dari Konferensi Pan Amerika menentukan syarat-
syarat berdirinya negara antara lain:
1. Penduduk yang tetap.
2. Wilayah tertentu.
3. Pemerintah.
4. Pengakuan Internasional.
Wilayah negara yang merupakan syarat kedua dalam konvensi
tersebut, merupakan salah satu pokok bahasan dalam Bab IV, selain
tentang otonomi daerah. Wilayah negara merupakan kriteria yang
sangat penting, karena tanpanya eksistensi negara kemingkinan
sulit dipertahankan.
Wilayah Negara Indonesia secara konstitusional sebagai suatu
negara kepulauan (archipelago State) dengan wilayah yang batas-
batas dan hak-haknya ditetapkan Undang-Undang. Hakikat otonomi
daerah merupakan salah satu dari sekian hak, wewenang dan ke-
wajiban yang dimiliki daerah untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan, dan kepentingan masyarakat. Dengan
demikian, daerah berwenang membuat kebijakan-kebijakan dalam
rangka memberi pelayanan, meningkatkan peran serta, prakarsa
dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan
ix
kesejahteraan rakyat. Prinsip-prinsip otonomi daerah dan hal-hal
substansial lainnya ini juga terurai secara detail dalam bab IV.
Selanjutnya, Bab V buku ini mencoba mendetilkan seputar hak
dasar dan kewarganegaraan. Hak Dasar yang merupakan terje-
mahan dari istilah Bahasa Inggris, basic right sebetulnya merupakan
sinonim dari istilah Bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis
seperti Fundamental Human Rights, Grond Rechten, Grund Recjte dan Droit
Fundamentaux. Penggunaan istilah Hak Dasar merupakan kelaziman
dalam kepustakaan Hukum Tata Negara, sebelum istilah Hak Asasi
Manusia (HAM) yang lebih dikenal dalam perpustakaan ilmu politik
dilegitimasi penggunaannya dalam hukum positif. Oleh sebab itu,
penggunaan istilah hak dasar sebetulnya hanya sebagai suatu
kebiasaan saja.
Deskripsi mengenai cakupan hak dasar meliputi hak sipil, politik,
ekonomi sosial dan budaya yang diatur dalam UUD 1945 dan
hukum positif justifikasi akademik yang bersangkut paut dengan
hak dasar nampak dalam penggunaan pandangan beberapa sarjana.
Selain itu, deskripsi mengenai kewarganegaraan fokusnya pada asas-
asas yang berkaitan dengan cara memperoleh kewarganegaraaan,
hak untuk memilih kewarganegaraan serta beberapa prinsip lain
yang berfungsi sebagai pegangan bagi seseorang dalam menentukan
status kewarganegaraannya.
Bab terahir, bab VI, dalam buku ini mecoba mengetengahkan
tentang partai politik dan pemilihan umum yang terkategori dalam
Hak Asasi Manusia (HAM) generasi pertama. Partai politik sebagai
salah satu wadah kebebasan berkumpul berfungsi mengembangkan
demokrasi dan demokratisasi dalam negara. Tujuan partai politik
adalah memperoleh kekuasaan guna mengisi jabatan politik secara
konstitusional dan yuridis. Oleh sebab itu, penjabarannya bertalian
dengan esensi, fungsi, sistem kepartaian yang dijustifikasi dengan
teori-teori dan pengaturan menurut hukum positif.
Pemilihan umum adalah sarana demokrasi dalam rangka memilih
wakil-wakil rakyat yang akan ditempatkan pada lembaga-lembaga
perwakilan rakyat, guna memperjuangkan kepentingan rakyat. Pen-
jabaran pemilihan umum dalam bab ini menyangkut esensi, sistem
dan penyelenggaraannya semenjak pemilihan pertama tahun 1955.
x
Akhirnya, saya menyampaikan selamat kepada para anggota
tim penyusun buku ini, dan khususnya saudara Ketua Bagian
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr. I
Gede Yusa, S.H., M.H. yang telah berhasil mempersembahkan buku
ilmiah ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat
pembaca, dan upaya pengembangan Hukum Tata Negara.
xi
Pengantar Penerbit
xii
Negara Kesatuan Republik, sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945
Pasal 1 ayat (1) “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik”. Juga soal posisi kedaulatan dalam konsepsi
kenegaraan yang diletakkan pada rakyat, yakni kelanjutan Pasal 1
ayat (2) “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang” penegasan ini menunjukkan bahwa
rakyat sebagai entitas utama negara memiliki posisi etis tertinggi
negara. Namun konteks pengaturan tersebut tidak berjalan asal
berdaulat namun semua mekanisme kenegaraan diatur berdasar atas
hukum, bukan otoritas kekuasaan tertentu, yakni ayat (3) pada
Pasal 1 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Ayat ini turut
menegaskan posisi republik ini sebagai negara yang diatur berdasar
hukum sebagai konsensus publik bukan negara yang diatur oleh
kuasa (otoritas) kelompok tertentu.
Tata negara diatur sedemikian rupa merurut tantangan-
tantangan dan kesadaran yang muncul juga fenomena rezim yang
berlaku. Misalnya, walaupun aspek kelembagaan ada, Orde Baru
mampu mengooptasi seluruh suara lembaga-lembaga negara
berdasar selera kepentingan politiknya, dengan kekuatan militer
sebagai pengdongkraknya. Sentralisasi kebijakan adalah modelnya.
Berbeda dengan reformasi yang dilandasi semangat transparansi
dan balancing kekuasaan, meletakkan sejumlah batasan-batasan
kewenangan lembaga negara (dari lembaga tertinggi negara menuju
lembaga tinggi negara) juga mengubah model pengaturan posisi
seperti dicabutnya dwifungsi ABRI. Berikut pula menjamurnya
sejumlah lembaga-lembaga yudikatif negara seperti Mahkamah
Konstitusi, dan lembaga-lembaga komisioner seperti Komisi Pem-
berantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), dan beberapa lembaga lainnya. Tak lupa yang juga
amat penting dari hasil reformasi adalah pemerintahan daerah
dengan gagasan otonomi daerah.
Namun jalan penataan kelembagaan berdasar semangat reformasi
belumlah solusi pasti kebangkitan nasional, karena masih amat
keruh ditaburi etika dan budaya politik yang koruptif, dan produk-
produk kebijakan ekonomi yang mengokohkan industri-industri
besar sehingga rakyat tetap saja terpinggirkan dalam banyak akses-
akses sosial, politik dan ekonomi.
xiii
Tegasnya, memahami hukum tata negara tidak hanya sebatas
memahami fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara namun
juga melihatnya sebagai arena kepentingan yang mesti ditinjau
selalu agar tetap berada pada rel konstitusi sebagai peruwujudan
rasa keadilan dan keinginan akan kesejahteraan rakyat.
Buku ini dapat menjadi referensi pembaca guna memahami tata
negara Indonesia berikut isu-isu ideologis yang melatarinya. Selamat
Membaca!
xiv
Daftar Isi
Kata Pengantar __ v
Pengantar Ahli __ vii
Pengantar Penerbit __ xii
xv
3. Asas Pembagian Kekuasaan __ 55
4. Asas Negara Hukum __ 58
C. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia __ 59
1. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1945-1949 __ 59
2. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1949-1950 __ 66
3. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1950-1959 __ 68
4. Sejarah Ketatanegaraan Indonesia Periode 1959-Sekarang __ 69
Daftar Bacaan __ 83
xvi
4. Hubungan Antara Presiden dan Dewan Pertimbangan
Agung __ 149
5. Hubungan Presiden dan Kementerian Negara __ 149
6. Hubungan Presiden/Pemerintah dengan Mahkamah
Agung __ 150
7. Hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan
Pemeriksa Keuangan __ 150
E. Kesimpulan __ 151
Daftar Bacaan __ 151
xvii
1. Khusus untuk Warga Negara __ 209
2. Hak Asasi Manusia __ 210
Daftar Bacaan __ 214
xviii
Hukum Tata Negara
Bagian Pertama
Perspektif Keilmuan Hukum
Tata Negara
2
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Cetakan Ketujuh, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan CV. Sinar Bakti, hlm. 29.
3
R.G. Kartasapoetra, 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Cetakan Pertama, Jakarta:
PT. Bina Aksara, hlm. 3.
2
Hukum Tata Negara
4
Jimly Asshiddiqie, 1998, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cetakan
Pertama, Jakarta: Ind. Hill-Co, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I), hlm. 1 dan 2.
3
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
5
Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta:
Ghalia Indonesia, hlm. 13-14.
6
Ibid, hlm. 29-30.
4
Hukum Tata Negara
7
H. Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Bandung Alumni, (selanjutnya disebut H.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar I), hlm. 1-121.
8
Ni’matul Huda, (selanjutnya disebut Ni’Matul Huda I) 1999, Hukum Tata Negara:
Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta:
Pusat Studi Hukum FH Ull Yogyakarta. Selanjutnya disebut Ni’matul Huda I, hlm. 1-179.
5
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
6
Hukum Tata Negara
10
Ni’matul Huda; 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945, Cetakan I, Yogyakarta: FH UII Press, (selanjutnya disebut Ni’matul
Huda II), hlm. ix-x.
11
Jimly Asshiddiqie I; Op.Cit., hlm. 7-8.
7
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
negara dan otonomi daerah (Bab VI, pasal 18, 18A, 18B dan Bab
IXA, Pasal 25 A); Warga negara dan HAM (Bab X dan XA); dan
faktor-faktor pemersatu bangsa: pemilihan Umum (Bab VIIB,
Bendera, Bahasa dan Lambang negara serta Lagu Kebangsaan
(Bab XV).
2) Lembaga-lembaga Negara: Majelis Permusyawaratan Rakyat (Bab
II), Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-menteri (Bab III dan
Bab V), Dewan Perwakilan Rakyat (Bab VII), Dewan Perwakilan
Daerah (Bab VIIA), Komisi Pemilihan Umum (Bab VIIB, Pasal
22E), Bank Sentral (Bab VIII, Pasal 23D), Badan Pemeriksa
Keuangan (Bab VIIIA), Mahkamah Agung (Bab IX, Pasal 24 ayat
2 dan Pasal 24A), Komisi Yudisial (Bab IX, Pasal 24B), dan
Mahkamah Konstitusi (Bab IX, Pasal 24C), Tentara Nasional
Indonesia (Bab XI, Pasal 30 ayat (3)), dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Bab XI, Pasal 30 ayat (4)).
3) Hal Keuangan negara (Bab VIII)
4) Pertahanan dan keamanan negara (Bab XII).
5) Pendidikan dan kebudayaan (Bab XIII).
6) Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial (Bab XIV).
Paparan di atas menunjukkan bahwa ruang lingkup kajian
Hukum Tata Negara bermuara pada Undang-Undang Dasar (UUD
NRI 1945). Hal itu karena di dalam UUD NRI 1945 terdapat mengenai
tipe negara; struktur organisasi negara; lembaga-lembaga negara,
kekuasaan, dan hubungan antar lembaga-lembaga negara; warga
negara beserta hak-hak dan kewajibannya; wilayah negara dan asas-
asas kenegaraan. Di samping itu, juga mengatur mengenai per-
ekonomian dan kesejahteraan sosial, serta mengenai pertahanan
dan keamanan. Bahkan, Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa
sebagian besar kaidah-kaidah Hukum Tata Negara terdapat di dalam
Undang-Undang Dasar. Hal ini terkait dengan kedudukan Undang-
Undang Dasar dalam suatu negara yaitu sebagai the supreme law of
the land, bahkan sebagai the highest authority.12
12
L.M. Friedman, 2001, “American Law: An Introduction”, 2nd Edition, terjemahan
Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta: PT.
Tatanusa, hlm. 251.
8
Hukum Tata Negara
9
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
14
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op.Cit, hlm. 33 dan 34.
15
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit, hlm. 8.
16
Wade and Phillips, Op.Cit., hlm. 6-7.
10
Hukum Tata Negara
11
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
12
Hukum Tata Negara
13
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
14
Hukum Tata Negara
27
Sri Soemantri, 1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi
dalam Batang Tubuh UUD 1945, Bandung : Alumni (selanjutnya disebut Sri Soemantn II)
hlm. 7-8.
16
Hukum Tata Negara
17
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
18
Hukum Tata Negara
33
Ibid, hlm. 10.
34
Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit, hlm. 35.
19
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
20
Hukum Tata Negara
21
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
22
Hukum Tata Negara
23
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
44
Pasal 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai
Dengan 2002.
24
Hukum Tata Negara
Busroh, Abu Daud dan Abu Bakar Busro; 1983, Asas-asas Hukum
Tata Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Curzon, L.B.; 1979, Jurisprudence, First Published, Macdonald &
Evans Ltd.
E.C.S, Wade and G. Godfrey Phillips, 1977, Constitutional and Adminis-
trative Law, Ninth Edition, Bungay, Suffolk, Great Britain: Richard
Clay (The Chaucer Press) Ltd.
Friedman, L.M., 2001, “American Law: An Introduction”, 2nd Edition,
terjemahan Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,
Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Tatanusa.
Hadjon, Philipus M. dkk., 1986, Peranan Hukum Tata Negara sebagai
Stabilisator dan Dinamisator Kehidupan Masyarakat, Makalah Semi-
nar Ilmiah, Jember: Fakultas Hukum Universitas Jember.
Huda, Ni’matul, 1999, Hukum Tata Negara: Kajian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Konstitusi Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta:
Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta.
Huda, Ni’matul, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap
Dinamika Perubahan UUD 1945, Cetakan I, Yogyakarta: FH UII
Press.
Kartasapoetra, R.G., 1987, Sistematika Hukum Tata Negara, Cetakan
Pertama, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV.
Sinar Bakti.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Buku
I: Bagian Umum, Cetakan Kedua, Bandung: Binacipta.
Manan, H. Bagir. dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,
Bandung: Alumni.
Pound, Roscoe, 1975, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale
University Press.
Ranawijaya, Usep, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-
Dasamya, Jakarta: Ghalia Indonesia.
25
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
26
Hukum Tata Negara
Bagian Kedua
Dasar-Dasar Hukum
Tata Negara
27
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
2
Ibid, hlm. 9.
3
Usep Ranawijaya, 1960, Tjatatan Kuliah HTN, Bandung : Fa Pustaka Star, hlm. 14.
28
Hukum Tata Negara
29
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
4
Joeniarto, tt. Selayang Pandang Sumber-sumber HTN Indonesia, Yogyakarta: Liberty
(selanjutnya disebut Joeniarto I) hlm. 1-13.
30
Hukum Tata Negara
32
Hukum Tata Negara
7
Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto; 2001, Sumber HTN Formal, di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya, hlm. 7.
33
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
34
Hukum Tata Negara
8
Parlin M. Mangunsong; 1992, Konvensi Ketatanegaraan Sebagai Sarana Perubahan
UUD, Bandung : Alumni, hlm. 16.
9
Andi Mustari Pide; 1999, Pengantar HTN, Jakarta: Gaya Media Pratama, hlm. 16.
35
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
36
Hukum Tata Negara
10
Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto, 2001, Sumber HTN Formal Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 45.
11
Lihat Pasal 3 ayat (3) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000
37
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
38
Hukum Tata Negara
12
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, llmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 96.
39
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
13
Widodo Ekatjahjana dan Totok Sudaryanto, op.cit, hlm. 72.
40
Hukum Tata Negara
6) Keputusan Presiden
Keputusan Presiden merupakan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan ketentuan
pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.”
Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di
negara Republik Indonesia, Presiden adalah pemegang kekuasaan
eksekutif dan sekaligus pemegang kekuasaan legislatif. Menurut
Georg Jellinek14, pemerintah dalam arti formal mengandung ke-
kuasaan mengatur dan kekuatan memutus sedangkan pemerin-
tahan dalam arti material mengandung unsur melaksanakan.
Dengan kekuasaan mengatur, terlihat dari jalur legislatif
Presiden harus mendapatkan “persetujuan DPR” yaitu dalam
membentuk suatu undang-undang, sedangkan apabila Presiden
mengatur melalui kekuasaan eksekutif dengan membentuk suatu
keputusan Presiden berupa pengaturan pelaksanaan administrasi
negara dan administrasi pemerintahan. Keputusan Presiden
dimaksud untuk melaksanakan ketentuan UUD NRI 1945,
Ketetapan MPR, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden tidak selalu merupakan keputusan yang
berlaku sekali selesai (einmahlig) tetapi sering kali lebih banyak
merupakan keputusan yang mengatur dan berlaku terus
(dauerhafhig).
Saat ini, sudah dikenal bentuk Peraturan Presiden dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011.
7) Peraturan Daerah
Peraturan Daerah merupakan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah
satu unsur Pemerintah Daerah yang berwenang membuat
peraturan daerah. Jenis peraturan perundang-undangan daerah
terdiri dari pertama Peraturan Daerah yang ditetapkan Kepala
Daerah dengan persetujuan DPRD dalam rangka penyeleng-
14
Ibid, hlm. 99-100.
41
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
42
Hukum Tata Negara
43
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
15
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hlm. 57.
44
Hukum Tata Negara
45
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
17
Ni’matul Huda, 1999, op.cit, hlm. 196.
18
Ismail Suny, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru (selanjutnya
disebut Ismail Suny I), hlm. 31-46.
19
Bagir Manan, 1987, op.cit, hlm. 41.
46
Hukum Tata Negara
47
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
50
Hukum Tata Negara
22
A.S.S. Tambunan; 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Popuris Publishers,
hlm. 96.
51
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
52
Hukum Tata Negara
53
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
54
Hukum Tata Negara
25
Ismail Suny, 1992, Sistem Pemilu Yang Menjamin Hak-Hak Demokrasi Warga
Negara (selanjutnya disebut Ismail Sunny III), hlm. 2.
26
Ismail Suny, op.cit, hlm. 8.
55
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
27
L.M. Friedman, op.cit, hlm. 188-189.
28
Suwoto Mulyosudarmo; Peralihan Kekuasaan Kajian Retoris Yuridis terhadap Pidato
Nawaksara, Gramedia, Jakarta, (selanjutnya disebut Suwoto Mulyosudarmo I) hlm. 26.
56
Hukum Tata Negara
57
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
58
Hukum Tata Negara
29
Nugroho Notosusanto; 1981, Naskah Proklamasi yang Autentik, Jakarta : PN Balai
Pustaka, hlm. 18.
59
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
60
Hukum Tata Negara
33
Ibid, hlm. 113.
34
Abdullah Zaini; op.cit, hlm. 117.
61
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
35
Joeniarto; 1983, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : Bina Aksara,
(selanjutnya disebut Juniarto II) hlm. 39.
36
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; op.cit, hlm. 90.
37
Ibid; hlm. 90.
62
Hukum Tata Negara
38
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih; 1980, Susunan Pembagian Kekuasaan menurut
Sistem UUD 1945, Jakarta: Djaya Pirusa, hlm. 33.
39
Abdullah Zaini; Op. Cit, hlm. 127.
63
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
40
Wirjono Projodikoro; 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat, hlm. 23.
64
Hukum Tata Negara
41
Ibid, hlm. 26
65
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
66
Hukum Tata Negara
68
Hukum Tata Negara
42
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; Op. Cit, hlm. 96.
43
Ni’MatuI Huda, Op. Cit, hlm. 52.
69
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
70
Hukum Tata Negara
71
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
47
Abdullah Zaini, Op. Cit, hlm. 183
72
Hukum Tata Negara
48
Harun Al Rasyid, 1998, Pengisian Jabatan Presiden, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
hlm. 197
49
Bondan Gunawan S, 2000, Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, hlm. 33
73
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
50
Menurut UU No. 2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD, jumlah anggota MPR dua kali lipat jumlah anggota DPR, jumlah anggota DPR
500 orang (400 dipilih dan 100 diangkat). Sisanya yang 500 orang diangkat oleh Presiden
dari unsur ABRI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
51
Ni’Matul Huda, Op. Cit, hlm. 163
52
Ibid, hlm. 146
53
A. Ramlan Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakarta, hlm. 84
74
Hukum Tata Negara
75
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
76
Hukum Tata Negara
77
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
57
Memorandum I DPR dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No 36 Tahun 2001,
yang berisi: a. Presiden diduga terlibat dalam kasus Bullogate dan Bruneigate, b. Melakukan
kebohongan publik, c. Inkonsistensi dalam memberikan pernyataan, d. Sungguh-sungguh
melanggar Haluan Negara, e. Melanggar Pasal 9 UUD 1945 tentang Sumpah Jabatan
Presiden, dan f. Melanggar TAP MPR No. XI/MPR/1998 (Ball Post 28 Maret 2001)
58
Memorandum II DPR Dituangkan dalam Surat Keputusan DPR No. 47/IV/2001
yang berisi: a. Presiden telah melanggar GBHN, b. Dalam waktu 3 bulan, presiden tidak
memperhatikan Memorandum I, dan c. Memberikan waktu 1 bulan kepada presiden
menanggapi hal tersebut.
78
Hukum Tata Negara
79
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
59
Imade Leo Wiratma, Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni) 2004; Dari
Pemilu Legislatif menuju Pemilu Presiden, Analisis CSIS Mencermati Hasil Pemilu
2004, Vol 33, No. 2 Juni 2004
60
Dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu disebutkan bahwa
untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus a. mem-
peroleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR, b. Memperoleh sekurang-kurangnya
4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah
Provinsi seluruh Indonesia, c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 jumlah Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia.
61
Anies Rasyid Baswedan, Sirkulasi Suara dalam Pemilu 2004, Analisis CSIS, Ibid,
hlm. 175
80
Hukum Tata Negara
62
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-3 menyatakan bahwa, Presiden dan
wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
81
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
82
Hukum Tata Negara
83
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
84
Hukum Tata Negara
Bagian Ketiga
Lembaga-Lembaga Negara
1
Baca dalam Abu Dauh Busroh, 2010, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cetakan Ketujuh,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 125-135.
2
Berkaitan dengan pembahasan pada bab ini, dapat dikaitkan dengan tujuh kunci
pokok sistem pemerintahan Nasional di Indonesia sebagaimana telah dirumuskan oleh
Soepomo dan beberapa tokoh nasional lainnya yang merumuskan Penjelasan Undang-
undang Dasar Tahun 1945, dimana mulanya sebagai bagian terpisah dari Naskah Undang-
undang Dasar Tahun 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik
Indonesia pada 18 Agustus 1945. Lihat dalam Sekretariat Negara, 1995, Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, h. 126-145.
85
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
86
Hukum Tata Negara
89
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden“. Baca lebih lanjut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 13 dan Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 116-118.
22
Lihat lebih lanjut dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, op.cit., h. iii-vi.
23
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Revisi, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 275-279. Untuk selanjutnya disebut sebagai
Jimly Asshidiqie I.
24
I Dewa Gede Atmadja, 2006, Hukum Konstitusi: Hukum Konstitusi, Perubahan
Konstitusi Sudut Pandang Perbandingan, Denpasar: Bali Aga, hlm. 1-3.
25
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/Majelis
Permusyawaratan Rakyat/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga
Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, merupakan salah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masuk ke dalam katagori Ketetapan
yang dicabut melalui Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indo-
nesia 2003. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor I/Majelis Permusyawaratan Rakyat/2003, Cetakan
Kesepuluh, Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 15-17.
Untuk selanjutnya disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat II.
26
Lihat dalam Bab III Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Pasal 44 Undang-
Undang Dasar Sementara 1950. Baca dalam Joeniarto, 1986, Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 45-57.
90
Hukum Tata Negara
31
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 132.
32
Pasal 16 Ayat (2) tersebut telah dituangkan ke dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, diundangkan
pada tanggal 28 Desember 2006, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 108 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4670, lihat dan bandingkan dengan rumusan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Angka (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tersebut.
33
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 140-141.
92
Hukum Tata Negara
Pasal 22 D34
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemben-
tukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. ***)
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama. ***)
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pem-
bentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampai-
kan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. ***)
4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang. ***)
Dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pula,
terdapat penambahan pada Kekuasaan Kehakiman Nasional yaitu
dengan munculnya Mahkamah Konstitusi sebagaimana dirumuskan
dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 24 Ayat (2) dan
Pasal 24C Ayat (1) sampai (6) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
34
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., h. 141-142.
93
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 2435
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24C36
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. ***)
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar. ***)
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. ***)
4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi. ***)
5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ke-
tatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. ***)
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang. ***)
35
Lihat Undang-undang Dasar ’45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, op.cit., hlm. 20.
36
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 148-150.
94
Hukum Tata Negara
37
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 189-191.
38
Baca dalam Ismail Suny, Loc.cit.
39
Philipus M. Hadjon, Loc.cit.
40
Baca Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat Undang-Undang Dasar Tahun
1945 dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 1-275. Disamping itu, beberapa
literatur terkait seperti halnya Ni’matul Huda, 2008, Undang-undang Dasar 1945 dan
Gagasan Amandemen Ulang, Cetakan Pertama, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 1-25.
41
Lihat dalam Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Cetakan Pertama, Jakarta:
Kompas Gramedia Group, hlm. 1-5.
42
Dalam Jimly Asshidiqie I, op.cit., hlm. 275-276.
95
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
43
Ismail Suny, Loc.cit.
44
Baca dalam Hans Kelsen, op.cit., hlm. 250-253.
45
Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121-149.
96
Hukum Tata Negara
46
Lihat dan bandingkan dalam Ni’matul Huda, 2015, Hukum Tata Negara Indonesia,
Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 189-253.
97
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
98
Hukum Tata Negara
Konstitusi dan ada pula Komisi Yudisial. Selain itu, ada pula disebut
Pemerintahan Daerah, Kepolisian Republik Indonesia, Tentara
Nasional Indonesia, Komisi Pemilihan Umum dan Bank Sentral.
Bila dikaji lebih mendalam, maka dalam Perubahan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 terdapat lembaga yang menggunakan
nomenklatur atau nama komisi, yaitu Komisi Yudisial dan Komisi
Pemilihan Umum. Adapun diluar ketentuan Undang-Undang Dasar,
keberadaan lembaga komisi yang merupakan lembaga-lembaga
pembantu (state auxiliary agencies), yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang maupun Peraturan lainnya di bawah Undang-
undang48. Pembentukan lembaga-lembaga yang disebut komisi ini
sangat pesat perkembangannya sejak reformasi. Lembaga-lembaga
tersebut diposisikan setingkat lembaga negara, idealnya bersifat
“independen” dan secara khusus ditujukan untuk menjalankan
fungsi dan kewenangan tertentu.49
Dalam kenyataannya, di Indonesia telah dibentuk beberapa
komisi50, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi
Penyiaran (KPI), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU),
Komisi Nasional untuk Anak (Komnas Anak), Komisi Nasional
Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Ombudsman Nasional
(KON), Komisi untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas), Komisi untuk Perlindungan Saksi dan
Korban serta Komisi Hukum Nasional (KHN).
Dalam waktu mendatang51, diperkirakan masih akan ada lagi
beberapa Komisi yang akan dibentuk, seperti Komisi Pengawas
Kejaksaan dan Komisi untuk Kebebasan Informasi.
Adapun hingga saat ini52, komisi yang telah dibubarkan adalah
Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan
Komisi Konstitusi.
48
Baca dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 277-279.
49
Periksa Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-
undangan Nasional yang terkait. Agar lebih jelas pemahamannya bandingkan dengan
Firmansyah Arifin et.al., Hasil Penelitian Sementara tentang Lembaga Negara, 2004,
Jakarta dan Firmansyah Arifin, Hukum dan Kuasa Konstitusi: Catatan-catatan untuk
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta:
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2004, hlm. 13-43.
50
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 13-15.
51
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 17.
52
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 18.
99
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
57
Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah Undang-undang Dasar 1945 Setelah
Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas
lndonesia, (selanjutnya disebut Jimly Asshidqie III), hlm. 3.
58
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat
dalam Undang-undang Dasar ’45 Amandemen ke-4 Tahun 2002, Loc.cit.
59
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, tentang Susduk,
Bandung: Penerbit “Citra Umbara”, 2003, hlm. 4.
101
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
102
Hukum Tata Negara
103
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
104
Hukum Tata Negara
105
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
106
Hukum Tata Negara
107
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
108
Hukum Tata Negara
109
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
110
Hukum Tata Negara
Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi meme-
nuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden seperti yang ditentukan
dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 194562 termasuk
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Dasar
Tahun 1945, yakni peraturan perundang-undangan terkait
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia63.
Prof. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa dalam konteks
hubungan seperti itu, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasca
amandemen menempatkan bahwa kekuasaan legislatif berada di
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat
juga berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Per-
wakilan Daerah secara personal. Selain itu, Majelis Permusya-
waratan Rakyat bersifat permanen dan berdiri sendiri disamping
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Sistem parlemen dengan gaya tersebut merupakan “trika-
meralisme”64. Dalam konteks ini, Indonesia adalah negara pertama
di dunia yang menggunakan sistem parlemen seperti model tersebut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat
Ditinjau dari segi tata cara pembentukannya Bab VII tentang
Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B pada Perubahan Undang-Undang
62
Lihat Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm.148.
63
Dalam Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, sebagaimana telah diubah dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 20 Juli
2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226 dan terakhir melalui
Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5456. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada 15 Januari 2014, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493.
64
Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Mahkamah
Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 138-
141. Lihat juga Firmansyah Arifin, et.al., op.cit., hlm. 20.
111
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
65
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 31
Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
92 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310.
66
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Per-
wakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
67
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Per-
musyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
68
Adapun substansi perubahannya terkait dengan Pasal 74 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5),
serta Ayat (6) yang dihapus, Pasal 97 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 98 Ayat (7),
Ayat (8) dan Ayat (9) dihapus, Pasal 104 Ayat (2) yang diubah bunyinya, Pasal 109 Ayat (2)
yang juga diubah bunyinya, Pasal 115 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, Pasal 121
Ayat (2) yang juga diubah bunyinya, Pasal 152 Ayat (2) yang juga diubah bunyinya,
diantara Pasal 425 dengan Pasal 426 disisipkan Pasal 425 A dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2014. Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan
pada tanggal 15 Desember 2014, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 383 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5650.
112
Hukum Tata Negara
113
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
114
Hukum Tata Negara
115
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
69
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 131-133.
116
Hukum Tata Negara
119
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
120
Hukum Tata Negara
121
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
122
Hukum Tata Negara
125
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
126
Hukum Tata Negara
82
Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 221 dan Pasal
227 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
83
Baca lebih lanjut dalam Bab IV Dewan Perwakilan Daerah pada Pasal 246 dan Pasal
252 dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Majelis Permusya-
waratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
84
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 139.
85
Perihal masa jabatan telah ditegaskan dalam ditambahkan dalam Pasal 227 Ayat (5)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 maupun Pasal 252 Ayat (5)
Undang-undang Republik Indonesia. Baca lebih lanjut dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Per-
wakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, di-
undangkan pada tanggal 29 Agustus 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 123 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
127
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Nomor 5043 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
128
Hukum Tata Negara
130
Hukum Tata Negara
131
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
132
Hukum Tata Negara
133
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
134
Hukum Tata Negara
d. imunitas;
e. protokoler; dan
f. keuangan dan administratif.
Dalam Pasal 232 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2009, dan Pasal 257 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2014, disebutkan perihal hak yang dimiliki oleh
tiap-tiap anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana rumusan
berikut ini:
a. bertanya;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. memilih dan dipilih;
d. membela diri;
e. imunitas;
f. protokoler; dan
g. keuangan dan administratif.
Terkait dengan kewajiban yang dimiliki oleh tiap-tiap anggota
Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
50 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, yakni:
a. mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-undang Dasar negara RI tahun 1945 dan
mentaati segala peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan
keutuhan negara kesatuan RI;
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat dan daerah;
g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis
kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
135
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
86
Lihat dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 193.
136
Hukum Tata Negara
87
Hanya dirumuskan terkait lembaga kepresidenan hanya pada Bab III Kekuasaan
Pemerintahan Negara pada Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2),
Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 14, hingga Pasal 15 Undang-undang Dasar Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 20-24.
88
Baca dalam Jimly Asshidiqie III, op.cit., hlm. 25-55.
89
Baca lebih dalam Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 225-235.
90
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 59-66.
91
Baca dalam Jimly Asshidiqie IV, op.cit., hlm. 289-293.
92
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 83-102.
137
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
93
Baca dalam Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Cetakan Pertama, Jakarta:
Gramedia Widiasarana, hlm. 35-60.
94
Lihat dan bandingkan dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945
Pra-Amandemen dan baca lebih lanjut penjelasannya dalam Jimly Asshidiqie, 2010,
Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 138-140.
95
Baca dalam Pasal II Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Pasal 6 Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003. Lihat lebih lanjut dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden, diundangkan pada 31 Juli 2003, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 93.
96
Baca lebih lanjut dalam Bab III Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
dan Tata Cara Penentuan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Pasal 5 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, diundangkan pada
24 November 2008, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924.
138
Hukum Tata Negara
97
Baca sebagai perbandingan dalam Bagir Manan, op.cit., hlm. 115, lihat pula Sri
Soemantri, 1979, Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bandung : Alumni, hlm. 113, dan Philipus M.
Hadjon, op.cit., hlm. 42-43.
98
Sebagai perbandingan, baca dalam Pasal 4, Pasal 10 sampai dengan 15 Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Baca lebih lanjut dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 121, 130-131.
99
Adapun dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Ayat (1) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa,”Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan“. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,
op.cit., hlm. 145.
139
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
100
Adapun Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi,”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi“. Baca dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 145-146.
101
Baca dalam Pasal 24A Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi,”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang“. Lihat
lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146.
102
Baca lebih lanjut dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 146-147.
103
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, diumumkan ke dalam Lembaran Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1985 Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316.
104
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diumumkan ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359.
105
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diundang-
kan 12 Januari 2009, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958.
106
Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 59.
140
Hukum Tata Negara
107
Bagir Manan, 1995, Memahami Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 Secara Historis,
dalam H. Mashudi dan Kuntana Magnar, ed.al., Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju, hlm. 33-34.
141
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 20 Juli
2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70
dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, di-
undangkan pada tanggal 17 Oktober 2013, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 167 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5456, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493.
113
Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I,
Jakarta: Yayasan Prapanca, hlm. 341-342.
114
Jimly Asshidiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Jakarta: Konpress, (untuk selanjutnya disebut sebagai Jimly Asshidiqie III), hlm. 1.
115
Baca dalam Mahkamah Konstitusi, op.cit., hlm. 7-8.
143
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
144
Hukum Tata Negara
di setiap Provinsi, yang mana segala ketentuan lainnya lebih lanjut me-
ngenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang.
Menurut Philipus M. Hadjon, Badan Pemeriksa Keuangan negara
merupakan kelanjutan dari badan semacam itu yang pernah ada
pada zaman Hindia Belanda120. Dimana Prof. Soepomo pada rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatakan: “... ada lagi
satoe badan keuangan (rekenkamer) yang mengontrol keuangan negara...”121.
Perlu diketahui, pada zaman Hindia Belanda, terdapat Algemene
Reken Kamer yang semula adalah alat eksekutif dengan tugas meng-
urus pembukuan. Badan ini pertama kali di Hindia Belanda didirikan
oleh Herman William Daendels dengan nama “Generate Reken Kamer”.
Dan kemudian, dengan ditetapkan “Indische Comtabilitaits Wet” pada
Tahun 1864, Parlemen Belanda menyerahkan tugas untuk meng-
adakan pemeriksaan dan penelitian tentang pelaksanaan anggaran
negara yang telah ditentukan, maka didirikanlah “Algemene Reken
Kamer” yang terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif.122
Hingga kemudian, terbentuklah Badan Pemeriksa Keuangan
pasca ditetapkannya Undang-undang Dasar Tahun 1945 pada 18
Agustus 1945, yang melanjutkan tugas badan “Algemene Reken
Kamer” tersebut, dan kemudian pasca Amandemen Undang-undang
Dasar Tahun 1945, terdapat penegasan hukum dalam Bab VIII A
tentang Badan Pemeriksa Keuangan123.
120
Baca Philipus M. Hadjon, op.cit, hlm. 54.
121
Lihat dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, Risalah Sidang BPUPKI
dan PPKI Tanggal 29 Mei-18 Agustus 1945, Cetakan Pertama, Jakarta : Sekretariat Negara
Republik Indonesia, hlm. 125-128.
122
Baca lebih lanjut dalam Sri Soemantri, op.cit., hlm. 158-159.
123
Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 125-135.
124
Lihat dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 35-55, 105-110.
145
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
125
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 120-129.
146
Hukum Tata Negara
126
Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 136-137.
147
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
148
Hukum Tata Negara
127
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 23.
128
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 104-118, 132.
129
Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat
(3) Undang-undang Dasar Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I,
op.cit., hlm. 24.
130
Baca dalam Bab V Kementerian Negara pada Pasal 17 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (2),
Pasal 17 Ayat (3), dan Pasal 17 Ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Lihat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat I, op.cit., hlm. 132-133.
149
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
150
Hukum Tata Negara
151
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
152
Hukum Tata Negara
153
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
154
Hukum Tata Negara
155
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
156
Hukum Tata Negara
Bagian Keempat
Wilayah Negara
dan Otonomi Daerah
A. Wilayah Negara
Dalam UUD 1945, tidak ada satu pasal pun menyinggung soal
luas wilayah Negara proklamasi. Dalam sidang-sidang BPUPKI
pernah ada pembahasan tentang wilayah Negara dan ditentukan
ada tiga pilihan yang diajukan, yaitu:
1. Wilayah Hindia Belanda;
2. Wialyah Majapahit dahulu Hindia Belanda + Malaysia,
Kalimantan Utara, Papua, dan Timor Portugis; dan
3. Hindia Belanda + Malaysia dikurangi Papua.
Dalam pembahasan ini bahkan sempat diadakan pemungutan
suara, dimana yang menyetujui usul I 19 orang, usul II 39 orangdan
usul III, 6 orang. Sejarah kemudian menunjukan lain. Bahwa
berdasarkan rapat PPKI 19 Agustus 1945 hanya meliputi usul I.
PPKI (pendiri Negara) berpendapat bahwa di dalam UUD tidak
disinggung soal luas wilayah Negara, karena soal mengklaim suatu
wilayah menjadi wilayah Negara seharusnya mendengar dahulu
persetujuan rakyatnya. Kalau rakyat di wilayah itu menyetujui,
maka mereka akan bergabung dengan Republik Indonesia. Dalam
rapat BPUPKI 10 Juli 1945, Soekarno dan Hatta mengemukakan
157
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
158
Hukum Tata Negara
159
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
3
Ibid; 134-135.
160
Hukum Tata Negara
B. Otonomi Daerah
Dalam Pembahasan mengenai Otonomi Daerah, akan dibagi
dalam sub-sub bahasan sebagai berikut: 1. Prinsip Negara Kesatuan,
2.Asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, 3. Otonomi
Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004.
1. Prinsip Negara Kesatuan
Pasal 1(1) UUD NRI 1945 menentukan: “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.”
Di Indonesia, dalam UUD yang pernah berlaku apakah bentuk
negara itu ditujukan pada bentuk republik/monarkhi atau pada
kesatuan/ federasi, memang ada kerancuan, tetapi menurut UUD
1945 sebelum dan sesudah amandemen menentukan bentuk negara
ditujukan pada republik. Sementara untuk kesatuan atau serikat/
federasi ditujukan pada bentuk susunan negara. Joeniartho meng-
gunakan istilah “bentuk susunan negara” untuk menunjukkan
negara kesatuan/ federasi.5 Pendapat yang sama juga dianut oleh
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim yang menyatakan bahwa
“susunan negara” ditujukan untuk negara kesatuan atau federasi,
sedangkan “bentuk Negara” ditujukan paba bentuk republik atau
monarkhi.
Ciri negara kesatuan dapat dilihat dengan membandingkannya
dengan negara serikat. Moh Koesnardi dan Harmaily Ibrahim
dengan menggunakan kriteria yang digunakan oleh CF Strong dan
kriteria dari KC Where sebagai berikut.6
Pada negara serikat, negara bagian mempunyai kewenangan
untuk membuat UUD nya sendiri, di samping adanya UUD Federal.
Sedangkan dalam negara kesatuan hanya ada satu UUD, provinsi
4
Untuk memahami wilayah perairan Indonesia baca: Pasek Diantha,I Made,SH,MS,
1993. Seri Hukum Laut Internasional. Analisis Negara Kepulauan Dan Landas Kontinen
Dalam Perspektif Indonesia: Denpasar: Penerbit CV.Kayumas Agung.
5
Joeniartho,1967. Seri Ilmu Hukum Tatanegara: Pemerintah Lokal. Yogyakarta.
Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, h.8
6
Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim. 1981. Cet. IV. Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia.Jakarta. FH UI, h 166.
161
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
162
Hukum Tata Negara
164
Hukum Tata Negara
165
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
167
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
BAB IV
URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Klasifikasi Urusan Pemerintahan
Pasal 9
(1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut,
urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum
(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Peme-
rintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan Absolut
Pasal 10
(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
171
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
172
Hukum Tata Negara
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Pasal 13
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan
strategis nasional.
173
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan,
kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi.
(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan
raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
(3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan
pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat.
(4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan
pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah kabupaten/
kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil men-
dapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk peng-
hitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada
dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke
arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi
sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari
Daerah yang berbatasan.
Pasal 15
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(2) Urusan pemerintahan konkuren yang tidak tercantum dalam
Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap
tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya meng-
gunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
175
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
176
Hukum Tata Negara
178
Hukum Tata Negara
179
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
180
Hukum Tata Negara
181
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
182
Hukum Tata Negara
183
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
27. kehutanan;
28. energi dan sumber daya mineral;
29. kelautan dan perikanan;
30. perdagangan
31. perindustrian
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan peme-
rintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya,
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia se-
bagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 angka 2 PP 38/2007). Ciri utama
negara kesatuan adalah kekuasaan tertinggi ada pada pemerintah
pusat, walaupun ada asas desentraslisasi tampaknya sangat terbatas.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditentukan urusan wajib bagi
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten sebagai berikut:
Pasal 12
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai
dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana,
serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur
disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang di-
dekonsentrasikan.
Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial;
184
Hukum Tata Negara
185
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
186
Hukum Tata Negara
187
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
188
Hukum Tata Negara
189
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Bagian Kelima
Warga Negara
dan Hak Asasi Manusia
190
Hukum Tata Negara
B. Asas-asas Kewarganegaraan
Cara untuk menentukan seseorang menjadi warga negara suatu
Negara bisa berdasarkan atas asas ius soli dan asas ius sanguinis. Ius
Soli adalah cara memperoleh kewargaannegaraan berdasarkan
tempat di mana ia dilahirkan, sedangkan Ius Sanguinis adalah dalam
menentukan kewarganegaraan berdasarkan keturunan darah, bila
orang tuanya warganegara Indonesia, maka ia juga akan menjadi
warga negara Indonesia. Sementara hak seseorang untuk menen-
tukan kewarganegaraan ada dua macam yaitu Hak Opsi: hak untuk
memilih menjadi warganegara suatu negara dan Hak Repudiasi:
hak untuk menolak menjadi warga negara suatu negara. Bila
seseorang menjadi warga negara dua negara atau lebih disebut
Bipatride, sedangkan seseorang tanpa kewarganegaraan suatu
negara disebut Apatride.
191
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
192
Hukum Tata Negara
193
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
196
Hukum Tata Negara
197
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
warga negara asing dan ibu warga Negara Indonesia;
e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak mem-
berikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari
setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah
dan ayahnya warga Negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara
Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan
sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara
Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila
ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak
diketahui keberadaannya;
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indone-
sia dari seorang ayah dan ibu warga Negara Indonesia yang
karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan per-
mohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau me-
nyatakan janji setia.
198
Hukum Tata Negara
Pasal 5
(1) Anak warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan
yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum
kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan
asing tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.
(2) Anak warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima)
tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing
berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga
Negara Indonesia.
Pasal 4
(1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,
huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarga-
negaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah
satu kewarganegaraannya.
(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan
kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana
ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat
3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun
atau sudah kawin.
Dari petikan pasal-pasal di atas, tampak sekali perubahan politik
hukum yang lebih mengutamakan pengharusutamakan gender dan
perlindungan terhadap anak-anak anak-anak hasil perkawinan
campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara
asing dan mencegah kewarganegaraan ganda dan tanpa ke-
warganegaraan.
Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan
ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai
dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut,
ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah
199
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
200
Hukum Tata Negara
Pasal 14
(1) Keputusan presiden mengenai pengabulan terhadap permo-
honan pewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal
pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(2) Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan presiden
dikirim kepada pemohon, pejabat memanggil pemohon untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(3) Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh pejabat untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu
yang telah ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa
alasan yang sah, Keputusan presiden tersebut batal demi hukum.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai
akibat kelalaian pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia di hadapan pejabat lain yang
ditunjuk menteri.
Pasal 10
(1) Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh
pemohon secara tertulis dalam Bahasa Indonesia di atas kertas
bermaterai cukup kepada presiden melalui menteri.
(2) Berkas permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada pejabat.
Pasal 11
Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada presiden dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan
diterima.
Pasal 12
(1) Permohonan pewarganegaraan dikenai biaya.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarga-
negaraan.
201
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
202
Hukum Tata Negara
Pasal 17
Setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pe-
mohon wajib menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian
atas namanya kepada kantor imigrasi dalam waktu paling lambat
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengucapan
sumpah atau pernyataan janji setia
Pasal 18
(1) Salinan Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan berita acara peng-
ucapan sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) menjadi bukti sah
Kewarganegaraan Republik Indonesia seseorang yang mem-
peroleh kewarganegaraan.
(2) Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
203
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Pasal 19
(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga
Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga
negara di hadapan Pejabat.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak
berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan
tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarga-
negaraan Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarga-
negaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang
bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan
pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesia sebagai-
mana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Per-
aturan Menteri.
Pasal 20
Orang asing yang telah berjasa kepada Negara Republik Indonesia
atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarga-
negaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibat-
kan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
Pasal 21
(1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Negara Republik
Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarga-
negaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarga-
negaraan Republik Indonesia.
(2) Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (Lima) tahun
yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai
204
Hukum Tata Negara
205
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Pasal 28
Setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indo-
nesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu
atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai
orangnya oleh instansi yang berwenang dinyatakan batal kewarga-
negaraannya.
207
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Pasal 29
Menteri mengumumkan nama orang yang kehilangan Kewarga-
negaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara ke-
hilangan dan pembatalan kewarganegaraan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Soal kehilangan kewarganegaraan adalah perwujudan asas
kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa per-
aturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional
Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai
negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
3) Syarat dan Tatacara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia
Pasal 31
Seseorang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
dapat memperoleh kembali kewarganegaraannya melalui prosedur
pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai
dengan Pasal 18 dan Pasal 22.
Pasal 32
(1) Warga Negara Indonesia yang kehilangan Kewarganegaraan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf
i, dan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) dapat memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan mengajukan
permohonan tertulis kepada Menteri tanpa melalui prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 17.
(2) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia,
permohonan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indo-
nesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
Permohonan untuk memperoleh kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia dapat diajukan oleh perempuan atau laki-
laki yang kehilangan kewarganegaraannya akibat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) sejak
putusnya perkawinan.
208
Hukum Tata Negara
209
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Pasal 28D
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan
Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara
Pasal 31
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
2. Hak Asasi Manusia
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang.
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan mem-
peroleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
210
Hukum Tata Negara
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapa pun.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diper-
budak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskri-
minatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlin-
dungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak assi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksa-
naan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundangan-undangan.
212
Hukum Tata Negara
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Semua hak asasi yang dimuat dalam pasal-pasal mengenai warga
negara maupun hak asasi manusia di atas merupakan hak dasar
atau hak konstitusional warga negara. Penjabaran dari hak-hak
dasar ini juga tesirat dalam pelbagai peraturan perundangan di
bawah UUD NRI 1945. Setiap warga negara memiliki hak untuk
mempertahankan hak-hak konstitusionalnya ini dengan melakukan
permohonan pengujian undang-undang bila hak-hak ini dilanggar
oleh pembuat undang-undang.
213
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
DAFTAR BACAAN
Gautama, Sudargo; 1987. Warganegara dan Orang Asing. Bandung:
Penerbit Alumni.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; 1981. Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara UI
dan CV. Sinar Bhakti.
Undang Undang RI No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia L N R I Tahun 2006 Nomor 63 TLNRI
NOMOR 4634.
UUD NRI 1945.
214
Hukum Tata Negara
Bagian Keenam
Partai Politik
dan Pemilihan Umum
1
Baca dalam Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar
Grafika, hlm. 134-135.
2
Baca lebih lanjut dalam Miriam Budiardjo, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta :
Gramedia, hlm. 155-156.
215
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
216
Hukum Tata Negara
217
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
B. Partai Politik
1) Definisi Partai Politik
Partai politik pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang
terorganisir, dimana para anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai
dan cita-cita yang sama, dengan tujuan untuk memperoleh ke-
kuasaan politik dengan merebut jabatan-jabatan politik secara
konstitusional lewat pemilihan umum9.
Menurut Carl J. Friederich10, partai politik adalah sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
Kemudian menurut R.H. Soltau11, yang dimaksud dengan partai
politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak ter-
organisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang
“dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih” bertujuan
9
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160.
10
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160-161.
11
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 161.
218
Hukum Tata Negara
219
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
17
Hal-hal perubahan mencakup Pasal 1 Angka (7), ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat
(1b) serta pada ayat (4) ditambahkan 4 (empat) huruf yakni huruf g, huruf h, huruf i, dan
huruf m, ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e diubah,
ketentuan Pasal 4 Ayat (1) diubah, ketentuan Pasal 5 diubah, ketentuan Pasal 16 Ayat (2)
diubah, Diantara Pasal 19 ayat (3) dan ayat (4) Pasal 19 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(3a), ketentuan Pasal 23 Ayat (2) diubah, ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d
serta ayat (2) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(1a), ketentuan Pasal 32 diubah, ketentuan Pasal 33 Ayat (1) diubah, diantara Pasal 34 ayat
(3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b) serta ayat (4)
diubah, di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A, ketentuan
Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah, ketentuan Pasal 39 diubah, ketentuan Pasal 45 diubah,
ketentuan Pasal 47 Ayat (1) diubah, Ketentuan Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4)
diubah, ayat (3) dihapus, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat
(1a), ayat (1b), dan ayat (1c). Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, diundangkan pada 15 Januari 2011, diumumkan ke dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5189.
18
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 158-159.
19
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 159-160.
220
Hukum Tata Negara
20
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 160.
21
Baca dalam Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 163.
221
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
222
Hukum Tata Negara
25
Lihat dalam Miriam Budiardjo, op.cit. hlm. 166-170.
26
Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 144-145.
223
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
- Partai asas/Ideologi.
Biasanya mempunyai pandangan hidup (ideologi) yang
digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada
doktrin dan disiplin partai yang kuat dan mengikat. Dengan
demikian, hubungan antar anggota sangat kuat/erat dan
ideologinya sangat kuat.
- Partai program.
Merupakan partai yang berorientasi pada program-program
yang konkret untuk diperjuangkan menjadi program nasional.
Diakui bahwa klasifikasi atas dasar 1) dan 2) di atas tidak me-
muaskan karena bisa saja satu partai politik sekaligus merupa-
kan partai kader dan partai massa, dan orientasi merupakan
partai kader selakigus partai program.
3) Klasifikasi atas dasar Jumlah Partai yang berpengaruh dalam
Badan Perwakilan, bahwa menurut Maurice Duverger, terdiri
atas tiga (3) sistem, yakni sebagai berikut:27
- Sistem satu partai atau Partai Tunggal/Mono Partai.
Dalam sistem ini, konsentrasi kekuasaan ada pada satu partai
yang berkuasa secara dominan. Bilamana ada partai politik
lain, sifatnya non kompetitif (tidak boleh bersaing secara bebas).
Sistem ini biasanya dianut oleh negara-negara komunis.
- Sistem dua Partai/Dwi Partai.
Sistem ini diartikan sebagai adanya dua partai atau lebih, tetapi
dengan peranan dominan dari dua partai. Contohnya Inggris
dan Amerika Serikat. Di Inggris ada 3 partai yakni Partai
Buruh, Partai Konservatif dan Partai Liberal. Namun yang
dominan adalah partai Buruh dan Konservatif. Sistem dwi
partai akan lebih menjamin stabilitas pemerintahan, karena
fungsi partai dalam Badan Perwakilan adalah sangat jelas.
Partai yang menang dalam pemilihan Umum akan men-
duduki pemerintahan, dan partai yang kalah akan menjadi
oposisi yang loyal. Menurut Miriam Budiardjo, sistem dwi
partai akan berjalan dengan baik bila didukung oleh adanya
27
Baca dalam I Made Sucipta I, op.cit., hlm. 145-147.
224
Hukum Tata Negara
28
Baca dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975, 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1950-1964, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
hlm. 65-70.
225
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
29
Baca dalam Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Pertama,
Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 135-245.
30
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 171.
226
Hukum Tata Negara
31
Baca I Dewa Gede Atmadja III, op.cit., hlm. 84.
32
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 119, dan lihat lebih lanjut dalam
Rusli Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut,
Jakarta: CV. Rajawali, hlm. 43.
227
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
228
Hukum Tata Negara
230
Hukum Tata Negara
231
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
232
Hukum Tata Negara
1987 53, tahun 1992, dan terakhir pada tahun 1997 54 dengan
hasil pemilihan umum yang senantiasa didominasi oleh
Golongan Karya, hingga pada masa Orde Baru runtuh pada
pertengahan Mei 1998.
- Masa Reformasi pada Tahun 1998 sampai saat ini
Diawali oleh krisis moneter, Indonesia dilanda krisis keper-
cayaan (moral) terhadap pemerintahan dalam arti luas ber-
samaan dengan isu penegakan hak asasi manusia dan penegakan
hukum. Khusus terhadap kehidupan partai politik, dikeluarkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 199955
tentang Partai Politik, Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 199956 dan Undang-undang Republik Indone-
sia Nomor 4 Tahun 199957.
Perlu dicatat, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1999 tersebut menjadi kunci utama untuk membuka kembali
kebebasan membentuk Partai politik dan boleh mencantumkan asas
ciri masing-masing partai, sehingga akhirnya muncul sistem banyak
partai, dan pada Pemilihan Umum Tahun 1999 terdapat 48 Partai
peserta Pemilihan Umum, demikian juga berdasarkan Undang-
53
Diantaranya diatur dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1975 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1980, Undang-Undang No.2 Tahun 1985 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomer 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1980, serta Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
54
Diatur dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1995 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1985
55
Baca dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai
Politik, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3809.
56
Lihat lebih lanjut dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999
Tentang Pemilihan Umum, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3810.
57
Lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang
Tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan
ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3811.
233
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
C. Pemilihan Umum
1) Masalah Perwakilan
Demokrasi menurut J.J. Rousseau dalam bukunya “Du Contract
Social” adalah suatu demokrasi langsung di mana pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan kehendak umum (volonte generale) atau
sebagian besar dari warga negara. Dalam praktik, ajaran Rousseau
ini sulit diterapkan karena luasnya wilayah negara, banyaknya
penduduk dengan kepentingan yang beragam, sangat menyulitkan
untuk penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan demokrasi
langsung tersebut, dan jalan keluarnya adalah melalui sistem per-
wakilan61. Negara Swiss mencoba menerapkan ajaran Rousseau
58
Baca lebih lanjut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 Tentang
Partai Politik, diundangkan pada 27 Desember 2002, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4251.
59
Komisi Pemilihan Umum, 2003, Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Perjalanan dan
Profilnya. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, Desember 2003, hlm. 4-5.
60
Baca dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
61
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja I, op.cit., hlm. 96-97, 108.
234
Hukum Tata Negara
62
Baca dalam Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hlm. 92-93.
63
Baca dalam Ismail Suny, 1978, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta : Aksara
Baru, hlm. 19-24.
64
Baca Ismail Suny, op.cit., hlm. 21.
65
Lihat lebih lanjut dalam Sri Soemantri, 1971, Himpunan Kuliah Perbandingan (Antar)
Hukum Tata Negara, Bandung : Alumni, hlm. 33-34.
235
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
66
Baca dalam Abu Daud Busroh, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kelima, Jakarta : Sinar
Grafika, hlm. 147-148.
67
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 109.
236
Hukum Tata Negara
68
Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 149 dan I Dewa Gede Atmadja,
op.cit., hlm. 110.
69
Lihat dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 159-150 dan I Dewa Gede Atmadja,
op.cit., hlm. 110-111.
70
Baca dalam Abu Daud Busroh II, op.cit., hlm. 150.
237
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
a) rakyat atau kelompok yang diwakili harus ikut serta dalam pem-
bentukan badan perwakilan dan cara terbaik adalah melalui
pemilihan umum yang menjamin adanya solidaritas sosial.
b) Kedudukan hukum antara pemilih dan yang dipilih adalah
semata-mata berdasarkan hukum objektif. Jadi, tidak ada per-
soalan hak-hak dari masing-masing. Mereka harus menjalankan
kewajibannya sesuai dengan hasrat mereka untuk berkelompok
dalam Negara atas dasar solidaritas sosial.
c) Si wakil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
menyesuaikan tindakannya dengan kehendak pemilihnya bukan
karena adanya hukum objektif yang didasarkan pada solidaritas
sosial yang mengikat, melainkan karena rasa solidaritasnya.
5) Teori Gilbert Abcarian
Gilbert Abcarian, dalam bukunya “Contemporary Political System”
(1970), melihat bahwa ada empat tipe hubungan antara “si wakil”
dengan “yang diwakili” dari segi kebebasan bertindak “si wakil”
dalam lembaga perwakilan. 4 (empat) tipe hubungan tersebut yakni:71
1. Tipe Wali, dimana “si wakil” bertindak sebagai “wali” (trustee).
Dalam hubungan ini, “si wakil” bebas bertindak atau mengambil
keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu ber-
konsultasi dengan yang diwakilinya (konstituen).
2. Tipe Utusan, dimana “si wakil” bertindak sebagai utusan (delegate).
Dalam hubungan ini, “si wakil” tidak memiliki kebebasan ber-
tindak, karena “si wakil” hanya merupakan duta, sehingga ia
harus selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakili-
nya dalam melaksanakan atau menjalankan fungsi lembaga
perwakilan. Jadi, tipe utusan atau delegasi ini identik dengan
“teori mandat”.
3. Tipe Politico, dimana “si wakil” bertindak kadang-kadang sebagai
wali (trustee) dan ada kalanya sebagai utusan (delegate).
Tindakannya tergantung dari isu (materi) yang dibahas.
4. Tipe Partisan, dimana “si wakil” bertindak sebagai “partisan”.
Dalam hubungan ini, “si wakil” tidak memiliki kebebasan ber-
71
Baca dalam Bintan R. Saragih, 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia; Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 85.
238
Hukum Tata Negara
239
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
240
Hukum Tata Negara
241
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
78
Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 261-262.
79
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Pertama, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, hlm. 415-417.
242
Hukum Tata Negara
80
Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar Hukum Tatanegara
Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas Indonesia dan
CV Sinar Bhakti; hlm. 332-334.
81
Baca Mohammad Koesnardi dan Bintan R. Saragih, op.cit., hlm. 239-240.
82
Lihat lebih lanjut dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 120-121 dan Jimly
Asshidiqie II, op.cit., hlm. 417-418.
243
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
83
Baca dalam I Dewa Gede Atmadja, op.cit., hlm. 121-122 dan Jimly Asshidiqie II,
op.cit., hlm. 418-419.
244
Hukum Tata Negara
84
Baca dalam Jimly Asshidiqie II, op.cit., hlm. 420.
245
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
85
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
86
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1956 tentang Pengubahan
Undang-undang Pemilihan Umum (Undang-Undang No. 7 Tahun 1953, Lembaran-Negara
No. 29 Tahun 1953).
87
Pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang berbunyi,“Kemauan
dari rakyat adalah sumber dari kekuasaan penguasa, kemauan ini dinyatakan dalam pemilihan
berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan
berkesamaan serta pemungutan suara yang rahasia atau pun menurut cara yang menjamin
kebebasan mengeluarkan pendapat …“. Baca dalam Mohammad Koesnardi dan Harmaily
Ibrahim, op.cit., hlm. 342.
88
Baca dalam ketentuan Pasal 134 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1953. Baca lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
89
Mohammad Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., hlm. 343.
90
Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat, hlm. 3-4.
246
Hukum Tata Negara
91
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XLII/MPRS/1968 tentang Perubahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum termasuk
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum
lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai
dilaksanakan. Baca dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2011, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003, Cetakan Kesepuluh, Jakarta : Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, hlm. 22.
92
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.
93
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
94
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 204.
247
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3809.
102
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum,
diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 23 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3810.
103
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Tentang Susduk
MPR, DPR dan DPRD, diundangkan pada 1 Februari 1999, diumumkan ke dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3811.
104
Baca dalam Jimly Asshidiqie, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 110-115.
249
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
Indonesia Nomor 42 Tahun 2008117, dan dalam hal ini, maka sistem
pemilihan yang dianut juga masih sama dengan dua pemilihan
sebelumnya yakni Tahun 2004 serta Tahun 2009, yakni sistem pemi-
lihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melalui sistem pemilihan Proporsional dengan daftar
terbuka, sementara untuk Dewan Perwakilan Daerah menganut
sistem Distrik berwakil banyak. Sedangkan untuk memilih presiden
dan wakil presiden menganut sistem pemilihan perorangan dimana
paket calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik.
Dari keseluruhan pemilihan umum tersebut di Indonesia, tidak
terdapat perbedaan substansial berkaitan dengan pelaksanaan
pemilihan umum, hanya terdapat perbedaan dalam hal jumlah partai
politik, maupun pihak yang dipilih, serta pelaksana Pemilihan Umum
dari masa ke masa dalam tinjauan ketatanegaraan Indonesia.
D. Kesimpulan
Demikian telah dijabarkan berkaitan dengan garis besar tentang
kekuasaan negara, partai politik dan sistem pemilihan umum di
Indonesia. Seperti telah disinggung sebelumnya, konsep pemerin-
tahan dengan sistem perwakilan menuntut adanya konsep sistem
pemilihan mekanis dengan sistem perwakilan proporsional ada ber-
bagai variasi, demikian juga penerapan sistem distrik dengan ber-
wakil banyak adalah satu contoh variasinya. Untuk mengenal lebih
mendalam tentang kekuasaan Negara, partai politik maupun
pemilihan umum pada masa tertentu, tentunya haruslah diteliti
setiap undang-undang maupun pandangan doktrin ketatanegaraan
terkait dengan konsep kekuasaan negara, partai politik maupun
pemilihan umum, khususnya bilamana merujuk pada undang-
undang tentunya haruslah mengikuti dinamika ketatanegaraan
Indonesia yang dinilai paling cepat berubah.
252
Hukum Tata Negara
DAFTAR BACAAN
Sumber Literatur
Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta : PT.
Gramedia.
Asshidiqie, Jimly, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi
Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
__________, 2010, Konsolidasi dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Negara, Cetakan Pertama, Jakarta : Sinar Grafika.
__________, 2010, Komentar atas Pasal-pasal Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama, Jakarta :
Sinar Grafika.
__________, 2015, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Edisi Revisi,
Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Atmadja, I Dewa Gede, 1989, Partai Politik Dan Golongan Karya Dalam
Lintasan Perundang-Undangan, Denpasar: Penerbit Setia Kawan.
__________, tanpa tahun, Rangkuman Studi Ilmu Politik (Diktat),
Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana.
__________, 2012, Ilmu Negara, Dimensi Historis Ketatanegaraan,
Malang: Setara Press.
Budiardjo, Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.
Busroh, Abu Daud, 2010, Ilmu Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Sinar
Grafika.
__________, 2013, Ilmu Negara, Cetakan Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika.
Huda, Ni’matul, 2008, UUD 1945 & Gagasan Amandemen Ulang,
Cetakan Pertama, Jakarta : Rajawali Grafindo Press.
Kaelan, 2014, Pendidikan Kewarganegaraan, Edisi Revisi, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Karim, Rusli, 1983, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret
Pasang Surut, Jakarta : CV. Rajawali.
Koesnardi, Mohammad, dan Harmaily Ibrahim, 1981, Pengantar
Hukum Tatanegara Indonesia. Jakarta: Penerbit Pusat Studi
Hukum Tatanegara Universitas Indonesia dan CV Sinar Bhakti.
Koesnardi, Mohammad dan Bintan R. Saragih, 1993, Ilmu Negara,
Jakarta : Gaya Media Pertama.
253
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
254
Hukum Tata Negara
255
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
256
Hukum Tata Negara
257
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
258
Hukum Tata Negara
259
Pasca Perubahan UUD NRI 1945
260