Anda di halaman 1dari 10
LIK. Vol.04/No.03/Septembor/2009 Fektor-Faktor yang Mempengaruhl Cultura Shock FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA BARU ANGKATAN 2008 PSIK FK UGM. Devi Novianti’, Sri Warsini’, Rusyad Adi Suriyanto? Program Studi limu Keperawatan, FK UGM, Yogyakarta * Laboratorium Bioantropologi dan Palecantropologi, FK UGM, Yogyakarta ABSTRACT Background: Increasing of migration in education field make cross-cultural encounters that ‘5 cultural diversty cannot be avoided. This may affect social friction in human interaction, special for expatriato student come from outside when they interac! Wo neal tusems toy ‘cultural friction may affect alienation that manifest anxiety and cepression to seagate. That symptom is usvaly caled cuture shock. Many factors inhuencing caters shock, such as age, sex, ethnicily language , Sojouming experience, social support, Culture distance, personally, level of current dysphoria, and coping mechanism Menetive: To identy factors influencing cuture shock of nursing freshmen 2008, Gedjoh ty Faculty of Medicine. Result: The results showed that the majorty of respondents did not experience culture Shock (92.2%), and that there were no diferent signticantly of culture Keywords: culture shock, age, sex, ethniciy, nursing freshmen PENDAHULUAN Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa, Kebiasaan, adat istiadat, agama dan pola hidup. Keberagaman ini dapat menjadi tantangan ‘ersendirl bagi masyarakat Indonesia memasuki era globalisasi. Pesainya perkembangan teknologi, {erutama di bidang transportasi dapat menimbulkan peningkatan mobilitas dan migrasi penduduk yang semakin nyata, yang aelanjutnya dapat dimungkinkan terjadi pertemuan lintas budaya, Pertemuan ini dapat menimbulkan terjadinya interaksi antaroudaya yang berbeda makin labih jauh Migrasi di bidang pendidikxan menimbulkan friksi budaya yang mutiak dihadapi oleh para mahasiswa pendaiang.* Keblasaan can adat-istiadat yang berbeda dapat menimbulkan benturan-benturan budaya bagi para mahasiswa pada tahun-tahun pertama kedatangannya di kota tujuan, Macalah- masalah ini dapat menjadi pemicu timbulnya stressor psikososial yang mampu memunculkan Gepresi pada beberapa mahasiswa, Perbedaan budaya yang dinadap tersebut sering menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan pertukaran informasi, dan lebih jauh mengakibatkan perasaan terasing (alienas)) yang dapat momicu kecemasar Kondisi ini dapat memicu seseorang mengalami culture shock? Peneliti telah mensurvei para mahasiswa Program Studi imu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada sebanyak 26 ‘orang dari angkatan 2005 - 2007 yang berasal dari war Yogyakarta don Jawa dengan mengguliskan skala pengukuran culture shock Mumford.* Hasil Survel menunjukkan gejala culture shock yang berupa homesickness, perasaaan syok dan sires interpersonal; antara lain berupa kecernasan dalam berinteraksi dengan orang lokal dan berusaha untuk tampil lebih sopan, merasa tidak berdaya melakukan koping dengan budaya yany bau, kelegangan beradaptasi, pemah berpikr untuk melarikan dir dari lingkungan yang baru, merasa tidak percaya diri, 171 IK. Vol. 04/No.03/Seplember/2009 merasa kesulitan dalam memahami gesture (isyarat tubuh) masyarakat setempat, kebingungan peran dan identitas, dan perasaan tidak diterima oleh masyarakat lokal. Cuiture shock merupakan gangguan emosionel, ketegangan dan kecemasan yang dialami oleh ‘seseorang ketika dua tatanan sosialbudaya dan pola pikir saling bertemu. Peristiwa ini dapat diperoleh ketika seseorang berpergian atau bermigrasi dalam periode waktu yang relat lama.5*? Gojala ini dapat berbeda pada masing-masing individu, namun gefala uur yang dapat diesen antara lain: perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada kelompok dari kebudayaannya sendiri, marah dan frustrasi, menunda atau sama sekali menolak untuk ‘mempelajari bahasa suku bangsa setempat, keadaan linglung, ketakutan ditatap atau menatap penduduk setempat, ketakutan yang berlebinan akan ditipu, dicuri, dan dilukai, kekhawatiran yang sangat tethadap nyeri minor dan kerinduan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman, makanan, dan minuman daerah aselnya dan mengunjungi kerabat dekat yang telah lama dikenal (homesickness)* Taft? menambahkan gejala-gajala lain culture ‘shock, yang meliput ketegangan dalam beradaptasi dengan budaya baru, perasaan kehilangan, kebingungan dalam peran yang diharapkan dan identitas dir, perasaan dtolek oleh kelompok budaya baru, serta kecemasan dan perasaan tidak mampu karena tidak dapat melakukan koping terhadap lingkungan yang baru. Guanipa® juga memperinci tanda dan gejala peristiwa ini yang sering muncul, yang meliputi kesedihan, Kesepian, kemurungan, Perhatian terhadap kesehatan, sakit, nyeri, alergi, insomnia, keingirtan untuk tidur lebili banyak atau lebih sedikit, perubahan delam temperamen/ watak, depresi, perasaan mudah tersinggung, merasa tidak berdaya, marah, peka. benci, keengganan untuk berinteraksi dengan orang lain, memihak pada budaya lama atau mengidealkan budaya lama, kehilangan identitas/jati diri, berusaha keras ‘menyerap segala hal dan budaya/ tempat yang baru, tidak dapat memecahkan masalah-masalah yang sederhana, kurang percaya diri, perasaan kekurangan dan tidak aman, membentuk stereatip tentang budaya baru, membangun obsesi bertebihan seperti kebersihan yang berlebihan, kerinduan terhadap keluarga, perasaan kehilangan, merasa diawasi, dieksploitasi dan bahkan disakit Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya culture shock. Faktor-faktorini dapat meliputi derajat Porbedaan budaya sendiri dan budoya tuan rumah (culture distance) yang dapat meliputi suku bangsa, bahasa, adat istiadat, agama, tingkat persiapan sebelum berangkat ke tempat yang baru 172 (pengalaman merantau), jaringan dukungan sosial, karakteristk psikologis seseorang, koping individu, tingkat disforia yang sedang dialami, jender, dan kualitas dukungan sosial yang diterima PPorantau."®" Faktor-fektor ini dapat memunculkan erbedaan derajat cutture shock yang diterima oleh tiap-tiap individu. Penelitian ini bertuiuan untuk mengetahui perbandingan faktor-faktor yang mempengaruhi ‘culture shock yang terjaci pada para mahasiswa baru Program Studi limu Keperawatan Fakultas Kedokleran Universitas Gaujah Mada (PSIK FK UGM) angkatan 2008 di Yooyakarta BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yang menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan penelitian ross sectional. Peneiit telan melakukan penelitian ini di PSIK FK ‘UGM pada tanagal 25 -28 Mel 2009 dengan populasi ‘sasarannya adalah para mahasiswa program Adan B angkatan 2008, dengan toknik pengambilan ‘sampelnya menggunakan total sampling. Sampel ‘yang memenui kriteria inklusi berjumlah 102 orang. Pengumpulan data menggunakan kuesioner culture shock The Acculturative Stress Scale for International Students (ASSIS) oleh Sandhu & Astabadi® dan Mumford! yang telah dimodifikasi berdaserkan survei yang telah dlakukan sebelumnya. Data hasil penelitian disajikan dalam distribusi frekuensi dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik Fisher's exact test. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Responden_penelitian ini adalah mahasiswa program A dain B PSIK FK UGM angkalan 2008. Responden yang memilikikriteria sebagai subjeknya berjumiah 102 mahasiswa (Tabel 1); dan ‘menunjukkan bahwa sebagian besar mereka adalah perempuan. Fenomenaini berkaitan dengan sojarah ‘masuknya profesi keperawatan ke Indonesia yang diintroduksikan oleh Pemerintah Belanda dan VOC, dan beriringan dengan dominasi pemikiran (etika) pada masa tersebut di Eropa Barat. Pandangan ini berorientasi untuk mendekatkan profesi perawat ‘sebagai manifestasi peran domestik para perempuan (ibu) yang mengaktualisasikan peran pengasuhan, perawatan dan pembimbingan anak-anak dan keluarga di dalam rumah tanga. Misi kedokteran baru berkembang setelah kedatangan dr. J.C. Schreuer pada tahun 1893, yang kemudian digantikan oleh dr. Pruys di Yogyakarta, dan dr. Borvoete di Mojowamo (Jombang); dan merekajuga kelompok pertama yang mendidik calon-calon erawat secara informal, di, mana di Mojowarno, krut dari siswi-siswi misionaris, sedangkan di Yogyakarta direkrut dari pembantu rumah tangga (bedinde), tukang kebun dan pekerja kasar lainnya. Kenyataan ini masih terlihat di lembaga pendidikan keperawatan terendah sampal tertinggi, bahkan sampaltingkat profesi perawat. Tabel 4. Distribusi Frekuens! Karaktoristik Responden (n=102) Karakteristik Jumiah —Persentase Tenis ketemin Peremeson 2 eos tania 25 28 Tata 1220 2 x63 29 z 3 Bikar banges———*$- $87. _ “ave 5 529 Nondewa ry ais “para Tongah 25 45 ‘owe 243 Sia Tire 7 a Jawa Barat 10 38 Sumatrs " a7 Xehmartan %e 78 Sulawes : By Sa : io Nusa Tenggara te 17 Man aya 2 Fd Mai a 25 Sie ea ee 09,9 Sumter: Data primer Rentang usia mayoritas responden adalah 21 — 40 tahun. Havighurst® menegaskan bahwa mereka ‘adalah individu yang telah cukup matang untuk membina hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, mandiri secara emosional dari orang tuanya, mempunyai komitmen terhadap sesuatu dan {olah berkompetensi melekukan tugas dan kewajiban yang diembankannya pada masa ini, sehingga dapat Gianggap mampu tinggal jauh dari keluarga atau Pergi merantau. ‘Mayortas responden berasal dari suku bangsa Jawa terkait dengan kedekatan akses lokasi Pendidikan dengan UGM, khususnya di 7 amun migras! Inl juga dapat terjadi karena {ransportasi dan komunikasi yang makin mudah, dan didukung motivasi untuk bersaing dl ranah akademis. Persebaran asal daerah respondon culup beragam, Bila dibandingkan di antara para mahasiswa yang berasal deri Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa, maka diperoleh komposisi dari Luar Pulau Jawa ialah 60 fesponden dan Pulau Jawa (di sini meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat) yaitu 42 esponden. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa Pendidikan menjadi sualu alssan bagl seseorang merantau untuk memperoleh kesempatan bersekolah di institusi yang sangat bermutu.** FFoktor-Faktor yang Mempanganihi Cutie Shack Culture Shock Culture shock dikiasifikasikan menjadi dua kategor, yaitu culture shock dan tidak culture shock. ‘Culture shock sendiri merupakan gejala kecemasan ddan depresi yang dialami seseorang ketika bepergian «au pindan ke tatanan sosial dan budaya yang baru.” Berdasarkan Tabel 2 diperoleh has bahwa mayoritas responden tidak mengalami culture shock. Hasil ini menandakan mahaciowa yang berasal dati luar Yogyakarta ataupun luar Jawa hanya mengalami kesulitan penyesuaian yang terbilang wajar. Pavel? dan Solomon & Patch' menyatakan hahwa mahasiswa tingkat pertama dalam berbagai erubahannya akan mengelami reaksi penyesuaian Giri, antara lain: kecemasan, kegelisahan, dan depreci yang wajar dialami oleh mahasiswa baru, ‘abel 2. Distribusi frekuensi mengalami culture shock “Kategori JumlahPersentase 1%) Tidak culture shook oF 322 Cuture shock 8 78 Jumiah Tor mi 12 00 7008 ‘Sumber Data primer Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ‘mayoritas responcen tidak mengaiami culture shock dipengaruhi oleh jarak budaya (culture distance) ‘Yang tidak terfampau jauh antara budaya pendatang dan budaya lokal, serta norma dan nilai yang dianut oleh pendatang masih bisa ditolerir dan diterima karena masih berada dalam satu negara. Cutture distance mengacu pada seberapa jauh perbedaan ‘antere dua budaya yang juga merupakan faktor Predisposisi seseorang dalam beradaptasi dengan budaya yang baru.'* Culture shock dapat dialami ketika culture distance antara budaya acal dengan budaya baru terlampaujauh.* Berry et a.*menyatakan bahwa semakin besar erbedaan antara budaya pendatang dan tuen rumah, ‘Semekin besar sires yang bisa dialami. Berry ef a,"® Juga mengkategorisasikan sumber-sumber kesulitan yang menjadi kendala seseorang melakukan ‘adaptasi biidaya, seperti lingkungan fisik (iklim, ‘tempat yang tidak famitier, kurangnya keamanan), faktorbiologis (mekanan dan penyakit), faktor sosial (homesickness, keterasingan, kesepian), faktor Dudaya (perbedaan nilai budaya, diskriminast budaya), faktor fungsional (akademik, kesulitan finansial, dan masalah transportasi). Responden memang cukup boragam dalam suku dan budaya, namun karena masih dalam lingkup negara yang sama, maka perbedaan maupun benturan-benturan antar individu yang berbeda kebudayaan tidak terial nampak dan masih bisa ditoleransi oleh masing- masing individu. 173 JK Volo4/No.03/September/2008 Mayoritas responden tidak mengalami culture shock dikarenakan oleh beberapa faktor seperti: Pengalaman merantau tuntutan akademik, dan ‘kullurasi dalam keluarga. Kebanyakan responden telah mempunyal pengalaman merantau yaitu dari total responden 57 orang (55,9%) telah mempunyai pengalaman merantau ke provinsi lain dan cicanya atau sebanyak 45 orang (44,1%) belum pernah ‘merantau, Pengalaman merantau ini menyebabkan ‘orang lebih percaya dir ketika menemui hal-hal yang sifatnya asing bagi dirinya sehingga dapat ‘meningkatkan toleransinya terhadap perbedaan buciaya ketika dia pergi ke tempat yang baru, Tuntutan akademik juga mungkin menambal kewaspadaan responden dalam memotivasi dir agar tidak terlarut oleh stres yang ditimbulkan lingkungannya yang masin asing, sehingga hasil yang didepatkan mayorites tidak mengalami culture shock. Responden dalam hal ini merupakan mahasiswa yang dituntut untuk berpikirlebih matang dalam menghadapl persoalan-persoalan, terutama yang terkait dengan akademiknya, sehingga mereka ‘mempunyai motivasi harus beradaptasi lebih baik dengan lingkungan barunya, ‘Sebagian keluarga responden juga telah ‘mengalami akulturasi pada keluarga int (ayah dan iu), Akulturasi merupakan pertemuan dua budaya atau lebih, yang nyata dalam akulturasi keluarga adalah perpaduan dua suku bangsa yang berbeda dalam sebuah keluarga, sehingga pembelajaran terhadep budeya yang berbeda dapat mengurangi culture shock yang mungkin terjadi. Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas dari salah satu asangan tersebut berasal dari suku bangsa Jawa. Secara asosiatif, fenomena budaya ini dapat digambarkan, dengan meminjam istilah Mitchell etal.* sebagai satu kehidupan dengan dua budaya (vo cultures one fi ‘abel 2 memperiihatkan para mahasiswa yang mengalami culture shock sebanyak delapan orang Menurut Baker.” culture shock teriadi karena perbedaan iklim, makanan, bahasa, cara berpakeian, norma sosial, maupun nila-nlai yang ada pada suatu daerah. Perbedaan-perbedaan di lingkungan yang baru (Yogyakarta) menjadi stressor tersendini bagi pendatang/perantau yang berasal dari lar daerah khususnya dari luar Jawa. Furnham & Bochner? menambahkan perasaan yang dialami pendatang/ perantau dapat mengarah pada rasa takut, tidak percaya diri, tekanan dan frustasi. Apabila hal demikian terjadi pada seseorang, maka dikatakan ‘sedang mengalami culture shock. ‘Culture shock dalam penelitian ini diatami oleh delapan mahasiswa, Culture shock dapat diamati ‘berdasarkon acal daorah responden. Persebaran asal 174 Gaerah dan skor culture shock-nya dapat disimak dalam Tabel 3. Tabel 3. Persebaran Asal Respond M Culture Shock page Mehasawa IC FR-UGM Anghatan 208 (nea) ‘Tani duealh jakuensl Ska conus Banjaregara (Jawa Tengah) 7 147 CGirebon (Jawa Barat) 2 139,147 Batu Sangkar (Sumatera Barat) 1 us ‘simtang (Raimantan Barat ) 1 148 ‘Serang (Jawa Barat) 2 144, 160 ‘Sumba Tenur (Nusa Tenggara Timur) 1 461 Sumber: Data Primer Berdasarkan Tabel 3, skor culture shock yang tertinggi diperoleh responden yang berasal dari ‘Sumba Timur dan ekor torendah diperoleh salah satu responden yang berasal dari Cirebon. Kenyataan ini dapat dipahami karena secara area budaya, Cirebon termasuk di dalam kebudayaan Jawa secara luas,*°** karena masyat Cirebon masih memperiihatkan sosiokutural Jawa dalam kehidupan ‘sehari-hari. Mereka masuk dalam variasi regional budaya Jawa, yakni Pesisir Kiln (Pesisir Borat)” ‘Secara klinis perolehan skor berdasarkan asal daerah tersebut kurang sesuai dengan penelitian Mumford," karena dapat dilihat bahwa skor culture shock pada salah satu responden yang berasal dari Jawa Tengah masih lebih tinggi daripada yang berasal dari Jawa Barat. Hal tersebut dapat berkaitan dengan kemampuun aduplasi masing-masing individu yang berbeda dalam menyikapi stressor dari lingkungan baru mereka, yang juga dapat dipengaruhi ‘suku bangsa. agama. tingkat persiapan sebelum berangkat ke tempat yang baru (pengalaman merantau), jeringan dukungan sosial, karakteristik psikologis seseorang, Koping individu, tingket distoria yang sedang dialami, jender, dan kualitas dukungan sosial yang diterima perantau.®"*"" Jelasiah ini karena Mumford"? melakukan penelitiannya dengan latar belakang atnalogis yang relatif harheda dengan Indonesia, yang mana suatu wilayah dapat terdiri dari berbagai suku bangsa atau beberapa wilayah terdiri satu suku bangsa. Secara uum, wilayah- wilayah di Indonesia dihuni berbagai suku bangsa, misainya Pulau Flores dihuni oleh suku bangsa ‘Manggarai, Riung, Ngadah, Ende-Lio, Bajawa, Sika dan Lamaholot.2 Beberapa gejala culture shock yang dialami oleh delapan responden dapat dilihat pada Tabel 4. Mereka telah mengatami gejala-gejala ini, dan yang paling umum adalah perasaan asing, kesepian, ‘sedih, dan tertekan karena berpisah dengan orang- ‘orang terdekat dan bertemu dengan orang baru. Faktor-Fektor yang Mempongaruh! Culture Shock ‘Tabel 4. Gojala yang Dialami oleh Responden yang Mengalami Culture Shock ‘pada Mahasiswa PSIK FK UGM Angkatan 2008 (ne8) ‘cufture shook Frekuonel —Parsontase rasaan fegang beradaptasi dengan budaya Jawa dl Yopy@ara 7 er Perasaan asing, kesopian sedi dan terickan karena berpsah dengan 7 jon ‘rang-oreng terdekat dan bertemu dengan orang bar i Perasaan cemas dan canggung berintoaksl dencan arang.orang oka 6 sip ogyarana i Perubahan waktu tidur dan kebiasaan meken 8 750 Etnosentrsme budaya asal 5 625 osultan, penolakan, dan tidak percaya dit Berbahasa Jawa 7 ars ‘Mecasa iim dl yogyatiaria sek seryenat i Gaston aan 6 750 ‘Kebingungan penurjuken erah ceh penduduk oka (Youyakarta) 6 750, ‘Sumber: Data Primer Perasaan asing (alienasi) merupakan gejala Khas culture shock dikarenakan kurangnya dukungan dari anggota keluarga dan teman yang biasenya membantu dalam menghadapi dan menyelesaikan situasi yang suli."” Secara tidak Jangsung, kesepian menjadi gejala penyerta dari erasaan asing tersebut akibat tiadanya orang-orang Yang telah dikenali sebelumnya dan kesulitan untuk berinteraksi dengan orang baru di kebudayaan yang baru. Keadaan ini membuat sevagian orang merasa tertekan atau depresi menghadapl stressor yang ada dilingkungan barunya.’ Gejala lain yang dialami oleh Tesponden yaitu perasaan tegang beradaptasi dengan budaya Jawa di Yogyakarta. Ketogangen tersebut timbul dikarenakan seseorang berusaha untuk memahami segala perbedaan yang ada di lingkungan barunya dan berusaha untuk lebih ‘menerima perbecaan meskipun pendatang sama Sekali tidak mengenalinya.* Gejala lain yang menyertai merupakan gejala cutture shock yang umum dijumpal, seperti perasaan comas dan canggung berinteraksi dengan orang-orang lokal, Perubahan waktu tidur dan kebiasaan makan, kesulitan, penolakan, dan tidak percaya di Derbanasa, merasa iklim di tempat yang baru tidak senyaman di daerah asalnya, kebingungan Penunjukan arah oleh penduduk lokal, dan etnosentrisme budaya asal.§ Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Culture ‘Shock Korelasi culture shock dengan beberapa faktor predisposisi yang meliput taktor usia, jender, sukU bangsa, dan kelancaran berbahasa Jawa telah ilakukan dengan analisis bivariatfsher’s exact test (Tabel 5). Secara umum, mereka yang tidak ‘mengalami culture shock berusia 21 — 40 tahun (dewasa muda), sedangkan mereka yang mengalami culture shock berusia 18 — 20 tahun. Secara Klinis, kevenderungan curture shock dialami mereka yang bberusia remaja; namun penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan culture shock secara signifikan berdasarkan usia (p= 0,138). Hasil ini mekin ‘menegaskan hasil peneitian oleh Wingfield*bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia dengan kesulitan penyesuaian oleh mahasiswa perentau. Yen & Inose®juga menyatakan argumentasi ‘Serupa bahwa tidak ada hubungan yang signifikan ‘antara usia dengan tingkat stres yang dialami seorang erantaui Thomson” makin momperkukuh penelitian= Peneiiian tersebut, melalui penelitian mengenaistres budaya yang terjadi pada para mahasiswa asing yang kuliah di beberapa universitas di Australia. ‘Tebel §. Analisis Bivarlat Pada Faktor-faktor yang Mempengaruni Culture Shock (n=102) Catare Shock Faktor-faktor yang mempengaruhl Tidak culture shock Culture shock, « p raive TE ure shock eutore trosk— f % f ots 2 a 5 49 12-20Tahun x 13 ; 21-40 Tahun € 609 Be) ops nites ‘eke Perey 15 735 7 6a taken 9 188 2 0p = 02tb eho poo ‘ioeee se o19 2 20 arm ose Non vJawa 2 42 6&8 Ketancaran berbahasa Jawa Lancer 3 520 eh sntgs Hone eae Tidak Lancer a © as 2 ‘Sumber: Data primer 175 8 VoL. oa/ve.03rSeptember/2008 Beberapa arqumentasi penolakan diajukan oleh para peneliti yang menegaskan bahwa usie ‘merupakan salah satu fektor predisposisiterjadinya culture shock.** Argumentasi-argumentasi ini ilandasi balnwa usia vernaja lebin rentan temmadap stres karena dalam masa pencarian jati diti dan banyak menghadapi benturan-benturan baru nilai dalam proses kehidupannya. * Perbadaan budaya ini dapat menjadi stressor baru begiremaja, di mana emosinya masih labil untuk melakukan koping terhadap stressor tersebut.®” Msengi® menegaskan bbahwa tingkat kejadian culture shock lebih tinggi Pada usia remaja, Karena mereka belum cukup ‘matang dalam mengelola emosi, ketidakmampuan dalam berhubungan dengan tanggung jawab yang baru den kurangnya pengalaman dalam melakukan koping terhadap stres. Hasil penelitian Hovey! ‘memperkukuh argumentasi kelompok ini bahwa colah satu faktor predisposis! seseorang yang ‘mengalami cufture shock karena bermigrasi adalah Usia remaja, Hasil penelitian ini menunjukkan tidek ada Korelasi kejadian culture shock dengan usia boleh Jadl disebabkan usia remaja dan dewasa muda pada ‘era globalisasi ini sudah tidak banyak berbeda dalam Porkembengan Kognitifnya. Sarana dan fasilitas yang memadal dapat mempermudah proses ‘adeptasi terhadap lingkungan ekstemainya, Tuntutan lingkungan yang diterima moroka relatif tidak jaun berbeda, dan mereka juga memiikitantangan yang relatif sama dalam menghadapi perubahan dan Perbedaan yang sedang dihadapi. Rentang waktu selahun yang telah mereka lampaui dapat mempengaruhi hasil penelitian ini, di mana kedua kelompok umur sudah dapat beradaptasi dengan kebuclayaan Jawa di Yogyahar i ‘Secara seksual, para responden perempuan yang mengalami culture shock 7 orang (6,9%), ‘sedangkan responden laki-laki yang mengalami Culture shock anya 1 orang (1,0%) (Tabel 5). Secara klinis, kita dapat berargumentasi bahwa Kecenderungan terjadinya culture shock lebih nyata Pade perempuan daripada laki-laki, namun dari hasl Statistik (p= 1,000) menunjukkan tidak ada Perbedaan culture shock di antara responden laki- laki dan perempuannya. Galloway & Jenkins® ‘menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara sseksual yang signifikan pada proses penyesuaian individu yang sedang melakukan migrasi ke daerah yang baru. Lin® juga menegaskan bahwa tidak ada Perbedaan signifikan di antara mereka yang mengalami stres akulturasi atau cufture shock. Hastnst i bembeda dengan bunt rs meneliti_para pekerja perempuan Inggris yar bekerja ke luarnegeri, di mana mereka memilki skor cutture shock yang lebih tinggi daripada lak lokinya. 176 Penolitian Mumford ini dipertegas oleh penelitian Msengi* bahwa perbedaan seksual berpengaruh tethadap tingkat kejadian cutture shock. Pantelidou & Craig’?juga makin mempertegas temuan mereka bbahwa memang ada hubungan yang signifikan antara ‘seks dengan culture shock. Berry"® menduga bahwa Para perempuan lebih cenderung mengalami stres yang lebih besar daripada laki-akinya disebabkan ‘mereka mempunyal kepribadian yang lebih labil, dan adanya peran hormon yang mempengaruhi kondisi emosi sehingga mudah meletup, curiga dan cemas, Mereka mempunyai organisasi hormon yang lebih ompleks dan sering mengalami gangguan hormonal, Seperti pada sikius menstruasi, yang sering ‘memunculkan kecemasan.* Hasil peneiitian ini menunjukkan tidak terdapat erbedaan culture shock yang bermakna di antara Dara lakl-taki dan perompuannya dapat dliengaral ‘sebagai suatu kondisi masyarakat kita yang makin dinamis (selalu berubah) dan tuntutan kesetaraan Jender, yang memungkinkan perilaku mereka sudah tidak banyak berbeda dalam menghadapi stressor eksteral dari lingkungannya. Reaksi culture shock inl juga merupakan gejaia universal yang dapat menghinggapi individu baik laki-laki maupun Perempuan yang berasal dari budaya yang berbeda;"* yang secara dasar, mereka mempunyai tantangan yang sama dalam menghadapl perbedaan budaya yang sedang dihadapinya, Keterkaitan peristiva culture shock dan suku ‘bangsa memperthatkan responden dari suku bangsa awa yang tidak menyalami curture stock 52 orang (51.0%) dan mengalami culture shock 2 orang (2,0 ‘%), Sedangkan responden dar luar suku bangsa Jawa yang tidak menderita cuttre shock 42 orang (412%) dan yang menderita culture shock 6 orang (5.8%) (Tabel 5). Secara Klinis, kita dapat menduga bahwa kecenderungan peristiwa culture shock seharusnya lebih nyats didenta olen responden dari luar Suku bangs Jawa; namun secara statistik, kita melihat tidak ada perbedaan culture shock di antera mereka (= 0.143). Perbedaan euku bangsa disinyalir Menjadi alasan yang kuat untuk berperilaku nogatif, ‘seperti etnosentrisme, yang merupakan bagian dari Komponen culture shock di mana seseorang merasa suku bangsanya lebih superior daripada suku bangsa {ain.!® Gollnick & Chinn menyebut etnosentrime ‘sebagai seseorang atau kelompok yang tidak ‘mampu melihat kobudayean lain dalam perspektit yang sama sebagai kesatuan realitas.™ Hasil enelitian ini makin menegaskan kenyataan ini, yatu 94 orang (92,2%) mengalami suatu perasaan superior suku bangsa dan kebudayaannya. Suku bangsa dapat menjadi faktor predisposist munculnya culture shock yang tidak dapat dimodifikasi.* Sebageimana komponen culture distance yang lain, kita dapat menduga bafwe semakin besar perbedaan kebudayaan suatu suku bangsa terhadap kebudayaan Jawa (Yogyakarta), make seherusnya makin tinggi terjadi neristiva culture shock. Mumford'* mengukur hubungan antara culture ‘shock dengan indeks culture distance berdasarkan negara terhadap mereka yang berasal dari 20 negara yang bekerja ci Inggris galam rentang wektu relalif lama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa culture distance sangat kuat pengaruhnya terhadap culture shook yaitu bahwa semakin tinggl indeks culture distance-nya, maka semakin tinggi pula skor culture shock-nya. Skor tertingginya diperoleh mereka yang berasal dari India, sedangkan ‘skorterendahnya diperoleh mereka yang berasal dari

Anda mungkin juga menyukai