Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM SIMPLEK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Internship

Oleh:
dr. Fadhila Try Utami

RUMAH SAKIT UMUM MITRA DELIMA


KABUPATEN MALANG
JAWA TIMUR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.1 Biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun. Bila
terjadi pada usia kurang dari 6 bulan harus dipikirkan penyebab lain seperti
infeksi susunan saraf pusat, maupun epilepsi yang terjadi bersama demam.
Penyebab demam pada pasien kejang demam biasanya adalah gastroenteritis
(38,1%), infeksi saluran nafas atas (20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%)2.
Hal yang menjadi perhatian pada saat anak kejang demam pertama adalah
kesehatan anak di masa depan, berulangnya kejang demam, terjadinya retardasi
mental, paralisis, kecacatan fisik, dan gangguan belajar3.
WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita
kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Angka kejadian
kejang demam bervariasi di berbagai negara. Prevalensi kejang demam di
Amerika Utara dan Eropa Barat antara 2 sampai 5 persen, prevalensi di Asia lebih
tinggi. Di Jepang, prevalensi mencapai 7% bahkan ada yang melaporkan 9-10%.3
Di Indonesia khususnya didaerah tegal, jawa tengah tercatat 6 balita meninggal
akibat serangan kejang demam, dari 62 kasus penderita kejang demam.4
Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.5 Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang
dari 15 menit), tonik-klonik bersifat fokal atau parsial satu sisi, dan terjadi kurang
dari 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang
demam.5 Faktor-faktor yang berperan dalam risiko kejang demam yaitu, faktor
demam, usia, dan riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia saat ibu hamil),
riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan, dan bayi berat lahir rendah).6
Kejang demam diperlukan tatalaksana yang tepat serta untuk mengatasi
kausanya.7 Tujuannya untuk mencegah kejang demam berulang, status epilepsi,
mental retardasi dan normalisasi kehidupan anak dan keluarga. 8 Kejang demam
dapat berulang yang menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada keluarga
sehingga edukasi orang tua penting pada penanganan awal kejang demam
sebelum dirujuk ke rumah sakit.7

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana penegakan diagnosa, penatalaksanaan serta prognosis kejang demam?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui penegakan diagnosa penatalaksanaan serta prognosis kejang
demam?
1.4. Manfaat
Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosa dan memberi terapi serta
edukasi keluarga agar tidak terjadi kejang demam berulang
BAB II
LAPORAN KASUS

I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Paisen (L/P) : An. H (L)
Usia : 2 tahun
Nama Ayah : Tn. AW
Usia : 30 th
Pekerjaan : Guru SD
Nama Ibu : Ny. NM
Usia : 27 th
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kepanjen
Tanggal Pemeriksaan : 24 September 2021

B. Keluhan Utama
Kejang
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kejang dirumah sebanyak 1x secara tiba-tiba lalu langsung
dilarikan ke RS Wava Husada. Pasien masih kejang ketika sampai RS.
Kejang selama 10 menit. Kejang pada semua badan dengan mata melirik
ke atas tangan kelojotan dan kaki kaku lurus, setelah kejang berhenti
pasien terbangun dan menangis.

Pasien demam sejak 2 hari yang lalu, terus menerus disertai


menggigil, tanpa disertai batuk, pilek, sesak nafas, sariawan, mual muntah,
mencret ataupun sakit telinga. Panas diberi obat penurun panas 2 kali
dirumah yang dibeli di apotek, namun tetap tidak membaik.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah kejang sebelumnya, asma (-), sakit jantung (-)

E. Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga


Riwayat kejang (-)

F. Riwayat Pengobatan
- Beli di apotek 1 hari yll  pamol sirup 2x 1takar

G. Riwayat Persalinan
Kelahiran : lahir normal di bidan
UK : 9 bulan
ANC : Rutin setiap bulan
BBL : 2,8kg
PB : tidak ada data
LK : tidak ada data
LL : tidak ada data
Anak ke- :1

H. Riwayat Tumbuh Kembang : Pada usia 1,5tahun sudah bisa jalan


bersamaan dengan lancarnya berbicara. Sekarang anak berusia 2 tahun
tumbuh kembang aktif seperti melompat, berlari, menunjuk bagian
tubuhnya, dan mencuci tangan sendiri.
I. Riwayat Imunisasi : Lengkap (ikut posyandu rutin)
J. Riwayat Nutrisi : Pasien diberi ASI dari lahir hingga hampir 2 tahun
selanjutnya susu formula hingga sekarang. Usia 7 bulan di dulang bubur
dan pisang.
K. Riwayat Sosial dan Ekonomi : Orang tua pasien memperhatikan
kesehatan anak dan memiliki tingkat pendidikan yang baik
II. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : compos mentis
GCS :456
TTV :
HR :124x/menit
RR :24x/ menit
T :39,5 oC
TD : tidak ada data
BB : 12 kg
TB/PB : 87 cm
Anemis - Ikterik - Cyanosis - Dispneu -
Turgor : Normal Edema :-
Kepala : Normo UUB : Menutup, datar
Muka : Simetris
Rambut : warna: coklat sulit dicabut
Mata : Cekung + Kering- pupil: bulat isokor 2mm/2mm, reflex cahaya
+/+
Hidung : Rinorea - Pernafasan cuping hidung -
Mulut : Trismus -
Bibir : Kering - Pucat -
Lidah : Kotor - Tremor -
Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening - Pemb Kel Tiroid -
Thorax
Inspeksi : Simetris + Bentuk : Normal
Retraksi: Suprasternal/ICS/Epigastrial/Subcostal (-)
Palpasi : Gerakan Dada Simetris + Thrill -
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis -
Palpasi : Ictus Cordis Kuat Angkat +
Auskultasi : S1 S2 tunggal Murmur (-) Friction Rub (-)
Paru
Inspeksi : Pengembangan Dada Simetris +
Palpasi : Taktil Vremitus normal, sama antara kanan dan kiri
Auskultasi : Stridor (-) Rhonci -/- Wheezing -/-
Perkusi : Sonor
Abdomen
Inspeksi : Datar Ikut gerak nafas +
Palpasi : Soufel + Distended - Nyeri Tekan -
Turgor : kembali cepat
Perkusi : Timpani + Meteorismus - Shifting Dullness –
Undulasi -
Auskultasi :Bising Usus normal
Ektremitas: Hangat Edema (-) CRT: <2 dtk
Neurologi
Meningeal Sign: Kaku Kuduk -
Status Gizi : Gizi normal
III. PEMERIKSAAN PENUJANG
Hasil Laboratorium
Tanggal : 24-09-2021
Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Darah lengkap
Pemeriksaan NILAI
HASIL SATUAN Keterangan
NORMAL
Hematologi
Lengkap
Haemoglobin 10.8 g/dL 13.4-17.7
Eritrosit 4.79 juta/µL 3.5-5.5
Leukosit 14.6 ribu/µL 4.3-10.3
Trombosit 383 ribu/mm3 150-450
Hematokrit 34.1 % 40-47

Index Eritrosit
MCV 73.5 fL 82-92
MCH 25.6 pg 27-31
MCHC 31.0 % 32-37

Hitung Jenis
Leukosit
Basofil 0.7 % 0-2
Neutrofil 75.10 % 40-73
Limfosit 27.7 % 15-45
Eosinofil 0.8 % 0.5-7
Monosit 7.4 % 4-12

GDS 185 mg/dl <200

Elektrolit
Natrium 148,0 mmol/L 136-145
Kalium 3,70 mmol/L 3,5-5,0
Clorida 98 mmol/L 98-106

Hasil Foto Rontgen


Resume

Pasien kejang dirumah sebanyak 1x secara tiba-tiba lalu langsung


dilarikan ke RS Wava Husada. Pasien masih kejang ketika sampai RS.
Kejang selama 10 menit. Kejang pada semua badan dengan mata melirik
ke atas tangan kelojotan dan kaki kaku lurus, setelah kejang berhenti
pasien terbangun dan menangis. Pasien demam sejak 2 hari yang lalu,
terus menerus disertai menggigil, tanpa disertai batuk, pilek, sesak nafas,
sariawan, mual muntah, mencret ataupun sakit telinga. Panas diberi obat
penurun panas 2 kali dirumah yang dibeli di apotek, namun tetap tidak
membaik. Ini adalah kejang pertama kali, tidak ada kejang sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu 39,5 C dan kaku kuduk


(-). Pada hasil laboratorium didapatkan leukositosis dengan jumlah
leukosit 14,6 ribu/µL dan peningkatan elektrolit Na 148,0 mmol/L.

IV. DIAGNOSIS BANDING


- Epilepsi
- Meningitis
V. DIAGNOSA KERJA : Kejang Demam Simplek
VI. TERAPI
a. O2 nasal 2 lpm
b. IVFD D51/2NS 1100cc/24 jam
c. Diazepam supp 10mg
d. Inj Antrain 3x100mg iv

VII. PROGNOSIS
Kejang berulang
Epilepsi
Gangguan tumbuh kembang
Kelainan neurologis
VIII. KOMPLIKASI : Sianosis
IX. KIE :
Beberapa hal yang harus dikerjakan :
a. Tetap tenang dan tidak panik
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Untuk menghindari aspirasi jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut saat kejang.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
e. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
f. Pemberian obat per rectal untuk mencegah rekurensi kejang
g. Bila anak demam segera berikan antipiretik untuk menghindari kejang demam
berulang

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI KEJANG DEMAM


Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang
demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan, yang
berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf pusat,
tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan kejang simptomatik
lainnya. Demam pada kejang demam umumnya disebabkan oleh infeksi, yang
sering terjadi pada anak-anak seperti infeksi infeksi traktus respiratorius dan
gastroenteritis.6
Berdasarkan consensus tatalaksana kejang demam dari Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI), kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 oC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada anak berumur 3 bulan – 5 tahun ada
juga yang mengatakan usia 6 bulan-5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam1.
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, usia, genetik, prenatal
dan perinatal.15 Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.2 Pada penelitian
yang dilakukan oleh Wegman dan Millichap menggunakan hewan coba
disimpulkan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya kejang. Terjadinya
bangkitan kejang demam bergantung kepada usia, tinggi serta cepatnya suhu
meningkat.16
Kejang demam dibedakan menjadi 2 macam yakni5 ;
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini
 Kejang lama > 15 menit. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung
lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di
antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang berulang dengan di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di
antara anak yang mengalami kejang demam
3.2 EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya merupakan
kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi, angka kejadian kejang
demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%, sedangkan di Jepang 9–10%. Dua puluh
satu persen kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara 1-24 jam
berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam. Sekitar 30% pasien akan mengalami
kejang demam berulang dan kemudian meningkat menjadi 50% jika kejang pertama
terjadi usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 9–35% kejang demam pertama kali adalah
kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah epilepsi. 2

3.3 PATOGENESIS
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius
akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya
peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada
demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada
keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya
akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan
mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia. Hal
tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam
glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+
masuk ke dalam sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam
keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga
fungsi inhibisi terganggu7,15.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat
mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga
menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat menurunkan
kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik. Kenaikan mendadak suhu
tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat dan menurunkan kadar glutamin
tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar
asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam glutamat dipengaruhi oleh kenaikan
suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator, sedangkan GABA sebagai inhibitor
tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak15.
Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat baik ionotropik
maupun metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor
GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih
dominan dibanding inhibisi Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan
neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar
CRH di hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh
demam15.
Mekanisme homeostasis pada otak belum matang masih lemah, akan berubah sejalan
dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh karena pada otak belum matang
neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang regulasi ion Na+,
K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca
depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron. Oleh karena itu, pada masa otak
belum matang mempunyai eksitabilitas neural lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah
matang. Pada masa ini disebut sebagai developmental window dan rentan terhadap
bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibanding inhibitor, sehingga tidak ada
keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan bangkitan kejang
demam pada umur awal masa developmental window mempunyai waktu lebih lama fase
eksitabilitas neural dibanding anak yang mendapat serangan kejang demam pada umur
akhir masa developmental window. Sehingga anak yang mengalami serangan kejang
demam pada umur di bawah dua tahun mempunyai risiko terjadi bangkitan kejang
demam berulang9,15.

Gambar 3.1 Patofisiologi Kejang Demam3


Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang
merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist
(IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABAergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang.10

3.4 MANIFESTASI KLINIS


Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan
biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 390C atau lebih (rektal). Umumnya
kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik. Bentuk kejang yang lain dapat
juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan
sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. 3,7,8
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% yang
berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri setelah mendapat
pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak capek, mengantuk, tertidur
pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak atau disebut periode
mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun
dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.3
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat fokal atau
unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh sementara pasca serangan
kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang
lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung
lama biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. 3
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan. Saat kejang, anak akan
mengalami berbagai macam gejala seperti 8 :
1. Anak hilang kesadaran
2. Tangan dan kaki kaku
3. Sulit bernafas
4. Busa dimulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat
6. Mata berputar-putar sehingga putih mata yang terlihat

3.5 DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisis dilakukan untuk membedakan apakah serangan
yang terjadi adalah kejang atau yang menyerupai kejang. Anamnesis dimulai dari riwayat
perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang meliputi onset, lama serangan, kesadaran,
sianosis, gerakan ekstremitas dan bola mata saat kejang maupun lidah tergigit.
Selanjutnya, dicari apakah ada faktor pencetus atau penyebab kejang. Lalu ditanyakan
riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, gejala-gejala infeksi,
trauma, obat-obatan, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang. Pemeriksaan
fisis dari tanda vital, mencari adanya trauma kepala akut dan adanya kelainan sistemik,
terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan neurologis fokal. Bila terjadi penurunan
kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab. Untuk
menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan
neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan kebutuhan.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar glukosa
darah, elektrolit, dan hitung jenis.17

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG 11


1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula
darah.
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan resiko
terjadinya meningitis. Pada bayi seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
 Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
 Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
 Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
Indikasi pungsi lumbal:
 Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal.
 Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
 Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik, dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tandadan gejala meningitis
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan karena tidak
dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan
pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Elektroensefalografi hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan
adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
4. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang
terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray
kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan) atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:

 Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)


 Paresis nervus VI
 Papiledema

3.7 TATALAKSANA
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:3
 Mencegah kejang demam berulang
 Mencegah status epilepsi
 Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
 Normalisasi kehidupan anak dan keluarga
1. Terapi Farmakologis
 Antikonvulsi17
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 0,5-1 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20
mg.
Obat tersebut dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah untuk yang
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak
dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB. Bila masih kejang berikan diazepam lagi dan evaluasi 5 menit. Bila
masih kejang ulangi diazepam atau ganti dengan fenitoin secara intravena dengan
dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang
dari 50 mg/menit. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif.
Gambar 3.2 Alur tatalaksana kejang demam pada anak12

Indikasi pemberian obat rumat pada pasien kejang demam hanya diberikan
bila menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu)12:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
5. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
6. Kejang demam > 4 kali per tahun
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat adalah fenobarbital atau asam
valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap
hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar. Obat pilihan
saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4
mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas
kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
 Antipiretik12
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun para
ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak boleh
lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
2. Edukasi Pada Orang Tua
Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak jarang
orang tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang tua perlu diyakinkan dan
diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut. Lembaran
tertulis dapat membantu komunikasi antara orang tua dan keluarga; penjelasan terutama
pada11:
• Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
• Memberitahukan cara penanganan kejang.
• Memberi informasi mengenai risiko berulang.
• Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat risiko efek
samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan saat kejang 11:
• Tetap tenang dan tidak panik.
• Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
• Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah mungkin tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
• Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang.
• Tetap bersama pasien selama dan sesudah kejang.
• Berikan diazepam rektal bila. Jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
• Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh >40oC, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal,
setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

3.8 PROGNOSIS11
a. Kecacatan atau Kelainan Neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan
kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi
pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
b. Kejang Demam Berulang
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
c. Risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Penegakan Diagnosa

Sesuai dengan hasil anamnesa, pasien usia 2 tahun datang dengan


keluhan kejang. Pasien kejang dirumah sebanyak 1x secara tiba-tiba lalu
langsung dilarikan ke RS Wava Husada. Pasien masih kejang ketika
sampai RS. Kejang terjadi selama 10 menit. Kejang pada semua badan
dengan mata melirik ke atas tangan kelojotan dan kaki kaku lurus, setelah
kejang berhenti pasien terbangun dan menangis. Pasien demam sejak 2
hari yang lalu. Saat di IGD RS, suhu badan pasien mencapai 39,5 C.
Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan reflek
fisiologis dan meningeal sign. Hasil pemeriksaan normal dilakukan
menunjukkan bahwa tidak ada kelainan pada pemeriksaan reflek maupun
meningeal sign.

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan


menunjukkan bahwa pasien mengalami kejang demam. Kejang demam
merupakan bangkitan kejang pada anak usia 6 bulan hinga 5 tahun dengan
adanya kenaikan suhu tubuh diatas 38°C. Sehingga dalam kasus ini pasien
memenuhi kriteria dengan usia 2 tahun dan kejang didahului oleh suhu
tubuh yang tinggi sejak tiga hari dan mencapai diatas 39°C sesaat tiba di
rumah sakit. Pasien dikategorikan sebagai kejang demam simplek. Kejang
demam simplek memiliki ciri :

- Kejang lama < 15 menit


- Tidak berulang dalam 24 jam
- General seizure

Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran juga tidak ada kelainan saat
pemeriksaan fisik reflek maupun meningeal sign. Hal ini membuktikan bahwa
tidak ada gangguan intrakranial pada pasien. Sehingga sesuai dengan kejang
demam yang tidak disertai dengan adanya penurunan kesadaran, sehingga dapat
menyingkirkan diagnosa meningitis. Pada pasien juga tidak mengalami kejang
berulang dalam waktu lebih dari 24 jam dan tidak ditemukan adanya kelainan
pada tumbuh kembang serta tidak ada riwayat kejang sebelumnya sehingga
dapat menyingkirkan diagnosa epilepsi.

Penyebab kejang salah satunya oleh karena infeksi. Salah satu tanda adanya
infeksi yaitu timbulnya demam. Kejang pada anak 2 tahun didahului oleh
demam yang tinggi (39,5oC), pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan
neurologis hal ini ditandai dengan reflek patologi negatif, reflek fisiologi normal
maupun meningeal sign negatif. Hal ini menunjukkan kejang yang terjadi
diakibatkan oleh demam.
Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu
akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam
tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak yang dapat
mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel
g1ia. Na+ banyak masuk ke dalam sel dan asam glutamat meningkat di ekstrasel.
Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel
dalam keadaan depolarisasi. Selain itu, demam dapat merusak neuron inhbitor
yaitu GABA-ergik.6

4.2 Penatalaksanaan 13
1. Infus D5 ¼ NS
Infus D5 ¼ NS digunakan untuk maintenance karena usia pasien 1bulan-
3tahun. Saat pasien datang memerlukan cairan maintenance dengan tetes
makro. Sehingga kebutuhan cairan dengan berat badan 12kg adalah
1100cc/24jam dengan 13 tetes per menit. Pemilihan jenis infuse
menggunakan makro sehingga 1 tetes mengandung 20ml.
2. Diazepam rectal 10 mg
Karena pasien ketika sampai di RS masih kejang, maka tatalaksana yang
lebih cepat diberikan diazepam rectal terlebih dahulu.
4. Antrain 10-15mg/kgBB/x IV
Diberikan untuk menurunkan panas pada pasien melalui IV.
Pemberiannya 3 kali sehari kalau perlu untuk mencegah timbulnya panas
tinggi pada anak. Pemberiannya 3 kali sehari kalau perlu untuk mencegah
timbulnya panas tinggi pada anak yang dapat memicu bangkitan kejang.
Metamizole merupakan obat anti nyeri dan anti demam yang mengandung
natrium metamizole. Metamizole atau dipiron merupakan anti nyeri kuat dan
anti demam yang dapat memberikan efek dua hingga empat kali lebih efektif
dibandingkan ibuprofen atau paracetamol. Penggunaan metamizole dapat
menurunkan demam secara signifikan dan dapat mempertahankan suhu tubuh
dalam waktu yang lebih lama dibandingkan ibuprofen. Cara kerja natrium
metamizole adalah dengan menghambat rangsangan nyeri pada susunan saraf
pusat dan perifer. Pada pasien ini diberikan 3x120mg.

4.3 Prognosis kejang demam12


Kejang memiliki prognosis berupa kejang berulang hingga gangguan
neurologis. Sehingga edukasi kepada keluarga sangat perlu terutama saat
peningkatan suhu tubuh anak.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang, didapartkan diagnosa kerja pasien adalah kejang demam simpleks.
Penanganan kejang demam harus cepat dan tepat untuk menghindarkan prognosa
kejang berulang hingga kelainan neurologis pada anak.

5.2 Saran

Edukasi mengenai penanganan awal kejang maupun menghindari kejang


pada keluarga sangat penting. Selain itu dibutuhkan juga keluarga yang kooperatif
untuk mencegah kasus kejang demam berulang.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatrics Steering Committese on Quality Imprrovement


And Management, Subcommitte on Febrile Seizure. Febrile seizures: clinical
practice guideline for the long-term management of child with simple febrile seizure.
Pediatrics. 2008;121(6) :1281-6.
2. Aliabad, G.M. et al. 2013, June. Clinical, epidemiological and laboratory
characteristics of patients with febrile convulsion, J. Compr Ped, 3(4), 134-137.
3. Lumbantobing. SM. 2007. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
4. SyndiSeineld DO, Pellock JM Recent research on febrile seizure A review. J
NeuroNeurophysiol 4. 2013:165.
5. Buku Pedoman Pelayanan Medis. 2009. Jakarta :Badan Penerbit IDAI.
6. de Siqueira LFM. Febrile seizures: Update on diagnosis and management. Rev
Assoc Med Bras. 2010; 56(4): 489-92.
7. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak : Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta  2007
8. Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric Emergency
Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London
9. Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta; EGC
10. Wendorff J, Zeman K. Immunology of febrile seizures. Pracapoglado/review paper.
2011; 20: 40-6
11. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. 2006. Jakarta Badan Penerbit IDAI
12. Buku Standart Pelayanan Medis kesehatan Anak. 2015.Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FK Unhas
13. Gunawan, W., Kari, Komang., Soetjiningsih. 2008. Knowledge, attitude, and
practices of presents with children of first time and recurrent febrile seizure.
Pediatrica Indonesia. 48. 193-198
14. Pudjiadi A, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatric gawat darurat. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI. 2013.
15. Fuadi, Bahtera, T, dan Wijayahadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada
Anak. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 3, Oktober 2010
16. Kakalang, J. P, Masloman, N dan Manoppo, J. I. Profil kejang demam di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 –
Juni 2016. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016
17. Mohammadi, M. 2010. Febrile Seizure Four Step Algorithmic Clinical Approach.
Iranian Journal of Pediatric, 20; (1) 5-15
18. Arief, R.F. Penatalaksanaan Kejang Demam. Continuing medical education.CDK-
232/ vol. 42 no. 9, th. 2015
19. MIMS. Petunjuk Konsultasi Indonesia, Edisi 14. Tahun 2014/2015. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai