PENULIS :
CHOIRIYAH 19610007
UNIVERSITAS MALAHAYATI
FAKULTAS HUKUM
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat Rahmat-Nya makalah ini
dapat terselesaikan dengan tepat waktunya. Makalah ini di susun guna memenuhi tugas dari
Bapak Muslih,S.H.I.,M.H. pada mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan di program studi Ilmu
Hukum Universitas Malahayati Bandar Lampung Selain itu agar dapat menambah wawasan
penulis dan pembaca tentang materi yang akan disampaikan.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Tenaga kerja adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi baik secara individu maupun
secara kelompok, sehingga mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam aktivitas
perekonomian nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia, tenaga kerja di indonesia sebagai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan
merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup melimpah. Indikasi ini bisa dilihat pada masih
tingginya jumlah pengangguran di Indonesia serta rendahnya atau minimnya kesempatan kerja
yang disediakan.Negara-negara yang ada diasia Indonesia merupakan salah satu negara dengan
jumlah pengangguran yang sangat besar. Banyaknya pekerja yang kehilangan pekerjaannya
ditambah dengan angkatan kerja baru yang belum mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya
kesempatan kerja yang tersedia mengakibatkan tingkat penganguran yang semakin tinggi. Salah
satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mengurangi penganguran, disaat peluang dan
kesempatan kerja didalam negeri sangat terbatas, adalah migrasi melalui penempatan tenaga
kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri.
B. Rumusan Masalah
Tujuan Penulisah makalah ini adalah untuk Memenuhi tugas dari Bapak Muslih.,S.H.I.,M.H.
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
Peraturan penghapusan budak dikeluarkan tahun 1854. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1860
baru dinyatakan hapus sama sekali meskipun pada praktiknya setelah tahun 1860 masih banyak
orang yang berstatus budak dan pemilik budak. Istilah budak setelah tahun 1860 itu mulai
menciut. Istilah budak sudah semakin kurang kedengeran tetapi diganti dengan istilah lain yaitu
hamba dan perhambaan..
Pada tahun 1880 dikeluarkan sebuah peraturan terkait dengan para pekerja. Orang-orang yang
bekerja itu disebut koeli (kuli) dan peraturannya adalah Koeli Ordonantie. Pada masa-masa
selanjutnya peraturan Koeli ini mulai menjadi sorotan seiring dengan penggunaan istilah bagi
pekerja yang mulai bergeser dari koeli ke buruh. Menjelang kalahnya Pemerintah Belanda di
Indonesia, ordonnantie itu dihapuskan. Sejarah Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia
mencapai pada puncaknya ketika negara ini merdeka dimana hukum yang diterapkan terkait
dengan ketenagakerjaan sejak saat itu hingga kini dan di masa yang akan mendatang akan
selalu bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia
(Staatsblad Tahun 1887 No.8)
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak dan Kerja
Malam bagi Wanita Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647)
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda di atas Kapal
(Staatsblad Tahun 1926 No.87)
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari
Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 No. 2018)
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan dari Luar Indonesia
(Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545)
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad Tahun 1949
No. 8)
UU Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Kerja Tahun 1948
Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia.
UU Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan.
UU No. 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) di
Perusahaan, Jawatan dan Badan yang vital
UU Nomor 28 Tahun 2000 tentang penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menjadi Undang-Undang.
Selama tiga setengah abad sejak abad ke-16, bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda yang ketika
itu mempunyai tujuan utama untuk mencari wilayah baru yang dapat dijadikan koloni dalam
rangka memperluas kekuasaan, menambah kekayaan kerajaan, dan melakukan penyebaran
agama.
Apabila perhitungan jarak antar generasi adalah 25 tahun, maka penjajahan telah mengubah
sistem sosial, norma dan budaya bangsa Indonesia selama lebih dari 10 generasi, dimana orang
pribumi telah dibiarkan miskin dan bodoh sehingga dengan leluasa kaum penjajah dapat
mengeruk kekayaan alam dari wilayah jajahannya.
Sejak awal kolonialisasi, kaum penjajah telah memperlakukan orang-orang pribumi hanya
sebagai budak yang tidak memiliki status hukum dan boleh diperdagangkan. Hal ini tergambar
dalam sistem hukum yang diterapkan di wilayah jajahan dengan menetapkan bahwa "Burgerlijk
Wetboek" atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diberlakukan sejak tahun 1823,
termasuk di dalamnya norma dan aturan mengenai perburuhan, tidak berlaku bagi orang
pribumi.
Selanjutnya, perlakuan terhadap pribumi sebagai budak belian tersebut disahkan dalam
berbagai aturan resmi kolonial yang menurut Dr. Agusmidah, antara lain dituangkan dalam
peraturan tentang Pendaftaran Budak (Stb 1819 No. 58), peraturan Pajak atas Pemilikan Budak
(Stb. 1820 No. 39a), dan berbagai peraturan (reglemen) lain yang memperkuat kedudukan
kaum penjajah di atas orang-orang pribumi dan praktek-praktek perbudakan lainnya di wilayah
Hindia Belanda.
Pada saat Inggris menguasai beberapa bagian wilayah nusantara pada tahun 1811-1814,
Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles telah melarang dan menghapuskan praktek
perbudakan dan praktek kerja paksa (rodi) di wilayah kekuasaannya dengan men-dirikan "the
Java Benevolen Institution".
Namun ketika Belanda menguasai kembali wilayah yang dahulu menjadi wilayah jajahannya,
maka ketentuan mengenai praktek perbudakan dan kerja rodi kembali berlaku yang kemudian
diikuti oleh berbagai perlawanan dari kaum pribumi di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda,
seperti perlawanan yang dilakukan antara lain oleh Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah,
Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Padri, Sisingamangaraja, Pattimura, Dewi Sartika dan
banyak pahlawan yang gugur dalam rangka menentang praktek perbudakan di wilayah
nusantara.
Setelah memperoleh banyak perlawanan di wilayah jajahan dan adanya gerakan global yang
menentang praktek perbudakan, Belanda mulai mengubah strategi dengan memperlunak
praktek perbudakan menjadi sistem "perhambaan" (bediende) dimana seseorang harus
menyerahkan jasa dan tenaganya kepada orang lain yang bertindak sebagai tuan atau pemberi
pekerjaan (bukan orang yang menggunakan jasa dan tenaga orang lain) tanpa menggunakan
kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja dengan upah yang ditentukan secara sepihak
oleh si tuan atau pemberi pekerjaan atas dasar pengabdian, kesetiaan (loyal) dan kedekatan
emosi secara pribadi dengan pemberi pekerjaan.
Dengan sistem hubungan kerja tersebut, Belanda membedakan orang-orang yang bekerja di
wilayah jajahannya menjadi:
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah 350
tahun dijajah, sistem kerja dan pembedaan pekerja belum sempat direformasi, sehingga masih
ada pembedaan struktur warga negara yang melaksanakan pekerjaan di Indonesia yakni warga
negara yang bekerja sebagai:
5.pekerja lepas, yakni pekerja yang melaksanakan pekerjaan berdasarkan kebutuhan (pekerja
informal).
Hingga saat ini, semua pekerja dan pegawai yang melaksanakan pekerjaan relatif tanpa
kesepakatan kerja yang dibuat antara pekerja/buruh (employee) sebagai penyedia jasa dan
tenaga dengan pengguna jasa dan tenaga (employer) dalam kedudukan yang setara (equal)
yang dituangkan dalam perjanjian kerja.
Dalam era industri saat ini, perjanjian kerja sebagai wujud dari kesepakatan kerja merupakan
hal yang sangat esensial dalam hubungan kerja karena upah/imbalan diberikan dalam bentuk
uang. Ketika masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hubungan kerja tanpa perjanjian
kerja, maka masyarakat tidak memiliki jaminan kepastian terhadap upah sebagai imbalan atas
jasa dan tenaga yang telah diberikan.
Dengan demikian, hingga saat ini belum ada tolok ukur yang pasti untuk jasa dan tenaga
sumber daya manusia di Indonesia, sehingga pemberian upah masih tetap didasarkan pada
sistem hubungan kerja warisan jaman penjajahan yakni hubungan kerja antara pemberi kerja
yang bertindak sebagai TUAN dengan KULI, KACUNG/PESURUH atau BURUH.
Tiga bulan belakangan, buruh gempar dengan rencana revisi Undang-undang tentang
Ketangakerjaan 13/2003 yang makin mengemuka. Berbagai pernyataan muncul terkait usulan
baik dari Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri yang bilang UU ketenagakerjaan ini kaku seperti
kanebo kering, ketinggalan zaman hingga tidak ramah bagi investor.
Rekam jejak digital menunjukan berjibun pernyataan soal revisi ni dari pemerintah dan
pengusaha: “Kalau aturan terlalu rigid, biaya perusahaan jadi tinggi. Kalau biaya tinggi biasanya
penyerapan tenaga kerja menjadi rendah. Harapan kami dibuat lebih netral agar penyerapan
lebih besar,” kata Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani di CNNIndonesia.com. Sementara Ketua
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengatakan pihaknya akan
memberikan masukan kepada pemerintah mengenai enam poin yang perlu direvisi, antara lain
upah, pesangon, kesejahteraan pekerja, dan outsourcing. “Kita sudah komunikasi dengan
berbagai kementerian untuk memperbaiki UU Ketenagakerjaan, tidak hanya untuk kepentingan
pengusaha tetapi juga kepentingan competitiveness,” ujar Rosan seperti diberitakan Detik.com
Kabar-kabar itu semakin nyata ketika Presiden Joko Widodo, dalam wawancara khusus dengan
media Channel News Asia, tegas mengatakan akan merampungkan revisi UU 13 tahun 2003 ini
pada akhir tahun ini sehingga investasi dari luar yang ingin berinvestasi ke indonesia tidak ragu
ragu lagi terutama yang padat karya.
Sejarah Singkat Upaya Revisi UU Ketenagakerjaan dan Respon Gerakan Buruh
Meski begitu, revisi pada 2003 itu sebetulnya sudah banyak menuai pro kontra baik dari
kalangan buruh maupun pengusaha. Dalam perjalanannya UUK ini sedikitnya sudah ada ada 3
kali wacana revisi dengan respon yang begitu besar dari banyak kalangan. Di tahun 2006,
wacana Revisi UUK ini di respon kencang oleh ABM ( aliansi Buruh menggugat), meski ABM
mengaggap UUK ini cacat semenjak lahir namun ABM juga melawan Revisi UUK ini dan
memperjuagkan draf UU perlindungan buruh yang telah disipakan hingga ABM bubar. Upaya
kedua muncul kemudian di tahun 2009 di era SBY dan ketiga di penghujung periode presiden
jokowi saat ini.
Dari ketiga rencana itu, revisi pada 2006 merupakan yang benar-benar berusaha diloloskan.
Namun, persatuan berbagai gerakan buruh tanpa memandang haluan politik berhasil
membatalkan revisi tersebut. Sementara, revisi tahun 2009 tidak mewujudkan keseriusan
berarti. Upaya revisi yang benar-benar mengemuka dan tampak serius baru kembali muncul
pada era Jokowi yang terkenal mengeksekusi berbagai kebijakan usulan pengusaha.
Jika di lihat hampir semua serikat buruh yang ada melakukan respon dengan menolak revisi UU
13 tahun 2003 ini. Penolakan ini dilakukan buruh baik melaluli masa aksi atau pun statement
dari konfederasi dan federasi serikat buruh. Respon hampir dilakukan di seluruh kota kota
industri yang ada di indonesia seperti Jabodetabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Batam, Sumatera
Utara, dsb.
Meski ditolak buruh, usulan revisi UUK ini malahan disepakati oleh anggota anggota tripatit
nasional pada awal tahun 2018. Lembaga kerja sama Tripatit Nasional ( LKS tripanas) yang
diketuai oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, yang kebijakannya tidak berbau kiri sama
sekali, dan beranggotakan perwakilan dari unsur pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha
telah menyepakati 9 hal salah satunya adalah Revisi undang-undang 13 tahun 2003 tentang
ketenaga kerjaan.
Dari hal di atas terkait respon buruh maka boleh di bilang gerakan buruh saat ini belum lah solid
dalam hal melakukan perjuangan kesehjahteraannya. Saat ini, setidaknya penolakan-penolakan
itu, meski sudah terbentuka aliansi, masih belum berada dalam satu payung bersama. Hingga
saat ini, berbagai gerakan yang menolak masih bermuara pada Gerakan Buruh Bersama Rakyat,
Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas), dan KSPI.
Di bandingkan dengan ABM pada masanya boleh di bilang ABM lebih maju karena selain
penolakan ABM juga membuat draf UU perburuhan yang terus mereka kampayekan baik di
sektor buruh, membuat workshop di kampus kampus dan juga sekotr rakyat lainya. Ini karena
memang ABM menilai UU 13 lahir sudah cacat sehingga belum mampu melindungi buruh.
Sehingga ABM selain melakukan penolakan revisi UUK pada tahun 2006 mereka juga
memperjuangkan RUU perlindungan buruh.
Setelah 2006, pemerintah dan pengusaha terus memutar otak. Alhasil, meski UU 13/2003 tidak
direvisi, pemerintah terus mengeluarkan aturan turunan UU itu yang malahan mengamputasi
pasal-pasal perlindungan di undang-undang. Di antaranya adalah peraturan menteri tentang
permagangan, PP Pengupahan yang jelas-jelas bertentangan dengan UU, Surat Edaran
Mahkamah Agung (yang sebenarnya tidak relevan), dan peraturan menteri soal outsourcing.
Alhasil, perlawanan-perlawanan gerakan buruh bersifat reaktif terhadap
Jika merujuk sejarah di atas, maka terkait revisi uu 13 tahun 2003 maka pilihannya adalah
melawan revisi UU 13 dengan sekuat tenaga. Sebab, revisi jelas akan mengarah pada pasal-
pasal yang merugikan buruh. Namun, kita juga harus menuntut dicabutnya aturan
ketenagakerjaan yang merupakan turunan dari uu 13 tersebut seperti aturan terkait
pengupahan, sistem kerja dan sebagainnya yang mengamputasi UU 13/2003. Yang lebih
penting lagi, tugas mendesak gerakan buruh adalah mekonsolidasikan diri dan
memperjuangakan UU pelindunggan bagi Buruh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Meski begitu, revisi pada 2003 itu sebetulnya sudah banyak menuai pro kontra baik dari
kalangan buruh maupun pengusaha. Dalam perjalanannya UUK ini sedikitnya sudah ada ada 3
kali wacana revisi dengan respon yang begitu besar dari banyak kalangan. Di tahun 2006,
wacana Revisi UUK ini di respon kencang oleh ABM ( aliansi Buruh menggugat), meski ABM
mengaggap UUK ini cacat semenjak lahir namun ABM juga melawan Revisi UUK ini dan
memperjuagkan draf UU perlindungan buruh yang telah disipakan hingga ABM bubar. Upaya
kedua muncul kemudian di tahun 2009 di era SBY dan ketiga di penghujung periode presiden
jokowi saat ini.
Dari ketiga rencana itu, revisi pada 2006 merupakan yang benar-benar berusaha diloloskan.
Namun, persatuan berbagai gerakan buruh tanpa memandang haluan politik berhasil
membatalkan revisi tersebut. Sementara, revisi tahun 2009 tidak mewujudkan keseriusan
berarti. Upaya revisi yang benar-benar mengemuka dan tampak serius baru kembali muncul
pada era Jokowi yang terkenal mengeksekusi berbagai kebijakan usulan pengusaha.
Dalam era industri saat ini, perjanjian kerja sebagai wujud dari kesepakatan kerja merupakan
hal yang sangat esensial dalam hubungan kerja karena upah/imbalan diberikan dalam bentuk
uang. Ketika masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hubungan kerja tanpa perjanjian
kerja, maka masyarakat tidak memiliki jaminan kepastian terhadap upah sebagai imbalan atas
jasa dan tenaga yang telah diberikan.
Dengan demikian, hingga saat ini belum ada tolok ukur yang pasti untuk jasa dan tenaga
sumber daya manusia di Indonesia, sehingga pemberian upah masih tetap didasarkan pada
sistem hubungan kerja warisan jaman penjajahan yakni hubungan kerja antara pemberi kerja
yang bertindak sebagai TUAN dengan KULI, KACUNG/PESURUH atau BURUH.