net/publication/332119203
CITATIONS READS
0 28,254
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
KAJIAN PADS PADA SEKTOR PAJAK PENERANGAN JALAN UMUM DI KOTA BANDUNG View project
All content following this page was uploaded by Fakultas Ekonomi Uninus on 01 April 2019.
DISKRIMINASI HARGA
1. Konsep Dasar
Dalam beberapa pembahasan Teori Ekonomi Mikro atau Ekonomi
Manajerial sebelumnya kita mematok asumsi bahwa permintaan pasar adalah
penjumlahan horisontal (horizontal summation) setiap individu konsumen. Jadi bila
kita menemukan laporan tentang permintaan beras di Jabar, berarti hal itu dapat
ditafsirkan sebagai penjumlahan permintaan beras penduduk Jabar yang sekian
juta orang pada tingkat harga beras tertentu. Padahal kenyataannya karakteristik
permintaan setiap individu adalah berbeda, paling tidak dari kesensitifannya
terhadap harga, ada konsumen yang sensitive terhadap harga tetapi ada juga
yang tidak. Bagi perusahaan, perbedaan karakteristik permintaan konsumen ini
merupakan peluang untuk meningkat laba, yaitu dengan menetapkan harga jual
yang berbeda.
Secara umum diskriminasi harga adalah strategi penetapan harga jual
barang yang sama tetapi dengan harga yang berbeda dengan tujuan diantaranya
meningkatkan hasil penjualan (total revenue) sekaligus laba. Diskriminasi harga
diterapkan karena perusahaan melihat adanya perbedaan karakteristik
permintaan yang dihadapinya (Froeb, Shor, & Ward, 2014). Perbedaan harga
dapat ditetapkan berdasarkan perbedaan segmen konsumen, pasar, kuantitas
pembelian atau perbedaan waktu.
Beberapa contoh diskriminasi harga yang sering diterapkan misalnya
produsen menetapkan harga yang berbeda untuk barang yang sama tetapi
dengan merek atau label yang berbeda. Berikutnya jasa professional (dokter,
konsultan atau pengacara) menetapkan tariff yang berbeda untuk klien yang
berbeda, misalnya dokter menetapkan tariff berbeda antara pasien peserta
asuransi dan bukan peserta asuransi. Diskriminasi harga dalam bidang jasa
pelayanan kesehatan (medical care markets) sangat mungkin dipraktekan karena:
(1) tidak mungkin terjadi resale, (2) perbedaan dalam intensitas permintaan dapat
diidentifikasi dengan jelas, (3) sangat mungkin untuk mengidentifikasi pasien
berdasarkan kemampuan membayarnya (willingness to pay = WTP), dan (4) pihak
penyelenggara (rumah sakit) memiliki market power. Produsen barang-barang
fashion umumnya menetapkan harga tinggi ketika barangnya baru dirilis dan
menurunkannya setelah beberapa waktu ketika dianggap barang tersebut out of
fashion, atau produsen akan merilis model baru. Karena bisa dibaca oleh banyak
orang, beberapa penerbit menetapkan harga buku yang lebih tinggi kepada
perpustakaan dibandingkan dengan konsumen perorangan.
Wahdi Suardi | 1
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Begitu juga dalam bisnis transportasi udara, diskriminasi harga tiket sudah
umum dilakukan dalam bentuk yang variatif. Berdasarkan pengamatan, jarang
sekali maskapai menerapkan harga tunggal dalam setiap rute penerbangan.
Maskapai cenderung memberlakukan harga bervariasi, bahkan pengamat
penerbangan Arista Atmadjati menyatakan, harga tiket dalam satu penerbangan
dan satu kelas ekonomi bisa mencapai 12 varian (subclasses). Sederhananya dibagi
tiga; harga rendah, sedang dan tertinggi (Aulia, 2019). Misalnya dalam setiap
penerbangan, ada harga tiket yang dijual murah hanya untuk 10 kursi, sedikit
lebih mahal untuk 60 kursi dan sisanya dijual dengan harga lebih mahal lagi.
Maskapai penerbangan dapat menetapkan full price untuk penumpang dengan
tujuan bisnis dan discount price untuk wisatawan, atau bentuk lain adalah
menetapkan harga lebih tinggi untuk pemberangkatan pagi hari, lebih murah di
siang hari dan lebih murah lagi untuk pemberangkatan malam hari. Model lain
yaitu membedakan harga tiket berdasarkan kualitas layanan, dalam hal ini adalah
fleksibilitas tiket (versioning), ada tidaknya kontrak dengan pihak maskapai
(discount to large consumer) dan sering-tidaknya penumpang menggunakan jasa
maskapai tersebut (frequent flyer programs).
Secara umum versioning adalah menetapkan harga tiket lebih tinggi untuk
flexible ticket yaitu yang memberikan kebebasan bagi calon penumpang untuk
menjadwal ulang pemberangkatannya atau bahkan membatalkannya tanpa
dikenakan biaya penalty (high quality version). Sebaliknya untuk restricted ticket,
memang lebih murah tetapi dengan beberapa pembatasan termasuk harus
dipesan jauh hari sebelum pemberangkatan dan ketentuan tiket hangus apabila
batal melakukan perjalanan (low quality/damaged version). Secara teknis, versioning
termasuk dalam model diskriminasi harga derajat kedua (second degree price
discrimination). Kemudian apabila sebuah perusahaan dengan jumlah karyawan
besar dan sering menggunakan jasa penerbangan maka sangat dimungkinkan
untuk memperoleh potongan harga tiket apabila diawali dengan melakukan
kontrak perjanjian dengan pihak maskapai (discount to large consumer). Model ini
tergolong diskriminasi harga derajat ketiga (third degree price discrimination).
Sedangkan frequent flyer programs yaitu menetapkan harga tiket lebih murah
(quantity discount) kepada calon penumpang sering melakukan perjalanan
menggunakan maskapai penerbangan tertentu. Misalnya setiap telah melakukan
perjalanan 10 kali, akan diberi tiket gratis satu kali. Secara teknis, versioning
termasuk dalam model diskriminasi harga derajat kedua (second degree price
discrimination).
Dalam bisnis secara online praktik diskriminasi harga lebih mudah
dipraktekan dan bahkan untuk setiap konsumen (personalised pricing) karena
misalnya toko online lebih mudah mengakses situs pribadi sehingga karakteristik
dan perilaku konsumen dapat diidentifikasi secara lebih tepat. Dalam konteks
Wahdi Suardi | 2
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
bisnis secara online, personalised pricing adalah membedakan harga online untuk
produk atau layanan yang identik berdasarkan informasi yang dimiliki
perusahaan tentang pelanggan potensial (Poort & Borgesius, 2019). Toko online
dapat mengenali identitas konsumennya diantaranya melalui cookie, IP-adress atau
log-information. Oleh karena itu praktik personalised pricing yang diterapkan toko
online dapat digolongkan sebagai first degree discrimination, dan dimungkinkan
untuk meraup semua surplus konsumennya. Selian itu, toko online juga dapat
dengan cepat untuk melakukan penyesuaian harga sesuai dengan perkembangan
permintaan & penawaran (dynamic atau time-based pricing) seperti yang umum
dilakukan oleh maskapai penerbangan dalam menetapkan harga tiket.
Tidak termasuk diskriminasi bila perberbedaan harga tersebut berdasarkan
kualitas atau layanannya (Griffiths & Wall, 2005). Jadi penetapan harga yang
berbeda tidak ada kaitannya dengan perbedaan biaya untuk menghasilkan
barang/jasa tersebut (Hirschey & Bentzen, 2016), artinya Cost-based pricing tidak
termasuk diskriminasi harga. Misalnya perbedaan tariff KA kelas bisnis dan
eksekutif tidak termasuk dalam kategori diskriminasi harga, karena penumpang
kelas eksekutif memeroleh fasilitas selimut, sedangkan di kelas bisnis tidak. Tidak
termasuk diskriminasi harga juga bila perbedaannya didasarkan pada perbedaan
suku, agama, jender atau Negara asal (unfair pricing practice).
Ukuran efektivitas strategi diskriminasi harga tentu saja adalah diperoleh
hasil penjualan dan laba yang lebih besar dibandingkan dengan tanpa melakukan
diskriminasi harga. Motivasi lain strategi ini adalah untuk meningkatkan volume
penjualan, yaitu karena harganya lebih murah (dibandingkan dengan harga
ketika tanpa diskriminasi harga) sehingga dapat dijangkau oleh konsumen yang
tadinya tidak mampu membeli. Secara umum, literature ekonomi mengenalkan
tiga bentuk diskriminasi harga, yaitu first degree price discrimination atau perfect
price discrimination (membedakan harga jual untuk setiap unit pembelian), second
degree price discrimination (membedakan harga jual untuk sejumlah unit pembelian
atau kelompok/segmen konsumen), dan third degree price discrimination
(membedakan harga jual untuk dua pasar atau lebih yang berbeda).
Untuk menerapkan strategi diskriminasi harga, setidaknya diperlukan tiga
persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan, yaitu:
1) Perusahaan memiliki market power (dalam Teori Ekonomi biasanya
dikaitkan dengan struktur pasar monopoli dan oligopoly);
2) Perusahaan harus dapat membedakan/memisahkan dengan tegas
masing-masing segmen yang menjadi target. Artinya Masing-masing
pasar/segmen harus memiliki kesensitifan terhadap harga (elastisitas
harga) yang berbeda (penjelasannya akan diuraikan pada halaman
berikutnya);
Wahdi Suardi | 3
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Wahdi Suardi | 4
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
seperti apa yang dapat merugikan tersebut sehingga masih menimbulkan multi-
tafsir. Namun menjerat perusahaan dominan yang diduga melakukan praktik
diskriminasi harga tidak mudah, pertama, karena bentuknya yang beragam
(diantaranya diskon, rabat, tying, bundling, selective price cuts, diskriminasi
harga input), mulai dari yang tampak jelas hingga samar-samar, dan tujuan serta
dampaknya bisa berbeda-beda. Kedua, bagi para ekonom sendiri, dampak
diskriminasi harga terhadap kesejahteraan masih dalam perdebatan.
KPPU mengkategorikan diskriminasi harga dalam tiga bentuk (KPPU,
2011), pertama, diskriminasi harga dalam bentuk rabat (potongan pembayaran)
yang dikenakan kepada pembeli tertentu yang tidak diberikan kepada pembeli
yang lain. Termasuk dalam kategori rabat ini adalah: quantity rebate yakni
potongan harga berdasarkan volume kuantitas pembelian. Quantity rebate yang
diberikan kepada pembeli skala besar bukan terkategori sebagai diskriminasi
harga tetapi lebih kepada efisiensi biaya. Berikutnya fidelity rebate (loyalty
discount) yaitu diskon yang ditawarkan kepada pembeli yang telah mengikatkan
diri kepada penjual sehingga rabat diberikan baik dalam volume yang besar
ataupun yang kecil. Terdapat beberapa bentuk fidelity rebate, diantaranya yaitu
besarnya diskon tidak berdasarkan jumlah pembelian, tetapi disesuaikan dengan
jumlah pembelian relative jumlah kebutuhan pembeli. Makin besar porsi
pembelian terhadap kebutuhannya, makin besar diskon yang diperolehnya.
Target rebate juga dapat diberikan kepada counterpart bisnis yang target
penjualannya melebihi dari periode-periode sebelumnya. Kesimpulannya,
potongan harga dalam fidelity rebate hanya diberikan kepada pembeli yang
dianggap telah memenuhi syarat tertentu (conditional). Fidelity rebate umumnya
dinilai sebagai strategi yang ditujukan untuk mencegah kompetitor berkembang,
dan itulah sebabnya mengapa dianggap sebagai perilaku bisnis yang tidak fair.
Kedua selective price cuts yaitu penjual memotong harga secara selektif
pada pembeli tertentu pada segmen pasar tertentu yang tidak diberikan pada
pembeli di segmen pasar lainnya. Biasanya potongan harga selektif ini diberikan
kepada pembeli di pasar yang berpotensi beralih ke kompetitor lain. Tetapi bagi
pembeli lainnya di pasar yang berbeda tetap dikenakan harga yang lebih tinggi.
Sebagai ilustrasi, AKZO Nobel N.V, sebuah perusahaan cat dunia yang
berkedudukan di Belanda, pernah dihukum berdasarkan EC Treaty karena
terbukti melakukan selective price cuts dalam bentuk menetapkan harga di bawah
biaya produksinya (average cost = AC) khusus kepada konsumen pesaingnya.
Namun dalam EC Treaty tidak hanya perusahaan yang menetapkan harga di
bawah AC, tetapi juga yang menetapkan harga di atas AC sekalipun tetap
dianggap melanggar. Misalnya hal ini pernah dikenakan pada perusahaan Hilti,
pemasok peralatan konstruksi dan elektronik terbesar di dunia (cabangnya ada di
Indonesia), berkedudukan di Liechtenstein (Bouckaert, HansDegryse, & Dijk,
Wahdi Suardi | 5
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
2006). Kemudian salah satu alasan diterbitkannya Clayton Antitrust Act (1914) di
Amerika Serikat waktu itu, yang didalamnya mengatur tentang selective price cuts
adalah untuk mencegah perusahaan kuat di tingkat regional atau nasional
mematikan perusahaan local (Hirschey, 2008).
Ketiga tying yaitu untuk menggunakan satu produk, konsumen “dipaksa”
untuk membeli produk lainnya dari perusahaan atau merek yang sama. Ketika
sebuah merek printer “memaksa” konsumen untuk menggunakan tintanya juga
dari merek yang sama, berarti produsen printer tersebut telah “mengikat
konsumen” (tying) untuk tetap berhubungan dengan merek/produsen tersebut.
Kalau konsumen tidak menggunakan tinta tersebut maka printer tidak dapat
dioperasikan atau setidaknya hasil cetaknya tidak maksimal. Secara teknis,
printer digolongkan sebagai base goods, dan tinta adalah variable goods. Untuk
kasus printer ini, konsumen yang disasar adalah mereka yang suka mencetak
foto-foto berwarna. Karena alasan inilah, yang menjadi perhatian perusahaan
adalah willingness to pay (WTP) konsumen tintanya (variable goods), bukan WTP
printernya (base goods). Dalam praktiknya, harga base goods (printer) ditetapkan
semurah mungkin (atau secara teoritis ditetapkan di bawah biaya produksi rata-
ratanya atau AC), sedangkan harga variable goods (tinta) ditetapkan setinggi
mungkin (di atas AC). Karena disatukan dengan printer, konsumen tidak
menyadari bahwa sebenarnya ia telah membeli tinta dengan harga yang mahal.
Salah satu manfaat tying bagi produsen adalah mendistribusikan beban biaya
tetapnya (misalnya biaya R&D) kepada lebih banyak konsumen (konsumen
printer + tinta). Selain itu, untuk kasus printer di atas, produsen printer dapat
menyingkirkan pesaingnya dari bisnis tinta printer.
Keempat bundling, yaitu suatu perusahaan menjual dengan harga murah
jika misalnya membeli dua barang dalam satu paket dibandingkan jika pembeli
hanya membelinya secara individual. Contoh klasik adalah adalah perusahaan
aplikasi Microsoft yang menjual Word, Excel, Outlook, Access dan Powerpoint
dalam satu paket yang dikenal dengan nama produk Microsoft Office. Padahal
untuk sebagian orang mungkin hanya Word & Excel saja yang sering digunakan.
Praktik bundling juga dilakukan oleh produsen TV-Cable yang memaksa
pelanggannya untuk membeli 12 saluran TV sekaligus walaupun hanya 2 atau 4
saluran saja yang kita butuhkan atau sering ditonton. Produsen dapat memilih
pure bundling yaitu bila hanya menjual dalam bentuk paketan saja, dan tidak
menjual secara terpisah, atau mixed bundling bila menjual keduanya. Jasa
penyediaan broadband (koneksi Internet transmisi data kecepatan tinggi) dan TV-
Cable adalah contoh jelas tentang mixed bundling.
Berikut adalah ilustrasi mengenai penetapan harga bundling dengan kasus
Microsoft Office. Misalnya berdasarkan hasil survey pasar, Microsoft menemukan
willingness to pay (WTP) konsumen untuk Word & Excel (yang diwakili oleh
Wahdi Suardi | 6
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Amin & Ati). Bagi Amin, Word lebih penting sehingga ia berani untuk
membelinya dengan harga maksimal (WTP) Rp2.500.000/unit dan untuk Excel.
Sebaliknya bagi Ati, Excel lebih penting dan ia berani membelinya dengan harga
maksimal (WTP) Rp1.350.000/unit.
Wahdi Suardi | 7
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
P
P
A
A
B
B
P
P11
P
P22 C
C
P
P33 D
D
P
P44 E
E
FF
P
P55
I H G
G
P
P66
MR
MR MC
MC =
= AC
AC
d
d
Q
Q
Q
Q11 Q
Q22 Q
Q33 Q
Q44 Q
Q55 Q
Q66
Wahdi Suardi | 8
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
computer dimaksud dengan harga Rp 9 juta. Kalau dia jadi membelinya maka ia
memperoleh surplus konsumen atau manfaat senilai Rp 1 juta.
Kembali ke strategi FPD, perusahaan akan menentukan harga yang
berbeda untuk setiap unit penjualan hingga batas terendah di P 6. Misal harga
ditetapkan pada P1 maka perusahaan akan memperoleh laba sebesar segi-empat
P6IBP1 dan seterusnya hingga P6. Perusahaan tidak akan menetapkan harga di
bawah P6 karena lebih rendah daripada biaya/unitnya (AC). Dengan menerapkan
strategi FPD maka laba perusahaan bertambah sebesar segi-tiga (HGD+DAP3)
atau secara keseluruhan sekarang menjadi segitiga P6GA. Dengan diterapkannya
FPD maka surplus konsumen (segitiga DAP3) menjadi hilang karena diambil
(capturing) seluruhnya oleh produsen dalam bentuk peningkatan laba perusahaan.
Jadi ide utama diskriminasi harga adalah memaksimalkan laba perusahaan
dengan mengeksploitasi heterogenitas WTP konsumen.
Kembali ke gambar di atas, ketika perusahaan menetapkan harga P3
sebetulnya konsumen bersedia/mampu membelinya dengan harga di atas P3
sehingga surplus konsumen secara keseluruhan adalah segitiga DAP3. Secara
matematis, surplus konsumen (CS) dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
∑ ……………….... (1)
Dari fungsi permintaan individu ke-i: , maka persamaan di atas
berubah menjadi :
∑ ………… (2)
Diasumsikan perusahaan menghadapi fungsi permintaan yang linear dan ΔQ
mendekati nol, maka CS dapat dihitung:
∑ ……………………. (3)
Sebagai contoh, misal Pi = 60 – 6Qi, harga pasar (Pn) = Rp18 dan perubahan
kuantitas (Q) yang mendekati nol sama dengan 1, atau: ΔQ = 1; Pn = 18 dan Qn =
Qi diperoleh dari fungsi permintaan berikut:
Wahdi Suardi | 9
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Nilai barang ketika membeli sebanyak 7 unit adalah Rp252. Bila konsumen
membayar Rp126 untuk pembelian 7 unit barang tersebut, maka nilai manfaat
barang (Qi) yang dinikmati oleh konsumen (bukan yang dibayarkan) dari 0 hingga 7
unit adalah Rp126. Bagaimana kalau ΔQ = 0?. Dengan menggunakan rumus (3)
diperoleh:
∑
Nilai surplus konsumen sebesar 147 lebih tepat karena diasumsikan perubahan Q
mendekati nol, sementara surplus konsumen sebesar 126 mengasumsikan
perubahan Q sama dengan satu..
Wahdi Suardi | 10
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
P
P
S
S
P
P11
P
P22 T
T U
U
P
P33 V
V W
W
W
W
MC=AC
MC=AC A
A B
B X
X
MR
MR
D
D
Q
Q11 Q
Q22 Q
Q33 Q
Q
Wahdi Suardi | 11
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Apabila persamaan tersebut kita hubungkan dengan persamaan (1), maka kita
menemukan informasi tambahan mengenai diskriminasi harga, yaitu:
Persyaratan ini sangat rasional, karena pada pasar yang lebih elastis (yang
konsumennya lebih sensitive atau peka terhadap perubahan harga) lebih tepat
dikenakan harga yang lebih murah daripada pasar yang konsumennya kurang
sensitive. Walaupun tidak terlalu tepat, pasar yang konsumennya sensitive
terhadap perubahan harga berarti tingkat daya beli konsumennya tergolong
rendah.
Wahdi Suardi | 12
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
B
P1
MR1 = MR2 =MC
E
P2 MC
AC
D
D2
C
A F
Laba maksimal diperoleh bila perusahaan menjual sebanyak Qtotal unit yaitu
ketika MRtotal (penjumlah horisontal kurva MR1 dan MR2) sama dengan MC. Qtotal
unit tersebut merupakan penjumlahan Q1 unit di pasar 1 (karena harga jualnya
ditetapkan P1 untuk memenuhi kondisi MR1 = MC) dan Q2 unit di pasar 2 (karena
harga jualnya ditetapkan P2 untuk memenuhi kondisi MR2 = MC). P1 ditetapkan
lebih tinggi daripada P2 karena elastisitas harga di pasar 1 lebih rendah (lebih
inelastis) daripada di pasar 2. Dari pasar 1 diperoleh laba seluas segi-empat
ABP1C dan di pasar 2 seluas segi-empat DEP2C.
Gambar berikut juga menjelaskan hal yang sama namun dengan asumsi
marginal cost (MC) konstan atau MC = AC. Luas segi-empat yang berwarna
hitam menunjukkan besarnya laba yang diperoleh di setiap pasar, yaitu pasar 1,
pasar 2 dan pasar secara keseluruhan.
PP
PP
PP11
PP
PP22
MC D=D
D=D11+D
+D22
MC == AC
AC
MC
MC == AC
AC
MC
MC == AC
AC
MR
MR11 D
D11 MR
MR22 MR
D
D22 MR11+MR
+MR22
Q
Q (Q
Q
Q11 Q
Q22 (Q11+Q
+Q22))
Q
Q Q
Q
PASAR
PASAR 11 PASAR
PASAR 22 PASAR
PASAR TOTAL
TOTAL
Wahdi Suardi | 13
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Kondisi TPD juga dapat dijelaskan secara matematis seperti berikut ini.
Misalkan perusahaan menghadapi permintaan di pasar 1: Q1 = 100 – 2P dan di
pasar 2: Q2 = 50 – 0.5P, maka:
Q1 = 100 – 2P
Q2 = 50 – 0.5P
Qtotal = 150 – 2.5P
Fungsi permintaan di kedua pasar tersebut dapat diubah menjadi inverse demand
function seperti berikut.
P = 50 – 0.5Q1 TR1 = 50Q1 – 0.5Q12
P = 100 – 2Q2 TR2 = 100Q2 – 2Q22
P = 60 – 0.4Qtotal
Berdasarkan fungsi total revenue di atas dapat diperoleh fungsi marginal revenue
seperti berikut:
MR1 = 50 – Q1
MR2 = 100 – 4Q2
MRtotal = 60 – 0.8Qtotal
Misal diketahui biaya perusahaan dinyatakan dalam persamaan:
TC = 10Q + 0.1Q2 MC = 10 +0.2Q.
MR = MC 60 – 0.8Q = 10 + 0.2Q Q = 50 unit.
Pada tingkat penjualan total tersebut:
MC = 10 + 0.2(50) = 20
MR1 = MC 50 – Q1 = 20 Q1 = 30 unit.
MR2 = MC 100 – 4Q2 = 20 Q2 = 20 unit.
Sedangkan penentuan harga di setiap pasar adalah:
30 = 100 – 2P P1 = 35, dan 20 = 50 – 0.5P P2 = 60.
Mengapa di pasar 1 ditetapkan harga lebih rendah? Penjelasannya dapat
didekati dengan konsep elatisitas harga sebagai berikut. Elastisitas harga di pasar
adalah:
( ) atau : ( )
Sedangkan di pasar 2:
( ) atau: ( )
Wahdi Suardi | 14
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Jadi harga di pasar 1 ditetapkan lebih murah daripada pasar 2 karena elastisitas di
pasar 1 lebih tinggi atau lebih elastis (-2.33) daripada di pasar 2 (-1.5). Laba yang
diperoleh secara keseluruhan adalah:
TR1 = 50Q1 – 0.5Q12 = 50(30) + 0.5(30)2 = 1950 satuan uang
TR2 = 100Q2 – 2Q22 = 100(20) + 2(20)2 = 2800 satuan uang
= 4750 satuan uang
TC = 10(30+20) + 0.1 (30 + 20)2 = 750 satuan uang
Laba = 4000 satuan uang
Sekarang kita periksa apakah strategi diskriminasi harga tersebut berhasil? Tanpa
diskriminasi harga, laba yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Penjualan total Qtotal = 50 unit harga jual: P = 60 – 0.8Qtotal P = 75.
TR = 75 x 50 = 3750.
TC = 10(75) + 0.1(75)2 = 1312.5,
Laba = 2437.5
Karena laba dengan diskriminasi harga (4000) > laba tanpa diskriminasi harga
(2437.5), maka kita simpulkan strategi diskriminasi harga tersebut berhasil.
Ilustrasi lainnya misalkan sebuah perusahaan menerapkan diskriminasi
harga dengan menghadapi fungsi permintaan di kedua buah pasar seperti
berikut, dan dengan total biaya produksi TC = 90 + 2Q atau MC = 2, maka:
Q1 = 200 – P1 atau P1 = 200 – Q1 TR1 = 200Q1 – Q12 dan MR1 = 200 – 2Q1
Q2 = 100 – P2 atau P2 = 100 – Q2 TR2 = 100Q2 – Q22 dan MR2 = 100 – 2Q2
Karena MR1 = MC 200 – 2Q1 = 2 Q1 = 95 unit dan P1 = 200 – 95 = 105.
Karena MR2 = MC 100 – 2Q2 = 2 Q2 = 45 unit dan P2 = 100 – 45 = 55.
Dengan menerapkan diskriminasi harga, perusahaan memperoleh laba total:
Π = 105(95) + 55(55) – {90 + 10(95 + 55)} = 10960 satuan uang
Seandainya perusahaan tersebut tidak menerapkan diskriminasi harga, maka
solusinya adalah sebagai berikut:
Q = Q1 + Q2 = 200 – P1 + 100 – P2
= 200 – P + 100 – P = 300 – 2P, P = 150 – 0,5Q
TR = 150Q – 0,5Q2 MR = 150 – Q.
Karena syarat laba maksimum MR = MC, maka:
150 – Q = 10 Q = 140 unit, dan P = 150 – 0,5 (140) = 80 satuan uang.
Hasil perhitungan ini menginformasikan bahwa bila perusahaan tidak
menerapkan diskriminasi harga, maka harga jual yang harus ditetapkan (P)
Wahdi Suardi | 15
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
sebesar 80 satuan uang dan volume penjualan (Q) sebanyak 140 unit, sehingga
laba yang diperoleh: Π = 140(80) – {90 + 10(140)} = 9710 satuan uang.
Tabel 1
Karakteristik segmen kartu GSM pra-bayar versi Indosat.
Praktik diskriminasi harga tersebut berawal pada tahun 2000 ketika Indosat
mengakuisisi PT. Satelindo yang memiliki layanan GSM prabayar Mentari sejak
1996. Akuisisi ini mengakibatkan Indosat memiliki dua layanan untuk segmen
pasar GSM prabayar, yaitu Mentari dan IM3. Walaupun segmennya sama Indosat
tidak meleburkannya menjadi satu, melainkan melakukan diskriminasi harga
dengan memasang tarif Mentari lebih tinggi daripada tarif IM3. Tarif yang lebih
tinggi pada kartu Mentari memungkinkan Indosat memberikan layanan yang
lebih baik dari segi kualitas suara, kecepatan internet, coverage, dll dan
Wahdi Suardi | 16
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Wahdi Suardi | 17
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
tiket tinggi. Tipe 2 adalah konsumen dengan WTP tinggi dan sedikit memiliki
loyalitas merek (brand-indifferent business travellers). Mereka masih mau membeli
tiket walaupun harganya tinggi tetapi tetap memilih tiket termurah. Tipe ketiga
adalah brand-loyal business travellers yaitu mereka yang memiliki WTP dan
loyalitas merek tinggi. Hasil penelitian menemukan bahwa dampak persaingan
terhadap diskriminisasi harga hanya terjadi pada konsumen tipe 2 (brand
indifferent business travellers). Tingkat persaingan berdampak terhadap
pengurangan perbedaan harga tiket pada kelompok konsumen ini tetapi
sebaliknya meningkat perbedaan harga tiket pada kelompok konsumen lainnya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara persaingan dengan
diskriminasi harga masih belum jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Alhabeeb, M., & Moffitt, L. J. (2013). Managrial Economics: A Mathematical
Approach. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Amin, M., Hanson, K., & Mills, A. (2004). Price discrimination in obstetric
services--a case study in Bangladesh. Journal of Health Economics, 13, 597–
604.
Aulia, M. R. (2019, Februari 12). metrotvnews.com. Retrieved Februari 28, 2019,
from http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/nN9MY9AN-ngos-
ngosan-bisnis-penerbangan
Baye, M. R., & Prince, J. T. (2014). Managerial Economics and Business Strategy (8nd
ed.). New York: McGraw-Hill/Irwin.
Bouckaert, J., HansDegryse, & Dijk, T. (2006, November 21). unamur. Retrieved
March 4, 2019, from www.unamur.be:
https://www.unamur.be/en/eco/eeco/2006-2007/hdegryse
Chandra, A., & Lederman, M. (2016, August 9). Revisiting the Relationship
between Competition and Price Discrimination. Rotman School of
Management Working Paper No. 2477719.
Courty, P., & Pagliero, M. (2012, February). THE IMPACT OF PRICE
DISCRIMINATION ON REVENUE: EVIDENCE FROM THE CONCERT
INDUSTRY. CEPR Discussion Paper No. DP7120, 94(1), 359-369. SSRN.
Eldo Malba. (2016, May 21). Strategi Diskriminasi Harga: Dua Layanan GSM
Prabayar Indosat. Artikel. http://kanopi-febui.org.
Froeb, L. M., Shor, M., & Ward, M. R. (2014). Managerial Economics: A Problem
solving approach (3 ed.). South-Western: Cengage Learning.
Geradin, D., & Petit, N. (2005). Price Discrimination under EC Competition Law:
The need for a case-by-case Approach. GCLC Woring Paper 07/05. Bruges,
Belgium: Global Competition Law Centre.
Wahdi Suardi | 18
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL
Gil, R., Riera-Crichton, D., & Ruzzier, C. (2016, December). As Seen on TV: Price
Discrimination andCompetition in Television Advertising. Munich Personal
RePEc Archive.
Griffiths, A., & Wall, S. (2005). Economics for Business and Management: A Student
Text (1st ed.). Edinburgh Gate, Harlow: Pearson Education Limited.
Hirschey, M. (2008). Fundamentals of Managerial Economics (12th ed.). Cengage
Learning.
Hirschey, M., & Bentzen, E. (2016). Managerial Economics (14 ed.). Cengage
Learning EMEA.
KPPU. (2011, Juni). PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
NOMOR 3 TAHUN 2011 . Peraturan. Jakarta.
Lubis, A. F., Toha, K., Kagramanto, B., Hawin, M., Sirait, N. N., Prananingtyas, P.,
et al. (2017). Hukum Persaingan Usaha (2nd ed.). Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU).
Maddala, G., & Miller, E. (1989). Microeconomics: Theory and Application. Singapore:
McGraw-Hill Book.Co.
Maurice, S. C., Smith, C. W., & Thomas, C. (1998). Managerial economics: Applied
Microeconomics for decision making. Illinois: Rihard D. Irwin, Inc.
Poort, J., & Borgesius, F. J. (2019, January 30). Does everyone have a price?
Understanding people’s attitude towards online and offline price
discrimination. Internet Policy Review.
Wahdi Suardi | 19