Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA

NAMA : MEYLANI RINDI SAPUTRI


NIM : 2114201025

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG


PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2021/2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun Makalah ini dengan baik serta tepat waktu.
Mudah-mudahan Makalah yang kami buat ini bisa menolong menaikkan pengetahuan kita jadi
lebih luas lagi. Kami menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan Makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepada pihak yang sudah
menolong turut dan dalam penyelesaian Makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami
sampaikan banyak terima kasih.

Penulis, 1 Oktober 2022

Meylani Rindi Saputri


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MASALAH
PEMBAHASAN
A. KONSEP STRESS
B. RENTANG SEHAT SAKIT JIWA
C. KOPING
D. KONSEPTUAL MODEL DALAM KEPERAWATAN PRIMER, SEKUNDER
DAN TERSIER
PENUTUP
A. KESIMPULAN



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sesuatu hal dapat terjadi pada setiap orang, baik hal yang buruk ataupun baik,
seperti kondisi stress atau peningkatan kesehatan. Pemahaman tentang stress dan
akibatnya sangatlah penting bagi upaya pengobatan dan pencegahan stress itu sendiri.
Setiap orang mengalami sesuatu yang disebutstress sepanjang kehidupannya. Masalah
stress sering dihubungkan dengan kehidupan moderndan sepertinya kehidupan modern
merupakan sumber bermacamgangguan stress. Para ahli telah banyak meneliti masalah
stress,terutama yang bertalian dengan situasi dan kondisi hidup. Stres dapat memberikan
stimulus terhadap perkembang dan pertumbuhan, dan dalam hal ini stress adalah hal
positif dan diperlukan. Namun demikian, terlalu banyak stress dapat menimbulkan
gangguan-gangguan seperti, penyesuaian yang buruk, penyakit fisik dan
ketidakmampuan untuk mengatasi atau koping terhadap masalah. Sejumlah penelitian
yang telah dilakukan menunjukan adanya suatu hubungan antara peristiwa kehidupan
yang menegangkan atau penuh stress dengan berbagaikelainan fisikdan psikiatrik (Yatkin
& Labban, 1992). Claude Bernand, tahun 1867, adalah satu dari ahli fisiologi
pertamayang mengenali konsekuensi stress. Ia menyatakan perubahan dalamlingkungan
internal dan eksternal dapat mengganggu fungsi suatu organnismedan hal ini penting bagi
organisme untuk mengadaptasi stressor sehinggaorganisme tersebut dapat bertahan.
Walter Cannon, tahun 1920, menyelidikirespons fisiologis terhadap rangsangan
emosional dan penekanan fungsi adaptif dari reaksi ‘melawan atau lari’ (fight or flight).
Cannon juga menunjukan bahwa respon ini adalah hasil dari pengaruh emosional pada
tubuh dan bahwa respon selanjutnya adalah adaptif dan fisiologis (Robinson,1990).
Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat menyadari bahwa klien adalah manusia
utuh dan unik yang terdiri dari aspek bio, psiko, sosial, dan spritual tuntutan masyarakat
akan kwalitas pelayanan perawatan cenderung semakin meningkat. Hal ini membawa
dampak yang positif terhadap peran dan fungsi perawat untuk mengantisipasi tuntutan
masyarakat mutu pelayanan perawatan. Pada pengkajian seringkali perawat hanya
memusatkan perhatian pada aspek biologis atau fisiknya saja, sehingga asuhan
keperawatan secara konprensif tidak tercapai. Maka dari itu perlunya perawat untuk
membekali baik ilmu maupun pengalaman- pengalaman. Sehingga respon klien dapat
terkaji lebih dalam dengan tujuan mengenal dan menentukan masalahnya atau
kebutuhannya.
Pada masa lalu, sebagian besar individu dan masyarakat memandang sehat dan
sakit sebagai sesuatu Hitam atau Putih. Dimana kesehatan merupakan kondisi kebalikan
dari penyakit atau kondisi yang terbebas dari penyakit. Anggapan atau sikap yang
sederhana ini tentu dapat diterapkan dengan mudah; akan tetapi mengabaikan adanya
rentang sehat-sakit. Saat ini sehat dipandang dengan perspektif yang lebih luas. Luasnya
aspek itu meliputi rasa memiliki kekuasaan, hubungan kasih sayang, semangat hidup,
jaringan dukungan sosial yang kuat, rasa berarti dalam hidup, atau tingkat kemandirian
tertentu (Haber, 1994). Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari
penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek
fisik, emosi, sosial dan spiritual.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang disebut dengan konsep stress ?
2. Apa itu rentang sehat sakit jiwa dan koping ?
3. Bagaimana konseptual model dalam keperawatan sekunder dan tersier ?
C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui konsep stress
2. Mengetahui rentang sehat sakit jiwa dan koping
3. Mengetahui konseptual model dalam keperawatan sekunder dan tersier
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP STREES
1. Pengertian stress
Stress menurut Hans Selye 1976 merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Berdasarkanpengertian tersebut dapat
dikatakan stress apabila seseorang mengalami beban atau tugas yang berat tetapi orang
tersebut tidak dapat mengatasi tugas yangdibebankan itu, maka tubuh akan berespon
dengan tidak mampu terhadap tugastersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami
stress. Respons atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan psikologis. Stress dapat
menyebabkan perasaan negative atau yang berlawanan dengan apa yang diinginkan atau
mengancam kesejahteraan emosional. Stress dapat menggangu cara seseorang dalam
menyerap realitas, menyelesaikan masalah, berfikir secara umum dan hubungan
seseorang dan rasa memiliki. Terjadinya stress dapat disebabkan oleh sesuatu yang
dinamakan stressor,stressor ialah stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan.
Stressor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai stressor internal atau
eksternal.Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang (mis. Kondisi
sakit,menopause, dll ). Stressor eksternal berasal dari luar diri seseorang atau lingkuangan
(mis. Kematian anggota keluarga, masalah di tempat kerja, dll ).
Pengertian stress akan berbeda satu dengan lainnya, hal ini bergantung dengan cara
pandang seseorang dalam mendefinisikannya. Ada beberapa pengertian yang perlu
diketahui mahasiswa yaitu,
a. (Hans Selye,1976)
Stress adalah rspon tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan beban
atasnya.
b. Emanuelsen&Rosenlicht, 1986
Stress didefinisikan sebagai respon fisik dan emosionalterhadap tuntutan yang dialami
individu yang diiterpretasikansebagai sesuatu yang mengancam keseimbangan
c. Soeharto Heerdjan, 1987
Stres adalah suatu kekuatan yang mendesak ataumencekam, yang menimbulkan suatu
ketegangan dalam diri seseorang.
d. Maramis, 1999
Secara umum, yang dimaksud 3Stres adalah reaksi tubuhterhadap situasi yang
menimbulkan tekanan, perubahan,ketegangan emosi, dan lain-lain ́. 3Stres adalah segala
masalahatau tuntutan penyesuaian diri, dan karena itu, sesuatu yangmengganggu
keseimbangan kita ́
e. Vincent Cornelli, sebagai manadikutip oleh Grant Brecht(2000)
Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yangdisebabkan oleh perubahan dan
tuntutan kehidupan, yangdipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan
individudi dalam lingkungan tersebut.
f. Keliat, B.A. , 1999
Stress adalah realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapatdihindari. Stres disebabkan
oleh perubahan yang memerlukan penyesuaian.
2. Gejala stress
Stres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya,
tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan karakteristik
individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang. Seseorang yang mengalami
stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang terjadi,
 Cary Cooper dan Alison Straw mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda
berikut ini :
1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan tenggorokan kering, tangan lembab, merasa
panas, otot-otot tegang, pencernaanterganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit
kepala, salah urat dan gelisah.
2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas, sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya,
gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, susah konsentrasi, dan sebagainya.
3. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati yang berlebihan, menjadi lekas panik,
kurang percaya diri, penjengkel.
 Menurut Braham, gejala stres dapat berupa tanda-tanda,sebagai berikut :
1. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidak dapat tidur teratur, sakit kepala, sulit buang air besar,
adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal.
2. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung, terlalu sensitif,gelisah dan cemas,
suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis.
3. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit
berkonsentrasi, suka melamun, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja.
4. Interpersonal, yaitu acuh, kurang percaya kepada orang lain, sering mengingkari janji,
suka mencari kesalahan orang lain, menutup diri, mudah menyalahkan orang lain.
3. Ciri-ciri stress
 Ciri-ciri stres yang baik:
1. Mengahadapi sesuatu dengan penuh harapan untuk melawan rasa takut dalam diri.
2. Memiliki jadwal yang sangat padat, tetapi didalam sela-sela jadwal yang padat itu ada
aktivitas yang sangat diharapkandan sangat dinikmati.
3. Memiliki komitmen yang lebih terhadap apa yang Anda sayangi. Misalnya:
pernikahan, menjadi seorang ayah/ibu, menjadi pekerja, atau menjadi pegawai negeri.
4. Bekerja dengan tujuan tertentu dan Anda tahu kecepatan Anda saat bergerak akan
berkurang saat tujuan itu tercapai atau bahkan saat baru akan tercapai.
5. Merasa tertantang, siap dan bersemangat untuk menerima dan menyelesaikan tugas
yang akan Anda hadapi.
6. Merasakan kondisi badan yang cukup lelah namun akhirnya akan menikmati tidur
yang lelap dan nyaman.
 Ciri-ciri stres yang jahat:
1. Menghadapi segala sesuatu dengan perasan takut, resah, gelisah dan khawatir.
2. Memiliki jadwal yang sangat padat, tetapi tak ada satupun yang dapat Anda nikmati
dan mau tidak mau, harus Anda penuhi kewajiban itu.
3. Merasa bahwa semua yang Anda lakukan tidaklah penting, tidak memenuhi seluruh
kebutuhan Anda, dan tak sebanding dengan tenaga, pikiran dan waktu yang Anda
curahkan.
4. Merasa tidak memegang kendali dan selalu merasa panic seakan-akan tidak ada jalan
keluar untuk menyelesaikan tugas, merasa tidak ada selesainya, dan merasa tidak ada
yang membantu menyelesaikannya.
5. Merasa lebih baik bekerja daripada berhenti/istirahat sejenak saat jam kerja.
6. Memiliki tidur yang tidak lelap, tidur yang resah, sering sakit maag, sakit punggung
dan mempunyai sakit yang sifatnya menahun.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressors. Meskipun
stress dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami stress
karena kombinasi stressors. Menurut Robbins (2001:565-567) ada tiga sumber utama
yang dapat menyebabkan timbulnya stress yaitu :
1) Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh
pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor
lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stress bagi karyawan yaitu
ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian
terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal
ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru
terhadap teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai
karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang
singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.
2) Faktor Organisasi
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress yaitu
role demands, interpersonal demands, organizational structure dan organizational
leadership.
Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu organisasi akan
mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk memberikan hasil akhir yang ingin
dicapaibersama.
b. Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi.
Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya
akan dapat menyeba bkan komunikasi yang tidak sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan
dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat
perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.
c. Organizational Structure
Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut
dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan
maka akan dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan dalam organisasi.
d. Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu
organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group (Robbins, 2001:316)
dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan
pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta
karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan
saja. Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam mengukur
tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri adalah muncul dari
adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah yang timbul yang tidak diinginkan
oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-
permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya
diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins, 2001:563).
3) Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah
ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara
keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan
dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan
masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan
penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan
tersebut dengan seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang
dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang
tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus
diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.
5. Koping/cara mengatasi stress
Koping merupakan cara-cara yang digunakan oleh indifidu unyuk menghadapi situasi
yang menekan.Oleh karena itu meskipun koping menjadi bagian dari penyesuaian
diri,namun koping merupakan istilah yang khusus digunakan untuk menunjukkan reaksi
individu ketika menghadapi tekanan/stress.
Ada berbagai macam koping.Pendapat berbagai tokoh pun beragam.Ada yang
menyebutkan istilah koping hanya untuk cara-cara mengatasi persoalan yang sifatnya
positif.Namun ada juga yang melihat koping sebagai istilah yang netral.
Koping yang negatif menimbulkan berbagai persoalan baru di kemudian hari,bahkan
sangat mungkin memunculkan berbagai gangguan pada diri individu yang
bersangkutan.Sebaliknya koping yang positif menjadikan individu semakin
matang,dewasa dan bahagia dalam menjalani kehidupannya.
Ada berbagai cara untuk mengatasi stress.kalau akibat stres telah mempengaruhi fisik,dan
bahkan menimbulkan penyakit tertentu,peranan obat/medikasi biasanya
diperlukan.namun obat itu sendiri kurang efektif untuk mengatasi stress dalam jangka
panjang.Ada efek negatif bila menggunakan obat terus menerus.Disamping obat-obat
tertentu membutuhkan biaya yang mahal,obat juga bias mengakibatkan ketergantungan
dan bahkan membuat orang tertentu kebal terhadap obat tertentu.Untuk mencegah dan
mengatasi stres agar tidak sampai ke tahap yang paling berat, maka dapat dilakukan
dengan cara :
1. Istirahat dan Tidur
Istirahat dan tidur merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena dengan
istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keadaan tubuh. Tidur yang cukup akan
memberikan kegairahan dalam hidup dan memperbaiki sel-sel yang rusak.
2. Olah Raga atau Latihan Teratur
Olah raga dan latihan teratur adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya tahan dan
kekebalan fisik maupun mental. Olah raga dapat dilakukan dengan cara jalan pagi, lari
pagi minimal dua kali seminggu dan tidak perlu lama-lama yang penting menghasilkan
keringat setelah itu mandi dengan air hangat untuk memulihkan kebugaran.
3. Berhenti Merokok
Berhenti merokok adalah bagian dari cara menanggulangi stres karena dapat
meningkatkan ststus kesehatan dan mempertahankan ketahanan dan kekebalan tubuh.
4. Tidak Mengkonsumsi Minuman Keras
Minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan terjadinya stres.
Dengan tidak mengkonsumsi minuman keras, kekebalan dan ketahanan tubuh akan
semakin baik, segala penyakit dapat dihindari karena minuman keras banyak
mengandung alkohol.
5. Pengaturan Berat Badan
Peningkatan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stres
karena mudah menurunkan daya tahan tubuh terhadap stres. Keadaan tubuh yang
seimbang akan meningkatkan ketahanan dan kekebalan tubuh terhadap stres.
6. Pengaturan Waktu
Pengaturan waktu merupakan cara yang tepat dalam mengurangi dan menanggulangi
stres. Dengan pengaturan waktu segala pekerjaaan yang dapat menimbulkan kelelahan
fisik dapat dihindari. Pengaturan waktu dapat dilakukan dengan cara menggunakan waktu
secara efektif dan efisien serta melihat aspek prokdutivitas waktu. Seperti menggunakan
waktu untuk menghasilkan sesuatu dan jangan biarkan waktu berlalu tanpa menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat.
7. Terapi Psikofarmaka
Terapi ini dengan menggunakan obat-obatan dalam mengalami stres yang dialami dengan
cara memutuskan jaringan antara psiko neuro dan imunologi sehingga stresor psikososial
yang dialami tidak mempengaruhi fungsi kognitif afektif atau psikomotor yang dapat
mengganggu organ tubuh yang lain. Obat-obatan yang digunakan biasanya digunakan
adalah anti cemas dan anti depresi.
8. Terapi Somatik
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat stres yang dialami
sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh yang lain.
9. Psikoterapi
Terapi ini dengan menggunakan teknik psikologis yang disesuaikan dengan kebutuhan
seseorang. Terapi ini dapat meliputi psikoterapi suportif dan psikoterapi redukatif di
mana psikoterapi suportif memberikan motivasi atau dukungan agar pasien mengalami
percaya diri, sedangkan psikoterapi redukatif dilakukan dengan memberikan pendidikan
secara berulang. Selain itu ada psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi kognitif
dan lain-lain.
10. Terapi Psikoreligius
Terapi ini dengan menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi permasalahan
psikologis mengingat dalam mengatasi permasalahn psikologis mengingat dalam
mengatasi atau mempertahankan kehidupan seseorang harus sehat secara fisik, psikis,
sosial, dan sehat spiritual sehingga stres yang dialami dapat diatasi.
11. Homeostatis
Merupakan suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dalam
menghadapi kondisi yang dialaminya. Proses homeostatis ini dapat terjadi apabila tubuh
mengalami stres yang ada sehingga tubuh secara alamiah akan melakukan mekanisme
pertahanan diri untuk menjaga kondisi yang seimbang, atau juga dapat dikatakan bahwa
homeostatis adalah suatu proses perubahaan yang terus menerus untuk memelihara
stabilitas dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan sekitarnya.
Homeostatis yang terdapat dalam tubuh manusia dapat dikendalikan oleh suatu
sistemendokrin dan syaraf otonom. Secara alamiah proses homeostatis dapat terjadi
dalam tubuh manusia. Dalam mempelajari cara tubuh melakukan proses homeostatis ini
dapat melalui empat cara di antaranya:
a. Self regulation di mana sistem ini terjadi secara otomatis pada orang yang sehat seperti
dalam pengaturan proses sistem fisiologis tubuh manusia.
b. Berkompensasi yaitu tubuh akan cenderung bereaksi terhadap ketidak normalan dalam
tubuh.
c. Dengan cara sistem umpan balik negatif, proses ini merupakan penyimpangan dari
keadaan normal segera dirasakan dan diperbaiki dalam tubuh dimana apabila tubuh
dalam keadaan tidak normal akan secara sendiri mengadakan mekanisme umpan balik
untuk menyeimbangkan dari keadaan yang ada.
d. Cara umpan balik untuk mengkoreksi suatu ketidakseimbangan fisiologis.
Pencegahan terhadap stres bisa dilakukan dengan mengubah sikap hidup.Orang yang
terlibat lebih aktif dengan pekerjaan dan kehidupan masyarakat,lebih berorientasi pada
tantangan dan perubahan ,dan merasa dapat menguasai kejadian-kejadian dalam hidupnya
adalah orang yang tidak akan mudah terkena efek negatif stress.
B. RENTANG SEHAT SAKIT JIWA
1. Konsep sehat sakit
a. Defenisi sehat
Sehat adalah keadaan fisik , mental dan sosial yang baik, tidak hanya terbebas dari
penyakit , cacat , atau kelemahan .arti sehat secara harfiah adalah sesuatu yang
berhubungan dengan kondisi fisik seseorang . orang dikatakan apabila terbebas dari
serangan penyakit .
Sehat adalah keadaan yang sempurnabaik fisik, mental maupun social, tidak hanya
terbebas dari penyakit/cacat. (WHO dalam Notosoedirjo, 2005). Di indonesia kriteria
sehat ditetapkan melalui undang-undang nomor 1960 tentang pokok-pokok kesehatan dan
telah diperbaharui dengan pasal 1 ayat (1) yang bunyinya : kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan , jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
(sumber:suyono,M.sc,Dr.budiman,s.pd,SKM,S.kep,M.Kes.ilmu kesehatan masyarakat.1-
2.2010)
b. Ciri-ciri sehat
Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak
adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh
berfungsi normal atau tidak mengalami gangguan.
Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual.
1. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
2. Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan
emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya.
3. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur,
pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan
Yang Maha Kuasa (Allah SWT dalam agama Islam). Misalnya sehat spiritual
dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang.
4. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain
atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan,
status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
5. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti
mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhada
hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa
(siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak
berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara
sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya
berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan
kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut.
c. Defenisi sakit
Dalam pengertian sederhana , sakit adalah deviasi /penyimpangan dari status sehat
seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun(kronis) , atau gangguan
kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja /kegiatannya terganggu.walaupun
seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek , tetapi bila ia tidak
terganggu untuk melaksanakan kegiatannya , maka ia dianggap tidak sakit.
Ada tiga kriteria untuk menentukan apakah mereka sakit sakit , yaitu :
1) Adanya gejala , seperti naiknya temperatur nyeri
2) Presepsi bagaimana tentang mereka merasakan: baik,buruk,sakit.
3) Kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari : bekerja ,sekolah. (sumber:anik
maryunani.keterampilan dasar praktik klinik kebidanan.5.2011).
d. Ciri-ciri sakit
1. Individu percaya bahwa ada kelainan dalam tubuh ; merasa dirinya tidak sehat /
merasa timbulnya berbagai gejala merasa adanya bahaya.
Mempunyai 3 aspek :
- secara fisik : nyeri, panas tinggi.
- Kognitif : interprestasi terhadap gejala.
- Respons emosi terhadap ketakutan / kecamasan.
2. Asumsi terhadap peran sakit (sick Rok).Penerimaan terhadap sakit.

2. Rentang sehat sakit


 Suatu skala ukur secara relative dalam mengukur keadaan sehat/kesehatan
seseorang.
 Kedudukannya pada tingkat skala ukur : dinamis dan bersifat individual.
 Jarak dalam skala ukur : keadaan sehat secara optimal pada satu titik dan kematian
pada titik yang lain
a. Model sehat sakit
1. Model sehat sakit (neuman)
Menurut Neuman (1990): ”sehat dalam suatu rentang merupakan tingkat kesejahteraan
klien pada waktu tertentu , yang terdapat dalam rentang dan kondisi sejahtera yang
optimal dengan energi yang paling maksimum, sampai kondisi kematian yang
menandakan habisnya energi total” Jadi menurut model ini sehat adalah keadaan dinamis
yang berubah secara terus menerus sesuai dengan adaptasi individu terhadap berbagai
perubahan pada lingkungan internal dan eksternalnya untuk mempertahankan keadaan
fisik, emosional, inteletual, sosial, perkembangan, dan spiritual yang sehat. Sedangkan
Sakit merupakan proses dimana fungsi individu dalam satu atau lebih dimensi yang ada
mengalami perubahan atau penurunan bila dibandingkan dengan kondisi individu
sebelumnya. Karena sehat dan sakit merupakan kualitas yang relatif dan mempunyai
tingkatan sehingga akan lebih akurat jika ditentukan seseuai titik-titik tertentu pada skala
Rentang Sehat-Sakit. Dengan model ini perawat dapat menentukan tingkat kesehatan
klien sesuai dengan rentang sehat-sakitnya.
Sehingga faktor resiko klien yang merupakan merupakan faktor yang penting
untuk diperhatikan dalam mengidentifikasi tingkat kesehatan klien. Faktor-faktor resiko
itu meliputi variabel genetik dan psikologis. Kekurangan dari model ini adalah sulitnya
menentukan tingkat kesehatan klien sesuai dengan titik tertentu yang ada diantara dua
titik ekstrim pada rentang itu (Kesejahteraan Tingkat Tinggi – Kematian). Misalnya:
apakah seseorang yang mengalami fraktur kaki tapi ia mampu melakukan adaptasi
dengan keterbatasan mobilitas, dianggap kurang sehat atau lebih sehat dibandingkan
dengan orang
yang mempunyai fisik sehat tapi mengalami depresi berat setelah kematian pasangannya.
Model ini efektif jika digunakan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan saat ini
dengan tingkat kesehatan sebelumnya. Sehingga bermanfaat bagi perawat dalam
menentukan tujuan pencapaian tingkat kesehatan yang lebih baik dimasa yang akan
datang.
2. Model kesejahteraan tingkat tinggi (dunn)
Model yang dikembangkan oleh Dunn (1977) ini berorientasi pada cara
memaksimalkan potensi sehat pada individu melalui perubahan perilaku. Pada pendekatn
model ini perawat melakukan intervnsi keperawatan yang dapat membantu klien
mengubah perilaku tertentu yang mengandung resiko tinggi terhadap kesehatan Model ini
berhasil diterapkan untuk perawatan lansia, dan juga digunakan dalam keperawatan
keluarga maupun komunitas.
3. Model Agen-Pejamu-Lingkungan(Leavell at all.)
Menurut pendekatan model ini tingkat sehat dan sakit individu atau kelompok
ditentukan oleh hubungan dinamis antara Agen, Pejamu, dan Lingkungan Agen :Berbagai
faktor internal-eksternal yang dengan atau tanpanya dapat menyebabkan terjadinya
penyakit atau sakit. Agen ini bisa bersifat biologis, kimia, fisik, mekanis, atau
psikososial. Jadi Agen ini bisa berupa yang merugikan kesehatan (bakteri, stress) atau
yang meningkatkan kesehatan (nutrisi, dll). Pejamu: Sesorang atau sekelompok orang
yang rentan terhadap penyakit/sakit tertentu. Faktor pejamu antara lain: situasi atau
kondisi fisik dan psikososoial yang menyebabkan seseorang yang beresiko menjadi sakit.
Misalnya: Riwayat keluarga, usia, gaya hidup dll. Lingkungan: seluruh faktor yang ada
diluar pejamu.
Lingkungan fisik: tingkat ekonomi, iklim, kondisi tempat tinggal, penerangan, kebisingan
Lingkungan sosial: Hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial, misalnys: stress,
konflik, kesulitan ekonomi, krisis hidup.
Model ini menyatakan bahwa sehat dan sakit ditentukan oleh interaksi yang dinamis dari
ketiga variabel tersebut. Menurut Berne et al (1990) respon dapat meningkatkan
kesehatan atau yang dapat merusak kesehatan berasal dari interaksi antara seseorang atau
sekelompok orang dengan lingkungannya. Selain dalam keperawatan komunitas model
ini juga dikembangkan dalam teori umum tentang berbagai penyebab penyakit
4. Model Keyakinan-Kesehatan
Model Keyakinan-Kesehatan menurut Rosenstoch (1974) dan Becker dan Maiman
(1975) menyatakan hubungan antara keyakinan seseorang dengan perilaku yang
ditampilkan. Model ini memberikan cara bagaimana klien akan berprilaku sehubungan
dengan kesehatan mereka dan bagaimana mereka mematuhi terapi kesehatan yang
diberikan.
Terdapat tiga komponen dari model Keyakinan-Kesehatan antara lain
1. Persepsi Individu tentang kerentanan dirinya terhadap suatu penyakit.
Misal: seorang klien perlu mengenal adanya pernyakit koroner melalui riwayat
keluarganya, apalagi kemudian ada keluarganya yang meninggal maka klien mungkin
merasakan resiko mengalami penyakit jantung.
2. Persepsi Individu terhadap keseriusan penyakit tertentu.
Dipengaruhi oleh variabel demografi dan sosiopsikologis, perasaan terancam oleh
penyakit, anjuran untuk bertindak (misal: kampanye media massa, anjuran keluarga atau
dokter dll)
3. Persepsi Individu tentang manfaat yang diperoleh dari tindakan yang diambil.
Seseorang mungkin mengambil tindakan preventif, dengan mengubah gaya hidup,
meningkatkan kepatuhan terhadap terapi medis, atau mencari pengobatan medis.
Model ini membantu perawat memahami berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi, keyakinan, dan perilaku klien, serta membantu perawat membuat rencana
perawatan yang paling efektif untuk membantu klien, memelihara dan mengembalikan
kesehatan serta mencegah terjadiny penyakit.
5. Model Peningkatan-Kesehatan (Pender)
Dikemukakan oleh Pender (1982,1993,1996) yang dibuat untuk menjadi sebuah
model yang menyeimbangkan dengan model perlindungan kesehatan.
Fokus dari model ini adalah menjelaskan alasan keterlibatan klien dalam aktivitas
kesehatan (kognitif-persepsi dan faktor pengubah).
b. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Keyakinan dan Tindakan Kesehatan
1. Faktor internal
a) Tahap perkembangan
Artinya status kesehatan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini adalah
pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang usia (bayi-lansia)
memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
Untuk itulah seorang tenaga kesehatan (perawat) harus mempertimbangkan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan klien pada saat melakukan perncanaan tindakan.
Contohnya: secara umum seorang anak belum mampu untuk mengenal keseriusan
penyakit sehingga perlu dimotivasi untuk mendapatkan penanganan atau
mengembangkan perilaku pencegahan penyakit.
b) Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan
Keyakinan seseorang terhadap kesehatan terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri
dari pengetahuan tentang berbagai fungsi tubuh dan penyakit , latar belakang pendidikan,
dan pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir
seseorang termasuk kemampuan untuk memehami faktor-faktor yang berhubungan
dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga
kesehatan sendirinya.
c) Perpepsi tentang fungsi
Cara seseorang merasakan fungsi fisiknya akan berakibat pada keyakinan terhadap
kesehatan dan cara melaksanakannya. Contoh, seseorang dengan kondisi jantung yang
kronik merasa bahwa tingkat kesehatan mereka berbeda dengan orang yang tidak pernah
mempunyai masalah kesehatan yang berarti. Akibatnya, keyakinan terhadap kesehatan
dan cara melaksanakan kesehatan pada masingmasing orang cenderung berbeda-beda.
Selain itu, individu yang sudah berhasil sembuh dari penyakit akut yang parah mungkin
akan mengubah keyakinanmereka terhadap kesehatan dan cara mereka melaksanakannya.
Untuk itulah perawat mengkaji tingkat kesehatan klien, baik data subjektif yiatu tentang
cara klien merasakan fungsi fisiknya (tingkat keletihan, sesak napas, atau nyeri), juga
data objektif yang aktual (seperti, tekanan darah, tinggi badan, dan bunyi paru). Informasi
ini memungkinkan perawat merencanakan dan mengimplementasikan perawatan klien
secara lebih berhasil.
c. Sikap dan perilaku sehat
Sakit adalah keadaan dimana fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, atau
seseorang berkurang atau terganggu, bukan hanya keadaan terjadinya proses penyakit.
Oleh karena itu sakit tidak sama dengan penyakit. Sebagai contoh klien dengan Leukemia
yang sedang menjalani pengobatan mungkin akan mampu berfungsi seperti biasanya,
sedangkan klien lain dengan kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri untuk
menjalanaio operasi mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi lain, selain
dimensi fisik. Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara
seseorang memantau tubuhnya; mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang
dialami; melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan.
Seorang individu yang merasa dirinya sedang sakit perilaku sakit bisa berfungsi sebagai
mekanisme koping.
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sakit :
a) Faktor Internal
Persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami Klien akan segera mencari
pertolongan jika gejala tersebut dapat mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari.
Misal: Tukang Kayu yang menderitas sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa
membahayakan dan mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan.
Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang sebaliknya. Bisa saja
orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan bereaksi dengan cara menyangkalnya
dan tidak mau mencari bantuan. Asal atau Jenis penyakit Pada penyakit akut dimana
gejala relatif singkat dan berat serta mungkin mengganggu fungsi pada seluruh dimensi
yang ada, Maka klien bisanya akan segera mencari pertolongan dan mematuhi program
terapi yang diberikan. Sedangkan pada penyakit kronik biasany berlangsung lama (>6
bulan) sehingga jelas dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada. Jika
penyakit kronik itu tidak dapat disembuhkan dan terapi yang diberikan hanya
menghilangkan sebagian gejala yang ada, maka klien mungkin tidak akan termotivasi
untuk memenuhi rencana terapi yang ada.
b) Faktor Eksternal
Gejala yang Dapat Dilihat
Gajala yang terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi Citra Tubuh dan Perilaku
Sakit.
Misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah mungkin akan lebih cepat
mencari pertolongan dari pada orang dengan serak tenggorokan, karena mungkin
komentar orang lain terhadap gejala bibir pecah-pecah yang dialaminya.
Kelompok Sosial
Kelompok sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau justru
meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit.
Misalnya: Ada 2 orang wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang berasal
dari dua kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya benjolan pada
Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka mendisukusikannya dengan
temannya masing-masing. Teman Ny. A mungkin akan mendorong mencari pengobatan
untuk menentukan apakah perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman Ny. B mungkin
akan mengatakan itu hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke dokter.
Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya dan etik mengajarkan sesorang bagaimana menjadi sehat,
mengenal penyakit, dan menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami latar
belakang budaya yang dimiliki klien.
Ekonomi
Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap
gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika
merasa ada gangguan pada kesehatannya.
Kemudahan Akses Terhadap Sistem Pelayanan
Dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan medis lain sering
mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki sistem pelayanan kesehatan.
Demikian pula beberapa klien enggan mencari pelayanan yang kompleks dan besar dan
mereka lebih suka untuk mengunjungi Puskesmas yang tidak membutuhkan prosedur
yang rumit.
Dukungan Sosial
Dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi atau perkumpulan yang bersifat
peningkatan kesehatan. Di institusi tersebut dapat dilakukan berbagai kegiatan, seperti
seminar kesehatan, pendidikan dan pelatihan kesehatan, latihan (aerobik, senam POCO-
POCO dll). Juga menyediakan fasilitas olehraga seperti, kolam renang, lapangan Bola
Basket, Lapangan Sepak Bola, dll.
2. Tahap-tahap Perilaku Sakit
a) Tahap I (Mengalami Gejala)
Pada tahap ini pasien menyadari bahwa ”ada sesuatu yang salah ” Mereka mengenali
sensasi atau keterbatasan fungsi fisik tetapi belum menduga adanya diagnosa tertentu.
Persepsi individu terhadap suatu gejala meliputi: (a) kesadaran terhadap perubahan fisik
(nyeri, benjolan, dll); (b) evaluasi terhadap perubahan yang terjadi dan memutuskan
apakah hal tersebut merupakan suatu gejala penyakit; (c) respon emosional. Jika gejala
itu dianggap merupakan suatu gejala penyakit dan dapat mengancam kehidupannya maka
ia akan segera mencari pertolongan.
Terjadi jika gejala menetap atau semakin berat, Orang yang sakit akan melakukan
konfirmasi kepada keluarga, orang terdekat atau kelompok sosialnya bahwa ia benar-
benar sakit sehingga harus diistirahatkan dari kewajiban normalnya dan dari harapan
terhadap perannya. Menimbulkan perubahan emosional spt : menarik diri/depresi, dan
juga perubahan fisik. Perubahan emosional yang terjadi bisa kompleks atau sederhana
tergantung beratnya penyakit, tingkat ketidakmampuan, dan perkiraan lama sakit.
Seseorang awalnya menyangkal pentingnya intervensi dari pelayanan kesehatan,
sehingga ia menunda kontak dengan sistem pelayanan kesehatan akan tetapi jika gejala
itu menetap dan semakin memberat maka ia akan segera melakukan kontak dengan
sistem pelayanan kesehatan dan berubah menjadi seorang klien.
Pada tahap ini klien mencari kepastian penyakit dan pengobatan dari seorang ahli,
mencari penjelasan mengenai gejala yang dirasakan, penyebab penyakit, dan implikasi
penyakit terhadap kesehatan dimasa yang akan datang Profesi kesehatan mungkin akan
menentukan bahwa mereka tidak menderita suatu penyakit atau justru menyatakan jika
mereka menderita penyakit yang bisa mengancam kehidupannya.klien bisa menerima
atau menyangkal diagnosa tersebut.
Bila klien menerima diagnosa mereka akan mematuhi rencan pengobatan yang telah
ditentukan, akan tetapi jika menyangkal mereka mungkin akan mencari sistem pelayanan
kesehatan lain, atau berkonsultasi dengan beberapa pemberi pelayanan kesehatan lain
sampai mereka menemukan orang yang membuat diagnosa sesuai dengan keinginannya
atau sampai mereka menerima diagnosa awal yang telah ditetapkan.
Klien yang merasa sakit, tapi dinyatakan sehat oleh profesi kesehatan, mungkin ia akan
mengunjungi profesi kesehatan lain sampai ia memperoleh diagnosa yang diinginkan
Klien yang sejak awal didiagnosa penyakit tertentu, terutama yang mengancam
kelangsungan hidup, ia akan mencari profesi kesehatan lain untuk meyakinkan bahwa
kesehatan atau kehidupan mereka tidak terancam. Misalnya: klien yang didiagnosa
mengidap kanker, maka ia akan mengunjungi beberapa dokter sebagai usaha klien
menghindari diagnosa yang sebenarnya.
b) Tahap II (Asumsi Tentang Peran Sakit)
c) Tahap III (Kontak dengan Pelayanan Kesehatan)
d) Tahap IV (Peran Klien Dependen)
Pada tahap ini klien menerima keadaan sakitnya, sehingga klien bergantung pada pada
pemberi pelayanan kesehatan untuk menghilangkan gejala yang ada.
Klien menerima perawatan, simpati, atau perlindungan dari berbagai tuntutan dan stress
hidupnya. Secara sosial klien diperbolehkan untuk bebas dari kewajiban dan tugas
normalnya semakin parah sakitnya, semakin bebas. Pada tahap ini klien juga harus
menyesuaikanny dengan perubahan jadwal sehari-hari.
Perubahan ini jelas akan mempengaruhi peran klien di tempat ia bekerja, rumah maupun
masyarakat. Merupakan tahap akhir dari perilaku sakit, dan dapat terjadi secara tiba-tiba,
misalnya penurunan demam. Penyembuhan yang tidak cepat, menyebabkan seorang klien
butuh perawatan lebih lama sebelum kembali ke fungsi optimal, misalnya pada penyakit
kronis.
e) Tahap V (Pemulihan dan Rehabilitasi)
Tidak semua klien melewati tahapan yang ada, dan tidak setiap klien melewatinya
dengan kecepatan atau dengan sikap yang sama. Pemahaman terhadap tahapan perilaku
sakit akan membantu perawat dalam mengidentifikasi perubahan-perubahan perilaku
sakit klien dan bersama-sama klien membuat rencana perawatan yang efektif
C. Koping
Koping adalah sebuah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau
beban yang diterima tubuh dan beban tersebut menimbulkan respon tubuh yang sifatnya
nonspesifik yaitu stres. Apabila mekanisme coping ini berhasil, seseorang akan dapat
beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut (Ahyar, 2010).
Koping melibatkan upaya untuk mengelola situasi yang membebani, memperluas usaha
untuk memecahkan masalah-masalah hidup, dan berusaha untuk mengatasi dan
menguragi stres. Keberhasilan dalam koping berkaitan dengan sejumlah karakteristik,
termasuk penghayatan mengenai kendali pribadi, emosi positif, dan sumber daya personal
(Folkman & Moskowitz, 2004). Meskipun demikian keberhasilan dalam koping juga
tergantung pada strategi-strategi yang digunakan dan konteksnya (John W Santrock,2007:
299)
Relevan dengan perbedaan individual dalam merespons situasi penuh stres merupakan
konsep koping, yaitu bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau menangani
emosi yang umumnya negatif yang ditimbulkannya. Bahkan diantara mereka yang
menilai suatu situasi sebagai penuh stres, efek stres dapat bervariasi tergantung pada
bagaimana individu menghadapi situasi tersebut (Gerald C.Davison, 2010: 275)
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smet, 1994: 143) mengatakan bahwa perilaku
koping merupakan suatu proses dimana individu mencoba mengelola jarak yang ada
antara tuntutan tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan
yang berasal dari lingkungan) 11 dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan
dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stress. Sedangkan menurut Lazarus (1985),
koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk
mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi
sumber individu.
1. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam
menyelesaikanmasalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap
situasi yang mengancam (Keliat, 1999).
Berdasarkan kedua definisi di atas, maka yang dimaksud mekanisme koping adalah cara
yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang
terjadi dan situasi yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku
Individu dapat mengatasi stres dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan. Ada
lima sumber koping yaitu: aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan individu, teknik-
teknik pertahanan, dukungan sosial dan dorongan motivasi (Hidayat,2008).
2. Metode koping
Bell (1977, dalam Rasmun 2004) menyatakan ada dua metode koping yang di gunakan
oleh individu dalam mengatasi masalah psikologis yaitu: metode koping jangka panjang
dan metode koping jangka pendek. Metode koping jangka panjang bersifat konstruktif
dan merupakan cara yang efektif dan realitas dalam menangani masalah psikologis untuk
kurun waktu yang lama, hal ini seperti; berbicara dengan orang lain, teman, keluarga atau
profesi tentang masalah yang sedang dihadapi, mencoba mencari informasi yang lebih
banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, menghubungkan situasi atau masalah
yang sedang dihadapi dalam kekuatan supra natural, melakukan latihan fisik untuk
mengurangi ketegangan/masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk
mengurangi situasi, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masalalu.
Sedangkan metode koping jangka pendek digunakan untuk mengurangi stres/ketegangan
psikologis dan cukup efektif untuk waktu sementara, tetapi tidak efektif jika digunakan
dalam jangka panjang contohnya adalah; mengunakan alkohol, melamun fantasi,
mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu, dan
merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, banyak tidur, banyak merokok,
menangis, beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah.
Pada tingkat keluarga koping yang dilakukan dalam menghadapi masalah seperti yang di
kemukakan oleh Mc.Cubbin (1979, dalam Rasmun, 2004) adalah; mencari dukungan
sosial seperti minta bantuan keluarga, tetangga, teman, atau keluarga jauh, reframing
yaitu mengkaji ulang kejadian masa lalu agar lebih dapat menanganinya dan menerima,
menggunakan pengalaman masa lalu untuk mengurangi stres/kecemasa, mencari
dukungan spiritual, berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah,
menggerakkan keluarga untuk mencari dan menerima bantuan, penilaian secara pasive
terhadap peristiwa yang di alami dengan cara menonton tv, atau diam saja.
3. Bentuk strategi koping
Lazarus dan Folkman (Gerald C.Davison, 2010: 276) mengidentifikasikan dua bentuk
strategi koping, yaitu:
a. Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) mencakup bertindak
secara langsung untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan
solusi. Contohnya adalah menyusun jadwal untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam
satu semester sehingga megurangi tekanan pada akhir semester.
b. Koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) merujuk pada berbagai
upaya untuk mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stres, contohnya
dengan mengalihkan perhatian dari masalah, melakukan relaksasi, atau mencari rasa
nyaman dan orang lain. Mengatasi stres yang diarahkan pada masalah yang
mendatangkan stres (problem focused coping) bertujuan untuk mengurangi tuntutan hal,
peristiwa, orang, keadaan yang mendatangkan stres atau memperbesar sumber daya untuk
menghadapinya. Metode yang dipergunakan adalah metode tindakan langsung.
Sedangkan pengatasan stres yang diarahkan pada pengendalian emosi (emotion focused
coping) bertujuan untuk menguasai, mengatur, dan mengarahkan tanggapan emosional
terhadap situasi stres. Pengendalian emosi inidapat dilakukan lewat perilaku 12 negatif
seperti menenggak minuman keras atau obat penenang, atau dengan perilaku positif
seperti olahraga, berpaling pada orang lain untuk meminta bantuan pertolongan. Cara lain
yang dipergunakan dalam penanganan stres lewatpengendalian emosi adalah dengan
mengubah pemahaman terhadap masalah stres yang dihadapi (Bart Smet, 1994: 143-145)
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Koping
Menurut Smet (dalam smet, 1994: 130) perilaku koping dipengaruhi beberapa faktor,
antara lain :
a. Kondisi individu: umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, temperamen, pendidikan,
intelegensi, suku, kebudayaan, status ekonomi dan kondisi fisik.
b.Karakteristik kepribadian: introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara umum,
kekebalan dan ketahanan.
c. Sosial-kognitif: dukungan sosial, dukungan yang diterima, integrasi dalam jaringan
sosial.
d.Strategi dalam melakukan koping.
D. Konseptual model dalam keperawatan primer, sekunder dan tersier
1. Defenisi model konseptual
Banyak ahli mendefiniskan mengenai model konseptual seperti berikut ini: Model
konseptual memberikan keteraturan untuk berfikir, mengobservasi dan menginterpretasi
apa yang dilihat, memberikan arah riset untuk mengidentifikasi suatu pertanyaan untuk
menjawab fenomena dan menunjukkan pemecahan masalah (Christensen & Kenny,
2009, hal. 29). Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang
situasi dan kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual
keperawatan merupakan petunjuk bagi perawat untuk mendapatkan informasi agar
perawat peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan dan tahu apa yang harus
perawat kerjakan (Brockopp, 1999, dalam Hidayati, 2009).Marriner-Tomey (2004, dalam
Nurrachmah, 20100 menjelaskan bahwa, model konseptual keperawatan telah
memperjelas kespesifikan area fenomena ilmu keperawatan dengan melibatkan empat
konsep yaitu manusia sebagai pribadi yang utuh dan unik. Konsep kedua adalah
lingkungan yang bukan hanya merupakan sumber awal masalah tetapi juga meerupakan
sumber pendukung bagi individu. Ketiga adalah Kesehatan menjelaskan tentang rentang
sehat-sakit sepanjang siklus mulai konsepsi hingga kematian. Konsep keempat adalah
keperawatan sebagai komponen penting dalam perannya sebagai faktor penentu
meningkatnya keseimbangan kehidupan seseorang (klien). Lebih lanjut Tomey
mengatakan, konseptualisasi keperawatan umumnya memandang manusia sebagai
mahluk biopsikososial yang berinteraksi dengan keluarga, masyarakat, dan kelompok
lain termasuk lingkungan fisiknya. Cara pandang dan fokus penekanan pada skema
konseptual dari setiap ilmuwan dapat berbeda satu sama lain, seperti penekanan pada
sistem adaptif manusia, subsistem perilaku atau aspek komplementer.
Tujuan dari model konseptual keperawatan (Ali, 2001, hal. 98) :
a) Menjaga konsistensi pemberian asuhan keperawatan.
b) Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan
keperawatan oleh tim keperawatan.
c) Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.
d) Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan.
e) Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap
anggota tim keperawatan.
2. Model konseptual dalam keperawatan jiwa
Berikut ini akan dijelaskan berbagai macam model konseptual yang dikembangkan oleh
beberapa ahli diantaranya menurut :
a. Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Merupakan model yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisa meyakini bahwa
penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan dengan perkembangan pada masa
anak.Menurut model psycoanalytical, gangguan jiwa dikarenakan ego tidak berfungsi
dalamengontrol id, sehingga mendorong terjadinya penyimpangan perilaku
(deviation of Behavioral) dan konflik intrapsikis terutama pada masa anakanak. Setiap
fase perkembangan mempunyai tugas perkembangan yang harus dicapai. Gejala
merupakan symbol dari konflik. Proses terapi psikoanalisa memakan waktu yang lama.
Proses terapi pada model ini menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi
transferen, bertujuan untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Contoh proses terapi pada
model ini adalah: klien dibuat dalam keadaan tidur yang sangat dalam. Dalam keadaan
tidak berdaya terapis akan menggali alam bawah sadar klien dengan berbagai
pertanyaanpertanyaan tentang pengalaman traumatic masa lalu..Dengan cara demikian,
klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan therapist berupaya
untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.
Peran perawat dalam model psyhcoanalytical Melakukan pengkajian keadaan traumatic
atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya (menjadi korban perilaku
kekerasan fisik, sosial, emosional maupun seksual) dengan menggunakan pendekatan
komunikasi terapeutik.
b. Interpersonal ( Sullivan, Peplau)
Model ini dikembangkan oleh Harry Stack Sullivan dan Hildegard Peplau.Teori
interpersonal meyakini bahwa perilaku berkembang dari hubungan interpersonal.Sullivan
menekankan besarnya pengaruh perkembangan masa anak-anak terhadap kesehatan jiwa
individu.Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang disebabkan karena adanya
ancaman yangdapat menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas yang dialami
seseorangtimbul akibat konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal),
dikarenakan adanya ketakutan dan penolakan atau tidak diterima oleh orang sekitar.
Lebih lanjut Sullivan mengatakan individu memandang orang lain sesuai dengan yang
ada pada dirinya. Sullivan mengatakan dalam diri individu terdapat 2 dorongan yaitu :
1) Dorongan untuk kepuasan, berhubungan dengan kebutuhan dasar seperti: lapar, tidur,
kesepian dan nafsu.
2) Dorongan untuk keamanan, berhubungan dengan kebutuhan budaya seperti
penyesuaian norma sosial, nilai suatu kelompok tertentu.
1) Proses terapi
Proses terapi terbagi atas dua komponen yaitu Build Feeling Security (berupaya
membangun rasa aman pada klien) dan Trusting Relationship and interpersonal
Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) Prinsip dari terapi ini
adalah.Mengoreksi pengalaman interpersonal dengan menjalin hubungan yang sehat.
Dengan reedukasi diharapkan, klien belajar membina hubungan interpersonal yang
memuaskan, mengembangkan hubungan saling percaya.dan membina kepuasan dalam
bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.
2) Peran perawat dalam terapi adalah
a) Share anxieties (berbagi pengalaman mengenai apa-apa yang dirasakan klien dan apa
yang menyebabkan kecemasan klien saat berhubungan dengan orang lain)
b) Therapist use empathy and relationship (Empati dan turut merasakan apa-apa yang
dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang mendorong rasa aman
klien dalam berhubungan dengan orang lain.
c. Social ( Caplan, Szasz)
Model ini berfokus pada lingkungan fisik dan situasi sosial yang dapat menimbulkan
stress dan mencetuskan gangguan jiwa(social and environmental factors create stress,
which cause anxiety and symptom).Menurut Szasz, setiap individu bertanggung jawab
terhadap
perilakunya, mampu mengontrol dan menyesuaikan perilaku sesuai dengan nilai atau
budaya yang diharapkan masyarakat.Kaplan, meyakini bahwa, konsep pencegahan
primer, sekunder dan tertier sangat penting untuk mencegah timbulnya gangguan jiwa.
Situasi sosial yaga dapat menimbulkan gangguan jiwa adalah kemiskinan, tingkat
pendidikan yang rendah, kurangnya support systemdan koping mekanisme yang mal
adaptif.
Proses terapi :
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam modifikasi lingkungan dan adanya
support system. Proses terapi dilakukan dengan menggali support system yang dimiliki
klien seperti: suami/istri, keluatga atau teman sejawat. Selain itu therapist berupaya :
menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di
masyarakat atau tempat kerja.
d. Existensial ( Ellis, Rogers)
Model ekistensial menyatakan bahwa gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi
apabila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak
memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan
dalam Bodi-imagenya Prinsip terapinya pada model ini adalah mengupayakan individu
agar memiliki pengalaman berinteraksi dengan orang yang menjadi panutan atau sukses
dengan
memahami riwayat hidup orang tsb, memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi
diri (self assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in
group), sesrta mendorong untuk menerima dirinya sendiri dan menerima kritik atau
feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and control
behavior). Terapi dilakukan melalui kegiatan Terapi aktivitas kelompok.
e. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Wermon dan Rockland meyakini bahwa penyebab gangguan jiwa adalah faktor
biopsikososial dan respos maladaptive saat ini. Contoh aspek biologis yaitu sering sakit
maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti :
mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek social
sepeertisusah bergaul, menarik diri, tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu
mendapatkan
pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan
jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada
masalahmasalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapi pada model supportif adalah menguatkan respon coping adaptif.
Terapis membantu klien untuk mengidentifikasi dan mengenal kekuatan atau kemampuan
serta coping yang dimiliki klien, mengevaluasi kemampuan mana yang dapat digunakan
untuk alternative pemecaha masalah. Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat
dan empatik dengan klien untuk membantu klien menemukan coping klien yang adaptif.
f. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini penyebab gangguan jiwa adalah multifactor yang kompleks yaitu
aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor social. Model medical meyakini bahwa
penyimpangan perilaku merupakan manifestasi gangguan sistem syaraf pusat (SSP).
Dicurigai bahwa depresi dan schizophrenia dipengaruhi oleh transmisi impuls neural,
serta gangguan synaptic. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui
pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal.
Peran perawat dalam model medical ini adalah melakukan kolaborasi dengan tim medis
dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan
dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan
menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan. Medical model terus
mengeksplorasi penyebab gangguan jiwa secara ilmiah.
g. Model Komunikasi
Model perilaku mengatakan bahwa, penyimpangan perilaku terjadi jika pesan yang
disampaikan tidak jelas. Penyimpangan komunikasi menyangkut verbal dan non verbal,
posisi tubuh, kecepatan dan volume suara atau bicara.
Proses terapi dalam model ini meliputi :
1) Memberi umpan balik dan klarifikasi masalah.
2) Memberi penguatan untuk komunikasi yang efektif.
3) Memberi alternatif koreksi untuk komunikasi yang tidak efektif.
4) Melakukan analisa proses interaksi.
h. Model Perilaku
Dikembangkan oleh H.J. Eysenck, J. Wilpe dan B.F. Skinner. Terapi modifikasi perilaku
dikembangkan dari teori belajar (learning theory).Belajar terjadi jika ada stimulus dan
timbul respon, serta respon dikuatkan (reinforcement).
Proses terapi :
Terapi pada model perilaku dilakukan dengan cara
1) Desentisasi dan relaksasi, dapat dilakukan bersamaan. Dengan teknik ini diharapkan
tingkat kecenmasan klien menurunkan..
2) Asertif training adalah belajar mengungkapkan sesuatu secara jelas dan nyata tanpa
menyinggung perasaan orang lain.
3) Positif training. Mendorong dan menguatkan perilaku positif yang baru dipelajari
berdasarkan pengalaman yang menyenangkan untuk digunakan pada perilaku yang akan
datang.
4) Self regulasi. Dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama melatih serangkaian standart perilaku yang harus dicapai oleh klien. Selanjutnya
klien diminta untuk melakukan self observasi dan self evaluasi terhadap perilaku yang
ditampilkan. Langkah terakhir adalah klien diminta untuk memberikan reinforcement
(penguatan terhadap diri sendiri) atas perilaku yang sesuai.
i. Model Stress Adaptasi Roy
Keperawatan adalah suatu disiplin ilmu dan ilmu tersebut menjadi landasan dalam
melaksanakan praktik keperawatan (Roy, 1983). Lebih
spesifik Roy (1986) berpendapat bahwa keperawatan sebagai ilmu dan praktik berperan
dalam meningkatkan adaptasi individu dan kelompok terhadap kesehatan sehingga sikap
yang muncul semakin positif. Keperawatan memberi perbaikan pada manusia sebagai
sutu kesatuan yang utuh untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada
lingkungan
dan berespons terhadap stimulus internal yang mempengaruhi adaptasi.Jika stressor
terjadi dan individu tidak dapat menggunakan “koping” secara efektif maka individu
tersebut memerlukan perawatan. Tujuan keperawatan adalah meningkatkan interaksi
individu dengan lingkungan, sehingga adaptasi dalam setiap aspek semakin
meningkat.Komponen-komponen adaptasi mencakup fungsi fisiologis, konsep diri,
fungsi peran, dan saling ketergantungan.Adaptasi adalah komponen pusat dalam model
keperawatan.
Didalamnya menggambarkan manusia sebagai sistem adaptif. Adaptasi mengambarkan
proses koping terhadap stressor dan produk akhir dari koping. Proses adaptasi termasuk
fungsi holistic bertujuan untuk mempengaruhi kesehatan secara positif yang pada
akhirnya akanmeningkatkan integritas. Proses adaptasi termasuk didalamnya proses
interaksi manusia dengan lingkunganyang terdiri dari dua proses. Bagian pertama dari
proses ini dimulai dengan pperubahan dalam lingkungan internal dan eksternal yang
membutuhkan sebuah respon. Perubahan tersebut dalam model adaptasi Roy
digambarkan sebagai stressor atau stimulus fokal dan ditengahi oleh factor-faktor
konstektual dan residual.
Stressor menghasilkan interaksi yang biasanya disebut stress. Bagian kedua adalah
mekanisme koping yang dirangsang untuk menghasilkan respon adaptif dan
inefektif.Produk adaptasi adalah hasil dari proses adaptasi dan digambarkan dalam istilah
kondisi yang meningkatkan tujuan-tujuan manusia yang meliputi : kelangsungan hidup,
pertumbuhan, reproduksi dan penguasaan yang disebut integritas. Kondisi akhir ini
adalah
kondisi keseimbangan dinamik equilibrium yang meliputi peningkatan dan penurunan
respon-respon. Setiap kondisi adaptasi baru dipengaruhi oleh adaptasi yang lain,
sehingga dinamik equilibrium manusia berada pada tingkat yang lebih tinggi. Jarak yang
besar dari stimulus dapat disepakati dengan suksesnya manusia sebagai sistem adaptif.
Jadi peningkatan adaptasi mengarah pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi pada keadaan
sejahtera atau sehat. Adaptasi kemudian disebut sebagai suatu fungsi dari stimuli yang
masuk dan tingkatan adaptasi.
j. Model Keperawatan
Pendekatan model keperawatan adalah model konsep yang digunakan dalam memberikan
asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan, secaara
holistik, bio,psiko,sosial dan spiritual. Fokus penangganan pada model keperawatan
adalah penyimpangan perilaku, asuhan keperawatan berfokus pada respon individu
terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial, dengan berfokus pada :rentang
sehat sakit berdasarkan teori dasar keperawatan dengan intervensi tindakan keperawatan
spesifik.
3. Prevensi primer
Usaha yang lebih progresif dalam usaha pencegahan gangguan kesehatan jiwa di
masyarakat lebih baik daripada penanganan gangguan jiwa. Prevensi jenis ini disebut
prevensi primer yang didesain untuk mengurangi insiden gangguan atau kemungkinan
terjadi insiden dalam populasi dalam resiko. Tujuan prevensi primer ini adalah
mengurangi resiko terjadinya gangguan jiwa dan menunda atau menghindari munculnya
gangguan jiwa. Prevensi primer merupakan kegiatan yang bersifat proaktif, berbasis pada
masyarakat, mengantisipasi gangguan yang potensial untuk populasi yang berada dalam
resiko, sebelum intervensi diberikan langsung untuk mengurangi insiden atau gangguan
melalui upaya mengurangi situasi/iklim yang membahayakan yang memberi kontribusi
pada gangguan, melalui upaya meningkatkan kekuatan mosional masyarakat dalam
resiko agar terproteksi dan lebih kompeten.
Secara prinsip, prevensi primer dibatasi sebagai berikut :
1. Prevensi harus lebih berorientasi pada kelompok masyarakat daripada individu,
meskipun dalam beberapa aktifitas ada kontak individu.
2. Prevensi harus suatu kualitas dari fakta sebelumnya yaitu ditargetkan pada kelompok
yang belum mengalami gangguan.
3. Prevensi primer harus disengaja yang bersandar pada dasar pengetahuan yang
dimanifestasikan pada meningkatkan kesehatan jiwa dan mencegah perilaku maladaptive.
Prevensi primer dapat dilakukan dengan cara memodifikasi lingkungan dan memperkuat
kapasitas individu atau masyarakat dalam mengatasi situasi. Memodifikasi lingkungan
berarti mengubah, memperbaiki, atau menghilangkan lingkungan fisik-biologis dan social
yang menganggu dan dapat berakibat gangguan kesehatan jiwa. Memperkuat kapasitas
individu dengan konseling keluarga, pendidikan kesehatan jiwa, peningkatan kondisi
kesehatan dan kehidupan selama kehamilan, mengurangi kondisi lingkungan yang kurang
baik, serta mengurangi kesulitan psikososial dalam dunia kerja. Jika prevensi primer ini
berhasil, maka insiden dalam masyarakat akan menurun.
4. Prevensi sekunder
Gangguan mental yang dialami masyarakat sedapat mungkin secepatnya dicegah
dengan jalan mengurangi durasi suatu gangguan. Misalnya suatu gangguan berlangsung
durasi satu bulan, maka sebaiknya dicegah dan diperpendek durasinya. Pencegahan ini
disebut dengan pencegahan sekunder. Prevensi sekunder berarti upaya pencegahan untuk
mengurangi durasi gangguan yang diakibatkan kegagalan atau tidak adanya upaya dalam
pencegahan primer. Sasaran pokoknya adalah populasi yang sudah menderita gangguan
jiwa. Dengan memperpendek durasi suatu ganguan, maka dapat membantu
mengurangangka prevalensi gangguan jiwa di masyarakat. Jika prevensi sekunder ini
berhasil, dapat memperbaiki kesehatan jiwa di masyarakat, secara ekonomis lebih ringan
dibandingkan prevensi tersier dan mengurangi angka masuk rumah sakit bagi kasus
gangguan jiwa. Kegiatan utama prevensi sekunder adalah diagnosis awal (early
detection) dan penanganan secepatnya secara efektif (prompt treatment). Pemeriksaan
sesegera mungkin untuk mengetahui factor-faktor penyebab, dan kemungkinan cara
penanganannya. Diagnosis ini dengan cara skrining (pemeriksaan dengan alat-alat
tersedia) sebagai seleksi awal terhadap masyarakat yang beresiko dan apabila ditemukan
segera dirujuk kepada pihak-pihak yang berkopenten untuk memperoleh penanganan.
Penanganan secepatnya oleh pihak yang mampu menangani tidak selalu dengan
hospitalisasi, bahkan lebih baik jika non-hospitalisasi. Dalam penanganan ini dapat
dilakukan intervensi krisis, pemberian psikoterapi, dan cara-cara lain sesuai
permasalahan. Penanganan gangguan jiwa denga prevensi sekunder tetap mengeluarkan
biaya social ekonomi, sekalipun pencegahan ini diharapkan mampu mengurangi
prevalensi gangguan.
5. Prevensi tersier
Orang yang mengalami gangguan jiwa, apalagi sampai terganggunya kemampuan
fungsional seseorang, maka diperlukan pencegahan untuk mempertahankan kemampuan
yang masih tersisa, mencegah agar gangguannya tidak terus berlangsung, dan segera
pulih dan berfungsi sebagaimana mestinya. Pencegahan jenis ini yang disebut prevensi
tersier. Sasaran dalam prevensi tersier ini adlaah kelompok masyarakat yang mengalami
gangguan jiwa jangka panjang atau yang masih akut dan berakibat menurunnya kapasitas
dalam kaitan dengan kerja, hubungan social atau personalnya sehingga mampu
bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Prevensi ini memiliki pengertian sama
dengan rehabilitas tetapi penekanannya berbeda. Caplan, 1963 dalam Notosoedirjo
(2005) mengemukakan bahwa rehabilitasi lebih bersifat individual dan mengacu pada
pelayanan medis, sementara prevensi tersier menekankan pada komunitas dan intervensi
anti-hospitalisasi.Sebagai bentuk anti-hospitalisasi jangka panjang (long-term
hospitalization), dalam prevensi tersier diupayakan kelompok sasaran belajar
meninggalkan peran sakitnya, dan bertahap menjalankan tugas dan kewajiban
sebagaimana orang sehat dengan ‘mengeluarkannya’ dari rumah sakit atau institusi yang
membatasi sosialisasinya. Prevensi tersier diberikan pada orang sakit yang terjadi
penurunan kemampuan dan fungsi social personalnya. Adalah terlalu mahal biaya secara
ekonomi, social dan personal jika penanganan gangguan jiwa di masyarakat dilakukan
hanya dengan prevensi tersier, sehingga lebih efektif jika menggabungkan dengan
prevensi sekunder, primer dan promosi kesehatan jiwa.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Stress menurut Hans Selye 1976 merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik
terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Manifestasi Stress ; Stres sifatnya universiality,
yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya, tetapi cara pengungkapannya yang
berbeda atau diversity. Sesuai dengan karakteristik individu, maka responnya berbeda- beda
untuk setiap orang. Faktor yang mempengaruhi stress yaitu, faktor lingkungan, faktor
organisasi, dan faktorindividu. Sehat adalah keadaan fisik , mental dan sosial yang baik, tidak
hanya terbebas dari penyakit , cacat , atau kelemahan .arti sehat secara harfiah adalah sesuatu
yang berhubungan dengan kondisi fisik seseorang . orang dikatakan apabila terbebas dari
serangan penyakit . Dalam pengertian sederhana , sakit adalah deviasi /penyimpangan dari
status sehat.seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun(kronis) , atau
gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja /kegiatannya terganggu.walaupun
seseorang sakit (istilah sehari-hari) seperti masuk angin, pilek , tetapi bila ia tidak terganggu
untuk melaksanakan kegiatannya , maka ia dianggap tidak sakit.
Koping merupakan cara-cara yang digunakan oleh indifidu unyuk menghadapi situasi yang
menekan.Oleh karena itu meskipun koping menjadi bagian dari penyesuaian diri,namun
koping merupakan istilah yang khusus digunakan untuk menunjukkan reaksi individu ketika
menghadapi tekanan/stress. Ada berbagai macam koping.Pendapat berbagai tokoh pun
beragam.Ada yang menyebutkan istilah koping hanya untuk cara-cara mengatasi persoalan
yang sifatnya positif.Namun ada juga yang melihat koping sebagai istilah yang netral.
Koping yang negatif menimbulkan berbagai persoalan baru di kemudian hari,bahkan sangat
mungkin memunculkan berbagai gangguan pada diri individu yang bersangkutan.Sebaliknya
koping yang positif menjadikan individu semakin matang,dewasa dan bahagia dalam
menjalani kehidupannya
Model konseptual memberikan kerangka kerja dengan cara mengidentifikasi suatu
pertanyaan untuk mendapatkan pemecahan masalah. Model konseptual keperawatan jiwa
digunakan perawat sebagai acuan untuk menolong seseorang agar dapat menghadapi stressor
melalui meksnisme koping yang positif.
DAFTAR PUSTAKA

FIK UI & WHO, 2006. Modul Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa
(MPKP), Jakarta: Tidak diterbitkan Keliat, B.A., dkk. 2005. Modul Basic Course
Community Mental-Psychiatric Nursing. Jakarta: Tidak diterbitkan Ralph S.S.,
Rosenberg, M.C., Scroggins, L., Vassallo, B., Warren, J., 2005, Nursing Diagnoses :
Definitions & Classification, NANDA International, Philadelphia Rawlins, R.P.,
Heacoch, P.E., 1993, Clinical Manual of Psychiatric Nursing, Mosby Year Book,
Toronto Rawlins, R.P., Williams,S.R., Beck, C.M.,1993, Mental Health Psychiatric
Nursing a Holistic Life Cicle Approach, Mosby Year Book, London Stuart, G.W.,
Laraia, M.T., 1998, Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 6 th Edition,
Mosby, St. Louis Stuart, Gall Wiscart and sundeen, Sandra J. Pocket guide to
psychiatric nursing (2 nd. Ed) Mosby Year Book, St. Louis, baltimore. Boston
Chicago. London. Sydney. Toronto. Stuat, G.W., Sundeen, S.J., 1998, Keperawatan
Jiwa, Buku Saku, Terjemahan Hamid, A.S., Edisi 3, EGC, Jakarta TIM Jiwa FIK UI.
1999. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Keperawatan Jiwa. Jakarta: Bagian
Keperawatan Jiwa Komunitas FIK UI, tidak diterbitkan Townsend, M.C. 1998.
Diagnosis Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri: Pedoman untuk Pembuatan
Rincian Perawatan, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai