Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENGANTAR UNTUK ISLAM DISIPLIN


ILMU FARMASI

DOSEN

Dr. Dra. Hj. Mihrah Syukur, M.A.

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1

Nina Hamdani 15020190023

Ainun Fadhilah Salim 15020190159


Dian Safitri Achmad 15020190221

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahi

m Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pertama-tama dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih


lagi maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Pengantar Untuk Islam Disiplin Ilmu Farmasi.

Dan kami juga ingin berterima kasih kepada para pihak yang telah
membantu, maka dari itu kami hanturkan banyak terimah kasih kepada Allah
SWT. Dan kepada Ibu Dr. Dra. Hj. Mihrah Syukur, M.A. selaku dosen mata
kuliah Islam Disiplin Ilmu Farmasi.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya apa yang telah disusun ini dapat berguna bagi diri
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya, kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar
kedepannya dapat diperbaiki. Terimah kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 20 Februari 2022

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
BAB I.............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Maksud Penulisan..............................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................2
BAB II............................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN.............................................................................................................. 3
2.1 Agama Sebagai Dasar Pembentukan Ilmu.........................................................3
2.2 Islamisasi Ilmu....................................................................................................6
2.3 Penciptaan Manusia.........................................................................................11
2.4 Kontribusi Mulim Bagi Perkembangan Farmasi................................................15
BAB III.......................................................................................................................... 17
PENUTUP.................................................................................................................... 17
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................17
3.2 Saran................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan islam untuk disiplin ilmu farmasi merupakan akibat


atau konsekuensi dari suatu pendekatan yang melihat agama sebagai
suatu sistem, tata nilai dan norma sistem tersebut membentuk budaya atau
peradaban sehingga ryembawa konsekuensi pengertian ibadah dalam arti
luas sebagaimana tercakup dalam pernyataan doa setiap muslim untuk
mengawali shalatnya “Inna Sahalaty Wanusuky Wamahyaaya Wamamaaty
lillaahi Rabbil Alamin”. Dalam hal ini memandang hakekat manusia dalam
relasi fungsional sebagai makhluk, hamba Allah yang memiliki tubuh yang
wajib dilindungi dan dijaga kesehatannya agar dapat menjalankan tugas
ibadahnya secara sempurna. Sehingga menjaga kesehatan dan mengenal
serta mempelajari obat-obatan bagi umat Islam adalah suatu kewajiban
agama.

Dari sejak turunnya wahyu pertama, aqidah tauhid dan menuntut


ilmu telah berpadu menjadi satu kesatuan. Ini tergambar di surat Al-Alaq
dimana Iqra' dan Bismirabbika tampil sebagai pasangan yang sangat ideal
yang saling lengket menyatu. Dan dari persatuan ini maka muncullah
persatuan antara ilmu dengan imam yang membuahkan peradaban
universal yang membawa rahmat bagi alam semesta.

Islam Disiplin Ilmu untuk Farmasi sebagai suatu usaha untuk


menyajikan Pendidikan Agama yang khusus berkaitan dengan ilmu
Farmasi.

1.2 Maksud Penulisan

1. Mahasiswa mampu mengetahui agama sebagai dasar pembentukan


ilmu.
2. Mahasiswa mampu mengetahui mengenai islamisasi ilmu

1
3. Mahasiswa mampu mengetahui penciptaan manusa tahap jasad, hayat,
ruh, nafs dan hakikatnya dalam Al-Qur’an.
4. Mahasiswa mampu mengetahui kontribusi muslim bagi dunia farmasi

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami agama sebagai dasar pembentukan ilmu.


2. Untuk memahami mengenai islamisasi ilmu.
3. Untuk memahami penciptaan manusa tahap jasad, hayat, ruh, nafs dan
hakikatnya dalam Al-Qur’an.
4. Untuk memahami kontribusi muslim bagi dunia farmasi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Agama Sebagai Dasar Pembentukan Ilmu

Ilmu pengetahuan dan teknologi (lptek) dan agama adalah kekuatan-


kekuatan yang mampu mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya
berusaha untuk mengarahkan, mengantarkan dan memberikan
kesejahteraan bagi umat manusia. Dengan keunggulan dan
keterbatasannya dua sosok subjek ini dalam taraf tertentu terbukti telah
memberikan sumbangan yang nyala bagi peningkatan taraf kehidupan
manusia. Permasalahan yang muncul adalah bahwa kekuatan itu berjalan
sendiri-sendiri dan terlepas satu sama Iain.

Ternyata, terlepasnya ilmu dan teknologi dari ikatan spiritual


keagamaan menyebabkan kerusakan di dunia ini semakin parah.
Kemajuan iptek yang tidak didasarkan pada moral spiritual agama akan
semakin menyesatkan manusia. Kerusakan yang terjadi tidak hanya pada
kualitas manusianya, tapi terjadi juga pada kualitas lingkungan hidupnya.
Kerusakan fisik lingkungan alam karena ulah manusia kini semakin nyata,
Sebagai contoh, penemuan CFC (Cloro Fluoro Carbon) yang diperlukan
untuk pembuatan kosmetik, AC, leman es, telah merusak lapisan ozon
vang merupakan pelindung kehidupan manusia dari sengatan ultra violet
dan panasnya matahari. Kini lapisan ozon di kutub utara dan selatan telah
menipis dan mulai bocor.

Dengan demikian, adalah relevan bila saat ini kita berbicara tentang
integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dalam tulisan ini yang
dimaksud agama tentu saja Islam.

A. Agama Sebagai Sumber Ilmu dan Sumber Etika Ilmu

Pandangan yang dominan di kalangan ilmuwan moderan saat ini


adalah ilmu bekerja pada dataran empirik sementara bekerja pada
dataran mistis-nonempirik. Karena objek studi di antara keduanya

3
berbeda, maka pembicaraan tentang keterkaitan antam ilmu dan agama
dianggap sebagai tidak relevan.

Pandangan semacam ini tentu saja tidak memuaskan, terutama


bagi orang yang menggeluti kedua bidang itu secara mendalam.
Kesulitan bagi orang yang mempunyai pandangan yang demikian adalah
mereka harus mampu mengikuti kedua pandangan yang berbeda dan
bahkan bertentangan satu sama Iain. Apabila mereka “memakai baju”
agama berarti harus memegang nilai-nilai agama sementara kalau
“berbaju ilmu pengetahuan” mereka harus memegang kaidah-kaidah
ilmu. Sebagai contoh, dalam kaidah ilmu mereka harus skeptis terhadap
semua hal dan tidak kenal adanya iman (kepercayaan). Padahal bagi
orang beragama mereka harus mengedepankan iman. Iman adalah awal
dari segala pemikiran dan tindakan mereka. Mereka tidak puas, karena
ilmu dan agama seakan-akan mempunyai wilayah kerja yang berbeda-
beda, tak bersentuhan satu sama lain dan pada saat tertentu malah
bertentangan.

Sementara golongan yang tak puas mengungkapkan ilmu dan


teknologi telah menimbulkan dampak-dampak yang tak diinginkan dan
tak terperkirakan. Setelah melihat dampak negatif perkembangan ilmu
yang melesat cepat (antara lain efek rumah kaca), mereka berpikir
bahwa ilmu pengetahuan telah bekerja lepas tanpa kendali agama.
Untuk itu, mereka berpikiran bahwa agama harus menuntun penerapan
ilmu.

Golongan pertama menginginkan adanya integrasi ilmu dalam arti


yang luas, mulai dari antologi, epistemologi sampai aksiologi. Sementara
golongan kedua lebih membutuhkan integrasi agama itu hanva pada
aksiologi (penerapan) ilmu.

Golongan pertama mengharapkan agama memberi pandangan


dunia terhadap ilmu, menjadi sumber ilmu, dan tentu juga penjaga moral
penerapan ilmu. Golongan yang terakhir ini mengharapkan adanya

4
intervensi agama berupa masuknya nilai-nilai moral agama sebatas
penerapan ilmu.

B. Agama Sebagai Alat Justifikasi dan Hipotesis

Tentang perlunya agama menjadi penjaga moral dalam


penerapan ilmu, pandangan ini telah terbukti oleh banyak ilmuwan.
Mereka mengatakan bahwa kemajuan-kemajuan material ilmu
pengetahuan dan teknologi) harus dibarengi oleh kemajuan moral
spiritual. Moral agama hendaknya selalu hadir dalam setiap momen
penerapan ilmu. Kita setuju dengan pandangan di atas. Masalahnya
adalah sekarang dapatkah agama berperan sebagai sumber ilmu
pengetahuan.

Kelompok pertama, mereka mengumpulkan fenomena-fenomena


serta bukti-bukti empirik dan kemudian mencari kesesuaian dengan
kitab-kitab suci. Mereka berpikir secara induktif. Salah satu tokoh adalah
Maurice Bucaile, seorang ilmuwan Perancis, dalam buku Al-Qur’an, Bible
dan Sains. Sejauh ini telah diketahui banyak penemuan ilmiah itu telah
tertulis baik secara tersirat maupun tersurat dalam kitab-kitab suci. Telah
terbukti bahwa bumi mengitari matahari, keberhasilan manusia
menjelajah angkasa luar, tentang proses terjadinya manusia, tentang
kehidupan seks manusia, dan sebagainya. Bukti-bukti empirik tadi dicari
dengan dalil-dalil yang ada dalam kitab suci.

Kritikan terhadap cara ini adalah agama sekedar dipakai untuk


penemuan-penemuan ilmiah. Terhadap pandangan kelompok ini ada
sebuah kritikan ekstrim yang mengatakan bahwa mereka hanya mencari
enaknya saja dengan berkata : “penemuan itu sudah tertulis pada kitab
suci kami”.

Kelompok kedua, mereka menjadikan agama sumber hipotesis


ilmu. Mereka meyakini bahwa ajaran-ajaran agama adalah mutlak
kebenarannya. Dengan kerangka metodologi yang cukup ketat, ajaran-
ajaran agama itu dapat dipakai sebagai hipotesis untuk membuktikan

5
kebenarannya. Salah satu hipotesis ajaran Islam adalah mengingat Allah
(dzikir), maka hari akan tenang. Bahwa shalat akan berpengaruh pada
empat aspek, yaitu meditasi, olahraga, autosugesti, dan kebersamaan.
Dalam Zen-Budhisme misalnya, dapat dihipoteisikan bahwa Yoga itu
dapat meningkatkan ketenangan hidup seseorang. Disini ajaran agama
dipandang sebagai hipotesis yang membuktikan kebenaran empirik.

Mungkin saja cara-cara seperti ini dalam batas-batas tertentu


tetap bisa dibenarkan. Artinya tidaklah salah untuk membuktikan
kebenaran ajaran agama dengan metodologi ilmiah. Ini lepas dari
perdebatan apakah dosa atau untuk “meragukan" ajaran Tuhan dengan
cara menjadikan ajaran itu sebagai hipotesis. Terhadap pandangan ini
ada kekhawatiran pada sementara pihak, yaitu kalau hasil akhir
penelitian itu, berbeda dengan hipotesis agama tadi. Mereka khawatir
jangan-jangan tidak ada terbuktinya secara empirik ajaran Tuhan agama
menyebabkan pemeluk agama memilih jauh dari agama itu.

(Mihrah Syukur, 2004 : 1-5)

2.2 Islamisasi Ilmu

Islamisasi ilmu ini menjadi perbincangan yang sangat hangat pada


dua atau tiga dasawarsa terakhir ini. Gagasan ini seperti nyala api yang
cemerlang di langit mendung ketika Ismail al-Faruqi melontarkan gagasan
Islamization of Knowledge dalam forum The First International Conference
of Islamic Thought and Islamization of Knowledge (Islamabad, 1982) dan
pendirian The Islamization International Institute of Islamic Thought (1981)
di Washington, AS. Gagasan al-Faruqi yang cukup berani dan operasional
telah mengundang sejumlah tanggapan dari pemikiran Islam lainnya.

Menurut al-Faruqi, pengetahuan modern menyebabkan adanya


pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan
pemikiran dan aksi, serta adanya dualisme kultural dan relegius. Karena itu
diperlukan islamisasi ilmy dan upaya itu harus beranjak dari tauhid. Masih
menurut al-Faruqi, ilmu pengetahua islami selalu menekankan adanya

6
kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, serta
kesatuan hidup.

Salah satu penangap atas gagasan al-Faruqi adalah Fazlur Rahman.


pemikir asal Pakistan yang sangat populer di kalangan Indonesia dan dunia
pemikiran Islam ini pada dasarnya tidak sependapat dengan langkah
Islamisasi ilmu. Rahman berpendapat bahwa kita tidak perlu melakukan
ilmu. Menurutnya, yang perlu kita Iakukan adalah menciptakan atau
menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berplkir konstruktif dan
positif. Tampaknya Rahman sangat mementingkan untuk menghasilkan
manusia-manusia yang mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup baik
dan dengan begitu secara otomatis akan menghasilkan manusia-manusia
yang mampu menghasilkan karya secara nyata.

Penulis sendiri ibu Mihrah Syukur sependapat dengan Rahman


bahwa kita perlu pemikir yang mempunyai kapasitas intelektual yang
bagus. Namun, penulis lebih sependapat dengan al-Faruqi. Menurut ibu
Muihrah Syukur seorang pemikir akan sangat dipengaruhi oleh ilmu yang
dipelajarinya (atau ilmuwan yang mendidiknya). Kalau seseorang
mempelajari ilmu yang berbasis sekularisme, maka sangat mungkin
pandangan-pandangan juga sekuler. Hal demikian terjadi karena ilmu yang
dipelajari seseorang membentuk kerangka berpikirnya. Kalau seseorang
mempunyai kerangka berfikir sekuler, maka pandangan-pandangan yang
sekuler sangat terasa ketika mengungkapkan gagasannya.Sebaliknya,
seseorang yang belajar ilmu-ilmu yang mampu menyatukan akal dan
wahyu, maka kerangka berpikirnya pun demikian. Tentu saja masih ada
satu catatan, yaitu bahwa pada sebagian (kecil) pemikir terdapat
kemampuan untuk menjelajah beragam kerangka berpikir. Merekalah
pemikir yang bebas, yang tidak selalu harus konsisten dengan cara berpikir
tertentu, tetapi usaha pencariannya tak pernah berhenti. Mereka inilah yang
mampu membebaskan diri dari keharusan untuk tunduk pada cara berpikir
tertentu yang belum tentu kebenarannya.

7
Dengan pandangan-pandangan di atas, dapat simpulkan bahwa kita
perlu menghasilkan suatu sistem ilmu pengetahuan yang berbasis Islam.
Karena itu kita pertu melakukan Islamisasi ilmu atau menurut Syed
Muhammad Naquib al-Attas — desekularisasi ilmu.

Setelah kita sependapat untuk melakukan islamisasi ilmy, dari


manakah kita memulainya dan bagaimana kita melakukannya? Untuk
menjawab pertanyaan ini, ada dua pandangan yang sementara ini
mengedepan. Pandangan pertama diwakili al-Faruqi, yang mengatakan
bahwa Islamisasi ilmu dapat diwujudkan dengan melakukan upaya-upaya
yang mengarah kepada merelevankan dan mensintesakan anatara islam
dan ilmu pengetahuan modern. Islamisasi perlu melewati dua belas
langkah, yaitu (1) penguasaan disiplin ilmu pengetahuan modern, (2) survei
disiplin ilmu, (3) penguasaan khazanah Islam : sebuah antologi, (4)
penguasaan khazanah Islam : sebuah sintesa, (5) penentuan relevansi
islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu, (6) penilaian kritis terhadap
ilmu modern, (7) penilaian kritis terhadap khazanah islam, (8) survei
permasalahan yang dihadapi umat Islam, (9) survei permasalahan yang
dihadapi umat manusia, (10) analisis kreatif dan sintesis, (11) penuangan
kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam, dan (12)
penyebarluasan ilmu yang telah diislamisasikan itu.

Pandangan kedua diwakili oleh Ziauddin Sardar. Sardar adalah salah


seorang pemikir yang sependapat dengan perlu menciptakan sistem Islam
yang berbeda dengan sistem Barat yang dominan saat ini. Terhadap
gagasan Islamisasi ilmu, Sardar menyepakatinya.

Munurut Sardar, islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun


Pandangan Dunia (world view) islam dengan titik pijak utama membangun
Epistemologi Islam. Hanya dengan langkah seperti ini kita akan benar-
benar menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun atas prinsip-
prinsip islam.

8
Sebagai penggagas utama ide islamisasi ilmu, Ismail Raji al-Faruqi
telah mencoba membentangkan gagasan tentang islamisasi itu dilakukan.
al-Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu,
yaitu:

1) Menguasai disiplin-disiplin modern,


2) Menguasai khazanah islam,
3) Menentukan relevensasi islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu
pengetahuan modern,
4) Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah ilam
dengan khazanah islam pengetahuan modern,
5) Mengarahkan pemikiran islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada
pemenuhan pola-pola rancangan Allah.

Menurut al-Faruqi, sasaran di atas dicapai melalui 12 langkah


sistematis yang pada akhirnya mengarah pada islamisasi ilmu
pengetahuan.

Langkah 1. Penguasaan terhadap disiplin-displin modern. Displin-


disiplin modern harus dipecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip,
metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema, usatu pemilahan
yang mencerminkan daftar “isi” suatu buku teks klasik.

Langkah 2. Servei disipliner. Jika kategori-katgori dari disiplin ilmu


telah dipilah-pilah, suatu survei menyeluruh harus ditulis untuksuatu disiplin
ilmu. Langkah ini diperlukan agar sanana-sarjana muslim mampu
menguasai setiap disiplin ilmu modern.

Langkah 3. Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah islam


harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan
adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran islam harus dianalisa
dengan disiplin ilmu.

9
Langkah 4. Penguasaan terhadap khazanah islam untuk tahap
analisa. Jika antologi-antologi sudah disiapkan. khazanah pemikiran islam
dari perspektif masalah-masalah kini.

Langkah 5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu.


Relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan 3 persoalan. Pertama, apa
yang disumbangkan oleh islam, mulai dari Al-Qur’an pemikiran-pemikiran
koum modernis, dalam keseluruan masalah yang telah dicakup dalam
disiplin-disiplin modern. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika
dibandingkanan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh disiplin modern
tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit
diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah islam,
kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk kekurangan itu,
juga memformulasi masalah-masalah dan memperluas visi disiplin tersebut.

Langkah 6. Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi


Islam telah disusun, maka harus dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam.

Langkah 7. Penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan


khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan
relevansi kontemporernya harus dirumuskan.

Langkah 8. Survei mengenai problem-problem terbesar umat islam.


Suatu studi sistematis harus dibuat masalah-masalah politik, sosial,
ekonomi, intelektual. kultural, moral dan spiritual dari kaum muslimin.

Langkah 9. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu


studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus
dilakukan.

Langkah 10. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana
muslim harus siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah islam dan
disiplin modern, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad—
abad. Dari sini khazanah pemikiran Islam harus sinambung dengan
prestasi-prestasi modern, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu

10
pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai
disiplin-disiplin modern.

Langkah 11. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam


kerangka kerja (framework) islam. Sekali keseimbangan antara khazanah
islam dengan disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks universitas
harus ditulis untuk menuang kembali disiplin modern dalam cetakan islam.

Langkah 12. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah


diislamisasikan.

(Mihrah Syukur, 2004 : 9-18)

2.3 Penciptaan Manusia

Penciptaan adalah suatu proses mewujudkan gagasan dalam


kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menciptakan gedung-
gedung yang berlomba semakan tinggi seakan ingin mencakar langit,
membangun jalan layang untuk mengatasi kemacetan karena semakin
banyak kendaraan yang harus diproduksi, menciptakan konsep-konsep
pembangunan yang baru sesuai dengan perubahan yang senantiasa terjadi
dalam kehidupan manusia dan seterusnya. Manusia selalu ingin yang baru,
menggantikan yang lama yang dirasa sudah usang. Keinginan untuk
memasuki pengalaman yang baru, telah mendorong manusia untuk
memasuki medan penciptaan yang tak pernah mendek, dan dengan
kemampuan keratifnya ia menjelajahi bahakan menhadirkan banyangan
hari depan kekinian.

Al-Qur’an menyatakan bahwa penciptaan manusia bermula dari


sesuatu yang sudah diketahui. Hal itu ditegaskan dalam ayat yang artinya :

“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kami menciptakan mereka dari apa


yang mereka ketahui (air mani)”. (QS. Al-Ma’arij (70) : 39).

Dalam proses, penciptaan manusia itu berlangsung dalam beberapa


tahap. Hal ini ditegaskan dalam ayat yang artinya :

11
“Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam
beberapa tingkat kejadian”. (QS. Nuh (71) : 14).

Penciptaan manusia adalah suatu proses yang secara individual


manusia tidak terlibat di dalamnya. Demikian pula halnya keterlibatan
Tuhan tidaklah langsung seperti yang terlihat dalam proses penciptaan,
artinya keterlibatan Tuhan dalam proses penciptaan manusia tersebut
diatur melalui hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya.

Penciptaan manusia adalah suatu proses alami yang berlangsung


beberapa tahap, dan tahap-tahap penciptaan itu adalah :

A. Tahap Jasad
1) Pengertian Jasad
Jasad ialah jisim manusia, tubuh, badan. Abu Ishak
menjelaskan bahwa jasad ialah sesuatu yang tidak bisa berpikir dan
tidak dapat dilepaskan dari pengertian bangkai. Sedangkan menurut
al-Lais, makhluk yang berjasad adalah makhluk yang makan dan
minum. Dalam Tafsir al-Fakhr ar-Razi dikatakan bahwa jasad ialah
tubuh manusia yang berupa darah dan daging. Jadi, jasad manusia
tidak lain adalah badan kasar manusia, yang nampak pada luarnya,
dapat diraba dan difoto serta menempati ruang dan waktu tertentu.
Jasad manusia mengalami perubahan dan oleh pertambahan
usianya, jasad manusia juga mengalami ketuaan kerusakan. Dengan
datangnya kematian, maka jasad manusia kernbali ke asalnya, alam
semesta ini.

2) Jasad dalam Al-Qur’an


Dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa jasad manusia itu
memerlukan makanan dan tidak kekal. Al-Qur’an mengatakan yang
artinya :
“Dan tidaklah kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada
memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang
yang kekal.” (QS. Al-Anbiya (21) : 8).

12
B. Tahap Hayat
1) Pengertian Hayat
Al-Hayat artinya hidup, lawan kata dari al-maut artinya mati.
Kata al-hayy dipakai untuk menyebut segala sesuatu yang tidak mati,
bentuk jamaknya ialah al-ahya. Disamping itu, al-hayy juga
menunjukkan pengertian seorang yang berbicara logis serta untuk
tanaman yang tumbuh. Kata ahya atau ihya yang berasal dari hayy itu
juga bisa berarti sungguh-sungguh melaksanakan secara penuh.
Kemudian tahiyyah yang merupakan perkembangan dari kata hayy,
bisa bermakna kekal dan keselamatan.

2) Hayat dalam Al-Qur’an


AI-Qur'an menyatakan bahwa kehidupan itu bermula dari air.
Seperti yang diterangkan dalam ayat yang artinya :
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air
Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka
tiada juga beriman”. (QS. Al-Anbiya (21) : 30).

C. Tahap Ruh
1) Pengertian Ruh
Kata ruh adalah ar-rih yaitu angin. Oleh karena itu ar-ruh
disebut an-nafas yaitu nafas atau nyawa. Di samping itu kata an-ruh
sering juga disebut an-nafs yaitu jiwa. Menurut Abu Bakar al-Anbari
kata ar-ruh dan an-nafs adalah searti. Bagi orang Arab ar-ruh
menunjukkan laki-laki, sedangkan an-nafs menunjukkan arti
perempuan. Menurut Abu Haithman, ruh adalah nafas yang berjalan di
seluruh jasad. Jika rah itu keluar maka manusia tidak akan bemafas.
Menurut Ibn Atsir ruh itu dipakai dalam berbagai arti tetapi yang paling
umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad dan dengan
ruh tercipta kehidupan. Bagi Ibn al-Arabi kata ar-ruh mepunyai banyak

13
arti yaitu (1) al-farh, kegembiraan; (2) Al-Qur'an, (3) al-amr, perintah
atau arah; dan (4) an-nafs, jiwa atau keakuan.

2) Ruh dalam Al-Qur’an


Dalam Al-Qur'an terdapat 21 kata ar-ruh, yang tersebut dalam
20 ayat. Kata ar-ruh dalarn Al-Qur'an dipakai dalam berbagai arti dan
konteks. Yang pertama, kata ar-ruh dikaitkan dengan kata al-quds,
seperti yang tersebut dalam ayat berikut yang artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al-Kitab
(Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-
turut) sesudah itu dengan Rasul-Rasul dan telah Kami berikan
bukti-bukti kebenaran (mu’jisat) kepada Isa putra Maryam dan
Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap
datang kepadamu seorang Rasul membawa suatu (ajaran)
yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu
menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu
dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh”. (QS.
Al-Baqarah (2) : 87).

D. Tahap Nafs
1) Pengertian Nafs
Menurut Ibn Ishak kata an-nafs dalam bahasa Arab digunakan
dalam dua pengertian. Pengertian pertama seperti dalam ungkapan
keluar nafas seseorang atau nyawanya, sedangkan pengertian kedua
seperti dalam ungkapan yaitu seseorang yang telah membunuh
dirinya, artinya ia telah menghancurkan dirinya atau hakikatnya.

2) Nafs dalam Al-Qur’an


Dalam Al-Qur’an terdapat 140 ayat yang menyebutkan kata
nafs. Sedangkan bentuk jamaknya nafus terdapat dalam 2 ayat, dan
bentuk jamak lainnya an-fus terdapat dalam 153 ayat.
Al-Qur’an menggunakan kata nafs dalam empat pengertian,
yaitu 1) dalam pengertian nafsu, 2) nafas, 3) jiwa, dan 4) diri atau

14
keakuan. Nafs dalam pengertian nafsu seperti tersebut dalam ayat
berikut ini yang artinya :
“dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Yusuf
(12) : 53).
(Mihrah Syukur, 2004 : 22-32)

2.4 Kontribusi Mulim Bagi Perkembangan Farmasi

Pengembangan farmasi di dunia Islam dimulai dari racun, antidot


dan sarana untuk mendeteksi racun. Oleh karena itu kebanyakan dasar
dasar kefarmasian awalnya ditetapkan oleh ahli toksikologi. Pengetahuan
tentang obat didasarkan pada 600 tanaman atau produk tanaman yang
dijelaskan oleh dokter Yunani, Dioscorides (90 SM), yang mencakup 1000
resep obat dalam tulisannya De Materia Medica. Buku ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab yang menjadi awal kemajuan oleh umat Islam di bidang
Farmakologi dan Farmasi. Selanjutnya, banyak risalah obat obatan ditulis
dalam bahasa Persia dan bahasa Arab. Pengetahuan farmasi kemudian
berkembang dari Syria, Persia, India dan Timur Jauh membentuk inovasi
Apoteker Muslim yang tak tertandingi hingga abad 17.

Apoteker Islam (Saydanah), seni menyiapkan dan meracik obat-


obatan, terpisah dari profesi kedokteran diakui pada abad 8. Cendana
digunakan dalam sediaan farmasi dan segera dikaitkan dengan profesinya.
Farmasi yang disebut dalam bahasa Arab sebagai Saydanah, dan ahli
farmasi disebut Saydanani atau Saydalani. Di India, cendna digunakan
lebih dari kayu aromatik lainnya. Dalam bahasa Sansekerta disebut
Chandan atau jandan. Di Arab, seorang yang menjual amber disebut
anbari, sehingga orang yang menjual cendana (sandalwood) disebut
sandalani. Julukan saydalani diberikan kepada seorang farmasis yang
berkualifikasi. Seharusnya orang pertama yang diberi gelar al-Saydalani
adalah warga Baghdad, Abu Quraisy al-Saydalani, Apoteker Islam yang

15
merupakan tabib, kolektor dan penjual ramuan obat-obatan dan rempah-
rempah, pabrikan, penjual sirup, kosmetik, Air aromatik, dan penulis.

Apotek Pertama yang dididirikan di Baghdag

Toko obat pertama kali didirikan di Baghdad pada tahun 754, di


mana obat-obatan disiapkan dan dijual. Toko obat dan pekerjaan yang ada
di dalamnya, diperiksa oleh Mohtasibs (inspektur). Inspektur pasar
bertanggung jawab untuk memeriksa kebersihan wadah, persiapan obat-
obatan terlarang dan pengeluarannya. Selama masa pemerintahan Khalifah
Mamun al-Rashid, sistem perizinan mulai diperkenalkan.

Para apoteker dan dokter harus lulus ujian untuk mendapatkan


lisensi untuk berpraktek. Apoteker berlisensi disebut Sayadala. Sinan ibn
Sabit, direktur rumah sakit Baghdad, adalah administrator pertama dari
departemen perizinan dan pendiri sistem kesehatan masyarakat.Apotek
Islam memperkenalkan 2000 zat baru termasuk adas manis, kayu manis,
cengkeh, senna, kamper, kayu cendana, musk, myrrh, cassia, asam jawa,
pala, aconite, ambergris, dan merkuri. Mereka mengenalkan ganja sebagai
obat bius. Mereka pertama kali mengembangkan sirup, pil baru, eliksir,
tinktur, permen dan inhalan. Apoteker Muslim membuat investigasi ilmiah
dari komposisi, dosis, kegunaan, dan efek terapeutik dari obat-obatan.

(Haeria, 2017 : 14-16)

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada makalah kali ini dapat disimpulkan bahwa Islam Disiplin Ilmu
untuk Farmasi sebagai suatu usaha untuk menyajikan Pendidikan Agama
yang khusus berkaitan dengan ilmu Farmasi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi (lptek) dan agama adalah kekuatan-kekuatan yang mampu
mentransformasikan kehidupan manusia. Keduanya berusaha untuk
mengarahkan, mengantarkan dan memberikan kesejahteraan bagi umat
manusia. Pengembangan farmasi di dunia Islam dimulai dari racun, antidot
dan sarana untuk mendeteksi racun. Pengetahuan tentang obat didasarkan
pada 600 tanaman atau produk tanaman yang dijelaskan oleh dokter
Yunani, Dioscorides (90 SM), yang mencakup 1000 resep obat dalam
tulisannya De Materia Medica. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab yang menjadi awal kemajuan oleh umat Islam di bidang Farmakologi
dan Farmasi. Selanjutnya, banyak risalah obat obatan ditulis dalam bahasa
Persia dan bahasa Arab.

3.2 Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan


dalam hal penyajian materi maupun penulisannya. Untuk melengkapi
kekurangan materi pada makalah ini kami menyarankan agar pembaca
mencari referesi lain yang lebih relevan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Haeria, 2017. Buku Dasar Pengantar Ilmu Farmasi. Makassar : UIN Alauddin
Makassar.

Syukur, Mihrah., 2004. Islam Disiplin Ilmu Farmasi. Makassar : Universitas


Muslim Indonesia.

18

Anda mungkin juga menyukai