Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

“Metodologi Pengembangan keilmuan (epistimologi II) Dalam perspektif


islam Dan barat: Explanation(Bayani) dan intuisi (Irfani) dalam perspektif
islam dan barat”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Islam dan Ilmu pengetahuan
Dosen pengampu: Dr. Bambang Irawan, MA

Di susun oleh:
Fadlina (11210360000047)
Wafa Ismatunnafisah (11210360000135)
Abul Aswad Ad-Duali (11210360000146)
Salman Alfarisi (11210360000116)

PRODI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN


UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
BAB 1
PEMBUKA
A. Latar Belakang

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang berarti
pengetahuan. Epistemologi sebagai induk dan menjangkau segala permasalahan-
permasalahan ilmu pengetahuan. Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati
posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran dari
sesuatu.

Epistemologi bermaksud menjelaskan hakikat dasar pengetahuan yang ada di


muka bumi, dengan epistemologi inilah manusia dapat berpikir tentang keadaan alam
semesta sesuai dengan kaidahnya masing-masing. Epistemologi Islam salah satunya
mengajarkan berpikir secara luas tapi tetap memperhatikan Al-Quran dan Hadis.

Metode berpikir dalam epitemologi ada empat macam, yakni Bayani, Irfani,
Burhani, dan Jadali. Bayani menjelaskan tentang melihat teks didampingi oleh
penggunaan rasional, Irfani dengan menggunakan batiniah, Burhani dengan
menggunakan panca indra atau akal, sedangkan Jadali menggunakan metode dialogis.
Keempat metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing,
tapi terlepas dari hal tersebut semua metode dapat digunakan dan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Secara tegas di dalam Al-Qur’an mengajak keturunan Nabi Adam a.s. pada
pengetahuan. Dalam Al-Qur’an terdapat perintah dan anjuran untuk memperhatikan,
melihat, dan merenungkan alam semesta sesuai dengan firman-Nya.

َ‫ات َوالنُّ ُذ ُر ع َْن قَوْ ٍم اَل يُْؤ ِمنُون‬ ِ ْ‫ت َواَأْلر‬


ُ َ‫ض ۚ َو َما تُ ْغنِي اآْل ي‬ َ ‫قُ ِل ا ْنظُرُوا َما َذا فِي ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬

Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah


bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman". (QS. Yunus:101).
B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi epistemologi?

2. Apa pentingnya mempelajari epistemologi?

3. Apa yang dimaksud dengan Bayani?

4. Apa yang dimaksud dengan Irfani?

5. Apa perbedaan Epistemologi Islam dan Barat?


BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi

Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti


pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan.
Istilah epistemologi sendiri berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan
logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata episteme dalam bahasa Yunani berasal dari
kata epistamai, artinya mendudukan, menempatkan, atau meletakkan. Maka secara
harfiah episteme berati pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan
sesuatu dalam kedudukan setepatnya1.

Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba


menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana
pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Epistemologi
sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan
tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tetapi perlu membuat
penentuan mana yang betul dan mana yang keliru. Epistemologi adalah ilmu yang
bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai suatu
keyakinan, sikap, pernyataan pendapat dapat dibenarkan dan dijamin kebenarannya.
Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur. Sedangkan kritis berarti banyak
mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia
mengetahui2.
Sedangkan menurut istilah ulama Arab disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah.
Epistemologi Islam secara terminologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan
dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, karakteristik pengetahuan, ukuran
kebenaran pengetahuan, cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan perkembangan
pemikiran Islam3.

B. Pentingnya Epistemologi
Menurut Richard Rorty, epistemologi modern yang mulai dengan upaya Descartes
menjamin kepatian pengetahuan dengan melakukan kajian tentang pikiran manusia

1
Bdk. A. M. W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987, hlm. 3-5.
2
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 18-19.
3
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuat Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Press, 2014, hlm. 134.
sendiri, kajiannya tentang cara kerja pikiran dalam proses mengetahui. Menurut
Rorty seluruh gagasan tentang epistemologi sebagai upaya rasional untuk
membangun fondasi atau dasar-dasar pengetahuan yang merupakan produk pilihan
melihat atau cermin untuk kegiatan mengetahui.
Studi epistemologi juga perlu untuk melihat bagaimana perkembangan sejarah
kebudayaan dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan contohnya pada zaman
renaisans dan munculnya humanisme ditandai oleh muncul dan berkembangnya
sains. Berdasarkan pertimbangan pendidikan epistemologi perlu dipelajari karena
manfaatnya untuk bidang pendidikan. Penidikan sebagai usaha dasar untuk
membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan
keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan. Pendidikan
sebagai upaya sadar dan terencana untuk membantu peserta didik mengembangkan
dirinya sebagai manusia seutuhnya tidak hanya terbatas pada pengembangan
kemampuan intelektualnya. Pendidikan juga perlu mengembangkan peserta didik
menuju kematangan spiritual, moral, emosional dan sosialnya. Pendidikan berperan
mengajarkan pengetahuan tentang alam dunia, tentang Tuhan, dan asal dan tujuan
segenap ciptaan4.
C. Bayani (Explanation)
Dimaksudkan dengan nalar bayani adalah pencarian kebenaran yang bersumber
pada otoritas teks semata dengan metode ijtihadiyah atau qiyas, memanfaatkan
pendekatan bahasa dan kerangka pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks 5.
Menurut Abid Jabiri bayani, yaitu tradisi berpikir yang mendasarkan diri pada teks
atau nashsh (tekstual). Tradisi berpikir bayani mendasarkan diri secara ketat kepada
teks, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Upaya mencari pengetahuan atau kebenaran dalam
bayani bergerak dari teks ke teks. Metode bayani dikembangkan oleh para ahli
hukum Islam dan para teolog muslim.
Secara leksikal etimologis, termbayan mengandung lima arti yaitu: (1) al waslu
(sampai, berkesinambungan); (2) al fasl (terputus, keterpilahan); (3) al zuhur wa al
wuduh (jelas dan terang); (4) al falsahah wa al qudrah’ ala al tabligh wa al iqna’
(sehat dan mampu menyampaikan dan menenangkan); (5) al ihsan hayawan al mubin
(manusia hewan berlogika).
Bayani adalah suatu epistemologi yang mencakup disiplin ilmu yang berpangkal
dari bahasa Arab (nahwu, fiqih dan ushul fiqih, kalam dan balaghah). Epistemologi
ini dapat dipahami dalam 3 aspek yaitu aspek aktivitas pengetahuan, diskursus
4
J. Sudarminta, Ibid., hlm. 26-29.
5
Prof. Dr. Amril M, M.A., Epistemologi Intregatif-Interkonektif Agama dan Sains, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016, hlm. 19.
pengetahuan dan aspek sistem pengetahuan. Sebagai aktivitas pengetahuan bayani
berarti menampakkan dan paham memahamkan. Sebagai diskursus pengetahuan
bayani berarti dunia pengetahuan yang dibentuk oleh ilmu Arab Islam murni, yaitu
ilmu bahasa dan agama. Sementara itu sebagai sistem pengetahuan bayani berarti
kumpulan dari prinsip-prinsip, konsep-konsep dan usaha-usaha yang menyebabkan
dunia pengetahuan terbentuk tanpa disadari.
Menurut Al-Syafii epistemologi bayani terdapat dua dimensi yang fundamental,
yakni ushul (prinsip-prinsip primer) yang darinya muncul prinsip sekunder dan
aturan-aturan penafsiran wacana. Kemudian Al-Jahiz berusaha mengembangkan
bayani yang tidak terbatas pada memahami sebagaimana yang dilakukan oleh Al-
Syafii, tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca paham akan wacana 6.
Tradisi berpikir bayani lebih dominan secara politik, bahkan menjadi semacam
mainstream dalam pemikiran ke-Islaman. Metode berpikir bayani juga lebih
diunggulkan dibanding otoritas keilmuan yang lain. Akan tetapi tradisi berpikir
bayani juga memiliki kelemahan yaitu metode berpikir bayani bersifat normatif
tekstualitik, karena bayani bertolak dari teks dan mendasarkan pemikirannya hanya
pada teks. Akibatnya metode berpikir bayani dinilai kurang peka terhadap isu-isu
keagamaan yang berkembang dalam masyarakat. Metode bayani kurang
memaksimalkan penggunaan akal, akal hanya diperankan sebagai penguat untuk
mengokohkan kebenaran teks. Bahkan dalam pola pikir bayani ada kecenderungan
curiga pada akal, karena akal dianggap akan menjauhkan dari kebenaran teks. Oleh
sebab itu akal dicukupkan fungsinya sebagai pengekang dan pengendali hawa nafsu.
Metode berpikir bayani bersifat rigid dan cenderung eksklusif apabila berhadapan
dengan tradisi keagamaan, budaya, komunitas-komunitas lain di luar Islam.
Pendukung pola pikir bayani cenderung dokmatis, devensif, apologis, polemis7.
Epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi teks
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas
(analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fiqh, qiyas
diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain
yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas.
1. Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai
ukuran.
2. Al-Far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash

6
Dr. Edi Susanto, M.Fil. I., Dimensi Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, hlm. 112-115.
7
DR. A. Ilyas Ismail, M.A., True Islam: Moral, Intelektual, Spiritual, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013, hl. 139-141.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurma. Arak tersebut
diqiyaskan ke dalam jenis khamr. Hukumnya haram karena bersifat memabukkan 8.
D. Irfani (intuisisi)

Kata irfan (gnosis) merupakan bentuk dari kata ‘arafa yang artinya “pengetahuan”,
‘ilm dan hikmah. Kemudian kata ini lebih dikenal sebagai terminologi mistik dengan
kata ma’rifah dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Pengetahuan irfani
tidak didasarkan atas teks seperti bayani tetapi pada tasawuf, rahasia-rahasia dari
Tuhan. Model metodologi irfani merupakan model berfikir yang didasarkan atas
pendekatan dan pengalaman langsung atau realitas spritiual keagamaan.berbeda
dengan bayani sebagai pengetahuan eksoteris atau yang diperoleh dari indra dan
intelek, maka irfani adalah pengetahuan esoteris yaitu pengetahuan dari qalb (batin).

Irfani berkaitan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman,


sedangkan ilmunya menunjukan pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi
naql atau rasionalitas. Secara terminologi, irfani biasa diartikan dengan pengungkapan
atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-
Nya.

Menurut kalangan irfaniyun (para penganut nalar gnostik atau irfani), pengetahuan
tentang Tuhan atau hakikat Tuhan tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris
rasional, tetapi dapat diketahui melalui pengalaman langsung (mubasyarah). Untuk
mampu berhubungan langsung dengan Tuhan, seseorang harus mampu melepaskan
diri dari segala ikatan dengan alam yang menghalanginya 9. Irfan adalah pengetahuan
yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan
akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian
dikonsepdikan atau masuk kedalam pikiran sebelum dikemukakankepada orang lain. 10

Dikatakan, ketika manusia melihat dan menyaksikan keindahan alam, maka hati dan
batinnya akan bergetar, dan seketika itu, ia sudah tahu dan mengerti akan adanya San
Pencipta atau Tuhan. Jadi dalam perspektif ini manusia tidak perlu menunggu teks
keagamaan. Pengalaman batinnya yang terdalam sudah menangkapnya.

Konon metode irfani sudah dikenal dalam tradisi pemikiran Yunani dan Persia jauh
sebelum datangnya agama Nasrani, Yahudi, dan Islam. Dalam ajaran Islam metode ini
8
Muhammad Abid al-jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992, hlm.
146-147.
9
Dr. Edi Susanto, M.Fil.I. ibid, hlm.116-117
10
Zulpa Makiah, Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani Dalam Memperoleh pengetahuan Tentang Maslahah,
(Banjarmasin:IAIN Antasari), hlm. 13.
dikenal dengan “Ilm al-Khuduri”I, karena jenis pengetahuan ini datang sendiri secara
langsung. Namun dalam pandangan Barat dinamakan “Pre-Logical Knowledge”,
karena tidak terikat oleh premis-premis logika. Pengetahuan irfani diperoleh
setidaknya melalui tiga cara, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.

Berbeda dengan bayani, metode berfikir irfani tidak memiliki kedudukan yang kuat
di kalangan kaum Muslim, bahkan cenderung mendapat kecaman atau olok-olok baik
dari pendukung bayani atau burhani. Metode berfikir irfani punya bebrapa kelemahan
sebagai berikut.
1. Metode irfani dianggap terlalu liberal karena tidak memiliki pedoman yang jelas
pada teks.
2. Kenyataan bahwa qalb (kalbu), dhamir (hati), dan ilham (intuisi) telah bercampur
dengan tarekat, wirid, serta ungakapan-ungkapan ganjil para sufi. Umat Muslim
pun kurang memahami metode berfikir irfani.

Meskipun metode ini ada kelemahan, namun sebenarnya irfani juga memiliki
keunggulannya sendiri. Diantaranya, metode irfani menekankan pemahaman dan
pengertian terhadap pemikiran dan pemahaman pihak lain, sehingga menimbulkan
hubungan baik antara kelompok-kelompok yang berbeda11.

E. Perbedaan Epistemologi Islam dan Barat


Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan tersebut
diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat, bahwa yang
dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi yang
hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris sedangkan hal lain yang
bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak termasuk dalam objek yang dapat
diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut epistemologi Islam, ilmu diterapkan
dengan sama validnya baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun non-fisik atau
metafisis. Dalam bukunya Ihsha’ Al-‘Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi
memasukkan ke dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti
fisika, botani, mineralogi, dan astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris
seperti konsep-konsep mental dan metafisika12.

Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat
yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek metafisik. Ilmuwan-
ilmuwan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologis dari
bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga objek-objek metafisik
11
Dr. A. Ilyas Ismail, M.A. ibid hlm. 141-143.
12
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2002), hlm.
58.
yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihat indra, tetapi diyakini
memiliki status ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan lebih
riil daripada objek-objek indra.

Selain itu, epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang
hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam
mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Akal dalam
menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan wahyu agar apa yang
dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.

Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau konsep
teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena berdampak pada
rusaknya segala sesuatu. Sebagimana firman Allah:

ِ ‫ات َواَْألرْ ضُ َو َمن فِي ِه َّن بَلْ َأتَ ْينَاهُم بِ ِذ ْك ِر ِه ْم فَهُ ْم عَن ِذ ْك ِر ِهم ُّمع‬
َ‫ْرضُون‬ ُ ‫او‬ ِ ‫ق َأ ْه َوآ َءهُ ْم لَفَ َس َد‬
َ ‫ت ال َّس َم‬ ُّ ‫َولَ ِو اتَّبَ َع ْال َح‬

“Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah
langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami telah datangkan
kepada mereka peringatan (Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling dari peringatan itu”.
(QS. Al-Mu’minun [23]: 71).

Selain itu, diantara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut para filosof
Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan eksperimen
sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu dan keduanya memang
jelas harus dipisahkan. Induksi (istiqra’) berada pada posisi prasangka atau dugaan
sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada posisi keyakinan dan
argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara perasaan biasa (induksi) dengan
praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini merupakan aktivitas rasio13.

Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat dapat


membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional,
kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih tajam ke wilayah idealisme
hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan masukan-masukan yang diberikan
oleh empirisisme.

13
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas
Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 55-56.
Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empirisisme) untuk
kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk memanfaatkan
potensi yang ada di alam secara bijaksana, sebagaimana firman Allah:

‫ات‬ٌ َ‫اح َءاي‬ َ ْ‫ق فََأحْ يَا بِ ِه اَْألر‬


ِ ‫ض بَ ْع َد َموْ تِهَا َوتَصْ ِر‬
ِ َ‫يف الرِّ ي‬ ْ ‫ار َو َمآَأنزَ َل هللاُ ِمنَ ال َّس َمآ ِء ِمن‬
ٍ ‫رِّز‬ ِ َ‫ف الَّي ِْل َوالنَّه‬ ْ ‫َو‬
ِ َ‫اختِال‬
َ‫لِّقَوْ ٍم يَ ْعقِلُون‬

“Dan pada pergantian malam dan siang, dan apa-apa yang diturunkan Allah dari
langit berupa rezeki, lalu Dia menghidupkan dengannya bumi seusdah matinya, dan
pada perkisaran angin, menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berpikir”. (QS. Al-Jatsiyah: 5).
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistemologi menurut istilah ulama Arab disebut sebagai nazhariyah al-ma’rifah.
Secara terminologi epistemologi Islam merupakan cabang filsafat yang
membicarakan dasar-dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, karakteristik
pengetahuan, ukuran kebenaran pengetahuan serta cara mendapatkan pengetahuan
berdasarkan perkembangan pemikiran Islam.

Epistemologi Bayani dimaksudkan untuk pencarian kebenaran yang bersumber pada


otoritas teks semata dengan metode ijtihadiyah atau qiyas, memanfaatkan pendekatan
bahasa dan kerangka pola pikir deduktif yang berpangkal pada teks. Epitemologi
Irfani merupakan model berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman
langsung atau realitas spritiual keagamaan.berbeda dengan bayani sebagai
pengetahuan eksoteris atau yang diperoleh dari indra dan intelek, maka irfani adalah
pengetahuan esoteris yaitu pengetahuan dari qalb (batin).

Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan tersebut


diantaranya dalam mendefinisikan ilmu dan memandang objek secara keseluruhan.
Epistemologi Barat menganggap yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia
dapat diobservasi secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik
atau empiris sedangkan epistemologi Islam memandang terdapat objek indrawi
maupun metafisik dan mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi.
Masing-masing sumber tersebut memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga
mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara proporsional.
DAFTAR PUSTAKA
Pranarka, Bdk. A. M. W., Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar, Jakarta: CSIS, 1987

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002

Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuat Kajian Tematik, Jakarta: Rajawali Press, 2014

M., Amril, Epistemologi Intregatif-Interkonektif Agama dan Sains, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2016

Susanto, Edi., Dimensi Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016

Ismail, A. Ilyas, True Islam: Moral, Intelektual, Spiritual, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013

Anda mungkin juga menyukai