Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 3

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Zahara Feby Putri Armaya


044936493

PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
2022
1. Komitmen Politik: Penyelenggaraan otonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah
pusat selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi. Masih Terpaku
pada Sentralisai: Daerah masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap pusat, sehingga
mematikan kreativitas masyarakat dan perangkat pemerintahan di daerah. Kesenjangan
Antardaerah: Kesenjangan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, serta intra
struktur ekonomi. Ketimpangan Sumber Daya Alam: Daerah yang tidak memiliki
kekayaan sumber daya alam tetapi populasi penduduknya tinggi akan terengah-engah
dalam melaksanakan otonomi. Benturan Kepentingan: Adanya perbedaan kepentingan
yang sangat melekat pada berbagai pihak yang menghambat proses otonomi daerah,
seperti benturan keinginan pimpinan daerah dengan kepentingan partai politik. Keinginan
Politik atau Political Will: Keinginan politik yang tidak seragam dari pemerintah daerah
untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat dan daerah. Perubahan perilaku elit
lokal: elit lokal mengalami perubahan perilaku dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah karena pengaruh kekuasaan yang dimilikinya. Menurut Rondinelli dan Cheema,
ada empat faktor yang dipandang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi bebas, yaitu: environmental conditions: interofrganizational
relationship; available resources; and characteristic of implementing agencies.
Signifikansi hubungan pengaruh antara variabel yang satu dengan yang lain dalam
mempengaruhi pelaksananaan otonomi daerah sangat bervariasi dalam situasi yang satu
dengan yang lain. Faktor environmental conditions mencakup faktor seperti struktur
politik nasional, proses perumusan kebijakan, infra struktur politik, dan berbagai
organisasi kepentingan, serta tersedianya sarana dan prasarana fisik. Suatu kebijakan ada
hakekatnya timbul dari suatu kondisi lingkungan sosial-ekonomi dan politik yang khusus
dan kompleks. Hal ini akan mewarnai bukan hanya substansi kebijakan itu sendiri,
melainkan juga pula hubungan antar organisasi dan karekateristik badan-badan pelaksana
di lapangan, serta potensi sumber daya, baik jumlah maupun macamnya. Struktur politik
nasional, ideologi, dan proses perumusan kebijakan ikut mempegaruhi tingkat dan arah
pelaksanaan otonomi daerah. Di samping kitu, karakteristik struktur lokal, kelompok-
kelompok sosialbudaya yang terlibat dalam perumusan kebijakan, dasn kondisi infra-
struktur. Juga memainkan peranan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Faktor
inter-organizationships, Rondinelli memandang bahwa keberhasilan pelaksananaan
otonomi daerah memerlukan interaksi dari dan koordinasi dengan sejumlah organisasi
pada setiap tingkatan pemerintahan, kalangan kelompok-kelompok yang berkepentingan.
Faktor resources for program implementation, dijelaskan bahwa kondisi lingkungan yang
kondusif dalam arti dapat memberikan diskresi lebih luas kepada pemerintah daerah, dan
hubungan antar organisasi yang efektif sangat diperlukan bagi terlaksananya otonomi
daerah. Sampai sejauhmana pemerintah lokal memiliki keleluasaan untuk merencanakan
dan menggunakan uang, mengalokasikan anggaran untuk membiayai urusan rumah
tangga snediri, ketetapan waktu dalam mengalokasikan pembiayaan kepada badan/dinas
pelaksana, kewenangan untuk memungut sumber-sumber keuangan dan kewenangan
untuk membelanjankannya pada tingkat lokal juga mempengaruhi melaksanakan otonomi
daerah seefektif mungkin. Kepadanya juga perlu diberikan dukungan, baik dari pimpinan
politik nasional, pejabat-pejabat pusat yang ada di daerah, maupun golongan terkemuka
di daerah. Di samping itu, diperlukan dukungan administratif dan teknis dari pemerintah
pusat. Kelamahan yang selama ini dijumpai di negara-negara sedang berkembang ialah
keterbatasan sumber daya dan kewenangan pemerintah daerah untuk memungut sumber-
sumber pendapatan yang memadai guna melaksanakan tugas-tugas yang diserahkan oleh
pemerintah pusat. Faktor characteristic of implemeting agencies, diutamakan kepada
kemampuan para pelaksana di bidang keterampilan teknis, manajerial dan politik,
kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, mengendalikan dan
mengintegrasikan setiap keputusan, baik yang berasal dari sub-sub unit organisasi,
maupun dukungan yang datang dari lembaga politik nasional dan pejabat pemerintah
pusat lainnya. Hakikat dan kualitas komunikasi internal, hubungan antara dinas pelaksana
dengan masyarakat, dan keterkaitan secara efektif dengan swasta dan lembaga swadaya
masyarakat memegang peranan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang
sama pentingnya adalah kepemimpnan yang berkualitas, dan komitmen staf terhadap
tujuan kebijakan. Menurut Rondinelli dan Cheema, hasil pelaksanaan kebijakan
desentralisasi dalam wujud pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung kepada
hubungan pengaruh dari keempat faktor tersebut, dan dampaknya diukur melalui tiga hal
sebagai berikut. Pertama, tercapainya tujuan kebijakan desentralisasi yang terwujud
pelaksanaan otonomi daerah. Kedua, meningkatnya kemampuan lembaga pemerintah
daerah dalam hal perencanaan, memobilisasi sumber daya dan pelaksanaan. Ketiga,
meningkatnya produktivitas, pendapatan daerah, pelayanan terhadap masyarakat, dan
peran serta aktif masyarakat melalui penyaluran inspirasi dan aspirasi rakyat. Hubungan
keempat faktor tersebut oleh Rondinelli dalam Factors Affecting Implementation Of
Decentralization Politics

2. 1. Sumber daya manusia di beberapa daerah kurang memadai bahkan kualitasnya


tergolong rendah. Kualitas sumber daya manusia merupakan komponen penting dalam
setiap gerak pembangunan. Hanya dari sumber daya manusia yang berkualitas tinggilah
yang dapat mempercepat pembangunan. Mengenai kulaitas SDM di daerah, hal ini terkait
dengan bagaimana pendidikan di daerah. Beberapa daerah di Indonesia, khususnya
daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal,) masih rendah akan kualitas serta sarana dan
prasarana. Permasalahan ini adalah suatu hal yang mendasar untuk menciptakan kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang memadai. Seharusnya pemerintah lebih peduli
terhadap pendidikan yang ada di daerah. Setidaknya pemerintah membangunkan sarana
prasarana untuk menunjang terlaksananya pendidikan di daerah itu tersebut. Kualitas
pengajar juga harus di perhatikan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar yang ada.
Dua hal penting itu lah yang akan membangun SDM Indonesia yang berkualitas dan
memadai untuk menyamakan pendidikan yang terjadi di Indonesia.

2. Pelayanan publik yang kurang optimal Sebagai acuan penyediaan pelayanan


masyarakat, pemerintah daerah harus berpedoman kepada PP Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
akan dijabarkan dalam bentuk peraturan menteri yang bersangkutan. Untuk itu setiap
pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target
tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM. Rencana
pencapaian SPM dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD). Untuk
target tahunan pencapaian SPM, dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan
Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(RKA-SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah dengan memperhatikan kemampuan
keuangan daerah.
3. Kurangnya pembinaan dan pengawasan Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di
Daerah. Pemerintah Pusat melalui Menteri dan Pimpinan Lembaga Non Departemen
melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan teknis masing-masing yang
dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan provinsi dan
dikoordinasikan oleh Gubernur untuk tingkat kabupaten/kota. Pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin
agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku. Pengawasan pemerintah terutama dilakukan terhadap
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam upaya mengoptimalkan fungsi
pembinaan dan pengawasan, pemberian sanksi akan dilakukan apabila diketemukan
adanya penyimpangan dan pelanggaraan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Salah satu pedoman dalam pembinaan dan pengawasan ini, telah diterbitkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Disamping itu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasann Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
4. Penataan kepegawaian daerah yang tidak setara Sejalan dengan UU Nomor 43 Tahun
1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, sistem manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) menggunakan gabungan
dari unified system dan separated system. PNS baik di Pusat maupun di Daerah
diharapkan memiliki kualitas yang setara dan memiliki norma, standar, dan prosedur
manajemen kepegawaian yang sama. Selain itu, pelaksanaan mutasi kepegawaian baik
vertikal maupun horisontal perlu dikonsultasikan kepada organisasi pemerintah di
atasnya agar terwujud prinsip pembinaan karier PNS yang utuh dalam kerangka Negara
Kesatuan RI. Hal tersebut akan sangat membantu dalam mewujudkan akurasi data mutasi
pegawai dalam mendukung pengalokasian dana perimbangan secara nasional. Dengan
penataan urusan pemerintahan secara benar, pembentukan kelembagaan secara tepat, dan
personil yang memiliki kapasitas dan profesionalisme memadai, penyelenggaraan
otonomi daerah diharapkan akan semakin membaik dan mampu meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan rakyat. Pada saat ini sedang disusun pola pengembangan karier PNS
meliputi standar kompetensi, kebijakan minus growth, perencanaan karir dan
pengembangan karir dan pengembangan jabatan untuk fungsional (mengurangi tekanan
pada jabatan struktural).

3. Yang dapat dilakukan masyarakat untuk menanggulangi hambatan dalam pelaksanaan


otonomi daerah diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Keterlibatan par masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah
2. Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan
tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah
3. Masyarakat juga perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan Otonomi Daerah
Untuk mengatur lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat tersebut, juga telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Partisipasi
Masyarakat
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam PP tersebut telah diatur bahwa
partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui konsultasi publik, penyampaian aspirasi,
rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi hingga seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi. Kemudian beberapa cakupan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang perlu dipelajari dan dipahami oleh
masyarakat itu sendiri ialah meliputi partisipasi masyarakat dalam penyusunan Peraturan
Daerah dan kebijakan daerah, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran,
dan pengevaluasian pembangunan daerah, pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam
daerah, dan penyelenggaraan pelayanan publik. Partisipasi Masyarakat dalam
Penyusunan Peraturan dan Kebijakan Daerah Berdasarkan Pasal 2 PP Nomor 45 Tahun
2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam
penyusunan peraturan dan kebijakan daerah. Masukan tersebut dapat diberikan melalui
rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya
dan/atau diskusi (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah). Pada proses pembentukan peraturan daerah
(perencanaan, penyusunan, pembahasan dan penetapan, dan pengundangan), aspirasi
masyarakat tersebut dapat ditampung mulai dari tahap perencanaan dalam penyusunan.
Hal ini dilakukan sebagai usaha meningkatkan kualitas pengambilan kebijakan, karena
masyarakatlah yang akan terkena dampak akibat kebijakan tersebut. Oleh sebab itu,
diharapkan pihak eksekutif maupun legislatif dapat menangkap pandangan dan kebutuhan
dari masyarakat yang kemudian dituangkan dalam suatu peraturan daerah. Partisipasi
Masyarakat dalam Pembangunan Daerah Ada berbagai bentuk partisipasi yang dapat
dilakukan oleh masyarakat pada setiap proses pembangunan daerah tersebut. Pada saat
perencanaan pembangunan masayarakat dapat berpartisipasi dalam bentuk penyampaian
aspirasi konsultasi publik, diskusi dan musyawarah pada tahapan penyusunan rancangan
awal maupun pada musrenbang. Dalam penganggaran, penyampaian aspirasi juga
dilakukan dengan konsultasi publik diskusi, dan musyawarah untuk mengawasi
kesesuaian antara Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan Kebijakan Umum
Anggaran/ Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS). Selanjutnya, pada
pelaksanaan, masyarakat dapat melibatkan diri sebagai mitra dalam bentuk pemberian
hibah kepada pemerintah daerah dalam bentuk uang, barang, dan/atau jasa. Terakhir,
pada pengawasan dan evaluasi masyarakat dapat memastikan kesesuaian antara jenis
kegiatan, volume dan kualitas pekerjaan, waktu pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan,
dan/atau spesifikasi dan mutu hasil pekerjaan dengan rencana pembangunan daerah yang
telah ditetapkan (Pasal Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 45 Tahun 2017). Partisipasi
Masyarakat Dalam Pengelolaan Aset dan Sumber Daya Alam Daerah Pemerintah Daerah
harus mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan aset dan sumber daya alam
daerah tersebut yang meliputi penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, dan/atau
pemeliharaannya sesuai dengan amanat Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 45 Tahun 2017.
Partisipasi masyarakat dalam penggunaan dan pengamanan dilaksanakan dalam bentuk
pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola
dan menatausahakan barang milik daerah. Partisipasi dalam pemanfaatan, dapat
dilakukan dengan bentuk sewa, kerja sama pemanfaatan, dan kerja sama penyediaan
infrastruktur sehingga bisa berdampak positif bagi masyarakat. Sedangkan partisipasi
dalam bentuk pemeliharaan dapat dilaksanakan masyarakat dalam bentuk kerja sama
pemeliharaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Partisipasi
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Dalam PP Nomor 45 Tahun 2017,
telah diatur tentang bagaiamana pengikutsertaan masyarakat dalam pelayanan publik
yang meliputi:
1. Penyusunan kebijakan Pelayanan Publik;
2. Penyusunan Standar Pelayanan;
3. Pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan Pelayanan Publik; dan
4. Pemberian penghargaan. Dari beberapa lingkup partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik tersebut di atas, masyarakat dapat menyampaikan
masukan, tanggapan, laporan, dan pengaduan kepada penyelenggara atau pihak terkait.
Maka dari itu, pemerintah daerah juga harus memberikan informasi yang dibutuhkan
serta menindaklanjuti masukan masyarakat tersebut.

4. Menurut Kooiman (dalam Sedarmayanti, 2012:15-16), good governance merupakan


sebuah pergeseran paradigma dari pemerintahan (government) menjadi kepemerintahan
(governance) sebagai wujud interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat
dalam menghadapi berbagai permasalahan kontemporer yang demikian kompleks,
dinamis dan beraneka ragam. Hal ini berkaitan erat dengan reformasi pemerintahan yang
sedang berlangsung, khususnya dalam upaya pencegahan Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme. Tak hanya itu, good governance menuntut pada profesionalitas serta
kemampuan aparatur dalam pelayanan publik. Good governance menekankan pada
pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan istitusi-institusi
lainnya yaitu seperti masyarakat sipil baik individu atau kelompok di mana salah satunya
adalah Lembaga Swadaya Masyakarat dan juga perusahaan swasta. Bahkan institusi
nonpemerintah bisa mendapat peran dominan dalam governance tersebut atau bahkan
lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran apapun – “government without
government”. Lembaga – lembaga atau institusi yang telah dijelaskan diatas
mempunyai peran penting terhadap jalannya good governance, yakni memiliki fungsi
dalam mengawasi dan juga mengendalikan jalannya pemerintahan dan pelayanan publik.
LSM sendiri memiliki tempat yang berbeda dalam mengisi perannya sebagai salah satu
elemen dalam masyarakat sipil (civil society). LSM memegang peranan yang penting
karena sifatnya yang tidak menggantungkan diri pada pemerintah, terutama dalam
support capital dan sarana prasarana. LSM berperan dalam pemberdayaan masyarakat
dengan melakukan berbagai kajian terhadap beragam isu-isu yang berkembang dan
menyangkut proses berjalannya sistem demokrasi dalam sebuah negara. Selain itu LSM
juga memberikan pendidikan politik, agar masyarakat dapat terbuka dan ikut
berpartisipasi baik dalam pembangunan negara. Organisasi masyarakat sipil merupakan
sebuah komitmen kepedulian warga negara atau masyarakat terhadap berbagai persoalan
yang dihadapi rakyat di berbagai aspek. Terlebih keikutsertaan LSM sebagai suatu
organisasi nonpemerintah yang berpengaruh besar terhadap jalannya kepemerintahan
yang saat ini memegang peran penting sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia.
LSM juga berperan sebagai civil society yang bersinergi dengan masyarakat untuk
membantu terwujudnya good governance. Hal ini karena LSM sendiri merupakan
kepanjangan tangan antara masyarakat dengan pemerintah. Di Indonesia telah banyak
LSM yang berdiri dan berfokus pada peningkatan good governance terutama dalam
fungsinya untuk mengawasi praktik-praktik korupsi dan pelayanan publik. Di Kabupaten
Tasikmalaya misalnya, ada salah satu organisasi nonpemerintah yang terdiri dari
mahasiswa dan rakyat Tasikmalaya itu sendiri. Organisasi itu bernama Koalisi
Mahasiswa dan Rakyat Tasikmalaya (yang selanjutkan akan disingkat menjadi KMRT).
KMRT adalah organisasi perkumpulan nonpemerintah yang didirikan pada tanggal 09
Desember 2004 di tengah tidak berjalannya semangat reformasi 1998 di Tasikmalaya
dengan implikasi semakin maraknya korupsi di sektor legislatif dan eksekutif.
Keberadaan KMRT bertujuan untuk mewujudkan good governance dan mengembangkan
partisipasi publik di Tasikmalaya. KMRT mengambil posisi untuk bersama-sama rakyat
dalam membangun gerakan sosial anti korupsi dan berupaya mengimbangi
persekongkolan kekuatan elit birokrasi pemerintah, DPRD dan bisnis. KMRT yang sudah
berdiri selama 14 tahun ini telah banyak berkonstribusi dalam upaya mewujudkan good
governance khususnya dalam menangani isu-isu korupsi dan pelayanan publik di
Tasikmalaya. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah kasus ataupun dugaan tindak pidana
korupsi yang telah diterima dan ditangani oleh KMRT dari kurun waktu tahun 2004-
sekarang. Terwujudnya good governance melibatkan seluruh pihak pelaku utama
governance, yaitu negara, bisnis dan masyarakat. Semua pihak harus memiliki
pengetahuan, kesadaran dan kemauan bersama untuk mewujudkan akuntabilitas dan
transparansi agar negara mencapai citacita masyarakat adil dan makmur. Dikatakan
tatakelola dan akuntabilitas sektor publik-mencari bentuk pertanggungjawaban publik di
Pemerintahan Daerah. Akuntabilitas dan transparansi adalah esensi dari praktik tata
kelola organisasi publik yang baik atau Good Public Governance. Desentaralisasi fiskal
negara memberi keleluasaan daerah dalam mengelola keuangan secara mandiri dan sesuai
aturan perundangan yang berlaku. Peran mahasiswa dalam mengawal transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah mahasiswa berperan penting dalam
memahami jalannnya roda pemerintahan. Bukan hanya BPK para stake holder yang lain
termasuk mahasiswa juga LSM penting mengetahui dan ikut serta dalam partisipasi
publik serta berkontribusi membangun good governance. Salah satu masalah terbesar
yang dihadapi bangsa Indonesia sampai saat ini adalah korupsi. Berdasarkan sejumlah
survei, beberapa kasus korupsi terjadi pada tingkat pemerintahan baik di tingkat pusat
maupun daerah. Salah satu upaya pencegahan tindak pidana korupsi adalah transparansi
dan akuntabilitas publik mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban. Akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi harus mendapat
perhatian dan dukungan serta partisipasi masyarakat. Perguruan tinggi memiliki peran
strategis dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. SDM yang dimiliki perguruan
tinggi dapat berperan optimal dalam pemberantasan korupsi. Di mana posisi mahasiswa
dalam hal ini? Mahasiswa merupakan agen perubahan di masyarakat. Menuju agen
perubahan yang efektif mahasiswa haruslah membumi dengan memahami problematika
di daerahnya. Di antaranya melakukan perubahan dengan mengkonstruksi pikiran positif
dalam rangka good governance serta melakukan partisipasi publik sebagai bagian pilar
kampus merdeka
Referensi:

Hardian, Yudi. (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi derajat otonomi fiskal
daerah
Sumatera Barat periode 1993-2008. Skripsi. Program Sarjana Universitas Andalas.
Padang.
Lasiyo., Reno, W., & Hastangka. (2020). Pendidikan Kewarganegaraan. Tangerang
Selatan:
Universitas Terbuka.
MA. (2017). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
https://bangda.kemendagri.go.id/berita/baca_kontent/1520/partisipasi_masyarakat_dala
m_penyelenggaraan_pemerintahan_daerah_
Widjaja, HAW. (2009). Otonomi Daerah dan Daerah Otonom (ed. I cet. V). Jakarta:
Rajawali
Pers.

Anda mungkin juga menyukai