Anda di halaman 1dari 8

Parahyangan :

Patut dipertahankan :
I. Swadarmaning lan tategenan prade wenten sinalih tunggil krama kalayu sekaran
a). Sang kaduhkitan patut :
1). Nyadokang ring klian tur nunas tetimbangan ring kawentenangnya
2). Ngaturang Banjar ngarombo makarya eteh-eteh sawa kadu'urin panyambrama canang
sasida antuk, ngelantur ngarombo nganter ke setra

Terjemahan :
Kalau ada salah satu warga masyarakat meninggal dunia wajib
Keluarga yang yang bersangkutan :
1) Menyampaikan kepada Kelian mohon pertimbangannya
2) Meminta pada masyarakat untuk membantu membuat sarana persiapan orang
meninggal, membuat canang dan selanjutnya membuat banten untuk ke kuburan.

Alasan :
Karena awig tersebut merupakan dasar permintaan keluarga yg akan melaksanakan
upacara ngaben kepada masyarakat melalui kelian sebagai tetua di desa yg mengurusi
kegiatan adat. Dalam mempersiapkan upacara pengabenan, segala sesuatu persiapannya
tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri atau hanya dengan 1 keluarga saja, dikarenakan
hal yang harus disiapkan sangat banyak. Masyarakat dapat bergotong royong membantu
dalam pelaksana

II. Tan kalugra ngranjing ka pura luwire :


1) Sang katiben cuntaka
2) Makta sahanan barang
3) Mabusana tan manut kadi tatacaraning ngeranjing ka pura

Terjemahan :
Kesucian pura, seperti dibawah ini:
A. tidak diperbolehkan ke pura yakni:
1. Karena sebelan
2. Membawa barang atau alat yg dianggap mencemari kesucian pura
3. Berpakaian yang bukan pakaian adat ke pura
Alasan :
Wanita menstruasi tidak bisa sembahyang di Pura karena seorang wanita yang sedang
menstruasi masuk kedalam keadaan cuntaka. Cuntaka adalah keadaan tidak suci jasmani
maupun rohani seseorang akibat suatu peristiwa, seperti kematian anggota keluarga,
kelahiran anak, menstruasi, dan sebagainya. Pada saat cuntaka inilah seseorang tidak
boleh memasuki area suci seperti pura atau sanggah. Alasan mengapa kita tidak boleh
membawa barang atau alat yg dianggap mencemari kesucian pura, dan mengapa wanita
yang sedang menstruasi tidak boleh ke Pura itu cukup sederhana. Dikarenakan darah
menstruasi dan barang/alat tersebut itu dianggap kotor dan bisa menyebabkan Pura
menjadi tidak suci.

Bukan hanya perempuan menstruasi yang tidak boleh masuk ke pura, melainkan juga
perempuan atau laki-laki yang sedang mengalami cuntaka (masa “kotor” karena ada
anggota keluarga yang baru meninggal). Orang yang mengalami masa cuntaka,
diperbolehkan kembali masuk ke pura setelah melewati 12 hari sejak upacara Ngaben).
Begitu pula dengan orangtua yang memiliki bayi yang usianya di bawah 6 bulan. Kedua
hal tersebut berlaku untuk warga Bali.

Untuk mengapa kita harus menggunakan pakaian adat ke Pura, alangkah baiknya jika kita
menjaga kesucian Pura dengan menggunakan busana adat dengan benar. Jangan gunakan
baju yang terbuka atau baju-baju yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
persembahyangan agar tidak mengganggu pikiran, dan tujuan kita ke Pura yaitu
menghadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Tidak patut dipertahankan :


I. Tan kalugra ngerajing ka pura luwire : Sadereng polih wak-wakan (pituduh) Prajuru
Desa.

Terjemahan :
Tidak boleh ke Pura sebelum dapat arahan dari Prajuru Desa

Revisi :
Tan kalugra ngerajing ka pura luwire : Sadereng polih wak-wakan (pituduh) pandita sane
madue kapatutan

Tanggapan :
Menurut kami, peraturan awig-awig tersebut tidak cukup sesuai dengan keadaan saat ini.
Melihat keadaan sekarang terutama saat masa pandemi, kebanyakan kegiatan pura
dilaksanakan tidak seleluasa masa sebelum pandemi. Pelaksanaan upacara atau odalan di
pura masih dilaksanakan dengan protokol kesehatan membuat kegiatan sembahyang
bebas dari umat beragama khususnya Hindu, menjadi terbatas. Sehingga, perlu
koordinasi kepada pemegang kunci dari pura ketika ingin berkegiatan khususnya
bersembahyang di pura. Dalam awig-awig tersebut, disebutkan bahwa kita harus
berkoordinasi dan ke pura atas izin dari perangkat desa. Hal ini cukup rumit dilakukan
dikarenakan proses meminta izin kepada perangkat desa tidak sesederhana itu. Apalagi
jika perangkat desa yang membawa kunci sedang sulit untuk dihubungi atau ditemui
sehingga masyarakat yang ingin berkegiatan khususnya sembahyang di pura itu menjadi
terhambat. Peraturan ini sebenernya sangat bagus untuk menghindari hal-hal yang tidak
mengenakkan terjadi di pura tanpa pengawasan yang bersangkutan, seperti terjadinya
kehilangan barang-barang di pura dan berbagai hal yang tidak berkenan untuk terjadi.
Maka dari itu, agar lebih sederhana, sebaiknya dari peraturan tersebut di revisi dengan
awig-awig “Tan kalugra ngerajing ka pura luwire : Sadereng polih wak-wakan (pituduh)
pandita sane madue kapatutan”. Kunci pura itu dipegang oleh pandita yang bersangkutan,
seperti pandita tetap yang ada di pura tersebut, atau mungkin pandita yang rumahnya
dekat dengan pura agar akses umat yang ingin ke pura itu bisa lebih leluasa. Bagi umat
yang ingin melakukan kegiatan di pura khususnya untuk bersembahyang, diharuskan
untuk berkoordinasi dengan pandita yang bersangkutan agar kegiatan di pura berlangsung
dalam pengawasan pandita tersbeut dan menghindari hal-hal yang tidak berkenan terjadi
di pura.

II. Semaliha yan sampun pamangku ngayah ring pura, kancit wenten kaluargannya seda
Pamangku inucap tan, keneng cuntaka, sakewanten pamangku tan budal salami piodalan.

Terjemahan :
Ketika pemangku sudah ngayah di pura, dan ada keluarga dari pemangku yang
meninggal dunia. Selama pemangku, tidak pulang ke rumahnya maka pemangku tersebut
tidak terkena cuntaka.

Tanggapan:
Berbicara dari sudut pandang emosional banding, seorang pandita sebagai individu pasti
memiliki rasa kehilangan ketika ada keluarganya yang meninggal oleh sebab itu seorang
pandita yang mengayah di pura tersebut diperbolehkan untuk pulang melihat anggota
keluarganya yang meninggal untuk terakhil kali. Jika dilihat dari sudut pandang orang
biasa pasti kita bersimpati dengan yang dialami oleh pandita tersebut. Terlebih pandita
jika di dalam keluarga masih memiliki tanggung jawab sebagai anak, ayah, ataupun
suami. Dengan tanggung jawab pandita tersebut maka ketika ada anggota keluarga yang
meninggal, seorang pandita tersebut wajib untuk mengurus upacara kematian anggota
keluarganya. Berbicara dari sudut pandang tanggung jawabnya di pura. Pastinya yang
kita ketahui pandita tidak hanya satu saja, masih ada pandita-pandita yang lain yang bisa
menggantikan peran pandita tersebut dalam menjalankan tugasnya.

Palemahan
Patut dipertahankan :
I. Pawos 26 ayat 3a halaman 13.
Krama desa adat tan kepatutang ngutang leluhu, mabacin ring margi ageng, tur ring
genah sane tan kapatutang sane prasida ngicalang kasukertan Desa Pakraman.

Terjemahan:
Warga tidak diperbolehkan membuang sampah sembarangan, membuang air besar di
jalan besar, dan di tempat-tempat yang merupakan tempat suci di desa pakraman.

Alasan:
Menurut kami, peraturan atau awig-awig ini merupakan peraturan desa adat yang sangat
baik karena memang benar dan patut bahwa kita tidak boleh membuang sampah
sembarangan, tidak boleh membuang air besar di jalan besar dan tempat-tempat yang
merupakan tempat suci di desa pakraman. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa
sampah dan kotoran seperti kotoran hasil buang air besar merupakan salah satu faktor
yang mencemari lingkungan. Sehingga, awig-awig ini sangat benar dan patut
dilaksanakan dengan tujuan agar lingkungan desa dan tempat suci tetap terjaga
kebersihannya dan tetap terjaga kesuciannya khususnya pada tempat suci. Sehingga,
masyarakat setempat tetap nyaman berkegiatan dan hidup di lingkungan setempat. Ini
juga merupakan salah satu upaya kita sebagai masyrakat setempat untuk melestarikan
lingkungan desa pakraman agar tetap asri, bersih, dan nyaman, termasuk tempat-tempat
suci di desa setempat.

II. Krama desa patut ngamanggehang kawerdian tanem tuwuh sane ngawinang desane asri

Terjemahan :
Warga desa harus menjalankan kewajiban menanam tanaman yang bisa membuat desa
menjadi asri

Alasan :
Pada era modernisasi saat ini, telah terjadi misskonsepsi pada pola pikir masyarakat.
Masyarakat saat ini beranggapan bahwa permasalahan pepohonan di muka bumi ini
bukan merupakan hal yang urgent dibahas, masyarakat terlalu berfokus pada bidang
industri sehingga mengesampingkan pelestarian lingkungan untuk meraup keuntungan
yang melimpah. Padahal sejatinya, satu pohon memiliki segudang benefit (manfaat) yang
tentu bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup. Maka sangat diperlukan untuk
merealisasikan bunyi pasal diatas secara optimal demi kelestarian lingkungan desa.

Tidak patut dipertahankan ;


Tidak ada

Pawongan
Patut dipertahankan :
I. Pawiwahan sane kapaturang ring Desa Adat Sapat, sakadi ring sor
a. Sampun kamargyang pabyakala utawi pasakapan, kasaksiang sakala niskala olih
pandita/pinandita

Terjemahan :
Perkawinan yang patut/sah di desa adat sapat seperti berikut :
a. Sudah dilaksanakan upacara pabyakala atau mesakapan yang disaksikan oleh pandita
atau pinandita

Alasan :
Pernikahan dalam agama hindu adalah tahapan yang harus dilalui setiap orang. Dalam
budaya bali memiliki prosesi pernikahan yang unik yang mana setiap prosesi memiliki
fungsi dan keterkaitan yang tinggi dengan sang pencipta. Salah satu prosesi dalam
pernikahan orang Bali disebut dengan mesakapan. Mesakapan memiliki arti menyatukan.
Dalam prosesi pernikahan mesakapan memiliki makna menyatukan atau membentuk
sebuah ikatan antara purusa dan pradana menjadi pasangan.
Biasanya dalam hal ini merupakan proses yang disaksikan secara sekala dan
niskala.Mesakapan terdiri dari 2 yaitu mesakapan alit dan mesakapan gede. Mesakapan
alit atau mesakapan benten biasanya dilengkapi dengan prosesi mekalan kalan, mebiu
kaon dan metanjung sambuk yang dipandu oleh jro mangku. Sedangkan mesakap gede
atau duur biasanya dilakukan dengan prosesi natab yang dipandu oleh sulinggih. Setelah
prosesi mesakapan gede biasanya dilaksanakan prosesi resepsi yang mengundang banyak
orang. 
Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh pendeta
atau rohaniawan dan pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan
itu. Orang yang berwenang mengawinkan adalah yang mempunyai status kependetaan
atau dikenal dengan mempunyai status Loka Praya Sraya. Akan tetapi, Jika kedua calon
mempelai tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka pernikahannya dikatakan tidak sah
atau gagal.

II. Kapawiwahan kaceburin, kautamayang antuk jadma sane maagama hindu utawi jadma
sane maagama siyosan sane sampun ngalaksanayang pamarisuda raga utawi sudiwadani

Terjemahan :
Pernikahan nyeburin (suami tinggal di rumah istri) diutamakan untuk umat yang
beragama hindu atau umat beragama lain yang sudah melaksanakan proses pengukuhan
untuk menjadi umat hindu

Alasan :
Sepasang kekasih umumnya mendambakan hubungan yang langgeng dalam ikatan
pernikahan. Dalam agama Hindu di Bali terdapat salah satu jenis pernikahan yaitu
pernikahan nyeburin. Sistem perkawinan nyeburin merupakan sistem perkawinan
dimana mempelai wanita berubah status hukum  secara adat sebagai purusa dan laki-laki
sebagai pradana.
Dalam hubungan perkawinan ini laki-laki tinggal di rumah istrinya. Dalam agama hindu,
tata cara pernikahan pun beragam sesuai dengan agama dan adat istiadat yang dijunjung
masing-masing pasangan calon pengantin. Perkawinan memiliki tujuan mulia yang
meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma),
praja (melahirkan keturunan) dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indra
lainnya). Hal itu seperti yang tertuang pada Kitab Manawa Dharmasastra.
Menurut ajaran agama Hindu, sah atau tidaknya suatu perkawinan terkait dengan sesuai
atau tidaknya dengan persyaratan yang ada dalam ajaran agama Hindu. Suatu perkawinan
dianggap sah menurut agama Hindu jika memenuhi hal-hal yang sesuai dengan ketentuan
hukum Hindu salah satunya adalah Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon
mempelai telah menganut agama Hindu (agama yang sama)
Pernikahan beda agama tidaklah sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Di dalam agama
Hindu, kata Yudha, setiap perkawinan disarankan agar kedua mempelai berada dalam
satu agama.
Diterangkannya, jika ada umat Hindu melakukan pernikahan dengan calon yang berbeda
agama, maka terlebih dahulu calonnya tersebut wajib melaksanakan Sudi Widani. Sudi
Widani adalah proses upacara dimana yang bersangkutan resmi menyatakan diri sebagai
umat Hindu.
Setelah itu, barulah upacara pernikahan dapat dilaksanakan secara sah menurut agama
Hindu. Prinsip dasarnya, pernikahan dianggap terbaik jika kedua mempelai memiliki
keyakinan yang sama. Tidak ada pelarangan secara eksplisit dalam agama hindu soal
nikah beda agama. Namun, melihat dari rangkaian adat pernikahan, di mana upacara
tersebut sempurna dan sah jika tidak melalui proses pengakuan menjadi hindu, maka
nikah beda agama pun menjadi sulit diterima.

Tidak patut dipertahankan :


I. Sajeroning pakrunayan/pangelukuan patut :
Keigumang bawos idih pakidih utawi palagayan arep ring pasewakan sang ngidih saha
dewasa pakrabkambeyane riwekan.

Terjemahan :
Selama proses lamaran  :
Pembicaraan tentang pinang meminang serta hari baik untuk melakukan pernikahan harus
dibicarakan oleh kedua belah pihak.

Tanggapan :
Perlu diketahui, prosesi pernikahan adat Bali dimulai dengan penentuan hari baik yang
dilakukan setelah calon mempelai pria meminang calon mempelai wanita yang dalam
bahasa Bali disebut memadik atau ngindih. Masyarakat Bali masih sangat percaya akan
hari baik untuk menggelar pernikahan. Pada hari baik yang telah dipilih tersebut lah
nantinya calon mempelai wanita akan dijemput lalu dibawa ke rumah calon mempelai
pria. Pada dasarnya, pernyataan diatas memang benar tetapi pembicaraan mengenai hari
baik atau dewasa untuk melakukan pernikahan menurut kami sendiri tidak perlu
dicantumkan di dalam awig-awig atau peraturan desa karena hal ini menyangkut
pembicaraan intern atau pribadi antar kedua belah pihak. Setelah didapatkan keputusan
dari kedua belah pihak disertai arahan dari orang suci atau orang yang berkompeten
barulah hal ini disampaikan kepada prajuru desa agar nantinya dapat dibahas lebih lanjut
dan dikoordinasikan dengan krama banjar untuk turut serta dalam membantu persiapan
acara (nguopin).

II. Prade panglukuhan tan katerima pakrunanyan kamargiang jantos ping tiga ngraris
pawiwahanne nglantur mamargi

Revisi :Pawiwahan wantah dados kalaksanayang yaning calon penganten pada saling
lulut asih .

Terjemahan ;
Apabila seseorang telah dilamar sebanyak tiga kali maka pernikahan harus dilaksanakan.

Tanggapan :
Pada hakikatnya, setiap individu memiliki hak, baik itu hak untuk kebebasan beraspirasi
bahkan hingga hak untuk memilih pasangan yang akan menemani dalam menjalani
rumah tangga. Bunyi pasal diatas sangat bertentangan 180 derajat dengan perealisasian
hak individy tersebut, dimana pasal tersebut berbunyi “ Apabila seseorang telah dilamar
sebanyak tiga kali maka pernikahan harus dilaksanakan” . Apabila pasal ini direalisasikan
sebagaimana mestinya maka akan terjadi keterpaksaan dari salah satu pihak sehingga
tentunya akan berdampak pada kondisi rumah tangga kedepannya. Pernikahan paksa
memiliki banyak impact negatif, diantaranya maraknya terjadi KDRT (Kekerasan Dalam
Rumah Tangga), meningkatnya problematika kesehatan mental, dan masih banyak lagi.
Maka dari itu pasal ini harus dihapuskan ataupun bunyi pasa tersebut harus diubah
menjadi “ Pernikahan bisa dijalankan atas persetujuan kedua belah pihak”.

Anda mungkin juga menyukai