Anda di halaman 1dari 8

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : SUPRIADI

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 015729212

Kode/Nama Mata Kuliah : IPEM,4321/ HUKUM TATA PEMERINTAHAN

Kode/Nama UPBJJ : 47/ PONTIANAK

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban no 1
Walikota Berhak Melakukan Pemecatan Berdasarkan Kewenangannya
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu yang dimaksud dengan
Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”):

Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk
menduduki jabatan pemerintahan.

Lebih lanjut di dalam Pasal 3 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”) dinyatakan sebagai berikut:

Setiap PNS wajib masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;

Bahwa berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya dan berdasarkan pada pertanyaan yang Anda
ajukan, dapat disimpulkan bahwa Pak Suparman dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak
menaati ketentuan jam kerja karena Pak Suparman jarang masuk kantor. Sehingga berdasarkan
ketentuan Pasal 8 angka 9 jo. Pasal 9 angka 11 jo Pasal 10 angka 9 PP 53/2010, tindakan Pak Suparman
yang tidak menaati ketentuan jam kerja dapat diberikan Hukuman Disiplin baik hukuman disiplin ringan,
hukuman disiplin sedang maupun hukuman disiplin berat, yang mana hal ini tergantung dari tingkat
kepatuhan Pak Suparman dalam menaati ketentuan jam kerja.

Kemudian, menyangkut soal pemecatan yang Anda sebutkan, hukuman tersebut termasuk jenis hukuman
disiplin berat sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010:

Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari:
a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Berdasarkan pertanyaan yang Anda ajukan, apabila Pak Suparman dipecat oleh Walikota, dapat
disimpulkan bahwa Pak Suparman mendapatkan hukuman disiplin berat sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010.

Untuk menjawab pertanyaan Anda terkait kewenangan Walikota dalam memecat Pak Suparman,
dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri
Sipil (“PP 11/2017”) dinyatakan sebagai berikut:

Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan,


dan pemberhentian PNS kepada:
a) menteri di kementerian;
b) pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;
c) sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural;
d) gubernur di provinsi; dan
e) bupati/walikota di kabupaten/kota.

Lebih lanjut di dalam Pasal 31 ayat (1) PP 53/2010 dinyatakan:

Setiap penjatuhan hukuman disiplin ditetapkan dengan keputusan pejabat yang berwenang menghukum.
Sehingga pada dasarnya, Walikota didelegasikan kewenangan oleh Presiden untuk melakukan
pemberhentian PNS. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) PP
11/2017, Walikota dalam pertanyaan Anda memiliki kewenangan untuk memberhentikan Pak
Suparman dan mengeluarkan suatu keputusan terhadap pemberhentian Pak Suparman.

Langkah Hukum Jika PNS Tidak Menerima Keputusan Pemecatan


Dalam hal Pak Suparman tidak menerima keputusan pemberhentian dari Walikota, maka
berdasarkan Pasal 32 PP 53/2010, Pak Suparman berhak mengajukan upaya administratif:

Upaya administratif terdiri dari keberatan dan banding administratif.

Apabila Pak Suparman telah menempuh upaya administratif dan masih tidak puas terhadap hasil dari
upaya administratif tersebut, Pak Suparman berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (“Pengadilan TUN”).

Berdasarkan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara (“UU PTUN”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU
9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dinyatakan
bahwa:

Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Pak Suparman barulah dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan TUN apabila sudah melakukan upaya administratif.

Dasar Mengajukan Gugatan ke Pengadilan TUN


Di dalam Pasal 53 UU 9/2004 dijelaskan bahwa dasar sekaligus alasan mengajukan gugatan ke
Pengadilan TUN adalah :

(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik berdasarkan adalah meliputi
asas: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.[1]

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dasar dan alasan seseorang mengajukan gugatan ke
Pengadilan TUN haruslah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) UU PTUN
dan Pasal 53 UU 9/2004.

Bentuk Gugatan ke Pengadilan TUN


Aturan terkait dengan bentuk gugatan ke Pengadilan TUN dapat dilihat dalam Pasal 56 UU
PTUN sebagai berikut:

(1) Gugatan harus memuat:


a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.
(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus
disertai surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh
penggugat.

Jawaban no 2
Jika melihat aturan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan
Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU
51/2009”) bahwa tata usaha negara (“TUN”) didefinisikan sebagai berikut:

Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

Sementara itu, sengketa Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 didefinisikan
sebagai berikut:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, kami akan jelaskan beberapa ciri sengketa tata usaha negara, di antaranya adalah sebagai
berikut:

1. Para Pihak yang Bersengketa


Jika melihat rumusan Pasal 1 angka 10 UU 51/2009 di atas, yang bersengketa adalah orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah. Tergugat
adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang
ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.[1]

Menurut Rozali Abdullah dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (hal.5), Peradilan
TUN hanya berwenang mengadili sengketa TUN, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara.

2. Diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara


Pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan
peradilan tata usaha negara.[2] Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
3. Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Objek Sengketa
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 didefinisikan sebagai berikut:

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Menurut Yuslim dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (hal. 47) bahwa rumusan
Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 mengandung unsur-unsur:
 penetapan tertulis,
 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
 tindakan hukum tata usaha negara,
 peraturan perundang-undangan yang berlaku,
 konkret,
 individual,
 final, dan
 akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

4. Dengan Mengajukan Gugatan Tertulis


Kita dapat pahami bahwa Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan mengajukan gugatan tertulis yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi.[4]

Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan tertulis disebutkan dalam Pasal 53 ayat (2) UU
9/2004 sebagai berikut:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.

5. Terdapat Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan


Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya
atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.[5]

Bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, maka tenggang
waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat.[6]

Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan:[7]
a. Pasal 3 ayat (2) UU 5/1986, tenggang waktu sembilan puluh hari itu di hitung setelah lewatnya
tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan yang bersangkutan;
b. Pasal 3 ayat (3) UU 5/1986, maka tenggang waktu sembilan puluh hari itu dihitung setelah lewatnya
batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang
waktu sembilan puluh hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.
6. Asas Praduga Tak Bersalah
Menurut Rozali Abdullah (hal. 6) bahwa di peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas praduga
tak bersalah (presumption of innocent) seperti yang kita kenal dalam hukum acara pidana. Di mana
seorang pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu Keputusan Tata
Usaha Negara sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan
ia salah di dalam membuat Keputusan Tata Usaha Negara atau dengan kata lain suatu Keputusan Tata
Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak melawan hukum), sebelum adanya putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan keputusan tersebut tidak sah (melawan hukum).
Sehingga digugatnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan menyebabkan tertundanya
pelaksanaan keputusan tersebut.

7. Peradilan In Absentia
Dalam Pasal 72 UU 5/1986 dijelaskan mengenai peradilan in absentia atau sidang berlangung tanpa
hadirnya tergugat. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1. Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut
dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun
setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan
meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.
2. Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari
tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan
sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.
3. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi
pembuktiannya dilakukan secara tuntas.

8. Pemeriksaan Perkara Dengan Acara Biasa, Acara Cepat, dan Acara Singkat
Sebagaimana pernah dijelasakan dalam artikel Perbedaan Acara Biasa, Acara Cepat, dan Acara Singkat
Pada Peradilan TUN, hukum acara formal TUN (hukum acara dalam arti sempit) berupa langkah-langkah
atau tahapan yang terbagi atas:
1.
a. Acara biasa
Dalam pemeriksaan sengketa TUN dengan acara biasa, tahapan penanganan sengketa adalah:[9]
 Prosedur dismisal, pemeriksaan administratif untuk menetapkan apakah suatu gugatan dapat
diterima atau tidak dapat diterima.
 Pemeriksaan persiapan, pada tahap ini dimaksudkan untuk melengkapai gugatan yang kurang jelas.
 Pemeriksaan di sidang pengadilan
b. Acara cepat
pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup
mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya.[10]
1.
c. Acara singkat
pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan terhadap perlawanan.

Jawaban no 3
Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 9/2004”) dan terakhir kali diubah
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”).

Sengketa Tata Usaha Negara


Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]

Sengketa tata usaha negara ini diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan mengajukan gugatan
tertulis yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.[2]

Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara


1. Upaya Administratif[3]
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di
lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk:

a. Keberatan
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan sendiri oleh Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
b. Banding Administratif
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, yang
berwenang memeriksa ulang Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan .

Berbeda dengan prosedur di Peradilan Tata Usaha Negara, maka pada prosedur banding administratif atau
prosedur keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi
kebijaksanaan oleh instansi yang memutus. Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dapat dilihat apakah
terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu terbuka atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh
suatu upaya administratif.

2. Gugatan Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara


Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika
seluruh upaya administratif sudah digunakan [4]

Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat
keberatan, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara.[5]

Namun, jika peraturan dasarnya menentukan adanya upaya administatif berupa pengajuan surat keberatan
dan/atau mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha
Negara yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.[6]

Ketentuan Pengajuan Gugatan Pada Pengadilan Tata Usaha Negara

Gugatan
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.[7] Sehingga yang menjadi tergugat adalah badan atau
pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.[8]

Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara, yang menjadi objek sengketa, adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Yang tidak termasuk ke dalam kategori Keputusan Tata Usaha Negara dalam UU 5/1986 berserta
perubahannya adalah:[9]
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Perlu diketahui bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.[10]

Prosedur Dismissal
Setelah diajukan gugatan, maka akan dilakukan pemeriksaan dismissal atau rapat permusyawaratan.
Dalam rapat permusyawaratan ini, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan
yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar, dalam hal:[11]
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Terhadap penetapan ini dapat diajukan Perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah diucapkan.[12] Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan
gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara
biasa.[13] Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.[14]

Pemeriksaan Persiapan
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk
melengkapi gugatan yang kurang jelas.[15]

Dalam pemeriksaan persiapan Hakim:[16]


a. wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang
diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

Apabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.[17] Terhadap putusan ini tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.[18]

Setelah dilakukan pemeriksaan persiapan maka akan dilakukan pemeriksaan perkara untuk mendapatkan
putusan.[19] Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding
oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.[20] Bahkan jika penggugat
tidak juga puas dengan putusan tersebut, dapat dilakukan upaya hukum kasasi hingga upaya hukum luar
biasa peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai