0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
110 tayangan6 halaman
Dokumen tersebut membahas konsep pernikahan dalam Islam, termasuk monogami, poligami, dan nikah mut'ah. Monogami adalah menikah dengan satu istri, poligami membolehkan pria menikahi beberapa istri, dan nikah mut'ah adalah pernikahan sementara untuk waktu terbatas yang telah dinasakhkan. Dokumen ini juga membahas istilah-istilah terkait dan refleksi mengenai materi yang sulit dipahami atau sering menimbul
Dokumen tersebut membahas konsep pernikahan dalam Islam, termasuk monogami, poligami, dan nikah mut'ah. Monogami adalah menikah dengan satu istri, poligami membolehkan pria menikahi beberapa istri, dan nikah mut'ah adalah pernikahan sementara untuk waktu terbatas yang telah dinasakhkan. Dokumen ini juga membahas istilah-istilah terkait dan refleksi mengenai materi yang sulit dipahami atau sering menimbul
Dokumen tersebut membahas konsep pernikahan dalam Islam, termasuk monogami, poligami, dan nikah mut'ah. Monogami adalah menikah dengan satu istri, poligami membolehkan pria menikahi beberapa istri, dan nikah mut'ah adalah pernikahan sementara untuk waktu terbatas yang telah dinasakhkan. Dokumen ini juga membahas istilah-istilah terkait dan refleksi mengenai materi yang sulit dipahami atau sering menimbul
DAN NIKAH MUT’AH B. Kegiatan Belajar : KB 1 FIQIH C. Refleksi
PERNIKAHAN
POLIGAMI
MUT’AH
NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN
1. Konsep nikah dalam ajaran Islam
Untuk dijadikan sebuah perbandingan, sebelum pembahasan nikah menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam (Jahiliyah). Pada zaman Jahiliyah telah dikenal beberapa praktek perkawinan yang merupakan warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia. Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu berupa Konsep (Beberapa istilah pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang 1 dan definisi) di KB resmi dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan. Kedua, nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya. Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya. Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur). Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan. Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya. Memperhatikan berbagai macam illat nikah maka hukum nikah dapat ditetapkan sebagai berikut: a. Wajib, hukum ini layak dibebankan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah perzinahan. Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu biologis yang memuncak bagi orang yang belum layak nikah karena belum mampu menafkahi seperti tersebut di atas. disarankan agar ia memperbanyak puasa. b. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah lebih baik baginya dari pada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak. Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta Nasrani yang dilarang oleh Rasulullah. c. Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika ia memaksakan diri untuk menikah akan mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak terpenuhi. 2. Monogami dalam ajaran Islam Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang hanya memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif atau definisi tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga maka suami itu menganut monogami. dasar hukum monogami dalam Islam adalah al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban berperilaku adil terhadap seorang istri, dan jika khawatir tidak mampu berperilaku adil maka wajib monogami. Bahkan secara tegas bahwa Allah menyatakan bahwa para suami tidak akan mampu berbuat adil kepada istri mereka 3. Hukum poligami dalam ajaran Islam Secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”. Namun dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cenderung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutannya di masyarakat untuk laki-laki yang beristeri lebih dari satu. Yusuf Qardhawi menjelaskan kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah sebagai berikut: pertama, ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata isterinya tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit. Kedua, Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut. Ketiga, jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan. Di situ terdapat kemaslahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan. Adapun sesuatu yang dianggap perbuatan menzalimi dalam keterangan (Hadits) adalah ketidak-adilan seorang suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir. Contoh praktik poligami ideal adalah Baginda Rasulullah saw yang selalu berusaha untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan tersebut, Rasulullah mengundi di antara isteri-isterinya. Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai perasaan dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rasul. Bukan hanya itu, Beliau berpoligami hanya semata untuk kepentingan dakwah sebab istri istri yang dinikahi oleh beliau adalah wanita-wanita yang sangat memerlukan bantuan, lihatlah sosok wanita yang beliau nikahi semuanya adalah janda kecuali Sayyidatina ‘Aisyah r.a. 4. Hukum nikah mut’ah dalam ajaran Islam. Semarak nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kekhawatiran pun muncul dari orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang terkesan “main-main” ini. Kata mut’ah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri dengan bersenggama) dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai. kebolehan hukum nikah mut’ah pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut: a. Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah. b. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan melalui perbesanan. kebolehan hukum nikah mut’ah itu telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh keharamannya. Dengan demikian hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah. Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bin Khattab, dengan lantang beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi pelakunya. penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ah yang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali menghalalkan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum nikah mut’ah ini telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halal pun telah jelas” 5. Beberapa istilah dan definisi Monogami : menikah dengan hanya seorang istri. Poligami : menikah dengan sejumlah wanita tidak lebih dari empat. Nikah mut’ah : nikah kontrak/nikah untuk waktu tertentu atau terbatas. Qiyas fariq : qiyas yang berbeda tolak ukurnya Rukhsoh : keringanan hukum Fathu Makkah : Penundukan Kota Makkah Ta’rif : definisi - Nikah mut’ah Daftar materi pada KB 2 yang sulit dipahami - poligami
- Ajaran syiah tentang masih berlakunya nikah mut’ah.
Daftar materi yang sering - Poligami, haruskah Ketika berpoligami sesaui apa yang telah 3 mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran terjadi pada Nabi, ataukah kebolehan poligami Mutlaq dengan ketentuan mampu dan adil?