Anda di halaman 1dari 15

ENDOMETRIOSIS

Amalia Shadrina
1806262354
Tahap 3B

Pembimbing:
Prof. Dr. dr. TZ Jacoeb, SpOG(K)

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Desember 2021
ILUSTRASI KASUS

Nama Pasien : Ny. U


Usia : 27 tahun
No. MR : 4524346
Paritas : P0A0

Anamnesis:
Keluhan utama: Ingin program hamil

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien merupakan rujukan dari RS Krakatau dengan masalah utama infertilitas dan
kista endometriosis. Pasien mengeluhkan nyeri haid (VAS 3) yang tidak mengganggu
aktivitas dan tidak mengonsumsi obat tertentu untuk mengatasi rasa nyeri. Tidak ada
disuria dan dispareunia. Tidak ada perdarahan di luar siklus haid maupun perdarahan
postcoitus. Pemeriksaan USG menunjukkan kista endometriosis.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat hipertensi, DM, asma, alergi, penyakit jantung, serta penyakit paru disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:


Riwayat hipertensi, DM, asma, alergi, penyakit jantung, serta penyakit paru disangkal.

Riwayat menstruasi:
Sep Okt Nov
16 23 13 20 11 18

Menarche 12 tahun, teratur tiap bulan, lama 7 hari, nyeri


haid VAS 3, ganti pembalut 3-4x/hari

Riwayat pernikahan: Menikah 1x, sejak tahun 2019


Riwayat KB: tidak ada
Riwayat persalinan: P0A0
Riwayat sosial ekonomi: Ibu rumah tangga (S1), suami karyawan swasta
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum baik, compos mentis
TB: 157 cm, BB: 13 kg, IMT: 21.5 kg/m2

Status Generalis:
TD 110/63 mmHg, Nadi 82x/menit
Nafas 20x/menit, 36.2OC
Mata: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Jantung: BJ I-II normal reguler, murmur/gallop (-)
Paru: Vesikuler, ronkhi/wheezing (-/-)
Abdomen: supel, BU (+) N, massa (-), nyeri tekan (-)
Extremitas: Akral hangat, CRT <2”, edema (-)

Status Ginekologi:
I: vulva-uretra tenang, perdarahan aktif (-)
Io: dinding vagina licin, porsio licin, ostium tertutup, fluksus (-), fluor (-)
RVT: CUT tidak teraba membesar, teraba massa adneksa kiri sebesar sekitar 4 cm,
parametrium elmas. TSA baik, ampulla tidak kolaps.

Lab (05/12/21)
DPL 13.4/38.6/6800/308000/83.5/29/34.7
PT/aPTT 0,9x/0,8x
CRP 0,6; PCT 0,03
Na/K/C 138/3,8/103; GDS 82
Ur 18,7/0,5 (133,1); OT/PT 36/58
AMH 4.1

HSG (April 2020)


Tuba kanan dan kiri paten

USG RSCM Kintani (09/09/2021)


Uterus membesar globuler, retrofleksi, ukuran 73x39x46 ~ 70.23 cm3. Tampak massa
hipohiperekoik dengan batas tidak tegas di korpus anterior ukuran 26x26x23 mm,
tidak mendesak kavum. EL 7.7 mm, tidak tampak triple line, homogen, stratum
basalis regular, tidak tampak massa intrakaviter. Ovarium kanan bentuk nomorla
ukuran 43x22x32 cm. Ovarium kiri tampak massa kistik multilokuler dengan
echointerna halus, ukuran 28x30x44 mm ~ 20.5 cm 3, tidak tampak bagian padat,
papil, vaskularisasi, cairan bebas. Sliding sign positif.

Foto Thorax (05/12/21)


Tidak tampak kelainan radiologis pada paru dan jantung

SA Suami (22/06/21)
Normozoospermia

Diagnosis
Kista endometriosis
Infertilitas primer 2 tahun

Rencana Tata Laksana


Laparoskopi kistektomi, kromotubasi
TINJAUAN PUSTAKA
ENDOMETRIOSIS

Definisi
Endometriosis merupakan sindrom klinis kompleks yang didefinisikan sebagai
pertumbuhan jaringan—yang terdiri atas kelenjar dan stroma—abnormal mirip
endometrium di luar uterus. Jaringan abnormal ini dapat memicu reaksi inflamasi
kronik yang dipengaruhi oleh estrogen. Penyakit ini dapat ditegakkan secara
histologis dengan keberadaan endometrium di lokasi yang bukan tempatnya (ektopik).
Jaringan endometrium abnormal ini turut tumbuh dan meluruh selayaknya
endometrium normal, yang merespons stimulasi hormon dan menyebabkan terjadi
akumulasi darah.1-3
Endometriosis umum dikaitkan dengan nyeri haid, dispareunia, dan nyeri
panggul. Sekitar 70% penderita mengeluhkan nyeri kronik yang terasa saat haid,
berhubungan seksual, buang air kecil, maupun buang air besar. Walaupun demikian,
penyakit ini juga dapat bersifat asimtomatik sehingga tidak terdeteksi sampai pasien
mengeluhkan tidak kunjung hamil. Endometriosis dapat ditemukan pada 35% wanita
yang mengalami subfertilitas.3-5
Endometriosis sering ditemukan di dalam ovarium, tuba, dan kavum Douglas.
Selain lokasi-lokasi tersebut, organ peritoneum dan luar panggul juga dapat menjadi
tempat tumbuhnya jaringan endometrium ektopik.4,5

Prevalensi
Secara umum, WHO melaporkan prevalensi endometriosis sebanyak 10%—atau
190 juta—wanita dan perempuan usia reproduksi. Prevalensi penyakit ini adalah 30-
47% pada wanita dengan infertilitas. Adapun sekitar 60% wanita dengan kasus nyeri
panggul kronik merupakan pasien endometriosis. Di Indonesia sendiri, belum ada data
prevalensi endometriosis pada populasi umum. Pada populasi wanita dengan
infertilitas di tahun 1998, prevalensi endometriosis di RSUPN Cipto Mangunkusumo
adalah sebanyak 69,5%.6,7,8
Tanda dan Gejala
Pasien endometriosis dapat menunjukkan gejala yang memberat, gejala ringan,
atau bahkan tidak mengeluhkan gejala sama sekali. Beberapa gejala yang umum
dikeluhkan oleh pasien endometriosis adalah nyeri panggul kronik, dispareunia,
dismenorea, disuria, dischezia, gangguan fertilitas, dan nyeri punggung bagian bawah.
Gejala dapat dirasakan secara bersamaan pada satu waktu maupun dapat didominasi
oleh satu gejala saja.6,9
Nyeri panggul kronik yang dikeluhkan 70-90% pasien merupakan nyeri
panggul yang berlangsung sekurang-kurangnya 6 bulan. Rasa nyeri ini dapat terjadi
secara hilang timbul dan tidak dapat diprediksi. Pasien sering menggambarkan nyeri
ini dengan nyeri tumpul ataupun nyeri tajam yang memberat saat melakukan aktivitas
fisik. Nyeri haid dikeluhkan pada 50-90% pasien dengan ciri khusus nyeri pada awal
periode dengan skala VAS di atas 5. Adapun nyeri selepas berhubngan seksual
digambarkan sebagai nyeri tusuk saat koitus. Pada pasien dengan keluhan dischezia,
keberadaan jaringan endometrial ektopik di perianal atau saluran pencernaan harus
dicurigai. Perempuan infertilitas berisiko menderita endometriosis 6-8 kali lebih besar
dibandingkan perempuan yang fertil. Infertilitas kerap menjadi alasan pasien
endometriosis datang berobat.6,9

Patofisiologi
Sampai saat ini, beragam teori dan hipotesis acap kali diajukan untuk
menjelaskan proses patogenesis dan patofisiologi endometriosis. Adapun teori yang
paling umum diterima adalah teori implantasi yang terjadi melalui proses menstruasi
retrograde. Menstruasi retrograde dapat terjadi akibat adanya implantasi sel
endometrium yang meluruh saat menstruasi. Kemudian, jaringan tersebut menyebar
dan berikatan dengan peritoneum atau organ panggul lainnya dan bertumbuh besar
dengan pengaruh estrogen. Mekanisme menstruasi retrograde dideskripsikan melalui
Gambar 1 di bawah, dan dilanjutkan dengan gambaran invasi stroma endometrium
pada lapisan mesotelium pada Gambar 2. Namun, dari sekian banyak wanita yang
mengalami aliran menstruasi retrograde, hanya 10% yang mengalami endometriosis.
Oleh karena itu, timbul teori-teori lain seperti teori sel punca, perubahan imunitas,
serta metaplasia dan penyebaran metastastik, sampai faktor genetik.3,9,10
Gambar 1. Mekanisme menstruasi retrograde dalam endometriosis9

Gambar 2. Invasi stroma endometrium pada mesotelium9

Nyeri pada endometriosis


Jaringan endometrium ektopik pada penyakit endometriosis dapat tumbuh di
organ panggul selain uterus maupun organ peritoneum. Proliferasi jaringan ini dapat
bertumbuh besar dan menyebabkan nyeri hebat, seperti pada kasus deep infiltrating
endometriosis (endometriosis infiltrasi dalam). Endometriosis infiltrasi dalam adalah
salah satu jenis endometriosis yang ditandai dengan adanya jaringan endometrium
yang terimplantasi > 5 mm di bawah peritoneum.2,11
Nyeri yang kerap menjadi gejala utama pasien endometriosis dapat berasal dari
dua jaras nyeri—yakni somatik dan viseral—sehingga bersifat kompleks. Nyeri
somatik berasal dari saraf sensorik yang ada pada kulit dan jaringan profundus.
Sementara itu, nyeri visceral berasal dari organ profundus seperti uterus. Rasa nyeri
yang mengganggu pasien endometriosis dapat timbul dari kombinasi kedua jenis nyeri
tersebut dengan derajat yang beragam.2,11
Mekanisme nyeri pada pasien endometriosis dapat disebabkan oleh neuropati
atau lesi yang merangsang nosiseptif. Kerusakan jaringan nonsaraf—yang ditemukan
pada endometriosis—umumnya menyebabkan rangsangan pada neuron nosiseptif.
Walaupun demikian, pasien juga dapat merasakan nyeri neuropatik karena cedera
saraf yang mungkin timbul seiring dengan pertumbuhan jaringan endometrium
ektopik.2,11

Infertilitas pada Endometriosis


Endometriosis berat telah diduga dapat menyebabkan infertilitas. Anatomi
panggul yang terdistorsi serta penurunan fekunditas akibat disrupsi mekanik (e.g.
adhesi panggul) dapat menyebabkan infertilitas yang dikaitkan dengan endometriosis.
Gangguan-gangguan ini menghambat pelepasan oosit maupun pertemuan oosit
dengan ovum, mengubah motilitas sperma, mengganggu kontraksi myometrium,
sampai menghambat proses fertilitasi dan transpor zigot. Perempuan dengan keluhan
infertilitas lebih berisiko mengalami endometriosis stadium lanjut.10
Meskipun demikian, masih banyak spekulasi dan asumsi mengenai mekanisme
tersebut. Endometriosis ringan—atau tahap awal—juga diduga dapat menurunkan
kesuburan. Keberadaan sitokin inflamatorik, faktor pertumbuhan dan angiogenik,
serta ekspresi gen yang mengalami perubahan sedang diteliti lebih lanjut sebagai
sebagai etiologi potensial dari infertilitas akibat endometriosis.10
Endometriosis memberikan dampak pada beberapa proses fertilisasi, seperti:10
a. Efek pada gamet dan zigot
Proses ovulasi dan produksi oosit yang terganggu ditemukan pada pasien
endometriosis dan dikaitkan dengan peningkatan sel radang pada cairan
peritoneum dan endometrioma. Efek inflamasi yang timbul memengaruhi
produksi oosit dan ovulasi. Selain itu, disrupsi fase luteal akibat disregulasi
reseptor progesteron juga dapat terjadi—dan menurunkan penerimaan
endometrium. Kualitas sperma juga dapat menurun akibat efek sel radang dari
cairan peritoneum dan peningkatan aktivitas makrofag yang meningkat.10
b. Efek pada tuba falopii dan transpor zigot
Transport zigot juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang toksik akibat
banyaknya sel radang dan sitokin inflamatorik akibat endometriosis. Selain
itu, inflamasi mengganggu fungsi tuba dan menurunkan motilitas tuba.10
c. Efek pada endometrium
Mekanisme perubahan endometrium pada pasien endometriosis masih belum
dijelaskan dengan jelas. Walaupun demikian, beberapa ekspresi gen dan
aktivitas enzim yang berubah telah diteliti untuk mendukung adanya dampak
pada endometrium.10

Diagnosis
Dari manifestasi klinis, endometriosis dapat bersifat asimtomatik hingga nyeri
panggul kronik dan infertilitas. Nyeri panggul kronik juga dapat bermanifestasi
sebagai dismenorea maupun dispareunia. Diagnosis endometriosis ditegakkan pada
satu dari tiga wanita dengan gejala utama nyeri panggul kronik. Selain itu, perdarahan
abnormal juga ditemukan pada 15-20% pasien endometriosis. Jika tidak diterapi,
kejadian aborsi pada trimester pertama dapat meningkat.9
Temuan klasik yang dapat diidentifikasi dalam pemeriksaan fisik adalah uterus
retrofleksi dengan jaringan parut dan nyeri pada uterus posterior. Adapun ligamen
uterosakral dan adneksa yang nodular dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektovaginal.
Penyempitan forniks vagina juga dapat ditemui pada tahap yang berat. Pembesaran
ovarium yang disertai nyeri dapat ditemukan. Selain itu, pemeriksaan spekulum dapat
membantu visualisasi area endometriosis pada serviks dan vagina atas.9
Pemeriksaan penunjang yang menjadi pemeriksaan pencitraan lini pertama
diagnosis endometriosis adalah ultrasonografi transvaginal. USG transvaginal
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tajam untuk menegakkan
diagnosis endometriosis—dengan sensitivitas 84% dan spesifisitas 91%. USG
transvaginal akna menunjukkan gambaran yang ditunjukkan oleh Gambar 3. Selain
USG transvaginal, magnetic resonance imaging (MRI) juga memiliki peran dalam
diagnosis endometriosis. MRI dapat dipilih untuk mengidentifikasi endometriosis
infiltrative dalam pada Douglas pouch, vagina, forniks posterior, ligamen uterosacral,
serta septum rektovaginal.9

Gambar 3. Hasil USG transvaginal pada pasien endometriosis9

Tata Laksana
Tata laksana pada pasien endometriosis harus bertujuan untuk menegakkan
diagnosis dini dan mencegah komlikasi penyakit. Selain itu, peningkatan kualitas
hidup pasien perlu turut menjadi fokus. Setelah diagnosis endometriosis tegak, terapi
harus dimulai. Adapun Gambar 4 menunjukkan alur tata laksana endometriosis yang
dapat diikuti.12,13

Gambar 4. Bagan alur tata laksana endometriosis13


Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang dapat dipilih adalah steroid yang efektif untuk
mensupresi pertumbuhan endometriosis dengan diameter <1-2 cm. Obat yang sering
dipilih adalah Danazol, agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH), pil
kontrasepsi oral, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), serta terapi hormon lainnya.
Danazol dapat mencetuskan atrofi endometrium uterus dan implan endometriosis,
dengan dosis anjuran 400-800 mg—meskipun dalam praktiknya klinisi sering
meresepkan hanya 200 atau 100 mg per hari. Adapun agonis GnRH diberikan untuk
memicu desensitisasi hipofisis sehingga hipofisis hanya merangsang produksi
estrogen dalam kadar rendah. Efek agonis GnRH yang diharapkan meliputi penurunan
kadar E2, estron, testosteron, dan androstenedion pada serum. Pil kontrasepsi oral
dapat menurunkan gejala pada 80% pasien karena efek penghambatan pelepasan
gonadotropin, penurunan aliran menstruasi, serta stimulasi reaksi desidualisasi
implan. Adapun OAINS digunakan untuk menurunkan nyeri yang dirasakan oleh
pasien.12

Terapi Bedah
Manajemen bedah merupakan terapi utama pada pasien endometriosis. Terapi
operatif diklasifikasikan menjadi dua, terapi bedah konservatif dan bedah definitif.
Pembedahan konservatif meliputi tindakan reseksi atau destruksi implant
endometrium, lisis adhesi, serta mengupayakan anatomi panggul kembali normal.
Sementara itu, pembedahan definitif melibatkan pengangkatan uterus, kedua ovarium,
serta lokasi jaringan endometrium ektopik yang terlihat.12

Setelah dilakukan terapi bedah pada endometriosis, perlu dilakukan penilaian


terhadap fertilitas atau kemungkinan kehamilan pasca endometriosis yang dapat
dilakukan untuk menentukan tatalaksana lanjutan yang dapat dilakukan kepada pasien
apabila diketahui terdapat risiko tinggi infertilitas. Skor yang dapat digunakan yaitu
Endometriosis Fertility Index (EFI) menilai beberapa faktor, berupa usia, periode
infertil, riwayat kehamilan sebelumnya, skor Least Function (LF) yang menilai
tingkat disfungsi ovarium, tuba, dan fimbria, serta skor AFS lesi endometriosis.14,15
Gambar 5. Skor EFI untuk menilai fertilitas pasca endometriosis.15

Kesimpulan
Endometriosis merupakan sindrom klinis kompleks yang dicirikan dengan nyeri
dan infertilitas—yang dapat menurunkan kualitas hidup dan kesehatan pasien secara
signifikan jika tidak diterapi dengan tepat. Pasien endometriosis harus ditangani
dengan tata laksana medikamentosa maupun bedah dan perlu diedukasi mengenai
komplikasi yang mungkin timbul, seperti infertilitas.
PEMBAHASAN KASUS

Ny. U, 27 tahun, P0A0, didiagnosis dengan kista endometriosis dan serta


infertilitas primer 2 tahun. Pasien dengan masalah utama saat ini adalah ingin
memiliki keturunan. Pada pasien dengan masalah lain adalah nyeri haid, tetapi nyeri
tidak mengganggu aktivitas dan tidak membutuhkan pereda nyeri.

Pasien dan keluarga telah dijelaskan mengenai kemungkinan infertilitas dapat


diakibatkan oleh faktor tuba, yang dalam hal ini akibat endometriosis. Pada penilaian
EFI, ditemukan skor 7, dengan hasil SA suami didapat normozoospermia, pasien
dipertimbangkan untuk dilakukan inseminasi pasca tindakan.
REFERENSI

1. Jacoeb TZ, Hadisaputra W. Penanganan Endometriosis. 2019


2. Sousa AC, Capek S, Amrami KK, Spinner RJ: Neural involvement in
endometriosis: review of anatomic distribution and mechanisms. Clin Anat.
2015, 28:1029-1038. 10.1002/ca.22617
3. Alex Swanton, Threlfall WR. Diagnosis and medical management of
endometriosis. Semin Vet Med Surg (Small Anim). 2006;10(1):21–9. Macer
ML, Taylor HS: Endometriosis and infertility. Obstet Gynecol Clin North Am.
2012, 39:535-549. 10.1016/j.ogc.2012.10.002
4. Gargett C: Uterine stem cells: what is the evidence? . Hum Reprod Update.
2006, 13:87-101. 10.1093/humupd/dml045
5. Gargett CE, Masuda H: Adult stem cells in the endometrium . Mol Hum
Reprod. 2010, 16:818- 834. 10.1093/molehr/gaq061
6. Dancet EAF, Apers S, Kluivers KB, Kremer JAM, Sermeus W, Devriendt C,
et al. The ENDOCARE questionnaire guides European endometriosis clinics
to improve the patient-centeredness of their care. Hum Reprod.
2012;27(11):3168–78.
7. Bedaiwy MA, Alfaraj S, Yong P, Casper R. New developments in the medical
treatment of endometriosis. Fertil Steril. 2017;107(3):555–65.
8. Andon Hestiantoro et al. Konsensus Tatalaksana Nyeri Endometriosis Revisi
Pertama. Jakarta; 2017.
9. Advincula A, Truong M, Lobo RA. Endometriosis etiology, pathology,
diagnosis, management. Elsevier; 2019.
10. Macer ML, Taylor HS. Endometriosis and infertility: a review of the
pathogenesis and treatment of endometriosis-associated infertility. Obstet
Gynecol Clin North Am. 2012 Dec;39(4):535-49.
11. Cohen SP, Mao J: Neuropathic pain: mechanisms and their clinical
implications . BMJ. 2014, 348:7656. 10.1136/bmj.f7656
12. Hurt KJ: Pocket Obstetrics and Gynecology. Wolters Kluwer Health,
Philadelphia, PA; 2015.
13. Minjarez DA, schlaff. Update on the medical treatment of endometriosis.
Obstet Gynecol Clin,2002 ; 27 : 65-70
14. Li X, Zeng C, Zhou YF, Yang HX, Shang J, Zhu SN, Xue Q. Endometriosis
Fertility Index for Predicting Pregnancy after Endometriosis Surgery. Chin
Med J (Engl). 2017 Aug 20;130(16):1932-1937.
15. Wang W, Li R, Fang T, Huang L, Ouyang N, Wang L, Zhang Q, Yang D.
Endometriosis fertility index score maybe more accurate for predicting the
outcomes of in vitro fertilisation than r-AFS classification in women with
endometriosis. Reprod Biol Endocrinol. 2013 Dec 11;11:112. 

Anda mungkin juga menyukai